SURVEILANS
Oleh:
Pertama kami ucapkan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
rahmat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah “SURVEILANS” ini tepat
pada waktunya. Adapun tujuan pembuatan tugas makalah ini adalah sebagai salah
satu syarat dalam mengikuti dan menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu
Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.
Tim Penulis
ii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar...........................................................................................................ii
Daftar Isi.....................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................1
1.2 Tujuan..............................................................................................................2
3.1 Kesimpulan......................................................................................................36
iii
Daftar Pustaka............................................................................................................37
iv
BAB I
PENDAHULUAN
Istilah Surveilans ini (Surveillance) sebenarnya berasal dari bahasa perancis yang
berarti mengamati tentang sesuatu. meskipun konsep surveilans telah berkembang
cukup lama, tetapi seringkali timbul kerancuan dengan kata “surveillance” dalam
bahasa inggris yang berarti mengawasi perorangan yang sedang
dicurigai. Sebelum tahun 1950, surveilans memang diartikan sebagai upaya
pengawasan secara ketat kepada penderita penyakit menular, sehingga
penyakitnya dapat ditemukan sedini mungkin dan diisolasi secepatnya
serta dapat diambil langkah-langkah pengendalian seawal mungkin (Noor, 2008).
Istilah tersebut awalnya dipakai dalam bidang penyelidikan atau intelligent untuk
memata - matai orang yang dicurugai, yang dapat membahayakan. Surveilans
kesehatan masyarakat awalnya hanya dikenal dalam bidang epidemiologi, namun
dengan berkembangnya berbagai macam teori dan aplikasi diluar bidang
1
epidemiologi, maka surveilans menjadi cabang ilmu tersendiri yang diterapkan
luas dalam kesehatan masyarakat. Surveilans sendiri mencakup masalah
borbiditas, mortalitas, masalah gizi, demografi, Penyakit Menular, Penyakit Tidak
menular, Demografi,Pelayanan Kesehatan, Kesehatan Lingkungan, Kesehatan
Kerja, dan beberapa faktor resiko pada individu, keluarga, masyarakat dan
lingkungan sekitarnya (Wuryanto, A.2010).
Permasalahan tidak berjalannya sistem surveilans tidak saja terjadi pada sistemnya
melainkan juga pada pelaksananya. Selain itu, pelaksanaan program surveilans
oleh unit kesehatan belum terintegrasi secara menyeluruh dan perlunya kehadiran
petugas kesehatan di tengah-tengah masyarakat sebagai tempat mereka bertanya
tentang masalah kesehatan yang mereka hadapi agar dapat dicarikan alternatif dan
solusi untuk permasalahan tersebut. Maka dari itu, masih banyak diperlukan
pembenahan pada pelaksanaan program surveilans di Puskesmas agar dapat
ditingkatkan derajat kesehatan individu, keluarga dan masyarakat di wilayah kerja
Puskesmas khususnya, dan masyarakat Indonesia secara umum.
1.2 Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah adalah sebagai berikut:
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
Surveilans Kesehatan didefinisikan sebagai kegiatan pengamatan yang sistematis
dan terus menerus terhadap data dan informasi tentang kejadian penyakit atau
masalah kesehatan dan kondisi yang mempengaruhi terjadinya peningkatan dan
penularan penyakit atau masalah kesehatan untuk memperoleh dan memberikan
informasi guna mengarahkan tindakan penanggulangan secara efektif dan efisien
(Permenkes, 2014). Sehingga dalam sistem ini yang dimaksud dengan surveilans
epidemiologi adalah kegiatan analisis secara sistematis dan terus menerus
terhadap penyakit atau masalah–masalah kesehatan dan kondisi yang
mempengaruhi terjadinya peningkatan dan penularan penyakit atau masalah-
masalah kesehatan tersebut, agar dapat melakukan tindakan penanggulangan
secara efektif dan efisien melalui proses pengumpulan data, pengolahan dan
penyebaran informasi epidemiologi kepada penyelenggara program kesehatan
(Chandra, 2007).
4
Gambar 1. Konsep surveilans
2. Tujuan khusus
a. Mengumpulkan data untuk terselenggaranya kewaspadaan dini terhadap
kemungkinan terjadinya KLB/wabah dan dampaknya (baik di puskesmas,
rumah sakit, dan laboraturium sebagai sumber data Surveilans Terpadu
Penyakit)
b. Memungkinkan terselenggaranya investigasi dan penanggulangan
KLB/wabah
c. Mendistribusikan data Surveilans Terpadu Penyakit kepada unit
surveilans Dinas kesehatan Kabupaten/Kota, Propinsi, dan Ditjen P2MPL
d. Melaksanakan pengolahan dan penyajian data penyakit dalam bentuk
tabel, grafik, peta, dan analisis epidemiologi lebih lanjut pada surveilans
Dinas kesehatan Kabupaten/Kota, Propinsi, dan Ditjen P2MPL.
5
e. Mendistribusikan hasil pengolahan dan penyajian data penyakit beserta
hasil analisis epidemiologi lebih lanjut dan rekomendasi program terkait
di puskesmas, rumah sakit, laboratorium, kabupaten/Kota, propinsi,
nasional, pusat penelitian, pusat kajian, perguruan tinggi, dan sektor
terkait lainnya (Weraman, 2010; Permenkes, 2014).
6
Individual surveillance (surveilans individu) mendeteksi dan memonitor
individu-individu yang mengalami kontak dengan penyakit serius, misalnya
pes, cacar, tuberkulosis, tifus, demam kuning dan sifilis. Surveilans individu
mendeteksi dan memonitor individu individu yang mengalami kontak dengan
penyakit serius, memungkinkan dilakukan isolasi institusional segera terhadap
kontak, sehingga penyakit yang dicurigai dapat dikendalikan. Karantina
merupakan isolasi yang membatasi gerak dan aktivitas orang orang atau
binatang yang sehat tetapi telah terpapar oleh suatu kasus penyakit menular
selama periode menular. Karantina total dan karantina parsial merupakan dua
jenis karantina yang bertujuan mencegah transmisi penyakit selama masa
inkubasi. Dengan karantina total membatasi kebebasan gerak kontak semua
orang yang terpapar, sedangkan karantina persial membatasi kontak secara
selektif berdasarkan tingkat kerawanan dan bahaya transmisi penyakit.
Surveilans individu memungkinkan dilakukannya isolasi institusional segera
terhadap kontak, sehingga penyakit yang dicurigai dapat dikendalikan. Sebagai
contoh, karantina merupakan isolasi institusional yang membatasi gerak dan
aktivitas orang-orang atau binatang yang sehat tetapi telah terpapar oleh suatu
kasus penyakit menular selama periode menular. Tujuan karantina adalah
mencegah transmisi penyakit selama masa inkubasi seandainya terjadi infeksi
(Last, 2001).
Isolasi institusional pernah digunakan kembali ketika timbul AIDS antara 1980
dan SARS. Dikenal dua jenis karantina yaitu Karantina total dan Karantina
parsial. Karantina total membatasi kebebasan gerak semua orang yang terpapar
penyakit menular selama masa inkubasi, untuk mencegah kontak dengan orang
yang tak terpapar. Karantina parsial membatasi kebebasan gerak kontak secara
selektif, berdasarkan perbedaan tingkat kerawanan dan tingkat bahaya
transmisi penyakit. Contoh, anak sekolah diliburkan untuk mencegah
penularan penyakit campak, sedang orang dewasa diperkenankan terus bekerja.
Satuan tentara yang ditugaskan pada pos tertentu dicutikan, sedang di pos-pos
7
lainnya tetap bekerja. Karantina diterapkan secara terbatas, sehubungan
dengan masalah legal, politis, etika, moral dan filosofi tentang legitimasi,
akseptabilitas dan efektivitas langkah-langkah pembatasan tersebut untuk
mencapai tujuan kesehatan masyarakat (Bensimon dan Upshur, 2007).
2. Disease Surveillance
Disease surveillance (surveilans penyakit) melakukan pengawasan terus-
menerus terhadap distribusi dan kecenderungan insidensi penyakit, melalui
pengumpulan sistematis, konsolidasi, evaluasi terhadap laporan-laporan
penyakit dan kematian serta data relevan lainnya. Jadi fokus perhatian
surveilans penyakit adalah penyakit, bukan individu. Melakukan pengawasan
terus menerus terhadap distribusi dan kecendrungan insidensi penyakit,melalui
pengumpulan sistematis, konsolidasi, evaluasi terhadap laporan laporan
penyakit dan kematian, serta data relevan lainnya. Fokus surveilans penyakit
adalah penyakit bukan pada suatu individu (orang), negara negara
menggunakan surveilans penyakit yang didukung melalui program program
vertikal (pusat-daerah). Pada banyak negara, pendekatan surveilans penyakit
biasanya didukung melalui program vertikal (pusat-daerah). Contoh, program
surveilans tuberkulosis, program surveilans malaria. Beberapa dari sistem
surveilans vertikal dapat berfungsi efektif, tetapi tidak sedikit yang tidak
terpelihara dengan baik dan akhirnya kolaps, karena pemerintah kekurangan
biaya. Banyak program surveilans penyakit vertikal yang berlangsung paralel
antara satu penyakit dengan penyakit lainnya, menggunakan fungsi penunjang
masing-masing, mengeluarkan biaya untuk sumberdaya masing-masing dan
memberikan informasi duplikatif sehingga mengakibatkan inefisiensi.
3. Syndromic Surveillance
Syndromic surveillance (multiple disease surveillance) melakukan pengawasan
terus-menerus terhadap sindroma (kumpulan gejala) penyakit, bukan masing-
8
masing penyakit. Surveilans sindromik mengandalkan deteksi indikator-
indikator kesehatan individual maupun populasi yang bisa diamati sebelum
konfirmasi diagnosis. Surveilans sindromik mengamati indikator-indikator
individu sakit, seperti pola perilaku, gejala-gejala, tanda atau temuan
laboratorium, yang dapat ditelusuri dari aneka sumber, sebelum diperoleh
konfirmasi laboratorium tentang suatu penyakit.Surveilans sindromik dapat
dikembangkan pada level lokal, regional, maupun nasional. Sebagai contoh,
Centers for Disease Control and Prevention (CDC) menerapkan kegiatan
surveilans sindromik berskala nasional terhadap penyakit-penyakit yang mirip
influenza (flu-like illnesses) berdasarkan laporan berkala praktik dokter di
Amerika Serikat. Dalam surveilans tersebut, para dokter yang berpartisipasi
melakukan skrining pasien berdasarkan definisi kasus sederhana (demam dan
batuk atau sakit tenggorok) dan membuat laporan mingguan tentang jumlah
kasus, jumlah kunjungan menurut kelompok umur dan jenis kelamin dan
jumlah total kasus yang teramati. Surveilans tersebut berguna untuk memonitor
aneka penyakit yang menyerupai influenza, termasuk flu burung dan antraks,
sehingga dapat memberikan peringatan dini dan dapat digunakan sebagai
instrumen untuk memonitor krisis yang tengah berlangsung (Mandl et al.,
2004; Sloan et al., 2006).
Suatu sistem yang mengandalkan laporan semua kasus penyakit tertentu dari
fasilitas kesehatan, laboratorium atau anggota komunitas pada lokasi tertentu
disebut surveilans sentinel. Pelaporan sampel melalui sistem surveilans
sentinel merupakan cara yang baik untuk memonitor masalah kesehatan
dengan menggunakan sumber daya yang terbatas (DCP2, 2008; Erme dan
Quade, 2010).
9
strain bakteri tertentu memungkinkan deteksi outbreak penyakit dengan lebih
segera dan lengkap daripada sistem yang mengandalkan pelaporan sindroma
dari klinik-klinik. Sebagai contoh, pada penyakit yang ditularkan melalui
makanan seperti salmonellosis, penggunaan sebuah laboratorium sentral untuk
mendeteksi strain bakteri tertentu memungkinkan deteksi outbreak penyakit
dengan lebih segera dan lengkap daripada sistem yang mengandalkan
pelaporan sindroma dari klinik-klinik (DCP2, 2008).
5. Integrated Surveillance
Integrated surveillance (surveilans terpadu) menata dan memadukan semua
kegiatan surveilans disuatu wilayah yurisdiksi (negara/ provinsi/ kabupaten/
kota) sebagai sebuah pelayanan publik bersama. Surveilans terpadu
menggunakan struktur, proses dan personalia yang sama, melakukan fungsi
mengumpulkan informasi yang diperlukan untuk tujuan pengendalian
penyakit. Kendatipun pendekatan surveilans terpadu tetap memperhatikan
perbedaan kebutuhan data khusus penyakit-penyakit tertentu (Sloan et al.,
2006).
10
Masyarakat Global Perdagangan dan perjalanan internasional di abad modern,
migrasi manusia dan binatang serta organisme, memudahkan transmisi
penyakit infeksi lintas negara. Konsekunsinya, masalah-masalah yang
dihadapi negara-negara berkembang dan negara maju di dunia makin serupa
dan bergayut. Timbulnya epidemi global (pandemi) khususnya menuntut
dikembangkannya jejaring yang terpadu di seluruh dunia, yang manyatukan
para praktisi kesehatan, peneliti, pemerintah, dan organisasi internasional
untuk memperhatikan kebutuhan-kebutuhan surveilans yang melintasi batas-
batas negara. Perdagangan dan perjalanan internasional diabad modern,
migrasi manusia dan binatang serta organisme, memudahkan transmisi
penyakit infeksi lintas negara. Konsekunsinya, masalah-masalah yang
dihadapi negara-negara berkembang dan negara maju di dunia makin serupa
dan bergayut. Timbulnya epidemi global (pandemi) khususnya menuntut
dikembangkannya jejaring yang terpadu di seluruh dunia, yang manyatukan
para praktisi kesehatan, peneliti, pemerintah, dan organisasi internasional
untuk memperhatikan kebutuhan-kebutuhan surveilans yang melintasi batas-
batas negara. Ancaman aneka penyakit menular merebak pada skala global,
baik penyakit-penyakit lama yang muncul kembali (re-emerging diseases),
maupun penyakit-penyakit yang baru muncul (newemerging diseases), seperti
HIV/AIDS, flu burung, dan SARS. Agenda surveilans global yang
komprehensif melibatkan aktor-aktor baru, termasuk pemangku kepentingan
pertahanan keamanan dan ekonomi (DCP2, 2008).
11
8) Surveilans penyakittifoid
9) Surveilans penyakitkecacingan dan penyakit perut lainnya
10) Surveilans penyakitkusta
11) Surveilans penyakitframbusia
12) Surveilans penyakit HIV/AIDS
13) Surveilans hepatitis
14) Surveilans penyakit menular seksual
15) Surveilans penyakit pneumonia, termasuk penyakit infeksi saluran
pernafasan akut berat (severe acute respiratory infection).
12
8) Surveilans penggunaan obat, obat tradisional, kosmetika, alat
kesehatan, serta perbekalan kesehatan rumah tangga
9) Surveilans kualitas makanan dan bahan tambahan makanan
13
activities) mencakup pelatihan, supervisi, penyediaan sumber daya manusia dan
laboratorium, manajemen sumber daya, dan komunikasi (WHO, 2001; McNabb
et al., 2002).
14
tanggungjawab itu. Selain itu, surveilans aktif dapat mengidentifikasi outbreak
lokal. Kelemahan surveilans aktif, lebih mahal dan lebih sulit untuk dilakukan
daripada surveilans pasif (Mandl KD et al, 2004).
Pada surveilans pasif memantau penyakit secara pasif, dengan menggunakan data
penyakit yang harus dilaporkan (reportable diseases) yang tersedia di fasilitas
pelayanan kesehatan. Kelebihan surveilans pasif, relatif murah dan mudah untuk
dilakukan. Negara-negara anggota WHO diwajibkan melaporkan sejumlah
penyakit infeksi yang harus dilaporkan, sehingga dengan surveilans pasif dapat
dilakukan analisis perbandingan penyakit internasional. Kekurangan surveilans
pasif adalah kurang sensitif dalam mendeteksi kecenderungan penyakit. Data
yang dihasilkan cenderung under-reported, karena tidak semua kasus datang ke
fasilitas pelayanan kesehatan formal. Selain itu, tingkat pelaporan dan
kelengkapan laporan biasanya rendah, karena waktu petugas terbagi dengan
tanggungjawab utama memberikan pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan
masing-masing. Untuk mengatasi problem tersebut, instrumen pelaporan perlu
dibuat sederhana dan ringkas (Mandl KD et al, 2004).
15
kesehatan sendiri, diperlukan tatalaksana terintegrasi dan komprehensif dengan
kerjasama yang antar sektor dan antar program sehingga ruang lingkup
surveilans epidemiologi meliputi (Buton, 2008) :
a. Surveilans epidemiologi penyakit menular
Analisis terus menerus dan sistematika terhadap penyakit menular dan faktor
risiko untuk upaya pemberantasan penyakit menular. Menurut Permenkes
(2014) Surveilans penyakit menular yang dilakukan meliputi :
- Surveilans penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (AFP,
Campak, Hepatitis B, Diptheri, Pertusis, Tetanus)
- Surveilans penyakit demam berdarah
- Surveilans penyakit filariasis
- Surveilans penyakit tuberculosis
- Surveilans penyakit diare
- Surveilans penyakit tifoid
- Surveilans penyakit kecacingan dan penyakit perut lainnya
- Surveilans penyakit kusta
- Surveilans penyakit frambusia
- Surveilans penyakit HIV/AIDS
- Surveilans penyakit Hepatitis
- Surveilans penyakit menular seksual
- Surveilans penyakit pneumonia, termasuk penyakit infeksi saluran
pernapasan akut berat (severe acute respiratory infection)
b. Surveilans epidemiologi penyakit tidak menular
Merupakan analisis terus menerus dan sistematis terhadap penyakit tidak
menular dan faktor risiko untuk mendukung upaya pemberantasan penyakit
tidak menular. Menurut Permenkes (2014), surveilans tidak penyakit
menular yang dilakukan meliputi :
- Surveilans penyakit jantung dan pembuluh darah
- Surveilans diabetes mellitus dan penyakit metabolic
- Surveilans penyakit kanker
16
- Surveilas kronis dan degeneratif
- Surveilans gangguan mental
- Surveilans gangguan akibat kecelakaan dan tindak kekerasan.
c. Surveilans epidemiologi kesehatan lingkungan dan perilaku
Merupakan analisis terus menerus dan sistematis terhadap penyakit dan
faktor risiko untuk mendukung program penyehatan lingkungan.
17
respon. Yang termasuk dalam hal ini adalah personel terlatih, keuangan,
standar dan pedoman fasilitas komunikasi, formulir yang relevan untuk
pengawasan dan lain-lain.
b. Indikator Proses
Indikator proses digunakan untuk memantau dan melacak aktivitas seperti
pelatihan, supervisi, pengembangan pedoman, dan pengembangan fungsi
pengawasan inti.
c. Indikator Output
Indikator output digunakan untuk mengukur hasil dari kegiatan yang
dilakukan, mis. laporan dan interpretasi pengawasan data, umpan balik
yang disediakan, proporsi kesehatan, staf terlatih dalam pengawasan dan
tanggapan, dan apakah pengawasan dilakukan sesuai rencana.
d. Indikator Hasil
Indikator hasil digunakan untuk mengukur sejauh mana tujuan pengawasan
yang sedang dicapai dan termasuk kualitas sistem pengawasan, kelayakan
dari setiap respon wabah dan kegunaan dari sistem.
e. Indikator Dampak
Indikator dampak digunakan untuk mengukur sejauh mana tujuan
keseluruhan dari sistem pengawasan dan respons adalah tercapai, mis.
penurunan tingkat fatalitas kasus penyakit rawan epidemi, perubahan
dalam pola morbiditas penyakit menular yang ditargetkan atau perubahan
perilaku, staf kesehatan dan populasi umum.
18
3. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota mencapai indikator Epidemiologi STP
sebesar 80%.
4. Kelengkapan laporan bulanan STP Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota ke
Dinas Kesehatan Propinsi sebesar 100%.
5. Ketepatan laporan bulanan STP Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota ke Dinas
Kesehatan Propinsi sebesar 90%.
6. Kelengkapan laporan bulanan STP Dinas Kesehatan Propinsi ke Ditjen
PPM & PL Depkes sebesar 100%.
7. Ketepatan laporan bulanan STP Dinas Kesehatan Propinsi ke Ditjen PPM
& PL Depkes sebesar 90%.
8. Distribusi data dan informasi bulanan Kabupaten/Kota, propinsi dan
nasional sebesar 100%.
9. Umpan balik laporan bulanan Kabupaten/Kota, propinsi dan nasional
sebesar 100%.
10. Penerbitan buletin Epidemiologi di Kabupaten/Kota adalah 4 kali setahun.
11. Penerbitan buletin Epidemologi di propinsi dan nasional adalah sebesar 12
kali setahun.
12. Penerbitan profil tahunan atau buku data surveilans epidemiologi
Kabupaten/Kota, Propinsi dan Nasional adalah satu kali setahun.
19
6. Membuat rekomendasi dan alternatif tindak lanjut.
7. Umpan balik
20
b. Pola selain kedaruratan, adalah kegiatan surveilans yang mengacu
pada ketentuan yang berlaku untuk keadaan di luar KLB dan atau
wabah dan atau bencana.
4. Penyelenggaraan berdasarkan kualitas pemeriksaan
a. Bukti klinis atau tanpa peralatan pemeriksaan, adalah kegiatan
surveilans dimana data diperoleh berdasarkan pemeriksaan klinis atau
tidak menggunakan peralatan pendukung pemeriksaan.
b. Bukti laboratorium atau dengan peralatan khusus, adalah kegiatan
surveilans dimana data diperoleh berdasarkan pemeriksaan
laboratorium atau peralatan pendukung pemeriksaan lainnya.
2. Pengolahan data
Sebelum data diolah dilakukan pembersihan koreksi dan cek ulang,
selanjutnya data diolah dengan cara perekaman data, validasi, pengkodean,
alih bentuk (transform) dan pengelompokan berdasarkan variabel tempat,
waktu, dan orang. Hasil pengolahan dapat berbentuk tabel, grafik, dan peta
menurut variabel golongan umur, jenis kelamin, tempat dan waktu, atau
berdasarkan faktor risiko tertentu. Setiap variabel tersebut disajikan dalam
bentuk ukuran epidemiologi yang tepat (rate, rasio dan proporsi).
Pengolahan data yang baik akan memberikan informasi spesifik suatu
21
penyakit dan atau masalah kesehatan. Selanjutnya adalah penyajian hasil
olahan data dalam bentuk yang informatif, dan menarik. Hal ini akan
membantu pengguna data untuk memahami keadaan yang disajikan.
3. Analisis data
Analisis data dilakukan dengan menggunakan metode epidemiologi
deskriptif dan/atau analitik untuk menghasilkan informasi yang sesuai
dengan tujuan surveilans yang ditetapkan. Analisis dengan metode
epidemiologi deskriptif dilakukan untuk mendapat gambaran tentang
distribusi penyakit atau masalah kesehatan serta faktor-faktor yang
mempengaruhinya menurut waktu, tempat dan orang. Sedangkan analisis
dengan metode epidemiologi analitik dilakukan untuk mengetahui hubungan
antar variabel yang dapat mempengaruhi peningkatan kejadian kesakitan
atau masalah kesehatan. Untuk mempermudah melakukan analisis dengan
metode epidemiologi analitik dapat menggunakan alat bantu statistik. Hasil
analisis akan memberikan arah dalam menentukan besaran masalah,
kecenderungan suatu keadaan, sebab akibat suatu kejadian, dan penarikan
kesimpulan. Penarikan kesimpulan hasil analisis harus didukung dengan
teori dan kajian ilmiah yang sudah ada.
4. Diseminasi Informasi
Diseminasi informasi dapat disampaikan dalam bentuk buletin, surat edaran,
laporan berkala, forum pertemuan, termasuk publikasi ilmiah. Diseminasi
informasi dilakukan dengan memanfaatkan sarana teknologi informasi yang
mudah diakses. Diseminasi informasi dapat juga dilakukan apabila petugas
surveilans secara aktif terlibat dalam perencanaan, pelaksanaan dan
monitoring evaluasi program kesehatan, dengan menyampaikan hasil
analisis (Permenkes, 2014).
22
et al., 2002; Giesecke, 2002; JHU, 2006) :
a. Kecepatan
Informasi yang diperoleh dengan cepat (rapid) dan tepat waktu (timely)
memungkinkan tindakan segera untuk mengatasi masalah yang
diidentifikasi. Investigasi lanjut hanya dilakukan jika diperlukan informasi
tertentu dengan lebih mendalam. Kecepatan surveilans dapat ditingkatkan
melalui sejumlah cara:
b. Akurasi
Surveilans yang efektif memiliki sensitivitas tinggi, yakni sekecil
mungkin terjadi hasil negatif palsu. Aspek akurasi lainnya adalah
spesifisitas, yakni sejauh mana terjadi hasil positif palsu. Pada umumnya
laporan kasus dari masyarakat awam menghasilkan “false alarm”
(peringatan palsu). Karena itu sistem surveilans perlu mengecek
kebenaran laporan awam ke lapangan, untuk mengkonfirmasi apakah
memang tengah terjadi peningkatan kasus/outbreak. Akurasi surveilans
dipengaruhi oleh kemampuan petugas dan infrastruktur laboratorium.
Surveilans membutuhkan pelatihan petugas. Contoh, para ahli madya
23
epidemiologi perlu dilatih tentang dasar laboratorium, sedang teknisi
laboratorium dilatih tentang prinsip epide- miologi, sehingga kedua pihak
memahami kebutuhan surveilans. Surveilans memerlukan peralatan
laboratorium standar di setiap tingkat operasi untuk meningkatkan
kemampuan konfirmasi kasus.
24
harus dapat diterima oleh petugas surveilans, sumber data, otoritas terkait
surveilans, maupun pemangku surveilans lainnya. Untuk memelihara
komitmen perlu pembaruan kesepakatan para pemangku secara berkala
pada setiap level operasi.
f. Penggunaan (Uptake)
Manfaat sistem surveilans ditentukan oleh sejauh mana informasi
surveilans digunakan oleh pembuat kebijakan, pengambil keputusan,
maupun pemangku surveilans pada berbagai level. Rendahnya
penggunaan data surveilans merupakan masalah di banyak negara
berkembang dan beberapa negara maju. Salah satu cara mengatasi
problem ini adalah membangun network dan komunikasi yang baik antara
peneliti, pembuat kebijakan, dan pengambil keputusan.
Puskesmas ini memiliki luas 853 Ha dengan 7 kelurahan wilayah kerja yaitu
Kelurahan Tanjung Gading, Kelurahan Tanjung Raya, Kelurahan Kedamaian,
Kelurahan Bumi Kedamaian, Kelurahan Tanjung Baru, Kelurahan Kali Balau
25
Kencana, dan Kelurahan Tanjung Agung Raya. Puskesmas ini memiliki 97
Sumber Daya Manusia (SDM) yang terdiri dari 5 dokter umum, 3 dokter gigi,
33 perawat, 3 perawat gigi, 20 bidan dan sisanya adalah ahli laboraturium,
sanitarian, nutrisionis, dan tenaga medis lainnya.
Proses pengumpulan data berasal dari tim yang bekerja dengan baik dimana
pelaporan disampaikan oleh bidan desa, pemegang program dan balai
pengobatan selama di puskesmas, bahkan masyarakat cakupan Puskesmas
Tanjung Sari ini pun ikut andil dalam proses pengumpulan data, dimana apabila
terdapat tetangga atau keluarga yang memiliki gejala yang mengarah pada salah
satu penyakit endemis maka mereka segera melaporkan ke petugas puskesmas
untuk mendapatkan tindak lanjut. Data ini secara rutin dilaporkan ke Dinas
Kesehatan kota melalui email setiap akhir pekan. Lalu, dinas kesehatan kota
akan melaporkan ke dinas kesehatan pusat. Jika ditemukan suatu kasus
Kejadian Luar Biasa (KLB) maka dinas kesehatan akan menganalisis data dan
memberikan umpan balik agar menindaklanjuti kasus tersebut dengan cepat dan
tepat.
26
7. Pneumonia :8 catatan
8. Demam Dengue :5 catatan
9. Hepatitis Klinis :3 catatan
10. Campak :1 catatan
1. Judul
The Overview of Dengue Hemorrhagic Fever Cases in Blitar City from 2015
to 2017
2. Latar Belakang
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) masih menjadi permasalahan
kesehatan yang ada di Indonesia dimana jumlah kasus yang dilaporkan pada
tahun 2015 sebanyak 129.650 kasus dengan jumlah kematian sebanyak
1.071 orang. Kota Blitar merupakan daerah dengan kasus demam berdarah
tertinggi ke-13 di Provinsi Jawa Timur. Demam Berdarah Dengue masih
menjadi permasalahan kesehatan baik di wilayah perkotaan maupun wilayah
semi-perkotaan. Perilaku vektor dan hubungannya dengan lingkungan,
seperti iklim, pengendalian vektor, urbanisasi, dan lain sebagainya
mempengaruhi terjadinya wabah demam berdarah di daerah perkotaan.
Belum ada prediksi yang tepat untuk menunjukkan kehadiran dan kepadatan
vektor (terutama Aedes Aegypti di lingkungan perkotaan dan semi
perkotaan). Penyebaran dengue dipengaruhi faktor iklim seperti curah hujan,
suhu dan kelembaban. Kelangsungan hidup nyamuk akan lebih lama bila
tingkat kelembaban tinggi, seperti selama musim hujan (Nazri, Hashim,
Rodziah, Hassan, & Yazid, 2013).
27
3. Metode
4. Hasil
Mayoritas demam berdarah terjadi pada kelompok umur 5-14 tahun
(46,72%). Sebagian besar kasus demam berdarah terjadi pada laki-laki
(51,19%). Kota Blitar merupakan daerah dengan kasus demam berdarah
yang tinggi tiap tahunnya dengan Incidence Rate (IR) tahun 2016 mencapai
189 per 100.000 penduduk. Peningkatan kasus demam berdarah tidak seiring
dengan peningkatan curah hujan yang ada di kota Blitar. Jumantik terdapat
28
166 orang yang tersebar di 21 wilayah, namun Angka Bebas Jentik (ABJ)
dari kota Blitar masih 79%, jauh dari indikator keberhasilan yaitu 95%.
5. Kesimpulan
Pola kejadian DBD di kota Blitar menurut jenis kelamin terjadi paling
banyak pada jenis kelamin laki-laki, seperti tahun 2015 dan 2017. Pola
kejadian DBD berdasarkan usia tahun 2015 hingga 2017 paling banyak
terjadi pada usia 5-14 tahun. Pola IR di kota Blitar termasuk tinggi karena
setiap tahun memiliki angka > 20 dalam 100.000 penduduk. Pola kejadian
DBD berdasarkan waktu dan jenis kelamin didapati pada masing-masing
tahun bila rata-rata curah hujan maksimal maka angka kejadian DBD justru
rendah. Bila rata-rata curah hujan tinggi namun bukan maksimal maka angka
kejadian DBD akan tinggi. Angka Kejadian DBD ditemui pola dari masing-
masing tahun angka kejadian tertinggi terjadi pada bulan Januari dan
Februari.
a. Analisis PICO
1. Problem
Di Dinas Kesehatan Provinsi Jawa timur terdapat kejadian luar biasa
Demam Berdarah Dengue dari 21.092 kasus pada tahun 2015 meningkat
menjadi 25.336 kasus pada tahun 2016. Banyak faktor-faktor yang
mempengaruhi kasus demam berdarah, berbagai upaya pengendalian
prevalensi kasus dbd khususnya pada daerah dengan transmisi yang tinggi
atau persisten, sangat diperlukan. Penyakit DBD telah menjadi penyakit
29
yang mematikan sejak tahun 2013. Penyakit ini telah tersebar di 436
kabupaten/kota pada 33 provinsi di Indonesia. Kota Blitar merupakan
wilayah ke 13 di Jawa Timur dengan kasus DBD yang tinggi pada tahun
2015-2017. Kasus DBD dipengaruhi oleh jumlah penduduk pada suatu
wilayah yang dicerminkan melalui perhitungan Incidence Rate (IR).
Incidence Rate dari kota Blitar tahun 2016 adalah 189 per 100.000 orang.
Nilai IR tersebut termasuk dalam klasifikasi sangat tinggi (Kemenkes RI,
2016b).
2. Intervention
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan rancang bangun
case series. Sumber data pada penelitian ini menggunakan data sekunder
yaitu Profil Kesehatan Jawa Timur tahun 2015 hingga 2017, dan data
curah hujan Kota Blitar tahun 2015-2017 yang diperoleh dari Badan Pusat
Statistik Kota Blitar. Penelitian ini menggambarkan kejadian kasus DBD
dengan pendekatan kasus epidemiologi menurut orang, tempat, dan
waktu. Variabel yang diteliti dalam penelitian ini adalah jenis kelamin,
umur, jumlah penduduk, incidence rate, curah hujan, dan nilai ABJ
terhadap kasus DBD di Kota Blitar
3. Comparison
Penelitian ini membandingkan variable-variabel faktor yang
mempengaruhi terjadinya DBD. Variabel yang diteliti adalah jenis
kelamin, umur, jumlah penduduk, incidence rate, curah hujan, dan nilai
ABJ terhadap kasus DBD di Kota Blitar . Variabel umur dikelompokkan
menjadi 6 yaitu kelompok umur ≤ 1 tahun, 1-4 tahun, 5-14 tahun, 15-44
tahun, dan ≥ 45 tahun. Variabel Incidence Rate (IR) merupakan hasil
pembagian antara jumlah kasus baru pada periode tertentu dengan jumlah
30
penduduk yang ada di wilayah tersebut. Hasil perhitungan tersebut
kemudian diklasifikasikan menjadi 4 kelompok yaitu, sangat tinggi IR >
20%, tinggi IR 16-20%, sedang IR 11- 15%, rendah IR 6-14%, dan sangat
rendah IR < 5% (Detiawan, Supardi, & Bani, 2017). Variabel Angka
Bebas Jentik (ABJ) didapatkan dari pemeriksaan Jumantik. Rumah yang
negatif jentik dibagi jumlah yang diperiksa lalu dikalikan 100% akan
didapatkan hasil Angka Bebas jentik.
4. Outcome
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa baik laki-laki maupun
perempuan pernah menjadi kelompok dengan jumlah kasus demam
berdarah tertinggi pada tahun yang berbeda. Hasil penelitian ini sejalan
dengan penelitian lain yang menunjukkan bahwa tidak terdapat
kerentanan terhadap serangan DBD berkaitan dengan jenis kelamin
penelitian ini menunjukkan bahwa mayoritas kasus demam berdarah
terjadi pada kelompok umur 5-14 tahun. Penelitian ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan di Thailand yang menunjukkan mayoritas
penderita demam berdarah terjadi pada kelompok ≤ 15 tahun. Hal ini
disebabkan karena daya tahan tubuh kelompok umur < 12 tahun yang
masih rendah daripada kelompok umur ≥ 12 tahun. (Faldy, Kaunang, &
Pandelaki, 2015).
31
Kota Blitar merupakan daerah dengan mobilitas penduduk yang padat
dengan populasi orang yang tinggi. Hal ini menyebabkan populasi
nyamuk Aedes aegypti meningkat. Semakin banyak jumlah penduduk
disuatu wilayah akan meningkatkan kemungkinan pajanan pada banyak
orang. Jika nyamuk menggigit seorang penderita dalam kondisi viremia
maka nyamuk tersebut akan terinfeksi.
b. Analisis VIA
32
1. Validity
Desain:
Metode penelitian The Overview of Dengue Hemorrhagic Fever Cases in
Blitar City from 2015 to 2017 Penelitian ini merupakan penelitian
deskriptif dengan rancang bangun case series. Tidak dilakukan intervensi
dalam penelitian ini.
2. Importance
Hal ini sangatlah penting, dikarenakan agar semua tenaga kesehatan dapat
mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian DBD berdasarkan
faktor usia, jenis kelamin, tempat, waktu dan nilai ABJ sehingga dapat
dilakukan upaya pencegahan dan penanggulangan terjadinya DBD.
3. Applicability
Pada jurnal ini mengandung unsur yang dapat membantu meningkatkan
kualitas dari pelaksanaan program surveilans yaitu surveilans DBD.
Dimana jika terjadi peningkatan kualitas komponen pelaksanaan
surveilans, maka data yang didapatkan terkait DBD juga akan lebih akurat
dan lengkap sehingga sensitivitas data lebih baik. Pengevaluasian
program yang dilakukan pada penelitian ini sangat sederhana dan dapat
diaplikasikan juga di daerah lain termasuk Lampung dan secara khusus di
Bandar Lampung.
33
34
BAB III
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari makalah tersebut adalah sebagai berikut:
1. Surveilans adalah pengukuran sistematis kesehatan dan lingkungan
parameter, rekaman, dan transmisi data/perbandingan dan interpretasi data
untuk mendeteksi kemungkinan perubahan dalam status kesehatan dan
lingkungan penduduk. sedangkan Surveilans Kesehatan didefinisikan
sebagai kegiatan pengamatan yang sistematis dan terus menerus terhadap
data dan informasi tentang kejadian penyakit atau masalah kesehatan dan
kondisi yang mempengaruhi terjadinya peningkatan dan penularan penyakit
atau masalah kesehatan untuk memperoleh dan memberikan informasi guna
mengarahkan tindakan penanggulangan secara efektif dan efisien.
35
4. Masalah kesehatan yang diangkat sebagai topik utama oleh tim surveilans di
puskesmas Satelit Bandar Lampung adalah tifus, diare, tersangka TB paru,
DBD, malaria klinis, pneumonia, TB paru BTA (+), campak.
DAFTAR PUSTAKA
DCP2 (2008). Public health surveillance. The best weapon to avert epidemics.
Disease Control Priority Project.www.dcp2.org/file/153/dcpp-surveillance.pdf.
Diakses pada tanggal 21 Februari 2019.
Dinas Kesehatan Kab. Tegal, 2013, Profil Kesehatan Kab. Tegal 2012, Dinas
Kesehatan Kab. Tegal, Tegal.
Detiawan B., Supardi F., Bani VKB. (2017). Analisis spasial kerentanan wilayah
terhadap kejadian demam berdarah dengue di wilayah kerja Puskesmas
Umbulharjo Kota Yogyakarta tahun 2013. Jurnal Vektor Penyakit, 11(2), 77–87.
Faldy R., Kaunang WPJ., Pandelaki AJ. (2015). Pemetaan kasus demam berdarah
dengue di Kabupaten Minahasa Utara. Jurnal Kedokteran Komunitas dan
Tropik, 3(2), 73–81.
36
Imari,S. 2011. Surveilans Epidemiologi Prinsip,Aplikasi,Manajemen
Penyelenggaraan dan Evaluasi Sistem Surveilans. FETP Kemenkes RIWHO.
Jakarta.
Last, JM. 2001. A dictionary of epidemiology. New York: Oxford University Press,
Inc.
Mandl KD, Overhage M, Wagner MM, Lober WB, Sebastiani P, Mostahari F, Pavlin
JA, Gesteland PH,Treadwell T, Koski E, Hutwagner L, Buckeridge DL , Aller
RD, Grannis S (2004). Implementingsyndromic surveillance: A practical guide
informed by the early experience. J Am Med InformAssoc., 11:141–150.
Mansjoer A. . 2001. Diare Akut. Dalam buku Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 1,
Edisi III. Media Aesculapius. FKUI. Jakarta.
Murti, Bhisma. 2010. Desain dan Ukuran Sampel untuk Penelitian Kuantitatif dan
Kualitatif di Bidang Kesehatan edisi ke-2. Yogyakarta: UGM press.
Nazri C., Hashim A., Rodziah I., Hassan AY. . (2013). Utilization of geoinformation
tools for dengue control management strategy: a case study in Seberang Prai,
Penang Malaysia. International Journal of Remote Sensing Applications, 3(1),
11–17.
37
Permenkes. 2014. Tentang Penyelenggaraan Surveilans Kesehatan. Permenkes RI
Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi Kemenkes RI, 2010, Buletin Jendela
Rismawati SN., Nurmala I. (2015). Hubungan perilaku host dan environment dengan
kejadian DBD di Wonokusumo Surabaya. Jurnal Berkala Epidemiologi, 5(3),
383–392. https://doi.org/10.20473/jbe.v5i3.2017.
WHO. 2004. Overview of the WHO framework for monitoring and evaluating
surveillance and response systems for communicable diseases. Weekly
epidemiological record. 79: 321-328.
http://www.who.int/wer/2004/en/wer7936.pdf?ua=1.
38