Anda di halaman 1dari 42

DISKUSI JUMAT I

SURVEILANS

Oleh:

Ajeng Fitria Ningrum 1718012065


Aria Rizky Utami 1718012107
Dzulfiqar 1718012063
Kholifah Nawang 1718012114

KEPANITERAAN KLINIK ILMU


KEDOKTERAN KOMUNITAS
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2019
KATA PENGANTAR

Pertama kami ucapkan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
rahmat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah “SURVEILANS” ini tepat
pada waktunya. Adapun tujuan pembuatan tugas makalah ini adalah sebagai salah
satu syarat dalam mengikuti dan menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu
Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.

Kami mengucapkan terima kasih kepada semua dokter pembimbing di Kepaniteraan


Klinik Bagian Ilmu Kedokteran Komunitas, yang telah membimbing dalam
menyelesaikan makalah ini.Kami menyadari banyak sekali kekurangan dalam
makalah ini, oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis
harapkan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bukan hanya untuk kami, tetapi juga
bagi siapa pun yang membacanya.

Bandar Lampung, Mei 2019

Tim Penulis

ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar...........................................................................................................ii

Daftar Isi.....................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................1

1.1 Latar Belakang.................................................................................................1

1.2 Tujuan..............................................................................................................2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................................3

2.1 Pengertian Surveilans......................................................................................3

2.2 Tujuan Surveilans............................................................................................5

2.3 Jenis Surveilans...............................................................................................7

2.4 Fungsi Surveilans Epidemiologi......................................................................13

2.5 Manajemen Surveilans ...................................................................................14

2.6 Pendekatan Surveilans.....................................................................................15

2.7 Ruang Lingkup Penyelenggaraan Surveilans Epidemiologi...........................16

2.8 Indikator Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan....................................18

2.9 Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan........................20

2.10 Kegiatan Pokok Surveilans............................................................................22

2.11 Surveilans Efektif..........................................................................................24

2.12 Surveilans di Puskesmas Rawat Inap Satelit.................................................26

2.13 Critical Appraisal..........................................................................................28

BAB III KESIMPULAN............................................................................................36

3.1 Kesimpulan......................................................................................................36

iii
Daftar Pustaka............................................................................................................37

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menurut WHO, surveilans merupakan suatu kegiatan pengumpulan, pengolahan,


analisis data kesehatan secara sistematis dan terus menerus, serta desiminasi
informasi tepat waktu kepada pihak-pihak yang perlu mengetahui sehingga dapat
diambil tindakan yang tepat (Last, 2001 dalam Bhisma Murti,2003).

Sedangkan surveilans di puskesmas itu sendiri merupakan kegiatan pengumpulan


dan pengamatan secara sistematis dan berkesinambungan, analisis, dan interpretasi
data kesehatan dalam proses menjelaskan dan memantau peristiwa kesehatan di
wilayah kerja puskesmas, dengan demikian data surveilans dapat dipakai baik
untuk menentukan prioritas kegiatan kesehatan masyarakat untuk menilai
efektifitas kegiatan (Noor, 2008).

Istilah Surveilans ini (Surveillance) sebenarnya berasal dari bahasa perancis yang
berarti mengamati tentang sesuatu. meskipun konsep surveilans telah berkembang
cukup lama, tetapi seringkali timbul kerancuan dengan kata “surveillance” dalam
bahasa inggris yang berarti mengawasi perorangan yang sedang
dicurigai. Sebelum tahun 1950, surveilans memang diartikan sebagai upaya
pengawasan secara ketat kepada penderita penyakit menular, sehingga
penyakitnya dapat ditemukan sedini mungkin dan diisolasi secepatnya
serta dapat diambil langkah-langkah pengendalian seawal mungkin (Noor, 2008).

Istilah tersebut awalnya dipakai dalam bidang penyelidikan atau intelligent untuk
memata - matai orang yang dicurugai, yang dapat membahayakan. Surveilans
kesehatan masyarakat awalnya hanya dikenal dalam bidang epidemiologi, namun
dengan berkembangnya berbagai macam teori dan aplikasi diluar bidang

1
epidemiologi, maka surveilans menjadi cabang ilmu tersendiri yang diterapkan
luas dalam kesehatan masyarakat. Surveilans sendiri mencakup masalah
borbiditas, mortalitas, masalah gizi, demografi, Penyakit Menular, Penyakit Tidak
menular, Demografi,Pelayanan Kesehatan, Kesehatan Lingkungan, Kesehatan
Kerja, dan beberapa faktor resiko pada individu, keluarga, masyarakat dan
lingkungan sekitarnya (Wuryanto, A.2010).

Permasalahan tidak berjalannya sistem surveilans tidak saja terjadi pada sistemnya
melainkan juga pada pelaksananya. Selain itu, pelaksanaan program surveilans
oleh unit kesehatan belum terintegrasi secara menyeluruh dan perlunya kehadiran
petugas kesehatan di tengah-tengah masyarakat sebagai tempat mereka bertanya
tentang masalah kesehatan yang mereka hadapi agar dapat dicarikan alternatif dan
solusi untuk permasalahan tersebut. Maka dari itu, masih banyak diperlukan
pembenahan pada pelaksanaan program surveilans di Puskesmas agar dapat
ditingkatkan derajat kesehatan individu, keluarga dan masyarakat di wilayah kerja
Puskesmas khususnya, dan masyarakat Indonesia secara umum.

1.2 Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah adalah sebagai berikut:

1. untuk mengetahui dan memahami pengertian dari surveilans.


2. untuk mengetahui dan memahami kegunaan dan fungsi dari surveilans
3. Memahami dan mempelajari peran puskesmas dalam penyelenggaraan
surveilans
4. Memahami aplikasi surveilans di Puskesmas Satelit, Bandar Lampung.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Surveilans


WHO mendefinisikan surveilans adalah pengukuran sistematis kesehatan dan
lingkungan parameter, rekaman, dan transmisi data/perbandingan dan interpretasi
data untuk mendeteksi kemungkinan perubahan dalam status kesehatan dan
lingkungan penduduk. Surveilans merupakan proses pengumpulan, pengolahan,
analisis dan interpretasi data secara sistematik dan terus menerus serta
penyebaran informasi kepada unit yang membutuhkan untuk dapat mengambil
tindakan (Hikmawati, 2011).

Kementerian Kesehatan (Indonesia) menekankan pentingnya surveilans sebagai


suatu kegiatan analisis atau kajian epidemiologi serta pemanfaatan informasi
epidemiologi, tanpa melupakan pentingnya kegiatan pengumpulan dan
pengolahan data. Surveilans epidemiologi didefinisikan sebagai kegiatan analisis
secara sistematis dan terus menerus terhadap penyakit atau masalah-masalah
kesehatan dan kondisi yang mempengaruhi terjadinya peningkatan dan penularan
penyakit atau masalah-masalah kesehatan tersebut, agar dapat melakukan
tindakan penanggulangan secara efektif dan efisien melalui proses pengumpulan
data, pengolahan dan penyebaran informasi epidemiologi kepada penyelenggara
program kesehatan (Imari, 2011).
/
Surveilans kesehatan merupakan kumpulan, analisis, dan interpretasi sistematis
yang sedang berjalan yang berhubungan dengan data penting yang berkaitan
dengan kesehatan untuk merencanakan, mengimplementasikan, dan
mengevaluasi pelaksanaan kesehatan masyarakat (CDC, 2017).

3
Surveilans Kesehatan didefinisikan sebagai kegiatan pengamatan yang sistematis
dan terus menerus terhadap data dan informasi tentang kejadian penyakit atau
masalah kesehatan dan kondisi yang mempengaruhi terjadinya peningkatan dan
penularan penyakit atau masalah kesehatan untuk memperoleh dan memberikan
informasi guna mengarahkan tindakan penanggulangan secara efektif dan efisien
(Permenkes, 2014). Sehingga dalam sistem ini yang dimaksud dengan surveilans
epidemiologi adalah kegiatan analisis secara sistematis dan terus menerus
terhadap penyakit atau masalah–masalah kesehatan dan kondisi yang
mempengaruhi terjadinya peningkatan dan penularan penyakit atau masalah-
masalah kesehatan tersebut, agar dapat melakukan tindakan penanggulangan
secara efektif dan efisien melalui proses pengumpulan data, pengolahan dan
penyebaran informasi epidemiologi kepada penyelenggara program kesehatan
(Chandra, 2007).

Surveilans memungkinkan pengambil keputusan untuk memimpin dan mengelola


dengan efektif. Surveilans kesehatan masyarakat memberikan informasi
kewaspadaan dini bagi pengambil keputusan dan manajer tentang masalah-
masalah kesehatan yang perlu diperhatikan pada suatu populasi. Surveilans
kesehatan masyarakat merupakan instrumen penting untuk mencegah outbreak
penyakit dan mengembangkan respons segera ketika penyakit mulai menyebar
(Chandra, 2007).

4
Gambar 1. Konsep surveilans

2.2 Tujuan Surveilans


Adapun tujuan dari surveilans adalah sebagai berikut :
1. Tujuan umum
Memperoleh informasi yang digunakan sebagai prasyarat program kesehatan dan
bertujuan untuk menyediakan informasi tentang situasi, kecenderungan penyakit,
faktor risikonya serta masalah kesehatan masyarakat dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya sebagai bahan pengambilan keputusan (Permenkes, 2014).

2. Tujuan khusus
a. Mengumpulkan data untuk terselenggaranya kewaspadaan dini terhadap
kemungkinan terjadinya KLB/wabah dan dampaknya (baik di puskesmas,
rumah sakit, dan laboraturium sebagai sumber data Surveilans Terpadu
Penyakit)
b. Memungkinkan terselenggaranya investigasi dan penanggulangan
KLB/wabah
c. Mendistribusikan data Surveilans Terpadu Penyakit kepada unit
surveilans Dinas kesehatan Kabupaten/Kota, Propinsi, dan Ditjen P2MPL
d. Melaksanakan pengolahan dan penyajian data penyakit dalam bentuk
tabel, grafik, peta, dan analisis epidemiologi lebih lanjut pada surveilans
Dinas kesehatan Kabupaten/Kota, Propinsi, dan Ditjen P2MPL.

5
e. Mendistribusikan hasil pengolahan dan penyajian data penyakit beserta
hasil analisis epidemiologi lebih lanjut dan rekomendasi program terkait
di puskesmas, rumah sakit, laboratorium, kabupaten/Kota, propinsi,
nasional, pusat penelitian, pusat kajian, perguruan tinggi, dan sektor
terkait lainnya (Weraman, 2010; Permenkes, 2014).

Hakikatnya tujuan surveilans adalah memandu intervensi kesehatan. Karena itu


sifat dari masalah kesehatan masyarakat menentukan desain dan implementasi
sistem surveilans. Sebagai contoh, jika tujuannya mencegah penyebaran penyakit
infeksi akut, misalnya SARS, maka manajer program kesehatan perlu melakukan
intervensi kesehatan dengan segera. Karena itu dibutuhkan suatu sistem
surveilans yang dapat memberikan informasi peringatan dini dari klinik dan
laboratorium (Mandl KD, 2004)

Sebaliknya penyakit kronis dan perilaku terkait kesehatan, seperti kebiasaan


merokok, berubah dengan lebih lambat. Para manajer program kesehatan hanya
perlu memonitor perubahanperubahan sekali setahun atau lebih jarang dari itu.
Sebagai contoh, sistem surveilans yang menilai dampak program pengendalian
tuberkulosis mungkin hanya perlu memberikan informasi sekali setahun atau
lima tahun, tergantung prevalensi. Informasi yang diperlukan bisa diperoleh dari
survei rumah tangga. Tujuan surveilans epidemologi untuk menilai status
kesehatan masyarakat, menentukan prioritas kesehatan masyarakat, evalusai
program, dan menyelenggarakan riset. Beberapa komponen komponen utama
dari proses surveilans epidomologi yaitu pengumpulan data, pengolahan dan
penyajian data, analisis dan interpretasi data, pelaporan, penyebarluasan
informasi, dan umpan balik (Mansjoer, 2001).

2.3 Jenis Surveilans


Jenis surveilans menurut karakteristik sasaran adalah sebagai berikut:
1. Individual Surveillance

6
Individual surveillance (surveilans individu) mendeteksi dan memonitor
individu-individu yang mengalami kontak dengan penyakit serius, misalnya
pes, cacar, tuberkulosis, tifus, demam kuning dan sifilis. Surveilans individu
mendeteksi dan memonitor individu individu yang mengalami kontak dengan
penyakit serius, memungkinkan dilakukan isolasi institusional segera terhadap
kontak, sehingga penyakit yang dicurigai dapat dikendalikan. Karantina
merupakan isolasi yang membatasi gerak dan aktivitas orang orang atau
binatang yang sehat tetapi telah terpapar oleh suatu kasus penyakit menular
selama periode menular. Karantina total dan karantina parsial merupakan dua
jenis karantina yang bertujuan mencegah transmisi penyakit selama masa
inkubasi. Dengan karantina total membatasi kebebasan gerak kontak semua
orang yang terpapar, sedangkan karantina persial membatasi kontak secara
selektif berdasarkan tingkat kerawanan dan bahaya transmisi penyakit.
Surveilans individu memungkinkan dilakukannya isolasi institusional segera
terhadap kontak, sehingga penyakit yang dicurigai dapat dikendalikan. Sebagai
contoh, karantina merupakan isolasi institusional yang membatasi gerak dan
aktivitas orang-orang atau binatang yang sehat tetapi telah terpapar oleh suatu
kasus penyakit menular selama periode menular. Tujuan karantina adalah
mencegah transmisi penyakit selama masa inkubasi seandainya terjadi infeksi
(Last, 2001).

Isolasi institusional pernah digunakan kembali ketika timbul AIDS antara 1980
dan SARS. Dikenal dua jenis karantina yaitu Karantina total dan Karantina
parsial. Karantina total membatasi kebebasan gerak semua orang yang terpapar
penyakit menular selama masa inkubasi, untuk mencegah kontak dengan orang
yang tak terpapar. Karantina parsial membatasi kebebasan gerak kontak secara
selektif, berdasarkan perbedaan tingkat kerawanan dan tingkat bahaya
transmisi penyakit. Contoh, anak sekolah diliburkan untuk mencegah
penularan penyakit campak, sedang orang dewasa diperkenankan terus bekerja.
Satuan tentara yang ditugaskan pada pos tertentu dicutikan, sedang di pos-pos

7
lainnya tetap bekerja. Karantina diterapkan secara terbatas, sehubungan
dengan masalah legal, politis, etika, moral dan filosofi tentang legitimasi,
akseptabilitas dan efektivitas langkah-langkah pembatasan tersebut untuk
mencapai tujuan kesehatan masyarakat (Bensimon dan Upshur, 2007).

2. Disease Surveillance
Disease surveillance (surveilans penyakit) melakukan pengawasan terus-
menerus terhadap distribusi dan kecenderungan insidensi penyakit, melalui
pengumpulan sistematis, konsolidasi, evaluasi terhadap laporan-laporan
penyakit dan kematian serta data relevan lainnya. Jadi fokus perhatian
surveilans penyakit adalah penyakit, bukan individu. Melakukan pengawasan
terus menerus terhadap distribusi dan kecendrungan insidensi penyakit,melalui
pengumpulan sistematis, konsolidasi, evaluasi terhadap laporan laporan
penyakit dan kematian, serta data relevan lainnya. Fokus surveilans penyakit
adalah penyakit bukan pada suatu individu (orang), negara negara
menggunakan surveilans penyakit yang didukung melalui program program
vertikal (pusat-daerah). Pada banyak negara, pendekatan surveilans penyakit
biasanya didukung melalui program vertikal (pusat-daerah). Contoh, program
surveilans tuberkulosis, program surveilans malaria. Beberapa dari sistem
surveilans vertikal dapat berfungsi efektif, tetapi tidak sedikit yang tidak
terpelihara dengan baik dan akhirnya kolaps, karena pemerintah kekurangan
biaya. Banyak program surveilans penyakit vertikal yang berlangsung paralel
antara satu penyakit dengan penyakit lainnya, menggunakan fungsi penunjang
masing-masing, mengeluarkan biaya untuk sumberdaya masing-masing dan
memberikan informasi duplikatif sehingga mengakibatkan inefisiensi.

3. Syndromic Surveillance
Syndromic surveillance (multiple disease surveillance) melakukan pengawasan
terus-menerus terhadap sindroma (kumpulan gejala) penyakit, bukan masing-

8
masing penyakit. Surveilans sindromik mengandalkan deteksi indikator-
indikator kesehatan individual maupun populasi yang bisa diamati sebelum
konfirmasi diagnosis. Surveilans sindromik mengamati indikator-indikator
individu sakit, seperti pola perilaku, gejala-gejala, tanda atau temuan
laboratorium, yang dapat ditelusuri dari aneka sumber, sebelum diperoleh
konfirmasi laboratorium tentang suatu penyakit.Surveilans sindromik dapat
dikembangkan pada level lokal, regional, maupun nasional. Sebagai contoh,
Centers for Disease Control and Prevention (CDC) menerapkan kegiatan
surveilans sindromik berskala nasional terhadap penyakit-penyakit yang mirip
influenza (flu-like illnesses) berdasarkan laporan berkala praktik dokter di
Amerika Serikat. Dalam surveilans tersebut, para dokter yang berpartisipasi
melakukan skrining pasien berdasarkan definisi kasus sederhana (demam dan
batuk atau sakit tenggorok) dan membuat laporan mingguan tentang jumlah
kasus, jumlah kunjungan menurut kelompok umur dan jenis kelamin dan
jumlah total kasus yang teramati. Surveilans tersebut berguna untuk memonitor
aneka penyakit yang menyerupai influenza, termasuk flu burung dan antraks,
sehingga dapat memberikan peringatan dini dan dapat digunakan sebagai
instrumen untuk memonitor krisis yang tengah berlangsung (Mandl et al.,
2004; Sloan et al., 2006).

Suatu sistem yang mengandalkan laporan semua kasus penyakit tertentu dari
fasilitas kesehatan, laboratorium atau anggota komunitas pada lokasi tertentu
disebut surveilans sentinel. Pelaporan sampel melalui sistem surveilans
sentinel merupakan cara yang baik untuk memonitor masalah kesehatan
dengan menggunakan sumber daya yang terbatas (DCP2, 2008; Erme dan
Quade, 2010).

4. Surveilans Berbasis Laboratorium


Surveilans berbasis laboartorium digunakan untuk mendeteksi dan memonitor
penyakit infeksi. Penggunaan sebuah laboratorium sentral untuk mendeteksi

9
strain bakteri tertentu memungkinkan deteksi outbreak penyakit dengan lebih
segera dan lengkap daripada sistem yang mengandalkan pelaporan sindroma
dari klinik-klinik. Sebagai contoh, pada penyakit yang ditularkan melalui
makanan seperti salmonellosis, penggunaan sebuah laboratorium sentral untuk
mendeteksi strain bakteri tertentu memungkinkan deteksi outbreak penyakit
dengan lebih segera dan lengkap daripada sistem yang mengandalkan
pelaporan sindroma dari klinik-klinik (DCP2, 2008).

5. Integrated Surveillance
Integrated surveillance (surveilans terpadu) menata dan memadukan semua
kegiatan surveilans disuatu wilayah yurisdiksi (negara/ provinsi/ kabupaten/
kota) sebagai sebuah pelayanan publik bersama. Surveilans terpadu
menggunakan struktur, proses dan personalia yang sama, melakukan fungsi
mengumpulkan informasi yang diperlukan untuk tujuan pengendalian
penyakit. Kendatipun pendekatan surveilans terpadu tetap memperhatikan
perbedaan kebutuhan data khusus penyakit-penyakit tertentu (Sloan et al.,
2006).

Karakteristik pendekatan surveilans terpadu:


a. Memandang surveilans sebagai pelayanan bersama (common services)
b. Menggunakan pendekatan solusi majemuk
c. Menggunakan pendekatan fungsional, bukan structural
d. Melakukan sinergi antara fungsi inti surveilans (pengumpulan, pelaporan,
analisis data, tanggapan) dan fungsi pendukung surveilans (pelatihan dan
supervisi, penguatan laboratorium, komunikasi, manajemen sumber
daya). Mendekatkan fungsi surveilans dengan pengendalian penyakit.
Meskipun menggunakan pendekatan terpadu, surveilans terpadu tetap
memandang penyakit yang berbeda memiliki kebutuhan surveilans yang
berbeda (WHO, 2002).

6. Surveilans Kesehatan Masyarakat Global

10
Masyarakat Global Perdagangan dan perjalanan internasional di abad modern,
migrasi manusia dan binatang serta organisme, memudahkan transmisi
penyakit infeksi lintas negara. Konsekunsinya, masalah-masalah yang
dihadapi negara-negara berkembang dan negara maju di dunia makin serupa
dan bergayut. Timbulnya epidemi global (pandemi) khususnya menuntut
dikembangkannya jejaring yang terpadu di seluruh dunia, yang manyatukan
para praktisi kesehatan, peneliti, pemerintah, dan organisasi internasional
untuk memperhatikan kebutuhan-kebutuhan surveilans yang melintasi batas-
batas negara. Perdagangan dan perjalanan internasional diabad modern,
migrasi manusia dan binatang serta organisme, memudahkan transmisi
penyakit infeksi lintas negara. Konsekunsinya, masalah-masalah yang
dihadapi negara-negara berkembang dan negara maju di dunia makin serupa
dan bergayut. Timbulnya epidemi global (pandemi) khususnya menuntut
dikembangkannya jejaring yang terpadu di seluruh dunia, yang manyatukan
para praktisi kesehatan, peneliti, pemerintah, dan organisasi internasional
untuk memperhatikan kebutuhan-kebutuhan surveilans yang melintasi batas-
batas negara. Ancaman aneka penyakit menular merebak pada skala global,
baik penyakit-penyakit lama yang muncul kembali (re-emerging diseases),
maupun penyakit-penyakit yang baru muncul (newemerging diseases), seperti
HIV/AIDS, flu burung, dan SARS. Agenda surveilans global yang
komprehensif melibatkan aktor-aktor baru, termasuk pemangku kepentingan
pertahanan keamanan dan ekonomi (DCP2, 2008).

Sedangkan menurut Permenkes Nomor 45 Tahun 2014, berdasarkan sasaran


penyelenggaraan, surveilans kesehatan terdiri atas:
a. Surveilans Penyakit Menular
1) Surveilans penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi
2) Surveilans penyakitdemam berdarah
3) Surveilans malaria
4) Surveilans penyakitzoonosis
5) Surveilans penyakitfilariasis
6) Surveilans penyakittuberkulosis
7) Surveilans penyakitdiare

11
8) Surveilans penyakittifoid
9) Surveilans penyakitkecacingan dan penyakit perut lainnya
10) Surveilans penyakitkusta
11) Surveilans penyakitframbusia
12) Surveilans penyakit HIV/AIDS
13) Surveilans hepatitis
14) Surveilans penyakit menular seksual
15) Surveilans penyakit pneumonia, termasuk penyakit infeksi saluran
pernafasan akut berat (severe acute respiratory infection).

b. Surveilans Penyakit Tidak Menular


1) Surveilans penyakit jantung dan pembuluh darah
2) Surveilans diabetes melitus dan penyakit metabolic
3) Surveilans penyakit kanker
4) Surveilans penyakit kronis dan degenerative
5) Surveilans gangguan mental
6) Surveilans gangguan akibat kecelakaan dan tindak kekerasan

c. Surveilans Kesehatan Lingkungan


1) Surveilans sarana air bersih
2) Surveilans tempat-tempat umum
3) Surveilans pemukiman dan lingkungan perumahan
4) Surveilans limbah industri, rumah sakit dan kegiatan lainnya
5) Surveilans vektor dan binatang pembawa penyakit
6) Surveilans kesehatan dan keselamatan kerja
7) Surveilans infeksi yang berhubungan dengan Fasilitas Pelayanan
Kesehatan.

d. Surveilans Kesehatan Matra


1) Surveilans kesehatan haji;
2) Surveilans bencana dan masalah sosial
3) Surveilans kesehatan matra laut dan udara.

e. Surveilans Masalah Kesehatan Lainnya


1) Surveilans kesehatan dalam rangka kekarantinaan
2) Surveilans gizi dan Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG)
3) Surveilans gizi mikro kurang yodium, anemia gizi besi, kekurangan
vitamin A
4) Surveilans gizi lebih
5) Surveilans kesehatan ibu dan anak termasuk reproduksi
6) Surveilans kesehatan lanjut usia
7) Surveilans penyalahgunaan obat, narkotika, psikotropika, zat adiktif
dan bahan berbahaya

12
8) Surveilans penggunaan obat, obat tradisional, kosmetika, alat
kesehatan, serta perbekalan kesehatan rumah tangga
9) Surveilans kualitas makanan dan bahan tambahan makanan

2.4 Fungsi Surveilans Epidemiologi


Surveilans epidemiologi banyak dimanfaatkan sebagai upaya pemberantasan
penyakit pada masyarakat baik upaya pencegahan maupun pemberantasan
penyakit menular. Beberapa tujuan surveilans epidemiologi yaitu:
1. Mendeteksi perubahan akut dari suatu penyakit yang terjadi dan
distribusinya.
2. Mengetahui distribusi geografis penyakit endemis dan penyakit yang
dapat menimbulkan epidemik.
3. Mengidentifikasi kelompok resiko tinggi, menurut waktu, orang dan
tempat.
4. Mengidentifikasi factor resiko dan penyebab lainnya.
5. Menentukan apakah terjadi peningkatan insidensi yang disebabkan oleh
kejadian luar biasa atau karena perioditas penyakit.
6. Mengetahui situasi suatu penyakit tertentu.
7. Memperoleh gambaran epidemiologi tentang penyakit tertentu.
8. Melakukan pengendalian penyakit.
9. Memberikan informasi dan data dasar untuk proyeksi kebutuhan
pelayanan dimasa mendatang.
10. Membantu menetapkan masalah kesehatan prioritas dan prioritas sasaran
program pada tahap perencanaan.

2.5 Manajemen Surveilans


Surveilans mencakup dua fungsi manajemen: (1) fungsi inti; dan (2) fungsi
pendukung. Fungsi inti (core activities) mencakup kegiatan surveilans dan
langkah-langkah intervensi kesehatan masyarakat. Kegiatan surveilans
mencakup deteksi, pencatatan, pelaporan data, analisis data, konfirmasi
epidemiologis maupun laboratoris, umpan-balik (feedback). Langkah intervensi
kesehatan masyarakat mencakup respons segera (epidemic type response) dan
respons terencana (management type response). Fungsi pendukung (support

13
activities) mencakup pelatihan, supervisi, penyediaan sumber daya manusia dan
laboratorium, manajemen sumber daya, dan komunikasi (WHO, 2001; McNabb
et al., 2002).

Hakikatnya tujuan surveilans adalah memandu intervensi kesehatan. Karena itu


sifat dari masalah kesehatan masyarakat menentukan desain dan implementasi
sistem surveilans. Sebagai contoh, jika tujuannya mencegah penyebaran
penyakit infeksi akut, misalnya SARS, maka manajer program kesehatan perlu
melakukan intervensi kesehatan dengan segera. Karena itu dibutuhkan suatu
sistem surveilans yang dapat memberikan informasi peringatan dini dari klinik
dan laboratorium.

Sebaliknya penyakit kronis dan perilaku terkait kesehatan, seperti kebiasaan


merokok, berubah dengan lebih lambat. Para manajer program kesehatan hanya
perlu memonitor perubahan- perubahan sekali setahun atau lebih jarang dari itu.
Sebagai contoh, sistem surveilans yang menilai dampak program pengendalian
tuberkulosis mungkin hanya perlu memberikan informasi sekali setahun atau
lima tahun, tergantung prevalensi. Informasi yang diperlukan bisa diperoleh dari
survei rumah tangga.

2.6 Pendekatan Surveilans


Terdapat dua jenis pendekatan surveilans antara lain surveilans aktif dan
surveilans pasif. Surveilans aktif menggunakan petugas khusus surveilans untuk
kunjungan berkala ke lapangan, desa-desa, tempat praktik pribadi dokter dan
tenaga medis lainnya, puskesmas, klinik, dan rumah sakit, dengan tujuan
mengidentifikasi kasus baru penyakit atau kematian, disebut penemuan kasus
(case finding), dan konfirmasi laporan kasus indeks.

Kelebihan surveilans aktif, lebih akurat daripada surveilans pasif, sebab


dilakukan oleh petugas yang memang dipekerjakan untuk menjalankan

14
tanggungjawab itu. Selain itu, surveilans aktif dapat mengidentifikasi outbreak
lokal. Kelemahan surveilans aktif, lebih mahal dan lebih sulit untuk dilakukan
daripada surveilans pasif (Mandl KD et al, 2004).

Pada surveilans pasif memantau penyakit secara pasif, dengan menggunakan data
penyakit yang harus dilaporkan (reportable diseases) yang tersedia di fasilitas
pelayanan kesehatan. Kelebihan surveilans pasif, relatif murah dan mudah untuk
dilakukan. Negara-negara anggota WHO diwajibkan melaporkan sejumlah
penyakit infeksi yang harus dilaporkan, sehingga dengan surveilans pasif dapat
dilakukan analisis perbandingan penyakit internasional. Kekurangan surveilans
pasif adalah kurang sensitif dalam mendeteksi kecenderungan penyakit. Data
yang dihasilkan cenderung under-reported, karena tidak semua kasus datang ke
fasilitas pelayanan kesehatan formal. Selain itu, tingkat pelaporan dan
kelengkapan laporan biasanya rendah, karena waktu petugas terbagi dengan
tanggungjawab utama memberikan pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan
masing-masing. Untuk mengatasi problem tersebut, instrumen pelaporan perlu
dibuat sederhana dan ringkas (Mandl KD et al, 2004).

Sistem surveilans dapat diperluas pada level komunitas, disebut community


surveilance. Dalam community surveilance, informasi dikumpulkan langsung
dari komunitas oleh kader kesehatan, sehingga memerlukan pelatihan diagnosis
kasus bagi kader kesehatan. Definisi kasus yang sensitif dapat membantu para
kader kesehatan mengenali dan merujuk kasus mungkin (probable cases) ke
fasilitas kesehatan tingkat pertama. Petugas kesehatan di tingkat lebih tinggi
dilatih menggunakan definsi kasus lebih spesifik, yang memerlukan konfirmasi
laboratorium. Surveilans komunitas mengurangi kemungkinan negatif palsu
(Mandl KD et al, 2004).

2.7 Ruang Lingkup Penyelengaraan Surveilans Epidemiologi


Masalah kesehatan disebabkan oleh berbagai sebab, oleh karena itu secara
operasional masalah-masalah kesehatan tidak dapat diselesaikan oleh sektor

15
kesehatan sendiri, diperlukan tatalaksana terintegrasi dan komprehensif dengan
kerjasama yang antar sektor dan antar program sehingga ruang lingkup
surveilans epidemiologi meliputi (Buton, 2008) :
a. Surveilans epidemiologi penyakit menular
Analisis terus menerus dan sistematika terhadap penyakit menular dan faktor
risiko untuk upaya pemberantasan penyakit menular. Menurut Permenkes
(2014) Surveilans penyakit menular yang dilakukan meliputi :
- Surveilans penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (AFP,
Campak, Hepatitis B, Diptheri, Pertusis, Tetanus)
- Surveilans penyakit demam berdarah
- Surveilans penyakit filariasis
- Surveilans penyakit tuberculosis
- Surveilans penyakit diare
- Surveilans penyakit tifoid
- Surveilans penyakit kecacingan dan penyakit perut lainnya
- Surveilans penyakit kusta
- Surveilans penyakit frambusia
- Surveilans penyakit HIV/AIDS
- Surveilans penyakit Hepatitis
- Surveilans penyakit menular seksual
- Surveilans penyakit pneumonia, termasuk penyakit infeksi saluran
pernapasan akut berat (severe acute respiratory infection)
b. Surveilans epidemiologi penyakit tidak menular
Merupakan analisis terus menerus dan sistematis terhadap penyakit tidak
menular dan faktor risiko untuk mendukung upaya pemberantasan penyakit
tidak menular. Menurut Permenkes (2014), surveilans tidak penyakit
menular yang dilakukan meliputi :
- Surveilans penyakit jantung dan pembuluh darah
- Surveilans diabetes mellitus dan penyakit metabolic
- Surveilans penyakit kanker

16
- Surveilas kronis dan degeneratif
- Surveilans gangguan mental
- Surveilans gangguan akibat kecelakaan dan tindak kekerasan.
c. Surveilans epidemiologi kesehatan lingkungan dan perilaku
Merupakan analisis terus menerus dan sistematis terhadap penyakit dan
faktor risiko untuk mendukung program penyehatan lingkungan.

d. Surveilans epidemiologi masalah kesehatan


Merupakan analisis terus menerus dan sistematis terhadap masalah
kesehatan dan faktor risiko untuk mendukung program-program kesehatan
tertentu.
e. Surveilans epidemiologi kesehatan matra
Merupakan Analisis terus menerus dan sistematis terhadap masalah
kesehatan dan faktor risiko untuk upaya mendukung program kesehatan
matra.

2.8 Indikator Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan


Indikator yang digunakan dalam surveilans adalah indikator pemantauan dan
indikator evaluasi. Indikator yang digunakan untuk melacak pelaksanaan
kegiatan surveilans dan untuk mendeteksi perubahan dalam sistem pengawasan
dari waktu ke waktu adalah indikator pemantauan. Sedangkan indikator yang
digunakan untuk menilai keefektifan sistem dalam hal tujuan yang dinyatakan,
dengan menilai proses, output, hasil dan dampak dari sistem. Berikut adalah
daftar indikator yang dikategorikan sebagai input, indikator proses, output, hasil
dan dampak yang telah direkomendasikan oleh WHO (WHO, 2004) :
a. Indikator Input
Indikator yang termasuk dalam indikator input adalah sumber daya yang
diperlukan untuk membangun dan melaksanakan kegiatan pengawasan dan

17
respon. Yang termasuk dalam hal ini adalah personel terlatih, keuangan,
standar dan pedoman fasilitas komunikasi, formulir yang relevan untuk
pengawasan dan lain-lain.
b. Indikator Proses
Indikator proses digunakan untuk memantau dan melacak aktivitas seperti
pelatihan, supervisi, pengembangan pedoman, dan pengembangan fungsi
pengawasan inti.

c. Indikator Output
Indikator output digunakan untuk mengukur hasil dari kegiatan yang
dilakukan, mis. laporan dan interpretasi pengawasan data, umpan balik
yang disediakan, proporsi kesehatan, staf terlatih dalam pengawasan dan
tanggapan, dan apakah pengawasan dilakukan sesuai rencana.
d. Indikator Hasil
Indikator hasil digunakan untuk mengukur sejauh mana tujuan pengawasan
yang sedang dicapai dan termasuk kualitas sistem pengawasan, kelayakan
dari setiap respon wabah dan kegunaan dari sistem.
e. Indikator Dampak
Indikator dampak digunakan untuk mengukur sejauh mana tujuan
keseluruhan dari sistem pengawasan dan respons adalah tercapai, mis.
penurunan tingkat fatalitas kasus penyakit rawan epidemi, perubahan
dalam pola morbiditas penyakit menular yang ditargetkan atau perubahan
perilaku, staf kesehatan dan populasi umum.

Indikator Surveilans Kesehatan dijabarkan dalam Indikator Kinerja


Penyelenggaraan terpadu Penyakit sebagai berikut:
1. Kelengkapan laporan bulanan STP unit pelayanan ke Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota sebesar 90%.
2. Ketepatan laporan bulanan STP Unit Pelayanan ke Dinas Kesehatan
Kabupaten Kota sebesar 80%.

18
3. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota mencapai indikator Epidemiologi STP
sebesar 80%.
4. Kelengkapan laporan bulanan STP Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota ke
Dinas Kesehatan Propinsi sebesar 100%.
5. Ketepatan laporan bulanan STP Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota ke Dinas
Kesehatan Propinsi sebesar 90%.
6. Kelengkapan laporan bulanan STP Dinas Kesehatan Propinsi ke Ditjen
PPM & PL Depkes sebesar 100%.
7. Ketepatan laporan bulanan STP Dinas Kesehatan Propinsi ke Ditjen PPM
& PL Depkes sebesar 90%.
8. Distribusi data dan informasi bulanan Kabupaten/Kota, propinsi dan
nasional sebesar 100%.
9. Umpan balik laporan bulanan Kabupaten/Kota, propinsi dan nasional
sebesar 100%.
10. Penerbitan buletin Epidemiologi di Kabupaten/Kota adalah 4 kali setahun.
11. Penerbitan buletin Epidemologi di propinsi dan nasional adalah sebesar 12
kali setahun.
12. Penerbitan profil tahunan atau buku data surveilans epidemiologi
Kabupaten/Kota, Propinsi dan Nasional adalah satu kali setahun.

2.9 Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan


Setiap instansi kesehatan pemerintah, instansi kesehatan kesehatan propinsi,
instansi kesehatan kabupaten/kota dan lembaga masyarakat dan swasta baik
secara fungsional dan struktural wajib menyelenggarakan surveilans
epidemiologi kesehatan.

Pada pedoman penyelengaraan Surveilans Epidemiologi Kesehatan, mekanisme


kerja surveilans terdiri atas:
1. Identifikasi kasus dan masalah kesehatan serta informasi terkait lainnya.
2. Perekaman, pelaporan dan pengolahan data
3. Analisis dan intreprestasi data
4. Studi epidemiologi
5. Penyebaran informasi kepada unit yang membutuhkannya

19
6. Membuat rekomendasi dan alternatif tindak lanjut.
7. Umpan balik

Jenis penyelenggaraan surveilans epidemiologi adalah sebagai berikut


(Masrochah, 2006) :
1. Penyelenggaraan berdasarkan metode pelaksanaan
a. Surveilans epidemiologi rutin terpadu, adalah penyelenggaraan
surveilans epidemiologi terhadap beberapa kejadian, permasalahan dan
atau faktor risiko kesehatan.
b. Surveilans epidemiologi khusus, adalah penyelenggaraan surveilans
epidemiologi terhadap suatu kejadian, permasalahan , faktor risiko atau
situasi khusus kesehatan
c. Surveilans sentinel, adalah penyelenggaraan surveilans epidemiologi
pada populasi dan wilayah terbatas untuk mendapatkan signal adanya
masalah kesehatan pada suatu populasi atau wilayah yang lebih luas.
d. Studi epidemiologi, adalah penyelenggaraan surveilans epidemiologi
pada periode tertentu serta populasi atau wilayah tertentu untuk
mengetahui lebih mendalam gambaran epidemiologi penyakit,
permasalahan dan atau faktor risiko kesehatan.
2. Penyelenggaraan berdasarkan aktifitas pengumpulan data
a. Surveilans aktif, adalah penyelenggaraan surveilans epidemilogi
dimana unit surveilans mengumpulkan data dengan cara mendatangi
unit pelayanan kesehatan, masyarakat atau sumber data lainnya.
b. Surveilans pasif, adalah penyelenggaraan surveilans epidemiologi
dimana unit surveilans mengumpulkan data dengan cara menerima
data tersebut dari unit pelayanan kesehatan, masyarakat atau sumber
data lainnya.
3. Penyelenggaraan berdasarkan pola pelaksanaan
a. Pola kedaruratan, adalah kegiatan surveilans yang mengacu pada
ketentuan yang berlaku untuk penanggulangan KLB dan atau wabah
dan atau bencana.

20
b. Pola selain kedaruratan, adalah kegiatan surveilans yang mengacu
pada ketentuan yang berlaku untuk keadaan di luar KLB dan atau
wabah dan atau bencana.
4. Penyelenggaraan berdasarkan kualitas pemeriksaan
a. Bukti klinis atau tanpa peralatan pemeriksaan, adalah kegiatan
surveilans dimana data diperoleh berdasarkan pemeriksaan klinis atau
tidak menggunakan peralatan pendukung pemeriksaan.
b. Bukti laboratorium atau dengan peralatan khusus, adalah kegiatan
surveilans dimana data diperoleh berdasarkan pemeriksaan
laboratorium atau peralatan pendukung pemeriksaan lainnya.

2.10 Kegiatan Pokok Surveilans


1. Pengumpulan data
Pengumpulan data dilakukan dengan cara aktif dan pasif. Jenis data
Surveilans Kesehatan dapat berupa data kesakitan, kematian, dan faktor
risiko. Pengumpulan data dapat diperoleh dari berbagai sumber antara lain
individu, Fasilitas Pelayanan Kesehatan,Unit statistik dan demografi, dan
sebagainya. Metode pengumpulan data dapat dilakukan melalui wawancara,
pengamatan, pengukuran, dan pemeriksaan terhadap sasaran. Dalam
melaksanakan kegiatan pengumpulan data, diperlukan instrumen sebagai alat
bantu. Instrumen dibuat sesuai dengan tujuan surveilans yang akan
dilakukan dan memuat semua variabel data yang diperlukan.

2. Pengolahan data
Sebelum data diolah dilakukan pembersihan koreksi dan cek ulang,
selanjutnya data diolah dengan cara perekaman data, validasi, pengkodean,
alih bentuk (transform) dan pengelompokan berdasarkan variabel tempat,
waktu, dan orang. Hasil pengolahan dapat berbentuk tabel, grafik, dan peta
menurut variabel golongan umur, jenis kelamin, tempat dan waktu, atau
berdasarkan faktor risiko tertentu. Setiap variabel tersebut disajikan dalam
bentuk ukuran epidemiologi yang tepat (rate, rasio dan proporsi).
Pengolahan data yang baik akan memberikan informasi spesifik suatu

21
penyakit dan atau masalah kesehatan. Selanjutnya adalah penyajian hasil
olahan data dalam bentuk yang informatif, dan menarik. Hal ini akan
membantu pengguna data untuk memahami keadaan yang disajikan.

3. Analisis data
Analisis data dilakukan dengan menggunakan metode epidemiologi
deskriptif dan/atau analitik untuk menghasilkan informasi yang sesuai
dengan tujuan surveilans yang ditetapkan. Analisis dengan metode
epidemiologi deskriptif dilakukan untuk mendapat gambaran tentang
distribusi penyakit atau masalah kesehatan serta faktor-faktor yang
mempengaruhinya menurut waktu, tempat dan orang. Sedangkan analisis
dengan metode epidemiologi analitik dilakukan untuk mengetahui hubungan
antar variabel yang dapat mempengaruhi peningkatan kejadian kesakitan
atau masalah kesehatan. Untuk mempermudah melakukan analisis dengan
metode epidemiologi analitik dapat menggunakan alat bantu statistik. Hasil
analisis akan memberikan arah dalam menentukan besaran masalah,
kecenderungan suatu keadaan, sebab akibat suatu kejadian, dan penarikan
kesimpulan. Penarikan kesimpulan hasil analisis harus didukung dengan
teori dan kajian ilmiah yang sudah ada.

4. Diseminasi Informasi
Diseminasi informasi dapat disampaikan dalam bentuk buletin, surat edaran,
laporan berkala, forum pertemuan, termasuk publikasi ilmiah. Diseminasi
informasi dilakukan dengan memanfaatkan sarana teknologi informasi yang
mudah diakses. Diseminasi informasi dapat juga dilakukan apabila petugas
surveilans secara aktif terlibat dalam perencanaan, pelaksanaan dan
monitoring evaluasi program kesehatan, dengan menyampaikan hasil
analisis (Permenkes, 2014).

2.11 Surveilans Efektif

Karakteristik surveilans yang efektif mencakup (Wuhib et al., 2002; McNabb

22
et al., 2002; Giesecke, 2002; JHU, 2006) :

a. Kecepatan
Informasi yang diperoleh dengan cepat (rapid) dan tepat waktu (timely)
memungkinkan tindakan segera untuk mengatasi masalah yang
diidentifikasi. Investigasi lanjut hanya dilakukan jika diperlukan informasi
tertentu dengan lebih mendalam. Kecepatan surveilans dapat ditingkatkan
melalui sejumlah cara:

(1) Melakukan analisis sedekat mungkin dengan pelapor data primer,


untuk mengurangi “lag” (beda waktu) yang terlalu panjang antara
laporan dan tanggapan;

(2) Melembagakan pelaporan wajib untuk sejumlah penyakit tertentu


(notifiable diseases);

(3) Mengikutsertakan sektor swasta melalui peraturan perundangan;

(4) Melakukan fasilitasi agar keputusan diambil dengan cepat


menggunakan hasil surveilans;

(5) Mengimplementasikan sistem umpan balik tunggal, teratur, dua-arah


dan segera.

b. Akurasi
Surveilans yang efektif memiliki sensitivitas tinggi, yakni sekecil
mungkin terjadi hasil negatif palsu. Aspek akurasi lainnya adalah
spesifisitas, yakni sejauh mana terjadi hasil positif palsu. Pada umumnya
laporan kasus dari masyarakat awam menghasilkan “false alarm”
(peringatan palsu). Karena itu sistem surveilans perlu mengecek
kebenaran laporan awam ke lapangan, untuk mengkonfirmasi apakah
memang tengah terjadi peningkatan kasus/outbreak. Akurasi surveilans
dipengaruhi oleh kemampuan petugas dan infrastruktur laboratorium.
Surveilans membutuhkan pelatihan petugas. Contoh, para ahli madya

23
epidemiologi perlu dilatih tentang dasar laboratorium, sedang teknisi
laboratorium dilatih tentang prinsip epide- miologi, sehingga kedua pihak
memahami kebutuhan surveilans. Surveilans memerlukan peralatan
laboratorium standar di setiap tingkat operasi untuk meningkatkan
kemampuan konfirmasi kasus.

c. Standar, Seragam, Reliabel, Kontinu


Definisi kasus, alat ukur, maupun prosedur yang standar penting dalam
sistem surveilans agar diperoleh informasi yang konsisten. Sistem
surveilans yang efektif mengukur secara kontinu sepanjang waktu,
bukannya intermiten atau sporadis, tentang insidensi kasus penyakit untuk
mendeteksi kecenderungan. Pelaporan rutin data penyakit yang harus
dilaporkan (reportable diseases) dilakukan seminggu sekali.

d. Representatif dan Lengkap


Sistem surveilans diharapkan memonitor situasi yang sesungguhnya
terjadi pada populasi. Konsekuensinya, data yang dikumpulkan perlu
representatif dan lengkap. Keterwakilan, cakupan, dan kelengkapan data
surveilans dapat menemui kendala jika penggunaan kapasitas tenaga
petugas telah melampaui batas, khususnya ketika waktu petugas
surveilans terbagi antara tugas surveilans dan tugas pemberian pelayanan
kesehatan lainnya.

e. Sederhana, Fleksibel, dan Akseptabel


Sistem surveilans yang efektif perlu sederhana dan praktis, baik dalam
organisasi, struktur, maupun operasi. Data yang dikumpulkan harus
relevan dan terfokus. Format pelaporan fleksibel, bagian yang sudah tidak
berguna dibuang. Sistem surveilans yang buruk biasanya terjebak untuk
menambah sasaran baru tanpa membuang sasaran lama yang sudah tidak
berguna, dengan akibat membebani pengumpul data. Sistem surveilans

24
harus dapat diterima oleh petugas surveilans, sumber data, otoritas terkait
surveilans, maupun pemangku surveilans lainnya. Untuk memelihara
komitmen perlu pembaruan kesepakatan para pemangku secara berkala
pada setiap level operasi.

f. Penggunaan (Uptake)
Manfaat sistem surveilans ditentukan oleh sejauh mana informasi
surveilans digunakan oleh pembuat kebijakan, pengambil keputusan,
maupun pemangku surveilans pada berbagai level. Rendahnya
penggunaan data surveilans merupakan masalah di banyak negara
berkembang dan beberapa negara maju. Salah satu cara mengatasi
problem ini adalah membangun network dan komunikasi yang baik antara
peneliti, pembuat kebijakan, dan pengambil keputusan.

2.12 Surveilans di Puskesmas Rawat Inap Satelit


Puskesmas Rawat Inap Satelit terletak di Jalan Jenderal Sudirman Nomor 69
Kecamatan Tanjung Karang Timur. Puskesmas ini berdiri sejak tahun 1960
dalam bentuk Balai Pengobatan Satelit. Sesuai dengan Keputuran Walikota
Bandar Lampung Nomor 60 Tahun 2001 BLUD UPT Puskesmas Rawat Inap
Satelit ditetapkan menjadi UPTD Dinas Kesehatan Kota Bandar Lampung.
Namun menurut Peraturan Walikota Bandar Lampung Nomor 81 Tahun 2012
Tentang Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD)
Unit Pelaksana Teknis Dinas Kesehatan Kota Bandar Lampung serta Keputusan
Walikota Bandar Lampung Nomor 586/IV.41/HK/2012 tentang Pemberlakuan
Pola Pengelolaan Keuangan Unit Pelaksana Teknis Puskesmas pada Dinas
Kesehatan Kota Bandar Lampung sebagai Badan Layanan Umum Daerah maka
BLUD UPT Puskesmas Rawat Inap Satelit menjadi salah satu Badan Layanan
Umum Daerah.

Puskesmas ini memiliki luas 853 Ha dengan 7 kelurahan wilayah kerja yaitu
Kelurahan Tanjung Gading, Kelurahan Tanjung Raya, Kelurahan Kedamaian,
Kelurahan Bumi Kedamaian, Kelurahan Tanjung Baru, Kelurahan Kali Balau

25
Kencana, dan Kelurahan Tanjung Agung Raya. Puskesmas ini memiliki 97
Sumber Daya Manusia (SDM) yang terdiri dari 5 dokter umum, 3 dokter gigi,
33 perawat, 3 perawat gigi, 20 bidan dan sisanya adalah ahli laboraturium,
sanitarian, nutrisionis, dan tenaga medis lainnya.

Program surveilans di Puskesmas ini berjalan cukup baik dengan proses


pengumpulan data, pelaporan, analisis dan interpretasi, umpan balik berupa aksi
dan evaluasi. Hal ini sesuai dengan prisnsip umum surveilans. Masalah
kesehatan yang diangkat sebagai topik utama oleh tim surveilans di puskesmas
ini adalah berupa tifus perut klinis, diare, tersangka TB paru, DBD, malaria
klinis, pneumonia, TB paru BTA (+), campak, malaria vivax, malaria
falciparum, dan lain-lain.

Proses pengumpulan data berasal dari tim yang bekerja dengan baik dimana
pelaporan disampaikan oleh bidan desa, pemegang program dan balai
pengobatan selama di puskesmas, bahkan masyarakat cakupan Puskesmas
Tanjung Sari ini pun ikut andil dalam proses pengumpulan data, dimana apabila
terdapat tetangga atau keluarga yang memiliki gejala yang mengarah pada salah
satu penyakit endemis maka mereka segera melaporkan ke petugas puskesmas
untuk mendapatkan tindak lanjut. Data ini secara rutin dilaporkan ke Dinas
Kesehatan kota melalui email setiap akhir pekan. Lalu, dinas kesehatan kota
akan melaporkan ke dinas kesehatan pusat. Jika ditemukan suatu kasus
Kejadian Luar Biasa (KLB) maka dinas kesehatan akan menganalisis data dan
memberikan umpan balik agar menindaklanjuti kasus tersebut dengan cepat dan
tepat.

Adapun daftar penyakit terbanyak berdasarkan data surveilans Puskesmas


Rawat Inap Satelit, Bandar Lampung pada Januari hingga Maret 2019 :
1. Tersangka TB Paru : 624 catatan
2. Tifus Perut Klinis : 495 catatan
3. Diare : 255 catatan
4. TB Paru BTA (+) : 20 catatan
5. DBD : 19 catatan
6. Malaria Klinis : 12 catatan

26
7. Pneumonia :8 catatan
8. Demam Dengue :5 catatan
9. Hepatitis Klinis :3 catatan
10. Campak :1 catatan

2.13 Critical Appraisal

1. Judul

GAMBARAN KASUS DEMAM BERDARAH DENGUE DI KOTA


BLITAR TAHUN 2015-2017

The Overview of Dengue Hemorrhagic Fever Cases in Blitar City from 2015
to 2017

2. Latar Belakang
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) masih menjadi permasalahan
kesehatan yang ada di Indonesia dimana jumlah kasus yang dilaporkan pada
tahun 2015 sebanyak 129.650 kasus dengan jumlah kematian sebanyak
1.071 orang. Kota Blitar merupakan daerah dengan kasus demam berdarah
tertinggi ke-13 di Provinsi Jawa Timur. Demam Berdarah Dengue masih
menjadi permasalahan kesehatan baik di wilayah perkotaan maupun wilayah
semi-perkotaan. Perilaku vektor dan hubungannya dengan lingkungan,
seperti iklim, pengendalian vektor, urbanisasi, dan lain sebagainya
mempengaruhi terjadinya wabah demam berdarah di daerah perkotaan.
Belum ada prediksi yang tepat untuk menunjukkan kehadiran dan kepadatan
vektor (terutama Aedes Aegypti di lingkungan perkotaan dan semi
perkotaan). Penyebaran dengue dipengaruhi faktor iklim seperti curah hujan,
suhu dan kelembaban. Kelangsungan hidup nyamuk akan lebih lama bila
tingkat kelembaban tinggi, seperti selama musim hujan (Nazri, Hashim,
Rodziah, Hassan, & Yazid, 2013).

27
3. Metode

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan rancang bangun case


series. Sumber data pada penelitian ini menggunakan data sekunder yaitu
Profil Kesehatan Jawa Timur tahun 2015 hingga 2017, dan data curah hujan
Kota Blitar tahun 2015-2017 yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik Kota
Blitar. Penelitian ini menggambarkan kejadian kasus DBD dengan
pendekatan kasus epidemiologi menurut orang, tempat, dan waktu. Variabel
yang diteliti dalam penelitian ini adalah jenis kelamin, umur, jumlah
penduduk, incidence rate, curah hujan, dan nilai ABJ terhadap kasus DBD di
Kota Blitar.

Variabel umur dikelompokkan menjadi 6 yaitu kelompok umur ≤ 1 tahun, 1-


4 tahun, 5-14 tahun, 15-44 tahun, dan ≥ 45 tahun. Variabel Incidence Rate
(IR) merupakan hasil pembagian antara jumlah kasus baru pada periode
tertentu dengan jumlah penduduk yang ada di wilayah tersebut. Hasil
perhitungan tersebut kemudian diklasifikasikan menjadi 4 kelompok yaitu,
sangat tinggi IR > 20%, tinggi IR 16-20%, sedang IR 11- 15%, rendah IR 6-
14%, dan sangat rendah IR < 5% (Detiawan, Supardi, & Bani, 2017).
Variabel Angka Bebas Jentik (ABJ) didapatkan dari pemeriksaan Jumantik.
Rumah yang negatif jentik dibagi jumlah yang diperiksa lalu dikalikan 100%
akan didapatkan hasil Angka Bebas jentik.

4. Hasil
Mayoritas demam berdarah terjadi pada kelompok umur 5-14 tahun
(46,72%). Sebagian besar kasus demam berdarah terjadi pada laki-laki
(51,19%). Kota Blitar merupakan daerah dengan kasus demam berdarah
yang tinggi tiap tahunnya dengan Incidence Rate (IR) tahun 2016 mencapai
189 per 100.000 penduduk. Peningkatan kasus demam berdarah tidak seiring
dengan peningkatan curah hujan yang ada di kota Blitar. Jumantik terdapat

28
166 orang yang tersebar di 21 wilayah, namun Angka Bebas Jentik (ABJ)
dari kota Blitar masih 79%, jauh dari indikator keberhasilan yaitu 95%.

5. Kesimpulan
Pola kejadian DBD di kota Blitar menurut jenis kelamin terjadi paling
banyak pada jenis kelamin laki-laki, seperti tahun 2015 dan 2017. Pola
kejadian DBD berdasarkan usia tahun 2015 hingga 2017 paling banyak
terjadi pada usia 5-14 tahun. Pola IR di kota Blitar termasuk tinggi karena
setiap tahun memiliki angka > 20 dalam 100.000 penduduk. Pola kejadian
DBD berdasarkan waktu dan jenis kelamin didapati pada masing-masing
tahun bila rata-rata curah hujan maksimal maka angka kejadian DBD justru
rendah. Bila rata-rata curah hujan tinggi namun bukan maksimal maka angka
kejadian DBD akan tinggi. Angka Kejadian DBD ditemui pola dari masing-
masing tahun angka kejadian tertinggi terjadi pada bulan Januari dan
Februari.

a. Analisis PICO

1. Problem
Di Dinas Kesehatan Provinsi Jawa timur terdapat kejadian luar biasa
Demam Berdarah Dengue dari 21.092 kasus pada tahun 2015 meningkat
menjadi 25.336 kasus pada tahun 2016. Banyak faktor-faktor yang
mempengaruhi kasus demam berdarah, berbagai upaya pengendalian
prevalensi kasus dbd khususnya pada daerah dengan transmisi yang tinggi
atau persisten, sangat diperlukan. Penyakit DBD telah menjadi penyakit

29
yang mematikan sejak tahun 2013. Penyakit ini telah tersebar di 436
kabupaten/kota pada 33 provinsi di Indonesia. Kota Blitar merupakan
wilayah ke 13 di Jawa Timur dengan kasus DBD yang tinggi pada tahun
2015-2017. Kasus DBD dipengaruhi oleh jumlah penduduk pada suatu
wilayah yang dicerminkan melalui perhitungan Incidence Rate (IR).
Incidence Rate dari kota Blitar tahun 2016 adalah 189 per 100.000 orang.
Nilai IR tersebut termasuk dalam klasifikasi sangat tinggi (Kemenkes RI,
2016b).

2. Intervention
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan rancang bangun
case series. Sumber data pada penelitian ini menggunakan data sekunder
yaitu Profil Kesehatan Jawa Timur tahun 2015 hingga 2017, dan data
curah hujan Kota Blitar tahun 2015-2017 yang diperoleh dari Badan Pusat
Statistik Kota Blitar. Penelitian ini menggambarkan kejadian kasus DBD
dengan pendekatan kasus epidemiologi menurut orang, tempat, dan
waktu. Variabel yang diteliti dalam penelitian ini adalah jenis kelamin,
umur, jumlah penduduk, incidence rate, curah hujan, dan nilai ABJ
terhadap kasus DBD di Kota Blitar

3. Comparison
Penelitian ini membandingkan variable-variabel faktor yang
mempengaruhi terjadinya DBD. Variabel yang diteliti adalah jenis
kelamin, umur, jumlah penduduk, incidence rate, curah hujan, dan nilai
ABJ terhadap kasus DBD di Kota Blitar . Variabel umur dikelompokkan
menjadi 6 yaitu kelompok umur ≤ 1 tahun, 1-4 tahun, 5-14 tahun, 15-44
tahun, dan ≥ 45 tahun. Variabel Incidence Rate (IR) merupakan hasil
pembagian antara jumlah kasus baru pada periode tertentu dengan jumlah

30
penduduk yang ada di wilayah tersebut. Hasil perhitungan tersebut
kemudian diklasifikasikan menjadi 4 kelompok yaitu, sangat tinggi IR >
20%, tinggi IR 16-20%, sedang IR 11- 15%, rendah IR 6-14%, dan sangat
rendah IR < 5% (Detiawan, Supardi, & Bani, 2017). Variabel Angka
Bebas Jentik (ABJ) didapatkan dari pemeriksaan Jumantik. Rumah yang
negatif jentik dibagi jumlah yang diperiksa lalu dikalikan 100% akan
didapatkan hasil Angka Bebas jentik.

4. Outcome
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa baik laki-laki maupun
perempuan pernah menjadi kelompok dengan jumlah kasus demam
berdarah tertinggi pada tahun yang berbeda. Hasil penelitian ini sejalan
dengan penelitian lain yang menunjukkan bahwa tidak terdapat
kerentanan terhadap serangan DBD berkaitan dengan jenis kelamin
penelitian ini menunjukkan bahwa mayoritas kasus demam berdarah
terjadi pada kelompok umur 5-14 tahun. Penelitian ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan di Thailand yang menunjukkan mayoritas
penderita demam berdarah terjadi pada kelompok ≤ 15 tahun. Hal ini
disebabkan karena daya tahan tubuh kelompok umur < 12 tahun yang
masih rendah daripada kelompok umur ≥ 12 tahun. (Faldy, Kaunang, &
Pandelaki, 2015).

Kepadatan penduduk di kota Blitar cenderung tinggi pada tahun 2015


hingga tahun 2017 yaitu mencapai lebih dari 4200 jiwa/km2. Incidence
rate tidak pernah berada pada posisi ≤ 20%. Hal ini menunjukkan bahwa
kejadian kasus DBD di Kota Blitar sangat tinggi. Hasil lainnya
menunjukkan kepadatan penduduk di kota Blitar cenderung tinggi pada
tahun 2015 hingga tahun 2017 yaitu mencapai lebih dari 4200 jiwa/km2.
Incidence rate tidak pernah berada pada posisi ≤ 20%. Hal ini
menunjukkan bahwa kejadian kasus DBD di Kota Blitar sangat tinggi.

31
Kota Blitar merupakan daerah dengan mobilitas penduduk yang padat
dengan populasi orang yang tinggi. Hal ini menyebabkan populasi
nyamuk Aedes aegypti meningkat. Semakin banyak jumlah penduduk
disuatu wilayah akan meningkatkan kemungkinan pajanan pada banyak
orang. Jika nyamuk menggigit seorang penderita dalam kondisi viremia
maka nyamuk tersebut akan terinfeksi.

Penelitian ini menunjukkan bahwa peningkatan kasus demam berdarah


tidak selalu disertai dengan curah hujan yang tinggi. Hal ini bertentangan
dengan penelitian lain yang dilakukan di Surabaya yang menunjukkan
bahwa curah hujan berkolerasi positif dengan kejadian demam berdarah
dengue (Rismawati & Nurmala, 2015). Adanya perbedaan hasil dengan
penelitian lain disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satu faktor yang
juga berpengaruh terhadap kejadian demam berdarah adalah faktor
lingkungan. Beberapa indikator yang dapat digunakan untuk mengetahui
besar risiko dari suatu lingkungan terhadap kejadian demam berdarah
adalah indikator entomologi seperti maya index atau Angka Bebas Jentik
(ABJ). Peran manusia dalam mencegah terjadinya peningkatan kasus
demam berdarah adalah dengan melakukan modifikasi lingkungan
melalui kegiatan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), Pemantauan
Jentik Berkala (PJB), abatisasi, dan peran serta menjadi Jumantik.
Penelitian yang mendukung tentang PSN terhadap kejadian DBD telah
dilakukan di Samarinda pada wilayah Buffer KKP Kelas II Samarinda
menunjukkan bahwa ada hubungan antara tindakan PSN dengan penyakit
DBD (Adi, 2015). Penelitian ini menunjukkan bahwa pada tahun 2017
terjadi penurunan ABJ, namun jumlah kasus demam berdarah juga ikut
menurun. Hal ini dapat disebabkan oleh faktor lain yaitu faktor host.

b. Analisis VIA

32
1. Validity
Desain:
Metode penelitian The Overview of Dengue Hemorrhagic Fever Cases in
Blitar City from 2015 to 2017 Penelitian ini merupakan penelitian
deskriptif dengan rancang bangun case series. Tidak dilakukan intervensi
dalam penelitian ini.

Populasi dan Sampel:


Sumber data pada penelitian ini menggunakan data sekunder yaitu Profil
Kesehatan Jawa Timur tahun 2015 hingga 2017, dan data curah hujan
Kota Blitar tahun 2015-2017 yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik
Kota Blitar.

2. Importance
Hal ini sangatlah penting, dikarenakan agar semua tenaga kesehatan dapat
mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian DBD berdasarkan
faktor usia, jenis kelamin, tempat, waktu dan nilai ABJ sehingga dapat
dilakukan upaya pencegahan dan penanggulangan terjadinya DBD.

3. Applicability
Pada jurnal ini mengandung unsur yang dapat membantu meningkatkan
kualitas dari pelaksanaan program surveilans yaitu surveilans DBD.
Dimana jika terjadi peningkatan kualitas komponen pelaksanaan
surveilans, maka data yang didapatkan terkait DBD juga akan lebih akurat
dan lengkap sehingga sensitivitas data lebih baik. Pengevaluasian
program yang dilakukan pada penelitian ini sangat sederhana dan dapat
diaplikasikan juga di daerah lain termasuk Lampung dan secara khusus di
Bandar Lampung.

33
34
BAB III
KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari makalah tersebut adalah sebagai berikut:
1. Surveilans adalah pengukuran sistematis kesehatan dan lingkungan
parameter, rekaman, dan transmisi data/perbandingan dan interpretasi data
untuk mendeteksi kemungkinan perubahan dalam status kesehatan dan
lingkungan penduduk. sedangkan Surveilans Kesehatan didefinisikan
sebagai kegiatan pengamatan yang sistematis dan terus menerus terhadap
data dan informasi tentang kejadian penyakit atau masalah kesehatan dan
kondisi yang mempengaruhi terjadinya peningkatan dan penularan penyakit
atau masalah kesehatan untuk memperoleh dan memberikan informasi guna
mengarahkan tindakan penanggulangan secara efektif dan efisien.

2. Surveilans dapat digunakan untuk Memonitor kecenderungan penyakit,


mendeteksi perubahan mendadak insidensi penyakit, untuk mendeteksi dini
outbreak, memantau kesehatan populasi, menaksir besarnya beban penyakit
(disease burden) pada populasi, menentukan kebutuhan kesehatan prioritas,
membantu perencanaan, implementasi, monitoring, dan evaluasi program
kesehatan, mengevaluasi cakupan dan efektivitas program kesehatan,
mengidentifikasi kebutuhan riset.

3. Peran Puskesmas dalam penyelenggaraan surveilans terpadu penyakit antara lain


berupa pengumpulan dan pengolahan data, analisis serta rekomendasi tindak
lanjut, umpan balik dan laporan.

35
4. Masalah kesehatan yang diangkat sebagai topik utama oleh tim surveilans di
puskesmas Satelit Bandar Lampung adalah tifus, diare, tersangka TB paru,
DBD, malaria klinis, pneumonia, TB paru BTA (+), campak.

DAFTAR PUSTAKA

Bensimon CM, Upshur REG (2007). Evidence and effectiveness in decisionmaking


for quarantine. AmJ Public Health;97:S44-48.

CDC. 2017. Introduction to public health surveillance.


https://www.cdc.gov/publichealth101/surveillance.html 2017. diakses pada 21
Februari 2019

Chandra B. 2007. Pengantar Kesehatan Lingkungan. Jakarta: ECG

DCP2 (2008). Public health surveillance. The best weapon to avert epidemics.
Disease Control Priority Project.www.dcp2.org/file/153/dcpp-surveillance.pdf.
Diakses pada tanggal 21 Februari 2019.

Dinas Kesehatan Kab. Tegal, 2013, Profil Kesehatan Kab. Tegal 2012, Dinas
Kesehatan Kab. Tegal, Tegal.

Ditjen PP dan PL Kemenkes RI, 2013, Profil Pengendalian dan Penyehatan


Lingkungan tahun 2012, Kemenkes RI, Jakarta.

Detiawan B., Supardi F., Bani VKB. (2017). Analisis spasial kerentanan wilayah
terhadap kejadian demam berdarah dengue di wilayah kerja Puskesmas
Umbulharjo Kota Yogyakarta tahun 2013. Jurnal Vektor Penyakit, 11(2), 77–87.

Erme MA, Quade TC (2010). Epidemiologic surveillance. Enote.


www.enotes.com/public-health.../epidemiologic-surveillance. Diakses pada
tanggal 21 Februari 2019.

Faldy R., Kaunang WPJ., Pandelaki AJ. (2015). Pemetaan kasus demam berdarah
dengue di Kabupaten Minahasa Utara. Jurnal Kedokteran Komunitas dan
Tropik, 3(2), 73–81.

Hikmawati, I. 2011. Buku Ajar Epidemiologi. Yogyakarta: Nuha Medika.

36
Imari,S. 2011. Surveilans Epidemiologi Prinsip,Aplikasi,Manajemen
Penyelenggaraan dan Evaluasi Sistem Surveilans. FETP Kemenkes RIWHO.
Jakarta.

KepMenkes. 2003. Nomor 1479/MENKES/SK/X/2003 tentang pedoman


penyelenggaraan sistem surveilans epidemiologi penyakit menular dan tidak
menular terpadu. Jakarta: Menkes RI

Kemenkes RI. (2016). Profil kesehatan Indonesia tahun 2015. Kementerian


Kesehatan RI. Jakarta.

Langmuir AD. The surveillance of communicable diseases of national importance. N


Engl J Med. 1963;268:182–192.

Last, JM. 2001. A dictionary of epidemiology. New York: Oxford University Press,
Inc.

Mandl KD, Overhage M, Wagner MM, Lober WB, Sebastiani P, Mostahari F, Pavlin
JA, Gesteland PH,Treadwell T, Koski E, Hutwagner L, Buckeridge DL , Aller
RD, Grannis S (2004). Implementingsyndromic surveillance: A practical guide
informed by the early experience. J Am Med InformAssoc., 11:141–150.

Mansjoer A. . 2001. Diare Akut. Dalam buku Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 1,
Edisi III. Media Aesculapius. FKUI. Jakarta.

Masrochah,S. 2008. Sistem Informasi Surveilans Epidemiologi Sebagai Pendukung


Kewaspadaan Dini Kejadian Luar Biasa (KLB) Penyakit di Dinas Kesehatan
Kota Semarang, Universitas Diponegoro. Semarang.

Murti, Bhisma. 2010. Desain dan Ukuran Sampel untuk Penelitian Kuantitatif dan
Kualitatif di Bidang Kesehatan edisi ke-2. Yogyakarta: UGM press.

Natalia, A, 2012, Gambaran Pelaksanaan Surveilans Epidemiologi Penyakit Demam


Berdarah Dengue Ditinjau Dari Aspek Petugas Di Tingkat Puskesmas Kota
Semarang Tahun 2011, Jurnal Kesehatan Masyarakat, Vol. 1, No. 2, Tahun
2012, Hal. 262 – 271.

Nazri C., Hashim A., Rodziah I., Hassan AY. . (2013). Utilization of geoinformation
tools for dengue control management strategy: a case study in Seberang Prai,
Penang Malaysia. International Journal of Remote Sensing Applications, 3(1),
11–17.

Noor, NN. 2008. Epidemiologi.. Jakarta: Rineka Cipta.

37
Permenkes. 2014. Tentang Penyelenggaraan Surveilans Kesehatan. Permenkes RI
Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi Kemenkes RI, 2010, Buletin Jendela

Rismawati SN., Nurmala I. (2015). Hubungan perilaku host dan environment dengan
kejadian DBD di Wonokusumo Surabaya. Jurnal Berkala Epidemiologi, 5(3),
383–392. https://doi.org/10.20473/jbe.v5i3.2017.

Sugiyono, 2008, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D,


Penerbit AlfaBeta, Bandung.

Weraman, P. 2010. Dasar Surveilans Kesehatan Masyaratakat. Gramata Publishing.


Jakarta.

WHO. 2002. World Health Statistics 2010: Causes of death

WHO. 2004. Overview of the WHO framework for monitoring and evaluating
surveillance and response systems for communicable diseases. Weekly
epidemiological record. 79: 321-328.
http://www.who.int/wer/2004/en/wer7936.pdf?ua=1.

Wuryanto, Arie M.KM. Surveilans Epidemiologi. Diakses


dari: http://arie_wuryanto.undip.ac.id/category/epidemiologi-s1_fkm-
undip/surveilans-epidemiologi/ 2 mei 2019 17.20 WIB

38

Anda mungkin juga menyukai