Di Susun Oleh :
Kelompok 5
PENDAHULUAN
A. Definisi
Retensi urine adalah ketidakmampuan untuk mengosongkan isi kandung kemih
sepenuhnya selama proses pengeluaran urine. (Brunner and Suddarth. (2010). Text
Book Of Medical Surgical Nursing 12th Edition. Hal 1370 ).
Retensi urine adalah suatu keadaan penumpukan urine di kandung kemih dan
tidak mempunyai kemampuan untuk mengosongkannya secara sempurna. Retensio
urine adalah kesulitan miksi karena kegagalan urine dari fesika urinaria. (Kapita
Selekta Kedokteran).
2. Perkemihan (urinasi)
Bergantung pada inervasi parasimpatis dan simpatis juga impuls saraf volunteer.
Pengeluaran urine membutuhkan kontraksi aktif otot detrusor.
a) Bagian dari otot trigonum yang mengelilingi jalan keluar uretra berfungsi sebagai
sfingter uretra internal yang menjaga saluran tetap tertututp. Otot ini di inervasi
oleh neuron parasimpatis.
b) Sfingter uretra eksternal terbentuk dari serabut otot rangka dan otot perineal
tranversa yang berada di bawah kendali volunteer. Bagian pibokoksigeus pada otot
levator ini juga berkontribusi dalam pembentukan sfingter.
c) Refleks perkemihan terjadi saat peregangan kandung kemih sampai sekitar 300
ml– 400 ml urine menstimulasi reseptor peregang pada dinding kemih.
1) Impuls pada medulla spinalis di kirim ke otak dan menghasilkan impuls
parasimpatis yang menjalar melalui saraf splanknik pelvis ke kandung kemih.
2) Reflex perkemihan menyebabkan kontraksi otot detsuror : relaksasi sfingter
internal dan eksternal mengakibatkan pengosongan kandung kemih.
3) Pada laki-laki, serabut simpatis menginervasi jalan keluar uretra dan
mengkontraksi jalan tersebut untuk mencegah refluks semen ke dalam
kandung kemih saat orgasme.
d) Pencegahan refluks perkemihan melalui kendali volunteer sflingter eksternal
adalah respons yang dapat di pelajari.
1) Pencegahan volunteer tergantung pada integritas saraf terhadap kandung
kemih dan uretra, traktus, yang keluar dari medulla spinalis menuju dan dari
otak, dan area motorik seremrum. Cedera pada lokasi ini dapat menyebabkan
inkontenesia.
2) Kendali volunteer urinasi adalah respons yang dapat dipelajari. Hal ini tidak
dapat di latih pada SSP yang imatur yang sebaiknya ditunda sampai paling
tidak berusia 18 bulan.
c) Augmentasi
Urin sekunder dari tubulus kontortus distal akan turun menuju tubulus
pengumpul. Pada tubulus pengumpul ini masih terjadi penyerapan ion Na+, Cl-,
dan urea sehingga terbentuklah urin sesungguhnya. Dari tubulus pengumpul, urin
di bawa ke pelvis renalis, dari pelvis renalis, urin mengalir melalui ureter menuju
vesika urinaria (kandung kemih) yang merupakan tempat penyimpanan sementara
urin.
Jadi singkatnya, Filtrat tubulus kemudian terus mengalir di sepanjang
tubulus dan bergabung dengan zat-zat sisa yang lain menuju ke tubulus distal. Di
dalam tubulus distal terjadilah proses augmentasi. Setelah menjalani proses
tersebut, terbentuklah urine Sesungguhnya yang dikumpulkan melalui tubula
kolekta untuk dialirkan menuju rongga ginjal. Dan rongga ginjal, urine dialirkan
melalui ureter menuju ke kantong kemih (vesica urinaria). Pada pangkal kantong
kemih terdapat otot melingkar (sfingter). Jika kantong kemih penuh, otot
melingkar tersebut tertekan dan merenggang. Merenggangnya otot lingkar pada
pangkal kantong kemih menimbulkan rangsangan berupa keinginan buang air
kecil. Selanjutnya, urine dibuang ke luar tubuh melalui uretra. Setelah mengalami
proses filtrasi, reabsorpsi, dan augmentasi terbentuklah urine yang mengandung
zat-zat sisa dan zat-zat berlebih yang sudah tidak digunakan tubuh.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pengeluaran urine yaitu :
1) Hormon Antidiuretik
Hormon antidiuretik dikeluarkan oleh kelenjar saraf hipofisis.
Pengeluaran hormon ini ditentukan oleh reseptor khusus di dalam otak yang
secara terus-menerus mengendalikan tekanan osmotik darah. Oleh karena itu,
hormon ini akan memengaruhi proses readsorpsi air pada tubulus kontortus
distal sehingga permeabilitas sel terhadap air akan meningkat.
Pada saat tubuh kekurangan cairan, konsentrasi air dalam darah akan
menurun. Akibatnya, sekresi ADH meningkat dan dialirkan oleh darah
menunju ginjal. ADH meningkatkan permeabilitas sel terhadap air dan
permeabilitas saluran pengumpul. Dengan demikian, air akan berdifusi keluar
dari pipa pengumpul, lalu masuk ke dalam darah. Keadaan tersebut dapat
memulihkan konsentrasi air dalam darah. Akibatnya, urine yang dihasilkan
lebih sedikit dan pekat.
2) Hormon Insulin
Hormon insulin merupakan hormon yang dikeluarkan oleh pulau-pulau
langerhans yang berada di pankreas yang berfungsi untuk mengatur kadar gula
darah di dalam darah. Penderita diabetus militus memiliki kadar gula darah
yang tinggi di darah dikarenakan hormon insulin yang dihasilkan rendah.
Fungsi hormon insulin adalah mengendalikan kadar gula darah di dalam darah
dengan mengubahnya menjadi glikogen yang disimpan di hati.
3) Usia
Anak balita lebih sering mengeluarkan urine. Hal ini karena anak balita
belum bisa mengendalikan rangsangan untuk mikturasi. Mikturasi adalah
proses pengeluaran urine dari dalam tubuh. Jika di dalam kandung kemih
tersimpan urine sekitar 200–300 ml, akan timbul refleks rasa ingin buang air
kecil. Proses mikturasi ini dimulai dari ginjal–ureter–kandung kemih–uretra.
Selain itu, anak balita juga mengonsumsi lebih banyak makanan yang
berwujud cairan sehingga urine yang dihasilkan lebih banyak. Sementara itu,
pengeluaran urine pada lansia akan lebih sedikit. Hal ini karena setelah usia
40 tahun, jumlah nefron yang berfungsi akan menurun kira-kira 10% setiap
tahun. Kondisi ini akan mengurangi kemampuan ginjal dalam memproses
pengeluaran urine.
4) Gaya Hidup dan Aktivitas
Seseorang yang sering berolahraga urine yang terbentuk akan lebih
sedikit dan lebih pekat. Hal ini karena cairan tubuh lebih banyak digunakan
untuk membentuk energi. Oleh karena itu, cairan yang dikeluarkan lebih
banyak dalam bentuk keringat.
5) Kondisi Kesehatan
Seseorang yang sehat produksi urinenya berbeda dengan orang yang
sakit. Orang yang sedang sakit bisa mengeluarkan urine lebih banyak ataupun
lebih sedikit tergantung pada jenis penyakit yang dideritanya.
6) Psikologis
Orang yang sedang cemas, aktivitas metabolismenya akan lebih cepat
sehingga akan lebih sering mengeluarkan urine.
7) Cuaca
Apabila cuaca panas, cairan tubuh lebih banyak dikeluarkan dalam bentuk
keringat. Jika cuaca dingin cairan tubuh akan dikeluarkan dalam bentuk urine.
8) Jumlah Air yang Diminum
Apabila mengonsumsi banyak air minum, konsentrasi protein dalam
darah akan menurun. Kondisi ini dapat mengakibatkan menurunnya tekanan
koloid protein sehingga tekanan filtrasi kurang efektif. Akibatnya, volume
urine yang diproduksi akan meningkat.
9) Minuman alkohol dan kafein
Alkohol dapat menghambat pembentukan hormon antidiuretika.
Seseorang yang banyak minum alkohol dan kafein, maka jumlah air
kencingnya akan meningkat.
10) Kelainan pada Ginjal
Pada uraian di depan telah dijelaskan bahwa ekskresi penting dilakukan
oleh tubuh kita. Akan tetapi, akibat faktor-faktor tertentu, proses ekskresi pada
ginjal dapat mengalami gangguan
C. Aspek epidemiologi
D. Etiologi
Adapun penyebab dari penyakit retensio urine dapat dibagi menurut letaknya yang
adalah sebagai berikut:
1. Supra vesikal
2. Vesikal
3. Intravesikal
a) Pembesaran prostate.
b) Kekakuan leher vesika.
c) Striktura.
d) Batu kecil.
e) Tumor pada leher vesika.
f) Fimosis.
Selain itu penyebab dari penyakit retensi urine juga dapat dibagi menurut organ
yang terkenanya. Pembagiannya adalah sebagai berikut:
1. Vesika urinaria
a) Neuropati diabetes
b) Atoni otot detrusor karena pembesaran kronis yang berlebihan.
2. Uretra
E. Patofisiologi
Selama fase pengisian, pengaruh sistem saraf simpatis terhadap kandung kemih
menjadi bertekanan rendah dengan meningkatkan resistensi saluran kemih. Penyimpanan
urin dikoordinasikan oleh hambatan sistem simpatis dari aktivitas kontraktil otot detrusor
yang dikaitkan dengan peningkatan tekanan otot dari leher kandung kemih dan proksimal
uretra.
Pengeluaran urine secara normal timbul akibat dari kontraksi yang simultan otot
detrusor dan relaksasi saluran kemih. Hal ini dipengaruhi oleh sistem saraf parasimpatis
yang mempunyai neurotransmiter utama yaitu asetilkholin, suatu agen kolinergik.
Selama fase pengisian, impuls afferen ditransmisikan ke saraf sensoris pada ujung
ganglion dorsal spinal sakral segmen 2-4 dan informasikan ke batang otak. Impuls saraf
dari batang otak menghambat aliran parasimpatis dari pusat kemih sakral spinal. Selama
fase pengosongan kandung kemih, hambatan pada aliran parasimpatis sakral dihentikan dan
timbul kontraksi otot detrusor. Hambatan aliran simpatis pada kandung kemih
menimbulkan relaksasi pada otot uretra trigonal dan proksimal. Impuls berjalan sepanjang
nervus pudendus untuk merelaksasikan otot halus dan skelet dari sphincter eksterna.
Hasilnya keluarnya urine dengan resistensi saluran yang minimal.
Pada retensio urine, penderita tidak dapat miksi, buli-buli penuh disertai rasa sakit
yang hebat di daerah suprapubik dan hasrat ingin miksi yang hebat disertai mengejan.
Retensio urine dapat terjadi menurut lokasi, factor obat dan factor lainnya seperti ansietas,
kelainan patologi urethra, trauma dan lain sebagainya.
Berdasarkan lokasi bisa dibagi menjadi supra vesikal berupa kerusakan pusat miksi
di medulla spinalis menyebabkan kerusaan simpatis dan parasimpatis sebagian atau
seluruhnya sehingga tidak terjadi koneksi dengan otot detrusor yang mengakibatkan tidak
adanya atau menurunnya relaksasi otot spinkter internal, vesikal berupa kelemahan otot
detrusor karena lama teregang, intravesikal berupa hipertrofi prostate, tumor atau kekakuan
leher vesika, striktur, batu kecil menyebabkan obstruksi urethra sehingga urine sisa
meningkat dan terjadi dilatasi bladder kemudian distensi abdomen.
Dari semua factor di atas menyebabkan urine mengalir labat kemudian terjadi
poliuria karena pengosongan kandung kemih tidak efisien.Selanjutnya terjadi distensi bladder
dan distensi abdomen sehingga memerlukan tindakan, salah satunya berupa kateterisasi urethra.
F. Pathway
Gangguan
Urine terkumpul di atas eliminasi urine
H. Klasifikasi
1. Retensi urin akut
Retensi urin yang akut adalah ketidakmampuan berkemih yang tiba-tiba dan
disertai rasa sakit meskipun buli-buli terisi penuh. Berbeda dengan kronis, tidak ada
rasa sakit karena sedikit2 nimbunnya. Kondisi yang terkait adalah tidak dapat
berkemih sama sekali, kandung kemih penuh, terjadi tiba-tiba, disertai rasa nyeri,
dan keadaan ini termasuk kedaruratan dalam urologi. Kalau tidak dapat berkemih
sama sekali segera dipasang kateter.
2. Retensi urin kronik
Retensi urin kronik adalah retensi urin ‘tanpa rasa nyeri’ yang disebabkan
oleh peningkatan volume residu urin yang bertahap. Misalnya lama-lama tidak bisa
kencing. pada pembesaran prostat, pembesaran sedikit-sedikit, bisa kencing sedikit
tapi bukan karena keinginannya sendiri tapi keluar sendiri karena tekanan lebih
tinggi daripada tekanan sfingternya. Kondisi yang terkait adalah masih dapat
berkemih, namun tidak lancar , sulit memulai berkemih (hesitancy), tidak dapat
mengosongkan kandung kemih dengan sempurna (tidak lampias). Retensi urin
kronik tidak mengancam nyawa, namun dapat menyebabkan permasalahan medis
yang serius di kemudian hari.
I. Pencegahan
1) Pencegahan Primer
Tujuan : mencegah agar tidak terjadi Retensi Urine dengan cara mengendalikan
faktor penyebab.
Sasaran : ditujukan kepada orang yang masih sehat, belum pernah menderita
Retensi Urine.
Kegiatan : promosi kesehatan, pendidikan kesehatan, dan perlindungan kesehatan.
Contohnya dianjurkan minum air putih minimal 2 liter per hari.
Konsumsi air putih dapat meningkatkan aliran kemih, makan
mengonsumsi makanan yang tinggi nutrisi, serta olahraga yang cukup
terutama bagi individu yang pekerjaannya lebih banyak duduk atau statis.
2) Pencegahan Sekunder
Tujuan : untuk menghentikan perkembangan penyakit agar tidak menyebar dan
mencegah terjadinya komplikasi.
Sasaran : ditujukan kepada orang yang telah menderita penyakit Retensi Urine
Kegiatan : yang dilakukan dengan diagnosis dan pengobatan sejak dini. Diagnosis
Retensi Urine dapat dilakukan Urinalisa yang akan mengungkapkan
infeksi dan menentukan ada tidaknya hematuria, yang mana dapat
menjadi tanda infeksi, tumor, toksin, trauma atau kalkuli.
3) Pencegahan Tersier
Tujuan : pemulihan atau rehabilitasi untuk mencegah terjadinya kecacatan dan
kematian
Sasaran : ditujukan kepada orang yang dalam masa pemulihan retensi urin
Kegiatan : Pendidikan kesehatan dan tindakan kolaborasi seperti Uroflometri,
Uretrografi
J. Penatalaksanaan
Urin dapat dikeluarkan dengan cara Kateterisasi atau Sistostomi. Penanganan pada
retensi urin akut berupa : kateterisasi – bila gagal – dilakukan Sistostomi.
1. Kateterisasi
Kateterisasi Uretra adalah memasukkan kateter ke dalam buli-buli melalui uretra.
Tujuan Kateterisasi
Tindakan ini dimaksudkan untuk tujuan diagnosis maupun untuk tujuan terapi.
Indikasi kateterisasi :
Kontraindikasi kateterisasi :
Macam-macam Kateter :
1 milimeter = 3 Fr
Jadi, kateter yang berukuran 18 Fr artinya diameter luar kateter itu adalah 6
mm. Kateter yang mempunyai ukuran yang sama belum tentu mempunyai diameter
lumen yang sama karena adanya perbedaan bahan dan jumlah lumen pada kateter
itu.
Bahan kateter dapat berasal dari logam (stainless), karet (lateks), lateks
dengan lapisan silikon (siliconized) dan silikon.
Bentuk Kateter
Tindakan Kateterisasi
Pada wanita
Pemasangan kateter pada wanita jarang menjumpai kesulitan karena uretra wanita
lebih pendek. Kesulitan yang sering dijumpai adalah pada saat mencari muara uretra
karena terdapat stenosis muara uretra atau tertutupnya muara uretra oleh tumor uretra
/ tumor vaginalis / serviks. Untuk itu mungkin perlu dilakukan dilatasi dengan busi a
boule terlebih dahulu.
Pada pria
Teknik kateterisasi pada pria adalah sebagai berikut :
a) Setelah dilakukan desinfeksi pada penis dan daerah sekitarnya, daerah genitalia
dipersempit dengan kain steril.
b) Kateter yang telah diolesi dengan pelicin / jelly dimasukkan ke dalam orifisium
uretra eksterna.
c) Pelan-pelan kateter didorong masuk dan kira-kira pada daerah daerah sfingter
uretra eksterna akan terasa tahanan; pasien diperintahkan untuk mengambil
nafas dalam supaya sfingter uretra eksterna menjadi lebih relaks. Kateter terus
didorong hingga masuk ke buli-buli yang ditandai dengan keluarnya urin dari
lubang kateter.
d) Kateter terus didorong masuk ke buli-buli hingga percabangan kateter
menyentuh meatus uretra eksterna.
e) Balon kateter dikembangkan dengan 5-10 ml air steril.
f) Jika diperlukan kateter menetap, kateter dihubungkan dengan pipa penampung
(urinbag).
g) Kateter difiksasi dengan plester di daerah inguinal atau paha bagian proksimal.
2. Kateterisasi Suprapubik
Kateterisasi Suprapubik adalah memasukkan kateter dengan membuat lubang
pada buli-buli melalui insisi suprapubik dengan tujuan mengeluarkan urin.
3. Sistostomi Trokar
Kontraindikasi Sistostomi Trokar : tumor buli-buli, hematuria yang belum jelas
penyebabnya, riwayat pernah menjalani operasi
daerah abdomen / pelvis, buli-buli yang
ukurannya kecil (contracted bladder), atau
pasien yang mempergunakan alat prostesis
pada abdomen sebelah bawah.
Tindakan ini dikerjakan dengan anestesi lokal dan mempergunakan alat trokar.
Setelah yakin trokar masuk ke buli-buli, obturator dilepas dan hanya slot kateter setengah
lingkaran ditinggalkan
Jika tidak tersedia alat trokar dari Campbell, dapat pula digunakan alat trokar
konvensional, hanya saja pada langkah ke-8, karena alat ini tidak dilengkapi dengan
slot kateter setengah lingkaran maka kateter yang digunakan adalah NG tube nomer
12 F. Kateter ini setelah dimasukkan ke dalam buli-buli pangkalnya harus dipotong
untuk mengeluarkan alat trokar dari buli-buli.
K. Komplikasi
1. Urolitiasis atau nefrolitiasis
Nefrolitiasis adalah adanya batu pada atau kalkulus dalam velvis renal,
sedangkan urolitiasis adalah adanya batu atau kalkulus dalam sistem urinarius.
Urolithiasis mengacu pada adanya batu (kalkuli) ditraktus urinarius. Batu terbentuk
dari traktus urinarius ketika konsentrasi subtansi tertentu seperti kalsium oksalat,
kalsium fosfat, dan asam urat meningkat.
2. Pielonefritis
Pielonefritis adalah radang pada ginjal dan saluran kemih bagian atas.
Sebagian besar kasus pielonefritis adalah komplikasi dari infeksi kandung kemih
(sistitis). Bakteri masuk ke dalam tubuh dari kulit di sekitar uretra, kemudian
bergerak dari uretra ke kandung kemih. Kadang-kadang, penyebaran bakteri
berlanjut dari kandung kemih dan uretra sampai ke ureter dan salah satu atau kedua
ginjal. Infeksi ginjal yang dihasilkan disebut pielonefritis.
3. Hydronefrosis
4. Pendarahan
5. Ekstravasasi urine
ASUHAN
KEPERAWATAN
A. Pengkajian
Identitas klien yang harus di ketahui perawat meliputi nama, umur, jenis
kelamin, alamat rumah, agama atau kepercayan, suku bangsa, bahasa yang dipakai,
status pendidikan pekerjaan klien,dan asuransi kesehatan.
Keluhan utama merupakan faktor utama yang mendorong klien mencari
pertolongan atau berobat ke rumah sakit. Biasanya pada klien dengan efusi pleura di
dapatka keluhan berupa terlokalisasi terutama pada saat batuk dan bernapas serta
bentuk nonproduktif.
1. Riwayat penyakit saat ini
Klien dengan efusi pleura biasanya akan di awali dengan adanya keluhan seperti
batuk, sesak napas, nyeri pleuritis, rasa berat pada dada dan berat dada menurun.
2. Riwayat penyakit dahulu
Perlu di tanyakan pula apakah klien pernah menderita penyakit seperti TB paru,
pneumonia, gagal jantung, trauma asites, dan sebagainya.
3. Riwayat penyakit keluarga
Perlu di tanyakan apakah ada anggota keluarga yang menderita penyakit penyakit
yang mungkin dapat menyebabkan efusi pleura seperti kanker paru, asma, TB paru,
dan lain sebagainya.
Pemeriksaan Fisik
1. Kaji kapan klien terakhir kali buang air kecil dan berapa banyak urin yang keluar.
2. Kaji adanya nyeri pada daerah abdomen.
3. Perkusi pada area supra pubik, apakah menghasilkan bunyi pekak yang
menunjukkan distensi kandung kemih.
4. Kaji pola nutrisi dan cairan.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Retensi urin b.d ketidakmampuan kandung kemih untuk berkontraksi dengan
adekuat.
2. Gangguan rasa nyaman: nyeri
3. Intoleransi aktivitas
4. Ansietas b.d krisis situasi
C. Intervensi
1. Retensi urin b.d ketidakmampuan kandung kemih untuk berkontraksi dengan
adekuat.
Kriteria evaluasi : - Berkemih dengan jumlah yang cukup
- Tidak teraba distensi kandung kemih
Intervensi Rasional
1. Dorong pasien utnuk berkemih tiap 2-4 jam1. Meminimalkan retensi urin distensi
dan bila tiba-tiba dirasakan. berlebihan pada kandung kemih.
2. Tanyakan pasien tentang inkontinensia 2. Tekanan ureteral tinggi menghambat
stres. pengosongan kandung kemih.
3. Observasi aliran urin, perhatikan ukuran 3. Berguna untuk mengevaluasi obsrtuksi dan
dan ketakutan. pilihan intervensi.
4. Awasi dan catat waktu dan jumlah tiap 4. Retensi urin meningkatkan tekanan dalam
berkemih.. saluran perkemihan atas.
5. Perkusi/palpasi area suprapubik 5. Distensi kandung kemih dapat dirasakan
diarea suprapubik.
2. Gangguan rasa nyaman: nyeri
Kriteria evaluasi : - Menyatakan nyeri hilang/ terkontrol
- Menunjukkan rileks, istirahat dan peningkatan aktivitas
dengan tepat
Intervensi Rasional
1. Kaji nyeri, perhatikan lokasi, intensitas 1. Memberikan informasi untuk membantu
nyeri. dalam menetukan intervensi.
2. Plester selang drainase pada paha dan 2. Mencegah penarikan kandung kemih dan
kateter pada abdomen. erosi pertemuan penis-skrotal.
3. Pertahankan tirah baring bila diindikasikan.3. Tirah baring mungkin diperlukan pada awal
4. Berikan tindakan kenyamanan selama fase retensi akut.
4. Meningktakan relaksasi dan mekanisme
5. Dorong menggunakan rendam duduk, sabun koping.
hangat untuk perineum. 5. Meningkatkan relaksasi otot.
3. Intoleransi aktivitas
Kriteria evaluasi :
- Menunjukkan peningkatan toleransi terhadap aktivitas yang dapat diukur dengan
tidak adanya dispnea, kelemahan, tanda vital dalam rentang normal.
Intervensi Rasional
1. Evaluasi respon klien terhadap aktivitas. 1. Menetapkan kemampuan/kebutuhan pasien
dan memudahkan pilihan intervensi.
2. Berikan lingkungan tenang dan batasi 2. Menurunkan stres dan rangsangan
pengunjung selama fase akut sesuai berlebihan, meningkatkan istirahat.
indikasi.
3. Jelaskna pentingnya istirahat dalam rencana3. Tirah baring dapat menurunkan kebutuhan
pengobatan dan perlunya keseimbangan metabolik, menghemat energi untuk
aktivitas dan istirahat. penyembuhan. Pembatasan aktivitas
ditentukan dengan respons individual pasien
terhadap aktivitas dan perbaikan kegagalan
pernapasan.
4. Meminimalkan kelelahan dan membantu
4. Bantu aktivitas perawatan diri yang keseimbangan suplai dan kebutuhan
diperlukan. Berikan kemajuan peningkatan oksigen.
aktivitas selama fase penyembuhan.
Discharge Planning
Menururt Brunner dan Suddarth (2010) ada beberapa hal penting yang harus
diinformasikan kepada klien untuk rencana pemulangan, yaitu :
1. Anjurkan klien agar tidak terlibat dalam segala bentuk aktivitas yang menyebabkan
keletihan (mengangkat benda berat).
2. Anjurkan agar menghindari perjalanan dengan motor dalam jarak jauh dan latihan
berat, yang dapat meningkatkan kecenderungan perdarahan.
3. Klien diingatkan untuk minum cukup cairan untuk mencegah dehidrasi, yang
meningkatkan kecenderungan terbentuknya bekuan darah dan menyumbat aliran
urine.
4. Anjurkan untuk menghindari makanan yang pedas, alkohol dan kopi yang dapat
menyebabkan ketidaknyamanan.
Pada tahun 2016 Dwi Wiyono melakukan penelitian tentang “Efektivitas Bladder
Training terhadap Retensi Urine pada pasien Post Operasi BPH Diruang Mawar RSUD Dr
Soehadi Prijonegoro Sragen”
DAFTAR PUSTAKA
Brunner and Suddarth. (2010). Text Book Of Medical Surgical Nursing 12th Edition.
Hal 1370
Martini, F. (2010). Fundamentals of anatomy & physiology 9th Edition. United States:
Person. Hal 957