Anda di halaman 1dari 38

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Selama berabad-abad, pigmentasi pada kulit menempati posisi penting dalam
menentukan peran sosial dan kelainan pigmentasi pada kulit sering kali
menimbulkan pertanyaan bagi para ahli. Variasi pada pigmentasi kulit merupakan
karakteristik manusia yang paling jelas.1
Terdapat hubungan antara kadar pigmen kulit dengan asal dan tempat tinggal
seseorang. Individu yang tinggal di dataran rendah dan terekspos radiasi
ultraviolet yang lebih tinggi memiliki kadar pigmen yang lebih tinggi. Hal ini
bermanfaat untuk melindungi kulit dari kerusakan kulit yang diinduksi oleh sinar
radiasi ultraviolet yang durasi dan intensitasnya terbatas beradaptasi dengan
memiliki pigmentasi yang lebih sedikit, sehingga dapat memfasilitasi produksi
vitamin D yang diinduksi oleh sinar ultraviolet.2
Terdapat beberapa jenis pigmen yang diprentasikan di kulit yakni pigmen
melanin, oksihemoglobin dan hemoglobin berdeoksigenasi. Pigmen melanin pada
epidermis memberikan warna kecokelatan, sedangkan pada bagian dermis
memberikan warna kebiruan. Pigmen oksihemoglobin akan memberikan warna
merah dan hemoglobin terdeoksigenasi akan memberikan warna kebiruan. Dari
pigmen-pigmen tersebut, pigmen melanin memegang peranan paling penting
dalam penentuan warna kulit, sehingga kelainan pada proses biosintesis melanin
dapat menyebabkan terjadinya kelainan pada warna kulit.3
Warna kulit manusia dipengaruhi oleh beberapa faktor, misalnya pigmen yang
terdapat pada kulit dan aliran darah pada kulit. Warna kulit bergantung pada
adanya presentasi chromosphores. Melanin, yang disintesis dari melanosit
merupakan pigmen yang memiliki peran paling besar.4
Melanosit terdapat pada lapisan basal epidermis. Melanosit dan keratinosit
bergabung membentuk epidermal melanin unit. Sintesis melanin dipengaruhi oleh
warna kulit dimana pada individu dengan kulit berwarna gelap melanosit akan
memproduksi melanosom yang lebih banyak, lebih besar dan tidak dipecah
2

secepat pada ras Kaukasia. Selain itu, sintesis melanin juga dipengaruhi oleh sinar
radiasi ultraviolet (UV). Sinar UV akan menstimulasi melanogenesis.5

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Mengetahui gambaran yang nyata tentang bentuk klinis yang
termasuk dalam penyakit kelainan kulit hipopigmentasi dan
hiperpigmentasi.
1.2.2 Tujuan Khusus
Mengetahui etiologi, patogenesis, gejala klinis, pemeriksaan
penunjang, penatalaksanaan, dan prognosis penyakit kelainan kulit
hipopigmentasi dan hiperpigmentasi.

1.3 Manfaat
Memberikan wawasan dan pengetahuan kepada pembaca dan penulis.
Setelah mempelajari referat ini diharapkan pembaca dan penulis mampu
mengetahui dan memahami tentang penyakit kelainan kulit hipopigmentasi
dan hiperpigmentasi.
3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hipopigmentasi
Hipopigmentasi adalah suatu kelainan kulit dimana berkurangnya
pigmentasi dan terdapat bentuk ruam kulit seperti makula. Ada dua penyebab
hipopigmentasi yaitu secara kongenital dan didapat.6
a. Kongenital
Gangguan pigmentasi bisa saja sudah didapat sejak lahir. Seperti
albinisme yang diakibatkan oleh gangguan pada produksi melanin.
Pada orang albino, tidak didapatkan enzim tirosinase (tirosinase
negatif), sehingga kulit dan rambut seluruhnya menjadi berwarna
putih, serta mata berwarna merah (tedapat depigmentasi pada iris).
Biasanya penglihatan mereka juga terganggu, disertai dengn
nistagmus. Pada albinisme dengan tirosinase positif (enzim tirosinase
tidak bekerja baik), gambaran klinis tidak seberapa, dan warna kulit
bertambah sejalan dengan makin bertambahnya usia. Akan tetapi,
kanker kulit sering bisa didapat pada kedua bentuk albinisme tersebut.6
b. Didapat
Kelainan karena didapat sering ditemukan. Vitiligo adalah
penyebab yang paling penting dari timbulnya bercak-bercak pucat
pada kulit. Pada penderita vitiligo adalah depigmentasi, bukan
hipopigmentasi, walapun dalam progresinya tidak selalu sempurna.
Bercak-bercak bisa saja berukuran kecil, tetapi biasanya menjadi
cukup besar dan bentuknya sering tidak teratur. Depigmenetasi bisa
menyebar luas ke seluruh tubuh. Vitiligo paling sering terjadi pada
kulit tangan, di sekitar mulut dan sekitar mata, tapi tidak menutup
kemungkinan pada daerah lain.6

Bentuk-bentuk penyakit kelainan kulit dengan lesi hipopigmentasi


diantaranya adalah sebagai berikut:
4

2.1.1 Pityriasis Versikolor


2.1.1.1 Definisi
Pitiriasis versikolor (PV) adalah penyakit jamur superfisial ringan akibat
infeksi kulit kronis oleh jamur lipofilik genus Malassezia spp. Manifestasi klinis
khas berupa bercak diskret atau konfluens dengan perubahan warna yang tertutup
skuama halus, terutama pada bagian atas dan ekstremitas proksimal. Perubahan
warna dapat berupa hipo-, hiperpigmentasi, dan eritematosa. Sinonim PV antara
lain tinea versikolor, dermatomycosis furfuracea, tinea flavea, liver spots,
chromophytosis, tinea alba, achromia parasitica, malasseziasis, panu.7

2.1.1.2 Epidemiologi
Prevalensi PV di seluruh dunia mencapai 50% pada daerah panas, lembab
dan hanya 1,1% pada daerah beriklim dingin dan merupakan dermatomikosis
terbanyak kedua di antara dermatofitosis lain di Indonesia. Lingkungan yang
hangat dan lembab diperkirakan menjadi salah satu faktor pencetus. Indonesia
terletak pada garis ekuator dengan temperatur sepanjang tahun sekitar 30°C dan
kelembaban 70%. PV lebih banyak dijumpai pada kelompok usia dewasa muda
baik laki-laki maupun perempuan. Pada laki-laki terbanyak dijumpai pada usia
21-25 tahun, sedangkan pada perempuan terbanyak dijumpai pada usia 26-30
tahun. Di daerah tropis, laki-laki cenderung lebih banyak menderita PV
dibandingkan dengan perempuan, yang dikaitkan dengan jenis pekerjaan.8

2.1.1.3 Etiologi dan Patogenesis


PV disebabkan oleh organisme normal pada kulit berupa jamur lipofilik
yang dahulu disebut sebagai Pityrosporum orbiculare dan Pityrosporum ovale,
tetapi saat ini telah diklasifikasikan dalam satu genus Malassezia. Awalnya
dianggap hanya satu spesies, yakni M. furfur, namun analisis genetik
menunjukkan berbagai spesies yang berbeda dan dengan teknik molekular saat ini
telah diketahui 14 spesies yaitu M. furfur, M. sympoidalis, M. globosa, M. obtusa,
M. restricta, M. slooffiae, M. dermatis, M. japonica, M. yamotoensis, M. caprae,
M. nana, M. equine, M cuniculi, dan M. pachydermatis.7
5

Malassezia spp. merupakan ragi saprofitik, dimorfik yang hidup komensal


pada kulit terutama di daerah badan, kepala, dan leher yang cenderung banyak
mengandung lemak. Beberapa studi, menunjukkan spesies utama yang
berhubungan dengan PV adalah M. furfur, M. sympoidalis, dan M. globosa
dengan perbedaan urutan spesies predominan, yang tampaknya dipengaruhi
lokasi geografis dan metode isolasi. 3 Studi di Indonesia melaporkan identifikasi
dan isolasi Malassezia spp. dari PV di negara tropis dengan M. furfur sebagai
spesies terbanyak, diikuti dengan M. sympoidalis, dan M. globosa dan tidak
terdapat predisposisi usia, jenis kelamin, maupun lokasi anatomi lesi untuk
spesies tertentu.7
PV terjadi karena bentuk ragi yang saprofit pada kulit berkembang
menjadi bentuk miselium parasitik dan menimbulkan gejala klinis. Faktor - faktor
yang mempengaruhi proses tersebut antara lain lingkungan, kadar CO2 yang
meningkat pada kondisi oklusif, sebum pada dewasa muda, hiperhidrosis,
penggunaan kortikosteroid sistemik, penyakit Cushing, kondisi imunosupresif,
dan malnutrisi. Kehamilan serta penggunaan kontrasepsi oral juga dianggap
memudahkan terjadinya PV. Faktor genetik yang poligenik mungkin berpengaruh
terhadap kerentanan terhadap PV, dan hal tersebut cenderung mempengaruhi
awitan yang lebih muda pada pasien laki-laki, dan tingkat rekurensi yang tinggi
pada pengobatan, serta durasi penyakit yang lebih lama. Sejauh ini belum
diketahui gen yang berperan pada kerentanan terhadap PV. Meskipun penyebab
dianggap berasal dari organisme yang normal di kulit, diduga ada kemungkinan
transmisi dari individu lain. 1 Belum ada penjelasan mengenai gatal yang muncul
pada lesi, akan tetapi terdapat hipotesis bahwa lingkungan yang lembab dan
basah meningkatkan virulensi jamur sehingga muncul rasa gatal segera setelah
paparan sinar matahari, berkeringat, maupun mandi.7
Crowson dan Magro, menjelaskan bahwa pada varian PV bentuk atrofi
tidak dijumpai infiltrat eosinofil di dermis sehingga dapat ditafsirkan bahwa
proses imunitas lebih didominasi oleh limfosit Th-1 dan ditandai oleh aktivasi
histiosit dan peningkatan peran sitokin interferon-γ (IFN-γ). Aktivasi histiosit
juga akan meningkatkan produksi elastase sehingga mungkin dapat menjelaskan
terjadinya elastolisis pada kasus PV yang disertai atrofi lesi. Faktor lain pada
6

respon imun yang diperantai oleh Th-1 adalah peningkatan produksi TNF-α yang
akan mengakibatkan apoptosis keratinosit dan rete ridge epidermis menjadi datar.
Malassezia juga mempengaruhi produksi sitokin proinflamasi oleh sel
mononuklear. Pada populasi Malassezia yang rendah, produksi IL-1β dan TNF-α
cenderung terpacu, sementara jika populasi tinggi produksi sitokin tersebut akan
terhambat. TNF-α akan menekan melanogenesis melalui hambatan jalur NF-kB
dengan menekan aktivitas promoter tirosinase. Hal ini sesuai dengan fakta bahwa
pada kasus PV dengan lesi hipopigmentasi umumnya organisme hanya dijumpai
di bagian superfisial stratum korneum.7

2.1.1.4 Perubahan Pigmen pada Pitiriasis Versikolor


Jamur ini mampu menghalangi sinar matahari dan mengganggu proses
penggelapan kulit. Lesi hipopigmentasi yang terjadi diduga adanya peran asam
azeleat, suatu asam dikarboksilat metabolit Malassezia spp. yang bersifat
menghambat tirosinase dalam alur produksi melanin. Ukuran melanosom yang
lebih kecil dan hanya sedikit termelanisasi diproduksi, tetapi tidak ditransfer ke
keratinosit dengan baik, hal ini terjadi pada orang dengan kulit lebih gelap.
Hipopigmentasi akan menetap beberapa bulan bahkan tahun dan menjadi lebih
jelas pada musim panas dikarenakan kulit normal sekitar menjadi lebih gelap
karena paparan sinar matahari. Selain itu Malassezia spp. menghasilkan sejumlah
senyawa indol, metabolit tryptophan-dependent yang diduga mengakibatkan
hipopigmentasi tanpa gejala inflamasi yang merupakan gambaran klinis PV pada
umumnya. Senyawa indol tersebut ada yang mempengaruhi melanogenesis dan
ada yang mampu menyebabkan downregulation proses inflamasi, antara lain.9
a. Pitriacitrin yang mengabsorbsi sinar UV, sehingga berperan sebagai tabir
surya. Penemuan dominasi M. furfur pada daerah tropis dapat dijelaskan
oleh adanya pityriacitrin, sebuah senyawa indol yang diproduksi oleh M.
furfur. Pityriacitrin memiliki kemampuan untuk melindungi jamur
terhadap paparan ultraviolet, sehingga menyebabkan M. furfur lebih
resisten terhadap sinar matahari.
b. Pityrialactone, yang berpendar (fluoresensi) di bawah sinar UV 366nm
memberikan warna kuning-kehijauan.
7

c. Pityriarubins, yang menghambat respiratory burst neutrofil dan


menghambat aktivitas 5-lipoksigenase.
d. Malassezin, suatu agonis reseptor; aryl-hydrocarbon yang menyebabkan
apoptosis dalam melanosit, sehingga hipopigmentasi bertahan lama.
e. Indirubin dan indolo[3,2-b] carbazole, yang menghambat maturasi sel
dendritik dan kemampuannya mempresentasikan antigen.
Mayser et al., menyatakan bahwa M. furfur menunjukkan sejumlah besar
produksi pigmen indol dan fluorochromes saat ditumbuhkan dengan tryptophan
(Trp) sebagai sumber nitrogen, yang dapat menjelaskan berbagai gejala klinis dari
PV. Pada tanaman patogen Ustilayo maydis, yang mewakili filogenetik dari
Malassezia spp. akhir-akhir ini menunjukkan jalur biosintetik dari produksi
pigmen Trp adalah berdasarkan aktivitas suatu enzim yaitu transaminase 1 (TAM
1). Trp aminotransferase mengubah Trp menjadi indolepyruvate (IP). Lebih jauh
lagi ditemukan bahwa pigmen indol dapat berkembang secara spontan dari IP dan
Trp tanpa melalui kerja enzim tambahan. Sintesis dari produksi pigmen dari Trp
dikatalisa dari biosintetik tunggal yaitu aktivitas TAM 1. Hal ini menunjukkan
bawa penggunaan spontan dari metabolit produk mampu mengkonstitusi salah
satu jalur penting dalam patofisiologi PV.9
Pada lesi hiperpigmentasi tampak peningkatan ukuran melanosom serta
penebalan stratum korneum. Diduga faktor inflamasi sebagai stimulus
melanositosis serta organisme penyebab dalam jumlah besar turut berperan pada
terjadinya hiperpigmentasi. Pada studi in vitro terdapat indikasi bahwa
Malassezia spp. dapat memproduksi pigmen serupa melanin, tetapi secara in vivo
pada lesi hiperpigmentasi hal ini belum terbukti.9
2.1.1.5 Proses Repigmentasi
Beberapa penelitian menunjukkan peran dari metabolit Malassezia yang
memiliki efek toksik pada melanosit, yaitu asam dikarboksilat dan
lipoperoksidase. Pada pemeriksaan ultrastruktural ditemukan pula kerusakan berat
dari melanosit, bervariasi mulai melanosom hingga gangguan degenerasi
mitokondria. Salah satu asam dikarboksilat yang diproduksi M. furfur adalah asam
azeleat yang mungkin menyebabkan efek sitotoksik. Kerusakan dari melanosit ini
mungkin dapat menjelaskan mengapa repigmentasi membutuhkan waktu yang
8

lama dari bulan hingga tahun. Penelitian lain menunjukkan fakta bahwa skuama
dari PV menghambat repigmentasi. Area sekitar PV setelah terapi akan tetap
hipopigmentasi untuk periode waktu tertentu.8
Dengan semakin berkembangnya pengetahuan mengenai patogenesis
perubahan pigmen pada PV maka proses repigmentasi mulai dipertimbangkan
dengan menggunakan beberapa agen terapi baru, antara lain penggunaan nitric
oxide-liberating cream atau aplikasi solusio cycloserine yang menghasilkan
kesembuhan dengan repigmentasi cepat.8
Weller, dkk. mempelajari efek menguntungkan dari nitric oxide (NO) di
kulit. Peneliti ini menemukan bahwa nitric oxide diproduksi di permukaan kulit
dan berfungsi sebagai perlindungan terhadap infeksi jamur superfisial. Melanosit
dan keratinosit memproduksi nitric oxide sebagai respon sitokin inflamasi dan
produksi nitric oxide pada keratinosit dipicu oleh radiasi ultraviolet. Nitric oxide
meningkatkan aktivitas tirosinase dan melanogenesis sehingga mampu
mempercepat proses repigmentasi pada PV.8

2.1.1.6 Gambaran Klinis


Gambaran klinis PV umumnya berupa makula atau patch warna putih,
merah atau kecoklatan yang tidak gatal, terkadang rasa gatal terutama saat
berkeringat. Penggunaan terminologi versikolor sangat sesuai untuk penyakit ini
karena warna skuama bervariasi dari putih kekuningan, kemerahan, hingga coklat.
Pigmentasi lesi yang muncul bervariasi bergantung dari warna pigmen normal
pasien, paparan sinar matahari, dan derajat keparahan penyakit. Pada orang kulit
putih, lesi berwarna lebih gelap dibandingkan dengan kulit normal tetapi tidak
menjadi tan pada pajanan matahari; sementara pada orang-orang berkulit gelap,
lesi cenderung lebih putih atau hipopigmentasi. Pada lesi awal biasanya akan
muncul area hipopigmentasi sedangkan pada lesi yang lebih lama akan muncul
area hiperpigmentasi, kedua hal ini dapat muncul pada satu pasien. Lesi awal
berupa makula atau patch berbatas tegas, tertutup skuama halus yang terkadang
tidak tampak jelas. Untuk menunjukkan adanya skuama pada lesi yang kering
dapat digores dengan ujung kuku sehingga batas lesi akan tampak lebih jelas
(finger nail sign) atau dengan menggunakan kaca objek, scalpel, atau ujung kuku
9

(coup d’ongle of Besnier). Pada penyakit yang telah lanjut lesi akan menjadi
bercak luas, berkonfluens atau tersebar. Bentuk lesi bervariasi dan dapat
ditemukan lesi seperti bentuk papuler ataupun perifolikuler.8

Gambar 1. Gambaran klinis PV berdasarkan warna lesi. A. Lesi


hiperpigmentasi karena hiperemia akibat respon inflamasi dan peningkatan
melanin. B. Lesi hipopigmentasi, batas jelas dengan skuama tipis.8

Gambar 2. Gambaran klinis PV berdasarkan bentuk lesi.


A. Bentuk makuler B. Bentuk papuler. C. Bentuk perifolikuler.9
Predileksi umumnya dimulai di dada atau punggung atas kemudian
meluas ke bahu, lengan atas, dan daerah perut. Bila penyakit tidak diobati, lesi
akan meluas ke daerah panggul, tungkai atas hingga fosa poplitea. Meskipun
relatif jarang, lesi juga dapat mengenai aksila, inguinal, atau fosa poplitea yang
disebut sebagai tipe inversa; selain itu juga terdapat pada telapak tangan dan
10

genitalia. Variasi klinis yang jarang terjadi dan dilaporkan secara sporadis antara
lain bentuk atrofikans, periareolar atau imbrikata.7
Gambaran klinis PV pada pasien dengan infeksi HIV sama dengan pasien
seronegatif HIV, hanya lebih luas, sedangkan pada pasien imunokompromais
lain, misalnya penerima cangkok organ, lebih sering terjadi folikulitis
Malassezia. Pada kasus yang lama tanpa pengobatan, lesi dapat bergabung
membentuk gambaran seperti pulau yang luas berbentuk polisiklik. Pada sebagian
besar kasus pengobatan akan menyebabkan lesi berubah menjadi makula
hipopigmentasi yang menetap.8

2.1.1.7 Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan langsung dengan larutan KOH terhadap sediaan skuama
yang berasal dari kerokan atau menggunakan selotip akan menunjukkan hifa atau
miselia jamur yang seperti putung rokok pendek, berbentuk seperti huruf i,j, dan
v, serta spora bulat atau oval dalam jumlah banyak dan cenderung bergerombol,
sehingga memberi gambaran khas sebagai spaghetti and meat ball atau banana
and grapes. Temuan miselium memastikan diagnosis, dan lebih dominan
daripada spora. Pengecatan dengan larutan KOH 10-20% dan tinta Parker biru-
hitam memberi warna biru pada jamur yang mempermudah pemeriksaan
diagnosis terutama untuk bercak PV subklinis, warna kuning kehijauan akan
berpendar pada sepertiga kasus saja. Hal ini mungkin dapat disebabkan infeksi
oleh spesies non-fluoresens karena hanya M. furfur yang menghasilkan
fluorochromes.8
Infeksi M. furfur akan menunjukkan adanya pendaran berwarna kuning
kehijauan pada lesi yang bersisik karena adanya pityrialactone. Pityrialactone
adalah salah satu metabolit indol menyerap cahaya dan berpendar di bawah
lampu UV 365 nm. Pemeriksaan dengan lampu Wood kadangkala dapat
menunjukkan lesi yang lebih luas atau banyak dibandingkan dengan pengamatan
biasa. Perlu diketahui bahwa tidak semua lesi PV menunjukkan fluoresensi
dengan lampu Wood.9
Hasil biakan Malassezia dalam media agar Sabourraud dengan
tambahan streptomycin, penicillin, dan Actidione ditutup dengan minyak zaitun di
11

atasnya tidak bernilai diagnostik oleh karena Malassezia merupakan flora normal
kulit. Hernandez et al. menemukan bahwa M.globosa adalah spesies terbanyak
pada kultur dari sampel PV di Meksiko. Hasil serupa juga ditemukan oleh Makni
et al. di Tunisia yang mengkonfimasi predominasi Malassezia globosa sebanyak
65% pada kultur dengan medium Dixon dengan teknik molekuler.9
Biopsi kulit jarang diperlukan untuk diagnosis PV, walaupun hifa dan
spora yang terdapat di stratum korneum dapat terlihat dengan pengecatan
Periodic Acid Schiff (PAS)atau methenamine silver. Pada lesi terdapat
hiperkeratotik dan koloni hifa dan spora, subepidermal fibroplasia, tidak ada
melanosit dan infiltrat sel radang minimal. Organisme terkadang tampak di
sekitar folikel rambut dan di sekitar muara folikel.9

2.1.1.8 Penatalaksanaan PV dan Terapi Repigmentasi


a. Terapi Topikal dan Sistemik
Beberapa agen topikal yang efektif dalam pengobatan tinea versikolor
antara lain selenium sulfida, zinc pyrition, sodium sulfasetamid,
siklopiroksolamin, begitu juga golongan azole dan preparat anti jamur alilamin.
Protokol yang digunakan secara luas dan tidak mahal yaitu penggunaan losion
selenium sulfida 2,5% yang diaplikasikan pada area yang terkena selama 7-10
menit kemudian dibersihkan. Penggunaan harian dipertimbangkan pada kasus
yang luas, aplikasi 3-4 kali per minggu umumnya cukup adekuat dan frekuensinya
dapat diturunkan hingga sekali atau dua kali dalam sebulan dan digunakan sebagai
regimen pemeliharaan untuk mencegah kekambuhan. Sebagai alternatif, dapat
digunakan ketokonazole shampo 2% pada area yang terkena, didiamkan selama 5
menit kemudian dibilas; pengobatan ini diulang selama tiga hari berturut-turut.
Terbinafin solusio 1% yang diaplikasikan dua kali sehari pada area yang terkena
selama 7 hari dapat memberikan kesembuhan lebih dari 80%. Walaupun terapi
topikal ideal untuk infeksi yang terlokalisir, atau ringan terapi sistemik mungkin
diperlukan untuk pasien dengan penyakit yang luas, sering berulang, atau jika
tidak berhasil dengan agen topikal.7
Ketokonazole, flukonazole, dan itrakonazole merupakan terapi oral
pilihan dengan berbagai variasi dosis yang efektif. Ketokonazole oral 200 mg per
12

hari selama 7 atau 10 hari atau itrakonazole 200-400 mg per hari selama 3-7 hari
hampir secara umum efektif. Ketokonazole oral yang diberikan dosis tunggal 400
mg merupakan regimen yang gampang diberikan dengan hasil yang sebanding.
Dosis tunggal itrakonazole 400 mg juga menunjukkan efektivitas lebih dari 75%
dan dalam satu penelitian memiliki efektivitas yang sama dengan itrakonazole
selama 1 minggu. Flukonazole juga efektif diberikan dosis tunggal 400 mg.
Terbinafin oral merupakan suatu alilamin, tidak direkomendasikan untuk
pengobatan kelainan terkait Malassezia, karena obat ini tidak dihantarkan secara
efisien ke permukaan kulit. Potensi toksisitas obat serta interaksi melalui
pengaruh azoel pada isoenzim sitokrom P450 harus diperhatikan pada penggunaan
azole oral untuk pengobatan tinea versikolor. Pengobatan yang paling banyak
digunakan untuk pengobatan PV adalah golongan azol, oleh karena efektivitasnya
yang tinggi.7
Rekurensi yang relatif sering dan bercak hipopigmentasi yang
bertahan lama merupakan masalah paling sering dihadapi pada pengobatan PV.
Pengobatan kombinasi dengan terapi topikal dan sistemik, dapat digunakan,
meskipun belum ada pustaka yang melaporkan tentang keuntungan terapi
kombinasi tersebut. Terapi kombinasi ini dapat digunakan, mengingat angka
3
rekurensi dari PV yang tinggi dan adanya faktor risiko yang sulit dihindari.
Sebagai contoh kombinasi topikal sampo selenium sulfida 1,8% sekali seminggu,
1 jam sebelum mandi pagi dan ketokonazol 400mg/minggu pada hari yang sama
selama 3 bulan. Cara tersebut dapat dipilih terutama untuk kasus dengan lesi yang
luas.7

Tabel 1. Daftar Obat untuk Pitiriasis Versikolor yang ada di Indonesia.7


Nama Sediaan/dosis Cara penggunaan Keterangan
Obat topikal
Berbagai derivat Krim 1-2% 1-2x/hari Untuk lesi
azol, misal Terbatas
Mikonazol
Terbinafin Krim 1-2x/hari Untuk lesi
terbatas. Tidak
13

dianjurkan FDA
untuk PV
Ketokonazole Sampo 2% 1x 5 menit/hari
sebelum mandi
Selenium sulfide Sampo 1,8% a. Minimum Mewarnai
1x10 pakaian, tidak
menit/hari
untuk wajah dan
sebelum mandi
Genitalia
b. Setiap dua hari
sekali tiap
malam
sebelum tidur
Sodium tiosulfat Solusio 20-25% 2x/hari setiap hari Bau menyengat
sulit hilang,
sebaiknya tidak
untuk wajah
Propylene glycol Solusio 50% 2X/hari
Zinc pyrithioe Sampo Dioleskan 5
menit/hari selama

2 minggu
Obat sistemik
Ketoconazol Tablet 200mg a. 1 tablet/hari Perhatian pada
selama 7-10 efek samping dan
hari
interaksi obat
b. Dosis tunggal
2 tablet atau
diulang hingga
4 dosis dalam 2
14

minggu
Itrakonasol Kapsul 100 mg a. 800-1000mg Untuk kasus
terbagi dalam 5 rekalsitran.
hari
Perhatian pada
b. 200-400
efek samping dan
mg/hari selama
interaksi obat
3-7 hari
c. 400 mg dosis
tunggal
Flukonasol Tablet 50 mg 400 mg dosis Tidak dianjurkan
dan 150 mg tunggal atau di FDA untuk PV
ulang setelah 2
minggu

Terapi topikal yang mengandung asam salisilat 3-6% asam undesilenat,


tolnaftat, masih dapat digunakan untuk PV lesi terbatas, meskipun efektivitasnya
lebih rendah dibandingkan dengan obat antijamur baru. Secara in vitro,
Malassezia spp. sensitif terhadap terbinafin, akan tetapi pemberian terbinafin oral
tidak efektif untuk pengobatan PV. Sediaan terbinafin topikal bentuk gel 1% dan
solusio 1% sekali sehari dilaporkan berhasil baik pada PV dan telah disetujui FDA
(Food and Drug Association), meskipun bentuk krim tidak dianjurkan. Studi di
Indonesia menggunakan solusio 1% memberikan hasil yang kurang memuaskan.7
Tujuan pengobatan yaitu membuat Malassezia sebagai koloni normal atau
komensal pada tubuh, bukan untuk mengeradikasi Malaseezia. Angka
kekambuhan antara 60-80% dalam 2 tahun pertama. Terapi preventif yang dapat
digunakan antara lain berupa obat topikal 1 – 2 kali per bulan; ketokonazol 400mg
sekali sebulan atau 200mg/ hari selama tiap hari berturut-turut di awal bulan; atau
itrakonazol 2 kali 200mg/ hari setiap bulan. Meskipun demikian, sebaiknya
15

diobati ulang saat PV kambuh daripada pemberian terapi supresif atau preventif
dalam jangka lama.7

b. Terapi Baru
Repigmentasi memerlukan waktu yang lama sampai beberapa bulan.
Semakin berkembangnya pengetahuan mengenai patogenesis PV, sedang
dikembangkan berbagai terapi baru, antara lain penggunaan nitric oxide-liberating
cream selama 10 hari, atau aplikasi solusio cycloserine selama 5 hari, yang
menghasilkan kesembuhan dengan repigmentasi cepat. Terapi fotodinamik
dengan 5-aminolevulenic acid juga digunakan untuk terapi area terbatas.
Adapalane gel juga menunjukkan efikasi yang sama dengan ketoconazole 2%
krim pada PV.7
1. Nitric oxide (NO) dikenal sebagai molekul reaktif yang terlibat dalam
berbagai fungsi sel tubuh, yaitu meningkatkan aliran darah, relaksasi otot,
modulasi respon imun, dan peningkatan fungsi ginjal. Pada beberapa
kasus, tubuh menggunakan NO sebagai perlindungan terhadap patogen
dan invasi mikroba umumnya. Nitric oxide adalah salah satu efektor
sitotoksik yang penting dalam pertahanan respon imun terhadap
mikroorganisme intraseluler dan patogen, seperti jamur, yang terlalu besar
untuk difagositosis. Nitric oxide diproduksi oleh beberapa enzim yang
dikenal sebagai nitric oxide synthases. Nitric oxide diproduksi di
permukaan kulit dan berfungsi sebagai perlindungan terhadap infeksi
jamur superfisial. Melanosit dan keratinosit memproduksi NO sebagai
respon sitokin inflamasi dan produksi NO pada keratinosit dipacu oleh
radiasi UV. Nitric oxide meningkatkan aktivitas tirosinase dan
melanogenesis. Pemberian NO 3% topikal sebanyak 2 kali sehari
menunjukkan perbaikan yang signifikan. Sebuah laporan kasus di Jerman
melaporkan aplikasi cycloserine 0,2 mol/ L dua kali sehari selama 5 hari
menghasilkan repigmentasi cepat dari lesi hiperpigmentasi PV.7
2. Cycloserine, sebuah inhibitor TAM (transaminase) mampu menghambat
produksi pigmen dari M. furfur in vitro pada dosis tertentu. Cycloserine
telah dikenal sebagai antibiotik yang efektif melawan bakteri dan sebagai
16

lini kedua terapi untuk infeksi Mycobacterium tuberculosis. Cycloserine


bekerja dengan menghambat enzim yaitu alanine racemase dan D-alanin
ligase yang menyebabkan deplesi D-alanin. Laporan kasus ini adalah yang
pertama menunjukkan hasil yang impresif dari aplikasi TAM inhibitor
topikal untuk PV. Hasil ini mampu menunjukkan pentingnya jalur
metabolik Trp pada patogenesis PV dan membantu mengembangkan
pendekatan terapi baru serta pencegahannya. Pembentukan metabolit dari
Trp harus dihentikan pada stadium awal karena apabila efek farmakologi
telah terbentuk dan berkembang maka intervensi terapi akan sulit.7
3. Terapi Fotodinamik
Investigasi eksperimental in vitro telah menunjukkan bahwa beberapa
strain jamur dapat menjadi tidak aktif dengan radiasi gelombang cahaya
tampak dengan adanya photosensitizer. Terapi fotodinamik telah banyak
digunakan di seluruh dunia dan terbukti efektif untuk tumor kulit begitu
pula untuk penyakit inflamasi maupun infeksi kulit lain. Pada infeksi
dermatofit, secara in vitro terapi fotodinamik menunjukkan degradasi hifa
dan inaktivasi dari spora. Jumlah cahaya yang sesuai harus menembus
sampai stratum korneum dan folikel rambut, biasanya berada pada
spektrum regio cahaya merah. Kim melaporkan penggunaan 5-
aminolevulinic acid (ALA) dikombinasi dengan terapi fotodinamik untuk
lesi hiperpigmentasi PV menunjukkan hasil yang memuaskan. ALA 20%
topikal dalam petrolatum diaplikasikan pada lesi dan ditutup dengan bahan
oklusif polyurethane film. Setelah 4 jam, ALA yang berlebih dibersihkan
dan lesi disinari dengan cahaya dari diode pemancar cahaya (gelombang
cahaya 630±50nm). Intensitas cahaya yang digunakan adalah 100 J/cm2
dan dosis cahaya yang diberikan adalah 70-80J/cm2. Prosedur diulangi 2
minggu kemudian dengan peningkatan dosis cahaya kelipatan 10 J/ cm2.
Lesi membaik dalam 4minggu dan pasien diobservasi sampai dengan
3bulan tanpa reinfeksi.7
4. Adapalene
Adapalene gel, derivat tretinoin adalah salah satu agen non spesifik untuk
pengobatan PV memberikan efikasi yang sama dibandingkan dengan
17

ketokonazole 2% krim 2 kali sehari selama 2 minggu. Adapalene, analog


asam retinoat selektif memiliki kerja yang cepat dan profil tolerabilitas
yang aman dibandingkan dengan retinoat lain. Pada pasien yang
menggunakan kortikosteroid terdapat penurunan epidermal turnover
sehingga PV kerap muncul. Adapalene diduga mampu melepaskan
keratinosit abnormal dan menormalkan kembali disfungsi keratinisasi dari
keratinosit serta disfungsi epidermal turnover pada lesi PV. Kelebihan
lainnya, adapalene mampu menurunkan sekresi sebum dari kelenjar
sebasea, sehingga adapalene gel topikal mampu menciptakan lingkungan
yang kurang nyaman untuk Malassezia spp. sehingga menurunkan
propagasi Malassezia spp. dan jumlah spora serta hifa dengan cara
eliminasi bersamaan dengan lepasnya keratinosit abnormal pada lapisan
keratin. Hal ini menyebabkan PV lebih mudah diobati. Pada salah satu
mekanisme lesi hiperpigmentasi dinyatakan bahwa faktor inflamasi turut
berperan. Adapalene memiliki aktivitas anti inflamasi. Berdasarkan
kemampuan imunomodulasi, banyak penelitian yang menemukan bahwa
adapalene gel topikal mengurangi reaksi inflamasi. Efek imunomodulasi
dari adapalene gel topikal akan menurunkan reaksi inflamasi pada lesi PV
sehingga akan memperbaiki gejala klinis. Dengan demikian walaupun
adapalene bukan golongan anti jamur, akan tetapi mampu menghilangkan
jamur dengan mengganggu lingkungan yang dibutuhkan oleh Malassezia
spp. untuk hidup. Mekanisme terapi tersebut akan mengurangi
kemungkinan resistensi obat terhadap jamur.7

2.1.2 Vitiligo
Vitiligo adalah penyakit akibat proses depigmentasi pada kulit, disebabkan
faktor genetik dan non genetik yang berinteraksi dengan kehilangan atau
ketahanan fungsi melanosit dari epidermis. Tipe vitiligo dapat dibedakan
berdasarkan penyebaran lesi penyakit tersebut. Satu atau lebih lesi yang sifatnya
kuasidermatomal (unilateral dan asimetris) merupakan karakteristik dari vitiligo
segmental. Vitiligo nonsegmental (generalisata) memiliki ciri lesi yang multipel
18

dengan penyebaran yang simetris. Perjalanan penyakit vitiligo sering kali tidak
dapat diprediksi namun sering kali bersifat progresif.10

2.1.2.1 Epidemiologi
Vitiligo merupakan suatu kelainan pigmentasi yang paling sering
ditemukan, dengan prevalensi sebesar 0.5% dari populasi manusia di dunia. Pada
hampir dari separuh jumlah pasien dengan vitiligo, lesi pertama kali muncul
sebelum usia 20 tahun. Prevalensi laki-laki dan perempuan umumnya sama,
namun umumnya pasien perempuan lebih banyak mengunjungi dokter daripada
laki-laki. Kelainan ini dapat terjadi pada semua umur, penelitian yang dilakukan
di Belanda menunjukkan 25% kasus muncul sebelum usia 10 tahun, 50% sebelum
usia 20 tahun, dan 95% sebelum usia 40 tahun. Kasus pasien dengan vitiligo yang
memiliki riwayat keluarga penderita vitiligo berkisar antara 6.25%-38%. Tidak
terdapat perbedaan prevalensi berdasarkan ras ataupun jenis kulit.11
Vitiligo segmental maupun vitiligo non-segmental memiliki ciri khas
masing-masing. Vitiligo nonsegmental, dengan prevalensi sekitar 85%-90% dari
total kasus, merupakan jenis vitiligo yang paling sering diderita oleh pasien.
Sedangkan vitiligo segmental karena sering kali muncul pertama pada masa
kanak-kanak, memiliki angka prevalensi 30% dari kasus vitiligo yang terjadi pada
anak-anak. Baik vitiligo segmental maupun non-segmental dapat memiliki
manifestasi awal sebagai vitiligo fokal yang ditandai dengan munculnya lesi
hipopigmentasi yang tidak lebih dari 15 cm2. 12

2.1.2.2 Etiopatogenesis
Faktor-faktor pencetus vitiligo endogen:
1) Faktor genetik, sebanyak 18-36% pasien memiliki pola familial.
2) Tekanan emosional berat: kehilangan orang yang dicintai, kehilangan
pekerjaan, perceraian, masalah sekolah, perpindahan sekolah atau kota.
3) Penyakit-penyakit internal seperti gangguan autoimun, misalnya tiroid,
anemia pernisiosa, diabetes mellitus, lebih banyak dialami oleh populasi
vitiligo dibandingkan dengan populasi umum.
19

4) Penyakit-penyakit kulit, sebanyak 14% kasus vitiligo dimulai dari suatu halo
nevus.
Sedangkan faktor eksogen berupa trauma fisik mengawali 40% kasus terjadinya
vitiligo. Trauma fisik tersebut dapat berupa garukan, benturan, laserasi dan luka
bakar. Mekanisme Koebner mendasari peristiwa ini. Selain trauma fisik, obat-
obatan seperti beta adrenergic blocking agent dan zat-zat yang bersifat
melanotoksik seperti film developer, karet, kuinon dan agen pemutih juga menjadi
faktor eksogen penyebab terjadinya vitiligo.13
Terdapat beberapa teori mengenai pathogenesis vitiligo14:
1) Genetik pada Vitiligo
Hampir seluruh studi genetika terfokus pada vitiligo generalisata, telah
diidentifikasi sedikitnya 10 lokus yang berbeda. Tujuh dari 10 lokus yang
dijumpai terkait dengan penyakit autoimun lainnya. Antara lain: HLA-1 dan
HLA-2, PTPN22, LPP, NALP1 dan TYR yang mengkode tirosinase merupakan
enzim yang penting dalam sintesis melanin.
2) Hipotesis autoimun
Ditemukannya aktivias imunitas humoral berupa antibodi anti melanosit yang
mampu membunuh melanosit secara in vitro maupun in vivo. Sekarang aktivitas
humoral ini lebih diduga sebagai respon sekunder terhadap melanosit yang rusak
dibandingkan dengan respon primer penyebab vitiligo generalisata.

Gambar 3 Interaksi Genetik, Imunitas dan Lingkungan.15


20

3) Hipotesis neural
Hipotesis ini menunjukkan adanya mediator neurokimia yang bersifat
sitotoksik terhadap sel pigmen dan dikeluarkan oleh ujung saraf di dekatnya.
Teori ini didukung oleh:
a) Vitiligo segmental yang terbatas secara segmental tidak dermatomal
melainkan menyerang beberapa dermatom (kuasidermatomal).
b) Vitiligo segmental tidak berefek dengan obat-obat vitiligo konvensiona
tetapi membaik terhadap obat-obat yang memodulasi fungsi saraf.
c) Terjadinya vitiligo dilaporkan setelah mengalami tekanan emosional
berat atau setelah kejadian neurologikal, misalnya ensefalitis, multipel
sclerosis dan jejas saraf perifer.

2.1.2.3 Manifestasi Klinis dan Diagnosis


Tempat muncul lesi pertama pada sebagian pasien berada pada daerah
yang memiliki riwayat trauma fisik sebelumnya (Koebner phenomenon), suatu
penyakit tertentu ataupun stres emosional. Sering kali onset berhubungan dengan
kematian keluarga atau trauma fisik berat. Reaksi sunburn dapat pula
menyebabkan terjadinya vitiligo.10
21

Gambar 4 Fenomena Koebner.11


Lesi vitiligo umumnya berupa makula berdiameter 5 mm atau lebih,
berwarna putih pucat seperti kapur dan berbatas tegas. Dalam perjalanan
penyakitnya, lesi semakin lama akan semakin membesar, dapat pula terbentuk lesi
baru.12
Berdasarkan pola distribusinya, vitiligo dibedakan menjadi segmental dan
non-segmental (generalisata). Vitiligo non-segmental merupakan jenis yang sering
kali dijumpai, memiliki distribusi lesi yang menyebar dan simetris. Lesi dapat
muncul dimana saja, tetapi umumnya pada daerah peregangan dan tekanan,
misalnya bagian lutut, siku, punggung dangan dan jari-jari.12
Vitiligo segmental memiliki ciri lesi yaitu satu atau beberapa makula pada
suatu daerah tertentu. Vitiligo segmental merupakan varian yang terbatas pada
satu sisi segmen, dan jenis ini jarang dijumpai. Kebanyakan pasien memiliki
gambaran segmental berupa lesi tunggal yang khas, namun ada juga yang
menempati dua atau lebih segmen satu sisi berlawanan atau mengikuti distribusi
dermatomal (garis Blaschko). Daerah yang paling sering terkena adalah wajah,
aksila, umbilikus, puting susu, sakrum dan inguinal.13
22

Tabel 2 Perbedaan vitiligo segmental dan nonsegmental15

2.1.2.4 Tata Laksana


Vitiligo merupakan suatu kondisi yang sangat sulit untuk diterapi.
Repigmentasi spontan dapat muncul pada 15-25% kasus. Seringnya vitiligo
ditemukan dalam kehidupan sehari-hari menyebabkan banyaknya penelitian
mengenai terapi vitiligo telah dilakukan, namun penelitian tersebut belum
memberikan hasil yang memuaskan. Masalah utama yang sering dihadapi oleh
pasien vitiligo merupakan masalah penampilan.14
a) Psoralen dan UVA (PUVA)
Merupakan pengobatan kombinasi psoralen sebagai photosensitizer
kimiawi dengan ultraviolet A (UVA). Pengobatan gabungan ini bertujuan
untuk meningkatkan efek terapi keduanya. Psoralen merupakan
furokumarin, yaitu obat yang bersifat fotodinamik dan berkemampuan
untuk menyerap energi radiasi. Mekanisme kerja PUVA untuk
menstabilkan dan repigmentasi masih belum jelas. Dengan mikroskop
cahaya dan uji mikroskopik ultra, terlihat PUVA memicu hipertrofik,
proliferasi, dan adanya aktivitas enzimatik melanosit pada bagian pinggir
lesi depigmentasi. Repigmentasi merupakan hasil migrasi pigmen dari
tempat terpicunya melanosit ke daerah depigmentasi. Terapi dengan
psoralen tidak dilakukan setiap hari untuk menghindari fototoksisitas.10

Gambar 5 Prinsip Terapi Psoralen


23

b) Narrowband UVB (Nb UVB)


Mekanisme kerja pengobatan ini berdasarkan sifat imunomodulator
yang mengatur abnormalitas lokal maupun sistemik imunitas seluler dan
humoral. Seperti PUVA, Nb UVB juga menstimulasi melanosit yang
terdapat pada lapisan luar helai rambut.11
c) Kortikosteroid
Pengobatan vitiligo dengan kortikosteroid merupakan pilihan
pertama untuk vitiligo segmental dan sangat dianjurkan untuk lesi kecil
pada daerah wajah, juga pada anak-anak. Pemakaian preparat ini
menguntungkan pasien karena murah, mudah penggunaannya dan
efektif.12
d) Terapi depigmentasi
Bila lesi depigmentasi telah melebihi 80% permukaan tubuh, maka
terapi yang dilakukan adalah dengan depigmentasi sehingga membuat
kulit seluruhnya menjadi putih. Agen pemutih yang digunakan biasanya
monobenzielter hidrokuinon.13
24

Tabel 3 Guideline Terapi Vitiligo.12

2.2 Hiperpigmentasi
Hiperpigmentasi adalah suatu keadaan bertambahnya jumlah melanin pada
lapisan kulit yamg mengakibatkan perubah warna kulit menjadi lebih gelap.
Faktor-faktor penyebab hiperpigmentasi pada kulit diantaranya yaitu6:
a. Genetik
b. Gangguan nutrisi: kekurangan protein, asam folat, vitamin B12 dll
c. Hormonal: hormone estrogen dan progesteron
d. Sinar uv/matahari
e. Kosmetika: kosmetik yang bersifat fototoksik, parfum dan kosmetika
pewanggi
f. Obat-obatan oral: obat obat tertentu seperti arsen, merkuri, bistmuth,
minosiklin dll
g. Inflamasi (peradangan)
h. Keganasan.
Bentuk-bentuk penyakit kelainan kulit dengan lesi hiperpigmentasi
diantaranya adalah sebagai berikut:
2.2.1 Melasma
Melasma adalah gangguan kulit yang umum diperoleh yang ditandai dengan
bercak hiperpigmentasi lokal pada kulit yang terpapar sinar matahari. Secara
histologi, daerah yang terkena menunjukkan peningkatan produksi dan transfer
melanosom ke keratinosit. Penyebaran melasma melibatkan wajah dengan bagian
tersering di dahi, pipi, dan bibir. Sedangkan pada bagian leher dan lengan lebih
25

jarang. Gangguan kulit ini ditandai dengan warna cokelat, dapat pula makula atau
patch biru-abu-abu.16

2.2.1.1 Epidemiologi
Melasma pada dasarnya dapat mengenai semua ras terutama penduduk
yang terpajan sinar matahari dengan intensitas cukup tinggi (daerah tropis).
Balkrishnan et al (2003) menyatakan bahwa salah satu kondisi yang paling umum
terjadinya melasma terutama pada individu keturunan Hispanik dan Asia.
Sedangkan Sachdeva (2006) dan Dogra;Gupta (2006) menjelaskan tipe kulit
Fitzpatrick IV-V merupakan individu yang umum terkena penyakit ini. Melasma
terutama dijumpai pada wanita usia subur dengan riwayat langsung terpajan sinar
matahari, meskipun didapatkan pula pada pria (± 10%). Di Indonesia,
perbandingan kasus wanita dan pria yaitu 24 : 1.17
Insiden terbanyak pada wanita usia 30-44 tahun. Berdasarkan penelitian
Febrianti, Aryani Sudharmono, IGAK Rata, Irma Bernadette di Departemen Ilmu
Kesehatan Kulit dan Kelamin FK Universitas Indonesia/RS. Dr. Cipto
Mangunkusumo Jakarta tahun 2004 menunjukkan hasil bahwa epidemiologi
melasma 97,93% wanita dan 2,07% pria. Insidens terbanyak menurut penelitian
Rikyanto yang berkonsultasi ke Poli Kulit RSUD Kota Yogyakarta selama 3
tahun (Juni 2001-Juli 2003), kelompok umur kasus melasma terbanyak pada
kelompok usia 31-40 tahun (42,4%), dengan frekuensi kunjungan terbanyak
adalah 1x kunjungan dan pasien memiliki pekerjaaan yang umumnya adalah
pegawai negeri sipil (57,3%).18

2.2.1.2 Etiopatogenesis
Meskipun melasma memiliki banyak faktor etiologi yang diakui namun
patogenesis pastinya tidak diketahui. Bukti menunjukkan bahwa faktor internal
dan lingkungan mungkin bertanggung jawab untuk memicu, mempertahankan,
dan membuat kambuh lesi melasma. Faktor-faktor tersebut seperti pengaruh
genetik, paparan radiasi UV, kehamilan, kontrasepsi oral, terapi estrogen /
progesteron, disfungsi tiroid, kosmetik, dan obat-obatan seperti obat anti kejang
dan fototoksik.18
26

Faktor kausatif yang dianggap berperan pada patogenesis melasma adalah


a. Sinar ultra violet
Melanin menyerap radiasi ultra violet di seluruh spektrum yang
luas tetapi sangat efektif dalam menyerap sinar ultra violet dengan panjang
gelombang 280-320 nm. World Health Organization (2013) dalam
situsnya menjelaskan bahwa panjang gelombang UV-C 100-280 nm, UV-
B 280-315 nm, UV-A 315-400 nm. UV-B merupakan penyebab kerusakan
biokemikal yang paling potensial.16
Spektrum sinar matahari merusak gugus sulfhidril di epidermis
yang merupakan penghambat enzim tirosinase dengan cara mengikat ion
Cu dari enzim tersebut. Sinar ultra violet menyebabkan enzim tirosinase
tidak dihambat lagi sehingga memacu proses melanogenesis. Secara
histologi, terjadi peningkatan melanosit epidermal, melanosit dendrit dan
perpindahan melanosom ke keratinosit, dan terjadi melanisasi yang
meningkat dari melanosom individu.16
UV-A akan menyebabkan pigmentasi yang gelap berbatas pada
lapisan basal. UV-B menyebabkan pigmentasi yang gelap berbatas pada
lapisan epidermis, sedangkan pigmentasi akibat UV-C ringan sekali.16
b. Hormon
Hormon estrogen, progesteron, dan MSH (Melanin Stimulating
Hormone) berperan pada terjadinya melasma. Ranson et al (1988)
menjelaskan bahwa penelitian telah menunjukkan estrogen meningkatkan
aktivitas tirosinase dan jumlah melanosit in vitro. Sel-sel kulit memiliki
reseptor untuk estrogen dan progesteron, dengan ekspresi yang lebih tinggi
di daerah wajah dibandingkan dengan daerah lain. Distribusi reseptor ini
dapat menjelaskan lokasi preferensial melasma seperti telah diketahui.16
Pada kehamilan, melasma dipengaruhi oleh faktor hormon.
Ketinggian kadar estrogen dan progesteron serta meningkatnya MSH
mempontensiasi aktivitas tirosinase dan dengan demikian merangsang
melanogenesis. Soepardiman (2010) mengatakan bahwa melasma pada
kehamilan biasanya meluas pada trimester ketiga.16
27

Pigmentasi kulit melasma merupakan efek samping yang paling


umum pada pemakaian kontrasepsi oral: 5-34% individu yang terkena
dengan insiden yang lebih tinggi terlihat pada ras yang berpigmen. Pada
pemakai pil kontrasepsi, melasma tampak dalam 1 bulan sampai 2 tahun
setelah dimulai pemakaian pil tersebut.16
c. Obat
Hiperpigmentasi yang disebabkan oleh agen toksik, atau obat-
obatan dianggap 10-20% dari semua kasus hiperpigmentasi yang
diperoleh. Misalnya difenil hidantoin, mesantoin, klorpromasin, sitostatik,
dan minosiklin dapat menyebabkan timbulnya melasma. Obat ini ditimbun
di lapisan dermis bagian atas dan secara kumulatif dapat merangsang
melanogenesis.17
d. Genetik
Dilaporkan adanya kasus keluarga sekitar 20-70%. Faktor genetik
melibatkan migrasi melanoblas dan perkembangan serta diferensiasinya di
kulit. Morfologi melanosit, struktur matriks melanosom, aktivitas
tirosinase dan tipe dari melanin yang disintesis, semua dibawah kontrol
genetik. Insiden melasma terbanyak terjadi pada individu dengan tipe kulit
Fitzpatrick IV-V.18
e. Ras
Melasma banyak dijumpai pada golongan Hispanik dan golongan
kulit berwarna gelap.17
f. Kosmetika
Pemakaian kosmetika yang mengandung parfum, zat pewarna, atau
bahan-bahan tertentu dapat menyebabkan fotosensitivitas yang dapat
mengakibatkan timbulnya hiperpigmentasi pada wajah, jika terpajan sinar
matahari.17
g. Idiopatik

2.2.1.3 Klasifikasi
Terdapat beberapa jenis melasma ditinjau dari gambaran klinis,
pemeriksaan histopatologik, dan pemeriksaan dengan sinar Wood.18
28

Berdasarkan gambaran klinis dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu:


a. Bentuk sentro-fasial meliputi daerah dahi, hidung, pipi bagian medial,
bawah hidung, serta dagu (63%).
b. Bentuk malar meliputi hidung dan pipi bagian lateral (21%).
c. Bentuk mandibular meliputi daerah mandibula (16%).
Berdasarkan pemeriksaan histopatologik dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu
:
a. Melasma tipe epidermal, umumnya berwarna coklat. Melanin terutama
terdapat pada lapisan basal dan suprabasal, kadang-kadang diseluruh
stratum korneum dan stratum spinosum
b. Melasma tipe dermal, berwarna coklat kebiruan. Terdapat makrofag
bermelanin di sekitar pembuluh darah di dermis bagian atas dan bawah,
pada dermis bagian atas terdapat fokus-fokus infiltrat
Berdasarkan pemeriksaan dengan sinar Wood, melasma dapat dibedakan menjadi
4 kelompok, yaitu :
a. Tipe epidermal, melasma tampak lebih jelas dengan sinar Wood
dibandingkan dengan sinar biasa.
b. Tipe dermal, dengan sinar Wood tak tampak warna kontras dibanding
dengan sinar biasa.
c. Tipe campuran, tampak beberapa lokasi lebih jelas sedang lainnya tidak
jelas.
d. Tipe sukar dinilai karena warna kulit yang gelap, dengan sinar Wood lesi
menjadi tidak jelas sedangkan dengan sinar biasa jelas terlihat.
Pemeriksaan dengan sinar Wood lebih bermakna pada kulit warna terang dan
sedang. Pada kulit warna gelap (tipe IV), pemeriksaan dengan sinar Wood tidak
bermanfaat.

2.2.1.4 Manifestasi Klinik


Lesi melasma berupa makula berwarna coklat muda atau coklat tua
berbatas tegas dengan tepi tidak teratur, sering pada pipi, dan hidung yang disebut
pola malar seperti pada Gambar. Pola mandibular terdapat pada dagu, sedangkan
29

pola sentrofasial di pelipis, dahi, alis, dan bibir atas. Warna keabu-abuan atau
kebiru-biruan terutama pada tipe dermal.18

Gambar 6 Melasma.18

2.2.1.5 Diagnosis
Diagnosis melasma ditegakkan hanya dengan pemeriksaan klinis. Untuk
menentukan tipe melasma dilakukan pemeriksaan sinar Wood, sedangkan
pemeriksaan histopatologik hanya dilakukan pada kasus-kasus tertentu.17
Soepardiman (2010) menjelaskan bahwa pemeriksaan pembantu diagnosis
pada melasma diantaranya17:
a. Pemeriksaan histopatologik
Terdapat dua tipe hipermelanosis, yaitu :
1. Tipe epidermal : melanin terutama terdapat di lapisan basal dan
suprabasal, kadang-kadang di seluruh stratum spinosum sampai
stratum korneum; sel-sel yang padat mengandung melanin adalah
melanosit, sel-sel lapisan basal, dan suprabasal, juga terdapat pada
keratinosit dan sel-sel stratum korneum.
2. Tipe dermal : terdapat makrofag bermelanin di sekitar pembuluh
darah dalam dermis bagian atas dan bawah; pada dermis bagian atas
terdapat fokus-fokus infiltrat.
b. Pemeriksaan mikroskop elektron
30

Gambaran ultrastruktur melanosit dalam lapisan basal memberi


kesan aktivitas melanosit meningkat.
c. Pemeriksaan dengan sinar Wood
1. Tipe epidermal : warna lesi tampak lebih kontras.
2. Tipe dermal : warna lesi tidak bertambah kontras.
3. Tipe campuran : lesi ada yang bertambah kontras ada yang tidak
4. Tipe tidak jelas : dengan sinar Wood lesi menjadi tidak jelas, sedangkan
dengan sinar biasa jelas terlihat.

2.2.1.6 Penatalaksanaan
Pengobatan melasma memerlukan waktu yang cukup lama, kontrol yang
teratur serta kerja sama yang baik antara penderita dan dokter yang
menanganinya. Kebanyakan penderita berobat untuk alasan kosmetik. Pengobatan
dan perawatan kulit harus dilakukan secara teratur dan sempurna karena melasma
bersifat kronis residif. Pengobatan yang sempurna adalah yang kausal, maka
penting dicari etiologinya.19
a. Pencegahan
1. Pencegahan terhadap timbulnya atau bertambah berat serta
kambuhnya melasma adalah perlindungan terhadap sinar matahari.
Penderita diharuskan menghindari pajanan langsung sinar ultra
violet terutama antara pukul 09.00-15.00. Sebaiknya jika keluar
rumah menggunakan payung atau topi yang lebar. Melindungi kulit
dengan memakai tabir surya yang tepat, baik mengenai bahan
maupun cara pemakaiannya. Pemakaian tabir surya dianjurkan 30
menit sebelum terkena pajanan sinar matahari. Ada 2 macam tabir
surya yang dikenal yaitu tabir surya fisis dan tabir surya kimiawi.
Tabir surya fisis adalah bahan yang dapat
memantulkan/menghamburkan ultra violet, misalnya : titanium
dioksida, seng oksida, kaolin; sedang tabir surya kimiawi adalah
bahan yang menyerap ultra violet. Tabir surya kimiawi ada dua
jenis, yaitu :
31

a) Yang mengandung PABA (Para Amino Benzoic Acid) atau


derivatnya, misalnya octil PABA
b) Yang tidak mengandung PABA (non-PABA), misalnya :
bensofenon, sinamat, salisilat, dan antranilat.
c) Menghilangkan faktor yang merupakan penyebab melasma
misalnya menghentikan pemakaian pil kontrasepsi,
menghentikan pemakaian kosmetika yang berwarna atau
mengandung parfum, mencegah obat contohnya hidantoin,
sitostatika, obat antimalaria, dan minosiklin.19
2. Pengobatan
a. Pengobatan topikal
1) Hidrokinon
Hidrokinon dipakai dengan konsentrasi 2-5%.
Hidrokinon menghambat konversi dari DOPA (Dihidroksi
Phenil Alanin) terhadap melanin dengan menghambat
aktivitas dari enzim tirosinase. Soepardiman (2010)
menjelaskan bahwa krim tersebut dipakai pada malam hari
disertai pemakaian tabir surya pada siang hari. Umumnya
tampak perbaikan dalam 6-8 minggu dan dilanjutkan
sampai 6 bulan. Efek samping adalah dermatitis kontak
iritan atau alergik. Setelah penghentian penggunaan
hidrokinon sering terjadi kekambuhan.19
2) Asam retinoat (retinoic acid/tretinoin)
Asam retinoat 0,1% terutama digunakan sebagai
terapi tambahan atau terapi kombinasi. Krim tersebut juga
dipakai pada malam hari karena pada siang hari dapat
terjadi fotodegradasi. Asam retinoat saat ini digunakan
sebagai monoterapi dan didapatkan perbaikan klinis secara
bermakna meskipun berlangsung cukup lambat. Efek
samping berupa eritema, deskuamasi, dan fotosensitasi.19
3) Asam azeleat (Azeleic acid)
32

Asam azeleat merupakan obat yang aman untuk


dipakai. Pengobatan dengan asam azeleat 20% selama 6
bulan memberikan hasil yang baik. Efek sampingnya rasa
panas dan gatal.19
b. Pengobatan sistemik
1) Asam arkobat/Vitamin C
Vitamin C mempunyai efek merubah melanin bentuk
oksidasi menjadi melanin bentuk reduksi yang berwarna
lebih cerah dan mencegah pembentukan melanin dengan
merubah DOPA kinon menjadi DOPA.19
2) Glutation
Glutation bentuk reduksi adalah senyawa sulfhidril yang
berpotensi menghambat pembentukan melanin dengan jalan
bergabung dengan Cuprum dari tirosinase.19
c. Tindakan khusus
1) Pengelupasan kimiawi
Pengelupasan kimiawi dapat membantu pengobatan
kelainan hiperpigmentasi. Pengelupasan kimiawi dilakukan
dengan mengoleskan asam glikolat 50-70% selama 4
sampai 6 menit dilakukan setiap 3 minggu selama 6 kali.
Sebelum dilakukan pengelupasan kimiawi diberikan krim
asam glikolat 10% selama 14 hari.19
2) Bedah laser
Bedah laser dengan menggunakan laser Q-Switched Ruby
dan Laser Argon kekambuhan dapat juga terjadi.19

2.2.2 Lentigo
2.2.2.1 Definisi
Lentigo adalah makula coklat atau coklat kehitaman
berbentuk bulat atau polisiklik. Lentiginosis adalah keadaan
timbulnya lentigo dalam jumlah yang banyak atau dengan distribusi
tertentu.20
33

2.2.2.2 Etiologi
Disebabkan karena bertambahnya jumlah melanosit pada
taut dermo-epidermal tanpa adanya poliferasi fokal.20

2.2.2.3 Klasifikasi
1. Lentiginosis generalisata
Lesi lentigo umumnya multipel, timbul satu demi satu dalam
kelompok kecil sejak masa kanak-kanak.
2. Lentiginosis sentrofasial
Distribusi terbatas pada garis horisontal melalui sentral muka
tanpa mengenai membran mukosa.
3. Sindrom Peutz-Jegher20

2.2.2.4 Gejala klinis


Lesi berupa makula hiperpigmentasi yang timbul sejak
lahir dan berkembang pada masa anak-anak. Makula tersebut
selalu mengenai selaput lendir mulut berbentuk bulat, oval, atau
tidak teratur berwarna coklat kehitaman berukuran 1-5 cm.20

Gambar 7 Lentigo.20
34

2.2.2.5 Penegakan Diagnosis


Pada pemeriksaan histopatologik dari makula
hiperpigmentasi didapatkan jumlah melanosit bertambah di
lapisan sel basal dan makrofag berisi pigmen di dermis bagian
atas. Diseluruh epidermis terdapat banyak granula melanin.20

2.2.2.6 Penatalaksanaan
Terapi pembedahan untuk mengurangi gejala saja. Polip
yang meluas dan sifatnya jinak merupakan kontraindikasi untuk
tindakan radikal, kecuali kalau lambung, duodenum, atau kolon
terkena, maka reseksi profilaksis dapat dianjurkan.20

2.2.2.7 Prognosis
Prognosis pada lentigo bervariasi bergantung pada tipe
lentigo dan pengobatannya. Tetapi pada umumnya prognosis baik
kecuali pada tipe sindrom lentigo yang tidak diterapi dengan
baik.20
35

DAFTAR PUSTAKA

1. James WD, Berger T, Elston DM, Neuhaus IM. Andrews’ Diseases of the
Skin Clinical Dermatology. Twelfth Ed. Elsevier; 2018.
2. Habif TA. Clinical Dermatology A Color Guide to Diagnosis and Therapy.
Sixth.; 2017.
3. Wolff K, Johnson RA, Saavedra AP, Roh EK. Fitzpatrick’s Color Atlas
and Synopsis of Clinical Dermatology. Eighth edi.; 2016.
4. Hunter J, Savin J, Dahl M. Clinical Dermatology. Third edit. Blackwell
Publishing; 2016.
5. Djuanda A. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Edisi Keen. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Univesitas Indonesia; 2013.
6. Minerva P. Hiperpigmentasi Kulit.
7. Ravindranath S. Pityriasis Versicolor : Therapeutic Efficacy of Various
Regimes of Topical 2 % Clotrimazole Cream , Oral Flucanazole and
Ketoconazole. Int J Contemp Med Res. 2016;3(8):2355-2360.
8. Kambil SM. A Clinical and Epidemiological Study of Pityriasis Versicolor.
Int J Sci Study. 2017;5(9):155-159. doi:10.17354/ijss/2017/574
9. Al-fouzan AS, Yassin AM. Pityriasis versicolor : Histopathological study.
Gulf J Dermatology Venerol. 2012;19(1):35-42.
10. Rahmayanti ND. Studi Retrospektif : Profil Pasien Baru Vitiligo (A
Retrospective Study : The Profile of New Patient with Vitiligo). 2014:52-
58.
11. Estri R, Hananti S, Murwaningsih A, Budiyanto A. Terapi Kombinasi
Fototerapi Narrow Band Ultraviolet B NBUVB), Takrolimus 0,1 %
Ointment dan Alfa Tokoferol pada Vitiligo Segmental. (318):1-5.
12. Lakhani DM, Deshpande AS. Various Treatments for Vitiligo: Problems
Associated and Solutions. J Appl Pharm Sci. 2014;4(11):101-105.
doi:10.7324/JAPS.2014.41118
13. Witasari D, Sukanto H, Setyaningrum T. Peningkatan Kadar Zink Serum
pada Pasien Vitiligo ( Increase of Serum Zinc Levels in Patients with
Vitiligo ).
36

14. Moretti S. Vitiligo. 2003;(October):1-6.


15. Taïeb A, Picardo M. Vitiligo. N Engl J Med. 2009;360(2):160-169.
doi:10.1056/NEJMcp0804388
16. Jusuf NK, Putra IB. Melasma characteristic in hormonal contraceptive
acceptors at Kelurahan Mangga Kecamatan Medan. Bali Med J.
2018;7(3):645-649. doi:10.15562/bmj.v7i3.1000
17. Umborowati MA. Studi Retrospektif : Diagnosis dan Terapi Pasien
Melasma (Retrospective Study : Diagnosis and Therapy of Melasma
Patients). 2011:56-63.
18. Bagherani N, Gianfaldoni S, Smoller B. An Overview on Melasma. J
Pigment Disord. 2015;2(10). doi:10.4172/2376-0427.1000216
19. Shankar K, Godse K, Aurangabadkar S, Lahiri K, Mysore V. Evidence-
Based Treatment for Melasma : Expert Opinion and a Review. 2014:165-
186. doi:10.1007/s13555-014-0064-z
20. Kalb RE. Solar Lentigo/Lentigines (Liver Spots). (716):14221.
37
1

Anda mungkin juga menyukai