CEDERA KEPALA
CEDERA KEPALA
i
HALAMAN PENGESAHAN
CEDERA KEPALA
Disusun Oleh :
Arrinalhaq Andre Sondakh, S.Ked
G1A218053
Universitas Jambi
Pembimbing
ii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah Case Report Session
(CRS) yang berjudul “Cedera Kepala” sebagai salah satu syarat menyelesaikan
Kepaniteraan Klinik Senior Bagian Ilmu Bedah di Rumah Sakit Umum Daerah
Raden Mattaher Provinsi Jambi.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Rhonaz Putra Agung, Sp.BS
yang telah bersedia meluangkan waktu dan pikirannya untuk membimbing penulis
selama menjalani Kepaniteraan Klinik Senior Bagian Ilmu Bedah di Rumah Sakit
Umum Daerah Raden Mattaher Provinsi Jambi.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada makalah Case
Report Session (CRS) ini, sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran untuk
menyempurnakan makalah ini. Penulis mengharapkan semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi penulis sendiri dan pembaca.
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN....................................................................... ii
KATA PENGANTAR................................................................................... iii
DAFTAR ISI.................................................................................................. iv
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................. 1
BAB II LAPORAN KASUS
2.1 Identitas Pasien............................................................................. 2
2.2 Anamnesis..................................................................................... 2
2.3 Pemeriksaan Fisik......................................................................... 3
2.4 Pemeriksaan Penunjang................................................................ 7
2.5 Diagnosis Kerja............................................................................. 7
2.6 Penatalaksanaan............................................................................ 8
2.7 Prognosis....................................................................................... 8
BAB III TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Anatomi Kepala.......................................................................... 9
3.1.1 Kulit Kepala..................................................................... 9
3.1.2 Tulang Tengkorak............................................................ 10
3.1.3 Meningens................................................................... 11
3.1.4 Otak............................................................................. 13
3.1.5 Cairan Cerebrospinal.................................................... 16
3.1.6 Vaskularisasi Otak....................................................... 16
3.2 Fisiologi Otak........................................................................ 17
3.2.1 Tekanan Intrakranial.................................................... 17
3.2.2 Doktrin Monroe-Kellie................................................. 18
3.2.3 Tekanan Perfusi Otak.................................................... 18
3.2.4 Aliran Darah Otak........................................................ 18
3.3 Cedera Kepala........................................................................ 19
3.3.1 Definisi....................................................................... 19
3.3.2 Epidemiologi.................................................................... 19
3.3.3 Etiologi...................................................................... 20
3.3.4 Patofisiologi.................................................................. 20
3.3.5 Klasifikasi..................................................................... 21
3.3.6 Anamnesis................................................................... 29
3.3.7 Pemeriksaan Fisik........................................................... 30
3.3.8 Pemeriksaan Penunjang..................................................... 34
3.3.9 Penatalaksanaan................................................................ 35
3.3.10 Komplikasi.................................................................. 42
3.3.11 Prognosis.................................................................... 44
BAB IV ANALISIS KASUS.................................................................. 45
BAB V KESIMPULAN............................................................................ 46
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 47
iv
BAB I
PENDAHULUAN
Cedera kepala atau yang disebut dengan trauma kapitis adalah ruda paksa
tumpul/tajam pada kepala atau wajah yang berakibat disfungsi cerebral sementara.
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama
pada kelompok usia produktif, dan sebagian besar karena kecelakaan lalu lintas.
Hal ini diakibatkan karena mobilitas yang tinggi di kalangan usia produktif
sedangkan kesadaran untuk menjaga keselamatan di jalan masih rendah,
disamping penanganan pertama yang belum benar, serta rujukan yang
terlambat.1,2
Di Indonesia kajadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai
500.000 kasus. Dari jumlah diatas, 10% penderita meninggal sebelum tiba di
rumah sakit. Dari pasien yang sampai di rumah sakit, 80% dikelompokan sebagai
cedera kepala ringan, 10 % termasuk cedera sedang, dan 10 % termasuk cedera
kepala berat.1,2
Cedera kepala merupakan keadaan yang serius, sehingga diharapkan para
dokter mempunyai pengetahuan praktis untuk melakukan pertolongan pertama
pada penderita. Tindakan pemberian oksigen yang adekuat dan mempertahankan
tekanan darah yang cukup untuk perfusi otak dan menghindarkan terjadinya
cedera otak sekunder merupakan pokok-pokok tindakan yang sangat penting
untuk keberhasilan kesembuhan penderita. Sebagai tindakan selanjutnya yang
penting setelah primary survey adalah identifikasi adanya lesi masa yang
memerlukan tindakan pembedahan, dan yang terbaik adalah pemeriksaan dengan
CT Scan kepala.1,2
Pada penderita dengan cedera kepala ringan dan sedang hanya 3% -5% yang
memerlukan tindakan operasi kurang lebih 40% dan sisanya dirawat secara
konservatif. Prognosis pasien cedera kepala akan lebih baik bila penatalaksanaan
dilakukan secara tepat dan cepat.1,2
1
BAB II
LAPORAN KASUS
2.2 Anamnesis
a. Keluhan Utama
Nyeri kepala setelah kecelakaan lalu lintas sejak ± 1 jam SMRS.
2
e. Riwayat Sosial Ekonomi
Os bekerja sebagai ibu rumah tangga.
3
Perkusi : Batas jantung dbn
Auskultasi : BJ 1/II normal, murmur (-), gallop (-)
Abdomen :
Inspeksi : Supel, simetris, tidak ada kelainan kulit
Auskultasi : BU (+) normal
Palpasi : Nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : Timpani (+)
Ekstremitas :
Superior : Edema (-), akral hangat, CRT < 2 detik
Inferior : Edema (-), akral hangat, CRT < 2 detik
Pemeriksaan Neurologis
Tanda Rangsang Meningeal
Kaku Kuduk : -
Brudzinski I : -
Brudzinski II : -
Kanan Kiri
Laseque : >70˚ >70˚
Laseque menyilang : - -
Kernig : >135˚ >135˚
Peningkatan tekanan intrakranial
Penurunan kesadaran (-)
Pupil anisokor (-)
Trias cushing (-)
Saraf kranialis
N.I : Normosmia +/+
N.II :
- Acies visus : Normal
- Campus visus : Normal
- Tes buta warna : Normal
- Funduskopi : Tidak dilakukan
N.III ; N.IV ; N.VI :
Kedudukan bola mata : Ortoforia - Ortoforia
4
Pergerakan bola mata :
- Nasal : Normal
- Temporal : Normal
- Atas : Normal
- Bawah : Normal
- Temporal bawah : Normal
Eksoftalmus : -/-
Nistagmus : -/-
Ptosis : -/-
Pupil
- Bentuk : Bulat / bulat
- Diameter : 3 mm / 3 mm
- RC direct : +/+
- RC indirect : +/+
- Reaksi akomodasi : Normal
- Reaksi konvergensi : Normal
N.V :
Cabang motorik
- Membuka mulut : Baik
- Menggerakkan rahang : Baik
- Jaw refleks : Baik
Cabang sensorik oftalmikus : Baik/ Baik
Cabang sensorik maksilaris : Baik/ Baik
Cabang sensorik mandibularis : Baik/ Baik
N.VII :
Motorik orbitofrontal : Kesan parese (-)
Motorik orbikularis okuli : Kesan parese (-)
Motorik orbikularis oris : Kesan parese (-)
Chovstek : Negatif
Pengecapan lidah
- Manis : Baik
- Asin : Baik
5
- Asam : Baik
- Pahit : Baik
N.VIII :
Vestibular
- Vertigo : Negatif
- Nistagmus : -/-
Cochlear
- Test Rinne : +/+ (tuli sensorineural -)
- Webber : Lateralisasi - (tuli konduktif -)
- Schwabach : Sama dengan pemeriksa
N.IX ; N.X :
Motorik : Baik/baik
Sensorik : Baik/baik
N.XI :
Mengangkat bahu : Baik/baik
Menoleh : Baik/baik
N.XII :
Pergerakan lidah : Lidah di tengah
Atrofi :-
Fasikulasi :-
Tremor :-
Refleks fisiologis
Kornea : +/+
Biseps : N/N
Triseps : N/N
Kremaster : Tidak dilakukan
Patella : N/N
Tumit : N/N
Fissura ani : Tidak dilakukan
Refleks patologis
Hofman Trommer : -/-
Babinski : -/-
6
Oppenheim : -/-
Gordon : -/-
Schaefer : -/-
Chaddock : -/-
7
2.6 Penatalaksanaan
O2 2-4 liter
IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
Inj Kalnex 3x250 mg
Inj Ketorolac 3x1 amp
Inj ATS 1500 IU
Inj Ceftriaxon 1x2 gr
Tindakan operasi : Debridement
2.7 Prognosis
Quo ad Vitam : bonam
Quo ad Fungtionam : bonam
8
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
9
anak-anak atau penderita dewasa yang cukup lama terperangkap
sehingga membutuhkan waktu lama untuk mengeluarkannya.
10
3.1.3 Meningens
Merupakan selaput atau membrane yang terdiri dari connective tissue yang
melapisi dan melindungi otak, terdiri dari tiga bagian yaitu:
a. Duramater
Duramater, secara embriologi berasal dari mesoderm. Terletak paling
luar, terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan luar (lapisan periosteal) langsung
melekat pada endosteum tabula interna dan lapisan dalam (lapisan
meningeal). Duramater merupakan selaput yang keras,terdiri atas jaringan
ikat fibrosa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena
tidak melekat pada selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu
ruang potensial (ruang subdura) yang terletak antara duramater dan
arachnoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural.3,4
Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada
permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut
Bridging Vein, dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan
subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus
transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat
mengakibatkan perdarahan hebat. Diperdarahi oleh arteri meningea anterior,
media, dan posterior. Masing-masing merupakan cabang dari arteri
opthtalmika untuk yang anterior, arteri carotis eksterna untuk yang media,
dan arteri vertebralis untuk yang posterior.3,4
Arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari
kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat
menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan menyebabkan perdarahan
epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea
media yang terletak pada fosa temporalis.3,4
b. Arakhnoid
Arakhnoid, secara embriologi berasal dari ektoderm. Terletak tepat
dibawah duramater. Lapisan ini merupakan lapisan avaskuler, mendapatkan
nutrisi dari CSS (Cairan Serebospinal). Ke arah dalam, lapisan ini memiliki
11
banyak trabekula yang melekat pada lapisan epipial dari piamater. Selaput
ini dipisahkan dari duramater oleh ruang potensial, disebut spatium
subdural, dan dari piamater oleh spatium subarakhnoid yang terisi oleh
liquor serebrospinalis. Perdarahan subarakhnoid umumnya disebabkan
akibat cedera kepala.3,4
c. Pia Mater
Pia mater secara embriologis dan histologis sama dengan arachnoid,
hanya pada lapisan ini sel-selnya tidak saling tumpang tindih. Terdiri dari
dua lapisan yaitu lapisan epipial (luar) dan lapisan pia-glia (dalam). Melekat
erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater adalah membrana vaskular
yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk ke dalam
sulci yang paling dalam. Membrana ini membungkus saraf otak dan
menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk ke dalam
substansi otak juga diliputi oleh pia mater.3,4
12
3.1.4 Otak
Otak adalah salah satu organ terpenting dari manusia. Merupakan pusat dari
sistem syaraf yang berfungsi mengatur gerakan, perilaku dan fungsi
tubuh homeostasis serta melatih emosi emosi, ingatan dan motorik.3,4
Gambar 4. Otak
Seperti terlihat pada gambar di atas, otak dibagi menjadi empat bagian,
yaitu:
1. Cerebrum (Otak Besar)
2. Cerebellum (Otak Kecil)
3. Brainsteam (Batang Otak)
4. Lymbic System (Sistem Limbik)
a. Cerebrum
Cerebrum adalah bagian terbesar dari otak manusia yang juga disebut
dengan nama Cerebral Cortex, Forebrain atau Otak Depan. Cerebrum
merupakan bagian otak yang membedakan manusia dengan binatang.
Cerebrum membuat manusia memiliki kemampuan berpikir, analisa, logika,
bahasa, kesadaran, perencanaan, memori dan kemampuan visual.
Kecerdasan intelektual atau IQ Anda juga ditentukan oleh kualitas bagian
ini.3,4
13
Cerebrum secara terbagi menjadi 4 (empat) bagian yang disebut
Lobus. Bagian lobus yang menonjol disebut gyrus dan bagian lekukan yang
menyerupai parit disebut sulcus. Keempat Lobus tersebut masing-masing
adalah: Lobus Frontal, Lobus Parietal, Lobus Occipital dan Lobus
Temporal.3,4
Lobus Frontal merupakan bagian lobus yang ada dipaling depan
dari Otak Besar. Lobus ini berhubungan dengan kemampuan
membuat alasan, kemampuan gerak, kognisi, perencanaan,
penyelesaian masalah, memberi penilaian, kreativitas, kontrol
perasaan, kontrol perilaku seksual dan kemampuan bahasa secara
umum.
Lobus Parietal berada di tengah, berhubungan dengan proses sensor
perasaan seperti tekanan, sentuhan dan rasa sakit.
Lobus Temporal berada di bagian bawah berhubungan dengan
kemampuan pendengaran, pemaknaan informasi dan bahasa dalam
bentuk suara.
Lobus Occipital ada di bagian paling belakang, berhubungan
dengan rangsangan visual yang memungkinkan manusia mampu
melakukan interpretasi terhadap objek yang ditangkap oleh retina
mata.
b. Cerebellum
Otak Kecil atau Cerebellum terletak di bagian belakang kepala, dekat
dengan ujung leher bagian atas. Cerebellum mengontrol banyak fungsi
otomatis otak, diantaranya: mengatur sikap atau posisi tubuh, mengkontrol
keseimbangan, koordinasi otot dan gerakan tubuh. Otak Kecil juga
menyimpan dan melaksanakan serangkaian gerakan otomatis yang dipelajari
seperti gerakan mengendarai mobil, gerakan tangan saat menulis, gerakan
mengunci pintu dan sebagainya.3,4
Jika terjadi cedera pada otak kecil, dapat mengakibatkan gangguan
pada sikap dan koordinasi gerak otot. Gerakan menjadi tidak terkoordinasi,
14
misalnya orang tersebut tidak mampu memasukkan makanan ke dalam
mulutnya atau tidak mampu mengancingkan baju.3,4
15
Bagian otak ini sama dimiliki juga oleh hewan mamalia sehingga sering
disebut dengan otak mamalia. Komponen limbik antara lain hipotalamus,
thalamus, amigdala, hipocampus dan korteks limbik. Sistem limbik
berfungsi menghasilkan perasaan, mengatur produksi hormon, memelihara
homeostasis, rasa haus, rasa lapar, dorongan seks, pusat rasa senang,
metabolisme dan juga memori jangka panjang.3,4
Bagian terpenting dari Limbik Sistem adalah Hipotalamus yang salah
satu fungsinya adalah bagian memutuskan mana yang perlu mendapat
perhatian dan mana yang tidak. Sistem limbik menyimpan banyak informasi
yang tak tersentuh oleh indera. Dialah yang lazim disebut sebagai otak
emosi atau tempat bersemayamnya rasa cinta dan kejujuran. Carl Gustav
Jung menyebutnya sebagai "Alam Bawah Sadar" atau ketidaksadaran
kolektif, yang diwujudkan dalam perilaku baik seperti menolong orang dan
perilaku tulus lainnya. LeDoux mengistilahkan sistem limbik ini sebagai
tempat duduk bagi semua nafsu manusia, tempat bermuaranya cinta,
penghargaan dan kejujuran.3,4
16
didalam dindingnya yang sangat tipis dan tidak mempunyai katup. Vena tersebut
keluar dari otak dan bermuara ke dalam sinus venosus cranialis.3,4
Anak-anak 3-7
Infants 1,5-6
17
3.2.2 Doktrin Monro-Kellie
Konsep utama doktrin Monro-Kellie adalah bahwa volume intrakranial
selalu konstan, karena rongga kranium pada dasarnya merupakan rongga yang
tidak mungkin terekspansi. TIK yang normal tidak berarti tidak adanya lesi massa
intrakranial, karena TIK umumnya tetap dalam batas normal sampai kondisi
penderita mencapai titik dekompensasi dan memasuki fase ekspansional kurva
tekanan-volume.3,4
18
3.3 Cedera Kepala
3.3.1 Definisi
Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara
langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepada gangguan
fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau
permanent. Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala adalah
suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat congenital ataupun degeneratif, tetapi
disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau
mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif
dan fungsi fisik.4,5
3.3.2 Epidemiologi
Cedera kepala sangat sering dijumpai. Di Amerika setiap tahunnya kejadian
cedera kepala diperkirakan mencapai 500.000 kasus. 10 % dari penderita cedera
kepala meninggal sebelum datang ke Rumah sakit. Lebih dari 100.000 penderita
menderita berbagai tingkat kecacatan akibat cedera kepala.4,5
Data-data yang didapat di USA dan mancanegara, dimana kecelakaan
terjadi hampir 15 menit. Sekitar 60% diantaranya bersifat fatal akibat adanya
cedera kepala. Data menunjukkan cedera kepala masih merupakan penyebab
utama kesakitan dan kecacatan pada usia <35 tahun. Dari seluruh kasus cedera
kepala, hanya 3-5% saja yang memerlukan tindakan operasi.4,5
Data-data yang didapat di Indonesia (2000) terjadi 55.498 kecelakaan lalu
lintas dimana setiap harinya meninggal sebanyak 34 orang dan 80% penyebabnya
adalah cedera kepala. Data-data yang didapat dari RSCM (2002), terjadi 96%
trauma kapitis yang disebabkan oleh kecelakaan lalu-lintas, dimana 76% dari
padanya terjadi pada usia muda ± 25 tahun. Dari seluruh kasus cedera kepala,
sebanyak 84% hanya memerlukan tindakan konservatif. Sekitar 28% saja
penderita cedera kepala yang menjalani pemeriksaan CT Scan.4,5
Kontribusi paling banyak terhadap cedera kepala serius adalah kecelakaan
sepeda motor, dan sebagian besar diantaranya tidak menggunakan helm atau
menggunakan helm yang tidak memadai (>85%). Dalam hal ini yang dimaksud
dengan tidak memadai adalah helm yang terlalu tipis dan penggunaan helm tanpa
19
ikatan yang memadai, sehingga saat penderita terjatuh, helm sudah terlepas
sebelum kepala membentur permukaan tanah atau aspal.4,5
3.3.3 Etiologi
Sebagian besar penderita cedera kepala disebabkan oleh kecelakaan lalu-
lintas, berupa tabrakan sepeda motor, mobil, sepeda dan penyebrang jalan yang
ditabrak. Sisanya disebabkan oleh jatuh dari ketinggian, tertimpa benda (misalnya
ranting pohon, kayu, dsb), olahraga, korban kekerasan baik benda tumpul maupun
tajam (misalnya golok, parang, batang kayu, palu, dsb), kecelakaan kerja,
kecelakaan rumah tangga, kecelakaan olahraga, trauma tembak, dan lain-lain.4,5
3.3.4 Patofisiologi
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu
cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala
sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan
langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses akselarasi-
deselarasi gerakan kepala. Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa
coup dan contrecoup. Cedera primer yang diakibatkan oleh adanya benturan pada
tulang tengkorak dan daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang
berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang disebut contrecoup.
Akselarasi-deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara
mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang
tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semisolid) menyebabkan
tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi
dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada
tempat yang berlawanan dari benturan (contrecoup).4,5,6
Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses
patologi yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa
perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan
tekanan intrakranial dan perubahan neurokimiawi.4,5,6
20
3.3.5 Klasifikasi Cedera Kepala
Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal
3 deskripsi klasifikasi yaitu berdasarkan mekanisme, beratnya cedera kepala, dan
morfologinya.4,5,6
a. Mekanisme
Cedera kepala tumpul, biasanya berkaitan dengan kecelakaan mobil-
motor, jatuh, atau pukulan benda tumpul.
Cedera kepala tembus, disebabkan oleh peluru atau tusukan. Adanya
penetrasi selaput dura menentukan apakah suatu cedera termasuk cedera
tembus atau cedera tumpul.
b. Berat
Klasifikasi beratnya cedera kepala ditentukan dengan menggunakan Skala
Koma Glasgow (Glasgow Coma Scale) yang dibagi menjadi ringan, sedang,
dan berat.
Tabel 2. Klasifikasi cedera kepala berdasarkan Skala Koma Glasgow.
Catatan : pada pasien cedera kranioserebral dengan SKG 13-15, pingsan <
10 menit, tanpa deficit neurologic, tetapi pada hasil skening otaknya terlihat
perdarahan, diagnosisnya bukan cedera kepala ringan (CKR)/komosio,
tetapi menjadi cedera kranioserebral sedang (CKS)/kontusio.
21
Buka mata bila dirangsang nyeri 2
Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun 1
Respon verbal (V)
Komunikasi verbal baik, jawaban tepat 5
Bingung, disorientasi waktu, tempat, dan orang 4
Kata-kata tidak teratur 3
Suara tidak jelas 2
Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun 1
c. Morfologi
Laserasi Kulit Kepala
Laserasi kulit kepala sering didapatkan pada pasien cedera kepala. Kulit
kepala/scalp terdiri dari lima lapisan (SCALP) yaitu skin, connective
tissue dan perikranii. Diantara galea aponeurosis dan periosteum terdapat
jaringan ikat longgar yang memungkinkan kulit bergerak terhadap tulang.
Pada fraktur tulang kepala, sering terjadi robekan pada lapisan ini.
Lapisan ini banyak mengandung pembuluh darah dan jaringan ikat
longgar, maka perlukaan yang terjadi dapat mengakibatkan perdarahan
yang cukup banyak.
Fraktur Tulang Kepala
Fraktur tulang tengkorak berdasarkan pada garis fraktur dibagi menjadi:
Fraktur linier
22
Fraktur linier merupakan fraktur dengan bentuk garis tunggal atau
stellata pada tulang tengkorak yang mengenai seluruh ketebalan
tulang kepala. Fraktur lenier dapat terjadi jika gaya langsung yang
bekerja pada tulang kepala cukup besar pada permukaan yang lebar
dan tidak terdapat fragmen fraktur yang masuk kedalam rongga
intrakranial.
Fraktur diastasis
Fraktur diastasis adalah jenis fraktur yang terjadi pada sutura
tulamg tengkorak yang menyebabkan pelebaran sutura-sutura
tulang kepala. Jenis fraktur ini sering terjadi pada bayi dan balita
karena sutura-sutura belum menyatu dengan erat. Fraktur diastasis
pada usia dewasa sering terjadi pada sutura lambdoid dan dapat
mengakibatkan terjadinya hematom epidural.
Fraktur kominutif
Fraktur kominutif adalah jenis fraktur tulang kepala yang memiliki
lebih dari satu fragmen dalam satu area fraktur.
Fraktur depressed
Fraktur depressed biasanya merupakan dari gaya yang terlokalisir
pada satu tempat di kepala. Ketika gaya tersebut cukup besar, atau
terkonsentrasi pada daerah sempit, tulang terdesak ke bawah,
sehingga menghasilkan fraktur depressed. Keadaaan tersebut
tergantung dari besarnya benturan dan kelenturan tulang kepala.
23
Gambar 6. Fraktur depressed
24
kadang, hematoma epidural akibat robeknya sinus vena, terutama diregio
parietal-oksipital atau fossa posterior.
Walau hematoma epidural relatif tidak terlalu sering (0.5% dari
keseluruhan atau 9% dari pasien koma cedera kepala), harus selalu
diingat saat menegakkan diagnosis dan ditindak segera. Bila ditindak
segera, prognosis biasanya baik karena penekan gumpalan darah yang
terjadi tidak berlangsung lama. Keberhasilan pada penderita pendarahan
epidural berkaitan langsung dengan status neurologis penderita sebelum
pembedahan. Penderita dengan pendarahan epidural dapat menunjukan
adanya “lucid interval” yang klasik dimana penderita yang semula
mampu bicara lalu tiba-tiba meningggal (talk and die), keputusan
perlunya tindakan bedah memang tidak mudah dan memerlukan
pendapat dari seorang ahli bedah saraf.
Dengan pemeriksaan CT Scan akan tampak area hiperdens yang tidak
selalu homogeny, bentuknya biconvex sampai planoconvex, melekat
pada tabula interna dan mendesak ventrikel ke sisi kontralateral (tanda
space occupying lesion). Batas dengan corteks licin, densitas duramater
biasanya jelas, bila meragukan dapat diberikan injeksi media kontras
secara intravena sehingga tampak lebih jelas.
Subdural Hematome
Subdural hematoma (SDH) adalah perdarahan yang terjadi di antara
duramater dan arachnoid. SDH lebih sering terjadi dibandingkan EDH,
ditemukan sekitar 30% penderita dengan cedera kepala berat. Terjadi
paling sering akibat robeknya vena bridging antara korteks serebral dan
sinus draining. Namun ia juga dapat berkaitan dengan laserasi
permukaan atau substansi otak. Fraktura tengkorak mungkin ada atau
tidak.
Selain itu, kerusakan otak yang mendasari hematoma subdural akut
biasanya sangat lebih berat dan prognosisnya lebih buruk dari hematoma
epidural. Mortalitas umumnya 60%, namun mungkin diperkecil oleh
tindakan operasi yang sangat segera dan pengelolaan medis agresif.
Subdural hematom terbagi menjadi akut dan kronis.
25
SDH Akut
Pada CT Scan tampak gambaran hyperdens sickle (seperti bulan
sabit) dekat tabula interna, terkadang sulit dibedakan dengan
epidural hematom. Batas medial hematom seperti bergerigi.
Adanya hematom di daerah fissure interhemisfer dan tentorium
juga menunjukan adanya hematom subdural.
SDH Kronis
Pada CT Scan terlihat adanya komplek perlekatan, transudasi,
kalsifikasi yang disebabkan oleh bermacam- macam perubahan,
oleh karenanya tidak ada pola tertentu. Pada CT Scan akan tampak
area hipodens, isodens, atau sedikit hiperdens, berbentuk
bikonveks, berbatas tegas melekat pada tabula. Jadi pada
prinsipnya, gambaran hematom subdural akut adalah hiperdens,
yang semakin lama densitas ini semakin menurun, sehingga terjadi
isodens, bahkan akhirnya menjadi hipodens.
Subarachnoid
Perdarahan subarachnoid terjadi pada ruang subarachnoid (antara
piamater dan arachnoid). Biasanya kondisi ini disebabkan oleh trauma
yang merusak pembuluh darah. Perdarahan subarachnoid juga sering
terjadi pada kondisi nontrauma seperti aneurisma dan malformasi arteri-
vena. Gejalan yang ditimbulkan antara lain nyeri kepala, gangguan
kesadaran, dan kaku kuduk. Pemeriksaan CT Scan untuk kondisi ini
memiliki spesifitas yang rendah. Oleh Karena itu sering kali pemeriksaan
CT angiografi juga dilakukan untuk mengeksklusi perdarahan
subarachnoid.
Kontusio dan Perdarahan Intraserebral
Kontusio serebral murni bisanya jarang terjadi. Selanjutnya, kontusi otak
hampir selalu berkaitan dengan hematoma subdural akut. Majoritas
terbesar kontusi terjadi dilobus frontal dan temporal, walau dapat terjadi
pada setiap tempat termasuk serebelum dan batang otak. Perbedaan
antara kontusi dan hematoma intraserebral traumatika tidak jelas
26
batasannya. Bagaimanapun, terdapat zona peralihan, dan kontusio dapat
secara lambat laun menjadi hematoma intraserebral dalam beberapa hari.
Hematoma intraserebri adalah perdarahan yang terjadi dalam jaringan
(parenkim) otak. Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau kontusio
jaringan otak yang menyebabkan pecahnya pula pembuluh darah yang
ada di dalam jaringan otak tersebut. Lokasi yang paling sering adalah
lobus frontalis dan temporalis. Lesi perdarahan dapat terjadi pada sisi
benturan (coup) atau pada sisi lainnya (countrecoup). Defisit neurologi
yang didapatkan sangat bervariasi dan tergantung pada lokasi dan luas
perdarahan.
Cedera Diffus
Cedera otak ini disebut dengan istilah difus oleh karena secara
makroskopis tidak ditemukan adanya lesi yang dapat menimbulkan
gangguan fungsi neurologik, meskipun pada kenyataannya pasien
mengalami amnesia atau penurunan kesadaran bahkan sampai koma.
Penurunan kesadaran dan/atau kelainan neurologik tersebut diatas bukan
disebabkan oleh karena penekanan ataupun distorsi batang otak oleh
massa yang mendesak, tetapi lebih banyak disebabkan oleh kerusakan
langsung pada batang otak atau jaringan serebrum. Pemeriksaan
patologis telah membuktikan adanya kerusakan pada sejumlah besar
akson mulai dari derajat yang ringan berupa regangan sampai derajat
yang lebih berat berupa disrupsi/putusnya akson. Manifestasi klinisnya
pada umumnya tergantung pada banyak sedikitnya akson yang
mengalami kerusakan.
Pada keadaan yang berat proses akselerasi dan deselerasi juga
menyebabkan kerusakan jaringan pembuluh darah, sehingga pada CT-
scan sering tampak gambaran bercak-bercak perdarahan di substansia
alba mulai dari subkorteks, korpus kalosum sampai ke batang otak serta
edema di daerah yang mengalami kerusakan. Jadi pada CT-scan hanya
terlihat kerusakan yang seringkali menyertai kerusakan difus pada akson
yang berupa bercak-bercak perdarahan yang lebih dikenal dengan istilah
tissue tear hemorrages.
27
Tergantung dari berat ringannya cedera otak difus ini, manifestasi
klinisnya dapat berupa:
Cedera Akson Difus (“Diffuse Axonal Injury” = DAI)
Keadaan ini ditandai dengan adanya koma yang berlangsung lebih
dari 6 jam. Pemeriksaan radiologis tidak menunjukkan adanya lesi
fokal baik berupa massa maupun daerah yang iskemik. Gambaran
klinis DAI ditandai dengan koma sejak kejadian, suatu keadaan
dimana penderita secara total tidak sadar terhadap dirinya dan
sekelilingnya dan tidak mampu memberi reaksi yang berarti
terhadap rangsangan dari luar. Koma disini disebabkan oleh karena
kerusakan langsung dari akson sehingga dipakai istilah cedera
akson difus.
Untuk keperluan klinis dan penentuan prognosis, DAI dibagi
menjadi :
DAI ringan. Di sini koma berlangsung selama 6-24 jam.
Bisa disertai defisit neurologik dan kognitif yang berlangsung
cukup lama sampai permanen. Jenis ini relatif jarang
ditemukan.
DAI sedang. Koma berlangsung lebih dari 24 jam tanpa
disertai gangguan fungsi batang otak. Jenis inilah yang paling
banyak ditemui, terdapat pada 45 % dari semua kasus DAI.
Dengan terapi agresif angka kematiannya adalah 20 %.
DAI berat. Koma berlangsung lebih dari 24 jam dan disertai
disfungsi batang otak tanpa adanya proses desak ruang yang
berarti. Angka kematiannya mencapai 57 % dan
menyebabkan cacat neurologis yang berat.
Cedera Vaskular Difus (“Diffuse Vaskular Injury” = DVI)
Ditandai dengan perdarahan kecil-kecil yang menyebar pada
seluruh hemisfer, khususnya masa putih daerah lobus frontal,
temporal, dan batang otak, biasanya pasien segera meninggal dalam
beberapa menit.
28
3.3.6 Anamnesis4,7,8,9
a. Identifikasi pasien (nama, umur, jenis kelamin, pekerjaan)
b. Keluhan utama, dapat berupa :
Penurunan kesadaran
Nyeri kepala
c. Anamnesis tambahan :
Kapan terjadinya? ( untuk: mengetahui onset)
Bagaimana mekanisme terjadinya trauma, bagian tubuh yang terkena
dan tingkat keparahannya ?
Apakah ada pingsan ?
Apakah pernah sadar setelah pingsan ?
Apakah ada nyeri kepala, kejang, mual dan muntah ?
Apakah ada perdarahan dari telinga, hidung dan mulut ?
Riwayat AMPLE : Allergy, Medication (sebelumnya), Past Illness
(penyakit penyerta), Last Meal, Event/Environment yang berhubungan
dengan kejadian trauma
d. Komplikasi / Penyulit
Memakai helm atau tidak (untuk kasus kecelakaan lalulintas)
Pingsan atau tidak
Ada sesak nafas, batuk-batuk
Muntah atau tidak
Keluar darah dari telinga, hidung atau mulut
Adanya kejang atau tidak
Adanya trauma lain selain trauma kepala (trauma penyerta)
Adanya konsumsi alkohol atau obat terlarang lainnya
Adanya riwayat penyakit sebelumnya (Hipertensi, DM)
Pertolongan pertama (apakah sebelum masuk rumah sakit penderita
sudah mendapat penanganan). Penanganan di tempat kejadian penting
untuk menentukan penatalaksanaan dan prognosis selanjutnya.
29
3.3.7 Pemeriksaan Fisik4,7,8,9
a. Primary Survey
Airway, dengan kontrol servikal:
Yang pertama harus dinilai adalah jalan nafas, meliputi pemeriksaan
adanya obstruksi jalan nafas yang dapat disebabkan benda asing,
fraktur tulang wajah, fraktur mandibula atau maksila, fraktur laring
atau trakea.
Bila penderita dapat berbicara atau terlihat dapat berbicara -
jalan nafas bebas.
Bila penderita terdengar mengeluarkan suara seperti tersedak
atau berkumur - ada obstruksi parsial.
Bila penderita terlihat tidak dapat bernafas - obstruksi total.
Jika penderita mengalami penurunan kesadaran atau GCS < 8
keadaan tersebut definitif memerlukan pemasangan selang
udara.
Selama pemeriksaan jalan nafas, tidak boleh dilakukan ekstensi,
fleksi atau rotasi pada leher.
Dalam keadaan curiga adanya fraktur servikal atau penderita
datang dengan multiple trauma, maka harus dipasangkan alat
immobilisasi pada leher, sampai kemungkinan adanya fraktur
servikal dapat disingkirkan.
30
Auskultasi dilakukan untuk memastikan masuknya udara ke
dalam paru-paru.
Catatan:
Gangguan ventilasi yang berat seperti tension
pneumothoraks, flail chest, dengan kontusio paru, dan open
pneumothorasks harus ditemukan pada primary survey.
Hematothorax, simple pneumothorax, patahnya tulang iga
dan kontusio paru harus dikenali pada secondary survey
Keterangan tambahan :
Gejala tension pneumothoraks
Nyeri dada dan sesak nafas yang progresif, distress
pernafasan. takikardi, hipotensi, deviasi trakea ke arah yang
sehat, hilang suara nafas pada satu sisi, dan distensi vena
leher, hipersonor, sianosis (manifestasi lanjut).
Gejala Flail Chest
Gerak thorax asimetris (tidak terkoordinasi), palpasi gerakan
pernafasan abnormal, dan krepitasi iga atau fraktur tulang
rawan.
Gejala Open pneumothorax:
Hipoksia dan hiperkapnia
Gejala hematothorax:
Nyeri dan sesak nafas. Pada inspeksi mungkin gerak nafas
tertinggal atau pucat karena perdarahan. Fremikus sisi yang
terkena lebih keras dari sisi yang lain. Pada perkusi,
didapatkan pekak dengan batas dan bunyi nafas tidak
terdengar atau menghilang.
31
Jika volume turun, maka perfusi ke otak dapat berkurang
sehingga dapat mengakibatkan penurunan kesadaran.
Penderita trauma yang kulitnya kemerahan terutama pada
wajah dan ekstremitas, jarang dalarn keadaan hipovolemik.
Wajah pucat keabu-abuan dan ekstremitas yang dingin
merupakan tanda hipovolemik.
Nadi
Periksa kekuatan, kecepatan, dan irama
Nadi yang tidak cepat, kuat, dan teratur : normovolemia
Nadi yang cepat, kecil : hipovolemik
Kecepatan nadi yang normal bukan jaminan normovolemia
Tidak ditemukannya pulsasi dari arteri besar, merupakan
tanda diperlukan resusitasi segera.
Perdarahan
Perdarahan eksternal harus dikelola pada primary survey dengan
cara penekanan pada luka.
Disability
Evaluasi terhadap keadaan neurologis secara cepat. Yang dinilai
adalah tingkat kesadaran, ukuran pupil dan reaksi pupil terhadap
cahaya dan adanya parese.
Suatu cara sederhana menilai tingkat kesadaran dengan AVPU:
A : sadar (Alert)
V : respon terhadap suara (Verbal)
P : respon terhadap nyeri (Pain)
U : tidak berespon (Unresponsive)
Glasgow Coma Scale adalah sistem skoring sederhana dan dapat
memperkirakan keadaan penderita selanjutnya. Jika belum dapat
dilakukan pada primary survey, GCS dapat dilakukan pada secondary
survey. Menilai tingkat keparahan cedera kepala melalui GCS :
Cedera kepala ringan (kelompok risiko rendah)
Skor GCS 15 (sadar penuh, atentif; orientatif)
32
Tidak ada kehilangan kesadaran (misalnya : konklusi)
Tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang
Pasien dapat tnengeluh nyeri kepala dan pusing
Pasien dapat menderita abrasi, Iaserasi, atau hematoma kulit
kepala
Tidak ada kriteria cedera sedang-berat
Cedera kepala sedang, (kelompok risiko sedang)
Skor GCS 9-13 (konfusi, letargi, atau stupor)
Konklusi
Amnesia pasca trauma
Muntah
Tanda kemungkinan fraktur kranium (tanda Battle, mata
rabun, hemotimpanum, otorea atau rinorea cairan serebro
spinal)
Kejang
Cedara kepala berat (kelompok risiko berat)
Skor GCS 3-8 (koma)
Penurunan derajat kesadaran secara progresif
Tanda neurologis fokal
Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi kranium
Penurunan kesadaran dapat terjadi karena berkurangnya perfusi ke
otak atau trauma langsung ke otak. Alkohol dan obat-obatan dapat
mengganggu tingkat kesadaran penderita. Jika hipoksia dan
hipovolemia sudah disingkirkan, maka trauma kepala dapat dianggap
sebagai penyebab penurunan kesadaran, bukan alkohol sampai
terbukti sebaliknya.
Exposure
Penderita trauma yang datang harus dibuka pakaiannya dan dilakukan
evaluasi terhadap jejas dan luka.
33
b. Secondary Survey
Adalah pemeriksaan dari kepala sampai kaki (head to toe examination),
termasuk reevaluasi tanda vital.
Pada bagian ini dilakukan pemeriksaan neurologis lengkap yaitu GCS
jika belum dilakukan pada primary survey
Dilakukan pemeriksaan foto rontgen
34
3.3.9 Penatalaksanaan4,7,8,10
Penatalaksanaan cedera kepala dapat dibagi berdasarkan:
a. Kondisi kesadaran pasien
Kesadaran menurun
Kesadaran baik
b. Tindakan
Terapi non-operatif
Terapi operatif
c. Saat kejadian
Manajemen prehospital
Instalasi Gawat Darurat
Perawatan di ruang rawat
35
Perdarahan intraserebral besar yang menyebabkan progresivitas
kelainan neurologic atau herniasi
b. Pada cedera kranioserebral terbuka
Perlukaan kranioserebral dengan ditemukannya luka kulit, frartur
multipel, dura yang robek disertai laserasi otak
Liquorrhea yang tidak berhenti lebih dari 14 hari
Pneumoencephali
Corpus alienum
Luka tembak
36
(pupil anisokor, refleksi patologis positif ). Jika dicurigai ada
hematoma, dilakukan CT scan.Pasien cedera kranioserebral ringan
(CKR) tidak perlu dirawat jika:
a. orientasi (waktu dan tempat) baik
b. tidak ada gejala fokal neurologic
c. tidak ada muntah atau sakit kepala
d. tidak ada fraktur tulang kepala
e. tempat tinggal dalam kota
f. ada yang bisa mengawasi dengan baik di rumah, dan bila
dicurigai ada perubahan kesadaran, dibawa kembali ke RS
37
cedera kranioserebral berat sering berada dalam keadaan hipoksi,
hipotensi, dan hiperkapni akibat gangguan kardiopulmoner.
38
perdarahan, perbaikan fungsi jantung, mengganti darah yang
hilang, atau sementara dengan cairan isotonik NaCl 0,9%.
2. Pemeriksaan fisik
Setelah resusitasi ABC, dilakukan pemeriksaan fisik yang meliputi
kesadaran, tensi, nadi, pola dan frekuensi respirasi, pupil (besar,
bentuk dan reaksi cahaya), defisit fokal serebral dan cedera
ekstrakranial. Hasil pemeriksaan dicatat dan dilakukan pemantauan
ketat pada hari-hari pertama. Bila terdapat perburukan salah satu
komponen, penyebabnya dicari dan segera diatasi.
3. Pemeriksaan radiologi
Dibuat foto kepala dan leher, bila didapatkan fraktur servikal, collar
yang telah terpasang tidak dilepas. Foto ekstremitas, dada, dan
abdomen dilakukan atas indikasi. CT scan otak dikerjakan bila ada
fraktur tulang tengkorak atau bila secara klinis diduga ada hematoma
intrakranial.
4. Pemeriksaan laboratorium
a. Hb, leukosit, diferensiasi se
Penelitian di RSCM menunjukkan bahwa leukositosis dapat
dipakai sebagai salah satu indikator pembeda antara kontusio
(CKS) dan komosio (CKR). Leukosit >17.000 merujuk pada CT
scan otak abnormal, sedangkan angka leukositosis >14.000
menunjukkan kontusio meskipun secara klinis lama penurunan
kesadaran <10 menit dan nilai SKG 13-15 adalah acuan klinis
yang mendukung ke arah komosio. Prediktor ini bila berdiri
sendiri tidak kuat, tetapi di daerah tanpa fasilitas CT scan otak,
dapat dipakai sebagai salah satu acuan prediktor yang sederhana.
b. Gula darah sewaktu (GDS) (10)
39
Hiperglikemia reaktif dapat merupakan faktor risiko bermakna
untuk kematian dengan OR 10,07 untuk GDS 201-220mg/ dL
dan OR 39,82 untuk GDS >220 mg/ dL.
c. Ureum dan kreatinin
Pemeriksaan fungsi ginjal perlu, karena manitol merupakan zat
hyperosmolar yang pemberiannya berdampak pada fungsi ginjal.
Pada fungsi ginjal yang buruk, manitol tidak boleh diberikan.
d. Analisis gas darah
Dikerjakan pada cedera kranioserebral dengan kesadaran
menurun. pCO2 tinggi dan pO2 rendah akan memberikan luaran
yang kurang baik. pO2 dijaga tetap >90 mm Hg, SaO2 >95%,
dan pCO2 30-35 mm Hg.
e. Elektrolit (Na, K, dan Cl)
Kadar elektrolit rendah dapat menyebabkan penurunan
kesadaran.
f. Albumin serum (hari 1)
Pasien CKS dan CKB dengan kadar albumin rendah (2,7-
3,4g/dL) mempunyai risiko kematian 4,9 kali lebih besar
dibandingkan dengan kadar albumin normal.
g. Trombosit, PT, aPTT, fibrinogen
Pemeriksaan dilakukan bila dicurigai ada kelainan hematologis.
Risiko late hematoma perlu diantisipai. Diagnosis kelainan
hematologis ditegakkan bila trombosit <40.000/mm3, kadar
fibrinogen <40mg/mL, PT >16 detik, dan aPTT >50 detik.
40
b. Terapi diuretik:
Diuretik osmotik (manitol 20%) dengan dosis 0,5-1 g/kgBB,
diberikan dalam 30 menit. Untuk mencegah rebound,
pemberian diulang setelah 6 jam dengan dosis 0,25-0,5/kgBB
dalam 30 menit. Pemantauan: osmolalitas tidak melebihi 310
mOsm.
Loop diuretic (furosemid)
Pemberiannya bersama manitol, Karena mempunyai efek
sinergis dan memperpanjang efek osmotik serum manitol.
Dosis: 40 mg/hari IV.
6. Nutrisi
Pada cedera kranioserebral berat, terjadi hipermetabolisme sebesar 2-
2,5 kali normal dan akan mengakibatkan katabolisme protein.
Kebutuhan energi rata-rata pada cedera kranioserebral berat
meningkat rata-rata 40%. Total kalori yang dibutuhkan 25-30
kkal/kgBB/ hari. Kebutuhan protein 1,5-2g/kgBB/hari, minimum
karbohidrat sekitar 7,2 g/kgBB/ hari, lipid 10-40% dari kebutuhan
kalori/hari, dan rekomendasi tambahan mineral: zinc 10- 30 mg/hari,
cuprum 1-3 mg, selenium 50-80 mikrogram, kromium 50-150
mikrogram, dan mangan 25-50 mg. Beberapa vitamin juga
direkomendasikan, antara lain vitamin A, E, C, ribofl avin, dan
vitamin K yang diberikan berdasarkan indikasi.
Pada pasien dengan kesadaran menurun, pipa nasogastrik dipasang
setelah terdengar bising usus. Mula-mula isi perut dihisap keluar
untuk mencegah regurgitasi sekaligus untuk melihat apakah ada
perdarahan lambung. Bila pemberian nutrisi peroral sudah baik dan
cukup, infus dapat dilepas untuk mengurangi risiko flebitis.
41
3.3.10 Komplikasi4,7,8,10
a. Koma
Penderita tidak sadar dan tidak memberikan respon disebut coma. Pada
situasi ini, secara khas berlangsung hanya beberapa hari atau minggu,
setelah masa ini penderita akan terbangun, sedangkan beberapa kasus
lainya memasuki vegetative state atau mati penderita pada masa
vegetative statesering membuka matanya dan mengerakkannya,
menjerit atau menjukan respon reflek. Walaupun demikian penderita
masih tidak sadar dan tidak menyadari lingkungan sekitarnya. Penderita
pada masa vegetative state lebih dari satu tahun jarang sembuh.
b. Kejang
Kejang yang terjadi dalam minggu pertama setelah trauma disebut early
seizure, dan yang terjadi setelahnya disebut late seizure. Early seizure
terjadi pada kondisi risiko tinggi, yaitu ada fraktur impresi, hematoma
intrakranial, kontusio di daerah korteks; diberi profi laksis fenitoin
dengan dosis 3x100 mg/hari selama 7-10 hari.
c. Infeksi
Profi laksis antibiotik diberikan bila ada risiko tinggi infeksi, seperti
pada fraktur tulang terbuka, luka luar, fraktur basis kranii. Pemberian
profi laksis antibiotik ini masih kontroversial. Bila ada kecurigaan
infeksi meningeal, diberikan antibiotik dengan dosis meningitis.
d. Demam
Setiap kenaikan suhu harus dicari dan diatasi penyebabnya. Dilakukan
tindakan menurunkan suhu dengan kompres dingin di kepala, ketiak,
dan lipat paha, atau tanpa memakai baju dan perawatan dilakukan
dalam ruangan dengan pendingin. Boleh diberikan tambahan antipiretik
dengan dosis sesuai berat badan.
42
e. Gastrointestinal
Pada pasien cedera kranio-serebral terutama yang berat sering
ditemukan gastritis erosi dan lesi gastroduodenal lain, 10-14% di
antaranya akan berdarah. Kelainan tukak stress ini merupakan kelainan
mukosa akut saluran cerna bagian atas karena berbagai kelainan
patologik atau stressor yang dapat disebabkan oleh cedera
kranioserebal. Umumnya tukak stres terjadi Karena hiperasiditas.
Keadaan ini dicegah dengan pemberian antasida 3x1 tablet peroral atau
H2 receptor blockers (simetidin, ranitidin, atau famotidin) dengan dosis
3x1 ampul IV selama 5 hari.
f. Kerusakan Saraf
Cedera pada basis tengkorak dapat menyebabkan kerusakan pada
nervus facialis. Sehingga terjadi paralysis dari otot-otot facialis atau
kerusakan pada nervus facialis. Sehingga terjadi paralysis dari otot-otot
facialis atau kerusakan dari saraf untuk pergerakan bola mata yang
menyebabkan terjadinya penglihatan ganda.
h. Gelisah
Kegelisahan dapat disebabkan oleh kandung kemih atau usus yang
penuh, patah tulang yang nyeri, atau tekanan intrakranial yang
meningkat. Bila ada retensi urin, dapat dipasang kateter untuk
pengosongan kandung kemih. Bila perlu, dapat diberikan penenang
dengan observasi kesadaran lebih ketat. Obat yang dipilih adalah obat
peroral yang tidak menimbulkan depresi pernapasan.
43
3.3.11 Prognosis
Prognosis cedera kepala secara sederhana dibagi dua, yaitu hidup dan
meninggal. Untuk prediksi luaran hidup dan meninggal ini, bisa dipakai beberapa
system penskoran, antara lain (yang dikembangkan di Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo) adalah penskoran MNM (Mata, Napas, Motorik). Penskoran
yang lebih komprehensif dalam menilai kematian dan kondisi hidup dengan
tingkatan kecacatan adalah Glasgow Outcome Score. Prediksi luaran pasien
cedera kranioserebral bergantung pada banyak faktor, antara lain umur, beratnya
cedera berdasarkan klasifikasi GCS dan CT scan otak, komorbiditas, hipotensi,
dan/atau iskemia serta lateralisasi neurologik. Nutrisi yang tidak adekuat dapat
memperburuk luaran. Hal yang perlu juga diperhatikan adalah adanya amnesia
pascacedera yang menetap lebih dari 1 jam, fraktur tengkorak, gejala
neuropsikologik atau gejala neurologic saat keluar dari rumah sakit, yang akan
memberikan problem gejala sisa lebih sering dibandingkan mereka yang keluar
tanpa adanya gejala tersebut di atas. 4,7,8,11
44
BAB IV
ANALISA KASUS
Pasien dibawa ke IGD RSUD Raden Mattaher Jambi dengan keluhan nyeri
kepala setelah kecelakaan lalu lintas sejak ± 1 jam SMRS. Nyeri kepala dirasakan
terus-menerus, tidak berputar. Pasien awalnya berboncengan menggunakan motor
tanpa menggunakan helm lalu tanpa disadari baju pasien tersangkut di rantai-
rantai motor dan terjatuh kejalan ke sisi kiri pasien lalu motor menimpa kepala
sebelah kiri pasien. Akibat dari benturan dengan motor tersebut pada bagian
kepala kiri, pasien mengalami luka terbuka. Kemudian os dilarikan ke IGD RSUD
Raden Mattaher Jambi.
Tidak ada cairan keluar dari telinga pasien. Kelemahan anggota disangkal.
Gangguan pendengaran disangkal, penglihatan dobel disangkal, bicara pelo tidak
ada. Di rumah sakit tersebut pasien mendapat pertolongan pertama, dibersihkan
lukanya, dilakukan rontgen kepala dan pemeriksaan darah. Saat dipindahkan ke
bangsal, pasien masih merasa nyeri pada bagian kepala. 3 hari pasca kejadian
pasien dilakukan tindakan debridement pada bagian luka di kepala guna
mencegah terjadinya penyebaran infeksi. Setelah tindakan operasi pasien di rawat
di ruangan HCU guna observasi lebih lanjut.
Dari kasus diatas dapat dijelaskan bahwa pada pasien tidak tampak adanya
tanda-tanda perdarahan intrakranial atau gejala fokal neurologic pasca kejadian.
Dari pemeriksaan status kesadaran awal didapatkan GCS pasien adalah 15.
Dilakukan pemeriksaan fisik, perawatan luka, foto kepala, istirahat baring dengan
mobilisasi bertahap sesuai dengan kondisi pasien disertai terapi simptomatis.
45
BAB V
KESIMPULAN
46
DAFTAR PUSTAKA
47