Anda di halaman 1dari 24

REFERAT

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK

PENDEKATAN DIAGNOSIS
SPINAL MUSCULAR ATROPHY

Disusun Oleh:
Cindy Clarissa Thandy 01073210041
Griffin Geraldo 01073210075

Pembimbing:

dr. Andry Juliansen, Sp.A

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK


SILOAM HOSPITAL LIPPO VILLAGE-RUMAH SAKIT UMUM SILOAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
PERIODE JANUARI - MARET 2022
TANGERANG

i
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ............................................................................................................................ ii

DAFTAR GAMBAR ............................................................................................................... iii

DAFTAR TABEL ..................................................................................................................... iv

BAB I ....................................................................................................................................... 15

BAB II ..................................................................................................................................... 16

TINJAUAN PUSTAKA........................................................................................................... 16

2.1. Definisi ............................................................................................................................. 16

2.2. Epidemiologi..................................................................................................................... 16

2.3. Etiologi ............................................................................................................................. 16

2.4. Patogenesis ....................................................................................................................... 17

2.6. Klasifikasi dan Manifestasi Klinis ................................................................................... 19

2.7. Diagnosis .......................................................................................................................... 20

2.8. Diagnosis Banding ........................................................................................................... 25

2.9. Tatalaksana ...................................................................................................................... 26

2.11. Prognosis ........................................................................................................................ 29

BAB III .................................................................................................................................... 32

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................... 33

ii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Patogenesis SMA ……………….………………………………………………….. 18


Gambar 2.2. Alur Diagnosis SMA …..……….………………………………………………….. 21

iii
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Tipe-tipe SMA …………………………………………………………………. 20


Tabel 2.2. Hasil Pemeriksaan Elektrofisiologi pada Pasien SMA …………………………..23
Tabel 2.3.Perbandingan Penyakit Poliomyelitis dengan Spinal Muscular Atrophy ………….25
Tabel 2.4.Perbandingan Penyakit Duchene Muscular Dystrophy dengan Spinal Muscular
Atrophy…………………………………….……………………………………………………. 25

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Spinal muscular atrophy (SMA) merupakan kumpulan sindrom klinis yang diturunkan
dan menyebabkan degenerasi anterior horn cell dari sumsum tulang belakang dengan
penghancuran alpha motor cells. Spinal muscular atrophy secara klinis terdapat kelemahan
dan atrofi otot proksimal. Delesi homozygous 5q13 yaitu daerah untuk pengkodean gen
survival motor neuron (SMN1) bertanggung jawab untuk 95% dari kasus SMA. Spinal
muscular atrophy sendiri menduduki penyebab kematian umum kedua setelah cystic fibrosis
yang bersifat autosomal recessive dengan angka mortalitas 1:6000.1
Angka insiden SMA terestimasi 1:6000 sampai 1:11000 dengan frekuensi karier
dengan mutasi SMN1 di angkat 2-3% yaitu 1/40. 95% dari kasus SMA dihasilkan dari delesi
dari survival motor neuron 1 (SMN1). Gen SMN1 memberikan kode terhadap protein survival
motor neuron (SMN). Abnormalitas dari gen SMN1 karena adanya delesi atau mutasi akan
menghasilkan kurangnya ekspresi dari fungsi protein SMN. Manifestasi klinis yang dihasilkan
bergantung pada tipe-tipe SMA yang dialami pasien. Spinal muscular atrophy (SMA) tipe 0
dialami neonatus dengan kelemahan otot dan hypotonia, SMA tipe 1 paling sering dan
berbahaya, dimana gejala akan mulai muncul usia <6 bulan. Gejala yang dialami seperti
hypotonia, tidak bisa mengontrol gerakan, dan tidak bisa duduk sendiri. Spinal muscular
atrophy tipe 2 menunjukan gejala usia 7-18 bulan, tidak bisa jalan sendiri, kelemahan menelan
dan mengunyah, SMA tipe 3 menunjukan kelemahan otot proksimal masa kanak-kanak, SMA
tipe 4 terjadi ketika onset >18 tahun dengan gejala yang ringan, bahkan bisa berjalan dengan
baik.
Diagnosis molecular merupakan cara diagnosis standar pada SMA. Selain itu, biopsi
otot dan electrodiagnostic testing merupakan prosedur standar untuk evaluasi serta
mendiagnosis SMA. Spinal muscular atrophy merupakan penyakit yang sangat kompleks
karena dapat mempengaruhi berbagai sistem (terutama sistem pernafasan, saluran cerna, dan
ortopedi), serta merupakan penyakit genetik tanpa adanya terapi definitif. Kompleksnya
penyakit SMA disertai dengan frekuensi karier dan manifestasi klinis yang cukup
mempengaruhi kualitas hidup, pemahaman yang baik mengenai SMA dan pendekatan
diagnosisnya penting untuk dipahami para klinisi. Hal ini bertujuan untuk mendapat gambaran
diagnosis SMA di tahap awal agar terapi yang diberikan adekuat untuk meningkatkan kualitas
hidup pasien.2,3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Spinal Muscular Atrophy atau biasa disingkat SMA merupakan kumpulan dari penyakit
genetik yang menyebabkan degenerasi dari sel anterior horn dan menyebabkan atrofi &
kelemahan dari otot, dengan mayoritas dari kasus SMA menyebabkan mortalitas. Spinal
muscular atrophy paling sering disebabkan oleh kelainan autosomal resesif yang
menyebabkan adanya mutasi atau delesi dari gen 5q13 survival of motor neuron (SMN1),
yang merupakan 95% dari penyebab SMA. Spinal muscular atrophy memiliki tingkat
severitas yang sangat bervariasi, dan gejala dari SMA kemudian dikelompokkan menjadi
4 tipe berdasarkan usia onset dan fungsi motorik yang terdampak pada SMA.4–6

2.2. Epidemiologi
Spinal muscular atrophy merupakan penyakit genetik neurodegeneratif dengan angka
insidensi berkisar antara 1:6000 sampai 1:10000 dan mereka dengan karier mutasi SMN1
berkisar antara 1/40 sampai dengan 1/60 dari populasi. Spinal muscular atrophy
merupakan penyakit genetik dengan mortalitas tertinggi pada anak-anak. 3,7

2.3. Etiologi
Pada 95% kasus, SMA terjadi karena adanya homozygous deletion dari gen SMN1 di
kromosom 5q13. Namun, hal ini tidak menjelaskan adanya varietas fenotip penyakit yang
dihasilkan. Ada dua tipe SMN, yaitu versi telemoeric (SMN1) dan centromeric (SMN2).
Transkripsi SMN1 memproduksi mRNA fungsi penuh yang bisa membuat protein SMN.
Sedangkan transkripsi SMN2 hanya menghasilkan mRNA fungsional sebanyak 10-15%
sehingga protein SMN yang dikodekan lebih sedikit. SMN2 berbeda dengan SMN1
dimana terjadi substitusi C-T di ekson 7 yang mempromosikan splicing saat transkripsi
sehingga ekson 7 tersingkirkan. Pada pasien SMA, SMN1 berjumlah sedikit sehingga
produksi protein SMN bergantung pada SMN2 untuk alpha motor neuron. Sehingga,
jumlah SMN2 berhubungan dengan fenotipe derajat keparahan SMA.1

16
2.4. Patogenesis
Spinal muscular atrophy merupakan penyakit neurodegeneratif monogenik yang
dikarakterisasikan dengan hilangnya alpha motor neuron yang menghasilkan atrofi otot
dan kelemahan. 95% dari kasus SMA dihasilkan dari delesi dari survival motor neuron 1
(SMN1). Gen SMN1 memberikan kode terhadap protein survival motor neuron (SMN).
Abnormalitas dari gen SMN1 karena adanya delesi atau mutasi akan menghasilkan
kurangnya ekspresi dari fungsi protein SMN. Mutasi gen lain juga bisa menghasilkan
gambaran SMA.8

Gen SMN1 merupakan bentuk telomer terdiri dari 9 ekson sedangkan SMN2 merupakan
gen centromeric homologus. Kedua gen ini terletak pada daerah genomik yang tidak stabil
pada kormosom 5. Gen SMN1 dan SMN2 berbeda pada 5 nukleotida, dimana salah
satunya adalah lokasi regio koding dari protein SMN. Nukleotida sitosin C pada ekson 7
di SMN1 digantikan dengan nukleotida timin (T) di gen SMN2 , dan regio yang dikodekan
ekson 7 merupakan kunci utama dari fungsi protein, karena bisa menyebabkan splicing
mRNA.

Pada SMN 1 splicing menghasilkan mRNA full-length dengan fungsi penuh. Sedangkan
pada SMN2, ekson 7 terlompati pada produksi mRNA. Dari situ, terbentuklah protein
SMN yang tidak stabil, yaitu SMNΔ7. Protein ini akan secara mudah dan cepat
terdegradasi oleh sel. Gen SMN2 tidak memberikan relevansi signifikan pada kelompok
individu yang sehat, tetapi memiliki signifikansi pada pasien SMA, karena gen tersebut
yang bertanggung jawab atas produksi protein SMN tersebut. 10% dari protein SMN
yang diekspresikan lewat gen SMN2 bersifat sepenuhnya aktif. Oleh karena itu, jumlah
SMN2 yang tinggi akan mengkompensasi rendahnya produksi protein SMN dan akan
mengurangi tingkat keparahan dari SMA. Pasien SMA memiliki setidaknya satu gen
SMN2 dimana varietas dari cetakan gen tersebut akan menghasilkan banyak tipe SMA.
Fenotipe SMA yang ringan sering diasosiasikan dengan jumlah SMN2 yang lebih
banyak. Namun, banyak faktor lain yang berkontribusi pada keparahan penyakit, bukan
hanya dari jumlah SMN2 saja. Beberapa faktor lain yang menjadi alasan varietas fenotip
penyakit SMA yakni saat pasien memiliki jumlah cetakan SMN2 seperti plastin-3 dan
neurocalcin delta. Hilangnya SMN protein sepenuhnya merupakan kasus yang letal
pada pasien.1,2,9,10
17
Gambar 2.1. Patogenesis SMA3

Protein SMN merupakan sebuah polipeptida dengan 294 asam amino dengan 32kDa.
Protein ini diekspresikan pada sitoplasma dan nukelus sel eukaryotic. Protein SMA ini
berguna untuk beberapa aktvitas fisiologis seperti interaksi dengan small nuclear
ribonucleoproteins (snRNP) dan membentuk kompleks multiprotein yang
mengintervensi transkripsi, translasi, dan metabolisme mRNA. Protein SMN yang
fungsional akan bergabung menjadi kompleks SMN, sementara protein yang tidak stabil
sulit untuk membentuk kompleks tersebut. Oleh karena itu, pembentukan kompleks
SMA yang fungsional pun akan berkurang. Konsekuensi dari hal tersebut adalah banyak
defek pada jalur seluler seperti proses splicing. Mekanisme molekular ini digambarkan
sebagai penyebab dari penyakit SMA.

Protein SMN juga memiliki peranan penting dalam kehidupan lower motor neurons dari
tulang belakang terutama pada masa perkembangan awal. Jumlah protein SMN di tulang
belakang manusia berkurang mulai dari periode fetal sampai 3 bulan setelah lahir.
Berkurangnya protein SMN akan mengarah pada kematian motor neuron dan

18
menyebabkan disfungsi motor. Protein SMN merupakan elemen yang penting dalam
transport mRNA di neuron. Jumlah protein yang sedikit akan mengganggu transport
mRNA dan menjadi benih dari berkembangnya SMA.8

Kurangnya jumlah protein SMN juga memerikan pengaruh pada organ seperti jantung,
pankreas, dan hati. Oleh karena itu, SMA diperkirakan sebagai salah satu penyakit yang
bersifat multisistemik. 1

2.6. Klasifikasi dan Manifestasi Klinis


Spinal muscular atrophy dapat dibagi menjadi 5 tipe berdasarkan usia saat terjadi gejala
dan otot-otot yang terdampak:3,5,7
• Spinal muscular atrophy tipe 0 merupakan SMA yang ada pada neoenatus dengan
kelemahan otot dan hipotonia dengan riwayat berkurangnya gerakan janin. Pada
PF, akan ditemukan arefleksia, diplegia wajah, atrial septal defects, dan kontraktur
pada sendi. Kegagalan nafas menjadi masalah utama pada tipe 0, dan biasanya bayi
tidak dapat hidup di atas usia 6 bulan.
• Spinal muscular atrophy tipe 1 atau disebut juga sebagai Werdnig-Hoffman disease
merupakan tipe SMA yang paling berbahaya dan paling sering (50% dari seluruh
kasus SMA). Mereka dengan SMA tipe 1 akan mulai menunjukkan gejala pada
usia <6 bulan, dengan karakteristik tidak bisa duduk sendiri, hipotonia, tidak dapat
mengontrol gerakan kepala, dan refleks tendon negatif. Hipotonia akan membentuk
postur kaki kodok saat berbaring. Selain itu dikarenakan ada kelemahan otot
interkostal, dada akan membentuk “bell-shaped” dan akan ada pola nafas yang
paradoksal yang disebut “belly-breathing”. Otot lidah, wajah, dan faringeal juga
akan melemah, menyebabkan gangguan menelan, fasikulasi lidah, resiko aspirasi,
failure to thrive, dan pada akhirnya kegagalan nafas dalam 2 tahun pertama
usianya. SMA tipe 1 memliki 1-2 SMN2.
• Spinal muscular atrophy tipe 2 akan mulai menunjukkan gejala pada usia 7-18
bulan. Pasien dapat duduk tanpa bantuan dan beberapa bisa berdiri sendiri, namun
tidak dapat berjalan sendiri. Refleks tendon dalam negatif, dan sering ditemukan
tremor ekstremitas atas, kontraktur sendi-sendi, dan kifoskoliosis pada usia <1
tahun. Gejala lain yang dapat ditemukan antara lain kelemahan menelan,

19
kelemahan mengunyah, dan kegagalan nafas yang dikarenakan kelemahan otot
interkostal dan skoliosis. SMA tipe 2 merupakan 20% dari seluruh kasus SMA.
• Spinal muscular atrophy tipe 3 mulai menunjukkan gejala kelemahan otot
proksimal pada masa kanak-kanak. Pasien dengan SMA tipe 3 biasanya dapat
melakukan seluruh tingkat motorik mayor, termasuk berjalan sendiri. Beberrapa
pasien pada tipe 3 memerlukan bantuan kursi roda, namun ada juga yang dapat
hidup seperti biasanya dengan kelemahan otot yang minor. SMA tipe 3 disebut
juga sebagai Kugelberg-Welander disease dengan frekuensi 30% dari seluruh
SMA. Pada tipe 3 tidak terdapat kelemaan otot respirtori yang signifikan dalam
pembentukan kegagalan nafas. Tipe 3 ini dapat dibagi menjadi tipe 3a (pada
mereka dengan usia onset 18 bulan – 3 tahun) dan tipe 3b (usia onset 3-30 tahun).
• Spinal muscular atrophy tipe 4 ada pada pasien dengan onset >18 tahun dan gejala
yang ringan, yaitu mereka yang bisa berjalan dengan baik pada masa dewasa dan
tanpa gangguan respiratori ataupun nutrisi. SMA tipe 4 memiliki 3-5 SMN2.

Kelima tipe dari SMA dapat dirangkum menjadi tabel sebagai berikut:

Tabel 2.1. Tipe-tipe SMA


Tipe Onset Kegagalan Fungsi Otot Angka Harapan Hidup
0 Prenatal Gagal nafas Hanya beberapa minggu
1 0-6 bulan Tidak dapat duduk sendiri < 1 tahun
2 < 18 bulan Tidak dapat berdiri, dapat duduk sendiri > 25 tahun
3 > 18 bulan Gangguan dalam berdiri dan berjalan saat dewasa Dewasa
4 30 tahun Dapat berdiri tanpa bantuan Dewasa

2.7. Diagnosis
Diagnosis molecular merupakan cara diagnosis standar pada SMA. Dengan tingginya
efisiensi dari uji molekular dan tingginya frekuensi SMA di bayi hipotonik, maka perlu
dikonsiderasikan pengecekan molecular pada kondisi bayi tersebut. Biopsi otot dan
electrodiagnostic testing merupakan prosedur standar untuk evaluasi, tetapi sejak adanya
uji molecular, pemeriksaan-pemeriksaan tersebut bersama dengan investigasi diagnosis
lain tidak terlalu penting.1

Pasien dengan SMA memiliki homozygous loss of function dari kedua cetakan SMN1,
sehingga uji genetik untuk melihat delesi tersebut akan mengonfirmasi 95% pasien dengan
20
penyakit tersebut. Pasien lain dengan SMN-related SMA akan berbentuk compound
heterozygotes dengan delesi SMN1 tunggal, serta mutasi frameshift, nonsense, atau
missense di cetakan SMN1 lainnya. Oleh karena itu, jika delesi homozygous SMN1 tidak
tergambarkan pada pasien dengan suspek SMA, maka dosage analysis dari SMN1untuk
mencari delesi dari salah satu SMN1 serta pengurutan sisa gen SMN1 untuk mencari
mutasi, perlu dilakukan. Delesi homozygous dari SMN1 100% spesifik untuk diagnosis
SMA, dan derajat keparahan penyakit bergantung pada SMN2. Kebanyakan individu yang
sehat akan memiliki 0-3 cetakan SMN2, tetapi 10% individu sehat tidak memilikinya. Oleh
karena SMA berhubungan dengan rendahnya protein SMN, bukan hilang total, maka tidak
ada pasien yang dilaporkan kehilangan kedua gen SMN1 dan SMN2. Sebuah masalah pada
diagnosis molecular muncul karena adanya populasi prenatal dan presimtomatik. Tingkat
keparahan SMA, tidak semata-mata bergantung pada protein SMN2. Maka dari itu,
kounseling genetik perlu diberikan pada pasien dan keluarga terutama pada populasi
presimtomatik.3,11

Uji carrier bisa dilakukan. Frekuensi carrier pada suatu populasi adalah 1:47 dan 1:72 di
populasi lain. Dosage testing SMN1 akan mengidentifikasi 95% carrier, tetapi sisa 5% dari
carrier bisa mengalami delesi dari 1 kromosom pada gen SMN1 dengan duplikasi SMN1
di kromosom lain, atau delesi pada 1 kromosom dengan mutase SMN1 pada kromosom
lainnya. Situasi seperti ini tidak akan teridentifikasi pada dosage testing, sehingga perlu
dilakukan kounseling genetik. 2,3

Gambar 2.2. Alur Diagnosis Spinal Muscular Atrophy 3

21
Beberapa pemeriksaan diagnostik molekular adalah sebagai berikut:2
a. Linkage Analysis
Lokasi dari regio kritikal SMA membuat pemeriksaan linkage analysis menjadi
memungkinkan. Linkage analysis merupakan pemeriksaan genetik pertama untuk
SMA. Dari sentromer ke telomer, marker yang telah ditemukan adalah D5S679,
D5S680, D5S125, D5S681, D5S435, D5S629, D5S823, D5S1556/D5F150
(intragenic/SMN1 promoter region), D5S149 (intragenic/SMN1 promoter region),
D5S557, D5S610, D5S351, 5´-MAP1B, 3´-MAP1B, D5S112, D5S127 dan
D5S539.
b. PCR Single-Strand Conformation Polymorphism
Pemeriksaan ini digunakan untuk mendeteksi delesi homozygous dari SMN1 di
ekson 7 dan ekson 8. Namun PCR-SSCP ini biasa digunakan untuk keperluan
penelitian.
c. PCR-RFLP
Pemeriksaan ini merupakan metode yang paling umum untuk mengonfirmasi
diagnosis SMA dengan cara mendeteksi delesi homozygous SMN1.
d. Quantitative SMN Gene Dosage Analysis
Dikarenakan PCR-RFLP tidak bisa membedakan carriers dengan satu cetak SMN1
dari individu nornal dengan 2 cetakan SMN1, suatu pemeriksaan kuantitatif untuk
mendeteksi SMA carriers.
e. SMN1 Small Intragenic Mutation Analysis
Pemeriksaan ini tidak dilakukan secara rutin karena proses DNA sequencing perlu
dilakukan sehingga terlalu intensif.
f. Prenatal & Preimplantation Genetic Testing
Pemeriksaan prenatal untuk mendeteksi hilangnya SMN1 homozygous bisa
dilakukan pada chorionic villous sampling (CVS) atau cairan amnitoik.

Di Indonesia sendiri, pemeriksaan genetik untuk mendiagnosa SMA sudah bisa dilakukan
di beberapa daerah seperti Jogja, Jakarta, dan Bandung. Pemeriksaan MLPA (Multiple
Ligation Probe Amplification) bisa dilakukan untuk mendeteksi delesi SMN1, tetapi
jarang digunakan karena pertimbangan harga yang cukup mahal. Untuk mendiagnosa
SMA di Indonesia, lebih sering digunakan pemeriksaan PCR untuk mendeteksi delesi gen
SMN1 karena harganya yang lebih terjangkau. Pemeriksaan quantitative PCR (qPCR)
22
menggunakan SYBR Green Detection membantu untuk menentukan jumlah gen SMN2
sehingga tingkat keparahan manifestasi klinis dan terapi kedepannya bisa ditentukan.

Sebelum adanya diagnostik molecular, beberapa studi diagnosis lain untuk


mendemonstrasikan adanya denervasi seperti elektrodiagnositk dan biopsi otot merupakan
alat-alat diagnosis SMA yang penting. Elektrodiagnostik ini sekarang hanya dilakukan
pada pasien atipikal atau pasien dengan ahasil uji delesi SMN1 dan mutasi SMN1 negatif.
Biopsi otot sekarang sudah tidak lagi terindikasi sebagai fitur dari denervasi. Dengan
menimbang frekuensi SMA dan efisiensi uji genetik membaut pemeriksaan yang tidak
diperlukan dan invasif perlu dihindari.

Elektrodiagnostik menunjukan fitur-fitur hilangnya motor neuron yang konsisten dengan


hilangnya fungsi saraf motor. Pada penyakit dengan late onset dimana tunkai dengan
kelemahan membuat banyak diagnosis banding, uji elektrodiagnostik sangat membantu.
Pemeriksaan electromyogram (EMG) akan memberikan gambaran hilangnya beberapa
saraf motor atau aksonal yaitu melalui denervasi aktif dan kompensasi reinervasi, serta
aksi potensial unit motor. Aktivitas spontan abnormal dalam bentuk fibrilasi biasanya juga
menjadi salah satu tanda dari gambaran SMA. Evaluasi dari EMG volunter akan
menunjukan drop out dan kompensasi pembesaran aksi potensial dari unit motor/ motor
unit action potentials (MUAPs). Pada kasus SMA yang berat, MUAPs akan memberikan
gambaran penurunan amplitude dan durasi.3

Tabel 2.2.Hasil Pemeriksaan Elektrofisiologi pada Pasien Spinal Muscular Atrophy 12

Pemeriksaan elektrofisiologi seperti electromyogram (EMG), compound muscle action


potential (CMAP), dan motor unit number estimation (MUNE) dapat membantu
memberikan korelasi dengan derajat keparahan klinis, status fungsional.12
23
Studi konduksi saraf dapat memberikan gambaran chronic motor axonal loss dimana
sensory nerve action potential tetap terjaga. Amplitude CMAP akan dipengaruhi dengan
velositas konduksi yang tersisa. Oleh karena itu, CMAP dapat menggambarkan keparahan
klinis SMA dan fungsinya. Biasanya, pada kasus SMA ringan, CMAP akan memberikan
gambaran yang normal. Oleh karena itu, CMAP biasanya digunakan sebagai biomarker
dari prognosis. MUNE merupakan estimasi dari jumlah neuron motorik atau akson yang
mempersarafi otot. Populasi SMA memberikan gambaran kehilangan unit motor yang
sama. Selain dari kehilangan unit motor, adanya kegagalan transmisi neuromuskular juga
terlihat dari uji MUNE. Namun, perubahan ini belum diketahui apakah berhubungan
dengan defek primer di transmisi neuromuscular junction atau efek sekunder dari dervesi
dan reinervasi. Uji Creatine Kinase biasanya normal pada SMA tipe 1. Sedangkan, pada
SMA tipe lain, level creatine kinase bisa meningkat.2,12

Pemeriksaan biopsi otot sekarang tidak lagi digunakan untuk mendiagnosis SMA. Pada
pasien dengan hasil negative pada uji delesi atau mutase SMN1, manifestasi denervasi
harus diuji dengan pengecekan yang tidak invasif seperti EMG. Biopsi otot tidak bisa
membedakan subtipe SMA. Pada bayi dengan SMA tipe 1 dan 2, biopsy otot bisa
menunjukkan serat yang sudah atrofi diantara yang normal dan hipertrofi. Serat yang atrofi
ini menunjukkan SMA tipe 1 dan 2, dimana kedua tipe tersebut biasanya menunjukkan
lebih banyak bentuk bulat dibandingkan bersudut. Serat-serat yang hipertrofi biasanya ada
pada tipe 1. Pada kasus SMA tipe 2 dan 3 yang ringan, biasanya terbentuk gambaran serat
yang atrofi dan seragam diantara serat otot yang tidak atrofi. Beberapa penemuan klasik
adalah sebagai berikut:1
- Degenerasi dan hilangnya spinal motor neurons dengan neurogenic pattern of
muscle morphology
- Neuronal chromatolysis dengan hilangnya myelinated axon pada akar anterior dan
posterior
- Hilangnya myelin di segmen lumbar dan torakal tertama jalur kortikospinal

24
2.8. Diagnosis Banding
Pada bayi dengan hipotonia dan kelemahan, beberapa diagnosis banding yang dapat
dipertimbangkan antara lain:4
• Miopati kongenital
• Distropi myotonik congenital
• Sindrom myasthenic kongenital
• Miopati metabolik
• Kelainan kongenital dari neuron motorik dan saraf perifer (congenital
hypomyelinating neuropathy)
• Kelainan non-neuromuskular speerti Prader-Willi syndrome, ensefalopati iskemik
akut hipoksia, sepsis neonatal, dan kondisi metabolik atau diskinetik
Beberapa penyakit kelemahan otot yang sering dibandingkan dengan SMA adalah
poliomyelitis dan Duchene Motor Dystrophy dengan perbandingan sebagai berikut:

Tabel 2.3.Perbandingan Penyakit Poliomyelitis dengan Spinal Muscular Atrophy

Poliomyelitis Spinal Muscular Atrophy


Menyerang anterior horn dari spinal cord
Gejala LMN (+)
Kelemahan otot terutama proksimal
Fungsi kognitif tidak terganggu
Manifestasi kelemahan asimetris Manifestasi kelemahan simetris
Penyakit infeksius (fecal - oral) Penyakit genetik
Onset akut Onset kronik

Tabel 2.4.Perbandingan Penyakit Duchene Muscular Dystrophy dengan Spinal Muscular Atrophy

Duchene Muscular Dystrophy Spinal Muscular Atrophy

Kelemahan otot
Pseudo-hypertrophy, refleks bisa normal Atrofi otot, refleks menurun, fasikulasi
Enzim otot meningkat, hasl EMG miopati, Enzim otot mungkin normal, hasil EMG
biopsi otot distrofi neurogenik, biopsi otot atrofi
Degenerasi sel otot Degenerasi sel saraf pada anterior horn
Fungsi kognitif mungkin terganggu Fungsi kognitif normal
Onset: 3-4 tahun Tergantung klasifikasi SMA

25
2.9. Tatalaksana
Spinal muscular atrophy merupakan penyakit yang sangat kompleks karena dapat
mempengaruhi berbagai sistem (terutama sistem pernafasan, saluran cerna, dan ortopedi),
serta merupakan penyakit genetik tanpa adanya terapi definitif. 3,13
Secara simtomatik, terapi dapat dibagi menjadi:4,5
• Sistem pernafasan: Gagal nafas merupakan penyebab mortalitas tertinggi pada SMA
tipe 1 dan 2. Pada SMA tipe 1, bayi harus segera diberikan ventilasi noninfasif
(berupa Bi-level Positive Airway Pressure). Selain itu bayi dengan SMA memiliki
batuk yang lemah karena kelemahan ototnya, sehingga akan meningkatkan resiko
aspirasi dan penumpukan mukus, serta beresiko mengalami pneumonia berulang.
Sehingga bayi harus dimonitor dengan oximetri serta dilakukan suction untuk
menjaga saluran nafas. Antibiotik juga dapat diberikan jika ada resiko pneumonia
dan komplikasi pernafasan lainnya. Tujuan dari bantuan nafas pada SMA tipe 1
adalah untuk memperbaiki kualitas hidup, namun bila ventilasi noninfasif sudah
tidak adekuat, trakeostomi dan ventilasi permanen dapat direkomendasikan jika
keluarga setuju. Pada SMA tipe 2 dan 3 komplikasi nafas tidak seberat tipe 1, namun
efektivitas batuk serta fungsi otot respiratori masih harus dimonitor rutin sambil
tetap memberikan ventilasi noninfasif.
• Sistem saluran cerna:
§ Bayi dengan SMA tipe 1 memiliki kesulitan dalam makan dan menelan
karena disfungsi bulbar, sehingga terjadi kelemahan lidah, kesulitan
membuka mulut, dan tidak dapat mengontrol posisi kepala. Sehingga,
bayi memerlukan waktu untuk makan lebih lama, serta lebih mudah
lelah, sehingga kurangnya asupan makan ini dapat menjadi kelemahan
progresif dan bisa menjadi aspirasi dan failure to thrive. Selain itu bisa
terjadi refluks gastrointestinal, pengosongan lambung yang terlambat,
dan konstipasi. Untuk mencegah aspirasi, makanan dapat diubah
konsistensinya menjadi bubur. Namun secara definitif
direkomendasikan gastrostomy pada usia <12 bulan untuk menjaga
nutrisi dan mengurangi resiko infeksi dari aspirasi.
§ Malnutrisi sekunder dari kekurangan nutrisi oral telah menjadi masalah
pada anak-anak dengan SMA tipe 2. Setiap anak dengan SMA harus
dimonitor oleh spesialis gizi dengan tujuan menjaga kurva pertumbuhan
26
dan mencegah nutrisi yang kurang ataupun berlebihan. Vitamin D dan
kalsium juga penting karena menurunnya densitas tulang seiring
pertambahan usia.
• Sistem muskuloskeletal: Pada anak SMA tidak gawat darurat, kontraktur sendi
sangat sering terjadi, sehingga peregangan otot rutin dan program bracing dapat
dilakukan untuk mencegah kontraktur dan menjaga fleksibilitas otot. Kursi roda
dapat diberikan pada usia 18-24 bulan, namun pada anak yang bisa menahan
bebannya dapat diberikan rangka jalan atau alat bantu jalan. Terapi fisik seperti
berenang dan terapi aquatik juga dapat diberikan. Selain kontraktur, skoliosis dan
dislokasi panggul juga dapat terjadi pada hampir semua anak-anak dengan SMA
dengan komplikasi deformitas rangka dada dan restriksi pernafasan jika tidak
ditangani dengan tindakan operasi, spinal orthosis, atau prostetik.

Secara definitif, masih belum ada terapi yang dapat menyembuhkan SMA. Namun mulai
dibentuk terapi berbasis gen yang terdiri dari:4–6
• Modifikasi splicing dari SMN 2: Dengan obat berupa Nusinersen (IONIS-SMNRX),
suatu antisense-oligonucleotide (ASO) yang meningkatkan inklusi dari exon 7
dalam transkripsi mRNA dari SMN2 dengan cara mengikat pada intronic splice-
silencing-site pada intron 7 dari SMN2 dan mensupresi pengikatan splice-factors
lainnya. Hal ini mengakibatkan peningatan proporsi dari SMN2-mRNA dengan
exon 7 yang akan membentuk SMN2 protein yang fungsional. Nusinersen dapat
diberikan pada seluruh subtipe dari SMA, dengan loading dose intrathecal sebanyak
12 mg setiap 14 hari dengan total 3 kali loading doses, dilanjutkan loading dose
keempat 30 hari kemudian, dan dosis maintenance setiap 4 bulan setelahnya.14,15
• Terapi small-molecules: Memiliki prinsip terapi yang sama dengan nusinersen
(memodifikasi splicing dari SMN2 untuk meningkatkan jumlah SMNprotein yang
fungsional) dengan menggunakan molekul kecil seperti Risdiplam dan Branaplam,
yang dapat digunakan secara oral dan melewati blood-brain barrier. Terapi ini
masih dalam studi lebih lanjut.16
• Terapi Gen dari SMA: Dengan tujuan menggantikan gen SMN1 yang hilang, adeno-
associated viral vector, serotype 9 (AAV9) akan membawa protein SMN menembus
blood-brain barrier sehingga meningkatkan ekspresi SMN1 pada neuron motorik

27
tulang belakang. Pada penelitian dengan tikus, tikus dengan injeksi intravena AAV9
5x1011 akan memiliki rata-rata usia 400 hari, dibandingkan 16 hari pada mereka yang
tidak diberikan AAV9.17 Penelitian pada manusia menggunakan Zolgensma
(AXVS-101) masih dalam penelitian lebih lanjut, dengan hasil dapat meningkatkan
angka harapan hidup, fungsi motorik, dan perkembangan anak. Zolgensma dapat
diberikan pada anak SMA tipe 1 usia <2 tahun dengan injeksi intravena dosis
tunggal.
• Meningkatkan pertumbuhan otot: Myostatin-inhibitors dan Fast Skeletal Muscle
Troponin Activators (FSTA) bertujuan untuk meningkatkan fungsi dan massa dari
otot dengan penelitian pada anak dengan SMA yang masih berlanjut.18

2.10 Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi pada anak dengan SMA adalah gagal tumbuh dikarenakan
kenaikan berat badan yang buruk, skoliosis, kontraktur sendi, dan kesulitan tidur.
Komplikasi jangka panjang yang dapat terjadi antara lain:4,5
• Komplikasi nutrisi dan saluran cerna
o Disfungsi bulbar sering terjadi pada SMA tipe 1, namun dapat terjadi pada SMA
tipe 2 dan SMA tipe 3
o Gangguan saluran cerna seperti konstipasi, pengosongan lambung yang
terlambat, serta refluks gastrofaringeal dengan aspirasi yang dapat mengancam
nyawa
o Obesitas dapat terjadi pada pasien dengan SMA tipe 2 dan 3 yang tidak gawat
darurat
• Komplikasi respiratori
o Komplikasi ini sering terjadi dikarenakan kegagalan progresif dari pernafasan
dikarenakan kelemahan otot respiratori, menurunnya compliance paru-paru dan
dada, dan berkurangnya multiplikasi alveolar.
o Sering terjadi pada SMA tipe 1 dan 2 dan merupakan penyebab kematian
tersering.
o Menurunnya fungsi pernafasan menyebabkan hipoventilasi saat tidur,
pneumonia berulang, serta batuk yang tidak adekuat untuk membersihkan
sekresi saluran pernafasan bawah

28
• Komplikasi ortopedik
o Skoliosis, dislokasi panggul, dan kontraktur sendi merupakan komplikasi yang
sering terjadi pada SMA tipe 2 dan tipe 3
o Skoliosis yajng progresif kemudian dapat menyebabkan gangguan fungsi paru-
paru dan output kardiak.
o Selain skoliosis, kifosis daerah thoracic juga dapat terbentuk
• Komplikasi metabolik
o Berupa asidosis metabolik berat dengan dicarboxylic aciduria dan menurunnya
serum carnitine yang tidak dimengerti penyebabnya.

2.11. Prognosis
Angka harapan hidup dan komplikasi yang akan terjadi pada anak dengan SMA akan
bergantung dari tipe SMA yang diderita oleh anak dan intervensi yang diberikan. Secara
mayoritas, prognosis dari anak dengan SMA akan buruk, sehingga tatalaksana paliatif
dan peningkatan kualitas hidup dapat dipikirkan terutama pada SMA tipe 1. Diagnosis
dan skrining sebelum terjadinya gejala dapat diberikan dalam bentuk genetik konseling,
sebagai tindakan preventif sekaligus edukasi mengenai penyakit yang bisa saja diderita
keluarganya.
Konseling genetik merupakan proses untuk memberikan informasi kepada pasien beserta
keluarganya mengenai penyakit yang ia miliki, metode pewarisannya, dan implikasinya
agar dapat membantu keluarga dalam memutuskan keputusan medis yang akan
ditempuh. Hal yang harus dijelaskan antara lain resiko genetik yang ada, dan edukasi
mengenai riwayat keluarga dan pemeriksaan genetik untuk dapat mengetahui status
genetik dari anggota keluarga. 4, 7
Spinal Muscular Atrophy merupakan penyakit yang diwariskan secara autosomal resesif.
Sebanyak 98% dari orang tua pasien dengan SMA merupakan heterozigot (karier dari
varian SMN1 yang patogenik), tanpa adanya gejala dan tidak memiliki resiko untuk
terjadi penyakit tersebut. Saat kedua orang tua ini memiliki anak, setiap dari anak tersebut
memiliki kemungkinan 25% terkena SMA, 50% menjadi karier asimtomatik, dan 25%
untuk tidak menjadi karier ataupun terkena SMA. Terdapat 2% dari orang tua dengan
SMA yang sebenarnya bukanlah karier SMN1 varian patogenik, dimana anaknya
memiliki varian patogenik de novo.

29
Jika pasien dengan SMA ingin memiliki anak, anak tersebut sudah pasti minimal
merupakan heterozigot dari varian patogenik SMN1, sehingga pasangan dari mereka
dengan SMA harus dilakukan pemeriksaan karier. Jika pasangan tersebut memiliki
paling sedikit dua salinan dari SMN1 protein, berarti pasangan tersebut memiliki
kemungkinan 1:670 untuk menjadi karier, sehingga anak mereka memiliki resiko 1:1340
untuk terkena SMA.
Pemeriksaan generik molekular dapat dasarankan untuk menentukan status karier pada:
• Orang tua dari anak dengan SMA terkonfirmasi
• Orang tua dari anak dengan suspek SMA namun belum terkonfirmasi
• Seseorang yang tidak memiliki riwayat keluarga dengan SMA namun merupakan
pasangan reproduktif dari seseorang dengan karier.
Jika ditemukan delesi exon 7 pada SMN1 di kedua orang tua, maka kasus karier
terkonfirmasi pada kedua orang tua. Namun jika delesi hanya ada pada salah satu orang
tua, mungkin pada pasangan yang tidak ditemukan delesi, terdapat satu kromosom 5
dengan dua SMN1 dan satu kromoson 5 yang tidak memiliki SMN1.
Setelah mengetahui bahwa kedua orang tua merupakan karier dari SMN1 patogenik,
maka kehamilan tersebut termasuk dalam resiko tinggi. Pemeriksaan prenatal dapat
direkomendasikan untuk memprediksi fenotipe dari bayi tersebut sehingga dapat
memprediksi manifestasi klinis dan tipe dari SMA yang mungkin didapatkan. 4
Di Indonesia sendiri dinyatakan bahwa setiap orang dilarang untuk melakukan aborsi,
yang disusun pada pasal 75 ayat (1) Undang-Undang nomor 36 tahun 2009 tentang
kesehatan. Namun, atas pertimbangan medis dan kondisi korban tindak pidana
perkosaan, dibentuklah indikasi-indikasi pengecualian pelarangan aborsi sesuai dengan
undang-undang pasal 75 ayat (2) sebagai berikut:
1. Adanya indikasi darurat medis yang dideteksi pada usia dini kehamilan.
2. Mengancam nyawa ibu dan janin.
3. Adanya penyakit genetik yang tidak bisa diperbaiki sehingga dapat menyulitkan bayi
ketika lahir.
4. Kehamilan akibat pemerkosaan sehingga trauma psikologis ibu.
Pasal 75 ayat (3) berbunyi “Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat
dilakukan setelah melalui konseling pra tindakan dan diakhiri dengan konseling paska
tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang,”

30
Kemudian, pasal 76 menyatakan “aborsi sebagaimana dimaksud pada pasal 75 hanya
dapat dilakukan:
a. Sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama haid
terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis;
b. Oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang memiliki
sertifikat yang ditetapkan oleh menteri;
c. dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan;
d. dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan
e. penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri. “

31
BAB III
PENUTUP

Spinal Muscular Atrophy merupakan penyakit genetik yang menyebabkan degenerasi


dari anterior horn cell yang disebabkan oleh kurangnya ekspresi pada protein SMN.
menyebabkan atrofi dan kelemahan pada otot-otot proksimal sehingga akan mengganggu
kualitas hidup, tumbuh kembang anak, dan bahkan mortalitas. SMA sendiri memiliki 5 tipe
berdasarkan onset dan severitas gejala, dimana semakin kecil angkanya maka semakin cepat
dan buruk komplikasi yang terjadi.
Diagnosis dari SMA sebelumnya menggunakan biopsi otot dan electrodiagnostic
testing sebagai standar mendiagnosa. Namun dengan adanya pemeriksaan molekular, uji
genetik dan uji carrier telah menjadi pilihan utama karena dapat mendiagnosa secara pasti gen
yang terdelesi dan tipe SMA apa yang dimiliki anak. Berbagai cara pemeriksaan molekukar
tersebut antara lain Linkage Analysis, PCR Single-Strand Conformation Polymorphism, PCT-
RFLP, Quantitative SMN Gene Dosage Analysis, SMN1 Small Intragenic Mutation Analysis,
dan Prenatal & Preimplantation Genetic Testing. Di Indonesia sendiri pemeriksaan ini dapat
dilakukan di Jakarta, Bandung, atau Jogja dengan metode MLPA (Multiple Ligation Probe
Amplification) dan qPCR.
Terapi dari SMA dapat kita bagi menjadi secara simtomatik dan terapi gen. Secara
simtomatik, komplikasi pernafasan harus segera diberikan ventilasi non infasif disertai
pemantauan oximetri dan suctioning secara rutin. Secara gastrointestinal, orangtua harus
diedukasi untuk memberikan makanan dengan konsistensi bubur, konsultasi rutin dengan
spesialis gizi, pengukuran status nutrisi rutin, serta direkomendaskan gastrostomy untuk
menjaga nutrisi pada bayi dengan SMA tipe 1. Secara muskuloskeletal, kontraktur dan
skoliosis dapat kita cegah dengan peregangan otot rutin, bracing, prostetik, dan tindakan
operasi. Secara terapi gen, meskipun belum ada obat yang dapat menyembuhkan SMA,namun
mulai berkembang terapi gen yang bertujuan untuk meningkatkan frekuensi dari protein SMN
yang fungsional, baik secara modifikasi splicing ataupun dengan menambahkan langsung
protein SMN.
Konseling genetik dapat dilakukan terutama pada mereka yang memiliki riwayat
keluarga dengan SMA, dimana dilakukan edukasi mengenai penyakit SMA dan peninjauan
resiko terwarisnya SMA pada generasi selanjutnya, sehingga pihak keluarga dapat terbantu
dalam mengambil keputusan medis dan personal.
32
DAFTAR PUSTAKA
1. Pierce Burr; Anil Kumar Reddy Reddivari. Spinal Muscular Atrophy. StatPearls Publ
[Internet]. 2022; Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK560687/
2. Ogino S, Wilson RB. Spinal muscular atrophy: molecular genetics and diagnostics.
Expert Rev Mol Diagn. 2004 Jan;4(1):15–29.
3. Arnold WD, Kassar D, Kissel JT. Spinal muscular atrophy: diagnosis and management
in a new therapeutic era. Muscle Nerve. 2015 Feb;51(2):157–67.
4. Thomas W Prior, PhD, FACMG, Meganne E Leach, MSN, PNP, and Erika Finanger M.
Spinal Muscular Atrophy. 2020;
5. Kolb SJ, Kissel JT. Spinal Muscular Atrophy. Neurol Clin. 2015 Nov;33(4):831–46.
6. Schorling DC, Pechmann A, Kirschner J. Advances in Treatment of Spinal Muscular
Atrophy - New Phenotypes, New Challenges, New Implications for Care. J
Neuromuscul Dis. 2020;7(1):1–13.
7. Adele D’Amico,1 Eugenio Mercuri,corresponding author2 Francesco D Tiziano 3 and
Enrico Bertini. Spinal Muscular Atrophy. StatPearls Publ. 2021;
8. Shababi M, Lorson CL, Rudnik-Schöneborn SS. Spinal muscular atrophy: A motor
neuron disorder or a multi-organ disease? J Anat. 2014;224(1):15–28.
9. Jablonka S, Rossoll W, Schrank B, Sendtner M. The role of SMN in spinal muscular
atrophy. J Neurol. 2000 Mar;247 Suppl 1:I37-42.
10. Hahnen E, Forkert R, Marke C, Rudnik-Schöneborn S, Schönling J, Zerres K, et al.
Molecular analysis of candidate genes on chromosome 5q13 in autosomal recessive
spinal muscular atrophy: evidence of homozygous deletions of the SMN gene in
unaffected individuals. Hum Mol Genet. 1995 Oct;4(10):1927–33.
11. Lefebvre S, Bürglen L, Reboullet S, Clermont O, Burlet P, Viollet L, et al. Identification
and characterization of a spinal muscular atrophy-determining gene. Cell. 1995
Jan;80(1):155–65.
12. David Arnold W, Porensky PN, Mcgovern VL, Iyer CC, Duque S, Li X, et al.
Electrophysiological biomarkers in spinal muscular atrophy: Proof of concept. Ann Clin
Transl Neurol. 2014;1(1):34–44.
13. Groen EJN, Talbot K, Gillingwater TH. Advances in therapy for spinal muscular
atrophy: promises and challenges. Nat Rev Neurol. 2018 Apr;14(4):214–24.
14. Finkel RS, McDermott MP, Kaufmann P, Darras BT, Chung WK, Sproule DM, et al.
33
Observational study of spinal muscular atrophy type I and implications for clinical
trials. Neurology. 2014 Aug;83(9):810–7.
15. Shorrock HK, Gillingwater TH, Groen EJN. Overview of Current Drugs and Molecules
in Development for Spinal Muscular Atrophy Therapy. Drugs. 2018 Mar;78(3):293–
305.

34

Anda mungkin juga menyukai