BAB I
PENDAHULUAN
secepat pada ras Kaukasia. Selain itu, sintesis melanin juga dipengaruhi oleh sinar
radiasi ultraviolet (UV). Sinar UV akan menstimulasi melanogenesis.5
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Mengetahui gambaran yang nyata tentang bentuk klinis yang
termasuk dalam penyakit kelainan kulit hipopigmentasi dan
hiperpigmentasi.
1.2.2 Tujuan Khusus
Mengetahui etiologi, patogenesis, gejala klinis, pemeriksaan
penunjang, penatalaksanaan, dan prognosis penyakit kelainan kulit
hipopigmentasi dan hiperpigmentasi.
1.3 Manfaat
Memberikan wawasan dan pengetahuan kepada pembaca dan penulis.
Setelah mempelajari referat ini diharapkan pembaca dan penulis mampu
mengetahui dan memahami tentang penyakit kelainan kulit hipopigmentasi
dan hiperpigmentasi.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hipopigmentasi
Hipopigmentasi adalah suatu kelainan kulit dimana berkurangnya
pigmentasi dan terdapat bentuk ruam kulit seperti makula. Ada dua penyebab
hipopigmentasi yaitu secara kongenital dan didapat.6
a. Kongenital
Gangguan pigmentasi bisa saja sudah didapat sejak lahir. Seperti
albinisme yang diakibatkan oleh gangguan pada produksi melanin.
Pada orang albino, tidak didapatkan enzim tirosinase (tirosinase
negatif), sehingga kulit dan rambut seluruhnya menjadi berwarna
putih, serta mata berwarna merah (tedapat depigmentasi pada iris).
Biasanya penglihatan mereka juga terganggu, disertai dengn
nistagmus. Pada albinisme dengan tirosinase positif (enzim tirosinase
tidak bekerja baik), gambaran klinis tidak seberapa, dan warna kulit
bertambah sejalan dengan makin bertambahnya usia. Akan tetapi,
kanker kulit sering bisa didapat pada kedua bentuk albinisme tersebut.6
b. Didapat
Kelainan karena didapat sering ditemukan. Vitiligo adalah
penyebab yang paling penting dari timbulnya bercak-bercak pucat
pada kulit. Pada penderita vitiligo adalah depigmentasi, bukan
hipopigmentasi, walapun dalam progresinya tidak selalu sempurna.
Bercak-bercak bisa saja berukuran kecil, tetapi biasanya menjadi
cukup besar dan bentuknya sering tidak teratur. Depigmenetasi bisa
menyebar luas ke seluruh tubuh. Vitiligo paling sering terjadi pada
kulit tangan, di sekitar mulut dan sekitar mata, tapi tidak menutup
kemungkinan pada daerah lain.6
2.1.1.2 Epidemiologi
Prevalensi PV di seluruh dunia mencapai 50% pada daerah panas, lembab
dan hanya 1,1% pada daerah beriklim dingin dan merupakan dermatomikosis
terbanyak kedua di antara dermatofitosis lain di Indonesia. Lingkungan yang
hangat dan lembab diperkirakan menjadi salah satu faktor pencetus. Indonesia
terletak pada garis ekuator dengan temperatur sepanjang tahun sekitar 30°C dan
kelembaban 70%. PV lebih banyak dijumpai pada kelompok usia dewasa muda
baik laki-laki maupun perempuan. Pada laki-laki terbanyak dijumpai pada usia
21-25 tahun, sedangkan pada perempuan terbanyak dijumpai pada usia 26-30
tahun. Di daerah tropis, laki-laki cenderung lebih banyak menderita PV
dibandingkan dengan perempuan, yang dikaitkan dengan jenis pekerjaan.8
respon imun yang diperantai oleh Th-1 adalah peningkatan produksi TNF-α yang
akan mengakibatkan apoptosis keratinosit dan rete ridge epidermis menjadi datar.
Malassezia juga mempengaruhi produksi sitokin proinflamasi oleh sel
mononuklear. Pada populasi Malassezia yang rendah, produksi IL-1β dan TNF-α
cenderung terpacu, sementara jika populasi tinggi produksi sitokin tersebut akan
terhambat. TNF-α akan menekan melanogenesis melalui hambatan jalur NF-kB
dengan menekan aktivitas promoter tirosinase. Hal ini sesuai dengan fakta bahwa
pada kasus PV dengan lesi hipopigmentasi umumnya organisme hanya dijumpai
di bagian superfisial stratum korneum.7
lama dari bulan hingga tahun. Penelitian lain menunjukkan fakta bahwa skuama
dari PV menghambat repigmentasi. Area sekitar PV setelah terapi akan tetap
hipopigmentasi untuk periode waktu tertentu.8
Dengan semakin berkembangnya pengetahuan mengenai patogenesis
perubahan pigmen pada PV maka proses repigmentasi mulai dipertimbangkan
dengan menggunakan beberapa agen terapi baru, antara lain penggunaan nitric
oxide-liberating cream atau aplikasi solusio cycloserine yang menghasilkan
kesembuhan dengan repigmentasi cepat.8
Weller, dkk. mempelajari efek menguntungkan dari nitric oxide (NO) di
kulit. Peneliti ini menemukan bahwa nitric oxide diproduksi di permukaan kulit
dan berfungsi sebagai perlindungan terhadap infeksi jamur superfisial. Melanosit
dan keratinosit memproduksi nitric oxide sebagai respon sitokin inflamasi dan
produksi nitric oxide pada keratinosit dipicu oleh radiasi ultraviolet. Nitric oxide
meningkatkan aktivitas tirosinase dan melanogenesis sehingga mampu
mempercepat proses repigmentasi pada PV.8
(coup d’ongle of Besnier). Pada penyakit yang telah lanjut lesi akan menjadi
bercak luas, berkonfluens atau tersebar. Bentuk lesi bervariasi dan dapat
ditemukan lesi seperti bentuk papuler ataupun perifolikuler.8
genitalia. Variasi klinis yang jarang terjadi dan dilaporkan secara sporadis antara
lain bentuk atrofikans, periareolar atau imbrikata.7
Gambaran klinis PV pada pasien dengan infeksi HIV sama dengan pasien
seronegatif HIV, hanya lebih luas, sedangkan pada pasien imunokompromais
lain, misalnya penerima cangkok organ, lebih sering terjadi folikulitis
Malassezia. Pada kasus yang lama tanpa pengobatan, lesi dapat bergabung
membentuk gambaran seperti pulau yang luas berbentuk polisiklik. Pada sebagian
besar kasus pengobatan akan menyebabkan lesi berubah menjadi makula
hipopigmentasi yang menetap.8
atasnya tidak bernilai diagnostik oleh karena Malassezia merupakan flora normal
kulit. Hernandez et al. menemukan bahwa M.globosa adalah spesies terbanyak
pada kultur dari sampel PV di Meksiko. Hasil serupa juga ditemukan oleh Makni
et al. di Tunisia yang mengkonfimasi predominasi Malassezia globosa sebanyak
65% pada kultur dengan medium Dixon dengan teknik molekuler.9
Biopsi kulit jarang diperlukan untuk diagnosis PV, walaupun hifa dan
spora yang terdapat di stratum korneum dapat terlihat dengan pengecatan
Periodic Acid Schiff (PAS)atau methenamine silver. Pada lesi terdapat
hiperkeratotik dan koloni hifa dan spora, subepidermal fibroplasia, tidak ada
melanosit dan infiltrat sel radang minimal. Organisme terkadang tampak di
sekitar folikel rambut dan di sekitar muara folikel.9
hari selama 7 atau 10 hari atau itrakonazole 200-400 mg per hari selama 3-7 hari
hampir secara umum efektif. Ketokonazole oral yang diberikan dosis tunggal 400
mg merupakan regimen yang gampang diberikan dengan hasil yang sebanding.
Dosis tunggal itrakonazole 400 mg juga menunjukkan efektivitas lebih dari 75%
dan dalam satu penelitian memiliki efektivitas yang sama dengan itrakonazole
selama 1 minggu. Flukonazole juga efektif diberikan dosis tunggal 400 mg.
Terbinafin oral merupakan suatu alilamin, tidak direkomendasikan untuk
pengobatan kelainan terkait Malassezia, karena obat ini tidak dihantarkan secara
efisien ke permukaan kulit. Potensi toksisitas obat serta interaksi melalui
pengaruh azoel pada isoenzim sitokrom P450 harus diperhatikan pada penggunaan
azole oral untuk pengobatan tinea versikolor. Pengobatan yang paling banyak
digunakan untuk pengobatan PV adalah golongan azol, oleh karena efektivitasnya
yang tinggi.7
Rekurensi yang relatif sering dan bercak hipopigmentasi yang
bertahan lama merupakan masalah paling sering dihadapi pada pengobatan PV.
Pengobatan kombinasi dengan terapi topikal dan sistemik, dapat digunakan,
meskipun belum ada pustaka yang melaporkan tentang keuntungan terapi
kombinasi tersebut. Terapi kombinasi ini dapat digunakan, mengingat angka
3
rekurensi dari PV yang tinggi dan adanya faktor risiko yang sulit dihindari.
Sebagai contoh kombinasi topikal sampo selenium sulfida 1,8% sekali seminggu,
1 jam sebelum mandi pagi dan ketokonazol 400mg/minggu pada hari yang sama
selama 3 bulan. Cara tersebut dapat dipilih terutama untuk kasus dengan lesi yang
luas.7
dianjurkan FDA
untuk PV
Ketokonazole Sampo 2% 1x 5 menit/hari
sebelum mandi
Selenium sulfide Sampo 1,8% a. Minimum Mewarnai
1x10 pakaian, tidak
menit/hari
untuk wajah dan
sebelum mandi
Genitalia
b. Setiap dua hari
sekali tiap
malam
sebelum tidur
Sodium tiosulfat Solusio 20-25% 2x/hari setiap hari Bau menyengat
sulit hilang,
sebaiknya tidak
untuk wajah
Propylene glycol Solusio 50% 2X/hari
Zinc pyrithioe Sampo Dioleskan 5
menit/hari selama
2 minggu
Obat sistemik
Ketoconazol Tablet 200mg a. 1 tablet/hari Perhatian pada
selama 7-10 efek samping dan
hari
interaksi obat
b. Dosis tunggal
2 tablet atau
diulang hingga
4 dosis dalam 2
14
minggu
Itrakonasol Kapsul 100 mg a. 800-1000mg Untuk kasus
terbagi dalam 5 rekalsitran.
hari
Perhatian pada
b. 200-400
efek samping dan
mg/hari selama
interaksi obat
3-7 hari
c. 400 mg dosis
tunggal
Flukonasol Tablet 50 mg 400 mg dosis Tidak dianjurkan
dan 150 mg tunggal atau di FDA untuk PV
ulang setelah 2
minggu
diobati ulang saat PV kambuh daripada pemberian terapi supresif atau preventif
dalam jangka lama.7
b. Terapi Baru
Repigmentasi memerlukan waktu yang lama sampai beberapa bulan.
Semakin berkembangnya pengetahuan mengenai patogenesis PV, sedang
dikembangkan berbagai terapi baru, antara lain penggunaan nitric oxide-liberating
cream selama 10 hari, atau aplikasi solusio cycloserine selama 5 hari, yang
menghasilkan kesembuhan dengan repigmentasi cepat. Terapi fotodinamik
dengan 5-aminolevulenic acid juga digunakan untuk terapi area terbatas.
Adapalane gel juga menunjukkan efikasi yang sama dengan ketoconazole 2%
krim pada PV.7
1. Nitric oxide (NO) dikenal sebagai molekul reaktif yang terlibat dalam
berbagai fungsi sel tubuh, yaitu meningkatkan aliran darah, relaksasi otot,
modulasi respon imun, dan peningkatan fungsi ginjal. Pada beberapa
kasus, tubuh menggunakan NO sebagai perlindungan terhadap patogen
dan invasi mikroba umumnya. Nitric oxide adalah salah satu efektor
sitotoksik yang penting dalam pertahanan respon imun terhadap
mikroorganisme intraseluler dan patogen, seperti jamur, yang terlalu besar
untuk difagositosis. Nitric oxide diproduksi oleh beberapa enzim yang
dikenal sebagai nitric oxide synthases. Nitric oxide diproduksi di
permukaan kulit dan berfungsi sebagai perlindungan terhadap infeksi
jamur superfisial. Melanosit dan keratinosit memproduksi NO sebagai
respon sitokin inflamasi dan produksi NO pada keratinosit dipacu oleh
radiasi UV. Nitric oxide meningkatkan aktivitas tirosinase dan
melanogenesis. Pemberian NO 3% topikal sebanyak 2 kali sehari
menunjukkan perbaikan yang signifikan. Sebuah laporan kasus di Jerman
melaporkan aplikasi cycloserine 0,2 mol/ L dua kali sehari selama 5 hari
menghasilkan repigmentasi cepat dari lesi hiperpigmentasi PV.7
2. Cycloserine, sebuah inhibitor TAM (transaminase) mampu menghambat
produksi pigmen dari M. furfur in vitro pada dosis tertentu. Cycloserine
telah dikenal sebagai antibiotik yang efektif melawan bakteri dan sebagai
16
2.1.2 Vitiligo
Vitiligo adalah penyakit akibat proses depigmentasi pada kulit, disebabkan
faktor genetik dan non genetik yang berinteraksi dengan kehilangan atau
ketahanan fungsi melanosit dari epidermis. Tipe vitiligo dapat dibedakan
berdasarkan penyebaran lesi penyakit tersebut. Satu atau lebih lesi yang sifatnya
kuasidermatomal (unilateral dan asimetris) merupakan karakteristik dari vitiligo
segmental. Vitiligo nonsegmental (generalisata) memiliki ciri lesi yang multipel
18
dengan penyebaran yang simetris. Perjalanan penyakit vitiligo sering kali tidak
dapat diprediksi namun sering kali bersifat progresif.10
2.1.2.1 Epidemiologi
Vitiligo merupakan suatu kelainan pigmentasi yang paling sering
ditemukan, dengan prevalensi sebesar 0.5% dari populasi manusia di dunia. Pada
hampir dari separuh jumlah pasien dengan vitiligo, lesi pertama kali muncul
sebelum usia 20 tahun. Prevalensi laki-laki dan perempuan umumnya sama,
namun umumnya pasien perempuan lebih banyak mengunjungi dokter daripada
laki-laki. Kelainan ini dapat terjadi pada semua umur, penelitian yang dilakukan
di Belanda menunjukkan 25% kasus muncul sebelum usia 10 tahun, 50% sebelum
usia 20 tahun, dan 95% sebelum usia 40 tahun. Kasus pasien dengan vitiligo yang
memiliki riwayat keluarga penderita vitiligo berkisar antara 6.25%-38%. Tidak
terdapat perbedaan prevalensi berdasarkan ras ataupun jenis kulit.11
Vitiligo segmental maupun vitiligo non-segmental memiliki ciri khas
masing-masing. Vitiligo nonsegmental, dengan prevalensi sekitar 85%-90% dari
total kasus, merupakan jenis vitiligo yang paling sering diderita oleh pasien.
Sedangkan vitiligo segmental karena sering kali muncul pertama pada masa
kanak-kanak, memiliki angka prevalensi 30% dari kasus vitiligo yang terjadi pada
anak-anak. Baik vitiligo segmental maupun non-segmental dapat memiliki
manifestasi awal sebagai vitiligo fokal yang ditandai dengan munculnya lesi
hipopigmentasi yang tidak lebih dari 15 cm2. 12
2.1.2.2 Etiopatogenesis
Faktor-faktor pencetus vitiligo endogen:
1) Faktor genetik, sebanyak 18-36% pasien memiliki pola familial.
2) Tekanan emosional berat: kehilangan orang yang dicintai, kehilangan
pekerjaan, perceraian, masalah sekolah, perpindahan sekolah atau kota.
3) Penyakit-penyakit internal seperti gangguan autoimun, misalnya tiroid,
anemia pernisiosa, diabetes mellitus, lebih banyak dialami oleh populasi
vitiligo dibandingkan dengan populasi umum.
19
4) Penyakit-penyakit kulit, sebanyak 14% kasus vitiligo dimulai dari suatu halo
nevus.
Sedangkan faktor eksogen berupa trauma fisik mengawali 40% kasus terjadinya
vitiligo. Trauma fisik tersebut dapat berupa garukan, benturan, laserasi dan luka
bakar. Mekanisme Koebner mendasari peristiwa ini. Selain trauma fisik, obat-
obatan seperti beta adrenergic blocking agent dan zat-zat yang bersifat
melanotoksik seperti film developer, karet, kuinon dan agen pemutih juga menjadi
faktor eksogen penyebab terjadinya vitiligo.13
Terdapat beberapa teori mengenai pathogenesis vitiligo14:
1) Genetik pada Vitiligo
Hampir seluruh studi genetika terfokus pada vitiligo generalisata, telah
diidentifikasi sedikitnya 10 lokus yang berbeda. Tujuh dari 10 lokus yang
dijumpai terkait dengan penyakit autoimun lainnya. Antara lain: HLA-1 dan
HLA-2, PTPN22, LPP, NALP1 dan TYR yang mengkode tirosinase merupakan
enzim yang penting dalam sintesis melanin.
2) Hipotesis autoimun
Ditemukannya aktivias imunitas humoral berupa antibodi anti melanosit yang
mampu membunuh melanosit secara in vitro maupun in vivo. Sekarang aktivitas
humoral ini lebih diduga sebagai respon sekunder terhadap melanosit yang rusak
dibandingkan dengan respon primer penyebab vitiligo generalisata.
3) Hipotesis neural
Hipotesis ini menunjukkan adanya mediator neurokimia yang bersifat
sitotoksik terhadap sel pigmen dan dikeluarkan oleh ujung saraf di dekatnya.
Teori ini didukung oleh:
a) Vitiligo segmental yang terbatas secara segmental tidak dermatomal
melainkan menyerang beberapa dermatom (kuasidermatomal).
b) Vitiligo segmental tidak berefek dengan obat-obat vitiligo konvensiona
tetapi membaik terhadap obat-obat yang memodulasi fungsi saraf.
c) Terjadinya vitiligo dilaporkan setelah mengalami tekanan emosional
berat atau setelah kejadian neurologikal, misalnya ensefalitis, multipel
sclerosis dan jejas saraf perifer.
2.2 Hiperpigmentasi
Hiperpigmentasi adalah suatu keadaan bertambahnya jumlah melanin pada
lapisan kulit yamg mengakibatkan perubah warna kulit menjadi lebih gelap.
Faktor-faktor penyebab hiperpigmentasi pada kulit diantaranya yaitu6:
a. Genetik
b. Gangguan nutrisi: kekurangan protein, asam folat, vitamin B12 dll
c. Hormonal: hormone estrogen dan progesteron
d. Sinar uv/matahari
e. Kosmetika: kosmetik yang bersifat fototoksik, parfum dan kosmetika
pewanggi
f. Obat-obatan oral: obat obat tertentu seperti arsen, merkuri, bistmuth,
minosiklin dll
g. Inflamasi (peradangan)
h. Keganasan.
Bentuk-bentuk penyakit kelainan kulit dengan lesi hiperpigmentasi
diantaranya adalah sebagai berikut:
2.2.1 Melasma
Melasma adalah gangguan kulit yang umum diperoleh yang ditandai dengan
bercak hiperpigmentasi lokal pada kulit yang terpapar sinar matahari. Secara
histologi, daerah yang terkena menunjukkan peningkatan produksi dan transfer
melanosom ke keratinosit. Penyebaran melasma melibatkan wajah dengan bagian
tersering di dahi, pipi, dan bibir. Sedangkan pada bagian leher dan lengan lebih
25
jarang. Gangguan kulit ini ditandai dengan warna cokelat, dapat pula makula atau
patch biru-abu-abu.16
2.2.1.1 Epidemiologi
Melasma pada dasarnya dapat mengenai semua ras terutama penduduk
yang terpajan sinar matahari dengan intensitas cukup tinggi (daerah tropis).
Balkrishnan et al (2003) menyatakan bahwa salah satu kondisi yang paling umum
terjadinya melasma terutama pada individu keturunan Hispanik dan Asia.
Sedangkan Sachdeva (2006) dan Dogra;Gupta (2006) menjelaskan tipe kulit
Fitzpatrick IV-V merupakan individu yang umum terkena penyakit ini. Melasma
terutama dijumpai pada wanita usia subur dengan riwayat langsung terpajan sinar
matahari, meskipun didapatkan pula pada pria (± 10%). Di Indonesia,
perbandingan kasus wanita dan pria yaitu 24 : 1.17
Insiden terbanyak pada wanita usia 30-44 tahun. Berdasarkan penelitian
Febrianti, Aryani Sudharmono, IGAK Rata, Irma Bernadette di Departemen Ilmu
Kesehatan Kulit dan Kelamin FK Universitas Indonesia/RS. Dr. Cipto
Mangunkusumo Jakarta tahun 2004 menunjukkan hasil bahwa epidemiologi
melasma 97,93% wanita dan 2,07% pria. Insidens terbanyak menurut penelitian
Rikyanto yang berkonsultasi ke Poli Kulit RSUD Kota Yogyakarta selama 3
tahun (Juni 2001-Juli 2003), kelompok umur kasus melasma terbanyak pada
kelompok usia 31-40 tahun (42,4%), dengan frekuensi kunjungan terbanyak
adalah 1x kunjungan dan pasien memiliki pekerjaaan yang umumnya adalah
pegawai negeri sipil (57,3%).18
2.2.1.2 Etiopatogenesis
Meskipun melasma memiliki banyak faktor etiologi yang diakui namun
patogenesis pastinya tidak diketahui. Bukti menunjukkan bahwa faktor internal
dan lingkungan mungkin bertanggung jawab untuk memicu, mempertahankan,
dan membuat kambuh lesi melasma. Faktor-faktor tersebut seperti pengaruh
genetik, paparan radiasi UV, kehamilan, kontrasepsi oral, terapi estrogen /
progesteron, disfungsi tiroid, kosmetik, dan obat-obatan seperti obat anti kejang
dan fototoksik.18
26
2.2.1.3 Klasifikasi
Terdapat beberapa jenis melasma ditinjau dari gambaran klinis,
pemeriksaan histopatologik, dan pemeriksaan dengan sinar Wood.18
28
pola sentrofasial di pelipis, dahi, alis, dan bibir atas. Warna keabu-abuan atau
kebiru-biruan terutama pada tipe dermal.18
Gambar 6 Melasma.18
2.2.1.5 Diagnosis
Diagnosis melasma ditegakkan hanya dengan pemeriksaan klinis. Untuk
menentukan tipe melasma dilakukan pemeriksaan sinar Wood, sedangkan
pemeriksaan histopatologik hanya dilakukan pada kasus-kasus tertentu.17
Soepardiman (2010) menjelaskan bahwa pemeriksaan pembantu diagnosis
pada melasma diantaranya17:
a. Pemeriksaan histopatologik
Terdapat dua tipe hipermelanosis, yaitu :
1. Tipe epidermal : melanin terutama terdapat di lapisan basal dan
suprabasal, kadang-kadang di seluruh stratum spinosum sampai
stratum korneum; sel-sel yang padat mengandung melanin adalah
melanosit, sel-sel lapisan basal, dan suprabasal, juga terdapat pada
keratinosit dan sel-sel stratum korneum.
2. Tipe dermal : terdapat makrofag bermelanin di sekitar pembuluh
darah dalam dermis bagian atas dan bawah; pada dermis bagian atas
terdapat fokus-fokus infiltrat.
b. Pemeriksaan mikroskop elektron
30
2.2.1.6 Penatalaksanaan
Pengobatan melasma memerlukan waktu yang cukup lama, kontrol yang
teratur serta kerja sama yang baik antara penderita dan dokter yang
menanganinya. Kebanyakan penderita berobat untuk alasan kosmetik. Pengobatan
dan perawatan kulit harus dilakukan secara teratur dan sempurna karena melasma
bersifat kronis residif. Pengobatan yang sempurna adalah yang kausal, maka
penting dicari etiologinya.19
a. Pencegahan
1. Pencegahan terhadap timbulnya atau bertambah berat serta
kambuhnya melasma adalah perlindungan terhadap sinar matahari.
Penderita diharuskan menghindari pajanan langsung sinar ultra
violet terutama antara pukul 09.00-15.00. Sebaiknya jika keluar
rumah menggunakan payung atau topi yang lebar. Melindungi kulit
dengan memakai tabir surya yang tepat, baik mengenai bahan
maupun cara pemakaiannya. Pemakaian tabir surya dianjurkan 30
menit sebelum terkena pajanan sinar matahari. Ada 2 macam tabir
surya yang dikenal yaitu tabir surya fisis dan tabir surya kimiawi.
Tabir surya fisis adalah bahan yang dapat
memantulkan/menghamburkan ultra violet, misalnya : titanium
dioksida, seng oksida, kaolin; sedang tabir surya kimiawi adalah
bahan yang menyerap ultra violet. Tabir surya kimiawi ada dua
jenis, yaitu :
31
2.2.2 Lentigo
2.2.2.1 Definisi
Lentigo adalah makula coklat atau coklat kehitaman
berbentuk bulat atau polisiklik. Lentiginosis adalah keadaan
timbulnya lentigo dalam jumlah yang banyak atau dengan distribusi
tertentu.20
33
2.2.2.2 Etiologi
Disebabkan karena bertambahnya jumlah melanosit pada
taut dermo-epidermal tanpa adanya poliferasi fokal.20
2.2.2.3 Klasifikasi
1. Lentiginosis generalisata
Lesi lentigo umumnya multipel, timbul satu demi satu dalam
kelompok kecil sejak masa kanak-kanak.
2. Lentiginosis sentrofasial
Distribusi terbatas pada garis horisontal melalui sentral muka
tanpa mengenai membran mukosa.
3. Sindrom Peutz-Jegher20
Gambar 7 Lentigo.20
34
2.2.2.6 Penatalaksanaan
Terapi pembedahan untuk mengurangi gejala saja. Polip
yang meluas dan sifatnya jinak merupakan kontraindikasi untuk
tindakan radikal, kecuali kalau lambung, duodenum, atau kolon
terkena, maka reseksi profilaksis dapat dianjurkan.20
2.2.2.7 Prognosis
Prognosis pada lentigo bervariasi bergantung pada tipe
lentigo dan pengobatannya. Tetapi pada umumnya prognosis baik
kecuali pada tipe sindrom lentigo yang tidak diterapi dengan
baik.20
35
DAFTAR PUSTAKA
1. James WD, Berger T, Elston DM, Neuhaus IM. Andrews’ Diseases of the
Skin Clinical Dermatology. Twelfth Ed. Elsevier; 2018.
2. Habif TA. Clinical Dermatology A Color Guide to Diagnosis and Therapy.
Sixth.; 2017.
3. Wolff K, Johnson RA, Saavedra AP, Roh EK. Fitzpatrick’s Color Atlas
and Synopsis of Clinical Dermatology. Eighth edi.; 2016.
4. Hunter J, Savin J, Dahl M. Clinical Dermatology. Third edit. Blackwell
Publishing; 2016.
5. Djuanda A. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Edisi Keen. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Univesitas Indonesia; 2013.
6. Minerva P. Hiperpigmentasi Kulit.
7. Ravindranath S. Pityriasis Versicolor : Therapeutic Efficacy of Various
Regimes of Topical 2 % Clotrimazole Cream , Oral Flucanazole and
Ketoconazole. Int J Contemp Med Res. 2016;3(8):2355-2360.
8. Kambil SM. A Clinical and Epidemiological Study of Pityriasis Versicolor.
Int J Sci Study. 2017;5(9):155-159. doi:10.17354/ijss/2017/574
9. Al-fouzan AS, Yassin AM. Pityriasis versicolor : Histopathological study.
Gulf J Dermatology Venerol. 2012;19(1):35-42.
10. Rahmayanti ND. Studi Retrospektif : Profil Pasien Baru Vitiligo (A
Retrospective Study : The Profile of New Patient with Vitiligo). 2014:52-
58.
11. Estri R, Hananti S, Murwaningsih A, Budiyanto A. Terapi Kombinasi
Fototerapi Narrow Band Ultraviolet B NBUVB), Takrolimus 0,1 %
Ointment dan Alfa Tokoferol pada Vitiligo Segmental. (318):1-5.
12. Lakhani DM, Deshpande AS. Various Treatments for Vitiligo: Problems
Associated and Solutions. J Appl Pharm Sci. 2014;4(11):101-105.
doi:10.7324/JAPS.2014.41118
13. Witasari D, Sukanto H, Setyaningrum T. Peningkatan Kadar Zink Serum
pada Pasien Vitiligo ( Increase of Serum Zinc Levels in Patients with
Vitiligo ).
36