Anda di halaman 1dari 26

FAKULTAS KEDOKTERAN REFERAT

UNIVERSITAS HASANUDDIN FEBRUARI 2019

FIXED DRUG ERUPTION DAN EXHANTEM DRUG ERUPTION

DISUSUN OLEH :

Mutadayenah C111 15 097

Bella Aprilni Kriwangko C111 15 099

Christin Bala C111 15 100

Andi Wardatul Ulfah Lufini C111 15 102

Pembimbing Residen

dr. Pipim Septiana Bayasari

Pembimbing Supervisor

dr. Suci Budhiani,Sp.KK,M.Kes

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

BAGIAN KULIT DAN KELAMIN FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2019
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertandatangan dibawah ini, menyatakan bahwa:

Nama :

1. Mutadayenah C111 15 097


2. Bella Aprilni Kriwangko C111 15 099
3. Christin Bala C111 15 100
4. Andi Wardatul Ulfah Lufini C111 15 102

Judul referat :Fixed drug Eruptions dan Exhantem Drug Eruptions

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada Departemen Ilmu

Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Makassar, 25 Februari 2019

Pembimbing Supervisor Pembimbing Residen

dr. Suci Budhiani,Sp.KK,M.Kes dr. Pipim Septiana Bayasari

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ..................................................................................... i

HALAMAN PENGESAHAN............................................................................ ii

2
DAFTAR ISI .................................................................................................... iii

BAB 1. PENDAHULUAN ................................................................................ 1

BAB 2. PEMBAHASAN................................................................................... 3

2.1 Definisi.................................................................................................... 3

2.2 Epidemiologi........................................................................................... 3

2.3 Etiopatogenesis....................................................................................... 4

2.4 Gejala Klinis............................................................................................ 11

2.5 Diagnosis................................................................................................. 13

2.6 Diferential Diagnosis.............................................................................. 16

2.7 Penatalaksanaan...................................................................................... 19

2.8 Prognosis................................................................................................ 22

BAB 3. KESIMPULAN...................................................................................... 23

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 24

3
BAB 1

PENDAHULUAN

Obat merupakan bahan kimia yang digunakan untuk pemeriksaan,

pencegahan, dan pengobatan suatu penyakit atau gejala. Selain manfaatnya, obat dapat

menimbulkan reaksi yang tidak diharapkan yang di sebut reaksi simpang obat. Reaksi

simpang obat dapat mengenai berbagai organ tetapi reaksi pada kulit merupakan reaksi

tersering yang disebut Cutaneous Adverse Drug Reaction (CADR) atau disebut juga

erupsi obat alergi. Erupsi Obat Alergi adalah suatu reaksi yang dapat menyebabkan

perubahan struktur atau fungsi pada kulit dan mukosa yang disebabkan karena

penggunaan obat.1

Prevalensi Erupsi Alergi Obat di Negara maju yaitu sebesar 1%-3% dan 2%-5%

dinegara berkembang dari seluruh reaksi simpang obat yang dilaporkan. Bentuk

Adverse Drug Eruption yang sering ditemui adalah Exanthema drug eruption (35,5%),

urticaria (26,17%), dan Fixed Drug Eruption (17,87%).2

Fixed drug eruptions adalah kelainan kulit yang muncul di tempat yang sama

setelah penggunaan obat yang sama. Fixed Drug Eruptions paling sering disebabkan

oleh obat-obat golongan Non Steroid Anti-Inflamatory Drug (NSAID) seperti diclopenac

(18,6%). Sedangkan Exhantem drug atau yang disebut juga Erupsi Makulo popular

adalah kelainankulit yang tersebar secara generalisata dan simetris yang dapat timbul

sebagai akibat penggunaan obat. Obat yang paling sering menyebabkan Exhantem Drug

Eruptions adalah Amoxicilin dengan 39,7%.2

Exanthema Drug Eruption dan Fixed Drug Eruption bukan merupakan kasus

yang mengancam jiwa dimana akan menyembuh bila obat penyebab dapat diketahui dan

disingkirkan. Namun demikian dilihat dari sudut pandang kosmetik sangat mengganggu
dan menimbulkan perasaan tidak nyaman. Jika tidak diterapi secara kausal maka dapat

bertambah parah dengan adanya penambahan jumlah lesi.

2
BAB 2

PEMBAHASAN

2.1. Definisi

Fixed drug eruption adalah suatu kelainan kulit yang biasanya muncul secara

soliter, eritem, berwarna merah menyala atau merah kehitaman berbentuk makula atau

plak berwarna merah yang bisa berkembang menjadi bulla.3

Exhantem drug eruptions adalah kelainan kulit generalisata dan simetris, yang

terdiri atas eritema, makula yang berkonfluens, dan/atau papul yang tersebar di wajah,

telapak tangan dan kaki, dan selalu disertai pruritus. Exhantem drug eruptions ini

biasanya terjadi dalam 1 minggu setelah dimulainya terapi dan dapat muncul 1 atau 2

hari setelah terapi obat dihentikan.3

2.2. Epidemiologi

Prevalensi Cutaneus Adverse Drug Reaction di Negara maju yaitu sebesar 1%-

3% dan 2%-5% dinegara berkembang dari seluruh reaksi simpang obat yang

dilaporkan.2,4 Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh B. Janadhan, prevalensi

terjadinya Exhantem drug eruptions merupakan Cutaneus Adverse Drug Reaction yang

paling banyak ditemukan dengan prevalensi sebesar 35,5%. Amoxicilin merupakan obat

penyebab Exhantem Drug Eruption terbanyak dengan 39,7%, kemudian Sefalosporin

(22,2%), Ampicilin (19,8%), Phenytoin (13,4%) dan Carbamazepin (4,6%).2

Fixed Drug Eruption sebesar 17,9% dari seluruh diagnosis Cutanues Adverse

Drug Reaction. Fixed drug eruption disebabkan oleh obat-obat golongan Non Steroid

Anti-Inflamatory Drug (NSAID) seperti diclopenac (18,6%), Cotrimoxazole (16,27%),

Ciprofloxacin (13,95%), Ibuprofen (11,62%), Ofloxacin (10,46%), Phenytoin (10,46%),

3
Metronidazole (6,97%), Carbamazepine (5,81%), Levofloxacin (2,32%), dan

Gatifloxacin (2,32%).10 Berdasarkan penelitian yang dilakukan di India pada tahun 2018

ditemukan perbandingan Fixed drug eruptions pada pria dan wanita yaitu 1 : 1.2 dengan

angka kejadian Fixed Drug Eruption tertinggi yaitu pada usia 31-40 tahun.2

2.3. Etiopatogenesis

2.3.1. Innate and Adaptive Immunity

Menurut sejarah, immunitas adalah perlindungan terhadap suatu penyakit dan

lebih spesifik, penyakit infeksi. Akan tetapi fungsi fisiologis dari reaksi imun tidak

hanya ditimbulkan oleh mikroba infeksius tetapi juga oleh substansi asing yang tidak

infeksius.9

 Innate immunity adalah garis pertahanan pertama untuk melindungi manusia dari

serangan patogen dan membersihkan jaringan tubuh dari sel-sel mati da

produknya. Komponen terpenting dari innate immunity adalah:9


a. Pertahanan fisik dan kimia, seperti epitel pada permukaan tubuh, lisozim, saliva

dan
air mata.9
b. Sel fagosit (neutrofil, makrofag), sel dendritik, Natural killer, sel mast, dan sel

limfoid lainnya.9
c. Protein darah yaitu sistem komplemen dan mediator-mediator inflamasi.9
 Respon imun yang lebih kuat dari immunitas innate untuk mengeliminasi

patogen
yang lebih banyak dan spesifik adalah immunitas adapatif. Immunitas adaptif

terdiri dari 2 respon yang berbeda,yaitu immunitas selular dan humoral.9


a. Immunitas humoral
Respon imun ini diperantarai oleh protein darah dan sekresi mukosa yang

dikenal dengan antibodi, yang diproduksi oleh limfosit B. Antibodi dapat

berikatan dengan mikroba dan toksin yang dihasilkan mengeliminasinya

4
dengan mekanisme effektor yang bervariasi. Sebagai contoh, ada antibodi

yang dapat menyebabkan ingesti mikroba oleh sel host (fagositosis), ada

juga yang dapat memicu dilepaskannya mediator-mediator inflamasi, dan

juga dapat menembus plasenta untuk memberikan perlindungan melawan

mikroba yang teringesti maupun terinhalasi oleh bayi yang baru lahir.9
b. Immunitas selular (Cell Mediated Immunity)
Immunitas selular diperantarai oleh limfosit T, bekerja dengan

mengeliminasi mikroba yang bertahan dari immunitas innate dan terus

berproliferasi dalam fagosit dan sel host lainnya, dan tak berhasil

ditaklukkan oleh antibodi yang bersirkulasi. Limfosit T memicu destruksi

mikroba yang terus berproliferasi dan fagosit atau membunuh sel yang

terinfeksi untuk mengeliminasi sumber infeksi. Beberapa limfosit T juga

bekerja dengan cara merekrut lebih banyak leukosit untuk mengeradikasi

patogen dan juga membantu limfosit B membentuk antibodi yang efektif.9

2.3.2 Hipersensitivitas

Immunitas adaptif memiliki fungsi penting dalam pertahanan host untuk

melawan infeksi mikroba, akan tetapi respon imun juga mampu menyebabkan

kerusakan jaringan. Inilah yang disebut hipersensitivitas, dimana respon imun tidak

terkontrol dan menyerang sel host itu sendiri. Keadaan ini dapat dipicu oleh

mikroorganisme komensal dan antigen lingkungan yang sebenarnya tidak

berbahaya.9

2.3.3.Faktor Resiko Alergi Obat

2.3.3.1 Faktor yang berhubungan dengan obat


 Ada beberapa kelas obat tertentu memiliki kemampuan untuk menjadi

hapten, pro hapten maupun non hapten. Pemberian obat yang terputus-

5
putus dan berulang diyakini lebih mensensitasi dibanding pemberian

obat yang jarang. Selain itu, rute pemberian obat secara parenteral

juga diyakini lebih mensensitasi dibanding rute pemberian oral.17


2.3.3.2 Faktor yang berhubungan dengan host
 Insiden alergi obat lebih sering ditemukan pada wanita dibanding pria

meskipun tidak ditemukan perbedaan signifikan dari manifestasi klinis

dan tingkat mortalitas antara keduanya.


 Genetik
 Penyakit pernyerta diyakini menjadi faktor presdisposisi untuk

meningkatkan reaksi alergi pada obat dengan mengubah jalur

metabolik dan menginduksi variasi respon imun terhadap obat.17

2.3.4. Patomekanisme Exanthem Drug Eruption dan Fixed Drug Eruption

Ada beberapa faktor resiko yang mempengaruhi terjadinya alergi obat. Faktor

resiko tersebut antara lain: jenis obat, berat molekul obat, kimiawi obat, regimen

pengobatan, faktor penjamu, atopi, penyakit tertentu, gangguan metabolisme dan

lingkungan.

Drug hypersensitivity reaction berfokus pada interaksi antara obat dan sistem

imun dengan mekanisme yang berbeda-beda (tabel 1 dan 2).11

Exanthema Drug Eruption adalah bentuk paling umum dari erupsi kulit akibat

obat.8 Exanthema Drug Eruption dapat disebabkan oleh berbagai macam obat

seperti beta-laktam (penisillin), antibiotik sulfonamid, Non-nucleoside Reverse

Transcritase Inhibitors (nevirapin), obat-obatan anti-epilepsi (karbamazepin), Non

steroid anti inflammatory drugs (NSAIDs), allopurinol, derivat hidantoin, isoniazid,

eritromisin dan streptomisin.3,5,6 Sedangkan obat-obatan yang paling sering

menyebabkan Fixed Drug Eruption adalah tetrasiklin, sulfonamid, metronidazole,

6
nistatin, salisilat, Non Steroid Anti Inflammatory Drugs (NSAIDs), phenacetin,

fenilbutazone, kontrasepsi oral, barbiturat, kuinin dan fenolftalein.5

Exhantem Drug Eruptions and Fixed Drug Eruptions sering dikaitkan dengan

reaksi hipersensitivitas immunologi. Patofisiologi yang mendasari dapat bermacam-

macam, ada hipotesis tentang Delayed type hypersensitvity (DTH), hipotesis hapten,

pro-hapten dan hipotesis p-i (pharmacological interaction). Dalam sebagian besar

kasus, patomekanisme yang mendasari adalah hipersensitivitas tipe IV (Delayed

type hypersensitivity).7,11

Untuk hipotesis hapten, obat yang memiliki ukuran yang terlalu kecil (<1000

Dalton) untuk dikenali oleh sistem imun sehingga menjadi ‘hapten’ dan membentuk

ikatan dengan self-protein carrier. Ikatan ini kemudian akan dikenali sebagai

antigen oleh Antigen Presenting Cell (APC) dan akan dipajankan ke sel T.6

Obat sebagai pro-hapten, obat tidak dapat berikatan dengan protein dan bersifat

tidak reaktif, akan tetapi menjadi reaktif ketika mengalami proses biodegradasi dan

detoksifikasi. Setelah biodegradasi obat oleh sitokrom P450 dihasilkan intermediet

reaktif yang kemudian dapat bersifat hapten, yaitu dapat berikatan dengan self

protein dan di kenali sebagai antigen oleh APC. Kerentanan terhadap reaksi ini

mungkin disebabkan karena adanya polimorfisme dan mutasi enzimatik.6

Untuk hipotesis p-i (pharmacological interaction) / non-hapten, ada obat-obatan

yang bersifat antigenik dan tidak butuh berikatan dengan self protein untuk dikenali

sebagai antigen.6

2.3.4.1 Patomekanisme Exanthem drug eruption

Patomekanisme yang mendasari Exanthem drug eruption adalah hipersenstivitas

tipe IVa. Dalam hal ini, ketika obat dengan mekanisme obat bersifat sebagai

7
hapten,pro-hapten atau non-hapten dideteksi sebagai antigen yang kemudian dibawa

oleh Antigen presenting cell (APC) untuk dipajankan pada sel T naif. APC

mengeluarkan sitokin-sitokin seperti TNF-α sebagai pro-inflamasi dan IL-12, INF- γ

yang berperan dalam diferensiasi sel T naif menjadi Th1. Setelah pematangan Th1,

maka Th1 menghasilkan sitokin INF- γ yang dapat menginduksi difrensiasi sel T

naif menjadi Th1 dan memperkuat reaksinya, selain itu INF- γ menginduksi aktivasi

makrofag untuk menghacurkan antigen. Proses ini menghasilkan reactive oxygen,

nitric oxide dan ezim lisosomal yang dapat mengahcurkan antigen dan juga sel

epidermis yang normal. Selain itu INF- γ juga meningkatkan produksi ICAM-1

(Intracellular adhesion molecule-1) untuk menarik lebih banyak limfosit ke

epidermis yang akhirnya mengahasilkan banyak mediator-mediator peradangan dan

menyebabkan peradangan pada kulit..[6,9,12]

4.3.4.2 Patomekanisme Fixed drug eruption (FDE)

FDE umumnya muncul pada kulit yang sebelumnya mengalami trauma misalnya

gigitan serangga atau luka bakar.[10] Hal inilah yang memperkuat dugaan bahwa

adanya keterlibatan sel T CD8+ residen intraepidermal. Sel T residen diyakini

menginisiasi lesi pada FDE sambil melinduni epidermis dari infeksi berulang. Sel

ini berada di dermal-epidermal junction dan akan tetap diam sampai terjadi paparan

ulang oleh obat-obatan penyebab. Ketika terjadi paparan ulang, maka sel T CD8+

akan melepaskan INF- γ dan granul sitotoksik (granzyme B) yang dapat

menyebabkan apoptosis keratinosit.[6,16]

Tipe Mekanisme Imun Mekanisme Kerusakan jaringan

Hipersensit dan Penyakitnya

ivitas
Tipe I Antibodi IgE, sel Th2 Sel mast, eosinofil dan mediator-

8
mediatornya.(Amin vasoaktif,

mediator lipid, sitokin)


Tipe II : IgM,IgG, antibodi yang - Opsonisasi dan fagositosis
- Komplemen dan aktivasi
Antibody- menyerang permukaan
leukosit (neutrofil dan
mediated sel dan antigen matriks
makrofag)
ekstrasel. - Abnormalitas fungsi sel,

misalnya signal reseptor

hormon, blokade reseptor

neurotransmitter
Tipe III: Kompleks imun atau - Komplemen dan aktivasi

Immune anigen dan antibodi leukosit (neutrofil dan

complex- yang bersirkulasi. makrofag)

mediated
Tipe IV: T cell- - Sel T CD4+ 1. Inflamasi yang diinduksi
- CTLs CD8+
mediated sitokin
2. Membunuh sel target secara

langsung dan Inflamasi yang

diinduksi sitokin
Tabel 1. Klasifikasi Hipersensivitas oleh Robert Coombs dan Phillip HH Gel[9]

Tipe Tipe Respon Patofisiologi Gejala Kronologi reaksi

Imun Klinis imun


Iva Th1 (INF- γ) Inflamasi Eczema, 1-21 hari setelah

monosit MPR elisitasi

9
Ivb Th2 (IL-4 dan Inflamasi MPR,DRESS Satu sampai

IL-5) eosinofili beberapa hari

k setelah elisitasi

obat untuk

MPR dan 2-6

minggu untuk

DRESS
Ivc Sel T Kematian FDE,SJS/TE 1-2 hari setela

sitotoksik keratinosi N, elisitasi obat

(perforin, t Pustular untuk FDE dan

granzim B, dimediasi exanthem 4-28 hari untuk

FasL) CD4+ a SJS/TEN

atau

CD8+
Ivd Sel T (IL- Inflamasi AGEP 1-2 hari setelah

8/CXCL8) neutrofili elisitasi obat

k (bisa lebih

lama)

Tabel 2. Klasifikasi Delayed type hypersensitivity[8]:Maculopapular rash (MPR), Drug


10
reaction with eosinophilia and systemic symptoms (DRESS), Acute generalized
exathematous pustulosis (AGEP), Steven Johnson syndrome (SJS)/Toxic Epidermal
necrolysis (TEN)[7]
Gambar 1. Patomekanisme penyebab terjadinya erupsi obat pada
kulit. Maculopapular rash (MPR), Antigen Presenting cell (APC),
Resident memory T cell (TRM), Effector memory T cell (TEM).[7]

2.4. Gejala Klinis


2.4.1. Exanthema Drug Eruption
Exanthematous Drug Eruption merupakan erupsi yang paling di temukan,

timbul dalam 2-3 minggu setelah konsumsi obat. Dikelainan di kulit berupa

maculopapular. Erupsi ini timbul generalisata dan simetris, dan dapat terdiri atas

eritema, makula yang berkonfluens, dan/atau papul yang tersebar di wajah,

telapak tangan dan kaki, dan selalu disertai pruritus dapat. Erupsi

makulopapular akan hilang dengan cara deskuamasi, dan terkadang

meninggalkan bekas hiperpigmentasi.3,13

11
A. B.

Gambar 2. A. Exanthematous drug eruption: ampicillin – tersebar dengan simetris, eritem makula dan

papul yang terang, berlainan di sebagian area dan konfluens pada daerah lainnya, di badan dan ektremitas.

B. Exanthematous drug eruption: ampicilin pada pasien dengan EBV mononucleosis – Lesi

makulopapular konfluens, generalisata.3

2.4.2. Fixed Drug Eruption

Fixed Drug Eruption biasanya muncul secara soliter, eritem, berwarna merah

menyala atau merah kehitaman berbentuk makula atau plak berwarna merah yang bisa

berkembang menjadi bulla. fixed drug eruptionlebih sering ditemukan pada region

genitalia dan area perianal, tangan, dan bibir, meskipun semua lesi kulit darifixed

drug eruptiondapat terjadi pada bagian kulit manapun. Beberapa pasien dapat memiliki

keluhan seperti terbakar, dan beberapa mungkin mengalami demam, malaise, dan gejala

pada abdomen. fixed drug eruption dapat bekembang dimulai dari 30 menit hingga 8

sampai 16 jam setelah menelan obat. Setelah awal fase akut yang bertahan selama

beberapa hari sampai beberapa minggu, kemudian meningalkan bercak hiperpigmentasi

yang lama hilang. Pada kejadian berulang lesi akan muncul lagi di daerah yang sama

dan dapat juga muncul lesi yang baru.3

12
Gambar 3. A.Lokasi lesi di region ektemitas bawah pada daerah lutut. Effloresensi plak eritema berbatas tegas. Besar

plak menunjukkan kerutan epidermal, tanda pembentukan blister insipiedn. Ini adalah episode kedua seperti ini

setelah konsumsi tetrasiklin. Tidak ada lesi lain yang hadir. B.Lokasilesi di daerah axilla, Effloresensi Multiple

violaceous lesion.3

2.5. Diagnosis
2.5.1 Exanthema Drug Eruption
2.5.1.1 Anamnesis

Gatal ringan sampai berat yang disertai kemerahan dan bintil pada kulit.

Kelainan muncul 10-14 hari setelah mulai pengobatan. Biasanya disebabkan karena

penggunaan antibiotik (ampisilin, sulfonamid, dan tetrasiklin) atau analgetikantipiretik

non steroid. Kelainan umumnya timbul pada tungkai, lipat paha, dan lipat ketiak,

kemudian meluas dalam 1-2 hari. Gejala diikuti demam subfebril, malaise, dan nyeri

sendi yang muncul 1-2 minggu setelah mulai mengkonsumsi obat, jamu, atau bahan-

bahan yang dipakai untuk diagnostik.13

Faktor Risiko :

1. Riwayat konsumsi obat ( jumlah, jenis, dosis, dan cara pemberian).

2. Riwayat alergi obat sebelumnya

2.5.2.2. Pemeriksaan fisik

13
Pemeriksaan fisik berupa Erupsi makulopapular atau morbiliformis dan kelainan dapat

simetris, Tempat predileksi tersering Tungkai, lipat paha, dan lipat ketiak dan menyebar

ke batang tubuh.15

2.5.2.3. Pemeriksaan penunjang

Diperlukan untuk membuktikan jenis obat yabg diduga sebagai penyebab yaitu2 :

A. Uji tempel tertutup dengan uji kulit yang digunakan untuk memastikan

penyebab/allergen yang diduga menjadi penyebab. Dilakukan dengan

menempelkan alergen penyebab di kulit. Uji temple tidak di anjurkan dilakukan

selama erupsi masih aktif maupun sesudahnya , uji temple sebaiknya dilakukan

sekurang-kurangnya 6 minggu setelah erupsi mereda.13


B. Uji tusuk merupakan salah satu jenis tes kulit untuk menegakkan diagnosis

alergi dan memastikan penyebabnya. Allergen disuntikkan ke kulit akan

berinteraksi dengan IgE sehingga vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas

pembuluh darah sehingga eritem pada kulit tersebut.13


C. Uji provokasi oral merupakan metode pemberian obat terkontrol untuk

menegakkan diagnosis reaksi hipersensivitas terhadap obat pada pasien dengan

riwayat dugaan alergi obat. Uji ini bertujuan untuk mencetuskan tanda dan

gejala klinik yang lebih ringan dengan pemberian obat dosis kecil.13

2.5.2. Fixed Drug Eruption


2.5.2.1. Anamnesis

14
Keluhan pasien berupa kemerahan atau luka pada sekitar mulut, bibir, atau di

alat kelamin, yang terasa panas. Keluhan timbul setelah mengkonsumsi obat-obat yang

sering menjadi penyebab seperti Sulfonamid, Barbiturat, Trimetoprim, dan analgetik.

Anamnesis yang dilakukan harus mencakup riwayat penggunaan obat-obatan atau jamu.

Kelainan timbul secara akut atau dapat juga beberapa hari setelah mengkonsumsi obat.

Keluhan lain adalah rasa gatal yang dapat disertai dengan demam yang subfebril.15

Faktor Risiko :

1. Riwayat konsumsi obat ( jumlah, jenis, dosis, dan cara pemberian).

2. Riwayat alergi obat sebelumnya

2.5.2.2. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik tanda berupa lesi khas vesikel, bercak eritema, lesi target berbentuk

target bentuk lonjong atau nummular, bercak hiperpigmentasi dengan kemerahan di

tepinya, terutama lesi yang berulang. Tempat predileksi paling sering di sekitaran mulut,

tangan dan area genital.15

2.5.2.3. Pemeriksaan penunjang

Diperlukan untuk membuktikan jenis obat yang diduga sebagai penyebab yaitu :

1. Uji tempel tertutup dengan uji kulit yang digunakan untuk memastikan

penyebab/allergen yang diduga menjadi penyebab. Dilakukan dengan

menempelkan alergen penyebab di kulit. Uji temple tidak di anjurkan dilakukan

selamaerupsi masih aktif maupuns esudahnya , uji temple sebaiknya dilakukan

sekurang-kurangnya 6 minggu setelah erupsi mereda.13

15
2. Uji tusuk merupakan salah satu jenis tes kulit untuk menegakkan diagnosis

alergi dan memastikan penyebabnya. Alergen disuntikkan ke kulit akan

berinteraksi dengan IgE sehingga vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas

pembuluh darah sehingga eritem pada kulit tersebut.13


3. Uji provokasi oral merupakan metode pemberian obat terkontrol untuk

menegakkan diagnosis reaksi hipersensivitas terhadap obat pada pasien dengan

riwayat dugaan alergi obat. Uji ini bertujuan untuk mencetuskan tanda dan

gejalak linik yang lebih ringan dengan pemberian obat dosis kecil .13
4. Biopsi kulit dilakukan pada kelainan kulit yang tidak jelas diagnosisnya dan

untuk menyingkirkan diagnosis lain.3

2.6 Diagnosis Banding

2.6.1. Exhatem Drug Eruption

 Campak/Rubeola

Campak adalah penyakit yang sangat menular dan disebabkan oleh virus RNA

famili paramyxoviridae. Ruam berkembang dalam 2-4 hari, ruam berbentuk

makula eritem dan papul eritem. Berbeda dengan Exhantem Drug Eruptions, pada

campak, ruam muncul pertama kali pada dahi, hairline, belakang telinga lalu

menyebar dengan arah cephalocaudal. Penyakit ini selalu didahului dengan gejala

prodromal seperti, demam, batuk, coryza dan conjunctivitis.10

16
Gambar 4. Campak[2]

2.6.2. Fixed Drug Eruption


 Herpes simpleks
Lesi pada Fixed Drug Eruption dapat menyerupai herpes simpleks.

Herpes simpleks sendiri merupakan infeksi yang disebabkan oleh virus

herpes simpleks tipe 1 (HSV-1) dengan predileksi utama pada oralabial

dan virus herpes simpleks tipe 2 (HSV-2) dengan predileksi utama pada

genital. Herpes simpleks dapat ditularkan melalui kontak langsung,

saliva dan hubungan seksual.


Gejala akan muncul 3-7 hari setelahh terpapar. Penyakit ini diawali

dengan malaise, limfadenopati, anorexia dan kadang demam, lalu

diikuti dengan munculnya vesikel-vesikel pada kulit dengan dasar

eritem yang berkembang menjadi pustul,krusta, erosi dan ulkus. Lesi ini

terasa nyeri, seperti terbakar dan seperti tertusuk.10

17
Gambar 5. Herpes Simpleks

 Pemfigus vulgaris
Pemfigus adalah kelompok penyakit blistering autoimun yang ditandai

dengan temuan histologi hilangnya adhesi antar sel-sel keratinosit dan

juga temuan immunopatologi bahwa adanya IgG yang merusak

permukaan sel keratinosit. Semua orang dengan pemfigus vulgaris

mendapatkan bulla pada kulit dan erosi pada mukosa.10

Gambar 6. Pemfigus vulgaris

2.7. Penalataksanaan
2.7.1 Exhantem Drug Eruptions
Prinsip tatalaksana adalah menghentikan obat terduga. Pada dasarnya erupsi obat

akan menyembuh bila obat penyebabnya dapat diketahui dan segera dihentikan

penggunaannya.13,14,15
Farmakoterapi yang diberikan, yaitu:

1. Kortikosteroid sistemik: Prednison tablet 30 mg/hari dibagi dalam 3 kali

pemberian perhari selam 1 minggu13,15. Selama pemberian kortikosteroid

waspadailah efek samping yang terjadi misalnya perdarahan intestinal, risiko

sepsis, dan peningkatan gulaa darah.13

18
2. Antihistamin sistemik bisa diberikan pada exantematouse drug eruption

dengan rasa gatal yang berat, misalnya Setirizin 2×10 mg/hari selama 7 hari bila

diperlukan, atauLoratadin 10 mg/hari selama 7 hari bila diperlukan(13). Untuk

terapi topikal bisa diberikan Bedak salisilat 2 % dan antipruritus (menthol o,5

%-1 %).15

Konseling dan edukasi

1. Prinsipnya adalah eliminasi obat penyebab erupsi.


2. Pasien dan keluarga diberitahu untuk membuat catatan kecil di dompetnya

tentang alergi obat yang dideritanya.


3. Memberitahukan bahwa kemungkinan pasien bisa sembuh dengan adanya

hiperpigmentasi pada lokasi lesi.15

Kriteria rujukan :

1. Lesi luas, hampir diseluruh tubuh, termasuk mukosa dan dikhawatirkan

akan berkembang menjadi Sindroma Steven Johnson.


2. Bila diperlukan untuk membuktikan jenis obat yang diduga sebagai

penyeab:
a. Uji tempel tertutup, bila negatif lanjutkan dengan
b. Uji tusuk, bila negatif lanjutkan dengan
c. Uji provokasi
3. Bila tidak ada perbaikan setelah mendapatkan pengobatan standar dan

menghindari obat selama 7 hari.


4. Lesi meluas.15
2.7.2. Fixed Drug Eruption
Prinsip tatalaksana adalah menghentikan obat terduga. Pada dasarnya erupsi obat

akan menyembuh bila obat penyebabnya dapat diketahui dan segera

disingkirkan . Farmakoterapi yang dapat diberikan , yaitu :


1. Kortikosteroid sistemik, misalnya prednison tablet 30 mg/ hari dibagi dalam

3 kali pemberian perhari.Antihistamin sistemik untuk mengurangi rasa gatal;

19
misalnya Hidroksisin tablet 10 mg/hari 2 kali sehari atau loratadin tablet

1×10 mg/hari selama 7 hari.13,15

2. Pengobatan topikal

a. Pemberian topikal tergantung dari keaadaan lesi, bila terjadi erosi

atau madidans dapat dilakukan kompres Nacl 0,9 % atau Larutan

Permanganas Kalikus 1/10.000 dengan 3 lapis kasa selama 10 -15

menit. Kompres dilakukan 3 kali sehari sampai lesi kering.


b. Terapi dilanjutkan dengan pemakaian topikal kortikosteroid potensi

ringan-sedang, misalnya hidrokortison krim 2,5 % atau mometason

furoat krim 0,1 %.15

Konseling dan Edukasi

1. Prinsipnya adalah eliminasi obat terduga.


2. Pasien dan keluarga diberitahu untuk membuat catatan kecil di dompetnya

tentang alergi obat yang dideritanya.


3. Memberitahukan bahwa kemungkinan pasien bisa sembuh dengan adanya

hiperpigmentasi pada lokasi lesi. Dan bila alergi berulang terjadi kelainan yang

sama, pada lokasi yang sama.14,15

Kriteria rujukan

1. Lesi luas, hampir diseluruh tubuh, termasuk mukosa dan dikhawatirkan akan

berkembang menjadi Sindroma Steven Jhonson.


2. Bila diperlukan untuk membuktikan jenis obat yang diduga sebagai penyeab:
a. Uji tempel tertutup, bila negatif lanjutkan dengan
b. Uji tusuk, bila negatif lanjutkan dengan
c. Uji provokasi
3. Bila tidak ada perbaikan setelah mendapatkan pengobatan standar dan

menghindari obat selama 7 hari.


4. Lesi meluas.15

2.8. Prognosis

20
Prognosis umumnya bonam, jika pasien tidak mengalami komplikasi atau tidak

memenuhi kriteria rujukan.13,15

BAB 3

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

1. Obat-obatan yang paling sering menyebabkan Exhantem drug eruption adalah

beta-laktam (penisillin), antibiotik sulfonamid, Non-nucleoside Reverse

Transcritase Inhibitors (nevirapin), obat-obatan anti-epilepsi (karbamazepin),

Non steroid anti inflammatory drugs (NSAIDs), allopurinol, derivat hidantoin,

isoniazid, eritromisin dan streptomisin.


2. Obat-obatan yang paling sering menyebabkan fixed drug eruption adalah adalah

tetrasiklin, sulfonamid, metronidazole, nistatin, salisilat, Non Steroid Anti

Inflammatory Drugs (NSAIDs), phenacetin, fenilbutazone, kontrasepsi oral,

barbiturat, kuinin dan fenolftalein


3. Exhantem drug eruption dan fixed drug eruption adalah reaksi hipersensitivitas

tipe IV. Exhantem drug eruption memiliki gejala klinik makulopapular dan

21
timbul generalisata dan simetris. fixed drug eruption memiliki gejala klinik

makula/plak eritem dengan predileksi tersering di bibir dan genital.


4. Pengobatan yang terpenting untuk Exhantem drug eruption dan fixed drug

eruption menghindari obat penyebab.

DAFTAR PUSTAKA

1. Keumala, Windy. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 7.Jakarta:Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia.2016. P190-5.


2. Janardhan,B. Prevalance and Pattern of Adverse Cutaneus Drug Reactions

Presenting to a Tertiary Care Hospital. Int J Res Dermatol.. January-March

2017;3(1) : 74-77
3. Shear, Neil H. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. Eight Edition

Volume 2. McGraw Hill.2012. P.450,454,457,591


4. Tejashwani, Patel D, Bhuptani N. An observational study of cutaneous adverse

drug reactions in tertiary hospital. Int J Res Dermatol 2018;4:254-8.


5. Klaus Wolff, etc. Fitzpatrick’s color atlas and synopsis of clinical

dermatolgy.Eight Edition. McGraw Hill. 2017. P.494,500


6. Ardern-Jorden,Michael R dan Lee HY. Rook’s textbook of dermatology. Ninth

Edition Massachusetts: Blackwell Science.2016 P.293-300,3325,3336


7. W.Hoetzeneeker,etc. Adverse cutaneous drug eruption: Current Understanding.

Semin Immunopathol Journal. 2015 November:P.1-12


8. William D. James, etc. Andrew’s Disease of the Skin: Clinical Dermatology.

Twelfth Edition. Philadelphia:Elsevier. 2016. P.112

22
9. Abbas AK, Litchtman AH, Pillai S. Cellular and molecular immunology. Eighth

Edition.Philladelphia:Saunders Elsevier.2015. P.218-220,399-400


10. Alanore,LV., etc. Dermatology. Fourth edition. Elsevier. 2018. P.494,499,

1408,1409, 1427,1428, 1591, 1594, 1622.


11. Schrijvers,Rik.,etc. Pathogenesis and Diagnosis of delayed type hypersnsitivity

reactions, from beside to bench and back. Clin Transl Allergy

journal.2015.5(31):1-10
12. Hertl,M dan Merk,Hans F. Lymphocyte Activation in Cutaneous drug eruption.

Investigate dermatology Journal.1995.P.1-4


13. Budianti WK. 2018. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Ed 7.Jakarta: Badan

PenerbitFKUI. 2018. Bab 2: Erupsi Obat Alergi.Pp 190-195.


14. Pandapotan RA, Rengganis I.Pendekatan Diagnosis Dan Tatalaksana Alergi

Obat. Jurnal Penyakit Dalam Indonesia.2017: 3(1): 44-52.


15. Ikatan Dokter Indonesia (IDI).Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Di Fasilitas

Pelayanan Kesehatan Primer. Edisi revisi. Jakarta: IDI;2014.Bab 3,

Kulit:Exanthematous Drugs Eruption, Fix Drugs Eruption.P 507-512.


16. Goncalo,M dan Brunyzeel,DP. Marzulli and Maibach’s Deramatology. Seventh

edition.2007.P.260-267
17. Thong, BYH dan Tan TC. Epidemiology and risk factors for drug allergy. Br J

Clin Pharmacol journal.2011: 71(5): 1-17

23

Anda mungkin juga menyukai