Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN PENDAHULUAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH 1

PADA NY.S DENGAN EFFUSI PLEURA DI RUANG AT TIN RS PKU


MUHAMMADIYAH GAMPING

Keperawatan Stase Medikal Bedah Program Studi DIII Keperawatan


Dosen Pembimbing : Romadhani TP.,S.Kep.Ns.,M.Kep

DI SUSUN OLEH

NAMA : Mulia Abdillah Sunarya

NIM : 202102066

RUANG : AT-TIN RS PKU MUHAMMADIYAH GAMPING

PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH


PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KLATEN
2023
BAB l

Tinjauan Teori

1. Pengertian

Efusi pleura adalah pengumpulan cairan dalam ruang pleura yang

terletak diantara permukaan visceral dan parietal, proses penyakit primer

jarang terjadi tetapi biasanya merupakan penyakit sekunder terhadap

penyakit lain (Nurarif et al, 2015).

Efusi pleura adalah kondisi paru bila terdapat kehadiran dan

peningkatan cairan yang luar biasa di antara ruang pleura. Pleura adalah

selaput tipis yang melapisi permukaan paru-paru dan bagian dalam dinding

dada di luar paru-paru. Di pleura, cairan terakumulasi di ruang antara

lapisan pleura. Biasanya, jumlah cairan yang tidak terdeteksi hadir dalam

ruang pleura yang memungkinkan paru-paru untuk bergerak dengan lancar

dalam rongga dada selama pernapasan (Philip, 2017).

Efusi pleura adalah pengumpulan cairan dalam ruang pleura yang

terletak diantara permukaan viceralis dan parietalis. Proses penyakit primer

jarang terjadi tetapi biasanya merupakan penyakit sekunder terhadap

penyakit lain (Nurarif & Kusuma, 2015).

Efusi pleura adalah kondisi dimana udara atau cairan berkumpul

dirongga pleura yang dapat menyebabkan paru kolaps sebagian atau

seluruhnya (Nair & Peate, 2015).


2. Etiologi

Efusi pleura adalah akumulasi cairan pleura akibat peningkatan

kecepatan produksi cairan, penurunan kecepatan pengeluaran cairan atau

keduanya, ini disebabkan oleh satu dari lima mekanisme berikut (Morton 2012)

a. Peningkatan tekanan pada kapiler sub pleura atau limfatik

b. Peningkatan permeabilitas kapiler

c. Penurunan tekanan osmotic koloid darah

d. Peningkatan tekakanan negative intrapleura

e. Kerusakan drainase limfatik ruang pleura

1) Penyebab efusi pleura:

a) Infeksi

(1) Tuberkulosis

(2) Pneumonitis

(3) Abses paru

(4) Perforasi esophagus

(5) Abses sufrenik

b) Non infeksi

(1) Karsinoma paru

(2) Karsinoma pleura: primer, sekunder

(3) Karsinoma mediastinum

(4) Tumor ovarium

(5) Bendungan jantung: gagal jantung, perikarditiskonstriktiva


(6) Gagal hati

(7) Gagal ginjal

(8) Hipotiroidisme

(9) Kilotoraks

(10) Emboli paru.

Berdasarkan jenis cairan yang terbentuk, cairan pleura dibagi lagi

menjadi transudat, eksudat dan hemoragi.

a. Transudat dapat disebabkan oleh kegagalan jantung kongesif (gagal

jantung kiri), sindrom nefrotik, asites (karena sirosishati), sindrom vena

kava superior, tumor dan sindrom meigs.

b. Eksudat disebabkan oleh infeksi, TB, pneumonia, tumor, infark paru,

radiasi dan penyakit kolagen.

c. Efusi hemoragi dapat disebabkan oleh adanya tumor, trauma, infark paru

dan tuberculosis

3. Tanda dan Gejala

Gejala-gejala timbul jika cairan bersifat inflamatoris atau jika mekanika

paru terganggu. klien dengan efusi pleura biasanya akan mengalami

keluhan:

a. Batuk

b. Sesak napas

c. Nyeri pleuritis

d. Rasa berat pada dada

e. Berat badan menurun

f. Adanya gejala-gejala penyakit penyebab seperti demam, mengigil, dam

nyeri dada pleuritis (pneumonia), panas tinggi (kokus), subfebril


(tuberkolosis) banyak keringat, batuk,

g. Deviasi trachea menjauhi tempat yang sakit dapat terjadi jika terjadi

penumpukan cairan pleural yang signifikan

h. Pada pemeriksaan fisik

-Inflamasi dapat terjadi friction rub

-Atelektaksis kompresif (kolaps panu parsial) dapat menyebabkan bunyi

napas bronkus.

-Pemeriksaan fisik dalam keadaan berbaring dan duduk akan berlainan

karena cairan akan berpindah tempat. Bagian yang sakit akan kurang

bergerak dalam pernapasan.

-Focal fremitus melemah pada perkussi didapati pekak, dalam keadaan

duduk permukaan cairan membentuk garis melengkung (garis ellis

damoiseu)

-Didapati segitiga garland yaitu daerah yang diperkussi redup timpani

dibagian atas garis ellis damoiseu. Segitiga grocco-rochfusz, yaitu

daerah pekak karena cairan mendorong mediastinum kesisi lain. Pada

auskulutasi daerah ini didapati vesikuler melemah dengan ronchi.

4. Patofisiologi

Dalam keadaan normal tidak ada rongga kosong antara pleura parietalis

dan pleura viceralis, karena di antara pleura tersebut terdapat cairan antara

10 cc - 20 cc yang merupakan lapisan tipis serosa dan selalu bergerak

teratur. Cairan yang sedikit ini merupakan pelumas antara kedua pleura,

sehingga pleura tersebut mudah bergeser satu sama lain. Di ketahui bahwa

cairan di produksi oleh pleura parietalis dan selanjutnya di absorbsi

tersebut dapat terjadi karena adanya tekanan hidrostatik pada pleura

parietalis dan tekanan osmotic koloid pada pleura viceralis. Cairan

kebanyakan diabsorbsi oleh system limfatik dan hanya sebagian kecil


diabsorbsi oleh system kapiler pulmonal. Hal yang memudahkan

penyerapan cairan yang pada pleura viscelaris adalah terdapatnya banyak

mikrovili disekitar sel-sel mesofelial. Jumlah cairan dalam rongga pleura

tetap karena adanya keseimbangan antara produksi dan absorbsi. Keadaan

ini bisa terjadi karena adanya tekanan hidrostatik dan tekanan osmotic

koloid. Keseimbangan tersebut dapat terganggu oleh beberapa hal, salah

satunya adalah infeksi tuberkulosa paru .

Terjadi infeksi tuberkulosa paru, yang pertama basil Mikobakterium

tuberkulosa masuk melalui saluran nafas menuju alveoli, terjadilah infeksi

primer. Dari infeksi primer ini akan timbul peradangan saluran getah

bening menuju hilus (Limfangitis local) dan juga diikuti dengan

pembesaran kelenjar getah bening hilus (limphadinitis regional).

Peradangan pada saluran getah bening akan mempengaruhi permebilitas

membran. Permebilitas membran akan meningkat yang akhirnya dapat

menimbulkan akumulasi cairan dalam rongga pleura. Kebanyakan

terjadinya efusi pleura akibat dari tuberkulosa paru melalui focus

subpleura yang robek atau melalui aliran getah bening. Sebab lain dapat

juga dari robekkan kearah saluran getah bening yang menuju rongga

pleura, iga atau columna vetebralis.

Adapun bentuk cairan efusi akibat tuberkolusa paru adalah merupakan

eksudat, yaitu berisi protein yang terdapat pada cairan pleura tersebut

karena kegagalan aliran protein getah bening. Cairan ini biasanya serous,

kadang-kadang bisa juga hemarogik. Dalam setiap ml cairan pleura bias

mengandung leukosit antara 500-2000. Mula-mula yang dominan adalah

sel-sel polimorfonuklear, tapi kemudian sel limfosit, Cairan efusi sangat

sedikit mengandung kuman tubukolusa. Timbulnya cairan efusi bukanlah

karena adanya bakteri tubukolosis, tapi karena akibat adanya efusi pleura

dapat menimbulkan beberapa perubahan fisik antara lain: Irama


pernapasan tidak teratur, frekuensi pernapasan meningkat, pergerakan

dada asimetris, dada yang lebih cembung, fremitus raba melemah, perkusi

redup. Selain hal - hal diatas ada perubahan lain yang ditimbulkan oleh

efusi pleura yang diakibatkan infeksi tuberkolosa paru yaitu peningkatan

suhu, batuk dan berat badan menurun (Nair & Peate, 2015).

5. Pemeriksaan Diagnostik

a. Rontgen dada, biasanya dilakukan untuk memastikan adanya efusi

pleura, dimana hasil pemeriksaan akan menunjukkan adanya cairan.

b. CT scan dada. CT scan bisa memperlihatkan paru-paru dan cairanefusi

dengan lebih jelas, serta bisa menunjukkan adanya pneumonia, abses paru

atau tumor.

c. USG dada, bisa membantu mengidentifikasi adanya akumulasi cairan

dalam jumlah kecil.

d. Torakosentesis, yaitu tindakan untuk mengambil contoh cairan untuk

diperiksa menggunakan jarum. Pemeriksaan analisa cairan pleura bisa

membantu untuk menentukan penyebabnya.

e. Biopsi. Jika dengan torakosentesis tidak dapat ditentukan penyebabnya,

maka dilakukan biopsi, dimana contoh lapisan pleura sebelah luar diambil

untuk dianalisa.

f. Bronkoskopi, pemeriksaan untuk melihat jalan nafas secara langsung

untuk membantu menemukan penyebab efusi pleura.

g. Torakotomi, biasanya dilakukan untuk membantu menemukan

penyebab efusi pleura, yaitu dengan pembedahan untuk membuka rongga

dada. Namun, pada sekitar 20% penderita, meskipun telah dilakukan

pemeriksaan menyeluruh, penyebab dari efusi pleura tetap tidak dapat

ditentukan.
6. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pada efusi pleura yaitu: (Nurarif et al, 2015)

a. Tirah baring

Tirah baring bertujuan untuk menurunkan kebutuhan oksigen karena

peningkatan aktifitas akan meningkatkan kebutuhan oksigen sehingga

dispneu akan semakin meningkat pula.

b. Thoraksentesis

Drainase cairan jika efusi pleura menimbulkan gejala subjektif seperti

nyeri,dispneu, dan lain lain. Cairan efusi sebanyak 1 - 1,5 liter perlu

dikeluarkan untuk mencegah meningkatnya edema paru. Jika jumlah

cairan efusi pleura lebih banyak maka pengeluaran cairan berikutnya baru

dapat dikalkukan 1 jam kemudian.

c. Antibiotic

Pemberian antibiotik dilakukan apabila terbukti terdapat adanya infeksi.

Antibiotik diberi sesuai hasil kultur kuman.

d. Pleurodesis

Pada efusi karena keganasan dan efusi rekuren lain, diberi obat melalui

selang interkostalis untuk melekatkan kedua lapisan pleura dan mencegah

cairan terakumulasi kembali.

e. Water seal drainage (WSD)

Water seal drainage (WSD) adalah suatu system drainase yang

menggunakan water seal untuk mengalirkan udara atau cairan dari cavum

pleura atau rongga pleura.

7. Komplikasi

a. Fibrotoraks

Efusi pleura yang berupa eksudat yang tidak ditangani dengan drainase

yang baik akan terjadi perlekatan fibrosa antara pleura parietalis dan
pleura viseralis. Keadaan ini disebut dengan fibrotoraks. Jika

fibrotoraks meluas dapat menimbulkan hambatan mekanis yang berat

pada jaringan

- jaringan yang berada dibawahnya. Pembedahan pengupasan

(dekortikasi) perlu dilakukan untuk memisahkan membran - membran

pleura tersebut.

b. Atalektasis

lektasis adalah pengembangan paru yang tidak sempurna yang

disebabkan oleh penekanan akibat efusi pleura.

c. Fibrosis paru

Fibrosis paru merupakan keadaan patologis dimana terdapat jaringan

ikat paru dalam jumlah yang berlebihan. Fibrosis timbul akibat cara

perbaikan jaringan sebagai kelanjutan suatu proses penyakit paru yang

menimbulkan peradangan. Pada efusi pleura, atalektasis yang

berkepanjangan dapat menyebabkan penggantian jaringan paru yang

terserang dengan jaringan fibrosis.

d. Kolaps Paru

Pada efusi pleura, atalektasis tekanan yang diakibatkan oleh tekanan

ektrinsik pada sebagian/semua bagian paru akan mendorong udara

keluar dan mengakibatkan kolaps paru.

e. Empiema

Kumpulan nanah dalam rongga antara paru-paru dan membran yang

mengelilinginya (rongga pleura). Empiema disebabkan oleh infeksi

yang menyebar dari paru-paru dan menyebabkan akumulasi nanah

dalam rongga pleura. Cairan yang terinfeksi dapat mencapai satu gelas

bir atau lebih, yang menyebabkan tekanan pada paru-paru, sesak napas

dan rasa sakit (Morton, 2012).


8. Pathway

9. Proses Keperawatan
a. Pengkajian

2.1 Pengkajian
2.1.1 Riwayat Keperawatan
Pengkajian pada efusi pleura ini mengacu pada 11 pola Gordon
a. Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan
- Data subjektif : riwayat kebiasaan penggunaan obat-obatan, merokok,
minum alcohol.
- Data objektif : ada obat-obatan
b. Pola nutrisi dan metabolik
- d ata subjektif : kebiasaan makan dan minum, terjadinya penurunan nafsu
makan
- data objektif : turgor kulit jelek, mukosa kering dan penurunan berat badan
c. Pola eliminasi
- data subjektif : penurunan frekuensi BAB, penurunan peristaltik usus,
otot-otot traktus digestivusdan peningkatan BAK
- data objektif : perubahan jumlah urine yang meningkat
d. Pola aktifitas dan latihan
- data subjektif : sesak napas, kelelahan, nyeri dada, penurunan aktifitas
- data objektif : penurunan aktifitas secara mandiri
e. Pola tidur dan istirahat
- d ata subjektif : sulit tidur, penurunan kebutuhan tidur karena adanya
sesak, nyeri dada dan peningkatan suhu tubuh.
- Data objektif : palpebra inferior warna gelap dan wajah mengantuk
f. Pola persepsi dan kognitif
- Data subjektif : perasaan nyeri
- Data objektif : bingung dan gelisah
g. Pola hubungan dan peran
Data subjektif : perubahan peran interpersonal
Data objektif : kurang berinteraksi
h. Pola persepsi dan konsep diri
- Data subjektif : perubahan persepsi diri
- Data objektif : perhatian kurang, kontak mata
i. Pola mekanisme koping
- Data subjektif : stress, bertanya-tanya tentang penyakitnya
- Data objektif : ansietas
j. Pola reproduksi dan seksualitas
- Data subjektif : penurunan libido
- Data objektif : keterbatasan gerak
k. Pola system dan kepercayaan
- d ata subjektif : kemampuan pasien dalam menjalankan ibadah, tanggapan
pasien atau keluarga mengenai agamanya
- data objektif : agama yang dianut oleh pasien.

2.1.2 Pengkajian fisik


a) Sistem pernapasan
Pada sistem pernapasan pada saat pemeriksaan fisik dijumpai :
Inspeksi : Adanya tanda – tanda penarikan paru, diafragma,
pergerakan napas yang tertinggal, suara napas
melemah.
Palpasi : Fremitus suara meningkat.
Perkusi : Suara ketok redup.
Auskultasi : Suara napas brokial dengan atau tanpa ronki basah,
kasar dan yang nyaring.
Inspeksi pada pasien effusi pleura bentuk hemithorax yang sakit
mencembung, iga mendatar, ruang antar iga melebar, pergerakan pernafasan
menurun. Pendorongan mediastinum ke arah hemithorax kontra lateral yang
diketahui dari posisi trakhea dan ictus kordis. RR cenderung meningkat dan
Px biasanya dyspneu.
Fremitus tokal menurun terutama untuk effusi pleura yang jumlah cairannya
> 250 cc. Disamping itu pada palpasi juga ditemukan pergerakan dinding
dada yang tertinggal pada dada yang sakit.

Suara perkusi redup sampai peka tegantung jumlah cairannya. Bila cairannya
tidak mengisi penuh rongga pleura, maka akan terdapat batas atas cairan
berupa garis lengkung dengan ujung lateral atas ke medical penderita dalam
posisi duduk. Garis ini disebut garis Ellis-Damoisseaux. Garis ini paling jelas
di bagian depan dada, kurang jelas di punggung.

Auskultasi suara nafas menurun sampai menghilang. Pada posisi duduk


cairan makin ke atas makin tipis, dan dibaliknya ada kompresi atelektasis dari
parenkian paru, mungkin saja akan ditemukan tanda-tanda auskultasi dari
atelektasis kompresi di sekitar batas atas cairan. Ditambah lagi dengan tanda
i – e artinya bila penderita diminta mengucapkan kata-kata i maka akan
terdengar suara e sengau, yang disebut egofoni.

b) Sistem kordiovaskuler
Pada inspeksi perlu diperhatikan letak ictus cordis, normal berada pada ICS –
5 pada linea medio claviculaus kiri selebar 1 cm. Pemeriksaan ini bertujuan
untuk mengetahui ada tidaknya pembesaran jantung. Palpasi untuk
menghitung frekuensi jantung (health rate) dan harus diperhatikan kedalaman
dan teratur tidaknya denyut jantung, perlu juga memeriksa adanya thrill yaitu
getaran ictus cordis. Perkusi untuk menentukan batas jantung dimana daerah
jantung terdengar pekak. Hal ini bertujuan untuk menentukan adakah
pembesaran jantung atau ventrikel kiri. Auskultasi untuk menentukan suara
jantung I dan II tunggal atau gallop dan adakah bunyi jantung III yang
merupakan gejala payah jantung serta adakah murmur yang menunjukkan
adanya peningkatan arus turbulensi darah. Adanya takipnea, takikardia,
sianosis, bunyi P2 yang mengeras.

c) Sistem neurologis
Pada inspeksi tingkat kesadaran perlu dikaji Disamping juga diperlukan
pemeriksaan GCS. Adakah composmentis atau somnolen atau comma.
refleks patologis, dan bagaimana dengan refleks fisiologisnya. Selain itu
fungsi-fungsi sensoris juga perlu dikaji seperti pendengaran, penglihatan,
penciuman, perabaan dan pengecapan.
Kesadaran penderita yaitu komposments dengan GCS : 4 – 5 – 6.

d) Sistem gastrointestinal
Pada inspeksi perlu diperhatikan, apakah abdomen membuncit atau datar, tepi
perut menonjol atau tidak, umbilicus menonjol atau tidak, selain itu juga
perlu di inspeksi ada tidaknya benjolan-benjolan atau massa.
Auskultasi untuk mendengarkan suara peristaltik usus dimana nilai
normalnya 5-35 kali permenit. Pada palpasi perlu juga diperhatikan, adakah
nyeri tekan abdomen, adakah massa (tumor, feces), turgor kulit perut untuk
mengetahui derajat hidrasi pasien, apakah hepar teraba, juga apakah lien
teraba. Perkusi abdomen normal tympanik, adanya massa padat atau cairan
akan menimbulkan suara pekak (hepar, asites, vesika urinarta, tumor).
Adanya nafsu makan menurun, anoreksia, berat badan turun.

e) Sistem muskuloskeletal
Pada inspeksi perlu diperhatikan adakah edema peritibial, palpasi pada kedua
ekstremetas untuk mengetahui tingkat perfusi perifer serta dengan
pemerikasaan capillary refil time. Dengan inspeksi dan palpasi dilakukan
pemeriksaan kekuatan otot kemudian dibandingkan antara kiri dan kanan.
Adanya keterbatasan aktivitas akibat kelemahan, kurang tidur dan keadaan
sehari – hari yang kurang meyenangkan.

f) Sistem integumen
Inspeksi mengenai keadaan umum kulit higiene, warna ada tidaknya lesi pada
kulit, pada Pasien dengan effusi biasanya akan tampak cyanosis akibat
adanya kegagalan sistem transport O2. Pada palpasi perlu diperiksa mengenai
kehangatan kulit (dingin, hangat, demam). Kemudian texture kulit (halus-
lunak-kasar) serta turgor kulit untuk mengetahui derajat hidrasi seseorang.
Pada kulit terjadi sianosis, dingin dan lembab, tugor kulit menurun.

b. Perumusan Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan adalah keputusan klinis mengenai seseorang,

keluarga atau masyarakat sebagai akibat dari masalah kesehatan atau proses

kehidupan yang aktual ataupun potensial. Diagnosa keperawatan

merupakan dasar dalam penyusunan rencana tindakan asuhan keperawatan

(Dinarti & Mulyanti, 2017).

Adapun dignosa yang diangkat dari masalah sebelum dilakukan

tindakan infasif adalah:

a. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hambata upaya nafas

(kelemahan otot nafas) (D.0005)

b. Nyeri akut berhubungan denganagen pencedera fisiologis

(inflamasi,iskemia, neoplasma) (D.0077)

c. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan ketidak seimbangan antara

suplai dan kebutuhan oksigen (D.0056)

d. Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit (D.0130)

e. Defisit nutrisi berhubungan dengan kurangnya asupan makanan (D.0019)

f. Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurang terpapar

informasi.(D.0111) (PPNI, 2017).

Adapun dignosa yang diangkat dari masalah setelah dilakukan

tindakan infasif adalah:

a. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (prosedur

operasi)(D.0077)

b. Risiko infeksi berhubungan dengan efek prosedur invasif (D.0142)

(PPNI, 2017)
c. Rencana Keperawatan

Intervensi yang dapat dilaksanakan oleh perawat berdasarkan

standard intervensi keperawatan Indonesia (SIKI) :

a. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hambatan

upaya nafas.(D.0005)

1. Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pola

nafas membaik.

2. Kriteria hasil

a. Dyspnea menurun

b. Penggunaan otot bantu nafas menurun

c. Pemanjangan fase ekspirasi menurun

d. Otopnea menurun

e. Pernapasan pursed-lip menurun

f. Frekuensi nafas membaik

3. Intervensi

Observasi

a. Monitor pola nafas (frekuensi, kedalaman, usaha nafas)


b. Monitor bunyi nafas tambahan (mis. Gurgling, mengi, wheezing ,

ronchi kering)

Terapeutik

a) Pertahankan kepatenan jalan nafas head-tilt dan chin-lift (jaw-

thrust jika curiga trauma sevikal)

b) Posisikan semi-fowler atau fowler

c) Berikan oksigen jika perlu

Edukasi

a) Ajarkan teknik batuk efektif

Kolaborasi
a) Kolaborasi pemberian bronkodilator,ekspektoran, mukolitik, jika

perlu.

b. Nyeri akut berhubungan denganagen pencedera

fisiologis ( inflamasi,iskemia, neoplasma) (D.0077)

1. Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan nyeri

menurun

2. Kriteria hasil :

a. Keluhan nyeri menurun

b. Melaporkan nyeri terkontrol meningkat

c. Meringis menurun

d. Penggunaan analgetik menurun

e. Tekanan darah membaik

3. Intervensi

Observasi

a. Identifikasi skala nyeri

b. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas,

intensitas nyeri.

Terapeutik

a) Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri

b) Pertimbangan jenis dan sumber nyeri dalam pemiihan strategi

meredakan nyeri

Edukasi

a) Anjurkan tekhnik nonfarmakologi untuk mengurangi rasa nyeri

Kolaborasi

a) Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu


c. Intoleransi aktifitas (D.0056)

1. Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawaan diharapkan akitifitas

pasien meingkat

2. Kriteria hasil :

a. Kemudahan melakukan aktifitas

b. Dyspnea saat beraktifitas menurun

c. Dspnea setelah beraktifitas menurun

d. Perasaan lemah menurun

e. Tekanan darah membaik

f. Frekueni nadi membaik

3. Intervensi

Observasi

a. Identifkasi gangguan fungsi tubuh yang mengakibatkan kelelahan

b. Monitor lokasi dan ketidaknyamanan selama melakukan aktifitas

Terapeutik

a) Sediakan lingkungan nyaman dan rendah stimulus (mis. Cahaya,

suara, kunjungan)

Edukasi

a) Anjurkan tirah baring

b) Melakukan aktvitas secara bertahap

d. Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit (D.0130)

1. Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan diharpkan suhu

kembali membaik
2. Kriteria hasil :

a. Mengigil menurun

b. Kulit merah menurun

c. Takikardia menurun

d. Takipnea menurun

e. Tekanan darah membaik

f. Suhu tubuh membaik

3. Intervensi

Observasi

a. Identifikasi penyebab hipertermia (mis.dehidrasi, terpapar

lingkungan panas, penggunaan incubator)

b. Monitor suhu tubuh

c. Monitor komplikasi akibat hipertermia

Terapeuik

a) Sediakan lingkungan yang dingin(atur suhu ruangan)

b) Longgarkan atau lepas pakaian

c) Berikan cairan oral

Edukasi

a) Anjurkan tirah baring

e. Defisit nutrisi berhubungan dengan kurangnya asupan makanan


(D.0019)

1. Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan status nutrisi

membaik

2. Kriteria hasil
a. Porsi makanan yang dihabiskan meningkat

b. Berat bada membaik

c. Nafsu makan membaik

d. Indeks masa tubuh (IMT) membaik

e. Frekuensi makan membaik

3. Intervensi

Observasi

a. Identifikasi alergi dan intoleransi makanan

b. Monitor asupan makanan

c. Identifikasi perubahan berat badan

d. Monitor berat badan

e. Timbang berat badan

Terapeutik

a) Berikan makanan tinggi kalori dan protein

Kolaborasi

a) Kolaborasi dengan ahl gizi tentang cara meningkatkan asupan

makanan

f. Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurang

terpapar informasi(D.0111)

1. Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan

diharapkanpengetahuan meningkat
2. Kriteria hasil

a. Perilaku sesuai anjuran menigkat

b. Kemampuan menjelaskan pengetahuan tentang suatu topic

mengingkat

c. Pertanyaan tentang masalah dihadapi menurun

d. Persepsi keliru terhadap masalah menurun

3. Intervensi

Observasi

a. Identifikasi kesiapan dan kemampuan menerima informasi

terapeutik

a) Sediakan materi dan media pendidikn kesehatan

b) Jadwalkan pendidikan kesehatan sesuai kesepakatan

c) Berikan kesempatan untuk bertanya

d) Jelaskan faktor resiko yang dapat mempengaruhi kesehatan

Adapun intervensi dari diagnosa setelah dilakukan tindakan

invasif tersebut adalah:

a. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik

(proseduroperasi) (D.0077)

a. Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan nyeri

menurun

b. Kriteria hasil :

1) keluhan nyeri menurun

2) kemampuan menuntaskan aktifitas meningkat


3) gelisah menurun

4) frekuensi nadi membaik

5) tekanan darah membaik

c. Intervensi

Observasi

1) Identifikasi respon nyeri non verbal

2) Identifikasi skala nyeri

3) Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi , frekuensi, kualitas,

intensitas nyeri

Terapeutik

1) Pertimbangan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi

meredakan nyeri

Edukasi

1) Anjurkan tekhnik nonfarmakologi untuk mengurangi rasa

nyeri

Kolaborasi

1) Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu

2. Risiko infeksi berhubungan dengan efek tindakan invasif. (D.0142)

a. Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan

resiko infeksi menurun

b. Kriteria hasil :

1) Demam menurun

2) Kebersihan badan meningkat


3) Bengkak menurun

4) Kemerahan menurun

5) Kultur sputum membaik\kultur area luka membaik

c. Intervensi

Observasi

1) Monitor tanda dan gejala infeksi dan sistemik

Terapeutik

1) Batasi jumlah pengunjung

2) Berikan perawatan kulit pada area edema

3) Cuci tangan sesudah atau sebelum kontak dengan pasien

4) Pertahankan tekhnik aseptic

Edukasi

1) Jelaskan tanda dan gejala infeksi

2) Ajarkan mencuci tangan dengan benar

Kolaborasi

1) Kolaborasi pemberian antibiotic, jika perlu


DAFTAR PUSTAKA

Arif Muttaqin. (2008). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Sistem Pernafasan. Jakarta: Salemba Medika.

Ayni (2019). Karya Tulis Ilmiah Efusi Pleura. http://repo.stikesicme-

jbg.ac.id/2528/. Diakses tanggal 23 april 2020.

Bararah, Taqiyyah & Jauhar, M. (2013). Asuhan Keperawatan Panduan Lengkap


Menjadi Perawat Profesional. Jakarta: Prestasi Pustaka.

Dean, E. (2014). Effect of Body Position on Pulmonary Function. Journal of


American Physical Therapy: Diakses pada 19 februari 2020 pada :
http://ptjournal.apta.org/

Dinarti & Mulyanti, Y. (2017). Dokumentasi Keperawatan. Jakarta: Kementrian


Kesehatan Republik Indonesia.

Dugdale, D.C. (2014). Pleural efussion: US international Library of Medicine


National Institute of Health: Diakses pada 19 februari 2020 pada
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000086.htm

E Doenges Marilynn dkk, 1999.Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: Buku


kedoktteran EGC

Haugen, N & Galura, S.J. (2012).Ulrich & Canale's Nursing Care Planning Guides
(7th Ed). Diakses pada 19 februari 2020 pada
http://www1.us.elsevierhealth.com/SIMON/Ulrich/Constructor/diagnos
es.cfm?did=320

Irianto, K. (2014). Anatomi dan Fisiologi. Bandung: Alfabeta.

Juall Lynda, 2006. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Jakarta: Buku kedokteran
EGC

Morton dkk. (2012). Keperawatan Kritis. Jakarta: EGC.

Morton. (2012). Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1 dan 2. Jakarta: Media


Aesculapius.

Martha & Smith Kelly, 2010. Nanda Diagnosa Keperawatan. Yogyakarta: Digna
pustaka
NANDA-I, 2010. Diagnosa Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2009-2011.
Jakarta: Buku kedokteran EGC

NANDA International. (2012). Nursing diagnoses: definitions and classifications


2013-2014. USA: Wiley-Blackwell.

Nair, M., & Peate, I. (2015). Dasar-dasar Patofisiologi Terapan Edisi 2. Jakarta:
Bumi Medika.

Nurarif, A. H., & Kusuma, H. (2015). NANDA NIC-NOC edisi refisi jilid 1 2015.
Jakarta: Media Action Publishing.

PHILIP ENG Respiratori medical clinic. (2017). philipeng.com. Dipetik April22,


2017, dari philipeng.com.sg:http://www.philipeng.com.sg/ms
/conditions/pleural-effusion/

PPNI, T. P. S. D. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta


Selatan: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

Priharjo Robert, 1996. Pengkajin Fisik Keperawatan. Jakarta: Buku kedokteran


EGC

Rosmalawati dan Kasiat (2016). Kebutuhan Dasar Manusia I. Jakarta : Pusdik


SDM Kesehatan
.
Rubins, J .(2013). Pleural Efussion. Diakses pada tanggal 19 februari 2020 pada
http://emedicine.medscape.com/article/299959-overview

Sherwood, L. (2010). Human physiologi: From cell to system. USA: Brooks and
Cole

The British Thoracic Society. (2010). Pleural Disease Guideline 2010 A Quick
Reference Guide. British Thoracic Society Reports, Vol 2, No 3, 2010.
Diakses pada tanggal 19 februari 2020 pada http://www.brit-
thoracic.org.uk/clinical-information/pleural-disease.aspx

Wartonah, 2006. Kebutuhan dasar manusia dan proses keperawatan. Jakarta


salemba medika

Wedro, B. (2014). Pleural Effusion. Medicine Net: Diakses pada tanggal 19


februari 2020 pada:
http://www.onhealth.com/pleural_effusion/article.htm

Wilkinson, J.M dan Ahern, N.R. (2005). Diagnosis Keperawatan: Diagnosis


Nanda, Intervensi NIC dan Kriteria Hasil NOC. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai