Anda di halaman 1dari 78

SKRIPSI

SYSTEMATIC REVIEW FAKTOR FAKTOR YANG BERHUBUNGAN

DENGAN KEJADIAN TUBERKULOSIS 2021

REFLIN A. MANUPUTTY

12113201160061

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KESEHATAN

UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA MALUKU

AMBON

2021

i
LEMBARAN PERSETUJUAN

Skripsi

Systematic Review Faktor Faktor Yang Berhubungan Dengan


Kejadian Tuberkulosis 2021

Disusun Oleh :
Reflin A. Manuputty
12113201160061

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

B. Talarima, SKM. , M. Kes. Ivy V. Lawalata, SKM, M. Kes.


NIDN. 1207098501 NIDN. 1216028401

Mengetahui,

Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat

G. V. Souisa, S. Si. , M. Kes.


NIDN. 121128802

LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS


ii
Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : Reflin A. Manuputty


NPM : 12113201160061
Judul Skripsi : Systematic Review Faktor Faktor Yang
Berhubungan Dengan Kejadian
Tuberkulosis 2021
Program Studi : Kesehatan Masyarakat
Fakultas : Kesehatan
Dengan ini menyatakan bahwa:
1. Karya Tulis ini adalah orisinal sendiri melalui proses penelitian dan di dalam
karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat orang lain, kecuali secara
tertulis menyebutkan penulis dari sumber aslinya atau dari sumber orang lain,
sebagaimana tercantum dalam daftar pustaka.
2. Saya menyerahkan hak milik atas karya tulis ini kepada Universitas Kristen

Indonesia Maluku dan oleh karenanya berhak melakukan pengelolaan atas

karya tulis ini sesuai dengan norma hukum dan etika yang berlaku.

3. Pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya, apabila dikemudian hari

terbukti tidak sesuai dengan pernyataan ini, saya bersedia menerima sanksi

akademik sesuai dengan norma yang berlaku di Universitas Kristen Indonesia

Maluku dan perundang-undangan yang berlaku.

Ambon, Juni 2021


Yang memberi pernyataan

REFLIN A. MANUPUTTY
NPM: 12113201160061

iii
ABSTRAK

Reflin A. Manuputty. 2021. Systematic Review Faktor Faktor Yang


Berhubungan Dengan Kejadian Tuberkulosis 2021. (dibimbing oleh: B.
Talarima dan I. V. Lawalatta).

Tuberkulosis (TBC) adalah suatu penyakit infeksi menular yang


disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis yang sebagian besar
menyerang paru. Sumber penularan adalah pasien tuberkulosis BTA positif pada
saat batuk atau bersin. Infeksi kuman TBC akan terjadi apabila orang lain
menghirup udara yang mengandung percik renik dahak orang yang terinfeksi
TBC. Beberapa faktor yang mempengaruhi penularan TBC secara umum antara
lain kedekatan kontak dengan sumber penularan, lamanya waktu kontak dengan
sumber penularan dan konsentrasi kuman di udara. Tujuan penelitian ini adalah
untuk mengetahui bagaimana gambaran hubungan faktor faktor merokok, status
gizi, dan riwayat konta terhadap kejadian Tuberkulosis melalui metode systematic
review. Desain penelitian ini menggunakan jenis systematic review. Systematic
review ini bertujuan gambaran hubungan faktor faktor merokok, status gizi, dan
riwayat kontak terhadap kejadian Tuberkulosis melalui metode systematic review.
Metode yang digunakan menggunakan review artikel dan jurnal kesehatan. Hasil
berbagai artikel dan jurnal yang dilakukan menunjukkan bahwa adanya hubungan
merokok, status gizi, dan riwayat kontak terhadap kejadian Tuberkulosis. Semakin
baik perilaku tidak merokok, semakin baik status gizi yang dimiliki dan semaikin
berkurang riwayat kontak dengan penderita tuberculosis, maka lingkungan akan
bersih, sehat dan bebas dari Tuberkulosis. Dari hasil literature review yang dibuat,
disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara merokok, status gizi, dan riwayat
kontak terhadap kejadian Tuberkulosis. Sehingga disarankan dapat menjadi
informasi dan barmanfaat bagi masyarakat dalam menjaga lingkungan bersih,
sehat dan bebas dari tuberculosis dengan pola hidup yang lebih baik dan sehat.

Kata Kunci: Merokok, Status Gizi, Riwayat Kontak, Tuberkulosis

iv
ABSTRAC

v
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas kasih dan rahmat-Nya

kepada penulis sehingga penyusunan skripsi penelitian dengan judul “Systematic

ReviewFaktor Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Tuberkulosis

2021” ini dapat terselesaikan.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak B. Talarima,

SKM. , M. Kes selaku Dekan Fakultas Kesehatan dan juga sebagai pembimbing I

yang dengan penuh kesabaran dan perhatiannya dalam memberikan bimbingan,

semangat dan saran hingga skripsi penelitian ini dapat terselesaikan dengan baik.

Terima kasih juga tak lupa penulis ucapkan kepada Ibu I. V. Lawalata, SKM. ,

M. Kes selaku Pembantu Dekan II dan juga sebagai Pembimbing II yang juga

telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, motivasi dan

saran demi kesempurnaan penyusunan skripsi penelitian ini.

Dengan terselesainya skripsi penelitian ini, perkenankan penulis

mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Dr. Jafet Damamain, M,Th selaku Rektor Universitas Kristen

Indonesia Maluku.

2. Dekan Fakultas Kesehatan beserta Para Pembantu Dekan Fakultas

Kesehatan Universitas Kristen Indonesia Maluku

3. Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan

Universitas Kristen Indonesia Maluku.

vi
4. Dosen-dosen Fakultas Kesehatan terkhusus Program Studi Kesehatan

Masyarakat Universitas Kristen Indonesia Maluku yang meskipun

namanya tidak dapat disebutkan satu persatu tapi tetap terkenang di hati

penulis. Terimakasih atas ilmu dan pengetahuan yang sudah dibagikan

oleh para dosen terhadap penulis.

5. Keluarga besar Manuputty dan Sitanala, Papa, Mama, Kakak Sendy dan

Kakak Tasya dan Kakak Stella tercinta yang selalu memberikan dukungan

baik moril maupun materil

6. Teman-teman seperjuangan angkatan 2016 Kesehatan Masyarakat UKIM

7. Teman-teman peminatan Epidemiologi Chaya, Filla, Enda, Felix, Erick,

Egin, Nus, dan Yanto

8. Rian, Orlando, Jo, Erwin, Ulath, Carlos, Felix, Yanto, Nus terima kasih

telah mewarnai hari hari penulis selama melakukan proses perkuliahan.

Akhirnya penulis menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang

dengan berbagai macam cara dan perannya telah membantu penulis dalam proses

penyusunan hingga terselesaikannya skripsi penelitian ini. Penulis juga

mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun yang dapat membantu

perbaikan dan pengembangan skripsi penelitian ini. Semoga skripsi penelitian ini

bisa memberi manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam

bidang kesehatan.

Ambon, Juni 2021

Reflin A. Manuputty
NPM. 12113201160061

vii
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL........................................................................................i

LEMBARAN PERSETUJUAN.......................................................................ii

LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS.................................................iii

ABSTRAK........................................................................................................iv

ABSTRACT.....................................................................................................v

KATA PENGANTAR......................................................................................vi

DAFTAR ISI....................................................................................................viii

DAFTAR TABEL............................................................................................ix

DAFTAR GAMBAR........................................................................................xi

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................1

Latar Belakang..................................................................................................1

Rumusan Masalah.................................................................................5

Tujuan Penelitian..................................................................................5

Manfaat Penelitian................................................................................6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA......................................................................8

Tinjauan Umum Tentang Tuberkulosis................................................8

Tinjauan Umum Tentang Variabel Penelitian......................................26

Kerangka Konsep..................................................................................37

BAB III METODE PENELITIAN...................................................................38

Desain Penelitian..................................................................................38

viii
Tahapan Systematic Review..................................................................38

Populasi, Sampel, dan Teknik Sampling..............................................41

Variabel Penelitian................................................................................42

Analisis Data.........................................................................................43

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN..........................................................44

Hasil......................................................................................................44

Pembahasan..........................................................................................51

BAB V PENUTUP...........................................................................................57

Kesimpulan...........................................................................................57

Saran.....................................................................................................58

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................59

LAMPIRAN

ix
DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2. 1 Klasifikasi Indeks Masa Tubuh (IMT)................................31

Tabel 4. 1 Hasil Systematic Review Faktor Faktor Yang

Berhubungan Dengan Kejadian Tuberkulosis......................................44

x
DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2. 1 Kerangka Konsep Penelitian............................................37

Gambar 3. 1 Diagram Flow PRISMA..................................................40

xi
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit Tuberkulosis (TBC) merupakan penyakit infeksi kronis

menular yang masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di dunia.

Indonesia salah satu negara yang berkonstribusi besar dalam menyumbang

kasus TBC di dunia. Saat ini tuberkulosis juga masih menjadi beban di

Indonesia. Survei Prevalensi TBC (SPTBC) di Indonesia tahun 2013-2014

menemukan prevalensi TBC paru dengan konfirmasi bakteriologis sebesar

759 per 100. 000 penduduk berusia 15 tahun ke atas. Prevalensi semua jenis

TBC adalah 660/100. 000 penduduk (Ministry of Health, 2015). Berdasarkan

TBC global dari WHO tahun 2018, estimasi insiden sebesar 842. 000 atau 319

per 100. 000 penduduk. Saat ini Indonesia termasuk dalam tiga besar negara

dengan estimasi insiden TBC tertinggi setelah India dan China. Kematian

akibat TBC pada populasi dengan status HIV negatif adalah 44/100. 000

penduduk (World Health Organization, 2019).

Pada tahun 2015 diperkirakan terdapat 10,4 juta kasus baru

tuberkulosis atau 142 kasus per 100. 000 penduduk, dengan 480. 000 kasus

multidrug-resistant. Indonesia merupakan negara dengan jumlah kasus baru

terbanyak kedua di dunia setelah India (Global Tuberculosis Report, 2016).

Secara global pada tahun 2016 terdapat 10,4 kasus insiden tuberkulosis (CI

8,8 juta-12 juta) yang setara dengan 120 kasus per 100. 000 penduduk. Lima

1
negara dengan insiden kasus tertinggi yaitu India, Indonesia, China, Philipina

dan Pakistan (Global Tuberculosis Report, 2017). Secara global pada tahun

2017 kasus baru tuberkulosis sebesar 6,3 juta, setara dengan 61% dari insiden

tuberkulosis (10,4 juta). Tuberkulosis tetap menjadi 10 penyebab kematian

tertinggi di dunia dan kematian tuberkulosis secara global diperkirakan 1,3

juta pasien (Global Tuberculosis Report, 2018).

Tuberkulosis (TBC) adalah suatu penyakit infeksi menular yang

disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis yang sebagian besar

menyerang paru. Sumber penularan adalah pasien tuberkulosis BTA positif

pada saat batuk atau bersin. Penyebaran kuman ke udara dalam bentuk

percikan atau dahak (droplet nuclei), saat berbicara dapat mengeluarkan

kuman sebanyak 0-200, sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000

percikan dahak yang mengandung kuman sebanyak 0-3. 500 dan saat bersin

dapat mengeluarkan kuman sebanyak 4. 500-1. 000. 000. Kuman yang

menyebar ke udara kemudian terhirup ke dalam paru orang sehat sehingga

dapat terkena infeksi (Kementrian Kesehatan RI,2016).

Pada tahun 2016, di Indonesia ditemukan jumlah kasus tuberkulosis

sebanyak 360. 565 kasus. Pada tahun 2017 ditemukam jumlah kasus

tuberkulosis sebanyak 425. 089 kasus. Kemudian pada tahun 2018 jumlah

kasus tuberkulosis ditemukan sebanyak 566. 623 kasus (Kementrian

Kesehatan RI, 2018). Prevalensi TBC di Maluku tahun 2016 sebanyak 3. 983

orang, 2017 sebanyak 4. 862 orang, tahun 2018 sebanyak 4. 575 orang dan

tahun 2019 sebanyak 6. 379 orang. Kota Ambon mencapai 65% pasien TBC

2
dari jumlah penderita TBC di Maluku yaitu sebanyak 4. 146 orang dan

terbanyak dibandingkan kabupaten yang lain di Maluku (Dinas Kesehatan

Maluku, 2020).

Perspektif epidemiologi melihat kejadian penyakit sebagai hasil

interaksi antar tiga komponen pejamu (host), penyebab (agent), dan

lingkungan (environment) dapat ditelaah faktor risiko dari simpul-simpul

tersebut. Pada sisi pejamu, kerentanan terhadap infeksi Mycobacterium

tuberculosis sangat dipengaruhi oleh daya tahan tubuh seseorang pada saat itu

sehingga status gizi berpengaruh terhadap risiko terjadinya TBC yang

menyebabkan penurunan daya tahan tubuh(Indah, 2018). Dalam ilmu

epidemiologi, faktor yang dapat menimbulkan masalah kesehatan adalah

faktor manusia, tempat dan waktu. Faktor manusia adalah karakteristik dari

individu yang mempengaruhi kepekaan terhadap penyakit. karakteristik

manusia bisa berupa kebiasaan seperti perilaku kebiasaan merokok (Irwan,

2017).

Infeksi kuman TBC akan terjadi apabila orang lain menghirup udara

yang mengandung percik renik dahak orang yang terinfeksi TBC. Beberapa

faktor yang mempengaruhi penularan TBC secara umum antara lain kedekatan

kontak dengan sumber penularan, lamanya waktu kontak dengan sumber

penularan dan konsentrasi kuman di udara (Kementerian Kesehatan RI, 2014).

Hasil penelitian Oktavia dkk (2015) yang menyatakan bahwa umur,

tingkat pendidikan, status gizi, kebiasaan merokok, serta kontak dengan

penderita TBC, memiliki hubungan dengan kejadian TBC. Meningkatnya

3
angka perokok di masyarakat akan meningkatkan kejadian tuberkulosis.

Tidak hanya tuberkulosis, rokok juga merupakan faktor risiko utama bagi

beberapa penyakit khususnya penyakit kronis (World Health Organization,

2019). Status gizi sangat berpengaruh terhadap sistem imun atau daya tahan

tubuh. Status gizi yang baik akan berpengaruh pada daya tahan tubuh

sehingga tubuh akan tahan terhadap infeksi bakteri TBC. Namun, apabila

keadaan gizi kurang maka akan mengurangi daya tahan tubuh terhadap infeksi

bakteri TBC. Kontak dengan penderita TBC merupakan faktor risiko utama

dan makin erat kontak makin besar risikonya. Oleh karenanya kontak di

rumah dengan anggota keluarga yang sakit TBC sangat berperan untuk

terjadinya infeksi TBC di keluarga, teman kerja, atau teman-teman terutama

keluarga terdekat.

Berdasarkan latar belakang di atas maka peneliti tertarik untuk menulis

tentang “Bagaimana gambaran hubungan faktor faktor yang berhubungan

dengan kejadian Tuberkulosistahun 2020 melalui metode Systematic review”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah Bagaimana gambaran hubungan faktor faktor yang

berhubungan dengan kejadian Tuberkulosis tahun 2020 melalui metode

Systematic review?

4
C. Tujuan Penelitian

Dalam penelitian ini, terdapat tujuan umum dan tujuan khusus sebagai

berikut:

1. Tujuan Umum

a. Untuk mengetahui bagaimana gambaran hubungan faktor faktor

merokok, status gizi, dan riwayat kontak terhadap kejadian

Tuberkulosis melalui metode systematic review.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui bagaimana gambaran hubungan faktor merokok

dengan kejadian Tuberculosis melalui metode systematic review.

b. Untuk mengetahui bagaimana gambaran hubungan faktor status gizi

dengan kejadian Tuberculosis melalui metode systematic review.

c. Untuk mengetahui bagaimana gambaran hubungan faktor riwayat

kontak dengan kejadian Tuberculosis melalui metode systematic

review.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian baik secara teoritis maupun secara praktis,

sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan

mengenai bagaimana faktor faktor yang berhubungan dengan kejadian

tuberkulosis melalui systematic review, serta juga diharapkan sebagai

5
sarana pengembangan ilmu pengetahuan yang secara teoritis dipelajari di

bangku perkuliahan.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Program Studi Kesehatan Masyarakat

Penelitian ini dapat menjadi tambahan bahan pembelajaran dan

memberikan sumbangan pemikiran untuk pengembangan ilmu dalam

bidang kesehatan masyarakat

b. Bagi Peneliti Sendiri

Memberikan pengalaman bagi peneliti untuk menerapkan metode

penelitian yang telah di pelajari serta dapat mengetahui bagaimana

gambaran faktor faktor yang berhubungan dengan kejadian

tuberkulosis melalui systematic review.

c. Bagi Peneliti Lain

Penelitian ini dapat digunakan sebagai data rujukan atau referensi

bagi penelitian yang akan datang sehubungan dengan kejadian

tuberkulosis, khususnya penelitian yang berhubungan dengan riwayat

kontak, status gizi, dan kebiasaan merokok menggunakan metode

systematic review.

c. Bagi Masyarakat

Sebagai masukan kepada masyarakat agar dapat lebih memahami

akan gambaran faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadaian

tuberkulosis melalui metode systematic review.

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Tuberkulosis

1. Definisi Tuberkulosis (TBC)

Tuberkulosis (TBC) adalah suatu penyakit menular yang

disebabkan oleh kuman dari kelompok Mycobacterium yaitu

Mycobacterium tuberculosis. Terdapat beberapa spesies mycobacterium,

antara lain: M. tuberculosis, M. africanum, M. bovis, M. leprae dsb,

yang juga dikenal sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA). Kelompok bakteri

mycobacterium selain mycobacterium tuberculosis yang bisa

menimbulkan gangguan pada saluran nafas dikenal sebagai MOTT

(Mycobacterium Other Than Tuberculosis) yang terkadang bisa

mengganggu penegakan diagnosis dan pengobatan TBC. Untuk itu

pemeriksaan bakteriologis yang mampu melakukan identifikasi terhadap

mycobacterium tuberculosis menjadi sarana diagnosis ideal untuk TBC.

(Kementrian Kesehatan RI, Pedoman Nasional Pengendalian

Tuberkulosis, 2014).

7
2. Etiologi Tuberkulosis (TBC)

Tuberkulosis (TBC) merupakan penyakit infeksi menular yang

disebabkan oleh kuman dari kelompok Mycobacterium yaitu

Mycobacterium tuberculosis. Kuman ini berbentuk batang (basil) dengan

panjang 1-10 mikron, dan lebar 0,2-0,6 mikron (Kementrian Kesehatan RI,

2014).

Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang berwarna merah

dalam pemeriksaan di bawah mikroskop tahan terhadap suhu rendah

sehingga dapat bertahan hidup dalam jangka waktu yang lama pada suhu

antara 4̊ sampai minus 70̊C. Kuman tersebut sangat peka terhadap panas,

sinar matahari, dan sinar ultraviolet. Paparan langsung terhadap sinar

ultraviolet sebagian besar kuman akan mati dalam waktu beberapa menit.

Sedangkan dalam dahak pada suhu antara 30̊C-37̊C akan mati dalam

waktu kurang lebih 1 minggu (Kementrian Kesehatan RI, 2014).

Bakteri penyebab TBC ini dapat bertahan selama 20-30 jam di

dalam dahak. Dalam suhu kamar, biakan basil dapat hidup selama 6-8

bulan. Mycobacterium tuberculosis tahan terhadap berbagai zat kimia dan

desinfektan, seperti phenol 5%, asam sulfat 15%, asam sitrat 3%, dan

NaOH 4%. Namun bakteri ini dapat dihancurkan oleh jodium tinetur

dalam waktu sekitar 5 menit, sedangkan dengan alkohol 80% akan hancur

dalam 2 hingga 10 menit kemudian (Naga, 2013).

8
3. Gejala Tuberkulosis (TBC)

Menurut Kementrian Kesehatan RI (2014)TBC memberikan gejala

berupa batuk terus–menerus dan berdahak selama 2 minggu atau lebih.

Gejala lain yang sering dijumpai adalah : dahak bercampur darah, batuk

darah, sesak nafas dan nyeri dada, badan lemah, nafsu makan menurun,

berat badan menurun, rasa kurang enak badan (malaise), berkeringat

malam walaupun tanpa kegiatan, demam meriang lebih dari sebulan.

Gejala tersebut diatas dijumpai pada penyakit paru selain TBC.

Oleh sebab itu setiap orang yang datang ke Unit Pelayanan Kesehatan

dengan gejala tersebut harus dianggap sebagai seorang “suspek

tuberculosis”atau tersangka penderita TBC, dan perlu dilakukan

pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung.

4. Patogenesis Tuberkulosis (TBC)

Paru-paru merupakan port d’entrée lebih dari 98% kasus infeksi

TBC. Kuman TBC dalam percik renik (droplet nuclei) yang ukurannya

sangat kecil (<5µm), akan terhirup dan dapat mencapai alveolus. Kuman

TBC kebanyakan menginfeksi manusia melalui inhalasi droplet yang

mengandung kuman-kuman basil tuberkel yang berasal dari orang yang

terinfeksi. Basil yang mencapai kedalam alveolus, biasanya dibagian apeks

paru atau dibagian atas lobus bawah, kemudian merangsang reaksi

peradangan. Pada awalnya sel-sel polimorfonklear (PMN) datang

memfagosit bakteri namun tidak membunuh kuman tersebut. Beberapa

hari kemudian, kerja leukosit akan digantikan oleh makrofag. Alveolus

9
yang terserang akan mengalami konsolidasi dan timbul pneumonia akut

yang bisa sembuh sendiri atau terus berlanjut bakteri berkembang biak di

dalam sel. Kumpulan makrofag yang didalamnya terdapat basil akan

membentuk sel tuberkel epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit. Basil

TBC juga bisa menyebar ke kelenjar getah bening regional melalui

limfogen. Proses ini memerlukan waktu 10-20 hari (Kowalak, 2011).

Kuman TBC dapat menyebar melalui limfogen, hematogen atau

bisa keduanya. Penyebaran hematogen bisa menyebabkan TBC milier

dimana fokus nekrotik merusak pembuluh darah sehingga kuman banyak

masuk kedalam pembuluh darah dan menyebar ke berbagai organ tubuh.

Nekrosis di bagian tengah tuberkel tampak gambaran relatif padat dan

seperti keju yang disebut nekrosis kaseosa. Lesi primer paru disebut fokus

ghon, sedangkan gabungan lesi primer dan getah bening regional yang

terserang disebut kompleks ghon (Utji, 2013).

Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TBC hingga

terbentuknya secara primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi.

Hal ini berbeda dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain,

yaitu waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya

gejala penyakit. Masa inkubasi TBC bervariasi selama 2-12 minggu,

biasanya berlangsung selama 4-8 minggu. Selama masa inkubasi tersebut,

kuman berkembang biak hingga mencapai jumlah 103-104, yaitu jumlah

yang cukup untuk merangsang respons imunitas selular. Pada saat

terbentuknya kompleks primer, TBC primer dinyatakan telah terjadi.

10
Setelah terjadi kompleks primer, imunitas selular tubuh terhadap TBC

terbentuk yang dapat diketahui dengan adanya hipersensitivitas terhadap

tuberkuloprotein, yaitu uji tuberkulin positif. Selama masa inkubasi, uji

tuberkulin masih negatif. Pada sebagian besar individu dengan sistem

imun yang berfungsi baik, pada saat sistem imun selular berkembang,

proliferasi kuman TBC terhenti. Akan tetapi, sejumlah kecil kuman TBC

dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas selular telah terbentuk,

kuman TBC baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan

oleh imunitas selular spesifik CMI(cellular mediated immunity). Setelah

imunitas selular terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya akan

mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau klasifikasi

setelah terjadi nekrosis perkijuan dan enkapsulasi, tetapi penyembuhan

biasanya tidak sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TBC

dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini,

tetapi tidak menimbulkan gejala sakit TBC (Kementrian Kesehatan RI,

2013).

Bentuk penyebaran hematogen lain adalah penyebaran

hematogenik generalisasi akut (acute generalized hematogenic spread).

Pada bentuk ini, sejumlah besar kuman TBC masuk dan beredar di dalam

darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya

manifestasi klinis penyakit TBC secara akut, yang disebut TBC

diseminata. TBC diseminata ini timbul dalam waktu 2-6 bulan setelah

terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi

11
kuman TBC yang beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran.

Tuberculosis diseminata terjadi karena tidak adekuatnya sistem imun

pejamu dalam mengatasi infeksi TBC, misalnya pada anak bawah lima

tahun (balita) terutama di bawah dua tahun. Bentuk penyebaran yang

jarang terjadi adalah protracted hematogenic spread. Bentuk penyebaran

ini terjadi bila suatu fokus perkijuan di dinding vaskuler pecah dan

menyebar ke seluruh tubuh, sehingga sejumlah besar kuman TBCakan

masuk dan beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TBCakan

penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan dengan acute generalized

hematogenic spread (Kementrian Kesehatan RI, 2014).

5. Diagnosis Tuberkulosis (TBC)

a. Diagnosis Tuberkulosis Paru

1) Diagnosis TBC paru dewasa harus ditegakkan terlebih dahulu

dengan pemeriksaan bakteriologis. Pemeriksaan bakteriologis

yang dimaksud adalah pemeriksaan mikroskopis langsung, biakan

dan tes cepat.

2) Apabila pemeriksaan secara bakteriologis hasilnya negatif, maka

penegakan diagnosis TBC paru dapat dilakukan secara klinis

menggunakan hasil pemeriksaan klinis dan penunjang (setidak-

tidaknya pemeriksaan foto thoraks) yang sesuai dan ditetapkan oeh

dokter yang telah terlatih TBC paru.

3) Tidak dibenarkan mendiagnosis TBC paru hanya berdasarkan foto

thoraks saja. Foto thoraks tidak selalu memberikan gambaran

12
spesifik pada TBC paru, sehingga dapat menyebabkan terjadi

overdiagnosis ataupun underdiagnosis (Kementrian Kesehatan RI,

2014).

b. Diagnosis Tuberkulosis Ekstra Paru

1) Gejala dan keluhan tergantung pada organ yang terkena, misalnya

kaku kuduk pada meningitis TBC, nyeri dada pada TBC pleura

(pleuritis), pembesaran kelenjar limfe superfisialis pada

limfadenitis TBC serta demorfitas tulang belakang (gibbus) pada

spondilitis TBC dan lain-lainnya.

2) Diagnosis pasti pada pasien TBC ekstra paru ditegakkan dengan

pemeriksaan klinis, bakteriologis dan atau hispatologis dari contoh

uji yang diambil dari organ tubuh yang terkena.

3) Dilakukan pemeriksaan bakteriologis apabila juga ditemukan

gejala yang sesuai untuk menemukan kemungkinan adanya TBC

(Kementrian Kesehatan RI, 2014).

c. Pemeriksaan Dahak Mikroskopis

Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan

dengan mengumpulkan 2 contoh uji dahak yang berupa dahak sewaktu

pagi (SP) dan sewaktu-sewaktu (SS). Hasil pemeriksaan dinyatakan

positif apabila sedikitnya 2 contoh uji dahak BTA hasilnya positif. Bila

hanya 1 spesimen yang positif perlu diadakan pemeriksaan lebih lanjut

yaitu foto rontgen dada atau pemeriksaan spesimen SS dan SS diulang.

Jikahasil rontgen mendukung TBC, maka penderita di diagnosis

13
sebagai TBC BTA positif. Jika hasil rontgen tidak mendukung TBC,

maka pemeriksaan lain, misalnya biakan dan Tes Cepat Molekuler

(TCM) (Kementrian Kesehatan RI, 2017).

Bila spesimen dahak negatif, diberikan spectrum antibiotik luas

(misalnya cotrimoxazole atau amoxicillin) selama 1 atau 2 minggu.

Bila tidak ada perubahan namun gejala klinis tetap mencurigakan

TBC, ulangi pemeriksaan dahak ewaktu pagi (SS) dan sewaktu-

sewaktu (SS). Jika hasil tetap negatif, lakukan pemeriksaan foto

rontgen dada untuk mendukung diagnosis TBC (Kementrian

Kesehatan RI, 2017).

d. Tes Cepat Molekuler (TCM)

Tes cepat molekuler merupakan metode penemuan terbaru

untuk diagnosis TBC beradasarkan pemeriksaan molekuler yang

menggunakan metode Real Time Polymerase Chain Reaction Assay

(RT-PCR) semi kuantitatif yang menargetkan wilayah hotspot gen

rpoB pada mycobacterium tuberculosis, yang terintegrsi dan secara

otomatis mengolah sediaan dengan ekstraksi deoxyribo nucleic acid

(DNA) dalam catridge sekali pakai. Penelitian invitro menunjukkan

batas deteksi bakteri TBC dengan metode RT-PCR GeneXpert

minimal 131 bakteri/ml sputum. Waktu hingga didapatkanya hasil

kurang dari 2 jam dan hanya membutuhkan pelatihan yang simpel

untuk dapat menggunakan alat ini (Kurniawan et al, 2016).

14
Pemanfaatan penggunaan alat tes cepat GeneXpert MTBC/RIF

saat ini ditunjukkan untuk diagnosis terduga TBC resistan obat

(Manajemen Terpadu Pengendalian TBC Resisten Obat/MTPRO),

TBC HIV, dan selanjutnya akan dikembangkan untuk diagnosis TBC

baru pada anak, TBC diabetes melitus, TBC ekstra paru, serta

diagnosis pada terdugaTBC hasil BTA negatif (Kementrian Kesehatan

RI, 2016). Metode tes cepat molekuler terus dikembangkan dan akan

dilakukan untuk tuberculosis di masa yang akan datang sehingga perlu

dilakukan uji performa tes cepat molekuler ini khususnya di Balai

Besar Kesehatan Paru Masyarakat Makassar.

e. Pemeriksaan Biakan

Pemeriksaan biakan untuk identifikasi Mycobacterium

tuberculosis (M. TBC) dimaksudkan untuk menegakkan diagnosis pasti

TBC pada pasien tertentu, misal :

1) Pasien TBC ekstra paru.

2) Pasien TBC anak.

3) Pasien TBC dengan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis

langsung BTA negatif (Kementrian Kesehatan RI, 2014)

f. Pemeriksaan Kepekaan Obat

Uji kepekaan obat bertujuan untuk menentukan ada tidaknya

resistensi M. TBC terhadap OAT. Untuk menjamin kualitas hasil

pemeriksaan, uji kepekaan obat tersebut harus dilakukan oleh

laboratorium yang telah tersertifikasi atau lulus uji pemantapan

15
mutu/Quality Assurance (QA). Hal ini dimaksudkan untuk

memperkecil kesalahan dalam menetapkan jenis resistensi OAT dan

pengambilan keputusan paduan pengobatan pasiendengan resistan

obat. (Kementrian Kesehatan RI, 2014)

6. Penularan Tuberkulosis (TBC)

Tuberkulosis ditularkan dari penderita yang TBC BTA positif

melalui percikan dahak (droplet). Pada saat batuk atau bersin sehingga

menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (Droplet

Nuklei/Percik Renik).

Droplet yang mengandung kuman TBC dapat bertahan di udara

yang mengandung droplet dan masuk ke dalam saluran pernapasan yang

selanjutnya akan menyebar dari paru-paru ke bagian tubuh lainnya. Sekali

batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak yang mengandung

kuman sebanyak 0-3500 M. Tuberculosis. Sedangkan saat bersin dapat

mengeluarkan sebanyak 4. 500-1. 000. 000 M. Tuberculosis (Peraturan

Mentri Kesehatan RI, 2016).

7. Klasifikasi Tuberkulosis (TBC)

Berdasarkan klasifikasi menurut Pedoman Nasional Pengendalian

Tuberkulosis tahun 2014, sebagai berikut :

a. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit

1) Tuberkulosis paru, adalah TBC yang terjadi di paru atau adanya

lesi di jaringan paru.

16
2) Tuberkulosis ekstra paru, adalah TBC yang terjadi di luar organ

paru, seperti: pleura, kelenjar limfe, abdomen, saluran kencing,

kulit, sendi, selaput otak dan tulang. Diagnosis ini ditetapkan

berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologis atau klinis.

b. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya

1) Pasien baru, adalah pasien yang belum pernah mendapatkan

pengobatan TBC sebelumnya atau sudah pernah menelan OAT

kurang dari 1 bulan (<28 dosis).

2) Pasien yang sudah pernah diobati, adalah pasien yang sebelumnya

sudah pernah mendapatkan pengobatan selama 1 bulan atau lebih

(>28 dosis). Selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan hasil

pengobatan TBC terakhir yaitu: pasien kambuh, pasien yang

diobati kembali setelah gagal, pasien yang diobati kembali setelah

putus berobat (lost to follow up) dan lain-lain.

3) Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui

c. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat

1) Mono resistan (TBC MR), resistan berdasarkan salah satu jenis

OAT lini pertama saja.

2) Poli resistan (TBC PR), resistan terhadap lebih dari 1 jenis OAT

lini pertama selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara

bersamaan.

3) Multi drug resistan (TBC MDR), resistan terhadap Isoniazid (H)

dan Rifampisin (R) secara bersamaan.

17
4) Extensive drug resistan (TBC XDR), adalah TBC MDR yang

sekaligus juga resistan terhadap salah satu OAT golongan

fluorokuinolon dan minimal salah satu dari OAT lini kedua jenis

suntikan (Kanamisin, Kapreomisin dan Amikasin).

5) Resistan rifampizin (TBC RR), resistan terhadap rifampizin dengan

atau tanpa resistensi pada OAT lain yang terdeteksi menggunakan

metode genotip (tes cepat) atau metode fenotip (konvensional).

d. Klasifikasi pasien TBC berdasarkan status HIV

1) Pasien TBC dengan HIV positif (pasien ko-infeksi TBC /HIV),

adalah pasien dengan hasil tes HIV positif sebelumnya atau sedang

mendapatkan ART atau hasil tes HIV positif pada saat diagnosis

TBC.

2) Pasien TBC dngan HIV negatif, adalah pasien dengan hasil tes

HIV negatif sebelumnya atau hasil tes negatif pada saat diagnosa

TBC.

8. Pencegahan Tuberkulosis (TBC)

Pada dasarnya terdapat beberapa tindakan yang dapat dilakukan

sebagai upaya pencegahan terhadap terjangkitnya penyakit TBC. Berikut

merupakan pencegahan-pencegahan yang dapat dilakukan oleh penderita,

masyarakat, maupun petugas kesehatan (Naga,2013):

a. Pencegahan penularan bagi penderita yang dapat dilakukan dengan

menutup mulut saat batuk dan membuang dahak tidak di sembarang

tempat.

18
b. Pencegahan penularan bagi masyarakat yang dapat dilakukan dengan

meningkatkan ketahanan terhadap bayi yaitu dengan memberikan

vaksinasi BCG.

c. Pencegahan penularan bagi petugas kesehatan yang dapat dilakukan

dengan memberikan penyuluhan tentang penyakit TBC yang meliputi

gejala, bahaya, dan akibat yang ditimbulkan terhadap kehidupan

masyarakat pada umumnya.

d. Petugas kesehatan juga harus segera melakukan pengisolasian dan

pemeriksaan terhadap orang-orang yang terinfeksi atau dengan

memberikan pengobatan khusus terhadap penderita TBC.

e. Pencegahan penularan juga dapat dicegah dengan menggunakan

disenfeksi seperti cuci tangan, kebersihan rumah yang ketat, perhatian

khusus terhadap muntahan atau ludah anggota keluarga yang terjangkit

penyakit TBC (piring, tempat tidur, pakaian) dan menyediakan

ventilasi rumah dengan sinar matahari yang cukup.

f. Melakukan imunisasi orang-orang yang melakukan kontak langsung

dengan penderita seperti keluarga, perawat, dokter, petugas kesehatan,

dan petugas lain yang terindikasi dengan vaksin BCG dan tindak lanjut

bagi yang positif tertular.

g. Melakukan penyelidikan terhadap orang-orang kontak. Perlu

dilakukan tes Tubercullin bagi seluruh anggota keluarga. apabila cara

ini menunjukkan hasil negatif, perlu diulang pemeriksaan tiap bulan

selama 3 bulan dan perlu penyelidikan intensif.

19
h. Dilakukan pengobatan khusus. Penderita dengan TBC aktif perlu

pengobatan yang tepat, yaitu obat-obat kombinasi yang telah

ditetapkan oleh dokter untuk diminum dengan tekun dan teratur selama

6-12 bulan. Perlu diwaspadai adanya kebal terhadap obat-obatan

dengan pemeriksaan penyelidikan oleh dokter.

Sedangkan pencegahan yang dapat dilakukan oleh pribadi kita

seendiri antara lain adalah (Rimbi, 2014):

a. Mengurangi kontak langsung dengan penderita TBC aktif.

b. Selalu menjaga standar hidup yang baik, caranya bisa dengan

mengkonsumsi makanan dengan niai gizi yang tinggi, menjaga

lingkungan agar selalu sehat, baik itu di rumah maupun di tempat

kerja, dan menjaga kebugaran tubuh dengan meluangkan waktu untuk

berolahraga.

c. Menjaga kesehatan badan sehingga imun tubuh tetap terjaga.

d. Pemberian vaksin BCG yang bertujuan untuk mencegah terjadinya

kasus infeksi TBC yang lebih berat. Vaksin ini secara rutin diberikan

kepada semua balita.

9. Pengobatan Tuberkulosis (TBC)

Menurut Kementrian Kesehatan RI(2014), pengobatan

Tuberkulosis (TBC) adalah salah satu upaya paling efisien untuk

mencegah penyebaran lebih lanjut dari Kuman Tuberkulosis. Tujuan

dalam pengobatan TBC adalah untuk menyembuhkan pasien dan

20
memperbaiki produktivitas serta kualitas hidup, mencegah terjadinya

kematian akibat kuman TBC, mencegah terjadinya kekambuhan TBC,

menurunkan angka penularan TBC, dan mencegah terjadinya penularan

TBC resisten obat.

Pengobatan TBC meliputi 2 tahapan, yaitu :

a. Tahap awal

Pada tahapan awal, pengobatan diberikan kepada pasien selama

setiap hari dengan maksud untuk menurunkan jumlah kuman yang ada

dalam tubuh pasien secara efektif dan meminimalisir pengaruh dari

kuman yang mungkin sudah resisten pada semua pasien baru.

Pada tahap ini obat harus diberikan selama 2 bulan dengan

pengawasan langsung oleh PMO. Pada umumnya dengan pengobatan

secara teratur dan tanpa adanya penyakit, daya penularan sudah

menurun setelah pengobatan selama 2 minggu.

b. Tahap lanjutan

Pengobatan pada tahap lanjutan merupakan hal yang penting

untuk membunuh sisa kuman yang masih ada dalam tubuh khususnya

persister sehingga pasien dapat sembuh total dan mencegah terjadinya

kekambuhan.

Pengobatan pada penderita TBC dengan memadukan obat anti

tuberculosis yang direkomendasikan oleh WHO dan IUATLD

(International Union Against Tuberculosis and Lung Disease) dalam

Penanggulangan Nasional Penanggulangan TBC di Indonesia menurut

21
Kementrian Kesehatan RI (2014) dibagi menjadi dua kategori, antara

lain :

1) Kategori 1 : (2HRZE)/4(HR)3

Tahap intensif terdiri dari Isoniasid (H), Rifampisin (R),

Pirazinamid (Z), dan Enthambutol (E). obat-obat tersebut

diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZE). Kemudian

diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari (Isoniasid (H)

dan Rifampisin (R), diberikan tiga kai dalam seminggu selama 4

bulan (4H3RE). Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru :

a) Pasien TBC paru terkonfirmasi bakteriologis.

b) Pasien TBC paru terdiagnosis klinis.

c) Pasien TBC ekstra paru.

2) Kategori 2 : (2HRZES)/(HRZE)/5(HRE)3

Tahap intensif diberikan selama 3 bulan, yang terdiri dari 2

bulan denganIsoniasid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), dan

Enthambutol (E) dan suntikan sterptomisin setiap hari di UPK.

Dilanjutkan 1 bulan dengan Isoniasid (H), Rifampisin (R),

Pirazinamid (Z), dan Enthambutol (E) setiap hari. Setelah itu

diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan denganHRE yang

diberikan tiga kali dalam seminggu. Perludiperhatikan bahwa

suntikan streptomisin diberikan setelah penderita selesai menelan

obat.

22
Paduan OAT Kategori 1 dan Kategori 2 disediakan dalam

bentuk paket obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet

OAT-KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu

tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien dan

paduan ini dikemas dalam satu paket untuk 1 pasien. Sedangkan

paket kombipak adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid,

Rifampisin, Pirazinamid dan Enthambutol yang dikemas dalam

bentuk blister.

Panduan OAT ini disediakan program DOTS untuk

digunakan dalam pengobatan pasien yang terbukti mengalami efek

samping pada pengobatan dengan OAT-KTD sebelumnya

(pengobatan ulang), seperti :

a) Pasien kambuh.

b) Pasien gagal pada pengobatan dengan paduan OAT kategori 1

sebelumnya.

c) Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to

follow-up).

23
B. Tinjauan Umum Tentang Variabel Penelitian

1. Merokok

Rokok adalah hasil olahan tembakau terbungkus, termasuk cerutu

atau bentuk lainnya yang dihasilkan dari tanaman Nicotinana Tobacum,

Nikotiana Rustica dan spesies lainnya atau sintesisnya yang mengandung

nikotin dan tar dengan atau tanpa bahan tambahan. Merokok adalah

membakar tembakau yang kemudian dihisap isinya, baik menggunakan

rokok maupun menggunakan pipa. Bahan kimia yang terkandung dalam

rokok adalah nikotin, tar, CO (karbon monoksida), amonia, hidrogen

sianida (HCN), hidrogen sulfida, methanol, pyridine, kadmium,

formaldehida dan fenol (Siregar, 2015).

Asap rokok dapat menurunkan kemampuan makrofag dalam

membunuhbakteri, makrofag memiliki kemampuan untuk mencari dan

memakan bakteri, virus,jamur, dan parasit. Gas berbahaya dalam asap

rokok merangsang pembentukanlendir dan debu sehingga bakteri yang

tertumpuk tidak dapat dikeluarkan(Dharmawati dkk, 2016). Anak-anak

yang orangtuanya merokok lebih mudahterkena penyakit saluran

pernapasan seperti flu, asma, pneumonia dan penyakitsaluran pernapasan

lainnya (Wardani dkk, 2015).

Kebiasaan merokok merupakan kebiasaan yang sangat umum dan

meluas dimasyarakat Indonesia. Bahkan masyarakat yang mengadakan

suatu kendurimerasa tidak lengkap jika tidak ada sajian rokok. Sehingga

merokok menjadi satukebiasaan yang dianggap sebagai bagian dari

24
kehidupan normal. MasyarakatIndonesia sebagian beranggapan bahwa

rokok merupakan kebutuhan sehari-hariyang harus dipenuhi. Kebiasaan

merokok merupakan kebiasaan yang sangat sulitdihilangkan dan jarang

orang mau mengakui bahwa merokok adalah kebiasaanburuk (Khotijah,

2015).

Penelitian Giacomo, et al (2011) membuktikan bahwa angka

kejadia TBC di Australia, cenderung lebih tinggi pada penduduk pribumi

dibandingkan dengan penduduk pendatang. Hal ini berhubungan dengan

social ekonomi, standar pelayanan kesehatan dan kebiasaan merokok yang

tinggi. Merokok berhubungan dengan peningkatan kerentanan terhadap

influenza dan TBC. Sebuah studi dengan hewan uji coba tikus,

menjelaskan bahwa pajanan asap rokok secara langsung menghambat

respon sel T terhadap Mycrobacterium Tuberculosis dan virus influenza

(Fen, et al, 2011).

Merokok dapat mengganggu pertahanan paru dalam melawan

infeksi virus dan bakteri, salah satunya adalah TBC. Merokok dapat

menyebabkan perpanjangan waktu konfersi sputum pada pasien TBC yang

menjalani pengobatan. Merokok berhubungan erat dengan waktu konfersi

sputum yang lebih panjang pada individu yang merokok dibandingkan

dengan individu yang tidak merokok (Metanat, et al, 2010).

Merokok dan TBC dapat merusak paru melalui efeknya terhadap

sistim imun sehingga mengurangi efektivitas pengobatan TBC. Pada

individu yang merokok, pertahanan utama paru yaitu makrofag alveolar,

25
mengalami penurunan fungsi fagositosis dan penurunan tingkat sitokon

inflamasi yang dikeluarkan. Sitokin-sitokin ini penting dalam pertahanan

dari infeksi lokal, termasuk kuman TBC. Mekanisme tersebut dapat

menyebabkan waktu konfersi sputum pada pasien TBC yang merokok

lebih panjang dibandingkan dengan pasien TBC yang tidak merokok

selama menjalani pengobatan. Perpanjangan waktu konfersi merupakan

indicator yang penting atas efektifitas pengobatan dan kemungkinan

terjadinya kekambuhan (Arcavi et al, 2014).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Lalombo dkk (2015) di

Puskesmas Siloam Kecamatan Tamako Kabupaten Kepulauan Sangihe di

dapatkan bahwa Ada hubungan kebiasaan merokok dengan kejadian

Tuberkulosis Paru paru di Puskesmas Siloam Kecamatan Tamako hal ini

dibuktikan berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dengan Uji

statistik menggunakan chi square penelitian menggunakan tabel 2x2 yang

nilai harapannnya < 5, sehingga hasil uji statistik dari penelitian ini dilihat

pada continuity correction didapatkan hasil yaitu p = 0,01 yang berarti

dengan nilai p lebih kecil dari nilai α = 0,05. Dampak buruk bagi

kesehatan khusunya paru karena rokok tidak hanya berdampak bagi

perokok namun juga bagi orang lain yang berada dilingkungan perokok

yaitu perokok pasif yaitu mereka yang tidak merokok tetapi sering

berkumpul dengan perokok sehingga terpaksa harus menghirup asap

rokok. Asap rokok yang dihembuskan oleh perokok dan terhirup oleh

perokok pasif, lebih berbahaya mengandung 5 kali lebih banyak

26
mengandung karbon monoksida dan empat kali lebih banyak mengandung

tar dan nikotin.

2. Status Gizi

a. Pengertian Status Gizi

Menurut Supariasa, dkk (2016), status gizi didefinisikan

sebagai suatu bentuk dari gambaran kondisi proporsional seseorang

atau individu dalam wujud variabel tertentu. Status gizi merupakan

suatu kondisi tubuh seseorang yang disebabkan oleh asupan makanan

dan zat-zat gizi. Asupan makanan dan zat-zat gizi yang tercukupi serta

digunakan secara efisien, maka secara tidak langsung dapat

mengoptimalkan berbagai hal, seperti: pertumbuhan fisik,

perkembangan otak, kemampuan kerja dan kesehatan. Dalam menilai

status gizi, dapat menggunakan penilaian status gizi secara langsung

dan penilaian status gizi secara tidak langsung (Istiany dan Rusilanti,

2013).

b. Penilaian Status Gizi Secara Langsung

Menurut Supariasa, dkk (2016), terdapat empat cara dalam

menilai status gizi secara langsung, yaitu :

1) Antropometri

a) Definisi : Beragam jenis pengukuran dalam hal dimensi dan

komposisi tubuh yang ditinjau dari segi usia dan tingkat gizi.

b) Jenis parameter : Terdapat enam macam parameter dalam

menilai status gizi menggunakan antropometri, yaitu : umur,

27
berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas, lingkar kepala

dan lingkar dada dan jaringan lunak.

c) Indeks antropometri : Terdapat tujuh macam indeks

antropometri yang digunakan dalam menilai status gizi yaitu :

i. Berat Badan Menurut Umur (BB/U), dimana berat badan

merupakan indikator massa tubuh yang labil, jika dalam

kondisi normal, berat badan yang berkembang akan

mengikuti umur yang bertambah atau sebaliknya,

ii. Tinggi Badan Menurut Umur (TBC/U), dimana tinggi

badan merupakan indikator pertumbuhan skeletal, jika

dalam kondisi normal, pertumbuhan tinggi badan akan akan

mengikuti umur yang bertambah,

iii. Berat Badan Menurut Tinggi Badan (BB/TBC), dimana

berat badan merupakan indikator yang memiliki keterkaitan

linier dengan tinggi badan. Dalam kondisi normal, berat

badan akan berkembang sejalan dengan pertumbuhan berat

badan,

iv. Lingkar Lengan Atas Menurut Umur (LiLA/U), dimana

lingkar lengan atas merupakan indikator yang

mencerminkan kondisi jaringan otot dan lapisan lemak

bawah kulit yang memiliki hubungan dengan BB/U dan

BB/TBC,

28
v. Tebal lemak bawah kulit menurut umur, dimana tebal

lemak tubuh dapat diukur pada ketebalan lemak bawah

kulit (skinfold) dengan faktor jenis kelamin dan usia yang

dapat mempengaruhi jumlah lemak tubuh, pada pria 3,1 kg,

dan wanita 5,1 kg,

vi. Rasio lingkar pinggang dengan panggul, dimana rasio

lingkar pinggang dengan panggul merupakan indikator

banyaknya lemak pada perut yang mencerminkan

perubahan metabolisme dan

vii. Indeks Masa Tubuh (IMT), dimana Body Mass Index atau

yang dikenal dengan Indeks Massa Tubuh (IMT)

merupakan indikator yang mencerminkan status gizi

seseorang (kekurangan dan kelebihan berat badan),

sehingga individu akan mempertahankan berat badan

normal.

IMT dirumuskan dan diklasifikasikan sebagai berikut :

IMT = Berat Badan (kg)/Tinggi Badan2


Tabel 2. 1 Klasifikasi Indeks Massa Tubuh(IMT)

IMT (Kg/m)2 Kategori


<18,5 Underweight
18,5-24,9 Normal
25-29,9 Overweight
30-34,9 Obese 1
35-39,9 Obese II
≥40 Obese III
Sumber: Kementrian Kesehatan RI Tahun 2014

29
2) Klinis

a) Definisi : Pemeriksaan yang berpijak pada perubahan yang

terkait dengan ketidakcukupan gizi (malnutrisi), seperti pada

kulit, mata, rambut, dan membrane mukosa mulut atau pada

komponen tubuh lainnya yang dijadikan sebagai indikator

nampak atau tidaknya masalah gizi kurang.

b) Jenis pemeriksaan : Riwayat medis (medical history) yang

merupakan catatan tentang perkembangan suatu penyakit dan

pemeriksaan fisik berupa observasi tanda gangguan gizi, baik

berupa sign dan symptom.

3) Biokimia

a. Definisi :Pemeriksaan di laboratorium yang mencerminkan

status gizi pada darah, urine, organ lain, metabolisme tubuh

yang berubah karena defisit asupan zat gizi tertentu dalam

periode yang lama dan cadangan zat gizi pada tubuh sendiri.

b. Jenis pemeriksaan : Penilaian status zat bezi, protein, vitamin,

mineral zat gizi spesifik.

4) Biofisik

a) Definisi : Pemeriksaan yang mencerminkan kinerja atau fungsi

(khusus jaringan) dan dalam memantau adanya struktur

jaringan yang berubah.

b) Jenis pemeriksaan : Uji radiologi, fungsi fisik dan sitologi.

30
c. Penilaian status gizi secara tidak langsung

Menurut Supariasa, dkk (2016) terdapat tiga cara dalam

menilai status gizi secara tidak langsung, yaitu :

1) Survei konsumsi makanan : Teknik dalam mengamati asupan

makanan dalam segi jumlah dan zat gizi.

2) Statistik vital : Teknik dalam hal analisis data statistik kesehatan.

3) Faktor ekologi : Kondisi yang didasarkan pada ekologi yang

memiliki kaitan dengan ketersediaan jumlah makanan, seperti

iklim, tanah irigasi dan lain-lain.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Yusuf dkk (2017)

menghasilkan hasil analisis hubungan antara Status Gizi dengan kejadian

TB Paru di Balai Pengobatan Penyakit Paru - Paru (BP4) Lubuk Alung

Sumatera Barat dapat dilihat bahwa dari 20 responden yang terkena TB

Paru terdapat 14 atau lebih separuh (63,6%) responden yang memiliki

status gizi kurus. Sedangkan dari 30 responden yang tidak TB Paru

terdapat 8 (36,4%) responden yang memiliki status gizi kurus. Dari hasil

uji statistik dengan chi-square diperoleh p value = 0,006 ( p value > 0,05)

maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara status gizi

dengan kejadian TB Paru di Balai Pengobatan Penyakit Paru – Paru (BP4)

Lubuk Alung Sumatera Barat Tahun 2017. Gizi merupakan salah satu

faktor penting yang menentukan tingkat kesehatan dan kesejahteraan

manusia dimana tingkat status gizi optimal akan tercapai apabila

kebutuhan zat gizi optimal terpenuhi. Keadaan kekurangan gizi akan

31
mempengaruhi daya tahan tubuh seseorang sehingga rentan terhadap

penyakit infeksi salah satunya TB Paru. Status Gizi yang buruk akan

meningkatkan resiko penyakit Tuberculosis Paru, sebaliknya Tuberculosis

Paru (TB) berkontribusi menyebabkan status Gizi buruk karena proses

perjalanan penyakit yang mempengaruhi daya tahan tubuh. Pasien TB

Paru seringkali mengalami penurunan status gizi, bahkan dapat menjadi

malnutrisi bila tidak diimbangi dengan diet yang tepat. Beberapa faktor

yang berhubungan dengan status gizi pada pasien TB paru adalah tingkat

kecukupan energi dan protein, perilaku pasien terhadap makanan dan

kesehatan, lama menderita TB Paru, serta pendapatan perkapita pasien.

3. Riwayat Kontak

Menurut UK’s contact tracingTBC atau kontak serumah dengan

penderita TBC adalah seseorang yang menghabiskan banyak waktu atau

sering dengan penderita TBC. Kontak serumah adalah adanya keluarga

yang serumah dan sudah diketahui menderita TBC dengan sputum BTA

(+). Kontak dengan penderita TBC merupakan faktor resiko utama dan

makin erat kontak makin besar resikonya. Oleh karenanya kontak di

rumah dengan anggota keluarga yang sakit TBC sangat berperan untuk

terjadinya infeksi TBC di keluarga, teman kerja, atau teman-teman

terutama keluarga terdekat.

Jika dalam satu rumah terdapat penderita TBC, maka anggota

rumah lainnya sebaiknya menghubungi pelayanan kesehatan untuk

32
melakukan check-upapakah anggota keluarga lain tertular TBC atau tidak.

Cara mencegah terjadinya contact tracing yaitu menjelaskan kepada

penderita TBC bahwa anggota keluarga serumahnya bisa terinfeksi TBC,

menjelaskan pentingnya pengobatan untuk contact tracing TBC jika

tertular, meminta penderita TBC membawa anggota keluarga serumahnya

ke layanan kesehatan untuk melakukan check contact tracing TBC dan

menjelaskan bahwa penderita TBC akan mudah menularkan penyakit TBC

di tempat yang kondisi lingkungannya kurang baik, seperti ruangan yang

berventilasi buruk, ruangan yang sempit dan lembab misalnya tempat kerja

tambang, penjara, dan lain-lain.

Berdasarkan Kementrian Kesehatan RI (2011) pengawasan

terhadap penderita, kontak dan lingkungan sebagai berikut :

a. Oleh penderita, dapat dilakukan dengan menutup mulut dengan

menutup mulut sewaktu batuk dan membuang dahak tidak

disembarangan tempat.

b. Oleh masyarakat dapat dilakukan dengan meningkatkan kekebalan

terhadap bayi diberikan vaksinasi.

c. Oleh petugas kesehatan dengan memberikan penyuluhan tentang

penyakit TBC yang antara lain meliputi gejala, bahaya, dan akibat

yang ditimbulkannya.

d. Isolasi, pemeriksaan kepada orang-orang yang terinfeksi, pengobatan

khusus TBC. Pengobatan mondok di rumah sakit hanya bagi penderita

yang kategori berat yang memerlukan pengembangan program

33
pengobatannya yang karena alasan-alasan sosial ekonomi dan medis

untuk tidak dikehendaki pengobatan jalan.

e. Des-Infeksi, cuci tangan dan pengawasan kebersihan alat rumah tangga

yang ketat, selain itu perlu perhatian khusus terhadap muntahan dan

ludah (piring, tempat tidur, pakaian) serta ventilasi rumah dan sinar

matahari yang cukup.

f. Imunisasi orang-orang kontak. Tindakan pencegahan bagi orang-

orang sangat dekat (keluarga, perawat, dokter, petugas kesehatan lain)

dan lainnya yang terindikasi dengan vaksinasi dan tindak lanjut bagi

yang positif tertular.

g. Penyelidikan orang-orang kontak. Tuberculin-test bagi seluruh

anggota keluarga dengan foto rontgen yang bereaksi positif, apabila

cara-cara ini negatif, perlu diulang pemeriksaan tiap bulan selama 3

bulan, perlu penyelidikan intensif.

h. Pengobatan Khusus. Penderita dengan TBC aktif perlu pengobatan

yang tepat obat-obat kombinasi yang telah ditetapkan oleh dokter di

minum dengan tekun dan teratur dalam waktu yang lama (6 atau 12

bulan). Diwaspadai adanya kebal terhadap obat-obat, dengan

pemeriksaan penyelidikan oleh dokter.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Wulandari dkk (2019) di

Bengkuluh Tengah didapatkan bahwa bahwa responden yang memiliki

riwayat kontak dengan penderita TB Paru mempunyai peluang 7,955 kali

untuk menderita BTA (+) dibandingkan dengan yang tidak memiliki

34
riwayat kontak dengan pederita TB Paru. Hal ini dibuktikan dengan Hasil

uji Chi-Square didapatkan nilai P= 0,000 < (0,05) berarti terdapat

hubungan signifikan antara riwayat penularan dengan kejadian penyakit

tuberculosis paru di puskesmas perawatan kembang seri Kabupaten

Bengkulu tengah. Sumber penularan adalah penderita TBC BTA positif.

Pada waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara

dalam bentuk droplet (percikan dahak). Droplet yang mengandung kuman

dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang

yang terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup ke dalam saluran

pernafasan. Setelah kuman TBC masuk ke dalam pernafasan, kuman

tersebut dapat menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya, melalui sistem

peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran nafas, atau penyebaran

langsung ke bagian tubuh lainnya. Daya penularan dari seorang penderita

ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin

tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak makin menular penderita

tersebut.

35
C. Kerangka Konsep

Kerangka konsep dalam penelitian ini dapat digambarkan seperti gambar di

bawah ini:

Variabel Independen Variabel Dependen

Merokok

Status Gizi Kejadian Tuberkulosis

Riwayat Kontak

Gambar 2. 1 Kerangka Konsep

36
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Desainpenelitian yang digunakan adalah deskriptif dengan menggunakan

metode Systematic Review yakni sebuah sintesis dari studi literature yang

bersifat sitematik, jelas, menyeluruh, dengan mengidentifikasi, menganalisis,

mengevaluasi melalui pengumpulan data – data yang sudahada dengan metode

pencarian yang eksplisit dan melibatkan proses telaah kritis dalam pemilihan

studi.

B. Tahapan Systematic Review

1. Identifikasi Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan judul penelitian diatas kita dapat menentukan

PICOtersebut; P = Pasien Tuberkulosis, I = Adanya faktor-faktor yang

mempengaruhi kejadian tuberkulosis, C = tidak adapembanding atau

intervensi lainnya dan O = mengetahui faktor-faktor yang

mempengaruhikejadian kejadian tuberkulosis. Pertanyaan penelitian

berdasarkan “PICO” adalah bagaimanakah gambaran faktor-faktor

yang mempengaruhikejadian tuberkulosis?

2. Protokol Penelitian

37
Merupakan detail perencanaan penelitian yang dipersiapan oleh

peneliti mulai dari pencararian data sampai kepada ekstrasi data yang

di dalamnya mencakup screening dan kriteria untuk menilai kualitas

baik kriteria inklusi maupun eksklusi. Untuk merangkum protokol

penelitian peneliti menggunakan metode “PRISMA” (Preferred

Reporting Items for Systematic Reviews and Meta Analyses)

a. Pencarian Data

Dalam penelitian Systematic Review ini peneliti melakukan

pencarian data (Jurnal Penelitian atau Artikel Penelitian) melalui

website portal jurnal Nasional yang dapat diakses yaitu

Perpustakaan Nasional Repuplik Indonesia (PNRI) dan Garuda

Ristek Brin. Berdasarkan judul penelitian “faktor-faktor yang

mempengaruhi kejadian tuberkulosis”, maka peneliti melakukan

pencarian data jurnal menggunakan Keyword “tuberkulosis paru”

38
b. Penyaringan Data (Screening)

Screening adalah penyaringan atau pemilihan data yang

bertujuan untuk memilih masalah penelitian yang sesuai dengan

topik yang diteliti. Adapun topik yang diteliti dalam penelitian ini

adalah faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian tuberkulosis.

Dengan topik tersebut, data jurnal yang diakses dalam proses

penelitian ini di-screening berdasarkan pada kriteria sebagai

berikut:

1) Jurnal diterbitkan dalam rentang waktu 5 tahun (2015-2020)

2) Jurnal Berbahasa Indonesia.

3) Jurnal yang dapat diakses secara penuh (Full Text)

c. Penilaian Kualitas dan Kelayakan Data

Pada penelitian Systematic Review peneliti hanya memakai

jurnal penelitian yang peneliti dapatkan pada situs akses jurnal

39
resmi Nasional (PNRI dan Garuda) dan terdapat dalam mode Full

Text Downloadable dengan harapan bahwa jurnal penelitian

tersebut sudah memenuhi persyaratan baik dalam segi kualitas

maupun kelayakan untuk digunakan sebagai acuan penelitian

selanjutnya.

d. Hasil Pencarian Data

Berdasarkan hasil pencarian data yang dilakukan peneliti

melalui situs akses jurnal resmi Nasional maka telah terkumpul

data yang dalam hal ini jurnal penelitian baik itu penelitian

Kuantitatif maupun penelitian Kualitatif yang telah memenuhi

syarat dan kriteria untuk dilakukan analisis lebih lanjut.

e. Strategi Pencarian

Pencarian jurnal penelitian yang merupakan data dalam

penelitian ini dilakukan peneliti dengan menerapkan beberapa

40
strategi yaitu membuat syarat yang berfungsi sebagai Filter untuk

menyaring data antara lain, Rentang waktu penerbitan jurnal

penelitian, Bahasa yang digunakan dalam jurnal, ketersedian jurnal

dalam mode Full Text. Kemudian peneliti juga membuat kriteria

inklusi untuk membatasi data yang akandigunakan sebagai sampel

agar tetap memiliki kaitan dengan penelitian ini, dan peneliti juga

melakukan penyaringan secara manual untuk mencegah adanya

data ganda atau jurnal yang terambil secara ganda.

f. Ekstrasi Data

Ekstrasi data dapat dilakukan jika semua data yang telah

memenuhi syarat dengan menggunakan metode PRISMA. Setelah

proses screening dilakukan maka hasil dari ekstraksi data ini dapat

diketahui pasti dari jumlah awal data yang dimiliki oleh peneliti

berapa yang masih memenuhi syarat untuk selanjutnya di analisa

lebih jauh.

Pencarian pada situs Garuda Pencarian pada situs PNRI


(n = 622) (n = 1. 534)

Hasil Jurnal secara keseluruhan


(n = 2. 156)

Kriteria Screening:
1. Rentang Waktu (2015-2020)
41
2. Jurnal Bahasa Indonesia
PNRI (n=234)
Garuda (n=445)
Screening
(n =679)

Jurnal yang dapat diakses Full Text


(n =342) Full-text :
PNRI (n=110)
Garuda (n=232)

Total jurnal yang sesuai dengan Kriteria Inklusi :


kriteria inklusi Jurnal Penelitian tentang SP2TP
(n = 15) berkaitan dengan variabel penelitian
yaitu: Input,Proses,Output
PNRI (n = 6)
Garuda (n= 9)

Gambar 3. 1 Diagram PRISMA Tahapan Systematic Review

C. Populasi, Sampel dan Teknik Sampling

1. Populasi

Adapun yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah jurnal

nasional yang berkaitan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian

tuberkulosis dalam kurun waktu antara 2015-2020. Jurnal yang dapat

diproses keseluruhan teks dan disaring jurnal yang berkaitan dengan

variabel independen.

2. Sampel

Sampel dalam penelitian ini berjumlah 15 jurnal yang dapat dianalisis

dan dipersempit oleh peneliti terkait variabel independen dan sesuai dengan

kriteria inklusi yaitu penelitian nasional yang berkaitan dengan faktor-faktor

yang mempengaruhi kejadian tuberkulosis.

3. Teknik Sampling

42
Pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan teknik purposive

sampling, yaitu suatu teknik penetapan sampel dengan cara memilih sample

di antara populasi sesuai dengan yang dikehendaki peneliti (tujuan dan

masalah dalam penelitian), sehingga sampel dapat mewakili karakteristik

populasi yang telah diketahui sebelumnya. Berdasarkan karakteristik

populasi yang telah diketahui, maka dibuat kriteria inklusi dan eksklusi.

Kriteria Inklusi adalah semua aspek yang harus ada dalam sebuah penelitian

yang akan kita review dan kirteria eksklusi adalah faktor –faktor yang dapat

menyebabkan sebuah penelitian menjadi tidak layakuntuk di review;

sebagai berikut:

a. Kriteria Inklusi

1) Artikel penelitian nasional yang berkaitan dengan variabel yang

diteliti.

2) Artikel penelitian diterbitkan dalam rentang waktu 5 tahun (2015-

2020)

3) Tipe artikel penelitian review articles, research articles

4) Artikel penelitian yang dapat diakses secara penuh

b. Kriteria Eksklusi

1) Artikel penelitian nasional dan internasional yang tidak berkaitan

dengan variabel yang diteliti.

2) Artikel penelitian diterbitkan telah lebih dari 5 tahun

D. Variabel Penelitian

43
Variabel penelitian adalah suatu atribut atau sifat atau nilai dari orang,

obyek, atau kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang di tetapkan oleh

peneliti untuk di pelajari kemudian di tarik kesimpulannya. Variabel dalam

penelitian ini meliputi :

1. Variabel Independen

Variabel independen atau bebas adalah variabel yang

mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahan timbulnya variabel

dependen (Sugiyono, 2013). Variabel independen dalam penelitian ini

adalah merokok, status gizi, riwayat kontak.

2. Variabel Dependen

Variabel dependen atau terikat adalah variabel yang di pengaruhi

atau yang menjadi akibat, karena adanya variabel bebas (Sugiono, 2013).

Variabel dependen dalam penelitian ini adalah kejadian tuberkulosis.

E. Analisa Data

Setelah melewati tahap protokol sampai pada ekstraksi data, maka

analisis data dilakukan dengan menggabungkan semua data yang telah

memenuhi kriteria inklusi mengguakan teknik secara deskriptif untuk

memberikan gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian

tuberkulosis.

44
45
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Tabel 4. 1
Hasil Systematic Review Faktor Faktor Yang Berhubungan
Dengan Kejadian Tuberkulosis
No Judul/Peneliti Tahun Lokasi Tujuan Desain Jumlah Metode Teknik Intervensi Hasil
Penelitian Responden Pengukuran Analisa
1 Hubungan 2017 Puskesmas mengetahui penelitian 219 Kuesioner Chi square - Terdapat
Perilaku Rawat Inap hubungan analitik responden hubungan yang
Merokok Panjang perilaku merokok kuantitatif signifikan antara
Dengan dengan klinik dengan merokok panjang
Kejadian Tb rawat inap TB pendekatan (p = 0. 000),
Paru Di paru di Panjang cross-sectional jumlah rokok
Puskesmas yang dihisap (p =
Rawat Inap 0. 000) dan jenis
Panjang. rokok yang
(Wahid Tri dihisap (p = 0.
Wahyudi) 000) dengan
risiko kejadian
TB paru.
2 Hubungan 2018 Puskesmas untuk studi 47 Kuesioner Chi square - ada hubungan
Merokok Tatelu menganalisis observasional responden yang bermakna
Dengan Kecamatan hubungan analitik dengan antara kebiasaan
Kejadian TB Dimembe merokok dengan rancangan merokok dengan
44
Paru Di kejadian TB Paru cross sectional kejadian Tb paru,
Wilayah Kerja di wilayah kerja study dengan nilai p=
Puskesmas Puskesmas Tatelu 0,007
Tatelu Kecamatan
Kecamatan Dimembe
Dimembe. Kabupaten
(Dismo Minahasa Utara
Katiandagho)
3 Hubungan 2018 Puskesmas Mengetahui Metode 45 Kuesioner Add ratio - Terdapat
perilaku Gamping 1 hubungan perilaku kuantitatif responden Asymp. hubungan
merokok Sleman merokok dengan dengan studi Sig (2- perilaku merokok
dengan kejadian penyakit korelasi denga sided) dengan kejadian
Yogyakarta
kejadian tuberculosis menggunakan penyakit
penyakit Puskesmas pendekatan tuberculosis
tuberculosis di Gamping 1 cross sectional Puskesmas
Willayah Kerja Sleman Gamping 1
Puskesmas Sleman
Gamping 1 Yogyakarta
Sleman dengan nilai
Yogyakarta. p=0,003.
(Beta
Martanto).
4 Hubungan 2020 Puskesmas mengetahui ada Cross Sectional 32 Kuesioner Chi square - terdapat
Perilaku Girian hubungan responden hubungan antara
Merokok Weru II Perilaku Meroko perilaku merokok
dengan kejadian
Dengan dengan kejadian
Tuberkulosis Paru
Kejadian di wilayah kerja Tuberkulosis
Tuberkulosis Puskesmas Girian Paru di wilayah
Paru Di Weru kerja Puskesmas
Wilayah Kerja Girian Weru
45
Puskesmas dengan nilai
Girian Weru II. p=0,000.
(Christina
Rompas)
5 Hubungan 2020 Puskesmas mengetahui Studi kasus 865 Kuesioner Chi square - sebagian besar
Perilaku Belawan hubungan perilaku kontrol responden responden kasus
Merokok Kota merokok dengan hubungan adalah perokok
Medan kejadian penyakit status gizi
Dengan aktif (58,1%)
TB Paru BTA dengan
Kejadian Positif di wilayah tuberkulosis dengan nilai
Penyakit kerja puskesmas p=0,000.
Tuberkulosis Belawan Kota Perokok aktif,
Paru Di Medan perokok pasif, >
Wilayah Kerja 15 tahun
Puskesmas (p=0,033),
Belawan Kota perokok berat
Medan. lama merokok >
(Sri Rezeki 10 tahun.
Hartati (p=0,037)
Eliandy).
6 Hubungan 2018 Rumah menganalisis desain 62 Kuesioner uji regresi -` Status gizi
Status Gizi Sakit hubungan status penelitian case- responden logistik berhubungan
dengan Umum gizi dengan control ganda dengan kejadian
Pusat Dr kejadian tuberkulosis anak
Kejadian
Mohamma tuberkulosis anak (P value = 0,017)
Tuberkulosis d Hoesin di RSUP Dr.
Anak di Rumah Palembang Mohammad
Sakit Umum Hoesin
Pusat Dr Palembang

46
Mohammad
Hoesin
Palembang.
(Anggita
Nahda)
7 Hubungan 2016 Provinsi mengetahui metode 2. 319 Kuesioner Chi - terdapat
Status Gizi Sulawesi hubungan status deskriptif responden individu Square hubungan antara
Dengan Utara gizi dengan korelatif Riskesdas status gizi dengan
Tuberkulosis kejadian kejadian TB Paru
Paru Di Tuberkulosis Paru dengan nilai
Provinsi di Provinsi signifikansi
Sulawesi Utara Sulawesi Utara sebesar p = 0,001
Berdasarkan berdasarkan data
Data Riskesdas. Riskesdas
(Kholis
Ernawati)
8 Hubungan 2017 Balai mengetahui metode 50 Kuesioner dan Chi square - Terdapat
Status Gizi Pengobatan hubungan status penelitian responden observasi hubungan antara
Dengan Penyakit gizi terhadap deskriptif status gizi dengan
Kejadian Tb Paru-Paru kejadian TB Paru analitik dengan kejadian TB Paru
Paru. (BP4) pendekatan dengan p value =
(Rahmi Novita Lubuk cross sectional 0,006.
Yusuf) Alung
9 Hubungan 2017 Puskesmas mengetahui metode survei 40 Kuesioner dan Chi square - Terdapat
Status Gizi Dan Sempor 1 hubungan antara analitik dengan responden observasi hubungan yang
Pendapatan pendapatan, status pendekatan bermakna antara
Terhadap nutrisi terhadap case control status gizi dengan
Kejadian kejadian kejadian
Tuberkulosis tuberkolusis paru Tuberkulosis
Paru. paru dengan nilai

47
(Isma Yuniar) p=0,028
10 Pengaruh Status 2015 Kabupaten menganalisis rancangan 72 Wawancara Regresi Status Gizi Hasil penelitian
Gizi Dan Jember faktor yang kasus kontrol responden dan kuesioner Logistik Dan Riwayat menunjukkan
Riwayat berpengaruh dengan Kontak bahwa variabel
Kontak terhadap kejadian pendekatan bebas yang
Terhadap TB anak di observasional memiliki
Kejadian Kabupaten Jember analitik pengaruh dengan
Tuberkulosis kejadian
Anak Di tuberkulosis anak
Kabupaten adalah riwayat
Jember. kontak (p =
(Anasyia 0,000; OR =
Nurwitasari) 26,6), lama
kontak (p =
0,000; OR = 69),
dan kedekatan (p
= 0,000; OR =
27,1)
11 Hubungan 2018 Balai menganalisis analitik 52 Kuesioner Chi square - ada hubungan
Riwayat Kesehatan hubungan riwayat observasional responden antara riwayat
Kontak Masyarakat kontak penderita dengan kontak penderita
Penderita Pati dengan kejadian pendekatan dengan kejadian
Dengan Tuberkulosis Paru case control tuberkulosis paru
Kejadian anak usia 1-14 anak usia 1-14
Tuberkulosis tahun di tahun (p value =
Paru Anak Usia Balkesmas Pati. 0,007)
1-14 Tahun Di
Balai
Kesehatan
Masyarakat
Pati.
48
(Risna Endah
Budiati)
12 Hubungan 2020 Puskesmas Mengetahui cross sectional 44 Kuesioner Chi square - ada hubungan
Riwayat Peureulak Hubungan responden antara riwayat
Kontak Antar Kab. Aceh Riwayat Kontak kontak antar
Pasangan Timur Antar Pasangan pasangan suami-
Suami-Istri Suami-Istri istri terhadap
terhadap terhadap penularan TB
Penularan TB Penularan TB Paru kasus baru
Paru Kasus Paru Kasus Baru berdasarkan hasil
Baru Berdasarkan Hasil pemeriksaan
Berdasarkan Pemeriksaan BTA BTA di
Hasil di Puskesmas Puskesmas
Pemeriksaan Peureulak Kab. Peureulak
BTA di Aceh Timur Kabupaten Aceh
Puskesmas Timur dengan
Peureulak Kab. nilai P = 0,001.
Aceh Timur.
(Budi Subhana
Maulana
Ibrahim
Tambunan)`
13 Hubungan 2018 Balai Mengetahui observasional 106 Kuesioner Chi square - Terdapat
Status Riwayat Kesehatan Hubungan Status analitik dengan responden hubungan antara
Kontak Bta+ Masyarakat Riwayat Kontak rancangan riwayat kontak
Terhadapkejadi Wilayah Bta+ penelitian case BTA+ dewasa
an Tb Anak Semarang Terhadapkejadian control dengan kejadian
(Studi Di Balai Tb Anak (Studi Di TB anak, dengan
Kesehatan Balai Kesehatan nilai p-value=
Masyarakat Masyarakat 0,001.
Wilayah Wilayah
49
Semarang). Semarang).
(Indah
Purnamaningsi
h)
14 Hubungan 2017 Balai menganalisis analitik 52 Kuesioner Chi square - ada hubungan
Riwayat Kesehatan hubungan riwayat observasional responden antara riwayat
Kontak Masyarakat kontak penderita dengan kontak penderita
Penderita Pati dengan kejadian pendekatan dengan kejadian
Dengan Tuberkulosis Paru case control tuberkulosis paru
Kejadian anak usia 1-14 anak usia 1-14
Tuberkulosis tahun di tahun (p value =
Paru Anak Usia Balkesmas Pati 0,007).
1-14 Tahun Di
Balai
Kesehatan
Masyarakat
Pati.
(Noor
Khoirina)
15 Kepadatan 2019 Puskesmas melihat hubungan penelitian 72 Buku register Chi square - ada hubungan
Hunian Dan Perawatan Kepadatan Hunian analitik dengan responden Puskesmas antara kepadatan
Riwayat Kembang dan riwayat Studi Case hunian dan
Kontak Dengan Seri kontak dengan Control riwayat kontak
Penderita Tb Kabupaten penderita TB di dengan Kejadian
Paru Di Bengkulu Puskesmas TB di Puskesmas
Bengkulu Perawatan Perawatan
Tengah. Kembang Seri Kembang Seri,
(Dwi Kabupaten (p= 0,000).
Wulandari) Bengkulu

50
B. Pembahasan

1. Hubungan Merokok dengan Kejadian Tuberkulosis

Berdasarkan artikel di atas, dari total 15 artikel peneltian terdapat 5

artikel yang membahas tentang hubungan merokok dengan kejadian

tuberculosis. Melalui artikel-artikel tersebut, terdapat hubungan yang

signifikan antara merokok dengan kejadian tuberculosis.

Penyakit tuberkulosis paru merupakan penyakit infeksi yang masih

menjadi masalah kesehatan dalam masyarakat kita. Penyakit TB paru

dimulai dari TB, yang berarti suatu penyakit infeksi yang disebabkan

bakteri berbentuk batang (basil) yang dikenal dengan nama

mycobacterium tuberculosis. Penularan penyakit ini melalui perantaraan

ludah atau dahak pendrita yang mengandung basil tuberkulosis paru. Pada

saat penderita batuk, butir-butir air ludah berterbangan di udara dan

terhisap oleh orang sehat, sehingga masuk kedalam paru-paru, yang

kemudian menyebabkan penyakit tuberkulosis paru. Kebiasaan merokok

dapat merusak pertahanan paru serta merusak mekanisme mucuciliary

Clearence, selain itu asap rokok juga akan meningkatkan airway resistance

serta permeabilitas epitel paru dan merusak gerak silia, makrofag

meningkatkan sintesis etalase dan menurunkan produksi antiprotease.

Semakin lama seseorang menghisap rokok maka semakin beresiko terkena

TB Paru (Naga, 2016).

Perilaku merokok dapat berhubungan dengan kejadian

Tuberkulosis paru karena pada saat proses penyembuhan pada saat masuk

51
tahap 2 bulan, para responden sudah merasa baik dan mereka

menghentikan proses penyembuhan dan kembali keaktifitas ada yang

kembali dengan kebiasaan merokok. Sehingga kuman Tuberkulosis Paru

yang menetap di tubuh manusia berubah menjadi kuman TB yang resisten

sehingga dapat timbul kembali, sehingga yang awalnya pemeriksaan

laboratorium 1+ menjadi 2+ atau 3+ sehingga tahap proses penyembuhan

bias menjadi sanggat sulit. Kemungkinan terjadinya reaktifitas TB dan

durasi paparan TB lebih lama dibandingkan dengan kelompok umur di

bawahnya. Sebaliknya semakin tinggi indeks kepemilikan atau

kemampuan sosial ekonomi semakin rendah prevelensi TB (Dian 2018).

Berdasarkan hasil yang diperoleh, terjadinya peningkatan

Tuberkulosis karena dalam proses penyembuhan selama 6 bulan pada

tahap 2 bulan klien sudah berhenti proses penyembuhan dan sudah tidak

datang untuk berobat di puskesmas dan sudah kembali melakukan aktifitas

peneliti sempat mengambil keterangan pada klien dan ada beberapa

keterangan yang mengatakan meraka yang awalnya adalah perokok berat

dan setelah mengetahui meraka terkena Tuberkulosis Paru dan mereka

putuskan untuk berhenti merokok dan pada saat mereka berhenti dalam

proses pengobatan Tuberkulosis mereka kembali merokok tapi tidak

sebanyak sebelumnya. Dan asumsi peneliti selain proses merokok ada

juga faktor lain yang mendukung selain perilaku merokok seperti

lingkugan rumah karena melihat kondisi lingkungan rumah klien yang

kurang sehat, untuk itu peneliti berharap agar nanti ada juga yang tertarik

52
untuk meneliti faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian

Tuberkulosis Paru. Penderita Tuberkulosis Paru yang sedang melakukan

terapi obat selama 6 bulan memutuskan untuk berhenti pengobatan setelah

masuk proses penyembuhan 2 bulan dan melanjutkan aktifitas seperti

biasa dan ada yang mengisap rokok meski hanya 1 batang per-hari. Asap

rokok yang baru mati di asbak menggandung tiga kali lipat bahan pemicu

kanker di udarah dan 50 kali mengandung bahan pengiritasi mata dan

pernafasan, semakin pendek batang rokok semakin tinggi kadar racun.

2. Hubungan Status Gizi dengan Kejadian Tuberkulosis

Berdasarkan artikel di atas, dari total 15 artikel penelitian terdapat

4 artikel yang membahas tentang hubungan status gizi dengan kejadian

tuberculosis. Melalui artikel-artikel tersebut, terdapat hubungan yang

signifikan antara status gizi dengan kejadian tuberculosis.

Malnutrisi dapat meningkatkan perkembangan TB aktif, dan TB

aktif menyebabkan malnutrisi semakin buruk. TB berkaitan dengan

kemiskinan, kepadatan penduduk, alkoholisme, stres, pecandu narkoba

dan kekurangan gizi dan sejauh ini merupakan penyakit yang paling umum

di Afrika. Kekurangna gizi atau malnutrisi dapat menyebabkan penurunan

imunitas tubuh yang meningkatkan kerentatan terhadap infeksi (Gupta, et

al, 2019).

Gizi merupakan salah satu faktor penting yang menentukan tingkat

kesehatan dan kesejahteraan manusia dimana tingkat status gizi optimal

53
akan tercapai apabila kebutuhan zat gizi optimal terpenuhi. Keadaan

kekurangan gizi akan mempengaruhi daya tahan tubuh seseorang sehingga

rentan terhadap penyakit infeksi salah satunya TB Paru. Status Gizi yang

buruk akan meningkatkan resiko penyakit Tuberculosis Paru, sebaliknya

Tuberculosis Paru (TB) berkontribusi menyebabkan status Gizi buruk

karena proses perjalanan penyakit yang mempengaruhi daya tahan tubuh.

Pasien TB Paru seringkali mengalami penurunan status gizi, bahkan dapat

menjadi malnutrisi bila tidak diimbangi dengan diet yang tepat. Beberapa

faktor yang berhubungan dengan status gizi pada pasien TB paru adalah

tingkat kecukupan energi dan protein, perilaku pasien terhadap makanan

dan kesehatan, lama menderita TB Paru, serta pendapatan perkapita pasien

(Putri, 2016).

Berdasarkan hasil yang diperoleh, status gizi merupakan faktor

yang berhubungan dengan kejadian TB namun status gizi dikeluarkan dari

model karena bukan merupakan faktor yang berpengaruh terhadap

kejadian TB. Anak dengan intensitas kontak yang lama atau kontak

dengan penderita TB lebih dari 6 bulan dengan penderita TB dewasa tetap

menyebabkan anak terapar kuman tuberkulosis dan tetap berkembang

menjadi infeksi meskipun dalam keadaan status gizi baik. Status gizi tidak

mempengaruhi suatu infeksi dikarenakan infeksi dengan keadaan gizi

kurang merupakan hubungan timbal balik atau hubungan sebab akibat.

Penyakit infeksi dapat memperburuk keadaan gizi dan keadaan gizi kurang

dapat mempermudah terjadinya infeksi.

54
3. Hubungan Riwayat Kontak dengan Kejadian Tuberkulosis

Berdasarkan artikel di atas, dari total 15 artikel penelitian terdapat

6 artikel yang membahas tentang hubungan riwayat kontak dengan

kejadian tuberculosis. Melalui artikel-artikel tersebut, terdapat hubungan

yang signifikan antara riwayat kontak dengan kejadian tuberculosis.

Sumber penularan adalah penderita TBC BTA positif. Pada waktu

batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk

droplet (percikan dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat

bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang yang

terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup ke dalam saluran pernafasan.

Setelah kuman TBC masuk ke dalam pernafasan, kuman tersebut dapat

menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya, melalui sistem peredaran

darah, sistem saluran limfe, saluran nafas, atau penyebaran langsung ke

bagian tubuh lainnya. Daya penularan dari seorang penderita ditentukan

oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi

derajat positif hasil pemeriksaan dahak makin menular penderita tersebut

(Dewi, 2015).

Riwayat kontak mempunyai hubungan yang bermakna dengan

kejadian TB Paru pada anak. Riwayat kontak adalah awal proses transmisi

untuk infeksi penyakit TB masuk dalam tubuh anak. Berarti ini

merupakan faktor resiko untuk timbulya TB Paru karena responden

memiliki riwayat kontak dengan penderita TB paru positif, yang tanpa

55
mereka sadari bakteri Mycobacterium tuberculosis telah berkembang

dalam tubuh mereka (Luh,D. L dkk,2016).

Berdasarkan hasil yang diperoleh, riwayat kontak merupakan salah

satu indikator penting dalam proses diagnosis tuberkulosis anak. Kontak

itu sendiri bisa dari beberapa sumber, seperti keluarga (serumah), di

sekolah dan dari tetangga/pengasuh anak. Dalam mendalami ada tidaknya

riwayat kontak pada instrumen penelitian yang digunakan peneliti yang

ditekankan adalah 3 aspek tersebut. Dengan berdasar hal tersebut kita bisa

mengetahui terjadinya tuberkulosis pada anak tersebut disebabkan karena

adanya kontak dengan serumah, di sekolah atau dari tetangga/pengasuh

anak. Jika telah diketahui faktor utama penyebabnya maka kita akan bisa

lebih waspada dan mencegah untuk tidak terjadinya kontak apabila

ditemukan penderita TB di lingkungan yang dianggap rawan menularkan.

56
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan jurnal-jurnal penelitian sebelumnya mengenai hubungan

merokok, status gizi dan riwayat kontak dengan tuberculosis, maka dapat

diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Dari 15 artikel yang ditemukan oleh peneliti, terdapat 5 artikel yang

menganalisa tentang hubungan merokok dengan tuberkulosis dan 5 artikel

tersebut menyatakan ada hubungan yang signifikan antara merokok

dengan tuberkulosis.

2. Dari 15 artikel yang ditemukan oleh peneliti, terdapat 4 artikel yang

menganalisa tentang hubungan status gizi dengan tuberkulosis dan 4

artikel penelitian tersebut menyatakan ada hubungan yang signifikan

antara status gizi dengan tuberkulosis

3. Dari 15 artikel yang ditemukan oleh peneliti, terdapat 6 artikel yang

menganalisa tentang hubungan riwayat kontak dengan tuberculosis dan 6

artikel tersebut menyatakan ada hubungan yang signifikan antara riwayat

kontak dengan tuberkulosis

57
B. Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, adapun saran yang peneliti sampaikan

sebagai berikut:

1. Dapat menjadi tambahan bahan pembelajaran dan memberikan sumbangan

pemikiran untuk pengembangan ilmu dalam bidang kesehatan masyarakat.

2. Dapat memberikan pengalaman bagi peneliti untuk menerapkan metode

penelitian yang telah di pelajari serta dapat mengetahui bagaimana

gambaran faktor faktor yang berhubungan dengan kejadian tuberkulosis

melalui systematic review.

3. Dapat digunakan sebagai data rujukan bagi penelitian yang akan datang

sehubungan dengan kejadian tuberkulosis, khususnya penelitian yang

berhubungan dengan riwayat kontak, status gizi, dan kebiasaan merokok

menggunakan metode systematic review.

4. Dapat lebih memahami akan gambaran faktor-faktor yang berhubungan

dengan kejadaian tuberkulosis melalui metode systematic review.

58
DAFTAR PUSTAKA

Global Tuberculosis Report. 2018, 20th. Edition. Geneva (Swiss)

Indah, M. 2018. ‘Tuberkulosis’, InfoDATIN 2018. Kementerian Kesehatan


Republik Indonesia.

Irwan. 2017. Epidemiologi Penyakit Menular. AbsolutMedia.

Istiany & Rusilanti. 2013. Gizi Terapan. Jakarta: Remaja Rosdakarya.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Strategi Nasional


Pengendalian TBC di Indonesia. Jakarta: Kemenkes RI.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Pedoman Nasional


Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta: Kemenkes RI.

Kementerian Kesehatan RI. 2014. Pedoman Nasional Pengendalian


Tuberkulosis. Jakarta: Ditjen Pengendalian Penyakit dan
PenyehatanLingkungan.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2016. Konsensus Pengelolaan


Tuberkulosis dan Diabetes Melitus (TBC-DM) di Indonesia.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2017. Modul Pelatihan Pencegahan


Pengendalian Penyakit TBC. Jakarta: Kemenkes RI.

Kowalak. 2011. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC

Kurniawan, et al. , 2016. Nilai diagnostic metode “Real Time” PCR geneXpert
pada TBC Paru BTA negative. Jurnal Kesehatan Andalas, vol 5, 3.

Lalombo, et al. 2015. Hubungan Kebiasaan Merokok Dengan Kejadian


Tuberulosis Paru di Puskesmas Siloam Kecamatan Tamako Kabupaten
Kepulauan Sangihe. Ejournal Keperawatan. Vol. 3 No. 2

Ministry of Health. 2015. Indonesian Health Profile. Ministry of Health


Indonesian.

Naga. 2013. Buku Panduan Lengkap Ilmu Penyakit Dalam. Yogyakarta: Diva
Press.

Oktavia, S. 2015. Analisis Faktor Risiko Kejadian TBC Paru Di Wilayah Kerja
Puskesmas Kertapati Palembang Analysis Of Risk Factors For Pulmonary
TBC Incidence.
59
Permenkes RI No 23 Tahun 2016. Tentang Penanggulangan Tuberkulosis.

Rimbi, N. 2014. Cerdik Penyakit-Penyakit Menular. Jogjakarta: Serambi


Semesta Distribusi.

Supariasa, dkk. 2016. Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC.

Utji, R. 2013. Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran. (EdisiRevisi). Jakarta:


Binarupa Aksara.

Wulandari, D. 2019. Kepadatan Hunian dan Riwayat Kontak dengan Penderita


TB Paru di Bengkulu Tengah. Universitas Muhammadiyah Ponorogo.

World Health Organization (WHO). 2016. Global Tuberculosis Report.

World Health Organization (WHO). 2017. Global Tuberculosis Report.

World Health Organization (WHO). 2018. Global Tuberculosis Report.

World Health Organization (WHO). 2019. Global Tuberculosis Report.

Yusuf, R. N. et al. 2017. Hubungan Status Gizi Dengan Kejadian TB Paru. Jurnal
Kesehatan Saintika Meditory. Vol. 1. No. 1

60
Lampiran

61
62
63
64
65

Anda mungkin juga menyukai