Anda di halaman 1dari 21

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
Mioma uteri merupakan neoplasma jinak yang berasal dari otot uterus
dan jaringan ikat yang menumpangnya, sehingga dalam kepustakaan dikenal
juga istilah fibromyoma, leiomyma, ataupun fibroid. Nama lain mioma uteri
antara lain leimyoma yaitu tumor jinak yang berasal dari otot polos, paling
sering pada uterus. Fibromyoma merupakan tumor yang terutama terdiri dari
jaringan penunjang yang berkembang lengkap atau fibrosa (Saifuddin, 2009).
Mioma pada serviks dapat menonjol ke dalam satu saluran servik
sehingga ostium uteri eksternum berbentuk seperti bulan sabit dan apabila
mioma dibelah maka akan tampak bahwa mioma terdiri dari berkas otot polos
dan jaringan ikat yang tersusun sebagai kumparan (whorle like pattern) dengan
pseudokapsul yang terdiri dari jaringan ikat longgar yang terdesak karena
pertumbuhan sarang mioma (Sparic dkk,2016).
Mioma uteri adalah tumor jinak dari organ reproduksi wanita yaitu di
dalam rahim, yang terdiri dari sel otot polos dan jaringan ikat fibrosa. Mioma
uteri terdiri dari myometrium dan jaringan ikat yang akan membentuk
pseudocapsule secara progresif, dengan kandungan serat kolagen, serabut
syaraf dan pembuluh darah, yang mempengaruhi kontraktilitas uterus. Dalam
istilah kedokteranya disebut fibromioma uteri, leiomioma, atau uterine fibroid.
Mioma uteri terdiri dari mioma submukosa, mioma intramural, dan mioma
subserosa.

2.2 KLASIFIKASI
Keterangan :
1)Miom bertangkai dangkal dibawah selaput lender rahim (submucosa miom)
2)Miom bertangkai di lapisan luar dinding rahim (pedunculated subserous miom)
3)Miom diantara lapisan otot rahim (intramural miom)
4)Miom di bawah lapisan dinding rahim (subserous miom)

2.2.1 Pembagian Klasifikasi


Klasifikasi yang digunakan menurut FIGO berdasarkan arah pertumbuhan
dan letak myomanya :
1. Myoma uteri submucosa
2. Myoma uteri subserous
3. Myoma uteri Intramural

2.2.2 Penjelasan Pembagian Klasifikasi


1. Myoma uteri intramural
Mioma yang berkembang diantara miometrium, disebut juga
mioma intraepithelial biasanya multiple apabila masih kecil tidak
menambah bentuk uterus tetapi bila besar akan menyebabkan uterus
berbenjol-benjol (Llewellyn, 2004). Myomi uteri intramural adalah fibroid
yang terletak didalam dinding rahim. Fibroid ini dapat membesar dan
cukup untuk merusak rongga rahim atau permukaan serous. Beberapa
fibroid dapat bersifat transmural dan memanjang dari serous ke permukaan
mukosa. Mioma Intramural Terdapat di dinding uterus di antara serabut
miometrium. Karena pertumbuhan tumor, jaringan otot sekitarnya akan
terdesak dan terbentuk simpai yang mengelilingi tumor. Bila di dalam
dinding rahim dijumpai banyak mioma, maka uterus akan mempunyai
bentuk yang berbenjol-benjol dengan konsistensi yang padat. Mioma yang
terletak pada dinding depan uterus, dalam pertumbuhannya akan menekan
dan mendorong kandung kemih ke atas, sehingga dapat menimbulkan
keluhan kandung kemih. (Sparic dkk, 2016)
2. Myoma uteri submukosa
Mioma submukosa menempati lapisan dibawah endometrium dan
menonjol kedalam rongga uterus (kavum uteri) (Wiknjosastro, 2007),
dapat bertangkai maupun tidak. Tumor ini memperluas permukaan
ruangan rahim, area permukaan endometrium yang meluas menyebabkan
peningkatan perdarahan menstruasi dan dapat menyebabkan infertilitas
dan abortus spontan (Sinclair, 2009).

Myoma uteri submukosa berasal dari sel-sel myometrium yang


berasal tepat dibawah endometrium (lapisan rongga rahim). Fibroid ini
menonjol ke dalam rongga rahim. Mioma Submukosa Berada di bawah
endometrium dan menonjol ke dalam rongga uterus. Jenis ini sering
memberikan keluhan gangguan perdarahan. Mioma pada jenis lain
meskipun besar mungkin belum memberikan keluhan perdarahan, tetapi
mioma submucosa walaupun kecil sering memberikan keluhan gangguan
perdarahan.Menurut Sparic dkk, 2016, Tumor jenis ini sering mengalami
infeksi, terutama pada mioma submukosa pedinkulata. Mioma submukosa
pedinkulata adalah jenis mioma submukosa yang mempunyai tangkai.
Tumor ini dapat keluar dari rongga rahim ke vagina, dikenal dengan nama
mioma geburt atau mioma yang dilahirkan, yang mudah mengalami
infeksi, ulserasi, dan infark. Pada beberapa kasus penderita akan
mengalami anemia dan sepsis karena proses di atas.

3. Myoma uteri subserousa


Mioma tumbuh keluar dinding uterus sehingga menonjol pada permukaan
uterus yang diliputi oleh serosa. Mioma subserosum dapat tumbuh
bertangkai menjadi polip yang kemudian dilahirkan melalui saluran
serviks (myomgeburi). Mioma subserosum dapat tumbuh diantara kedua
lapisan ligamentum latum menjadi mioma ligamenter (Wiknjosastro,
2007). Mioma yang tumbuh dibawah lapisan serosa uterus dan dapat
tumbuh ke arah luar dan juga bertungkai (Prawirohardjo, 2011).

2.3 EPIDEMIOLOGI
Mioma uteri merupakan tumor kandungan yang terbanyak pada organ
reproduksi wanita. Kejadiannya lebih tinggi antara 20% – 25 % terjadi pada
wanita diatas umur 35 tahun, tepatnya pada usia produktif seorang wanita,
menunjukkan adanya hubungan mioma uteri dengan estrogen (Sjamsuhidajat,
2010). Berdasarkan penelitian World Health Organisation (WHO) penyebab dari
angka kematian ibu karena mioma uteri pada tahun 2010 sebanyak 22 kasus
(1,95%) dan tahun 2011 sebanyak 21 kasus (2,04%). Di Indonesia kasus mioma
uteri ditemukan sebesar 2,39% -11,7% pada semua pasien kebidanan yang di
rawat. Mioma uteri lebih sering ditemukan pada wanita kulit hitam dibandingkan
wanita kulit putih. Data statistik menunjukkan 60% mioma uteri terjadi pada
wanita yang tidak pernah hamil atau hamil hanya satu kali (Handayani, 2013).

Di Indonesia sendiri kejadian mioma uteri ditemukan 3%-12% populasi.


Data epidemiologi menunjukkan faktor yang mempengaruhi munculnya mioma
adalah usia, ras, body mass index (BMI) genetic, faktor reproduktif, faktor
hormone sex,obesitas,gaya hidup diet seperti konsumsi alcohol,kafein dan
merokok, aktivitas fisik dan stress, faktor lingkungan dan riwayat penyakit
seperti hipertensi dan infeksi.(Prawirohardjo, 2009)

2.4 ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI


2.4.2 Etiologi Mioma Uteri
Etiologi Mioma Uteri masih belum diketahui sampai saat ini. Tumor ini
mungkin berasal dari sel otot yang normal yaitu dari otot imatur yang ada
didalam miometrium atau dari sel embrional pada dinding pembuluh darah
uterus. Mioma uteri yag mulai muncul dari benih-benih multipel yang sangat
kecil dan tersebar pada miometrium. Benih ini tumbuh sangat lambat tetapi
progresif, dibawah pengaruh hormone estrogen. Terdapat juga korelasi antara
pertumbuhan tumor dengan peningkatan reseptor estrogen-progesteron pada
jaringan mioma uteri, serta adanya faktor predisposisi yang bersifat herediter
dan faktor hormon pertumbuhan. Para ilmuwan telah mengidentifikasi
kromosom yang membawa 145 gen yang diperkirakan berpengaruh pada
pertumbuhan fibroid. Beberapa ahli mengatakan bahwa mioma uteri
diwariskan dari gen sisi paternal. Mioma biasanya membesar pada saat
kehamilan dan mengecil pada saat menopause, sehingga diperkirakan
dipengaruhi juga oleh hormon-hormon reproduksi seperti estrogen dan
progesteron. Selain itu juga jarang ditemukan sebelum menarche, dapat
tumbuh dengan cepat selama kehamilan dan kadang mengecil setelah
menopause.Adapun mortalitas jarang terjadi, namun morbiditas cukup tinggi
karena dapat menyebabkan nyeri perut, perdarahan abnormal dan kesuburan
rendah. (Bailliere, 2006)

Peran estrogen secara langsung dalam memicu pertumbuhan mioma uteri


atau memakai mediator masih menimbulkan perdebatan. Diketahui banyak
sekali mediator di dalam mioma uteri, seperti estrogen growth factor, insulin
growth factor-1, (IGF-1), connexin-43-Gapjunction protein dan marker
proliferasi.

2.4.3 Pengaruh hormon dalam pertumbuhan dan perkembangan mioma:

1) Estrogen

Estrogen pada mioma uteri dijumpai setelah menarche, seringkali terdapat


pertumbuhan tumor yang cepat selama kehamilan dan terapi estrogen
eksogen. Mioma uteri akan mengecil pada saat menopause dan dapat
diukan pengangkatan ovarium. Mioma uteri sendiri banyak ditemukan
bersamaan dengan anovulasi ovarium dan wanita dengan sterilitas. Selama
fase sekretorik, siklus menstruasi dan kehamilan, jumlah reseptor estrogen
di miometrium normal berkurang. Pada mioma uteri, reseptor estrogen
dapat ditemukan sepanjang siklus menstruasi tetapi ekskresi reseptor
tersebut tertekan selama kehamilan sehingga sekresi estrogen lebih
banyak.

2) Progesteron
Reseptor progesteron terdapat di miometrium dan mioma sepanjang siklus
menstruasi dan kehamilan. Progesteron merupakan antagonis natural dari
estrogen. Progesteron menghambat pertumbuhan mioma dengan dua cara
yaitu: Mengaktifkan 17-Beta hidroxydesidrogenase dan menurunkan
jumlah reseptor estrogen pada mioma.

3) Growth hormone

Growth hormone menurun selama kehamilan, tetapi hormon yang


mempunyai struktur dan aktivitas biologik serupa, terlihat pada periode ini
memberi kesan bahwa pertumbuhan yang cepat dari mioma selama
kehamilan mungkin merupakan hasil dari kompensasi antara hormon
pertumbuhan dan estrogen. Mioma uteri juga menciptakan kondisi
lingkungan hiperestrogen, yang diperlukan oleh jaringan mioma untuk
mempertahankan pertumbuhannya.

Faktor predisposisi hiperesterogen :

1) Dibandingkan dengan jaringan miometrium normal, mioma terdiri dari


densitas reseptor estrogen yang lebih banyak, sehingga estradiol yang
terikat akan lebih banyak pula.

2) Mioma uteri dibanding jaringan miometrium normal mengubah lebih


sedikit estradiol menjadi estrone, estrogen dengan bentuk yang lebih
lemah.

3) Mekanisme ketiga ditemukan oleh Bulun dkk, yang melibatkan


peningkatan kadar sitokrom P450 aromatase pada mioma uteri
dibandingkan sel normal, dimana sitokrom ini mengkatalisasi konversi
androgen menjadi estrogen didalam jaringan.

2.5 Patofisiologi Myoma Uteri

Penyebabnya tidak dapat ditemukan pasti, namun tumor jnak ini jarang
sekali ditemukan sebelum usia pubertas, sangat dipengaruhi hormone
reproduksi.
Hormonal.Progesteron menghambat pertumbuhan mioma pada model
hewan yang menghasilkan perubahan yang degenerative, beberapa kasus baru
menyebutkan bahwasanya progesterone itu sendiri memiliki peranan penting
dalam pertumbuhan dan perkembangan mioma. Marua et, al menunjukkan
bahwasanya Bcl-2 (Limfoma sel beta-2) proto-onkogen merupakan gen seluler
yang unik yang dalam kemampuannya dapat memblokir kematian sel itu sendiri
dan dapat ditemukan dalam mioma dengan jumlah yang lebih banyak. BCL-2
sangat banyak diekspresikan dalam mioma yang diperoleh pada saat fase
menstruasi dibandingkan pada masa proliferative sehingga kadar progesterone
meningkat. mRNA gen reseptor protein Bcl-2 pada kasus ini mengekspresikan
secara berlebihan sehingga kematian sel tidak terjadi. Konsentrasi reseptor
esterogen dalam jaringan mioma juga lebih tinggi dibandingkan myometrium
sekitarnya, tetapi lebih rendah dibandingkan dengan endometrium.

Lingkungan yang hiperestrogenik. Leiomyoma mampu untuk


menyesuaikan daerah sekitarnya untuk menunjang pertumbuhannya, yakni
dengan membuat lingkungan sekitarnya menjadi hiperestrogen. Caranya pertama
ialah, bila dibandingkan dengan jaringan myometrium normal, diketahui bahwa
myoma mengandung lebih banyak reseptor estrogen, hal ini berakibat
pengikatan estradiol yang juga meningkat. Kedua, tumor ini lebih sedikit dalam
mengubah estradiol menjadi estrone yang lebih lemah efeknya. Mekanisme
ketiganya yakni dengan tingginya kadar sitokrom P450 aromatasi pada myoma
bila dibanding kan dengan normal miosit,sementara diketahui efek enzim ini
ialah katalisasi perubahan androgen menjadi estrogen. Hal ini tentunya sangat
berkaitan dengan kondisi faktor risiko dari pasien sendiri, bila seseorang
mengalami menarche lebih awal, atau mengidap obesitas, ataupun PCOS, hal-
hal tersebut akan meningkatkan kadar estrogen yang ada, dengan begitu
meningkatkan kemungkinan pertumbuhan myoma di kemudian hari. (Hoffman,
B.L, dkk. 2016).

Growth Factors/Faktor Pertumbuhan. Mioma tumbuh secara sinergistik


dengan peran beberapa faktor pertumbuhan, diantaranya ialah EGF (Epidermal
Growth factor) yang berperan meningkatan sintesis DNA pada sel-sel mioma,
IGF ( Insulin Like Growth Factor) yang berperan meningkatkan proliferasi sel
mioma, serta VEGF (vascular endothelial growth factor) yang memicu
angiogenesis pada mioma. (Valle R.F et Ekpo. G.E. 2015) Pada dasarnya, mioma
uteri adalah tumor yang bersifat parasit, dimana tumor ini meminjam
vaskularisasi dari struktur disekitarnya, terutama myometrium. Sementara
diketahui bahwa vaskularisasi endometrium berasal dari arteri uterine yang
kemudian menjadi arteri arkuata dan radialis serta menyebrangi myometrium
untuk menjadi arteri spiralis yang menvaskularisasi endometrium. Gangguan
pada perjalanan vaskularisasi ini oleh karena kehadiran mioma dapat
menyebabkan pembengkakan dan dilatasi vena, hal ini mengganggu siklus
normal dari endometrium, dan menimbulkan gejala seperti perdarahan yang
abnormal (baik dari volume, durasi, maupun siklus), serta menggangu fungsi
normal endometrium. Keberadaan mioma submucosa juga meningkatkan lapisan
endometrium, serta memungkinkan adanya kesulitan hemostasis baik pada
endometrium maupun myometrium bila terjadi perdarahan. (Valle R.F et Ekpo.
G.E. 2015)

Gambar 3. Skema vaskularisasi normal uterus. Sumber: Valle R.F et Ekpo. G.E. 201
2.6. GEJALA KLINIS MIOMA UTERI

Keluhan yang diakibatkan oleh mioma uteri sangat tergantung dari lokasi,
arah pertumbuhan, jenis, besar dan jumlah mioma. Hanya dijumpai pada 20-50%
saja mioma uteri menimbulkan keluhan, sedangkan sisanya tidak mengeluh
apapun. Hipermenore, menometroragia adalah merupakan gejala klasik dari
mioma uteri. Dar ipenelitian multisenter yang dilakukan pada 114 penderita
ditemukan 44% gejala perdarahan, yang paling sering adalah jenis mioma
submukosa, sekitar 65% wanita dengan mioma mengeluh dismenore, nyeri perut
bagian bawah, serta nyeri pinggang. Tergantung dari lokasi dan arah pertumbuhan
mioma, maka kandung kemih, ureter, dan usus dapat terganggu, dimana peneliti
melaporkan keluhan disuri (14%), keluhan obstipasi (13%). Mioma uteri sebagai
penyebab infertilitas hanya dijumpai pada 2-10% kasus. Infertilitas terjadi sebagai
akibat obstruksi mekanis tuba falopii. Abortus spontan dapat terjadi bila mioma
uteri menghalangi pembesaran uterus, dimana menyebabkan kontraksi uterus yang
abnormal, dan mencegah terlepas atau tertahannya uterus di dalam
panggul(Goodwin,2009).

a) Massa di Perut Bawah : Penderita mengeluhkan adanya massa atau benjolan


di perut bagian bawah.
b) Perdarahan Abnormal : Sebagian besar wanita dengan mioma uteri
mengalami kelainan menstruasi, menoragia atau menstruasi yang lebih
sering. Tidak ditemukan bukti yang menyatakan perdarahan ini
berhubungan dengan peningkatan luas permukaan endometrium atau kerana
meningkatnya insidens disfungsi ovulasi. Miometrium merupakan wadah
bagi faktor endokrin dan parakrin dalam mengatur fungsi endometrium.
Aposisi kedua jaringan ini dan aliran darah langsung dari miometrium ke
endometrium memfasilitasi interaksi ini. Growth factor yang merangsang
stimulasi angiogenesis atau relaksasi tonus vaskuler dan yang memiliki
reseptor pada mioma uteri dapat menyebabkan perdarahan uterus abnormal
dan menjadi target terapi potensial. Sebagai pilihan, berkurangnya
angiogenik inhibitory factor atau vasoconstricting factor dan reseptornya
pada mioma uteri dapat juga menyebabkan perdarahan uterus yang
abnormal

c) Nyeri Perut : Gejala nyeri tidak khas untuk mioma, walaupun


sering terjadi. Hal ini timbul karena gangguan sirkulasi darah pada sarang
mioma yang disertai dengan nekrosis setempat dan peradangan. Pada
pengeluaran mioma submukosa yang akan dilahirkan, pada pertumbuhannya
yang menyempitkan kanalis servikalis dapat menyebabkan dismenorrhoe.
Dapat juga rasa nyeri disebabkan karena torsi mioma uteri yang bertangkai.
Dalam hal ini sifatnya akut, disertai dengan rasa nek dan muntah-muntah.
Pada mioma yang sangat besar, rasa nyeri dapat disebabkan karena tekanan
pada urat syaraf yaitu pleksus uterovaginalis, menjalar ke pinggang dan
tungkai bawah (Pradhan, 2006).

d) PressureEffects: Pembesaran mioma dapat menyebabkan adanya efek


tekanan pada organ-organ di sekitar uterus. Gejala ini merupakan gejala
yang tak biasa dan sulit untuk dihubungkan langsung dengan mioma.
Penekanan pada kandung kencing, pollakisuria dan dysuria. Bila uretra
tertekan bisa menimbulkan retensio urinae. Bila berlarut-larut dapat
menyebabkan hydroureteronephrosis. Tekanan pada rectum tidak begitu
besar, kadang-kadang menyebabkan konstipasi atau nyeri saat defekasi.

e) Penurunan Kesuburan dan Abortus : Hubungan antara mioma uteri


sebagai penyebab penurunan kesuburan masih belum jelas. Dilaporkan
sebesar 27-40% wanita dengan mioma uteri mengalami infertilitas.
Penurunan kesuburan dapat terjadi apabila sarang mioma menutup atau
menekan pars interstisialis tuba, sedangkan mioma submukosa dapat
memudahkan terjadinya abortus karena distorsi rongga uterus. Perubahan
bentuk kavum uteri karena adanya mioma dapat menyebabkan disfungsi
reproduksi. Gangguan implasntasi embrio dapat terjadi pada keberadaan
mioma akibat perubahan histologi endometrium dimana terjadi atrofi karena
kompresi massa tumor (Stoval, 2001). Apabila penyebab lain infertilitas
sudah disingkirkan dan mioma merupakan penyebab infertilitas tersebut,
maka merupakan suatu indikasi untuk dilakukan miomektomi (Strewart,
2001).
2. 6 DIAGNOSIS & DIAGNOSIS BANDING

A.Anamnesis
Dalam anamnesis terdapat keluhan utama serta gejala klinis mioma lainnya,
faktor risiko serta kemungkinan komplikasi yang terjadi. Biasanya teraba
massa menonjol keluar dari jalan lahir yang dirasakan bertambah panjang
serta adanya riwayat perdarahan pervaginam terutama pada wanita usia 40-
an. (Hart, 2000). Selain itu juga didapatkan nyeri panggul, gangguan
berkemih jika tumor berukuran besar, dan disfungsi reproduksi. (Hadibroto,
2005)

B. PemeriksaanFisik

Mioma uteri mudah ditemukan melalui pemriksaan bimanual rutin uterus.


Diagnosis mioma uteri menjadi jelas bila dijumpai gangguan kontur uterus
oleh satu atau lebih massa yang licin, tetapi sering sulit untuk memastikan
bahwa massa seperti ini adalah bagian dari uterus.

C. Pemeriksaan penunjang

a) Temuan Laboratorium

Anemia merupakan akibat paling sering dari mioma. Hal ini disebabkan
perdarahan uterus yang banyak dan habisnya cadangan zat besi. Kadang-
kadang mioma menghasilkan eritropoetin yang pada beberapa kasus
menyebabkan polisitemia. Adanya hubungan antara polisitemia dengan
penyakit ginjal diduga akibat penekanan mioma terhadap ureter yang
menyebabkan peninggian tekanan balik ureter dan kemudian menginduksi
pembentukan eritropoietin ginjal.

b) Imaging

USG ( Ultrasonografi ) transabdominal dan transvaginal bermanfaat


dalam menetapkan adanya mioma uteri. Ultrasonografi transvaginal terutama
bermanfaat pada uterus yang kecil. Uterus atau massa yang paling besar baik
diobservasi melalui ultrasonografi transabdominal. Mioma uteri secara khas
menghasilkan gambaran ultrasonografi yang mendemonstrasikan irregularitas
kontur maupun pembesran uterus.

Histeroskopi. Histerokopi digunakan untuk melihat adanya mioma uteri


submukosa, jika mioma kecil serta bertangkai. Mioma tersebut sekaligus
dapat diangkat.

MRI ( Magnetic Resonance Imaging ) sangat akurat dalam


menggambarkan jumlah, ukuran, dan likasi mioma tetapi jarang diperlukan.
Pada MRI, mioma tampak sebagai massa gelap berbatas tegas dan dapat
dibedakan dari miometrium normal. MRI dapat mendeteksi lesi sekecil 3 mm
yang dapat dilokalisasi dengan jelas, termasuk mioma (Goodwin, 2009).
Untuk penyebab lain dari massa abdominopelvic pada seorang wanita di usia
reproduksi perlu dipertimbangkan. Rahim yang membesar dengan mioma
uteri biasanya kencang kontrasnya dengan uterus yang membesar dengan
kehamilan. Tumor ovarium, baik jinak atau ganas, primer atau sekunder,
dapat membesar untuk menempati panggul dan secara klinis sulit dibedakan
dari mioma uterus. Leiomyosarcomas biasanya hadir dengan riwayat massa
abdominopelvic yang membesar dengan cepat. Mungkin ada mobilitas rahim
yang kurang dari yang diharapkan dengan mioma uteri dan tanda-tanda
umum penurunan berat badan.
2.7 TATALAKSANA MIOMA UTERI

1. Konservatif
Penderita dengan mioma kecil serta tanpa gejala, tidak memerlukan
pengobatan, namun harus diawasi perkembangan tumornya. Jika mioma
lebih besar dari kehamilan 10-12 minggu, tumor yang berkembang cepat,
terjadi torsi pada tangkai, perlu diambil tindakan operasi.
2. Medikamentosa
Pada penelitian yang dilakukan Verala pada tahun 2003 menunjukkan
bahwa tidak ada terapi yang dapat memperkecil volume atau
menghentikan pertumbuhan mioma uteri pada saat ini. Penggunaan terapi
medikamentosa masih merupakan terapi tambahan atau terapi pengganti
sementara dari operatif. Preparat yang selalu digunakan untuk terapi
medikamentosa adalah analog GnRHa (Gonadotropin Realising Hormon
Agonis), progesteron, danazol, gestrinon, tamoksifen, goserelin,
antiprostaglandin, agen-agen lain seperti gossypol dan amantadine.
Sedangkan pada penelitian yang dilakukan oleh Baziad pada tahun 2003
menytakan bahwa dari pemberian GnRH agonis selama 6 bulan pada
pasien mioma uteri didapati adanya pengurangan volume mioma sebesar
44%. Terapi hormonal lainnya seperti kontrasepsi oral dan preparat
progesterone akan mengurangi gejala perdarahan uterus yang abnormal
namun tidak dapat mengurangi ukuran dari mioma.

3. Operatif

Pengobatan operatif meliputi miomektomi, histerektomi dan


embolisasi arteri uterus.

Miomektomi, adalah pengambilan mioma saja tanpa pengangkatan uterus.


Tindakan ini dilakukan pada wanita yang ingin mempertahankan fungsi
reproduksinya. Teknik miomektomi dapat dilakukan dengan laparatomi,
histereskopi, dan laparoskopi. Teknik histereskopi dapat dikerjakan
misalnya pada mioma submukosa dengan cara ekstirpasi lewat vagina.
Laparaskopi dilakukan pada mioma yng bertangkai di luar kavum uteri
seperti mioma subserosa. Sedangkan pada mioma intramural dikerjakan
dengan laparatomi. (Hadibroto, 2005)

Histerektomi adalah pengangkatan uterus, yang umumnya tindakan


terpilih. Indikasi dipilihnya tindakan ini jika didapati keluhan perdarahan
pervaginam dalam jumlah banyak, keluhan dalam sistem urinaria, dan
ukuran uterus sebesar usia kehamilan 12 – 14 minggu. Seperti halnya
miomektomi, histerektomi juga dapat dilakukan dengan beberapa teknik
operasi antara lain laparatomi, laparoskopi, dn histereskopi. (Hadibroto,
2005) Embolisasi arteri uterus (Uterin Artery Embolization / UAE),
adalah injeksi arteri uterina dengan butiran polyvinyl alkohol melalui
kateter yang akan menghambat aliran darah ke mioma yang kemudian
menyebabkan nekrosis. Nyeri setelah UAE lebih ringan daripada setelah
pembedahan mioma dan pada UAE tidak dilakukan insisi serta waktu
penyembuhannya yang cepat (Swine, 2009).

2.8 PROGNOSIS

Pada dasarnya, mioma uteri ialah tumor jinak. Tumor ini tidak memiliki
kapsul sesungguhnya, sehingga jaringannya muda dibebaskan dari
myometrium sekitar. Hal ini memungkinkan terapi secara operatif.
(Prawirohardjo, Sarwono,dkk. 2010). Kejadian rekurensi setelah dilakukan
miomektomi ialah 40-50% (Hoffman, B.L, dkk. 2016). Pasien diedukasi
bahwa mioma uteri merupakan tumor jinak pada otot rahim. Tumor ini
terjadi pada perempuan usia produktif, dan sangat dipengaruhi kondisi
hormonal. Tumor ini dapat menimbulkan gejala berupa benjolan, nyeri
saat haid, perdarahan uteri abnormal, infertilitas, serta berbagai gejala
lainnya. Modalitas terapi pada kondisi ini dapat secara konservatif,
medikamentosa, maupun operatif, bergantung pada ukuran tumor, serta
dampak klinis tumor terhadap kehidupan pasien. Pasien di-edukasi untuk
mengurangi konsumsi alcohol dan kafein, serta menurunkan berat badan
(apabila berlebih).
2.9 KOMPLIKASI MIOMA UTERI

– Perdarahan berulang dengan volume berlebih (terutama pada mioma


submucosa) dapat menyebabkan anemia defisiensi besi.
(Prawirohardjo, Sarwono,dkk. 2010).
– Transformasi kearah keganasan yakni menjadi miosarkoma (pada 0,1 –
0,5% penderita). (Prawirohardjo, Sarwono,dkk. 2010).

– Infertilitas

– Abortus spontan berulang (Penekanan mioma terhadap kavum uteri


memicu his, gangguan pada vaskularisasi ke plasenta), dimana 40%
dari perempuan dengan mioma dapat mengalami abortus spontan,
sementara populasinya dapat berkurang sampai dengan 50% apabila
dilakukan myomectomy). (Valle R.F et Ekpo. G.E. 2015)

– Gejala penekanan (nyeri pinggang, obstruksi saluran cerna oleh karena


perlekatan parasitic mioma terhadap omentum, gangguan BAK oleh
karena penekanan pada ureter maupun kandung kemih).
(Prawirohardjo, Sarwono,dkk. 2010).

– Torsio pada mioma geburt (mioma submucosa bertangkai) yang dapat


menyebabkan nekrosis jaringan, hal ini mengakibatkan nyeri abdomen
akut disertai kemungkinan infeksi lebih lanjut. (Prawirohardjo,
Sarwono,dkk. 2010).

– Leiomyomatosis (Myoma ekstra uteri yang bersifat infiltratif).


Jenisnya ada intravenous leiomyomas (menyebar ke vena uterine,
pelvis, vena cava, bahkan ke bilik2 jantung), benign metastasizing
leiomyomas (penyebaran secara hematogen ke paru, lymphnodes, otak,
tulang), dan disseminated peritoneal leiomyomas (berupa nodul
peritoneum multiple atau pada permukaan organ abdomen). (Hoffman,
B.L, dkk. 2016).
3.KEHAMILAN DENGAN MYOMA UTERI

Mioma uteri pada kehamilan merupakan kejadian penyulit kehamilan yang serius.
Sering dijumpai pada wanita usia reproduktif dan dikaitkan dengan komplikasi
kehamilan yang akan menyebabkan prognosis kehamilan memburuk. Pada
beberapa kasus tidak menimbulkn masalah kepada bayi maupun ibu. Namun,
kebanyakan kasus berakhir dengan masalah seperti aborsi, persalinan prematur,
disfungsi uterus, partus lama, malpresentasi, malposisi dan lainnya. Komplikasi
mioma uteri pada kehamilan dapat muncul pada antenatal, intrapartum atau masa
puerperium.4Ukuran mioma dan lokasi mioma dapat menjadi penyebab
dilakukannya kelahiran dengan cara operasi sesar. Walaupun banyak kemajuan
signifikan pada terapi mioma secara bedah dan non-bedah, penanganan mioma
pada seksiosesaria (CS; cesareansection) masih menjadi suatu kontroversi.
Miomektomi merupakan tindakan pembedahan yang biasanya tidak
dilakukan saat operasi sesar. Pada umumya ahli kandungan menghindari
miomektomi pada kehamilan maupun operasi sesar dikarenakan ketakutan akan
perdarahan yang sulit dihentikan. Hanya ada sedikit penelitian mengenai
miomektomi rutin pada operasi sesar. Disamping itu semua, beberapa studi
menunjukkan metode ini sangat efektif dan aman karena tidak berkaitan dengan
jumlah perdarahan yang banyak maupun kompikasi. Laporan terbaru juga
mengindikasikan bahwa miomektomi pada saat operasi sesar dapat dilakukan
secara aman.
Mioma yang kurang dari 5 cm dalam diameter umumnya tetap stabil atau
bahkan mengecil seiring tuanya usia kehamilan. Mioma dengan ukuran yang lebih
besar dari 5 cm seringnya akan membesar selama kehamilan. Resiko kehamilan
akan semakin meningkat seiring dengan bertambahnya ukuran. Komplikasi
fibroid yang telah dilaporkan pada kehamilan meliputi perdarahan postpartum
(PPH), malposisi fetus, akut abdomen, laparotomi, kelahiran prematur, retensi
plasenta dan gangguan pertumbuhan intrauterin. Faktor yang paling penting dalam
menentukan morbiditas pada kehamilan dengan mioma meliputi jumlah mioma,
ukuran, lokasi dan hubungannya dengan implantasi plasenta semakin dekat letak
mioma dengan implantasi plasenta juga menjadi faktor yang penting. Secara
spesifik kejadian abortus, persalinan preterm, abrupsi plasenta dan perdarahan
postpartum akan meningkat apabila plasenta berdekatan atau berimplantasi pada
mioma.
3.1 TATALAKSANA MIOMA UTERI PADA KEHAMILAN

Diet. Pemilihan makanan dinilai harus lebih selektif, pasalnya makanan


yang dinilai lebih aman adalah makanan organik pasalnya akhir-akhir ini banyak
sekali penggunaan daging dengan penyuntikan hormonal.

Aktivitas fisik. Perempuan dengan aktivitas fisik yang lebih sering maka
esterogennya lebih rendah.

Nyeri. Nyeri akibat penekanan myoma uteri dapat diberikan obat preventif
yaitu acetaminophen 25mg/kgbb

Perdarahan. Perdarahan yang terjadi dapat diberikan As tranexamat,


apabila didpatkan hb < 8 maka dapat ditransfusi dengan PRC hingga hb >

3.2 PENGGUNAAN KONTRASEPSI

Penggunaan kontrasepsi yang disarankan yaitu Long acting progestin only


(depot medroxyprogesterone) di Indonesia memiliki kontrasepsi oral dengan
berisi progestin saja yaitu mini pill, pada beberapa penelitian menyebutkan bawa
kontrasepsi oral dapat mempengaruhi aksi sinergis hormonal pada kehamilan
namun penggunaan oral pil dinilai lebih aman pasalnya penggunaan IUD dapat
memperparah pendarahan yang disebabkan oleh penekanan myoma uteri.
DAFTAR PUSTAKA

Achadiat CM. 2004. Prosedur Tetap Obstetri dan Ginekologi. Jakarta: EGC, pp:
94-97.

Bziad A. 2003. Endokrinologi ginekologi. Edisi kedua. Medi Aesculapius, Jakarta,


p : 151 – 157

Djuwantono T. 2004. Terapi GnRH agonis sebelum histerektomi. Mioma:


Farmacia 3:38-41.

Donnez J, et Dolmans M.M. 2016. Uterine Fibroid Management : from the


present to the future. Human Reproduction Update, Vol.22, No.6 pp. 665–
686, 2016. https://doi.org/10.1093/humupd/dmw023 [online].

Fradhan P, Acharya N, Kharel B. 2006. Uterine myoma: a profile of nepalese


women. NJ Obstet Gynaecol 1(2) : 47-50.

Ganong, William F. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 2. Jakarta: EGC.

Goodwin SC, Spies TB. 2009. Uterin fibroid embolization. 361: 690-697.

Gross K, Morton C. 2001. Genetic and development of fibroid. 44: 355- 349.

Hadibroto B. 2005. Mioma Uteri. Majalah Kedokteran Nusantara, (38) : 3

Hart MD, McKay D. 2000. Fibroids in Gynecology Ilustrated. London : Churchill


Livingstone.

Harvard Health Publishing . 2011. Fibroids. Health.Harvard.edu. [online]. Dapat


diakses di https://www.health.harvard.edu/a_to_z/fibroids-a-to-z. (Diakses
pada 31 desember 2019)

Hoffman, B.L, dkk. 2016. Williams Gynecology Third Edition. Amerika Serikat:
McGraw-Hill Education.

Joedosapoetro MS. 2005. Ilmu Kandungan Edisi Kedua. Jakarta: Yayasan Bina
Pustaka, pp: 38-41.

Penault, F., et al (2003). Diagnosis and Management of Ovarian Disorders.USA:


Elsevier Science

Pitkin J, Peattie AB, Magowa BA, (2003). Obstetricas and Gynaecology and
Illustrated Colour Text. London: Churchill Livingstone
Prawirohardjo, Sarwono. 2011. Ilmu Kandungan. Edisi Ketiga. Jakarta: PT Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

Prawirohardjo, Sarwono,dkk. 2010. Ilmu Kebidanan. Jakarta: PT Bina Pustaka

Saifuddin AB.Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal.


Jakarta:EGC. 2009.

Valle R.F et Ekpo. G.E. 2015. Pathophysiology of Uterine Myomas and Its
Clinical Implications. Springer International Publishing Switzerland. A.
Tinelli, A. Malvasi (eds.), Uterine Myoma, Myomectomy and Minimally
Invasive Treatments, DOI 10.1007/978-3-319-10305-1_1.

Anda mungkin juga menyukai