Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENDAHULUAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH 1

PADA NY.D DENGAN APPENDICITIS AKUT


DI RUANG AT TIN RS PKU MUHAMMADIYAH GAMPING

Keperawatan Stase Medikal Bedah Program Studi DIII Keperawatan


Dosen Pembimbing : Romadhani TP.,S.Kep.Ns.,M.Kep

DI SUSUN OLEH

NAMA : LINTANG FATUROHMAH

NIM : 202102063

RUANG : AT-TIN RS PKU MUHAMMADIYAH GAMPING

PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH


PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KLATEN
2023
BAB l

1. Pengertian

Apendisitis akut merupakan salah satu kegawatan bedah yang paling sering, dan apendiktomi
termasuk operasi darurat yang paling sering dilakukan di seluruh dunia (Tampi, Sapan, &
Sumangkut, 2016).

Berdasarkan data dari World Health Organization/WHO tahun 2010. angka mortalitas akibat
apendisitis adalah 22.000 jiwa dimana populasi laki- laki lebih banyak dibandingkan dengan
perempuan dengan angka 12.000 jiwa pada laki-laki dan sekitar 10.000 jiwa pada perempuan
(Faridah, 2015). Di Indonesia sendiri apendisitis masuk ke dalam peringkat 2 dalam 10 besar
penyakit tidak menular penyebab rawat inap pada tahun 2010 setelah penyakit hipertensi
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia/Kemenkes RI, 2012). Kasus Apendisitis akut
mampu berkembang menjadi perforasi apendiks yang nantinya dapat mengakibatkan 67%
kematian (Yulianto dkk., 2016).

2. Etiologi
Penyebab terjadinya Apendisitis sebenarnya masih dalam perdebatan, namun diyakini bahwa
penyebab utama terjadinya Apendisitis adalah sumbatan di lumen apendiks. Sumbatan ini
dapat disebabkan oleh fekalit, hyperplasia kelenjar limfoid, benda asing. parasit dan tumor
maupun keganasan Tersumbatnya apendiks menyebabkan penumpukan cairan di dalam
lumen, karena kapasitasnya yang kecil maka terjadi peningkatan tekanan intraluminal dan
dilatasi dengan cepat (Bhangu et al.. 2015; Petroianu dan Barroso, 2016).

Saat tekanan intraluminal mencapai lebih dari 85 mmHg, terjadi peningkatan tekanan pada
vena sedangkan aliran dari arteri masih berlanjut. Hal ini mengakibatkan gangguan pada
aliran vaskular dan limfatik yang menyebabkan pembengkakan dan iskemia pada apendiks.
Mukosa mengalami hipoksia dan mulai membusuk, mengakibatkan invasi dari bakteri
intraluminal pada dinding apendiks. Bakteri yang biasa: mengakibatkan Apendisitis adalah
Escherichia coli (76%), Enteroccocus

3. Tanda dan Gejala


Apendisitis sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh radang mendadak umbai
cacing yang memberikan tanda setempat, disertai maupun tidak disertai rangsang peritoneum
lokal. Gejala klasik apendisitis ialah nyeri samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri
viseral di daerah epigastrum di sekitar umbilikus. Keluhan ini sering disertai mual dan
kadang ada muntah dan umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan
berpindah ke kanan bawah ke titik Mc. Burney dan nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih
jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatik setempat (Sjamshidayat & de Jong, 2012).

Nyeri kuadran bawah terasa dan biasanya disertai oleh demam ringan, mual, dan hilangnya
nafsu makan, dan selain itu nyeri tekan lepas juga sering dijumpai pada klien dengan
apendisitis. Nyeri dapat dirasakan saat defekasi atau pun saat berkemih Nyeri saat defekasi
menunjukkan bahwa ujung apendik berada di dekat rektum, sedangkan nyeri saat berkemih
menunjukkan bahwa letak ujung apendik dekat dengan kandung kemihh atau ureter
(Smeltzer & Bare, 2012).

Apendiks yang terletak di rongga pelvis, bila meradang, dapat menimbulkan gejala dantanda
rangsangan sigmoid atau rektum sehingga peristaltis meningkat, pengosongan rektum akan
menjadi lebih cepat dan berulang-ulang. Jika apendiks tadi menempel ke kandung kemih
dapat terjadi peningkatan frekuensi kencing karena rangsangan dindingnya (Sjamshidayat &
de Jong, 2012).

4. Patofisiologi
Patofisiologi dari apendisitis dimulai dari terinflamasi dan mengalami edema sebagai akibat
terlipat atau tersumbat, kemungkinan disebabkan oleh fekalit (massa keras dari feses), tumor,
atau beda asing. Proses inflamasi ini menyebabkan peningkatan tekanan intraluminal,
sehingga menimbulkan nyeri abdomen dan menyebar secara hebat dan progresif dalam
beberapa jam terlokalisasi di kuadran kanan bawah abdomen. Hal tersebut menyebabkan
apendik yang terinflamasi tersebut berisi pus (Smeltzer & Bare, 2012).

Menurut bagian bedah staf pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (2012),
patofisiologi apendisitis mula-mula disebabkan oleh sumbatan lumen. Obstruksi lumen
apendiks disebabkan oleh penyempitan lumen akibat hiperplasia jaringan limfoid submukosa.
Feses yang terperangkap dalam lumen apendiks mengalami penyerapan air dan terbentuklah
fekolit yang akhirnya menjadi penyebab sumbatan

tersebut sumbatan lumen tersebut menyebabkan keluhan sakit disekitar umbilikus dan
epigastrium, mual dan muntah. Proses selanjutnya adalah invasi kuman Entamoeba Coli dan
spesies bakteroides dari lumen ke lapisan mukosa, submukosa, lapisan muskularis dan
akhirnya ke peritoneum parietalis kemudian terjadilah peritonitis lokal kanan bawah, hal ini
menyebabkan suhu tubuh mulai naik. Gangren dinding apendiks disebabkan oleh oklusi
pembuluh darah dinding apendiks akibat distensi lumen apendiks. Bila tekanan intra lumen
meningkat maka akan terjadi perforasi yang ditandai dengan kenaikan suhu tubuh dan
menetap tinggi. Tahapan peradangan apendisitis dimulai dari apendisitis akuta yakni
sederhana tanpa perforasi, kemudian menuju apendisitis akuta perforata yani apendisitis
gangrenosa.

5. Pemeriksaan Diagnostik

Sampai saat ini penegakkan diagnosis untuk Apendisitis akut. masih menjadi sebuah
tantangan tersendiri bahkan bagi ahli dan professional sekalipun. Hal ini karena tanda dan
gejala yang terjadi pada pasien tidak spesifik dan memiliki banyak diagnosis banding yang
harus disingkirkan, sedangkan komplikasi yang dihadapi pun tidak sembarangan.
Pemeriksaan yang dilakukan haruslah kompleks untuk dapat
menghasilkan akurasi diagnosis yang baik sehingga angka negatif apendiktomi dapat
diminimalisir (Petroianu, 2012: Shogilev et al., 2014). 1. Anamnesis

Pasien Apendisitis akut biasanya datang dengan keluhan nyeri pada perut bagian kanan
bawah. Nyeri ini biasanya digambarkan sebagia nyeri kolik di daerah periumbikal yang
nyerinya dirasa intensif pada 24 jam pertama, kemudian menjadi nyeri tajam dan konstan
yang berpindah ke daerah fosa iliaka kanan. Anamnesis dilakukan untuk menanyakan adanya
gejala lain yang menyertai seperti adanya mual, muntah, konstipasi, penurunan nafsu makan,
dan demam. Namun gejala gejala ini tidak spesifik karena dapat terjadi pada gangguan lain
dari abdomen (Petroianu, 2. Pemeriksaan Fisik

Lokasi dari apendiks sangan bervariasi pada tiap individu, oleh karena itu tanda dan gejala
Apendisitis biasa bisa muncul atau tidak pada individu yang berbeda. Pemeriksaan fisik
digunakan untuk memastikan adanya nyeri yang ditimbulkan oleh apendisitis pada berbagai
posisi tubuh tertentu.

Berikut ini merupakan beberapa pemeriksaan fisik yang dilakukan untuk menunjang
diagnosis apendisitis:

a) Rovsing's sign positif bila terdapat nyeri pada perut kuadran kanan bawah saat dilakukan
penekana pada perut kuadran kiri

bawah.

b) Blumberg's sign: positif bila terdapat nyeri pada perut kuadran kanan bawah saat tekanan
pada perut kuadran kiri bawah dilepas. c) Psoas sign positif bila terdapat nyeri pada kuadran
kanan bawah yang muncul saat dilakukan gerakan ekstensi paha kanan pasien, meregangkan
otot iliopsoas dengan pasien dalam posisi dekubitus lateral kiri, ini mungkin menandakan
lokasi retrocaecal dari apendisitis.
d) Obturator sign positif bila terdapat nyeri pada kuadran kanan bawah yang muncul saat
dilakukan rotasi internal pasif dari paha

kanan yang dilipat, ini mungkin menandakan lokasi apendisitis yang dekat m.obturatorius
(Barlow et al., 2013; Petroianu, 2012). 3. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium untuk Apendisitis terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan
pemeriksaan protein reaktif. Pada pemeriksaan darah lengkap yang dijadikan penanda untuk
apendisitis akut adalah leukositosis dan neutrofilia. Peningkatan sel darah putih lebih dari
10.000/ml menandakan Apendisitis sederhana, sedangkan peningkatan lebih dari 18.000/ml
menandakan Apendisitis dengan perforasi. Peningkatan C-reactive protein (CRP) biasanya
terjadi pada Apendisitis yang gejalanya telah timbul lebih dari 12 jam, Dari kombinasi ketiga
temuan tersebut dapat meningkatkan sensitifitas diagnosis untuk Apendisitis akut sebesar
97% 100% (Petroianu, 2012; Sevine, 2016).

4. Pemeriksaan Radiologi

a) Apendikogram Pemeriksaan apendikogram dilakukan dengan meminta pasien untuk


meminum cairan kontras kemudian dilakukan pengambilan hasil X-ray. Prosedur ini cukup
invasif dan radiatif sehingga membutuhkan indikasi yang kuat untuk penggunaannya.
Kecurigaan terjadinya Apendisitis pada pemeriksaan ini adalah jika tidak terdapat pengisian
dari cairan kontras atau pengisian sebagian, ditemukan gambaran lumen yang ireguler, dan
adanya edema mukosa lokal pada ujung caccum. Sebuah penelitian mengaatakan bahwa
apendikogram memiliki sensitifitas sebesar 83% (Kusuma et al., 2015; Soetikno, 2011). b)
USG

Alat pencitraan yang paling sering digunakan sebagai penunjang diagnosisi Apendisitis
adalah USG, walaupun akurasinya lebih rendah dibanding CT-Scan dan MRI. Ultrasonografi
menjadi pilihan utama karena penggunaanya yang mudah, murah, dan tidak invasif.
Sayangnya tingkat akurasi USG

6. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan

Peritonitis umum yang terjadi dapat dilakukan operasi untuk menutup asal perforasi dan
tindakan penunjang adalah tirah baring dalam posisi semi fowler, pemasangan NGT, puasa,
koreksi cairan dan elektrolit, pemberian penenang, pemberian antibiotik berspektrum luas
dan dilanjutkan antibiotik yang sesuai hasil kultur, tranfusi untuk mengatasi anemia, dan
penanganan syok septik secara intensif. Apabila terbentuk abses apendik, terapi dini yang
dapat diberikan adalah kombinasi antibiotik (ampisilin, gentamisin, metronidazol, atau
klindamisin). Menggunakan sediaan ini, maka abses akan menghilang dan dapat dilakukan
apendektomi 6-12 minggu kemudian. Pada abses yang tetap progresif dan abses yang
menonjol ke arah rektum atau vagina dengan fluktuasi positif harus segera dilakukan
drainase (Mansjoer, 2012).

7. Komplikasi
Komplikasi terjadi akibat keterlambatan penanganan appendisitis. Adapun jenis komplikasi
menurut (Sulekale, 2016) adalah:
1. Abses
Abses merupakan peradangan apendiks yang berisi pus. Teraba massa lunak di kuadran
kanan hawah atau daerah pelvis. Massa ini mulamula berupa flegmon dan berkembang
menjadi rongga yang mengandung pus. Hal ini terjadi apabila appendisitis gangren atau
mikroperforasi ditutupi oleh omentum. Operasi appendektomi untuk kondisi abses apendiks
dapat dilakukan secara dini (appendektomi dini) maupun tertunda (appendektomi interval).
Appendektomi dini merupakan appendektomi yang dilakukan segera atau beberapa hari
setelah kedatangan klien di rumah sakit. Sedangkan appendektomi interval merupakan
appendektomi yang dilakukan setelah terapi konservatif awal, berupa pemberian antibiotika
intravena selama beberapa minggu.

2. Perforasi
Perforasi adalah pecahnya apendiks yang berisi pus sehingga bakteri menyebar ke rongga
perut. Perforasi jarang terjadi dalam 12 jam pertama sejak awal sakit, tetapi meningkat tajam
sesudah 24 jam.Perforasi dapat diketahui praoperatif pada 70% kasus dengan gambaran
klinis yang timbul lebih dari 36 jam sejak sakit, panas lebih dari 38.5° C, tampak toksik,
nyeri tekan seluruh perut, dan leukositosis terutama Polymorphonuclear (PMN). Perforasi
baik berupa perforasi bebas maupun mikroperforasi dapat menyebabkan terjadinya
peritonitis. Perforasi memerlukan pertolongan medis segera untuk membatasi pergerakan
lebih lanjut atau kebocoran dari isi lambung ke rongga perut. Mengatasi peritonitis dapat
dilakukan oprasi untuk memperbaiki perforasi, mengatasi sumber infeksi, atau dalam
beberapa kasus mengangkat bagian dari organ yang terpengaruh 3. Peritonitis

Peritonitis adalah peradangan pada peritoneum. Bila infeksi tersebar luas pada permukaan
peritoneum dapat menyebabkan timbulnya peritonitis umum. Aktivitas peristaltik berkurang
sampai timbul ileus paralitik, usus meregang, dan hilangnya cairan elektrolit mengakibatkan
dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi, dan oliguria.
Peritonitis disertai rasa sakit perut yang semakin hebat, muntah, nyeri abdomen, demam, dan
leukositosis. Penderita peritonitis akan disarankan untuk menjalani rawat inap di rumah sakit.
Beberapa penanganan bagi penderita peritonitis adalah:
1) Pemberian obat-obatan. Penderita akan diberikan antibiotik suntik atau obat antijamur
bila dicurigai penyebabnya adalah infeksi jamur, untuk mengobati serta mencegah infeksi
menyebar ke seluruh tubuh. Jangka waktu pengobatan akan disesuaikan dengan tingkat
keparahan yang dialami klien.

2) Pembedahan. Tindakan pembedahan dilakukan untuk membuang jaringan yang terinfeksi


atau menutup robekan yang terjadi pada organ dalam.
8. Pathway
9. Proses keperawatan
Pengkajian primer

1) Airway: penilaian akan kepatenan jalan napas, meliputi pemeriksaan mengenai

adanya obstruksi jalan napas, adanya benda asing. Pada klien yang dapat berbicara dapat
dianggap jalan napas bersih. Dilakukan pula pengkajian adanya suara napas tambahan seperti
snoring. Namun pada kasus apendiksitis biasanya tidak terjadi gangguan pada system
pernafasan.
2) Breathing kaji frekuensi napas, apakah ada penggunaan otot bantu pernapasan, retraksi
dinding dada, adanya sesak napas. Palpasi pengembanganparu, auskultasi suara napas, kaji
adanya suara napas tambahan seperti ronchi,
wheezing, dan kaji adanya trauma pada dada.

3) Circulation: dilakukan pengkajian tentang volume darah dan cardiac output serta adanya
perdarahan. Pengkajian juga meliputi status hemodinamik, warna kulit, nadi

4) Disability: kaji tingkat kesadaran dan GCS. Penurunan tingkat kesadaran


merupakan tanda ekstrim pertama pada pasien yang membutuhkan pertolongan di ruang
intensive

5) Exposure: pada saat stabil dapat ditanyakan riwayat dan pemeriksaan lainnya.
b. Pengkajian sekunder
Pengkajian sekunder meliputi anamnesis dan pemeriksaan fisik sebagai berikut:

2) Riwayat kesehatan masa lalu biasanya berhubungan dengan masalah kesehatan klien
sekarang 3) Diet: biasanya pasien mempunyai kebiasaan makan makanan rendah serat

4) Pemeriksaan Fisik:

a) Keadaan umum klien biasanya tampak sakit ringan sedang berat


b) TTV: tanda-tanda vital biasanya akan mengalami peningkatan c) Head to toe: pada
pemeriksaan abdomen, kemungkinan adanya distensi abdomen, nyeri tekan/nyeri lepas,
kekakuan, penurunan atau tidak ada bising usus. Pada pemeriksaan rektal toucher, dapat
teraba benjolan, dan penderita merasa nyeri pada daerah prolitotomi. 5) Aktivitas/istirahat:
biasanya mengalami malaise
6) Eliminasi dapat mengalami konstipasi pada awitan awal, diare kadang- kadang
7) Nyeri kenyamanan umumnya mengalami nyeri abdomen sekitar epigastrium
dan umbilicus, yang meningkat berat dan terlokalisasi pada titik Mc. Burney.

meningkat karena berjalan, bersin, batuk, atau napas dalam. Nyeri pada
kuadran kanan bawah karena posisi ekstensi kaki kanan posisi duduk tegak.
8) Data psikologis klien nampak gelisah

2. Diagnosa Keperawtan
a) Nyeri akut b.d agen pecedra fisik
b) Hipertermia b.d proses penyakit
c) Ansietas b.d kekhawatiran mengalami kegagalan
d) Risiko infeksi b.d dibbuktikan oleh tindakan procedure invansive
e) Nausea b.d efek agen farmakologis

3. Intervensi

Dx.Kep Tujuan dan Kriteria Intervensi


Hasil

Nyeri akut Setelah dilakukan Observasi :


berhubungan tindakan keperawatan 1. Identifikasi lokasi, karakteristik,
dengan agen 3x24 jam diharapkan durasi, frekuensi, kualitas,
cedera fisik nyeri berkurang atau intensitas nyeri
hilang dengan kriteria 2. Identifikasi skala nyeri
hasil : 3. Identifikasi respon nyeri non
1. Mampu mengontrol verbal
nyeri ( tahu penyebab 4. Identifikasi faktor yang
nyeri, mampu memperberat dan memperingan
menggunakan tehnik nyeri
nonfarmakologi untuk 5. Identifikasi faktor yang
mengurangi nyeri ) memeperberat dan memperingan
2. TTV dalam batas nyeri
normal Terapeutik
3. Pasien tampak rileks. 1. Berikan tekhnik non farmakologis
4. kaji tingkat nyeri untuk mengurangi rasa nyeri
dengan standar PQRST ( mis.kompres hangat/dingin)
2. Fasilitas istirahat dan tidur
3. Pertimbangan jenis dan sumber
nyeri dan pemilihan strategi
meredakan nyeri
Edukasi
1. Jelaskan penyebab, perioe, dan
pemicu nyeri
2. Jelaskan strategi meredakan nyeri
3. Anjurkan monitor nyeri secara
mandiri
4. Ajarkan tekhnik non
farmakologis untuk mengurangi
rasa nyeri
,

2. Hipertermia Setelah dilakukan Manajemen hipertermi


b.d proses tindakan keperawtan 3x24
penyakit jam di harapkan Observasi
hipertermia berkurang 4. Identifikasi penyebab hipertermi
atau hilang dengan kriteria (mis. Dehidrasi, terpapar
hasil : lingkungan panas, penggunaan
inkubator)
1. Tidak menggigil 5. Monitor komplikasi akibat
2. Warna kulit normal hipertermia
3. Tidak kejang 6. Monitor suhu tubuh, tekanan
4. Suhu tubuh ( 36,5C - darah, frekuensi pernafasan dan
37,5C) nadi.
7. Monitor warana dan suhu tubuh

Terapeutik

1 . Berikan cairan oral


2. ganti pakian dan linen yang besah

Edukasi
1.Anjurkan tirah baring

Kolaborasi
1. kolaborasi pemberian cairan dan
elektrolit intravena
Ansietas
b.d
Kekhawatir Setelah di lakukan Reduksi Ansietas
an tindakan keperawtan 3x24
mengalami jam ansietas berkurang Observasi
kegagalan atau hilang dengan kriteria 1. Monitor tanda tanda ansietas
hasil : 2. Monitor Tanda tanda Vital
1. Tidak tampak Terapeutik
wajah bingung 1. Temani pasien untuk
mengurangi kecemasan, jika
2. Tidak gelisah
memungkinkan
3. Tidak mengalami
2. Gunakan pendekatan yang
tremor meyakinkan
4. Tanda –tanda vital Edukasi
dalam batas 1. Latih kagiatan pengalihan
normal ( TD : 90 - untuk mengurangi ketegangan
130/ 60-90 mmHg, 2. Latih teknik relkasasi
N: 60-100x/menit, Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian obat
RR: 16-20x/menit)
ansietas jika perlu

Setlah di lakukan tindakan Observasi


keperawtan 3x24 jam
Risiko infeksi berkurang 1.Monitor tanda dan gejala infeksi lokal
Risiko infeksi b.d atau hilang dengan kriteria dan sistematik
prosedur
invasif hasil : Terapeutik
1. Tidak ada demam 1. Berikan perawtan kulit pada area
2. Tidak ada kemerahan edema.
3. Tidak ada nyeri 2. Cuci tangan seblum dan sesudah
4. Tidak bengkak kontak dengan pasien dengan
5. Tidak ada cairan lingkungan
berbau busuk 3. Pertahankan teknik aseptik pada
6. . Tanda –tanda vital pasien berisiko tinggi.
dalam batas normal Edukasi
( TD : 90 -130/ 60-90 1. Anjurkan meningkatkan asupan
mmHg, N: nutrisi
60-100x/menit, RR: 2. Anjurkan meningkatakan asupan
16-20x/menit) cairan

Nauesa b.d
efek agen
farmakolog
i
Observasi
Setelah di lakukan
1.identifikasi pengalaman mual
tindakan keperawatan 2.identifikasi dampak mual terhadap
3x24 jam neuesa kualitas (mis. Nafsu makan, aktivitas,
berkurang atau hilang kinerja, tanggung jawab peran, dan tidur
dengan kriteria hasil : 3. monitor mual mis ( frekuensi, durasi
1.Tidak ada perasaan dan tingkat keparahan
muntah ingin muntah 4. monitor asupan nutrisi dan kalori
2. tidak ada perasaan asam Terapeutik
di mulut 1.Berikan makan dan dalam jumlah kecil
3. nafsu makan baik dan menarik
4. tidak ada muntah
Edukasi
Ajarkan penggunaan teknik
nonfarmakologis untuk mengatasi mual
( mis. Biofeedback)

Kolaborasi
1.kolaborasi pemberian antimetik, jika
perlu.

DAFTAR PUSTAKA

Doengoes, E.Marilyn, 2000, Rencana Asuhan Keperawatan (Edisi 3). Jakarta: EGC
Elizabeth, J, Corwin, 2009. Biku saku Fatofisiologi Jakarta: EGC
Mansjoer, A. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius FKUI
Smeltzer & Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner danSueldarth
(Edisi 8), Jakarta: EGC Suratun. 2010. Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem
Gastrointestinal cet. I. Jakarta: Trans Info Media
Tim Pokja SDKI DPP PPNI 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Definisi
dan Indikator Diagnostik. Jakarta: DPP Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia Definisi
dan Tindakan Keperawatan. Jakarta: DPP Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
Tim Pokja SLKI DPP PPNI 2018. Standar Luaran Keperawatan Indonesia Definisi dan
Kriteria Hasil Keperawatan. Jakarta: DPP Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai