Anda di halaman 1dari 4

PENDAHULUAN

Pandemi Covid-19 bermula di kota Wuhan China pada akhir tahun 2019. Secara global dikonfirmasi
dapat ditransmisikan dari manusia ke manusia dalam waktu satu bulan sejak awal kemunculannya dan
pada tanggal 11 Maret 2010 Direktur Jendral WHO mengkarakterisasikan COVID-19 sebagai pandemi.
Per tanggal 30 juni 2020 didapatkan sudah 10.000.000 penduduk dunia yang terinfeksi dengan
Coronavirus ini dan menyebabkan kematian hingga 505.518 jiwa. Meski didapatkan hanya 24,9% yang
bergejala berat dan mayoritas penderita sebenarnya hanya bergejala ringan, tidak berarti laju penularan
terjadi lebih lambat.

Di Indonesia, 2 kasus pertama yang dikonfirmasi positif COVID-19 didapatkan di Depok, Jawa Barat yang
diumumkan secara nasional oleh Presiden Indonesia Joko Widodo tanggal 2 Maret 2020. Per tanggal 11
Juni, Pemerintah Indonesia mengumumkan 35.295 kasus konfirmasi COVID-19, 2.000 kasus meninggal
dan 12.636 kasus sembuh dari 424 kabupaten/kota di seluruh 34 provinsi. Kurva terus mengalami
peningkatan dan belum kunjung menemukan puncak, tetapi ‘new normal’ telah dicanangkan. (MOORE,
1955)

Untuk dapat menangani pandemi Covid-19 yang tergolong masih sangat baru baik dari pandangan
kesehatan maupun masyarakat ini secara efektif dan tepat sasaran dibutuhkan pengkajian yang holistik
dan dilaksanakan secara kontinyu, berikut adalah rangkuman terkait Covid-19. (MOORE, 1955)

RANGKUMAN MATERI
Proses perjalanan penyakit pada individu diawali dengan masa inkubasi selama 5-7 hari hingga
menimbulkan gejala dan memasuki fase klinis. Meski belum bergejala. pada masa inkubasi, pasien juga
tetap dapat menularkan virus ke orang lain. Penularan virus antar individu dapat terjadi melalu percikan
dahak, sentuhan permukaan, dan aerosol. Juga didapatkan RNA Virus pada specimen feses tetapi belum
terbukti dapat dikultur sehingga dianggap belum termasuk sumber penularan. Kemungkinan transmisi
lewat udara (airborne) akibat mutasi dari coronavirus sendiri masih dalam penelitian lebih lanjut.
Dilansir dari penelitian Checchi (slide7), didapatkan bahwa waktu antara seorang penular bergejala
hingga yang tertular bergejala adalah 4-5 hari yang disebut sebagai serial interval. Terkait penularan
coronavirus pada masyarakat, digunakan metode penentuan angka reproduksi. Angka reproduksi adalah
angka rata-rata orang yang dapat tertular dari satu individu penular. Terdapat dua komponen dari
angkar reproduksi yang harus kita pahami antara lain, angka reproduksi dasar dan angka reproduksi
harian. Angka reproduksi dasar adalah angka reproduksi yang didapati pada masyarakat yang belum
diberi intervensi. Angka reproduksi dasar (R0) Covid-19 adalah 2.6. (Pan et al., 2020)

Sedangkan, angka reproduksi serial (Rt) didapatkan dari keadaan yang diasumsikan telah mendapat
intervensi. Maka, disimpulkan angka reproduksi serial Covid-19 dipengaruhi oleh keberhasilan upaya
pencegahan penularan di masyarakat. Dengan melakukan skrining lebih awal dan diagnosis yang tepat
yakni memperhatikan pola perjalanan penyakit dan pelacakan kontak dengan individu lainnya, laju
penularan dapat dicegah peningkatannya di masyarakat. Skrining gejala harus berhati-hati pada orang
yang belum atau bahkan tidak menimbulkan gejala karena seperti yang telah kita ketahui, Covid-19
memiliki puncak masa penularan pada 2 hari sebelum timbul gejala hingga 7 hari selama timbulnya
gejala. Skrining dan diagnostic yang tersedia sekarang adalah dalam bentuk Rapid Test Antibodi dan PCR
Testing. Polymerase Chain Reaction (PCR) Testing digunakan untuk mendeteksi adanya RNA coronavirus.
PCR positif bisa memanjang hingga hari ke-21 walaupun seseorang sudah tidak infeksius. Rapid Test
Antibodi digunakan untuk mendeteksi antibodi pada individu yang terdeteksi 14 hari pasca timbulnya
gejala. Akurasi Rapid Test Antibodi juga dipengaruhi oleh pemilihan waktu dilaksanakannya
pemeriksaan. (Lavezzo et al., 2020)

Salah satu komponen yang perlu diperhatikan dalam mengkaji perjalan penyakit Covid19 adalah
spektrum klinis dari virus tersebut. Dilihat dari aspek klinis gejala, didapatkan gejala yang timbul berada
dalam cakupan yang luas karena yang seperti kita ketahui coronavirus adalah virus yang berikatan
dengan reseptor ACE2 yang tersebar di beberapa organ di dalam tubuh kita. Sehingga, gejala yang
timbul bervariasi dari batuk, demam, sesak, kelelahan, hingga diare sesuai dengan letak reseptor dimana
virus tersebut berikatan. Dari berbagai gejala tersebut didapati saling tumpang tindih antara 3 gejala
klinis utama yang menjadi trias dari Covid19 ini yakni demam, batuk, dan sesak napas pada pasien yang
dirawat di rumah sakit. Spektrum kasus Covid19 di dunia saat ini didominasi oleh derajat klinis ringan,
semakin berat derajat klinis semakin tinggi kemungkinan penularannya. Faktor risiko meningkat seiring
dengan usia dan beberapa faktor komorbid berpengaruh terhadap mortalitas. Dalam aspek farmakalogi,
terapi yang selama ini sedang diteliti untuk menjadi terapi Covid19 adalah Remdesivir dan
Dexamethasone. Pada hasilnya didapatkan Remdesivir bukan merupakan terapi yang signifikan dalam
menurunkan mortalitas tetapi dapat mempersingkat waktu pengobatan. Untuk Dexamethasone,
didapatkan hasil yang signifikan dalam menurunkan mortalitas pada pasien yang bergejala berat hingga
membutuhkan terapi oksigen dan jika diberikan pada pasien yang bergejala ringan dan tidak
membutuhkan oksigen justru akan menimbulkan bahaya. (Lavezzo et al., 2020)

Penularan virus antar individu seperti yang telah disinggung sedikit pada bagian proses perjalanan
penyakit dapat terjadi melalui kontak erat antara lain percikan dahak (droplet) yang bisa tersebar dan
jatuh ke permukaan hingga jarak 1,5 meter, sentuhan permukaan (fomite) yakni ketika tangan kita
menyentuh permukaan yang telah disentuh oleh tangan yang terdapat coronavirus atau terkena droplet
yang jatuh karena coronavirus dapat bertahan di berbagai jenis permukaan dalam periode waktu
tertentu, serta melalui aerosol yakni partikel yang berukuran lebih kecil dari droplet yang bisa dihasilkan
melalui proses aerosolisasi yaitu bersin batuk, maupun berteriak dan aerosol membutuhkan waktu 12-
24 jam untuk jatuh ke tanah sehingga kemungkinan untuk bisa terhirup oleh individu lainnya menjadi
lebih tinggi. Dari penjelasan tersebut didapati bahwa proses penularan aerosol lah yang paling patut kita
waspadai, karena selain dari lama waktu bertahannya di udara, ukuran partikel yang bisa jauh lebih kecil
bisa menyebabkan aerosol tersebut tidak disaring oleh sawar mukosa dan langsung masuk ke alveolus
dan menimbulkan gejala klinis yang lebih berat.

Selain memahami tentang proses penularan virus antar individu, perlu kita pahami juga tentang adanya
proses penularan massif di masyarakat yang juga berperan dalam mempengaruhi laju peningkatan kasus
covid19. Terkait hal tersebut, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi antara lain angka
reproduksi, angka dispersi dan superspreading, serta terbentuknya klaster penularan. Angka repoduksi
covid19 adalah 2,6 yang artinya satu orang yang infeksius bisa menularkan 2-3 orang lainnya. Angka
dispersi covid19 0,1 yang artinya 10% penderita menghasilkan 80% dari total kasus yang ada. Definisi
klaster adalah apabila terdapat 3 atau lebih kasus yang terjadi secara bersamaan yang saling memiliki
keterkaitan. Beberapa tempat yang sangat memungkinkan terjadi klaster Covid-19 yaitu kapal (terutama
kapal induk), tempat tinggal bersama, pabrik pengolahan makanan, penjara/rumah tahanan, rumah
rehabilitasi/panti jompo, tempat ibadah, pusat perbelanjaan, sekolah, rumah tangga, warung makan,
tempat pesta, tempat kerja, dan rumah sakit. Dengan memahami apa saja faktor yang mempengaruhi
proses penularan massif di masyarakat, terutama melalui analisa klaster, kita dapat menekan laju
peningkatan kasus covid19. Contohnya, Jepang menganalisa klaster-klaster penularan yang terbentuk di
negaranya secara disiplin dan massif lalu menginformasikan kepada warganya area-area mana saja yang
perlu mereka hindari dan waspadai. Juga dari analisa klaster tersebut disimpulkan bahwa hindari area
3C yakni crowded, closed area, dan closed contact.

Terkait bagaimana penanganan penularan covid19 ini dapat dilakukan, selain mangkaji dari aspek klinis,
kita juga perlu mengkaji dari segi masyarakat yang dimana penularan aktif terjadi. Telah kita ketahui
terdapat dua jenis intervensi dalam penangan pencegahan covid 19 yakni intervensi farmakologis dan
intervensi non farmakologis. Kita telah membahas di atas perihal intervensi farmakologis yang
melibatkan obat dan vaksin yang harus melalui serangkaian uji coba dan penelitian untuk dapat layak
digunakan secara bebas oleh semua kalangan yang membutuhkan. Selanjutnya, layaknya intervensi
farmakologis, intervensi non farmakologis juga harus memenuhi serangkaian indikator yang dapat
memberikan gambaran masalah serta mengevaluasi efektivitas intervensi tersebut dalam mencegah
penularan covid19 di masyarakat. Dengan memiliki indikator epidemiologis yang tepat dan berbasis
masyarakat, kita dapat menghasilkan rencana intervensi yang nantinya dapat berlangsung efektif dan
tepat sasaran. Indikator epidemiologis yang akan kita gunakan antara lain adalah indikator tes, indikator
insidensi, indikator investigasi kasus & pelacakan kontak, serta indikator kematian. Untuk indikator yang
pertama, terkait indikator tes diharapkan memenuhi antara lain adalah jumlah tes minimal 1/1000
populasi per minggu dan tingkat positivitas <5% hasil pemeriksaan RTPCR positif pada suspek. Kedua,
terkait indikator kasus diharapkan mengalami penurunan suspek & konfirmasi Covid19 minimal 50%
selama 3 minggu sejak puncak kasus dan terjadi penurunan yang konsisten. Ketiga, terkait indikator
investigasi kasus dan pelacakan kontak diharapkan memenuhi poin antara lain 90% kasus suspek
diisolasi dan dapat dikonfirmasi statusnya dalam jangka waktu 48 jam dari timbulnya gejala, minimal
80% kasus baru memiliki kontak erat yang dilacak dan dikarantina dalam jangka waktu 72 jam dari
konfirmasi kasus, dan minimal 80% kontak erat dimonitor selama 14 hari. Terakhir, terkait indikator
kematian diharapkan mengalami penurunan jumlah kematian pasien konfirmasi dan suspek selama
minimal 3 minggu terakhir. Setelah memahami poin-poin tiap indikator, selanjutnya indikator tersebut
dapat diaplikasikan dalam stratifikasi risiko untuk adaptasi kebijakan kesehatan masyarakat di daerah
masing-masing. Selain untuk adaptasi kebijakan masyarakat, stratifikasi risiko ini dapat meningkatkan
kewaspadaan masyarakat dalam melakukan mobilisasi. Stratifikasi risiko ini bersifat dinamis dan dapat
berubah sewaktu-waktu tergantung dari pemenuhan kualitas indikator epidemiologis di atas. (Zhou et
al., 2020)

Setelah bisa memahami indikator epidemiologis dan fungsinya terhadap intervensi penularan covid19,
selanjutnya kita akan membahas apa saja yang dapat kita lakukan terkait dengan intervensi non
farmakologis. Ada 4 cara yang dapat kita lakukan yang diantaranya adalah pembatasan sosial
menyeluruh (lockdown, PSBB, cordon sanitaire), pembatasan mobilitas manusia antar daerah, kebijakan
penutupan fasilitas publik (sekolah, perkumpulan massal, dsb), Testing-Tracing-Isolation, dan proteksi
individu (jaga jarak, cuci tangan, dan menggunakan masker) yang akan jelaskan lebih lanjut dalam essay
ini. Tanpa dilakukan intervensi di atas, bisa dipastikan kurva insidensi kasus yang didapatkan akan
meningkat pesat hingga mencapai puncak dimana akhirnya terbentuk herd immunity lalu selanjutnya
perlahan menurun hingga mencapai dasar kurva dimana tidak lagi ada kasus baru. Hanya saja, dengan
tidak adanya intervensi yang dilakukan baik farmakologis maupun non farmakologis, menyebabkan
peningkatan kasus yang pesat dan tidak diiringi dengan kapasitas fasilitas kesehatan yang memadai
dalam menanggulangi jumlah kasus yang ada. Sehingga, besar kemungkinan akan banyak pasien yang
tidak bisa terpenuhi kebutuhan akan pelayanan kesehatannya dan berujung pada peningkatan kasus
kematian masyrakat yang terjangkit covid19. Maka, dengan melaksanakan intervensi non farmakologis
di atas diharapkan kita dapat mencegah terjadinya peningkatan laju penularan yang tidak melebihi
kapasitas fasilitas pelayanan kesehatan yang ada hingga akhirnya dapat ditemukan vaksin dan
terciptanya herd immunity melalui vaksin.

PENANGANAN COVID19 DI INDONESIA


Pada tanggal 2 Maret 2020, Presiden Indonesia Jokowi Dodo mengumumkan dua kasus pertama yang
terkonfirmasi sebagai kasus positif covid19 dan dilanjutkan dengan komunikasi melalui surat dengan
WHO terkait rekomendasi terhadap usaha penanggulangan COVID19 di Indonesia. Pada tanggal 13
Maret 2020, Pemerintah meresmikan Satuan Petugas Operasional COVID19 yang dikepalai oleh Badan
Nasional Penaggulangan Bencana (BNPB) bersama dengan badan pemerintahan lainnya yang terkait.
Mulai pada tanggal 15 Maret 2020, Presiden melalui konferensi pers di Jawa Barat mengumumkan
bahwa akan dilaksanakannya “social distancing” secara nasional dan menggiatkan masyarakat untuk
bekerja, belajar, dan beribadah di rumah dan menunda pelaksanaan segala aktivitas yang melibatkan
berkumpulnya masyarakat dalam jumlah yang besar. Selanjutnya, Pemerintah Indonesia dan WHO terus
melaksanakan kerja sama dalam berbagai bidang seperti komunikasi, pengendalian kasus, surveilans,
dukungan kesehatan mental dan psikososial, dan masih banyak lagi. Salah satu kerja sama yang
dilakukan dalam skala nasional yakni kerja sama Kementerian Kesehatan dengan Mahasiswa Kedokteran
seluruh Indonesia untuk membentuk Tim Telemedicine Tanggap Covid melalui aplikasi RECON
Indonesia. Hingga per tanggal 8 Juli 2020, kapasitas Indonesia telah meningkat secara signifikan.
Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar wewenang pemberlakuannya dikembalikan ke daerah
masing-masing. (Disease and Report, 2020)

RENCANA PENGEMBANGAN PENANGANAN COVID19 DI INDONESIA


Melihat berbagai usaha intervensi farmakologis maupun non farmakologis yang dilakukan oleh
Pemerintah Indonesia bersama dengan berbagai Instansi Pemerintahan maupun swasta yang sudah
cukup beragam dan progresif, tidak bisa dipungkiri hal ini semua tidak akan bisa berefek maksimal jika
tidak dibarengi dengan kesadaran, kepercayaan, dan ketertiban dari masyarakat dalam menjalani segala
kebijakan dan protokol yang telah ditetapkan.

Anda mungkin juga menyukai