Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PENDAHULUAN DENGAN KASUS EFUSI PLEURA

Disusun Oleh :
Nama : Andra Esmeralda Rumlauna
Nim : A1C122039

CI LAHAN CI INSTITUSI
( ) ( )

FAKULTAS KEPERAWATAN DAN KEBIDANAN


PROGRAM STUDI PROFESI NERS
UNIVERSITAS MEGAREZKY
2022/2023
BAB I
PENDAHULUAN

A. Definisi
Efusi pleura adalah pengumpulan cairan dalam ruang pleura yang terletak diantara
permukaan visceral dan parietal, proses penyakit primer jarang terjadi tetapi biasanya
merupakan penyakit sekunder terhadap penyakit lain (Nurarif et al, 2017). Efusi pleura
adalah kondisi paru bila terdapat kehadiran dan peningkatan cairan yang luar biasa di
antara ruang pleura. Pleura adalah selaput tipis yang melapisi permukaan paru-paru dan
bagian dalam dinding dada di luar paru-paru. Di pleura, cairan terakumulasi di ruang
antara lapisan pleura. Biasanya, jumlah cairan yang tidak terdeteksi hadir dalam ruang
pleura yang memungkinkan paru-paru untuk bergerak dengan lancar dalam rongga dada
selama pernapasan (Philip, 2017).

B. Etiologi
Penyebab effusi pleura (Dinarti & Mulyanti, 2018):
1. Virus dan mikoplasma
Insidennya agak jarang bila terjadi jumlahnya tidak banyak.Contoh : Echo virus,
riketsia, mikoplasma, Chlamydia.
2. Bakteri piogenik
Bakteri berasala dari jaringan parenkim paru dan menjalar secara hematogen.
Contoh aerob, strepkokus pneumonia, S.mileri,S.aureus, hemopillus,klabssiella.
Anaerob, bakteroides seperti peptostreptococcus, fusobacterium.
3. TB
Terjadi karena komplikasi TB paru melalui fokus subpleura yang robek atau melalui
aliran limfe, atau karena robeknya perkijuan kearah saluran limfe yang menuju
pleura
4. Fungi
Sangat jarang terjadi, biasanya karena perjalanan infeksi fungi dari jaringan paru.
Contoh: aktinomiksis, koksidiomikosis. Asergilus, Kriptokokus, Histoplasma.
5. Parasit
Parasit yang dapat menginfeksi ke pleura hanya amoeba.Amoeba masuk dalam
bentuk tropozoid setelah melewati perenkim hati menembus diafragma terus ke
rongga pleura. Effusi terjadi karena amoeba menimbulkan peradangan.
6. Kelainan intra abdominal
Contoh: pancreatitis, pseudokista pancreas atau eksaserbasi akut, pancreatitis kronis,
abses ginjal.
7. Penyakit kalogen
Contoh: lupus eritematosus sistemik (SLE), arthritis rematoid(RA), sclerpderma.
8. Gangguan Sirkulasi
Contoh: gangguan CV (payah jantung), emboli pulmonal, hypoalbuminemia.
9. Neoplasma
Gejala paling khas adalah jumlah cairan effusi sangat banyak dan selalu
berakumulasi kembali dengan cepat.
10. Sebab-sebab lain, seperti: trauma (trauma tumpul, laserasi, luka tusuk), uremia,
miksedoma, limfedema, reaksi dipersensitif terhadap obat, effusi pleura

C. Patofisiologi
Dalam keadaan normal tidak ada rongga kosong antara pleura parietalis dan pleura
viceralis, karena di antara pleura tersebut terdapat cairan antara 10 cc - 20 cc yang
merupakan lapisan tipis serosa dan selalu bergerak teratur. Cairan yang sedikit ini
merupakan pelumas antara kedua pleura, sehingga pleura tersebut mudah bergeser satu
sama lain. Di ketahui bahwa cairan di produksi oleh pleura parietalis dan selanjutnya di
absorbsi tersebut dapat terjadi karena adanya tekanan hidrostatik pada pleura parietalis
dan tekanan osmotic koloid pada pleura viceralis. Cairan kebanyakan diabsorbsi oleh
system limfatik dan hanya sebagian kecil diabsorbsi oleh system kapiler pulmonal. Hal
yang memudahkan penyerapan cairan yang pada pleura viscelaris adalah terdapatnya
banyak mikrovili disekitar sel-sel mesofelial. Jumlah cairan dalam rongga pleura tetap
karena adanya keseimbangan antara produksi dan absorbsi. Keadaan ini bisa terjadi
karena adanya tekanan hidrostatik dan tekanan osmotic koloid. Keseimbangan tersebut
dapat terganggu oleh beberapa hal, salah satunya adalah infeksi tuberkulosa paru (Nair &
Peate, 2018).
Terjadi infeksi tuberkulosa paru, yang pertama basil Mikobakterium tuberkulosa
masuk melalui saluran nafas menuju alveoli, terjadilah infeksi primer. Dari infeksi
primer ini akan timbul peradangan saluran getah bening menuju hilus (Limfangitis local)
dan juga diikuti dengan pembesaran kelenjar getah bening hilus (limphadinitis regional).
Peradangan pada saluran getah bening akan mempengaruhi permebilitas membran.
Permebilitas membran akan meningkat yang akhirnya dapat menimbulkan akumulasi
cairan dalam rongga pleura. Kebanyakan terjadinya efusi pleura akibat dari tuberkulosa
paru melalui focus subpleura yang robek atau melalui aliran getah bening. Sebab lain
dapat juga dari robekkan kearah saluran getah bening yang menuju rongga pleura, iga
atau columna vetebralis (Nair & Peate, 2018).
Adapun bentuk cairan efusi akibat tuberkolusa paru adalah merupakan eksudat,
yaitu berisi protein yang terdapat pada cairan pleura tersebut karena kegagalan aliran
protein getah bening. Cairan ini biasanya serous, kadang-kadang bisa juga hemarogik.
Dalam setiap ml cairan pleura bias mengandung leukosit antara 500-2000. Mula-mula
yang dominan adalah sel-sel polimorfonuklear, tapi kemudian sel limfosit, Cairan efusi
sangat sedikit mengandung kuman tubukolusa. Timbulnya cairan efusi bukanlah karena
adanya bakteri tubukolosis, tapi karena akibat adanya efusi pleura dapat menimbulkan
beberapa perubahan fisik antara lain: Irama pernapasan tidak teratur, frekuensi
pernapasan meningkat, pergerakan dada asimetris, dada yang lebih cembung, fremitus
raba melemah, perkusi redup. Selain hal - hal diatas ada perubahan lain yang ditimbulkan
oleh efusi pleura yang diakibatkan infeksi tuberkolosa paru yaitu peningkatan suhu,
batuk dan berat badan menurun (Nair & Peate, 2018).

D. Manifestasi Klinik
Adapun manifestasi klinik dari efusi pleura yaitu (Wedro, 2017):
1. Adanya timbunan cairan mengakibatkan perasaan sakit karena pergesekan, setelah
cairan cukup banyak rasa sakit hilang. Bila cairan banyak, penderita akan sesak
nafas.
2. Adanya gejala penyakita seperti demam, menggigil,dan nyeri dada pleuritis
(pneumonia), panas tinggi (kokus), subfebril (tuberculosis), banyak keringat, batuk,
banyak riak.
3. Deviasi trakea menjauhi tempat yang sakit dapat terjadi jika penumpukan cairan
pleural yang signifikan.
4. Pemeriksaan fisik dalam keadaan berbaring dan duduk akan berlainan, karena cairan
akan berpindah tempat. Bagian yang sakit akan berkurang bergerak dalam
pernafasan, fremitus melemah (raba dan vocal), pada perkusi didapati daerah pekak,
dalam keadaan duduk permukaan cairan membentuk garis melengkung (garis ellis
damoiseu).
5. Didapati segi tiga garland, yaitu daerah yang pada perkusi redup timpani dibagian
atas garis ellis damoiseu. Segitiga grocco-rochfusz, yaitu dareah pekak kkarena
cairan mendorong mediastinum kesisi lain,pada auskulasi daerah ini didapati
vesikuler melemah dengan ronki.
6. Pada permulaan dan akhir penyakit terdengar krepitasi pleura

E. Komplikasi
1. Fibrotoraks
Efusi pleura yang berupa eksudat yang tidak ditangani dengan drainase yang baik
akan terjadi perlekatan fibrosa antara pleura parietalis dan pleura viseralis. Keadaan
ini disebut dengan fibrotoraks. Jika fibrotoraks meluas dapat menimbulkan
hambatan mekanis yang berat pada jaringan - jaringan yang berada dibawahnya.
Pembedahan pengupasan (dekortikasi) perlu dilakukan untuk memisahkan
membran-membran pleura tersebut (Morton, 2016).
2. Atalektasis
Atalektasis adalah pengembangan paru yang tidak sempurna yang disebabkan oleh
penekanan akibat efusi pleura (Morton, 2016).
3. Fibrosis paru
Fibrosis paru merupakan keadaan patologis dimana terdapat jaringan ikat paru dalam
jumlah yang berlebihan. Fibrosis timbul akibat cara perbaikan jaringan sebagai
kelanjutan suatu proses penyakit paru yang menimbulkan peradangan. Pada efusi
pleura, atalektasis yang berkepanjangan dapat menyebabkan penggantian jaringan
paru yang terserang dengan jaringan fibrosis (Morton, 2016).
4. Kolaps Paru
Pada efusi pleura, atalektasis tekanan yang diakibatkan oleh tekanan ektrinsik pada
sebagian/semua bagian paru akan mendorong udara keluar dan mengakibatkan
kolaps paru (Morton, 2016).
5. Empiema
Kumpulan nanah dalam rongga antara paru-paru dan membran yang
mengelilinginya (rongga pleura). Empiema disebabkan oleh infeksi yang menyebar
dari paru-paru dan menyebabkan akumulasi nanah dalam rongga pleura. Cairan yang
terinfeksi dapat mencapai satu gelas bir atau lebih, yang menyebabkan tekanan pada
paru-paru, sesak napas dan rasa sakit (Morton, 2016).

F. Pemeriksaan Penunjang
1. Rontgen dada, biasanya dilakukan untuk memastikan adanya efusi pleura, dimana
hasil pemeriksaan akan menunjukkan adanya cairan (Philip, 2017).
2. CT scan dada. CT scan bisa memperlihatkan paru-paru dan cairanefusi dengan lebih
jelas, serta bisa menunjukkan adanya pneumonia, abses paru atau tumor (Philip,
2017).
3. USG dada, bisa membantu mengidentifikasi adanya akumulasi cairan dalam jumlah
kecil (Philip, 2017).
4. Torakosentesis, yaitu tindakan untuk mengambil contoh cairan untuk diperiksa
menggunakan jarum. Pemeriksaan analisa cairan pleura bisa membantu untuk
menentukan penyebabnya (Philip, 2017).
5. Biopsi. Jika dengan torakosentesis tidak dapat ditentukan penyebabnya, maka
dilakukan biopsi, dimana contoh lapisan pleura sebelah luar diambil untuk dianalisa.
6. Bronkoskopi, pemeriksaan untuk melihat jalan nafas secara langsung untuk
membantu menemukan penyebab efusi pleura (Philip, 2017).
7. Torakotomi, biasanya dilakukan untuk membantu menemukan penyebab efusi
pleura, yaitu dengan pembedahan untuk membuka rongga dada. Namun, pada
sekitar 20% penderita, meskipun telah dilakukan pemeriksaan menyeluruh,
penyebab dari efusi pleura tetap tidak dapat ditentukan (Philip, 2017).

G. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada efusi pleura yaitu (Nurarif et al, 2017):
1. Tirah baring
Tirah baring bertujuan untuk menurunkan kebutuhan oksigen karena peningkatan
aktifitas akan meningkatkan kebutuhan oksigen sehingga dispneu akan semakin
meningkat pula.
2. Thoraksentesis
Drainase cairan jika efusi pleura menimbulkan gejala subjektif seperti nyeri,
dispneu, dan lain lain. Cairan efusi sebanyak 1-1,5 liter perlu dikeluarkan untuk
mencegah meningkatnya edema paru. Jika jumlah cairan efusi pleura lebih banyak
maka pengeluaran cairan berikutnya baru dapat dikalkukan 1 jam kemudian.
3. Antibiotic
Pemberian antibiotik dilakukan apabila terbukti terdapat adanya infeksi. Antibiotik
diberi sesuai hasil kultur kuman.
4. Pleurodesis
Pada efusi karena keganasan dan efusi rekuren lain, diberi obat melalui selang
interkostalis untuk melekatkan kedua lapisan pleura dan mencegah cairan
terakumulasi kembali.
5. Water seal drainage (WSD)
Water seal drainage (WSD) adalah suatu system drainase yang menggunakan water
seal untuk mengalirkan udara atau cairan dari cavum pleura atau rongga pleura.

H. Pencegahan
Efusi pleura dapat dicegah dilakukan dengan menghindari terjadinya kondisi medis
yang mendasarinya. Sejumlah upaya yang bisa dilakukan adalah (Hayuningrum, 2020):
1. Membatasi konsumsi minuman beralkohol
2. Menghentikan kebiasaan merokok
3. Menggunakan APD (alat pelindung diri) sesuai standar, bila bekerja dengan bahan
atau zat yang berpotensi bahaya, seperti asbes
4. Melakukan pemeriksaan secara berkala ke dokter sesuai kondisi medis yang
dimiliki, seperti penyakit jantung dan penyakit autoimun
BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian Keperawatan
1. Anamnesis
a. Identitas pasien: usia, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama,
suku, tanggal masuk rumah sakit, penanggung jawab, status perkawinan.
b. Keluhan utama: sesak nafas, rasa berat pada dada, nyeri pleuritik akibat iritasi
pleura yang bersifat tajam dan terlokasilir terutama pada saat batuk dan bernafas
serta batuk non produktif.
c. Riwayat penyakit sekarang: Pasien dengan effusi pleura biasanya akan diawali
dengan adanya tanda -tanda seperti batuk, sesak nafas, nyeri pleuritik, rasa berat
pada dada, berat badan menurun dan sebagainya
d. Riwayat penyakit dahulu: Perlu ditanyakan apakah pasienpernah menderita
penyakit seperti TBC paru, pneumoni, gagal jantung, trauma, asites dan
sebagainya.Hal ini diperlukan untuk mengetahui kemungkinan adanya faktor
predisposisi
2. Pola Kesehatan
a. Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat
1) Adanya tindakan medis danperawatan di rumah sakit mempengaruhi
perubahan persepsi tentang kesehatan, tapi kadang juga memunculkan
persepsi yang salah terhadap pemeliharaan kesehatan.
2) Kemungkinan adanya riwayat kebiasaan merokok, minum alcohol dan
penggunaan obat-obatan bias menjadi faktor predisposisi timbulnya
penyakit.
b. Pola nutrisi dan metabolisme
1) Dalam pengkajian pola nutrisi dan metabolisme, kita perlu melakukan
pengukuran tinggi badan dan berat badan untuk mengetahui status nutrisi
pasien.
2) Perlu ditanyakan kebiasaan makan dan minum sebelum dan selama MRS
pasien dengan effusi pleura akan mengalami penurunan nafsu makan akibat
dari sesak nafas dan penekanan pada struktur abdomen.
3) Peningkatan metabolisme akan terjadi akibat proses penyakit. pasien
dengan effusi pleura keadaan umumnya lemah.
c. Pola eliminasi
Dalam pengkajian pola eliminasi perlu ditanyakan mengenai kebiasaan defekasi
sebelum dan sesudah MRS. Karena keadaan umum pasien yang lemah, pasien
akan lebih banyak bedrest sehingga akan menimbulkan konstipasi, selain akibat
pencernaan pada struktur abdomen menyebabkan penurunan peristaltik otot-otot
tractus digestivus.
d. Pola aktivitas dan latihan
1) Akibat sesak nafas, kebutuhan O2 jaringan akan kurang terpenuhi.
2) Pasien akan cepat mengalami kelelahan pada aktivitas minimal.
3) Disamping itu pasien juga akan mengurangi aktivitasnya akibat adanya
nyeri dada.
4) Untuk memenuhi kebutuhan ADL nya sebagian kebutuhan pasien dibantu
oleh perawat dan keluarganya.
e. Pola tidur dan istirahat
1) Adanya nyeri dada, sesak nafas dan peningkatan suhu tubuh akan
berpengaruh terhadap pemenuhan kebutuhan tidur dan istirahat.
2) Selain itu, akibat perubahan kondisi lingkungan dari lingkungan rumah
yang tenang ke lingkungan rumah sakit, dimana banyak orang yang mondar
- mandir, berisik dan lain sebagainya
3. Pemeriksaan Fisik
a. Status Kesehatan Umum
Tingkat kesadaran pasien perlu dikaji, bagaimana penampilan pasien secara
umum, ekspresi wajah pasien selama dilakukan 36 anamnesa, sikap dan perilaku
pasien terhadap petugas, bagaimana mood pasien untuk mengetahui tingkat
kecemasan dan ketegangan pasien
b. Sistem Respirasi
1) Inspeksi pada pasien efusi pleura bentuk hemithorax yang sakit
mencembung, iga mendatar, ruang antar iga melebar, pergerakan
pernafasan menurun. Pendorongan mediastinum ke arah hemithorax kontra
lateral yang diketahui dari posisi trakhea dan ictus kordis. Pernapasan
cenderung meningkat dan pasien biasanya dyspneu.
2) Fremitus tokal menurun terutama untuk effusi pleura yang jumlah cairannya
> 250 cc. Disamping itu pada palpasi juga ditemukan pergerakan dinding
dada yang tertinggal pada dada yang sakit.
3) Suara perkusi redup sampai pekak tegantung jumlah cairannya. Bila
cairannya tidak mengisi penuh rongga pleura, maka akan terdapat batas atas
cairan berupa garis lengkung dengan ujung lateral atas ke medical penderita
dalam posisi duduk. Garis ini disebut garis Ellis Damoisseaux. Garis ini
paling jelas di bagian depan dada, kurang jelas di punggung.
4) Auskultasi suara nafas menurun sampai menghilang. Pada posisi duduk
cairan makin ke atas makin tipis, dan dibaliknya ada kompresi atelektasis
dari parenkian paru, mungkin saja akan ditemukan tanda tanda auskultasi
dari atelektasis kompresi di sekitar batas atas cairan.
c. Sistem Kardiovaskuler
1) Pada inspeksi perlu diperhatikan letak ictus cordis, normal berada pada
ICS-5 pada linea medio klavikula kiri selebar 1 cm. Pemeriksaan ini
bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya pembesaran jantung.
2) Palpasi untuk menghitung frekuensi jantung (health rate) harus diperhatikan
kedalaman dan teratur tidaknya denyut jantung, perlu juga memeriksa
adanya thrill yaitu getaran ictuscordis.
3) Perkusi untuk menentukan batas jantung dimana daerah jantung terdengar
pekak. Hal ini bertujuan untuk menentukan adakah pembesaran jantung
atau ventrikel kiri.
4) Auskultasi untuk menentukan suara jantung I dan II tunggal atau gallop dan
adakah bunyi jantung III yang merupakan gejala payah jantung serta adakah
murmur yang menunjukkan adanya peningkatan arus turbulensi darah.
d. Sistem Pencernaan
1) Pada inspeksi perlu diperhatikan, apakah abdomen membuncit atau datar,
tepi perut menonjol atau tidak, umbilicus menonjol atau tidak, selain itu
juga perlu di inspeksi ada tidaknya benjolan-benjolan atau massa.
2) Auskultasi untuk mendengarkan suara peristaltik usus dimana nilai
normalnya 5-35 kali per menit.
3) Pada palpasi perlu juga diperhatikan, adakah nyeri tekan abdomen, adakah
massa (tumor, feces), turgor kulit perut untuk mengetahui derajat hidrasi
pasien, apakah hepar teraba.
4) Perkusi abdomen normal tympani, adanya massa padat atau cairan akan
menimbulkan suara pekak (hepar, asites, vesikaurinarta, tumor).
e. Sistem Neurologis
Pada inspeksi tingkat kesadaran perlu dikaji Disamping itu juga diperlukan
pemeriksaan GCS, apakah composmentis atau somnolen atau comma.
Pemeriksaan refleks patologis dan refleks fisiologisnya.Selain itu fungsi-fungsi
sensoris juga perlu dikaji seperti pendengaran, penglihatan, penciuman,
perabaan dan pengecapan.
f. Sistem Muskuloskeletal
Pada inspeksi perlu diperhatikan adakah edema peritibial.Selain itu, palpasi
pada kedua ekstremetas untuk mengetahui tingkat perfusi perifer serta dengan
pemerikasaan capillary refiltime. Dengan inspeksi dan palpasi dilakukan
pemeriksaan kekuatan otot kemudian dibandingkan antara kiri dan kanan.
g. Sistem Integumen
Inspeksi mengenai keadaan umum kulit higiene, warna ada tidaknya lesi pada
kulit, pada pasien dengan efusi biasanya akan tampak cyanosis akibat adanya
kegagalan sistem transport 39 oksigen. Pada palpasi perlu diperiksa mengenai
kehangatan kulit (dingin, hangat, demam). Kemudian tekstur kulit (halus-
lunakkasar) serta turgor kulit untuk mengetahui derajat hidrasi seseorang.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hambata upaya nafas
2. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis
3. Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit

C. Rencana/Intervensi Keperawatan
Diagnosa Tujuan Intervensi Keperawatan
Keperawatan
Pola nafas tidak efektif Setelah dilakukan Manajemen Jalan Nafas
berhubungan dengan tindakan keperawatan Observasi
hambata upaya nafas selama 3x24 jam 1. Monitor pola nafas
masalah gangguan pola (frekuensi, kedalaman,
napas tidak efektif dapat usaha nafas)
teratasi dengan 2. Monitor bunyi nafas
indikator: tambahan (mis.
1. Dyspnea menurun Gurgling, mengi,
2. Penggunaan otot wheezing, ronchi kering)
bantu nafas Terapeutik
menurun 1. Pertahankan kepatenan
3. Pemanjangan fase jalan nafas head-tilt dan
ekspirasi menurun chin-lift (jawthrust jika
4.
Otopnea menurun curiga trauma sevikal)
5.
Pernapasan pursed- 2. Posisikan semi-fowler
lip menurun atau fowler
6. Frekuensi nafas 3. Berikan oksigen jika
membaik perlu
Edukasi
1. Ajarkan teknik batuk
efektif
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian
bronkodilator,ekspektoran,
mukolitik, jika perlu.
Nyeri akut Setelah dilakukan Manajemen Nyeri
berhubungan dengan tindakan keperawatan Observasi
agen pencedera selama 3x24 jam 1. Identifikasi lokasi,
fisiologis diharapkan tingkat nyeri karakteristik, frekuensi,
berkurang dengan durasi, kualitas,
indikator: intensitas nyeri
1. Keluhan nyeri 2. Identifikasi skala nyeri
menurun 3. Identifikasi respon nyeri
2. Meringis menurun non verbal
3. Sikap proaktif 4. Identifikasi faktor yang
menurun memperberat dan
4. Gelisah menurun memperingan nyeri
5. Kesulitan tidur 5. Identifikasi pengetahuan
menurun dan keyakinan tentang
6. Berfokus pada diri nyeri
sendiri menurun 6. Monitor keberhasilan
7. Diaforesis menurun terapi komplementer
8. Perasaan takut yang sudah diberikan
menurun 7. Monitor efek samping
9. Ketegangan otot penggunaan analgetic
menurun Terapeutik
10. Frekuensi nadi 1. Berikan teknik non
membaik farmakologis untuk
11. Pola napas mengurangi rasa nyeri
membaik (misalnya TENS,
hypnosis, akupuntur dan
lain-lain)
2. Kontrol lingkungan yang
memperberat rasa nyeri
(misalnya suhu ruangan,
pencahayaan, kebisingan
3. Fasilitasi istirahat dan
tidur
Edukasi
1. Jelaskan penyebab,
periode, pemicu nyeri
2. Jelaskan strategi
meredakan nyeri
3. Anjurkan memonitor
nyeri secara mandiri
4. Anjurkan menggunakan
analgetik secara tepat
5. Ajarkan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian
analgetik, jika perlu
Hipertermi Setelah dilakukan Manajemen Hipertermi
berhubungan dengan tindakan keperawatan Observasi
proses penyakit selama 3x24 jam 1. Identifikasi penyebab
diharapakan hipertermi
termoregulasi membaik 2. Monitor suhu tubuh
dengan indikator: 3. Monitor kadar elektrolit
1. Menggigil menurun 4. Monitor haluaran urine
2. Kulit kemerahan 5. Monitor komplikasi
menurun akibat hipertermia
3. Kejang menurun Terapeutik
4. Pucat menurun 1. Sediakan lingkungan
5. Takikardia yang dingin
menurun 2. Longgarkan atau
6. Takipnea menurun lepaskan pakaian
7. Bradikardia 3. Basahi dan kipasi
menurun permukaan tubuh
8. Suhu tubuh 4. Berikan cairan oral
membaik 5. Ganti linen setiap hari
9. Suhu kulit jika mengalami keringat
membaik berlebih
Edukasi
1. Anjurkan tirah baring
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian
cairan atau elektrolit jika
perlu

Penyimpangan KDM
DAFTAR PUSTAKA
Dinarti & Mulyanti, Y. 2017. Dokumentasi Keperawatan. Jakarta: Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia.

Hayuningrum, D. 2020. The Diagnose of Pleura Effusion. Jurnal Penelitian Perawat


Profesional, 2(4), pp. 529–36.

Morton. 2016. Keperawatan Kritis. Jakarta: EGC.

Nair, M., & Peate, I. 2018. Dasar-Dasar Patofisiologi Terapan Edisi 2. Jakarta: Bumi
Medika.

Nurarif, A. H., & Kusuma, H. 2017. NANDA NIC-NOC Edisi Refisi. Jakarta: Media Action
Publishing.

Philip. 2017. Respiratori Medical Clinic.

PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator Diagnostik,
Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.

PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan Keparwatan,
Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.

PPNI. 2018. Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.

Wedro, B. 2017. Pleural Effusion. Medicine Net.

Anda mungkin juga menyukai