Anda di halaman 1dari 25

Apendisitis Infiltrat

Oleh:
Maria Louise Rawis
17014101146

Supervisor Pembimbing :
dr. Harsali F Lampus, MHSM, SpBA

Residen Pembimbing :
dr. Jeff Lapian

BAGIAN ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SAM RATULANGI
MANADO
2018
LEMBAR PENGESAHAN

Telah dikoreksi dan dibacakan laporan kasus dengan judul


“APENDISITIS INFILTRAT” pada tanggal Juli 2018

Residen Pembimbing

dr. Jeff Lapian

Supervisor Pembimbing

dr. Harsali F Lampus, MHSM, SpBA

2
BAB I
PENDAHULUAN

Apendisitis atau dikenal masyarakat dengan radang usus buntu adalah


salah satu penyakit yang sering pada anak-anak.1,2 Penyebab apendisitis adalah
obstruksi pada lumen. Obstruksi tersebut dapat terjadi akibat beberapa hal seperti
hiperplasia limfoid, fecalith, benda asing, atau parasit.3
Pada anak-anak yang belum bisa berbicara atau melokalisasi nyeri, sulit
untuk ditegakkan diagnosis klinis apendisitis, kebanyakan anak biasanya hanya
berbaring di tempat tidur dengan gerakan minimal. Untuk anak yang sudah dapat
berkomunikasi atau diatas 6 tahun biasanya gejala sudah dapat diamati. Pada usia
seperti ini anak biasanya mengalami nyeri perut berpindah dari periumbilikal ke
kuadran kanan bawah diikuti mual dan muntah, kemudian demam dan anorexia.4,5
Apendisitis sendiri terjadi dimulai dari obstruksi pada apendiks, kemudian
terjadi akumulasi mukus yang berlebihan pada apendiks dan menyebabkan
inflamasi, berlanjut dengan edema akibat vena yang ikut terbendung sehingga
terjadi translokasi bakteri menjadi apendisitis supuratif dan berlanjut dengan
terganggunya arteri pada apendiks menyebabkan apendisitis gangrenosa, setelah
itu dapat tejadi apendisitis infiltrat yang merupakan bentuk dari respon pertahanan
tubuh atau dapat terjadi perforasi.6-9
Pada seluruh kasus bedah anak yang ditemukan 1-2% kasus berupa
apendisitis. Secara keseluruhan, 1–8% anak-anak yang menunjukkan gejala klinis
nyeri perut mengalami apendisitis akut. Menurut The Lancet pada tahun 1990
tingkat mortalitas apendisitis pada keseluruhan umur adalah sebanyak 875.000
kematian sedangkan pada tahun 2013 mengalami penurunan menjadi 719.000
kematian. Secara nasional, perkembangan penyakit ini belum mendapat perhatian
yang serius. Hal ini ditunjukkan lewat minimnya data tentang apendisitis. Suatu
penelitian di RSUP Prof. R. D. Kandou Manado menunjukkan bahwa selama
periode Oktober 2012 – September 2015 terdapat 650 pasien dengan apendisitis.4,7
Apendisitis sendiri terjadi dimulai dari obstruksi pada apendiks, kemudian
terjadi akumulasi mukus yang berlebihan pada apendiks dan menyebabkan
inflamasi, berlanjut dengan edema akibat vena yang ikut obstruksi dan berlanjut

3
dengan obstruksi arteri pada apendiks yang menyebabkan iskemik dan kemudian
menjadi apendisitis gangrenosa, setelah itu dapat tejadi apendisitis infiltrat yang
merupakan bentuk dari respon pertahanan tubuh atau dapat terjadi perforasi. 6-9
Tatalaksana pada apendisitis adalah dengan pembedahan yaitu
apendektomi, namun pada apendisitis infiltrat tatalaksana yang digunakan berupa
pengobatan konservatif yaitu dengan Ochsner-Sherren regimen yang terdiri dari
rawat inap, cairan intravena, antibiotik, mengukur massa dan pengawasan ketat
pada tanda vital dan keadaan umum pasien.10,11
Berikut ini akan dibahas laporan kasus apendisitis infiltrat pada pasien di
RSUP Prof. R.D. Kandou Manado.

BAB II

4
TINJAUAN PUSTAKA

Definisi
Apendisitis adalah peradangan akut yang timbul pada apendiks dan
merupakan salah satu kasus akut abdomen (nyeri abdominal berat yang timbul
mendadak) yang paling sering ditemui. Infeksi akut apendiks dapat menyebabkan
trombosis dalam arteria appendicularis, yang sering menyebabkan iskemia,
gangren, dan perforasi apendiks yang meradang secara akut. Ruptur apendiks
dapat terjadi dan menginfeksi peritoneum sehingga mengakibatkan peritonitis.
Apendisitis infiltrat yaitu tertutupnya apendiks dengan omentum atau usus halus
atau adneksa sehingga terbetuk massa pada periapendikuler.1,2,9,12

Anatomi dan Fisiologi


Apendiks merupakan organ pencernaan yang terletak pada rongga
abdomen bagian kanan bawah. Apendiks berbentuk tabung dan berpangkal utama
pada sekum, rata-rata panjang apendiks 6-10 cm tetapi dapat bervariasi dari 0,3
hingga 33cm. Diameter apendiks berkisar dari 5 hingga 10 mm. Lumennya sempit
di bagian proksimal dan melebar di bagian distal. Namun, pada bayi apendiks

berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit ke arah ujungnya.5,9,13


Apendiks memiliki beberapa kemungkinan posisi yang didasarkan pada
letak struktur di sekitarnya seperti sekum dan ileum. Letak apendiks 30%
pelvikum yang masuk ke rongga pelvis, 65% terletak dibelakang sekum, 2%
terletak preileal, dan < 1% yang terletak retroileal.

5
Perkembangan embriologi sekum dan usus buntu sangat berkaitan erat
dengan midgut. Sekum adalah hasil dari pembentukan gelung usus
primer/primary intestinal loop. Pembentukan ini dibagi menjadi dua bagian
dengan tingkat pertumbuhan yang berbeda. Bagian distal akan gagal tumbuh
dalam ketebalan dan akan lebih sempit daripada bagian proksimal. Bagian
panjang dan sempit distal ini, tampak seperti cacing, akan menjadi apendiks
vermiform. Apendiks pertama terlihat selama kehamilan minggu kedelapan
sebagai kelanjutan dari ujung inferior sekum. Apendiks berotasi ke posisi terakhir
pada aspek posteromedial sekum, sekitar 2 cm di bawah katup ileocecal, selama
masa kanak-kanak. Apendiks berisi jaringan limfoid, vaskularisasi apendiks
adalah cabang arteri apendikularis dari arteri ileocolica. 5,9,12,13
Pada manusia, fungsi apendiks belum sepenuhnya dipahami. Apendiks
menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir tersebut normalnya dicurahkan ke
alam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran lendir di muara
apendiks tampakya berperan pada patogenesis apendisitis. Pada apendiks
mengandung jaringan limfoid yang melimpah dan dekat dengan pintu masuk
kolon yang dengan demikian terpapar sejumlah besar antigen, sehingga apendiks
dapat memainkan peran dalam sistem kekebalan. Apendiks mengandung
komponen Gut Associated Lymphoid Tissue (GALT) tetapi proporsi GALT pada
apendiks tidak diketahui secara pasti.5,9,12,13

Epidemiologi
Dengan risiko seumur hidup 7-8%, apendisitis akut adalah penyakit
abdomen non traumatik akut yang paling sering membutuhkan pembedahan.
Insidensi apendisitis akut tahunan berkisar antara 90 hingga 140 per 100.000
orang tergantung pada penelitian. Usia rata-rata pasien berkisar antara 20 hingga
30 tahun, insidensi maksimum diamati antara 10 dan 20 tahun, pria lebih berisiko
dibandingkan wanita. Pada anak-anak tingkat apendisitis tahunan meningkat, 1-6
per 10.000 dari lahir hingga usia 4 tahun dan 19-28 per 10.000 untuk anak-anak di
bawah usia 14 tahun, dengan risiko seumur hidup sebesar 9% untuk anak laki-laki
dan 7% untuk anak perempuan dan insiden puncak antara usia 11 dan 12 tahun. 13-
15

6
Etiologi
Massa apendiks terbentuk di awali oleh adanya apendisitis akut. Sumbatan
atau obstruksi pada lumen apendiks merupakan yang paling sering diajukan
sebagai faktor penyebab apendisitis dan infeksi setempat termasuk yang paling
sering menjadi faktor penyebab. Penyebab obstruksi lumen dapat sangat
bervariasi di dalamnya termasuk fecalith, hiperplasia limfoid, atau peradangan
jaringan limfatik lokal sebagai respon terhadap patogen infeksius. Tumor, parasit,
dan benda asing seperti biji-bijian juga dapat menyebabkan obstruksi pada lumen
apendiks.9,16

Patofisiologi
Patofisiologi apendisitis akut secara umum berkaitan dengan proses
inflamasi pada apendiks. Penyebab utama terjadinya inflamasi adalah karena
terdapat obstruksi. Obstruksi tersebut mengganggu fisiologi dari aliran lendir
apendiks sehingga tekanan intralumen meningkat dan terjadi kolonisasi bakteri
yang dapat menyebabkan infeksi pada daerah tersebut. Pada sebagian kecil kasus,
infeksi dapat terjadi secara hematogen dari tempat lain sehingga tidak ditemukan
adanya obstruksi.1,9,17
Setelah terjadi obstruksi, mukus tetap diproduksi dalam apendiks sehingga
apendiks membengkak karena akumulasi mukus dan proliferasi bakteri. Secara
terus-menerus terjadi produksi mukus dan menyebabkan tekanan intralumen
meningkat, saat terjadi peningkatan tekanan intralumen, drainase limfatik dan
vena terganggu sehingga menyebabkan edema lokal. Peradangan timbul meluas
dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri didaerah kanan
bawah. Keadaan ini disebut dengan apendisitis supuratif akut.1,9,17
Peningkatan tekanan lebih lanjut akan membatasi aliran arteri, sehingga
membahayakan jaringan dan akhirnya menyebabkan nekrosis jaringan atau
dikenal dengan apendisitis gangrenosa. Stadium ini disebut dengan apendisitis
gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis
perforasi.1,9,17

7
Bila semua proses apendisitis berjalan lambat, omentum dan usus yang
berdekatan akan bergerak kearah apendiks hingga timbul suatu massa lokal yang
disebut apendisitis infiltrat. Apendisitis infiltrat merupakan tahap patologi
apendisitis yang dimulai dimukosa dan melibatkan seluruh lapisan dinding
apendiks dalam waktu 24-48 jam pertama, apendisitis infiltrat terjadi sebagai
bentuk dari respon tubuh dalam membatasi proses radang dengan menutup
apendiks dengan omentum, usus halus atau adneksa sehingga terbentuk massa
periapendikuler. Didalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang
dapat mengalami perforasi. Jika tidak terbentuk abses, apendisitis akan sembuh
dan massa periapendikular akan menjadi tenang untuk selanjutnya akan mengurai
diri secara lambat. Tetapi tidak semua apendisitis akan berkembang sampai pada
apendisitis perforasi atau pun infiltrat.1,9,17

Manifestasi Klinis
Appensisitis infiltrat didahului oleh keluhan apendisitis akut yang
kemudian disertai adanya massa periapendikular. Gejala klasik apendisitis akut
biasanya bermula dari nyeri di daerah umbilikus atau periumbilikus yang
berhubungan dengan muntah. Dalam 2-12 jam nyeri beralih ke kuadran kanan,
yang akan menetap dan di perberat bila berjalan atau batuk. Terdapat juga keluhan
anoreksia, malaise dan demam yang tidak terlalu tinggi. Biasanya juga terdapat
konstipasi tetapi kadang kadang terjadi diare, mual dan muntah. Pada permulaan
timbulnya penyakit belum ada keluhan abdomen yang menetap. Namun dalam
beberapa jam nyeri abdomen kanan bawah akan semakin progresif. Appendiks
yang terletak retrosekal retroperitoneal (antara sekum dan otot psoas mayor),
tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan tidak ada rangsangan
peritoneal karena appendiks terlindung oleh sekum. Rasa nyeri lebih kearah perut
sisi kanan atau nyeri timbul saat berjalan karena kontraksi otot psoas mayor yang
menegang dari dorsal. Nyeri atipikal biasanya timbul jika appendiks terletak di
dekat otot obturator internus, rotasi dari pinggang meningkatkan nyeri pada pasien
ditemui ketika ujung appendiks terletak di panggul. Radang pada appendiks yang
terletak di rongga pelvis dapat menimbulkan gejala dan tanda rangsangan sigmoid
atau rectum sehingga peristaltis meningkat dan pengosongan rectum menjadi lebih

8
cepat serta berulang. Appendiks yang menempel ke kandung kemih dapat
menimbulkan dysuria dan peningkatan frekuensi kencing akibat rangsangan
apendiks terhadap dinding kandung kemih.1,3,5,9

Pemeriksaan Penunjang
Leukositosis umumnya akan dimeukan pada pemeriksaan laboratorium
yang menandakan adanya infeksi, jumlah leukosit yang sangat meningkat
menunjukkan terjadinya perforasi. Pemeriksaan penunjang lainnya berupa X foto
polos abdomen akan didapati fecalith yang terkasifikasi, hal ini sangat
mendukung diagnosis. Apabila pemeriksaan ini tidak konklusif, dapat dilakukan
pemeriksaan USG abdomen yang akan menunjukkan massa yang berupa
omentum yang menutupi apendiks atau dapat dievaluasi adanya cairan bebas di
dalam rongga abdomen, atau apendiks yang membesar dan berdinding tebal yang
dikelilingi cairan disekitanya.1,9,18

Diagnosis
Anamnesis dan pemeriksaan fisik seringkali cukup untuk menegakkan
diagnosis apendisitis, namun pemeriksaan laboratorium dan penunjang lainnya
dapat dilakukan bila diagnosis belum dapat dipastikan. Pada anak dikenal
pediatric appendicitis score (PAS) (Tabel 1) yaitu sistem penilaian yang
mencakup gejala, pemeriksaan fisik dan tes laboratorium pada anak-anak yang
diduga menderita apendisitis akut.9,19-21

Tabel 1. Pediatric Appendicitis Score (PAS)


Parameter Score
Migration of pain to the right lower quadrant 1
Anorexia 1
Nausea /vomiting 1
Tenderness in right lower quadrant 2
Cough/hopping/percussion tenderness in the 2
right lower quadrant
Elevation in temperature 1
Leukocytes ≥ 10,000/μl 1

9
Shift to the left 1
(Polymorphonuclear neutrophilia ≥ 75%)
Total 10

Pediatric Appendisitis Score (PAS), dengan skor ≤ 5 bukan merupakan apendisitis


dan skor ≥ 6 merupakan apendisitis.
Apendisitis infiltrat terlihat dengan adanya penonjolan di perut kanan bawah.
Pada palpasi di dapatkan nyeri yang terbatas pada regio iliaka dekstra, bisa
disertai nyeri lepas. Defans muskular menunjukkan adanya rangsangan
peritoneum parietale. Nyeri tekan perut kanan bawah ini merupakan kunci
diagnosis. Pada penekanan perut kiri bawah akan dirasakan nyeri di perut kanan
bawag yang di sebut rovsing sign

Diagnosis Banding
Apendisitis infiltrat dapat menyerupai semua kelainan pada intra abdomen
yang dijumpai dengan adanya massa. Tumor pada sekum dapat ditemukan dengan
adanya massa pada perut kanan bawah dengan nyeri dan nyeri tekan akut, namun
dapat ditemukan anemia, penurunan berat badan, dan lemah seluruh badan. Pada
wanita muda dapat dipertimbangkan diagnosis apendisitis dengan gangguan pada
ginekologi karena berbagai kondisi ginekologi yang dapat menyebabkan nyeri
perut kuadran bawah. Salphingitis dapat dipertimbangkan pada gadis remaja
dengan nyeri perut kuadran bawah dan teraba massa atau penonjolan, gejala
mungkin disertai dengan perdarahan vagina, pusing, mual, muntah, dan demam
menggigil pada fase akut. Torsi ovarium juga bisa muncul dengan nyeri perut
kuadran bawah dan teraba massa.15

Penatalaksanaan
Tatalaksana apendisistis berupa pilihan pebedahan atau konservatif. Pada
apendisitis akut dilakukan pengangkatan apendiks dengan pembedahan
(apendektomi) yang biasa dilakukan melalui insisi gridion atau transversa yang

10
dipusatkan pada tiitk McBurney di kuadran kanan bawah abdomen. Pembedahan
biasanya hanya dilakukan untuk apendisitis tanpa komplikasi yaitu apendisitis
akut, suppuratif, dan gangrenosa, sedangkan untuk apendisitis dengan komplikasi
yaitu berupa perforasi atau infiltrat dipertimbangkan untuk dilakukan penanganan
konservatif terlebih dahulu. Pemberian antibiotik selama 10 hari berupa
pemberian gentamisin, klindamisin atau metronidazol adalah standar emas untuk
pengobatan apendisitis konservatif. Pasien dengan apendisitis infiltrat tidak
dianjurkan untuk sesegera mungkin dilakukan apendektomi, tetapi harus
dilakukan terapi konservatif dengan alasan risiko operasi yang tidak diharapkan
pada apendisitis infiltrat, risiko yang dapat terjadi berupa komplikasi dengan
bentuk fistula faecal. Ochsner dan Sherren, mengusulkan manajemen konservatif
awal pada apendisitis infiltrat yang terdeteksi secara klinis. Hal yang diamati yaitu
observasi nadi dan suhu tubuh, mengukur dan mengidentifikasi perkembangan
massa, pemberian antibiotik, dan cairan intravena. Managemen non operatif pada
massa apendiks membutuhkan penilaian yang berkelanjutan terhadap
perkembangan pasien. Terdapatnya abses apendiks harus dilakukan drinase,
appendektomi elektif di rekomendasian setelah terjadi resolusi massa apendiks.
Biasanya disarankan dengan periode interval kira-kira 6-8 minggu. Jika ternyata
tidak ada keluhan atau gejala apapun dan pemeriksaan jasmani dan laboratorium
tidak menunjukkan tanda radang atau abses, sangat di pertimbangkan
membatalkan tindakan bedah. Analgesik di berikan hanya kalau perlu saja.
Observasi suhu dan nadi. Biasanya 48 jam akan meredah. Bila gejala menghebat
tandanya terjadi perforasi maka harus dipertimbangkan apendektomi. Batas dari
massa hendaknya di beri tanda (demografi) setiap hari. Biasanya pada hari ke 5-7
massa mulai mengecil dan terlokalisir.1,5,9,18,22-24

Prognosis
Secara keseluruhan, mortalitas untuk appendisitis pada anak-anak sangat
jarang dan terjadi pada kurang dari 0,1% kasus. Antibiotik telah nyata
menurunkan insiden komplikasi pada apendisitis. Meskipun lama rawat inap dan

11
morbiditas pasien dengan apendisitis dengan komplikasi masih jauh melebihi
pasien dengan appendisitis sederhana, morbiditas keseluruhan pada anak-anak
dengan apendisitis dengan komplikasi kurang dari 10%.5,15

BAB III
LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien

12
Nama : FT
Jenis Kelamin : Laki-laki
No. RM : 53.66.23
Umur : 9 tahun
Alamat : Desa Kanonang
Pekerjaan : Pelajar
Agama : Kristen Protestan
MRS : 23-06-2018, pukul 21.15 WITA

B. Anamnesis
a. Keluhan utama
Nyeri perut kanan bawah
b. Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang ke RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou dengan keluhan
nyeri perut kanan bawah dirasakan pasien sejak 2 hari sebelum masuk
rumah sakit. Awalnya pasien mengeluh nyeri di ulu hati hilang timbul 3
hari SMRS kemudian nyeri berpindah di perut kanan bawah dan menetap,
makin lama intensitas nyeri bertambah. Riwayat demam (+) hilang timbul,
mual dan muntah (+) warna putih kekuningan isi air dan makanan, nafsu
makan berkurang (+), BAK normal, BAB normal, terakhir BAB 1 hari
SMRS. Pasien kemudian dibawah ke RSU Bethesda Tomohon dan dirawat
selama 1 hari kemudian pasien dirujuk ke RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou.
c. Riwayat penyakit dahulu
Riwayat keluhan serupa dialami 2 hari yang lalu. Penyakit asma,
jantung, alergi, demam tifoid dan riwayat operasi sebelumnya disangkal.
d. Riwayat pengobatan
Pasien dirawat selama 1 hari di RSU Bethesda Tomohon dan sudah
diberikan antibiotik.

e. Riwayat penyakit keluarga


Dalam keluarga hanya pasien yang menderita sakit seperti ini.

13
C. Pemeriksaan Fisik Umum
Status Generalis
Keadaan Umum : Anak kurang aktif, menangis
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Nadi : 104 x/menit
Respirasi : 24 x/menit
Suhu Badan : 38,00C
Berat badan : 30 kg
Jantung : Iktus cordis tidak terlihat, teraba (+) SI-SII regular,
murmur (-) , gallop (-)
Paru : Suara pernapasan vesikuler, Rhonki (-/-)
wheezing (-/-)
Abdomen :
- Inspeksi: Membengkak pada perut kanan bawah
- Auskultasi: Bising usus (+) normal
- Palpasi: Nyeri tekan (+), nyeri tekan titik McBurney (+), Rovsing Sign
(+), defans muskular (-), teraba massa ukuran 8x14cm
- Perkusi: Timpani
Pemeriksaan khusus : Psoas Sign (-), Obturator Sign (-), Blumberg Sign
(+)
Ekstremitas : akral hangat, CRT <2 detik

Penilaian dengan PAS:


Parameter Score
Migration of pain to the right lower quadrant 1
Anorexia 1
Nausea /vomiting -
Tenderness in right lower quadrant 2
Cough/hopping/percussion tenderness in the 2
right lower quadrant
Elevation in temperature -
Leukocytes ≥ 10,000/μl -

14
Shift to the left -
(Polymorphonuclear neutrophilia ≥ 75%)
Total 6
Total PAS = 6, merupakan apendisitis.

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium (23/06/2018)
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Leukosit 7000 / uL 4000 – 10000 /uL
6
Eritrosit 4.16 x10 /uL 4.70 – 6.10 x106/uL
Hemoglobin 13.3 g/d 12.0 – 14.0 g/dL
Hematrokrit 38.3 % 37.0 – 47.0 %
Trombosit 181 /uL 150 – 450 /uL
Na 132 mEq/L 135 – 153 mEq/dL
K 3.79 mEq/L 3.50 – 5.30 mEq/L
Cl 95.5 mEq/L 98.0 – 109.0 mEq/L

E. DIAGNOSIS
Apendisitis Infiltrat

F. PENATALAKSANAAN
 Konservatif
 Observasi tanda-tanda peritonitis
 Antibiotik
 Bed rest

G. PROGNOSIS
 Quo ad vitam: Bonam
 Quo ad functionam: Bonam
 Quo ad sanationam: Bonam

FOLLOW UP

15
1. 24-06-18 (Perawatan H1)

S: Nyeri perut kanan bawah, mual


O: KU: Sakit, Kes: CM
N: 100x/m
R: 18x/m
Sb: 38,0°C
Abdomen:
I: datar
A: BU (+)
P: NT (+), Mc.Burney (+), Rovsing sign (+), teraba massa 8x14cm
P: Timpani
A: Apendisitis Infiltrat
P: Ceftriaxone 2x1 iv
Metronidazole 3x1 iv
Ranitidin 2x1 iv
Observasi vital sign
Bed rest
Diet lunak

2. 25-06-18 (Perawatan H2)

S: Nyeri perut kanan bawah


O: KU: Sakit, Kes: CM
N: 110x/m
R: 20x/m
Sb: 37,5°C
Abdomen:
I: datar
A: BU (+)
P: NT (+), Mc.Burney (+), Rovsing sign (+), teraba massa 6x10cm
P: Timpani
A: Apendisitis Infiltrat
P: Ceftriaxone 2x1 iv
16
Metronidazole 3x1 iv
Ranitidin 2x1 iv
Ketorolac 2x1 iv
Observasi vital sign
Bed rest
Diet lunak

3. 26-06-18 (Perawatan H3)

S: Nyeri perut kanan bawah


O: KU: Sakit, Kes: CM
N: 100x/m
R: 20x/m
Sb: 37,4°C
Abdomen:
I: datar
A: BU (+)
P: NT (+), Mc.Burney (+), Rovsing sign (+), teraba massa 6x10cm
P: Timpani
A: Apendisitis Infiltrat
P: Ceftriaxone 2x1 iv
Metronidazole 3x1 iv
Ranitidin 2x1 iv
Ketorolac 2x1 iv
Observasi vital sign
Bed rest

4. 27-06-18 (Perawatan H4)

S: Nyeri perut kanan bawah


O: KU: Sakit ringan, Kes: CM
N: 86x/m
R: 18x/m
Sb: 36,8°C
17
Abdomen:
I: datar
A: BU (+)
P: NT (+), Mc.Burney (+), Rovsing sign (+), teraba massa 5x8cm
P: Timpani
A: Apendisitis Infiltrat
P: Ceftriaxone 2x1 iv
Metronidazole 3x1 iv
Ranitidin 2x1 iv
Ketorolac 2x1 iv
Observasi vital sign
Bed rest

5. 28-06-18 (Perawatan H5)

S: Nyeri perut kanan bawah


O: KU: Baik, Kes: CM
N: 84x/m
R: 18x/m
Sb: 36,5°C
Abdomen:
I: datar
A: BU (+)
P: NT (+), Mc.Burney (+), Rovsing sign (+), teraba massa 4x7cm
P: Timpani
A: Apendisitis Infiltrat
P: Rawat jalan
Cefixime
Paracetamol
Ranitidin

18
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien seorang laki-laki usia 9 tahun di rujuk ke RSUP Prof. Dr. R. D.


Kandou dengan keluhan nyeri perut kanan bawah dirasakan pasien sejak 2 hari
sebelum masuk rumah sakit. Untuk menegakkan diagnosis perlu dilakukan

19
anamnesis dan pemeriksaan fisik dan kemudian dapat dilakukan tatalaksana yang
sesuai.

Pada kasus ini didapatkan dari anamnesis, pasien mengeluh nyeri pada
perut kanan bawah sejak 2 hari SMRS. Nyeri awalnya dirasakan di daerah ulu
hati, lama kelamaan rasa nyeri dirasakan makin tajam dan menjalar sampai ke
perut kanan bawah. Nyeri dirasakan terus menerus dan nyeri menetap. Keluhan
sebelumnya disertai mual dan muntah, serta nafsu makan yang menurun. Pasien
juga memiliki riwayat demam hilang timbul pada hari sebelumnya. Sesuai dengan
teori, pada apendisitis presentasi awal yang paling umum adalah nyeri
periumbilikal yang kemudian bermigrasi dalam beberapa jam ke fossa iliaka
kanan. Sebelumnya terdapat periode anoreksia, mual dan muntah yang
berlangsung 12-24 jam. Muntah yang parah jarang terjadi. Biasanya pasien
mengalami anoreksia terlebih dahulu diikuti oleh nyeri perut pada daerah
periumbilikal, kemudian muntah dan akhirnya nyeri di pada kuadran kanan
bawah. Demam juga dapat terjadi akibat dari reaksi inflamasi, biasanya suhu
demam 37,5-38,8°C bila suhu tinggi biasanya sudah terjadi perforasi. Saat sudah
terjadi apendiistis infiltrat biasanya jarang ditemukan demam, mual dan muntah
tidak ada dan nafsu makan mulai kembali normal.9,25,26

Pemeriksaan fisik pada pasien didapatkan tanda-tanda apendisitis. Dari


hasil pemeriksaan fisik abdomen pada palpasi didapatkan adanya nyeri tekan di
titik McBurney. Adanya nyeri tekan di titik McBurney menunjukkan bahwa
pasien mengalami apendisitis. Selain itu ditemukan juga adanya nyeri pada perut
kanan bawah apabila dilakukan penekanan pada sisi kontralateral (Rovsing
Sign), dan saat dilakukan pemeriksaan Blumberg sign didapatkan hasil positif.
Adanya Rovsing sign dan Blumberg sign dapat membantu menegakkan diagnosis
apendisitis. Pada pemeriksaan khusus lainnya yaitu Psoas sign dan Obturator sign
didapatkan hasil negatif. Pada palpasi abdomen kuadran kanan bawah teraba
massa berukuran 8x14cm dengan permukaan rata dan tidak berbenjol-benjol,
dengan ditemukan massa pada abdomen kuadran kanan bawah menunjang
diagnosa apendisitis infiltrat pada kasus ini. Pada teori, pemeriksaan fisik pada
pasien dengan apendisitis infiltrat inspeksi dapat terlihat benjolan pada perut
kanan bawah, pada palpasi ditemukan nyeri tekan pada palpasi titik McBurney di

20
mana titik McBurney terletak pada sepertiga distal garis antara umbilikus dan
SIAS (spina iliaka anterior superior) kanan. Apendisitis infiltrat terlihat dengan
adanya penonjolan di perut kanan bawah. Pada palpasi di dapatkan nyeri yang
terbatas pada regio iliaka dekstra, bisa disertai nyeri lepas. Defans muskular
menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietale. Nyeri tekan perut kanan
bawah ini merupakan kunci diagnosis. Pada penekanan perut kiri bawah akan
dirasakan nyeri di perut kanan bawah yang di sebut rovsing sign. 5,16,25,27

Pada kasus ini, pasien didiagnosis dengan apendisitis infiltrat setelah


dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pada anamnesis ditemukan riwayat
apendisitis akut selama 2 hari sebelum pasien masuk rumah sakit, pemeriksaan
fisik abdomen ditemukan massa berukuran 8x14cm pada perut kuadran kanan
bawah, menandakan adanya walling-off, sehingga bisa didiagnosis dengan
apendisitis infiltrat. Dari kepustakaan, pada apeandisitis akut kadang-kadang
dapat terjadi walling-off sebagai bentuk mekanisme pertahanan tubuh yang
didapatkan dalam bentuk massa inflamasi atau apendisitis infiltrat. Apendisitis
infiltrat terbentuk ketika apendiks yang terinflamasi ditutup dengan omentum dan
usus halus sebagai bentuk mekanisme pertahanan tubuh pasien untuk mencegah
terjadinya infeksi yang lebih luas. Diagnosis apendisitis infiltrat ditentukan
dengan ditemukannya massa yang teraba pada pemeriksaan palpasi abdomen.9,28-30

Penanganan pada pasien ini berupa konservatif, pasien dirawat selama 6


hari bed rest, dengan pemberian antibiotik ceftriaxone dan metonidazole intravena
dan observasi ukuran massa, pasien kemudian di indikasikan rawat jalan setelah
hari perawatan ke 5 dengan didapati perbaikan pada pemeriksaan tanda vital dan
pemeriksaan fisik dan ukuran massa yang semakin mengecil. Dalam teori
kepustakaan, terapi untuk pasien dengan apendisitis infiltrat adalah berupa terapi
konservatif, dengan dikenalkannya terapi konservatif oleh Ochsner-Sherren
berupa pemberian antibiotik intravena, tirah baring, observasi massa dengan
palpasi, dan observasi tanda-tanda vital. Antibiotik intravena berupa gentamisin,
klindamisin atau metronidazole adalah standar emas untuk pengobatan apendisitis.
Namun baru-baru ini ada pergeseran ke arah regimen antibiotik yang lebih
sederhana. Terapi antibiotik tunggal dengan piperacillin atau cefotaxime, atau
terapi antibiotik ganda dengan ceftriaxone dan metronidazole, telah terbukti dapat

21
menjadi pilihan antibiotik yang lebih efektif dan tidak mahal dalam biaya. Saat ini
pilihan dosis yang efektif digunakan yaitu satu kali sehari. Dengan ceftriaxone
50mg/kg/hari dan metronidazol 30mg/kg/hari menunjukkan regimen antibiotik
yang paling sederhana dan tidak mahal. Massa apendiks dengan proses radang
yang masih aktif ditandai dengan didapati keadaan umum pasien masih terlihat
sakit, suhu tubuh masih tinggi, pemeriksaan lokal pada abdomen kuadran kanan
bawah masih jelas terdapat tanda- tanda peritonitis, laboratorium masih terdapat
lekositosis dan pada hitung jenis terdapat pergeseran ke kiri. Masa appendiks
dengan proses radang yang telah mereda dengan ditandai dengan didapati keadaan
umum telah membaik dengan tidak terlihat sakit, suhu tubuh tidak tinggi lagi,
pemeriksaan lokal abdomen tenang, tidak terdapat tanda-tanda peritonitis dan
hanya teraba massa dengan batas jelas dengan nyeri tekan ringan.1,5,28,31

BAB V

KESIMPULAN

Apendisitis infiltrat merupakan peradangan pada apendiks disertai usaha


pertahanan tubuh membatasi proses radang dengan terbungkusnya apendiks
dengan omentum, usus halus, atau adneksa sehingga terbentuk massa. Gejala yang

22
muncul berupa gejala khas apendisitis yaitu nyeri di epigastrium yang kemudian
berpindah ke kuadran kanan bawah. Nyeri dapat disertai dengan mual, muntah,
dan anoreksia.
Pada kasus ini pasien didiagnosa dengan appendisitis infiltrat. Diagnosa
ditegakkan berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik, ditemukan massa pada
palpasi kuadran kanan bawah abdomen yang menandakan adanya massa infiltrat.
Penanangan yang diberika berupa terapi konservatif dengan tirah baring,
antibiotik, dan cairan intravena.

DAFTAR PUSTAKA

1. Sullins VF, Lee SL. Appendicitis. In Ashcraft’s Pediatric Surgery. 6th.


Edition. Elsevier Inc.; 2014. p. 568-579.
2. Bonadio W, Peloquin P, Brazg J, Sceinbach I, Saunders J, Okpalaji C,
Homel P. Appendicitis in preschool aged children: Regression analysis of
factors associated with perforation outcome. Journal of Pediatric Surgery.
2015; 50(9): 1569-1573.
3. Pratignyo A. Beda Saluran Cerna Anak. SAP Publish Indonesia. 2011. 307
p. 104-110

23
4. Almaramhy HH. Acute appendicitis in young children less than 5 years:
review article. Italian Journal of Pediatrics. 2017; 43:15.
5. Columbani PM, Scholz S. Intussusception. In Pediatric Surgery. 7 th
Edition. Elsevier. 2012. p. 1093-1110.
6. Windy CS, Sabir M. Perbandingan antara suhu tubuh, kadar leukosit, dan
Platelet Distribution Width (PDW) pada apendisitis akut dan apendisitis
perforasi di Rumah Sakit Umum Anutapura Palu Tahun 2014. Jurnal
Kesehatan Tadulako. 2016; 2(2): 1-72.
7. Thomas GA, Lahunduitan I, Tangkilisan A. Angka kejadian apendisitis di
RSUP Prof. Dr. R.D. Kandou Manado periode Oktober 2012 – September
2015. Jurnal e-Clinic (eCl). 2016; 4(1):231-236.
8. Lindseth GN. Gangguan Usus Halus. Dalam: Patofisiologi Konsep klinis
proses-proses penyakit. Penerbit buku Kedokteran EGC. 2005; p. 448.
9. Sjamsuhidajat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta:
EGC; 2011. Hal 755-64
10. Mohamed A, Bhat N. Acute appendicitis of diagnosis and management.
The Internet Journal of Surgery. 2009; 23(2): 1-10.
11. Gonzales MC, Rodriguez JCB, Moore EH, Atanay DA. Predictors of
recurrebt appendicitis after non-operative management of children with
perforated appendicitis presenting with an appendicular inflammatory
mass. Arch Dis Child. 2014; 99(2): 154-157.
12. Moore KL, Dalley II AF. Anatomi berorientasi klinik. Penerbit Erlangga.
2013; p. 271-275. (Terjemahan).
13. Keyzer C. Historical background, anatomy and function, etiology and
epidemiology. In Imaging of acute appendicitis in adults and children.
Springer-Verlag. 2011. p. 3-9.
14. Almstrom M, Svensson JF, Svenningsson A, Hagel E, Wester T.
Population-based cohort study on the epidemiology of acute appendicitis
in children in Sweden in 1987-2013. BJS Open. 2018; 2: 142-150.
15. Podany AB, Tsai AY, Dillon PW. Acute appendicitis in pediatric patients:
An update Narrative Review. Journal of Clinical Gastroenterology and
Treatment. 2017; 3(1).
16. Peker K, Kilic K. A case chronic appendicitis. Journal of Medical
Sciences. 2012; 2(2): 78-80.
17. Obinwa O, Peirce C. Pediatric advances appendicitis. In Appendicitis.
Nova Science publishers. 2014. p. 37-59.
18. Marcdante KJ, Kliegman RM, Jenson HB, Behrman RE. Ilmu Kesehatan
Anak Esensial. Edisi keenam. Elsevier Saunders. 2011; p. 481.
(Terjemahan).
19. Sayed AO, Zeidan NS, Fahmy DM, Ibrahim HA. Diagnostic reliability of
pediatric appendicitis score, ultrasound and low-dose computed
tomography scab in children with suspected acute appendicitis.
Therapeutics and Clinical Risk Management. 2017; 13: 847-854.
20. Parveen KZ, Avabratha KS, Shetty K. Pediatric appendicitis score in the
diagnosis of childhood appendicitis: a validation study. International
Journal of Contemporary Pediatrics. 2017; 4(6): 2196-2199.
21. Salo M, Friman G, Stenstrom P, Ohlsson B, Arnbjornsson E. Appendicitis
in children: Evaluation of the pediatric appendicitis score in younger and

24
older children. Surgery Research and Practice. 2014; Article ID 438076.
http://dx.doi.org/10.1155/2014/438076
22. Bahram MA. Evaluation of early surgical management of complicated
appendicitis by appendicular mass. International Journal of Surgery. 2011;
9: 101-103.
23. Cunnigaiper ND, Praveen RAJ, Ganeshram P, Venkatesan V. Does
ochsner-sherren regim still hold true in the management of appendicular
mass? Turkish Journal of Trauma & Emergency Surgery. 2010; 16(1): 43-
46.
24. Bhat MS. SRB’s Clinical Methods in Surgery. Jaypee Brothers Medical
Publishers Ltd. 2010. p. 518-519.
25. Tjandra JJ. The Appendix and Meckel’s diverticulum. In Textbook
Surgery 3rd Edition. Blackwell Publishing. 2006; p. 179-180.
26. Reust CE, Williams A. Acute abdominal pain in children. American
Family Physician. 2016; 93(10): 830-837.
27. Humes DJ, Simpson J. Acute appendicitis. BMJ. 2006; 333: 530-534.
28. Mutwali IM, Hafiz MM, Abdulmagid HMA. Appendiceal mass
management at Bahri Teaching Hospital: Results of a prospective and
restropective clinical study. Scholar Bulletin. 2015; 1(4): 78-82.
29. Assefa Z. Management of inflammatory appendiceal mass in Zewditu
Memorial Hospital, Addis Ababa, Ethiopia. Ethiop Med J. 2016; 54(2):
57-62.
30. Meshikhes AWN. Appendiceal mass: Is interval appendicectomy
“something of the past” World J Gastroenterol. 2011; 17(25): 2977-2980.
31. Deelder JD, Richir MC, Schoorl T, Schreurs WH. How to treat an
appendiceal inflammatory mass: Operatively or nonoperatively? Journal of
Gastrointesinal Surgery. 2014; 18(4): 641-645.

25

Anda mungkin juga menyukai