Anda di halaman 1dari 35

FAKULTAS KEDOKTERAN REFERAT

UNIVERSITAS HASANUDDIN NOVEMBER 2021

DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA ERUPSI OBAT ALERGIK

DISUSUN OLEH :
1. Dwi Rahmah Sari. HR C014202180
2. Virginia Agastia Lestari C014202118
3. Dianti Aprilia Haninu Norman C014202121
4. Eldwin Tjandra C014202147

Residen Pembimbing :
dr. Timothy Yusuf Sangian

Supervisor Pembimbing :
dr. St. Nur Rahmah, Sp. KK

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2021
HALAMAN PENGESAHAN

JUDUL REFERAT:
DIAGNOSIS DAN TATA LAKSANA ERUPSI OBAT ALERGIK
Yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa :
1. Nama : Dwi Rahmah Sari. HR.
NIM : C0141202180
2. Nama : Virginia Agastia Lestari
NIM : C014202118
3. Nama : Dianti Aprilia Haninu Norman
NIM : C014202121
4. Nama : Eldwin Tjandra
NIM : C014202147
Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada Departemen
Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Makassar, 29 November 2021

Supervisor Pembimbing Residen Pembimbing

dr. St. Nur Rahmah, Sp. KK dr. Timothy Yusuf Sangian

i
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Patogenesis Urtikaria dan Angiodema…..……….……………...6
Gambar 2 Patogenesis Maculopapular Eruption…………….……………...7
Gambar 3 Patogenesis Acute Generalized Exanthematous Pustulosis……..9
Gambar 4 Patogenesis Drug Hypersensitivity Syndrome, SJS, dan TEN....10
Gambar 5 Urtikaria………………………………..……………………….12
Gambar 6 Erupsi Obat Eksantematosa……….....…………………………13
Gambar 7 Fixed Drug Eruption …………………………………………...13
Gambar 8 Pustulosis Eksantematosa…….………………………………...14
Gambar 9 Eritema………...………………………………………………..15
Gambar 10 Sindrom Hipersensitivitas……………..………..…………...….16
Gambar 11 Erupsi Dini……………...……………..………..…………...….17
Gambar 12 Dermatitis Kontak Alergi…………..………..………………....21
Gambar 13 Dermatosis neutofilik febrile akut…………..……………….…22
Gambar 14 Eritema Multiforme………………..………..……………….…23
Gambar 15 Hypersensitivity vasculitis …………..………..…………….…23

ii
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Daftar obat yang terlibat dalam EOA……………………………3
Tabel 2 Klasifikasi Coombs dan Gell …………………………………....5

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................ i


DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ii
DAFTAR TABEL ............................................................................................iii
DAFTAR ISI ..................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………...2
2.1. Definisi ........................................................................................... 2
2.2. Epidemiologi .................................................................................. 2
2.3. Etiologi ........................................................................................... 3
2.4. Patogenesis ..................................................................................... 3
2.5. Manifestasi Klinis .......................................................................... 11
2.6. Diagnosis. ....................................................................................... 17
2.7. Diagnosis Banding ......................................................................... 21
2.8. Tatalaksana..................................................................................... 24
2.9. Komplikasi ..................................................................................... 26
2.10. Prognosis ...................................................................................... 26
BAB III KESIMPULAN ................................................................................... 27
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 28

iv
1

BAB I
PENDAHULUAN

Obat menurut World Health Organization (WHO) adalah zat yang


dapat memengaruhi aktivitas fisik dan psikis. Berdasarkan Permenkes
917/Menkes/Per/X/1993, obat adalah sediaan atau paduan-paduan yang siap
digunakan untuk memengaruhi atau menyelidiki secara fisiologi atau
keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan,
penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan, dan kontrasepsi.1
Namun, obat pula dapat menimbulkan efek yang tidak diharapkan
berupa adverse drug reaction (Reaksi Simpang Obat). Erupsi alergi obat
merupakan salah satu bagian dari adverse drug eruption yaitu suatu respon
terhadap obat yang dapat bersifat toksis, berbahaya, dan tidak diharapkan,
dengan dosis normal yang digunakan sebagai profilaksis, diagnosis, terapi
suatu penyakit.1
Erupsi obat alergik bermanifestasi pada kulit dan mukosa. Erupsi pada
kulit adalah manifestasi yang paling umum terjadi. Satu macam erupsi dapat
disebabkan oleh berbagai macam obat, sedangkan satu macam obat dapat
menyebabkan berbagai macam erupsi. Gambaran klinis dari erupsi obat
memiliki pola yang beragam sehingga membutuhkan pedekatan secara
detail dan sistematis untuk membedakan dengan penyakit kulit lainnya.
Erupsi akibat penggunaan obat-obatan yang terjadi dapat ringan sampai
berat hingga mengancam jiwa.2,3
Meskipun patomekanisme dari erupsi obat alergik masih belum
diketahui secara pasti, namun penelitian mengenai penyakit ini masih terus
dikembangkan. Misalnya; mengidentifikasi dan mengelompokkan pola
gejala klinis yang spesifik untuk reaksi hipersensitivitas obat pada kulit,
identifikasi kerentanan genetik terhadap suatu obat tertentu dengan efek
sampingnya serta penerapan langkah-langkah skrining genetik sebagai
tindakan preventif untuk kelompok pasien dan kelompok obat tertentu.4

1
2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Erupsi obat alergi atau adverse cutaneous drug eruption adalah reaksi
hipersensitivitas terhadap obat dengan manifestasi pada kulit yang dapat
disertai maupun tidak keterlibatan mukosa. Yang dimaksud dengan obat
ialah zat yang dipakai untuk menegakkan diagnosis, profilaksis, dan
pengobatan. Berikut ini yang merupakan manifestasi klinis dari erupsi obat
alergi adalah Urtikaria, Angioderma Erupsi Makulopapular, Fixed Drug
Eruption (FDE), Pustulosis Eksantematous Generalisata Akut, Eritroderma,
Drug Reaction with Eosinophilia and Systemic Symptoms (DRESS), Steven-
Johnson Syndrome (SJS), dan Toxic Epidermal Necrolysis (TEN).5
2.2 Epidemiologi
Insidensi erupsi obat alergik bervariasi, tidak hanya terjadi pada suatu
populasi tertentu. Berdasarkan sebuah tinjauan sistematis (systematic
review), yang mencakup 9 penelitian menyimpulkan bahwa angka kejadian
erupsi obat alergi berkisar 0-8% pada pasien dengan riwayat mengkonsumsi
jenis obat tertentu (NSAID, antibiotik, antikonvulsan).
Pada pasien rawat inap, risiko untuk terkena erupsi obat alergi
berkisar antara 10% hingga 15%. Manifestasi klinik yang paling sering
ditemukan adalah makulopapular (56%). Penelitian pada pasien rawat jalan
diperkirakan sekitar 2,5% hingga 12% anak-anak dalam masa pengobatan
akan mengalamai reaksi akibat penggunaan obat. Sedangkan pada pasien
lanjut usia tampaknya tidak memiliki peningkatan risiko timbulnya
eksantema makulopapular dan kemungkinan untuk menderita reaksi alergi
berat lebih rendah.
Kelompok orang yang memiliki resiko tinggi terhadap reaksi obat
adalah pasien dengan HIV, Lupus eritematosus, limfoma non-Hodgkin, dan
hepatitis.3

2
3

2.3 Etiologi
Tabel 1. Daftar obat-obat yang terlibat dalam erupsi obat alergik
Erupsi Obat Alergik Obat-obat yang terlibat
Urtikaria dan Angioderma Non-steroid antiinflammation drugs
(NSAID), Angiotensin Converting Enzyme
(ACE) Inhibitors, Penisilin.3
Erupsi Makkulopapular NSAID, Penisilin, Sulfonamid,
Antikonvulsan3
Fixed Drug Eruption NSAID, Asetaminofen, Antibiotik
(cotrimoxazole, ampicillin, amoxicillin,
tetrasiklin)3
Pustulosis Eksantematous Generalisata Aminopenicillin, pristinamycin,
Akut, Eritroderma sulfonamid, quinolone,
hydroxychloroquine, terbinafine, diltiazem6
Eritroderma Asetaminofen, minosiklin6
Drug Reaction with Eosinophilia and Antikonvulsan, Allopurinol, sulfonamid,
Systemic Symptoms (DRESS) dapson6
Steven-Johnson Syndrome (SJS), dan Antikonvulsan, penisilin, sulfonamid,
Toxic Epidermal Necrolysis (TEN). NSAID, Allopurinol6

2.4 Patogenesis
Beberapa obat diciptakan sangat berhati-hati untuk menghindari
interaksi dengan sistem imun. Namun beberapa obat diciptakan untuk
memberikan efek imunologis on-target yang melalui perikatan
immunostimulator seperti TLR7. Sebagai efek samping memungkinkan
terinduksinya reaksi imun off-target yang dikenal sebagai reaksi
hipersensitivitias. Beberapa studi menunjukkan hubungan kuat antara
human lymphocyte allele (HLA) dengan EOA, misalnya HLA B*1502 pada
kasus sindrom Stevens-Johnson yang disebabkan karbamazepin pada etnis
Han-Cina. Temuan lain misalnya HLA B*5701 pada kasus sindrom
hipersensitivitas obat yang disebabkan oleh Abacavir. 5, 7
Berdasarkan klasifikasi Coombs dan Gell, patomekanisme yang
mendasari EOA dibagi menjadi 4 tipe mekanisme. 5,7

3
4

1. Tipe I dimediasi oleh lmunoglobulin (lg) E yang dapat menyebabkan


reaksi anafilaksis, urtikaria dan angioedema, timbul sangat cepat,
terkadang dapat urtikaria/angioedema persisten beberapa minggu
setelah obat dihentikan. Afinitas ikatan obat yang spesifik terhadap
IgE di permukaan sel mast dan basofil menjadi mekanisme terjadinya
reaksi cepat ini. Sel mast kemudian mengalami degranulasi dan
melepaskan mediator-mediator inflamasi termasuk histamin, sitokin
dan kemokin. Di kulit, pelepasan histamin, leukotrin C4 (LTC4),
prostaglandin D2 (PGD2) dan protease berkontribusi pada
vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas vaskuler yang
menyebabkan kemerahan (flare) dan urtika (wheal) yang terkait
dengan terjadinya urtika dan angioedema.
2. Tipe II merupakan mekanisme sitotoksik yang diperantarai reaksi
antigen di permukaan sel dan lgG yang biasanya menyerang eritrosit,
leukosit, trombosit, atau sel prekursor hematologik lain. Obat yang
dapat menyebabkan hipersensitivitas tipe ini antara lain golongan
penisilin, sefalosporin, streptomisin, klorpromazin, sulfonamid,
analgesik, dan antipiretik.
3. Tipe Ill adalah reaksi imun kompleks yang sering terjadi akibat
adanya kompleks IgG-antigen dalam sirkulasi darah yang
memungkinkan kerusakan pada pembuluh darah dan menyebabkan
ekstravasasi eritrosit beserta gejala alergi atau vaskulitis dengan lesi
purpura pada kulit. Penggunaan obat sistemik dosis tinggi dan terapi
jangka panjang, menunjukkan manifestasi berupa vaskulitis pada kulit
dan penyakit autoimun yang diinduksi oleh obat.
4. Tipe IV (tipe lambat), yang paling sering mendasari insidens EOA,
diperantarai oleh limfosit T dengan manifestasi klinis erupsi ringan
hingga berat. Selain pada kulit, reaksi hipersensitivitas dapat
melibatkan hati, ginjal, dan organ tubuh lain. Reaksi hipersensitivitas
yang dimediasi oleh sel T terbagi atas 4 subklas, yaitu tipe IVa hingga
IVd. Subklasifikasi tersebut dapat dilihat pada tabel 2.

4
5

Tabel 2. Klasifikasi Coombs dan Gell yang sudah direvisi. Elisitasi oleh obat dapat terjadi
pada semua tipe reaksi hipersensitivitas

Patomekanisme terjadinya erupsi obat alergik :

Manifestasi klinis berupa urtikaria dan angioedema pada kejadian


erupsi obat alergik merupakan tanda dari reaksi hipersensitvitas tipe I,
terdiri dari tiga fase. Fase sensitisasi dimulai dari masuknya antigen ke
dalam tubuh lalu ditangkap oleh sel imun non spesifik (innate immunity-sel
mast, dendritic cells, dan komplemen) kemudian di fagosit dan
dipersentasikan oleh antigen presenting cells (APC) ke sel Th2. Sel ini akan
merangsang sel B untuk membentuk antibodi sehingga terbentuklah
antibodi IgE. Antibodi ini akan diikat oleh sel yang memiliki reseptor IgE
yaitu sel mast, basofil, dan eosinofil. Apabila tubuh terpajan kembali
dengan alergen yang sama, alergen yang masuk ke dalam tubuh itu akan
diikat oleh IgE dan memicu degranulasi dari sel mast. Proses ini disebut
dengan fase aktivasi. Pada fase aktivasi, terjadi interaksi antara IgE pada
permukaan sel mast dan basofil dengan antigen spesifik pada paparan kedua
sehingga mengakibatkan perubahan membran sel mast dan basofil akibat
metilasi fosfolipid yang diikuti oleh influks Ca++ yang menimbulkan
aktivasi fosfolipase, kadar cAMP menurun, menyebabkan granul-granul

5
6

yang penuh berisikan mediator bergerak kepermukaan sel. Terjadilah


eksositosis dan isi granul yang mengandung mediator dikeluarkan dari sel
mast dan basofil. Adanya degranulasi sel mast menimbulkan pelepasan
mediator inflamasi, seperti histamin, leukotrien, sitokin (IL-4; IL-5; IL-13),
kemokin (IL-8), serta enzim chymase dan triptase (menyebabkan kerusakan
jaringan dan menyebabkan adanya kinin dan aktivasi dalam komponen-
komponen komplemen).8,9,10 Bahan-bahan ini dapat meningkatkan
kemampuan degranulasi sel mast, peningkatan regulasi endothelial adhesion
molecules (ELAMs) yang menyebabkan vasodilatasi endotel, vascular
adhesion molecules (VCAMs) yang menyebabkan peningkatan
permeabilitas kapiler, disertai migrasi sel transendotelial dan kemotaksis.
Peningkatan lebih lanjut sehingga menimbulkan dampak klinis pada organ
organ tubuh yang dikenal dengan fase efektor. Pada fase efektor terjadi
transudasi cairan setempat yang secara klinis tampak edema lokal disertai
eritema . Reaksi segera berkembang dalam beberapa menit setelah paparan
spesifik dan reaksi fase akhir berkembang 2-4 jam kemudian.

Gambar 1. Reaksi Hipersensitivitas tipe 1 pada urtikaria dan angiodema

Angioedema adalah reaksi yang menyerupai urtikaria, namun terjadi


pada lapisan kulit yang lebih dalam, dan secara klinis ditandai dengan
pembengkakan jaringan. Penyebab terjadinya angioedema antara lain
adanya defisiensi C1 esterase inhibitor (C1INH) yang berfungsi

6
7

menghambat pembentukan kinin, aktivasi komplemen, yang menghasilkan


vasoactive kinin-like peptides dan pembentukan bradikinin. Kinin adalah
peptida dengan berat molekul rendah yang ikut berperan dalam proses
inflamasi dengan mengaktivasi sel endotelial dan menyebabkan terjadinya
vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas vaskular. Angioedema dapat
terjadi di bagian tubuh manapun, namun lebih sering ditemukan di daerah
periorbital, perioral, lidah, genitalia, ekstremitas, dan lapisan mukosa.11

Pada erupsi makulopapular (Hipersensitivitias tipe IVc) obat-obatan


(antigen) akan melekat pada antigen-presenting cell (APC) yang akan
memberikan sinyal intraseluler untuk melepaskan sitokin-sitokin inflamasi.
Keterlibatan sel T CD4+ dan CD8+ memegang peranan penting pada
patogenesis erupsi makulopapular. Sekitar 20% infiltrasi sel T disertai
perforin dan granzyme B yang ditemukan pada dermo-epidermal junction,
mencetuskan perforasi membran sel bahkan degradasi DNA.12

Gambar 2. Mekanisme patofisiologi yang mendasari reaksi obat kulit yang


merugikan. Ruam makulopapular (MPR), reaksi obat dengan eosinofilia dan gejala
sistemik (DRESS), pustulosis eksantematosa umum akut (AGEP), sindrom Stevens-
Johnson (SJS)/nekrolisis epidermal toksik (TEN). Sel penyaji antigen APC, sel T
memori penduduk (TRM), sel T memori efektor (TEM), faktor perangsang koloni
granulosit-makrofag (GM-CSF), granulosit eosinofilik, sel pembunuh alami sel NK,
granulosit neutrofilik 4

7
8

Patofisiologi fixed drug eruption belum diketahui secara pasti. Namun


penelitian terakhir menyebutkan adanya peran sel mediator yang mengawali
munculnya lesi yang aktif. Proses ini meliputi suatu antibodi-dependent dan
reaksi sel mediator sitotoksik. Obat-obat yang masuk dianggap sebagai
hapten yang berikatan dengan sel basal keratinosit atau dengan melanosit
pada lapisan basal epidermis, yang menyebabkan terjadinya reaksi
inflamasi. Melalui pelepasan sitokin, seperti TNF-alfa, menyebabkan
keratinosit mengekspresikan intercellular adhesioI molecule-1 (ICAM-1).
Pengaturan ICAM-1 akan mendorong sel T (CD4 dan CD8) berpindah ke
lokasi lesi. Datangnya sel CD8 dan bertahan di lokasi lesi akan
menyebabkan kerusakan jaringan yang terus-menerus akibat produk
inflamasi, seperti sitokin interferon gamma dan TNF-alfa. Perubahan-
perubahan yang terjadi pada jaringan menyebabkan endotel pembuluh darah
mendatangkan lebih banyak sel CD4 pada lesi aktif. Sel CD4 memproduksi
IL-10, yang menekan sistem imun, yang menyebabkan lesi yang tadinya
aktif menjadi inaktif. Jika respon inflamasinya sudah hilang, IL-15 yang
diekspresikan keratinosit akan membantu mempertahankan sel CD8, yang
akan memberikan memori fenotipe. Sehingga ketika paparan obat berulang,
respon akan berkembang lebih cepat pada lokasi yang sama.13

Acute Generalized Exanthematous Pustulosis diklasifikasikan sebagai


respon inflamasi neutrofilik steril terkait sel T (tipe IVd). Aktivasi,
proliferasi, dan migrasi klister diferensiasi spesifik obat dimana CD4 dan
CD8 memainkan peran penting dalam perkembangannya. Mekanisme
patogenik yang diduga terjadi pada Acute Generalized Exanthematous
Pustulosis (a). dalam kasus keterlibatan obat, fase awal melibatkan stimulasi
sel T spesifik dan (b). migrasinya ke kulit. (c) sel T ini, Bersama Natural
Killer T (NKT) cell atau Natural Killer (NK) cell akan diaktifkan di kulit
dan mereka akan menginduksi apoptosis keratinosit melalui interaksi
protein sitotoksik dan ligas Fas/Fas (FasL) yang menghasilkan pembentukan
vesikel subkorneal. (d). selanjutnya, sel T mengaktivasi bystander dan sel-
sel inflamasi (keratinosit, sel dendritic, neutrophil) yang kemudian

8
9

melepaskan berbagai sitokin dan kemokin (e) yang dominan menyebabkan


peradangan neutrofilik dan pembentukan pustula.14

Gambar 3. Patoghenesis terjadinya Acute Generalized Exanthematous Pustulosis

Pada kejadian eritroderma, ada 4 pathway utama yang berperan, yaitu


Fas-Fas Ligand interaction, Perforin/Granzyme Pathway, Granulysin, dan
Tumor Necrosis Factor. Ketika manusia terpapar obat penyebab alergi,
maka Antigen Precenting Cell akan mengaktivasi T-Cell yang kemudian
akan melakukan migrasi di kulit. Di lapisan kulit, T-Cell bersama dengan
Natular Killer Cell akan menyebabkan nekrosis sel keratinosit akibat adanya
interaksi Fas-FasL . adanya perforin/granzyme kemudian akan
menyebabkan perforasi sel dan membuat substansi inflamasi akan
melakukan infiltrasi ke permukaan kulit yang akan bermanifestasi menjadi
eritroderma. Selain itu, apoptosis keratinosit pada kejadian eritroderma juga
disebabkan oleh adanya granulysin dan tumor necrosis factor berupa TNF-a
dan INF-y.15
Pada sindrom Hipersensitifitas obat, baik sel Tsitotoksik CD8+
maupun Thelper CD4+ merupakan mediator patogenik pada DRESS disertai
dengan adanya nekrosis keratinosit yang minimum, perluasan aliran darah
dan infiltrasi CD4+FoxP3+ khususnya sel Treg pada dermis kulit. Adanya
kejenuhan dan ketidakmampuan Treg membatasi aktivitas sel Tsitotoksik
memungkinkan perburukan gejala DRESS. DRESS biasanya bila dipicu

9
10

oleh patogen seperti human herpes virus HHV-6, HHV-7, ebstein barr virus
(EBV) dan cytomegalo virus (CMV).16

Gambar 4. Perbedaan patogenesis kejadian sindrom SJS/TEN dengan drug reaction


with eosinophilia and systemic symptoms (DRESS).16

Mekanisme pasti terjadinya SSJ-TEN belum sepenuhnya diketahui.


Namun, teori menyatakan bahwa perubahan metabolisme obat (misalnya
kegagalan untuk membersihkan metabolit reaktif) pada beberapa pasien
memicu reaksi sitotoksik yang diperantarai sel-T terhadap antigen obat
dalam keratinosit. Proses clearance diperantarai oleh sel T sitotoksik dan
natural killer cells (sel NK). Namun pada pasien dengan SSJ-TEN, Sel T
CD8+ over-produksi IL-15 yang meningkatkan produksi granulisin.
Konsentrasi granulisin yang meningkat menyebabkan reaksi sitotoksik
terhadap keratinosit sehingga mengakibatkan apoptosis luas sel keratinosit.
Hal ini akan mengakibatkan timbulnya manifestasi jaringan nekrotik yang
luas sehingga terjadi bulla kendur dengan tanda Nikolsky positif.5,16

10
11

2.5 Manifestasi Klinis


EOA dapat bermanifestasi klinis ringan dan berat hingga mengancan
jiwa. Lesi dominan yang timbul merupakan petunjuk reaksi hipersensitivitas
yang mendasari.
a. Urtikaria dan Angioedema
Urtikaria (hipersensitivitas tipe 1) didefinisikan sebagai gangguan
kulit yang ditandai dengan edema setempat pada kulit (wheal) disertai
kemerahan/eritema dengan ukuran yang bervariasi dengan bentuk yang bisa
melingkar (circumscribed), penonjolan, dan biasanya pruritik. Urtika
(wheal) sendiri dapat berwarna merah (reddish) atau pucat (whittish). Lesi
ini biasanya gatal dan panas pada tempat lesi serta bertahan kurang dari 24
jam dan kemudian hilang secara perlahan-lahan. Gejala dapat muncul secara
spontan (idiopatik) dimana merupakan subtipe yang paling sering terjadi,
ataupun sebagai respon terhadap stimulus spesifik seperti stimulus fisik
ataupun karena berkeringat. Urtikaria disebabkan karena aktivitas IgE
mengaktifkan sel mast dan basofil yang menginduksi pelepasan histamin
dan mediator inflamasi lainnya. Angioedema biasanya terjadi di daerah
bibir, kelopak mata, genitalia eksterna, tangan dan kaki. Angioedema pada
glottis menyebabkan asfiksia, sehingga dibutuhkan penanganan segera.
Penyebab terseing angioedema ialah obat penisilin, asam asetilsalisilat dan
NSAID. 3,5
Urtikaria dan angioedema dapat timbul salah satunya pada seorang
penderita, namun tidak jarang keduanya dialami sekaligus pada suatu
individu. Angioedema biasanya terjadi pada wajah, khususnya pada
periorbital, bibir, dagu dan bagian ekstremitas. Bisa nyeri namun tidak
bersifat pruritik serta dapat bertahan hingga beberapa hari. Angioedema
juga dapat terjadi pada lidah, faring maupun laring. 3,5

11
12

Gambar 5. Urtikaria 6
b. Erupsi Makulopapular

Erupsi makulopapular (hipersensitivitias tipe IV/tipe lambat) disebut


juga erupsi eksantematosa atau morbiliformis, merupakan bentuk erupsi
obat alergi yang paling sering ditemukan, timbul dalam 2-3 minggu setelah
konsumsi obat. Awalnya, dimulai dengan fase sensitasi, sekitar 5-14 hari
setelah memulai pengobatan atau terkadang setelah pemberhentian
pengobatan. Lesi muncul sekitar 6 jam hingga 5-7 hari setelah konsumsi
kembali obat yang sama. Erupsi ini ditandai dengan papul dengan diameter
1-5 mm dan dapat menyatu membentuk plakat. Biasanya lesi eritematosa
dimulai dari batang tubuh kemudian menyebar ke perifer secara simetris dan
generalisata, dan hampir selalu disertai pruritus dan demam ringan (suhu
<38.5oC). Erupsi bersifat self-limiting dan menghilang dalam 7-14 hari
setelah menghentikan obat pencetus. Erupsi menghilang dengan cara
deskuamasi, dan terkadang meninggalkan bekas hiperpigmentasi, erupsi
jenis ini sering disebabkan oleh ampisilin, NSAID, sulfonamid, fenitoin
serta karbamazepin. 5,6

12
13

Gambar 6. Erupsi obat eksantematos 6

c. Fixed Drug Eruption (FDE)

Fixed drug eruption (FDE) (hipersensitivitas tipe IV/tipe lambat)


merupakan salah satu erupsi kulit yang sering dijumpai dan sebagian besar
tidak memiliki gejala (asymptomatic), namun tidak menutup kemungkinan
adanya pembengkakan, pruritus bahkan nyeri. Lesi FDE umumnya berupa
makula atau plak eritema-keunguan dan kadang disertai vesikel/bulla pada
bagian tengah lesi sehingga sering menyerupai eritema multiforme. Lesi ini
biasanya timbul 1 minggu setelah memulai terapi pertama. Predileksi
tersering di daerah bibir, tangan dan genitalia. Kemudian meninggalkan
bercak hiperpigmentasi yang lama hilang, bahkan sering menetap. Ciri khas
FDE adalah berulan pada predileksi yang sama setelah pajanan obat
penyebab. Obat yang sering menyebabkan FDE adalah antibiotik
(cotrimoxazole, ampicillin, amoxicillin, tetrasiklin), obat golongan NSAID
(naproxen, asam mefenamat, metamizol), antifungal sistemik (fluconazole).
5,6

Gambar 7. Fixed Drug Eruption 6

13
14

d. Pustulosis Eksantematous Generalisata Akut


Penyakit pusulosis eksantematosa generalisata akut (PEGA)
merupakan erupsi pustular akut yang timbul 1-3 minggu setelah konsumsi
obat yang diawali oleh demam, mual dan malaise. Kelainan kulit yang
ditemukan berupa pustul milier (small nonfollicular pustules) berjumlah
banyak di atas dasar eritematosa. Fase akut biasanya ditandai dengan
demam (>38oC). Predileksi utama di wajah dan lipatan tubuh. PEGA
terkadang sulit dibedakan dengan psoriasis pustulosis dan dermatosis
pustulosis subkorneal (penyakit Sneddon-Wilkinson) sehingga terkadang
dibutuhkan pemeriksaan histopatologis. Obat-obatan seperti
aminopenicillins, pristinamycin, sulphonamides, quinolones,
hydroxychloroquine, terbinafin dan diltiazem merupakan penyebab
terseringnya erupsi ini. 5,6

(A) (B)
Gambar 8. Pustulosis eksantematosa generalisata akut (A) dan pusulosis
eksantematosa generalisata akut pada pria berusia 48 tahun yang mengidap
nonfolicular pustules dan demam 7 hari setelah diobati dengan diltiazem (B). 6

e. Eritroderma
Eritroderma disebut juga dermatitis eksfoliativa, merupakan lesi
eritema difus disertai skuama lebih dari 90% area tubuh. Bukan merupakan
diaegnosis spesifik dan dapat disebabikan oleh berbagai penyakit selain

14
15

EOA, misalnya perluasan penyakit kulit, penyakit sistemik termasuk


keganasan (penyakit Hodgkin) atau idiopatik. Perlu dilakukan pemeriksaaan
teliti dan penunjang untuk membantu menyingkirkan kemungkinan
penyebab lain. Pada eritroderma sering terjadi ketidakseimbangan elektrolit,
gangguan termoregulasi, serta kehilangan albumin, sehingga merupakan
indikasi untuk dirawat inap. Obat penyebab antara lain adalah
asaetaminofen dan minosiklin. 5

(A) (B)
Gambar 9. Gambaran klinis eritema disertai skuama pada hampir seluruh tubuh pasien
(A). Test patch menunjukkan hasil positif setelah 48 jam terhadap obat gliclazide (B). 17

f. Sindrom Hipersensitivitas Obat/ Drug-induced Hypersensitivity


Syndrome (DIHS)/ Drug Reaction with Eosinophilia and Systemic
Symptoms (DRESS)
Sindrom hipersensitivitas obat (SHO) merupakan bentuk EOA tipe
berat yang dapat mengancam jiwa, karena keterlibatan multiorgan, ditandai
dengan rash, demam (>38oC), limfadenopati, leukositosis dengan eosinofilia
bahkan gangguan hati. Seringkali diawali oleh infeksi saluran pernapasan
atas dan dihubungkan dengan infeksi HHV-6. HHV-7, Epstein Barr virus
(EBV), dan Cytomegalovirus (CMV). Gejala klinis SHO biasanya dimulai
dengan lesi makulopapular morbiliformis disertai demam yang biasanya
timbul 2-3 minggu setelah konsumsi obat, dengan lesi makulopapular paling
seing ditemukan. Dapat juga ditemukan lesi pustular atau epidermolisis.
Wajah biasanya mengalami edema dan distribusi lesi makulopapular

15
16

tersebar simetris hampir di seluruh tubuh, tetapi jarang pada telapak tangan
dan kaki. Beberapa gambaran unik pada SHO adalah awitan yang lambat,
gambaran klinis yang tetap timbul walaupun obat sudah dihentikan, serta
reaksi silang dengan struktur kimia obat yang beberda yang hingga saat ini
belum bisa dijelaskan. 5,6

(A) (B)
Gambar 10. Sindrom hipersensitivitas obat fenitoin. Simetris, merah terang, erupsi
eksantematous, konfluens pada beberapa tempat disertai limfadenopati (A). Reaksi
sindrom hipersensitivitas yang ditandai dengan demam, erupsi pustular dan hepatitis
pada seorang laki-laki berusia 23 tahun setelah 18 hari pengobatan minoycline. (B) 3

g. Sindrom Stevens-Johnson (SJS) dan Nekrolisis Epidermal Toksik


(TEN)
Sindrom Stevens-Johnson (SJS) dan Nekrolisis Epidermal Toksik
(TEN) (hypersensitivitas tipe-IV/tipe lambat) merupakan reaksi
mukokutaneus akut yang mengancam nyawa, ditandai dengan nekrosis
ekstensif dan pelepasan dari epidermis. Karakteristik SJS dan TEN berupa
makula, papul, plak, vesikel bahkan bulla. Adapun lesi target dengan bull’s
eye appearance yang merupakan karakteristik khas pada SJS dan TEN.
Pasien dengan SJS maupun TEN memiliki gejala umum yang tidak khas,
seperti demam, mata menyengat dan ketidaknyamanan dalam menelan
mendahului onset SJS dan TEN dalam beberapa jam hingga hari. Tidak
jarang juga terdapat seperti lepuhan atau scar pada vagina maupun penis
baik sementara bahkan menetap, disertai rusaknya kulit pada area
sekitarnya. Dalam penyembuhan kulit, biasanya akan terlihat lebih gelap
atau terang dibandingkan sebelumnya. Rambut-rambut dan kuku mungkin

16
17

akan tanggal dan tumbuh kembali berbeda dari sebelumnya. Obat-obatan


yang sering menyebabkan SJS dan TEN umumnya adalah antiepilepsi,
golongan sulfonamid, beta-laktam, NSAID, carbamazepin dan allopurinol. 6

Gambar 11. Erupsi dini. Makula berwarna merah-kehitaman eritematosa (lesi


target atipikal datar) yang semakin menyatu dan menunjukkan pelepasan
epidermis (A). Presentasi awal dengan vesikel dan lepuh. Perhatikan warna
kehitaman atap blister, sangat menunjukkan nekrosis epidermis (B). Erupsi
lanjutan. Lepuh dan detasemen epidermis telah menyebabkan erosi konfluen. (C).
Nekrolisis epidermal besar yang ditandai dengan area erosif besar yang
mengingatkan pada rasa panas (D). 3

2.6 Diagnosis
Langkah pertama penegakan diagnosis erupsi obat alergik adalah
mencurigai terdapat reaksi hipersensitivitas terhadap obat yang dikonsumsi
pasien. Kecurigaan tersebut didukung dengan bukti riwayat konsumsi obat
pada saat anamnesis, manifestasi klinis dan morfologi lesi pada kulit, serta
pemeriksaan penunjang. Hal yang sering menjadi tantangan adalah bila
pasien mendapatkan medikasi dengan obat lebih dari satu jenis. Langkah
yang penting diperhatikan adalah sebagai berikut:

17
18

a. Anamnesis
1. Kumpulkan data klinis secara sistematis dan teliti mengenai:
• Riwayat alergi obat sebelumnya, beserta tanda dan gejala
klinisnya.
• Riwayat atopi pada pasien dan keluarga.
• Data medikasi pasien saat ini, baik oral, intravena, dan
topikal. Jangan abaikan penggunaan obat herbal dan
suplemen. Buatlah peta kronologis sejak obat dimulai dan
dihentikan, serta peningkatan dosis.
• Riwayat pajanan obat yang dicurigai atau obat yang dapat
bereaksi silang.
• Perhatikan kronologis reaksi obat: tanda dan gejala dan
hasil laboratorium.
2. Obat penyebab yang dicurigai menjadi lebih sempit dengan fokus
terhadap:
• Hubungan temporal antara awal dan akhir konsumsi obat
dengan onset timbulnya erupsi pada kulit.
• Lesi dominan tanda dan gejala klinis reaksi
hipersensitivitas.
3. Pertimbangkan farmakoepidemiologik obat yang digunakan.
Urutkan berdasarkan obat yang paling berpotensi menyebabkan
alergi berdasarkan data publikasi.
4. Obat yang sering menyebabkan reaksi alergik adalah golongan beta
laktam, sulfonamid, rifampisin, nevirapin, obat anti konvulsan,
serta obat anti-inflamasi non-steroid. Pada beberapa kasus insulin
juga menjadi penyebab erupsi obat alergik.1
b. Pemeriksaan Fisis
Dalam penegakan diagnosis erupsi obat alergik, pada pemeriksaan
fisis secara umum dilakukan periksaan secara inspeksi dan palpasi
permukaan kulit dan lesi yang ada. Pada pemeriksaan fisis yang bermakna
akan terdapat manifestasi klinis sesuai dengan gambaran lesi pada erupsi
obat alegik, meliputi:

18
19

1. Urtikaria dan Angioedema


Efloresensi : lesi berupa edema setempat pada kulit (wheal) disertai
ruam atau lesi kulit berupa kulit eritem dengan penonjolan berbatas
tegas dengan batas tepi yang pucat disertai dengan rasa gatal
sedang sampai berat, pedih, dan atau sensasi panas seperti terbakar.
Lesi bisa tampak di bagian tubuh manapun. Bentuknya dapat
seperti bekas sengatan serangga. Ukurannya bervariasi dapat
lentikular, numular, plakat.

2. Erupsi Makulopapular
Efloresensi : lesi berupa papula pada kulit dengan diameter 1-5 mm
dan dapat membentuk plakat. Biasanya lesi eritematosa dimulai
dari batang tubuh kemudian menyebar ke perifer secara simetris
dan generalisata, dan hampir selalu disertai pruritus.

3. Fixed Drug Eruption (FDE)


Efloresensi : lesi berupa makula atau plak eritema-keunguan dan
kadang disertai vesikel/bula pada bagian tengah lesi sehingga
sering menyerupai eritema multiforme.

4. Pustulosis Eksantematous Generalisata Akut


Efloresensi : lesi berupa pustul milier berjumlah banyak di atas
dasar eritematosa. Predileksi utama di wajah dan lipatan tubuh.

5. Eritroderma
Efloresensi : lesi berupa eritema difus disertai skuama lebih dari
90% area tubuh.

6. Sindrom Hipersensitivitas Obat / Drug-Induced Hipersensitivity


Syndrome (DIHS) / Drug Reaction with Eosinophilia and Systemic
Symptoms (DRESS)
Efloresensi : lesi berupa makulopapular atau lesi pustular atau
epidermolisis disertai edema pada wajah, tersebar simetris hampir
di seluruh tubuh, tetapi jarang pada telapak tangan dan kaki.

19
20

7. Sindrom Stevens-Johnson (SJS) dan Nekrosis Epidermal Toksik


(TEN)
Efloresensi : lesi berupa makula, papul, plak, vesikel bahkan bulla.
Ada lesi target dengan bull’s eye appearance yang khas pada SJS
dan TEN.

c. Pemeriksaan penunjang
1. Hentikan dan/atau subtitusi semua obat yang memiliki hubungan
temporal yang kuat. Observasi gejala setelah obat dihentikan.
2. Pertimbangkan uji kulit untuk menentukan obat penyebab, bila
sudah memenuhi syarat-syarat uji.
• Prick test atau scratch test adalah tindakan emergency yang
dapat dilakukan untuk menemukan reaksi hipersensitivitas
dimediasi Ig-E
• Patch test untuk memastikan adanya dermatitis kontak
alergi, fixed drug eruptions, sindrom hipersensitivitas obat,
acute generalized exanthematous pustulosis (AGEP), dan
berbagai erupsi kulit lainnya.
• Kultur kulit (bakterial, viral, fungal)
3. Jika uji kulit negatif, lakukan provokasi oral dengan dosis yang
dinaikkan perlahan (bila tidak ada kontraindikasi).
4. Pada kasus yang meragukan dan belum bisa disingkirkan
kemungkinan lain dapat dilakukan pemeriksaan histopatologi
untuk menegakkan diagnosis erupsi obat alergik. Biopsi kulit yaitu
biopsi cutaneus untuk pemeriksaan histopatologi dan direct-
immunofluorescensce sangat berguna untuk penegakan diagnosis
erupsi kutaneus. Adanya eosinofil, edema dan inflamasi
mengarahkan pada reaksi hipersensitivitas. Gambaran vaskulitis
dan nekrotik akan mengarahkan pada eritema multiform, sindrom
stevens-johnson atau toksik epidermal nekrolisis.
5. Pemeriksaan laboratorium darah lengkap, tes fungsi hati dan fungsi
ginjal. Berbagai textbook menyatakan peningkatan eosinofil pada
pemeriksaan darah tepi merupakan penanda yang sering ditemukan

20
21

pada cutaneus drug eruptions. Menurut Romagosa et al.


Peningkatan eosinofil menandakan perburukan pada kasus erupsi
obat alergik. Berdasarkan pedoman American Academy of
Dermatology, peningkatan eosinofil lebih dari 1000 sel/mm3
mengindikasikan erupsi obat alergik yang berat.
6. Pemeriksaan laboratorium kadar obat dalam darah ketika terjadi
erupsi berhubungan dengan over dosis atau reaksi non-alergik
lainnya dilakukan bila pasien mengalami koma ataupun pasien
yang tidak dapat berkomunikasi untuk dapat mengetahui obat yang
dikonsumsi. Pemeriksaan ini untuk memastikan hubungan
overdosis konsumsi obat dengan gejala yang timbul.
7. Pemeriksaan laboratorium enzim dan metabolitnya. Pada reaksi
tipe langsung, menilai kadar enzim triptase dapat sangat menolong
karena triptase adalah marker dari degranulasi sel mast. Kadar
histamin, triptase dan beta-triptase menandakan reaksi akut
dimediasi IgE.5,18

2.7 Diagnosis Banding


1) Dermatitis kontak alergi (DKA), DKA akut ditandai dengan papula dan
vesikel gatal pada dasar eritematosa. Plak pruritus likenifikasi dapat
menunjukkan bentuk kronis dari kondisi tersebut. Individu dengan
dermatitis kontak alergi biasanya mengalami gejala dalam beberapa hari
setelah terpapar, di area yang terpapar langsung dengan alergen.19

Gambar 12. Dermatitis kontak alergi (DKA)

21
22

2) Dermatosis neutofilik febrile akut (sweet sindrome), kondisi ini


merupakan proses reaktif yang ditandai dengan munculnya papula dan
nodul lunak berwarna merah hingga ungu secara tiba-tiba yang
bergabung membentuk plak. Plak ini biasanya terbentuk pada ekstremitas
atas, wajah, atau leher dan biasanya disertai dengan demam dan
neutrofilia perifer.20

Gambar 13. Dermatosis neutofilik febrile akut (sweet sindrome)

3) Eritema multiforme, adalah kondisi kulit akut, self-limited, dan


terkadang berulang yang dianggap sebagai reaksi hipersensitivitas tipe IV
yang terkait dengan infeksi tertentu, obat-obatan, dan berbagai pemicu
lainnya. Eritema multiforme dapat terjadi secara spektrum luas. Eritema
multiforme minor menunjukkan erupsi kulit yang terlokalisir dengan
sedikit atau tanpa keterlibatan mukosa. Papula berkembang menjadi
target patognomonik atau lesi iris yang muncul dalam periode 72 jam dan
dimulai pada ekstremitas. Lesi tetap di lokasi selama minimal 7 hari dan
kemudian mulai sembuh. Faktor pencetus termasuk virus herpes
simpleks (HSV), virus Epstein-Barr, dan histoplasmosis. Karena kondisi
ini mungkin terkait dengan HSV berulang.21

22
23

Gambar 14. Eritema multiforme

4) Hypersensitivity vasculitis, biasanya digambarkan secara histopatologis


sebagai leukocytoclastic vasculitis (LCV), adalah istilah yang biasa
digunakan untuk menunjukkan vaskulitis pembuluh darah kecil. Ada
banyak penyebab potensial vaskulitis hipersensitivitas; namun hingga
50% kasus adalah idiopatik. Vaskulitis hipersensitivitas dapat muncul
secara klinis sebagai penyakit kulit saja atau mungkin merupakan
manifestasi kulit dari penyakit sistemik. Organ dalam yang paling sering
terkena adalah sendi, saluran pencernaan, dan ginjal. Vaskulitis
hipersensitivitas mungkin akut dan sembuh sendiri, berulang, atau
kronis.22

Gambar 15. Hypersensitivity vasculitis

23
24

2.8 Tatalaksana
Prinsip dari tatalaksana erupsi obat alergi adalah sebagai berikut :
1. Tatalaksana Umum
a. Melindungi kulit. Pemberian obat yang diduga menjadi penyebab
erupsi kulit harus dihentikan segera.
b. Menjaga kondisi pasien dengan selalu melakukan pengawasan untuk
mendeteksi kemungkinan timbulnya erupsi yang lebih parah atau
relaps setelah berada pada fase pemulihan
c. Menjaga kondisi fisik pasien termasuk asupan nutrisi dan cairan
tubuhnya. Berikan cairan via infus bila perlu. Pengaturan
keseimbangan cairan/elektrolit dan nutrisi penting karena pasien
sukar atau tidak dapat menelan akibat lesi di mulut dan tenggorok
serta kesadaran dapat menurun. Untuk itu dapat diberikan infus,
misalnya berupa glukosa 5% dan larutan Darrow.
d. Transfusi darah bila terapi tidak memberi perbaikan dalam 2-3 hari;
khususnya pada kasus yang disertai purpura yang luas. Pada kasus
dengan purpura yang luas dapat pula ditambahkan vitamin C 500 mg
atau 1000 mg intravena sehari dan hemostatik. 23,24,25
2. Tatalaksana Khusus
a. Sistemik
• Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid hingga saat ini masih kontroversi, tetapi
pemberian kortikosteroid untuk kasus erupsi obat alergi berat
memberikan respon yang sangat baik dan angka mortalitas
menurun. Pada erupsi obat alergi ringan kortikosteroid diberikan
0.5 mg/kg/BB/hari, sedangkan pada erupsi obat alergi berat 1-4
mg/kgBB/hari. Penggunaan glukortikoid untuk pengobatan
Sindrom Steven Johnson dan Toxic Epidermal Necrolysis masih
kontroversial. Pertama kali dilakukan pemberian intravenous
immunoglobulin (IVIG) terbukti dapat menurunkan progresifitas
penyakit ini dalam jangka waktu 48 jam. Untuk selanjutnya IVIG
diberikan sebanyak 0.2-0.75 g/kg selama 4 hari pertama

24
25

• Antihistamin
Antihistamin terutama diberikan pada erupsi obat alergi tipe
urtikaria dan angioedema. Dapat diberikan sebagai terapi
simptomatis pada erupsi obat alergi tipe lain yang disertai rasa
gatal yang berat, misalnya eritroderma atau eksantematosa.

b. Topikal
Pemberian terapi topical tidak spesifik, bergantung pada kondisi dan
luas lesi kulit sesuai dengan prinsip dermatoterapi.

• Pada erosi akibat epidermolysis pada Sindrom Steven Johnson


dan Toxic Epidermal Necrolysis dapat diberikan bahan
keratoplasi asam salisilat 1-2%.
• Jika dalam keadaan kering dapat diberikan bedak salisilat 2%
ditambah dengan obat antipruritus seperti mentol ½-1% untuk
mengurangi rasa gatal.
• Jika dalam keadaan basah perlu digunakan kompres, misalnya
larutan asam salisilat 1%.
• Pada bentuk purpura dan eritema nodosum tidak diperlukan
pengobatan topikal.
• Pada eksantema fikstum, jika kelainan membasah dapat
diberikan krim kortikosteroid, misalnya hidrokortison 1%
sampai 2 ½%.
• Pada eritroderma dengan kelainan berupa eritema yang
menyeluruh dan mengalami skuamasi dapat diberikan salep
lanolin 10% yang dioleskan sebagian-sebagian.
• Terapi topikal untuk lesi di mulut dapat berupa kenalog in
orabase. Untuk lesi di kulit yang erosif dapat diberikan
sofratulle atau krim sulfadiazin perak. 3,5,24

25
26

2.9 Komplikasi
Untuk Sebagian besar erupsi obat, pemulihan penuh tanpa komplikasi
dapat terjadi apabila obat penyebab segera dihentikan dan diberikan terapi
yang tepat dan adekuat. Namun, ada hal-hal yang harus diperhatikan :
1. Pasien dengan erupsi eksantematosa biasanya terjadi deskuamasi ringan
saat ruam sembuh
2. Pasien dengan sindrom hipersensitivitas berisiko menjadi hipotiroid
biasanya dalam 4-12 minggu setelah reaksi
3. Pada pasien Toxic Epidermal Necrolysis pada sedikit kasus dapat
meninggalkan jaringan parut, kebutaan, bahkan kematian.26

Apabila Erupsi Obat Alergi tidak ditangani dengan tepat dan adekuat,
maka dapat terjadi Severe Drug Eruption. Komplikasi dari Erupsi Obat yang
berat dapat menyebabkan infeksi yang luas bahkan memungkinkan adanya
sepsis. Bahkan, kejadian kematian merupakan komplikasi paling fatal. 27,28

2.10. Prognosis
Pada dasarnya erupsi kulit karena obat akan sembuh bila obat
penyebabnya dapat diketahui dan segera disingkirkan. Akan tetapi pada
beberapa bentuk, misalnya eritroderma dan kelainan berupa sindrom Lyell
dan sindrom Steven Johnson, prognosis sangat tergantung pada luas kulit
yang terkena. Prognosis buruk bila kelainan meliputi 50-70% permukaan
kulit.3,24

26
27

BAB III
KESIMPULAN

Erupsi obat alergi adalah reaksi hipersensitivitas terhadap obat dengan


manifestasi pada kulit yang dapat disertai maupun tidak keterlibatan
mukosa. Yang merupakan manifestasi klinis dari erupsi obat alergi adalah
Urtikaria, Angioderma, Erupsi Makulopapular, Fixed Drug Eruption (FDE),
Pustulosis Eksantematous Generalisata Akut, Eritroderma, Drug Reaction
with Eosinophilia and Systemic Symptoms (DRESS), Steven-Johnson
Syndrome (SJS), dan Toxic Epidermal Necrolysis (TEN).
Diagnosis erupsi obat alergi ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis,
pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang. Pada pemeriksaan fisis
dengan melihat gambaran klinis lesi berdasarkan jenisnya, dilanjutkan
dengan pemeriksaan penunjang berupa prick test dan patch test, untuk
menyingkirkan diagnosa bandingnya.
Terapi Erupsi Obat Alergi meliputi tatalaksana umum dan tatalaksana
khusus. Untuk tatalaksana umum meliputi penghentian obat penyebab,
menjaga kondisi pasien agar lesi yang ada tidak menjadi lebih parah,
menjaga intake pasien, dan tatalaksana lain jika dibutuhkan. Untuk
tatalaksana khusus meliputi pemberian obat suportif berupa kortikosteroid
dan anti-histamin, sedangkan obat topical diberikan sesuai dengan jenis lesi
yang ada.
Pada dasarnya erupsi kulit karena obat akan sembuh bila obat
penyebabnya dapat diketahui dan segera disingkirkan. Akan tetapi pada
beberapa bentuk, misalnya eritroderma dan kelainan berupa sindrom Lyell
dan sindrom Steven Johnson, prognosis sangat tergantung pada luas kulit
yang terkena. Prognosis buruk bila kelainan meliputi 50-70% permukaan
kulit.

27
28

DAFTAR PUSTAKA
1. Sutedja, E. 2018. Erupsi Alergi Obat. Website Perhimpunan Dokter
Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia. Departemen Ilmu Kesehatan Kulit
dan Kelamin FKUNPAD/RSUP dr. Hasan Sadikin. Bandung. Diakses
pada [20 November 2021] https://perdoski.id/mdvi/detail/1178-erupsi-
alergi-obat
2. Zalewska-Janowska A, Spiewak R, Kowalski ML. Cutaneous
Manifestation of Drug Allergy and Hypersensitivity. Immunol Allergy
Clin North Am. 2017 Feb;37(1):165-181. doi: 10.1016/j.iac.2016.08.006.
PMID: 27886905.
3. Kang S, et al. 2019. ‘Fitzpatrick’s Dermatology 9th Edition’. Volume 1.
McGraw Hill Education, United States. p748
4. Hoetzenecker W, Nägeli M, Mehra ET, Jensen AN, Saulite I, Schmid-
Grendelmeier P, Guenova E, Cozzio A, French LE. Adverse cutaneous
drug eruptions: current understanding. Semin Immunopathol. 2016
Jan;38(1):75-86. doi: 10.1007/s00281-015-0540-2. Epub 2015 Nov 9.
PMID: 26553194.
5. Menaldi S.W, et al. 2019. ‘ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN’.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta; pp. 190-195
6. Harlim A. 2016. ‘Temu Ilmiah Siang Klinik: Erupsi Obat’. Rumah Sakit
Umum Universitas Kristen Indonesia. Jakarta.
7. Griffiths C.E, et al. 2016. ‘Rook’s Textbook of Dermatology, Ninth
Edition’. Blackwell Publishing, USA.
8. Suryana Ketut, Suardamana Ketut, Saturti Anom. Pedoman Diagnosis dan
Terapi Ilmu Penyakit Dalam. Anafilaksis/Reaksi Hipersensitivitas Akut:
Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana/RSUP Sanglah. 2013:577-585.
9. F Estelle. Anaphylaxis: the acute episode and beyond. BMJ 2013; 1–10.
10. Sastra, I Made Wirya. 2017. Hipersensitivitas : Proses Imun yang
Menyebabkan Cedera Jaringan. Bagian Patologi Anatomi Fakultas
Kedokteran UNUD/RSUP Sanglah. Denpasar: p.8.
11. Fitria. 2013. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala Volume 13. Aceh. p.97.

28
29

12. Yawalkar Dr., N. (2007) ‘Maculopapular drug eruptions’, Drug


Hypersensitivity, pp. 242–250. doi: 10.1159/000104204.
13. Butler, FD. 2020. Fixed Drug Eruption. Dapat diakses di:
[https://emedicine.medscape.com/article/1336702overview?src=mbl_msp
_iphone] Accesed on November 2021
14. De, A., Das, S., Sarda, A., Pal, D., & Biswas, P. (2018). Acute
Generalised Exanthematous Pustulosis: An Update. Indian journal of
dermatology, 63(1), 22–29. https://doi.org/10.4103/ijd.IJD_581_17
15. Yacoub, M. R., Berti, A., Campochiaro, C., Tombetti, E., Ramirez, G. A.,
Nico, A., & Colombo, G. (2016). Drug induced exfoliative dermatitis:
state of the art. Clinical and Molecular Allergy, 14(1), 1-12.
16. Peter, J. G. et al. (2017) ‘Severe Delayed Cutaneous and Systemic
Reactions to Drugs: A Global Perspective on the Science and Art of
Current Practice’, Journal of Allergy and Clinical Immunology: In
Practice, 5(3), pp. 547–563. doi: 10.1016/j.jaip.2017.01.025.
17. Ozuguz, P. et al. (2014) ‘Erythroderma secondary to gliclazide: A case
report’, Cutaneous and Ocular Toxicology, 33(4), pp. 342–344. doi:
10.3109/15569527.2013.870188.
18. Surajit Nayak, Basanti Acharjya. Indian J Dermatol. 2008. Department of
Skin and VD, MKCG Medical College and Hospital, Berhampur, Orissa,
India. doi 10.4103/0019-5154.39732.
19. Thomas N Helm, MD. 2020. Allergic Contact Dermatitis. Dermatology
and Pathology, University of Buffalo, State University of New York
School of Medicine and Biomedical Sciences.
20. Cohen PR, Kurzrock R. Sweet’s syndrome revisited: a review of disease
consepts. Int J Dermatol. 2003 Oct. 42 (10):761-78.
21. Sokumbi O, Wetter DA. Clinical features, diagnosis, and treatment of
erithema multiforme: a review for the practicing dermatologist. Int J
Dermatol. 2012 Aug. 51(8):889-902
22. Ruth Ann Vleugels, MD, MPH. 2020. Hypersensitivity Vasculitis.
Harvard Medical School; Department of Dermatology, Brigham and

29
30

Women’s Hospital; Associate Physician, Department of Immunology and


Allergy, Children’s Hospital Boston.
23. Revus J, Allanore AV. Drugs Reaction. In: Bolognia Dermatology.
Volume One. 2nd edition. Elserve limited, Philadelphia. United States of
America. 2003. p: 333-352
24. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Erupsi Alergi
Obat. In: Kapita Selekta Kedokteran. Volume 2. 3rd edition. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Media Aesculapius. Jakarta. 2002.
p:133-139
nd
25. Lee A, Thomson J. Drug-induced skin. In: Adverse Drug Reactions, 2
ed. Pharmaceutical Press. 2006. Access on: November 18 2021. Available
at: http://drugsafety.adisonline.com/pt/re/drs/pdf
26. Blume, Jonathan E., et al. "Drug eruptions." E Medicine2010 (2017).
27. Zhang, J., Lei, Z., Xu, C., Zhao, J., & Kang, X. (2021). Current
Perspectives on Severe Drug Eruption. Clinical Reviews in Allergy &
Immunology, 1-17
28. Budianti KW. Allergic Drug Eruption. UI allergic drug eruption. Media
DermatoVenereologicaIndonesiana Journal. 2018; 45(3)

30

Anda mungkin juga menyukai