DISUSUN OLEH :
1. Dwi Rahmah Sari. HR C014202180
2. Virginia Agastia Lestari C014202118
3. Dianti Aprilia Haninu Norman C014202121
4. Eldwin Tjandra C014202147
Residen Pembimbing :
dr. Timothy Yusuf Sangian
Supervisor Pembimbing :
dr. St. Nur Rahmah, Sp. KK
JUDUL REFERAT:
DIAGNOSIS DAN TATA LAKSANA ERUPSI OBAT ALERGIK
Yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa :
1. Nama : Dwi Rahmah Sari. HR.
NIM : C0141202180
2. Nama : Virginia Agastia Lestari
NIM : C014202118
3. Nama : Dianti Aprilia Haninu Norman
NIM : C014202121
4. Nama : Eldwin Tjandra
NIM : C014202147
Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada Departemen
Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
i
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Patogenesis Urtikaria dan Angiodema…..……….……………...6
Gambar 2 Patogenesis Maculopapular Eruption…………….……………...7
Gambar 3 Patogenesis Acute Generalized Exanthematous Pustulosis……..9
Gambar 4 Patogenesis Drug Hypersensitivity Syndrome, SJS, dan TEN....10
Gambar 5 Urtikaria………………………………..……………………….12
Gambar 6 Erupsi Obat Eksantematosa……….....…………………………13
Gambar 7 Fixed Drug Eruption …………………………………………...13
Gambar 8 Pustulosis Eksantematosa…….………………………………...14
Gambar 9 Eritema………...………………………………………………..15
Gambar 10 Sindrom Hipersensitivitas……………..………..…………...….16
Gambar 11 Erupsi Dini……………...……………..………..…………...….17
Gambar 12 Dermatitis Kontak Alergi…………..………..………………....21
Gambar 13 Dermatosis neutofilik febrile akut…………..……………….…22
Gambar 14 Eritema Multiforme………………..………..……………….…23
Gambar 15 Hypersensitivity vasculitis …………..………..…………….…23
ii
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Daftar obat yang terlibat dalam EOA……………………………3
Tabel 2 Klasifikasi Coombs dan Gell …………………………………....5
iii
DAFTAR ISI
iv
1
BAB I
PENDAHULUAN
1
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Erupsi obat alergi atau adverse cutaneous drug eruption adalah reaksi
hipersensitivitas terhadap obat dengan manifestasi pada kulit yang dapat
disertai maupun tidak keterlibatan mukosa. Yang dimaksud dengan obat
ialah zat yang dipakai untuk menegakkan diagnosis, profilaksis, dan
pengobatan. Berikut ini yang merupakan manifestasi klinis dari erupsi obat
alergi adalah Urtikaria, Angioderma Erupsi Makulopapular, Fixed Drug
Eruption (FDE), Pustulosis Eksantematous Generalisata Akut, Eritroderma,
Drug Reaction with Eosinophilia and Systemic Symptoms (DRESS), Steven-
Johnson Syndrome (SJS), dan Toxic Epidermal Necrolysis (TEN).5
2.2 Epidemiologi
Insidensi erupsi obat alergik bervariasi, tidak hanya terjadi pada suatu
populasi tertentu. Berdasarkan sebuah tinjauan sistematis (systematic
review), yang mencakup 9 penelitian menyimpulkan bahwa angka kejadian
erupsi obat alergi berkisar 0-8% pada pasien dengan riwayat mengkonsumsi
jenis obat tertentu (NSAID, antibiotik, antikonvulsan).
Pada pasien rawat inap, risiko untuk terkena erupsi obat alergi
berkisar antara 10% hingga 15%. Manifestasi klinik yang paling sering
ditemukan adalah makulopapular (56%). Penelitian pada pasien rawat jalan
diperkirakan sekitar 2,5% hingga 12% anak-anak dalam masa pengobatan
akan mengalamai reaksi akibat penggunaan obat. Sedangkan pada pasien
lanjut usia tampaknya tidak memiliki peningkatan risiko timbulnya
eksantema makulopapular dan kemungkinan untuk menderita reaksi alergi
berat lebih rendah.
Kelompok orang yang memiliki resiko tinggi terhadap reaksi obat
adalah pasien dengan HIV, Lupus eritematosus, limfoma non-Hodgkin, dan
hepatitis.3
2
3
2.3 Etiologi
Tabel 1. Daftar obat-obat yang terlibat dalam erupsi obat alergik
Erupsi Obat Alergik Obat-obat yang terlibat
Urtikaria dan Angioderma Non-steroid antiinflammation drugs
(NSAID), Angiotensin Converting Enzyme
(ACE) Inhibitors, Penisilin.3
Erupsi Makkulopapular NSAID, Penisilin, Sulfonamid,
Antikonvulsan3
Fixed Drug Eruption NSAID, Asetaminofen, Antibiotik
(cotrimoxazole, ampicillin, amoxicillin,
tetrasiklin)3
Pustulosis Eksantematous Generalisata Aminopenicillin, pristinamycin,
Akut, Eritroderma sulfonamid, quinolone,
hydroxychloroquine, terbinafine, diltiazem6
Eritroderma Asetaminofen, minosiklin6
Drug Reaction with Eosinophilia and Antikonvulsan, Allopurinol, sulfonamid,
Systemic Symptoms (DRESS) dapson6
Steven-Johnson Syndrome (SJS), dan Antikonvulsan, penisilin, sulfonamid,
Toxic Epidermal Necrolysis (TEN). NSAID, Allopurinol6
2.4 Patogenesis
Beberapa obat diciptakan sangat berhati-hati untuk menghindari
interaksi dengan sistem imun. Namun beberapa obat diciptakan untuk
memberikan efek imunologis on-target yang melalui perikatan
immunostimulator seperti TLR7. Sebagai efek samping memungkinkan
terinduksinya reaksi imun off-target yang dikenal sebagai reaksi
hipersensitivitias. Beberapa studi menunjukkan hubungan kuat antara
human lymphocyte allele (HLA) dengan EOA, misalnya HLA B*1502 pada
kasus sindrom Stevens-Johnson yang disebabkan karbamazepin pada etnis
Han-Cina. Temuan lain misalnya HLA B*5701 pada kasus sindrom
hipersensitivitas obat yang disebabkan oleh Abacavir. 5, 7
Berdasarkan klasifikasi Coombs dan Gell, patomekanisme yang
mendasari EOA dibagi menjadi 4 tipe mekanisme. 5,7
3
4
4
5
Tabel 2. Klasifikasi Coombs dan Gell yang sudah direvisi. Elisitasi oleh obat dapat terjadi
pada semua tipe reaksi hipersensitivitas
5
6
6
7
7
8
8
9
9
10
oleh patogen seperti human herpes virus HHV-6, HHV-7, ebstein barr virus
(EBV) dan cytomegalo virus (CMV).16
10
11
11
12
Gambar 5. Urtikaria 6
b. Erupsi Makulopapular
12
13
13
14
(A) (B)
Gambar 8. Pustulosis eksantematosa generalisata akut (A) dan pusulosis
eksantematosa generalisata akut pada pria berusia 48 tahun yang mengidap
nonfolicular pustules dan demam 7 hari setelah diobati dengan diltiazem (B). 6
e. Eritroderma
Eritroderma disebut juga dermatitis eksfoliativa, merupakan lesi
eritema difus disertai skuama lebih dari 90% area tubuh. Bukan merupakan
diaegnosis spesifik dan dapat disebabikan oleh berbagai penyakit selain
14
15
(A) (B)
Gambar 9. Gambaran klinis eritema disertai skuama pada hampir seluruh tubuh pasien
(A). Test patch menunjukkan hasil positif setelah 48 jam terhadap obat gliclazide (B). 17
15
16
tersebar simetris hampir di seluruh tubuh, tetapi jarang pada telapak tangan
dan kaki. Beberapa gambaran unik pada SHO adalah awitan yang lambat,
gambaran klinis yang tetap timbul walaupun obat sudah dihentikan, serta
reaksi silang dengan struktur kimia obat yang beberda yang hingga saat ini
belum bisa dijelaskan. 5,6
(A) (B)
Gambar 10. Sindrom hipersensitivitas obat fenitoin. Simetris, merah terang, erupsi
eksantematous, konfluens pada beberapa tempat disertai limfadenopati (A). Reaksi
sindrom hipersensitivitas yang ditandai dengan demam, erupsi pustular dan hepatitis
pada seorang laki-laki berusia 23 tahun setelah 18 hari pengobatan minoycline. (B) 3
16
17
2.6 Diagnosis
Langkah pertama penegakan diagnosis erupsi obat alergik adalah
mencurigai terdapat reaksi hipersensitivitas terhadap obat yang dikonsumsi
pasien. Kecurigaan tersebut didukung dengan bukti riwayat konsumsi obat
pada saat anamnesis, manifestasi klinis dan morfologi lesi pada kulit, serta
pemeriksaan penunjang. Hal yang sering menjadi tantangan adalah bila
pasien mendapatkan medikasi dengan obat lebih dari satu jenis. Langkah
yang penting diperhatikan adalah sebagai berikut:
17
18
a. Anamnesis
1. Kumpulkan data klinis secara sistematis dan teliti mengenai:
• Riwayat alergi obat sebelumnya, beserta tanda dan gejala
klinisnya.
• Riwayat atopi pada pasien dan keluarga.
• Data medikasi pasien saat ini, baik oral, intravena, dan
topikal. Jangan abaikan penggunaan obat herbal dan
suplemen. Buatlah peta kronologis sejak obat dimulai dan
dihentikan, serta peningkatan dosis.
• Riwayat pajanan obat yang dicurigai atau obat yang dapat
bereaksi silang.
• Perhatikan kronologis reaksi obat: tanda dan gejala dan
hasil laboratorium.
2. Obat penyebab yang dicurigai menjadi lebih sempit dengan fokus
terhadap:
• Hubungan temporal antara awal dan akhir konsumsi obat
dengan onset timbulnya erupsi pada kulit.
• Lesi dominan tanda dan gejala klinis reaksi
hipersensitivitas.
3. Pertimbangkan farmakoepidemiologik obat yang digunakan.
Urutkan berdasarkan obat yang paling berpotensi menyebabkan
alergi berdasarkan data publikasi.
4. Obat yang sering menyebabkan reaksi alergik adalah golongan beta
laktam, sulfonamid, rifampisin, nevirapin, obat anti konvulsan,
serta obat anti-inflamasi non-steroid. Pada beberapa kasus insulin
juga menjadi penyebab erupsi obat alergik.1
b. Pemeriksaan Fisis
Dalam penegakan diagnosis erupsi obat alergik, pada pemeriksaan
fisis secara umum dilakukan periksaan secara inspeksi dan palpasi
permukaan kulit dan lesi yang ada. Pada pemeriksaan fisis yang bermakna
akan terdapat manifestasi klinis sesuai dengan gambaran lesi pada erupsi
obat alegik, meliputi:
18
19
2. Erupsi Makulopapular
Efloresensi : lesi berupa papula pada kulit dengan diameter 1-5 mm
dan dapat membentuk plakat. Biasanya lesi eritematosa dimulai
dari batang tubuh kemudian menyebar ke perifer secara simetris
dan generalisata, dan hampir selalu disertai pruritus.
5. Eritroderma
Efloresensi : lesi berupa eritema difus disertai skuama lebih dari
90% area tubuh.
19
20
c. Pemeriksaan penunjang
1. Hentikan dan/atau subtitusi semua obat yang memiliki hubungan
temporal yang kuat. Observasi gejala setelah obat dihentikan.
2. Pertimbangkan uji kulit untuk menentukan obat penyebab, bila
sudah memenuhi syarat-syarat uji.
• Prick test atau scratch test adalah tindakan emergency yang
dapat dilakukan untuk menemukan reaksi hipersensitivitas
dimediasi Ig-E
• Patch test untuk memastikan adanya dermatitis kontak
alergi, fixed drug eruptions, sindrom hipersensitivitas obat,
acute generalized exanthematous pustulosis (AGEP), dan
berbagai erupsi kulit lainnya.
• Kultur kulit (bakterial, viral, fungal)
3. Jika uji kulit negatif, lakukan provokasi oral dengan dosis yang
dinaikkan perlahan (bila tidak ada kontraindikasi).
4. Pada kasus yang meragukan dan belum bisa disingkirkan
kemungkinan lain dapat dilakukan pemeriksaan histopatologi
untuk menegakkan diagnosis erupsi obat alergik. Biopsi kulit yaitu
biopsi cutaneus untuk pemeriksaan histopatologi dan direct-
immunofluorescensce sangat berguna untuk penegakan diagnosis
erupsi kutaneus. Adanya eosinofil, edema dan inflamasi
mengarahkan pada reaksi hipersensitivitas. Gambaran vaskulitis
dan nekrotik akan mengarahkan pada eritema multiform, sindrom
stevens-johnson atau toksik epidermal nekrolisis.
5. Pemeriksaan laboratorium darah lengkap, tes fungsi hati dan fungsi
ginjal. Berbagai textbook menyatakan peningkatan eosinofil pada
pemeriksaan darah tepi merupakan penanda yang sering ditemukan
20
21
21
22
22
23
23
24
2.8 Tatalaksana
Prinsip dari tatalaksana erupsi obat alergi adalah sebagai berikut :
1. Tatalaksana Umum
a. Melindungi kulit. Pemberian obat yang diduga menjadi penyebab
erupsi kulit harus dihentikan segera.
b. Menjaga kondisi pasien dengan selalu melakukan pengawasan untuk
mendeteksi kemungkinan timbulnya erupsi yang lebih parah atau
relaps setelah berada pada fase pemulihan
c. Menjaga kondisi fisik pasien termasuk asupan nutrisi dan cairan
tubuhnya. Berikan cairan via infus bila perlu. Pengaturan
keseimbangan cairan/elektrolit dan nutrisi penting karena pasien
sukar atau tidak dapat menelan akibat lesi di mulut dan tenggorok
serta kesadaran dapat menurun. Untuk itu dapat diberikan infus,
misalnya berupa glukosa 5% dan larutan Darrow.
d. Transfusi darah bila terapi tidak memberi perbaikan dalam 2-3 hari;
khususnya pada kasus yang disertai purpura yang luas. Pada kasus
dengan purpura yang luas dapat pula ditambahkan vitamin C 500 mg
atau 1000 mg intravena sehari dan hemostatik. 23,24,25
2. Tatalaksana Khusus
a. Sistemik
• Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid hingga saat ini masih kontroversi, tetapi
pemberian kortikosteroid untuk kasus erupsi obat alergi berat
memberikan respon yang sangat baik dan angka mortalitas
menurun. Pada erupsi obat alergi ringan kortikosteroid diberikan
0.5 mg/kg/BB/hari, sedangkan pada erupsi obat alergi berat 1-4
mg/kgBB/hari. Penggunaan glukortikoid untuk pengobatan
Sindrom Steven Johnson dan Toxic Epidermal Necrolysis masih
kontroversial. Pertama kali dilakukan pemberian intravenous
immunoglobulin (IVIG) terbukti dapat menurunkan progresifitas
penyakit ini dalam jangka waktu 48 jam. Untuk selanjutnya IVIG
diberikan sebanyak 0.2-0.75 g/kg selama 4 hari pertama
24
25
• Antihistamin
Antihistamin terutama diberikan pada erupsi obat alergi tipe
urtikaria dan angioedema. Dapat diberikan sebagai terapi
simptomatis pada erupsi obat alergi tipe lain yang disertai rasa
gatal yang berat, misalnya eritroderma atau eksantematosa.
b. Topikal
Pemberian terapi topical tidak spesifik, bergantung pada kondisi dan
luas lesi kulit sesuai dengan prinsip dermatoterapi.
25
26
2.9 Komplikasi
Untuk Sebagian besar erupsi obat, pemulihan penuh tanpa komplikasi
dapat terjadi apabila obat penyebab segera dihentikan dan diberikan terapi
yang tepat dan adekuat. Namun, ada hal-hal yang harus diperhatikan :
1. Pasien dengan erupsi eksantematosa biasanya terjadi deskuamasi ringan
saat ruam sembuh
2. Pasien dengan sindrom hipersensitivitas berisiko menjadi hipotiroid
biasanya dalam 4-12 minggu setelah reaksi
3. Pada pasien Toxic Epidermal Necrolysis pada sedikit kasus dapat
meninggalkan jaringan parut, kebutaan, bahkan kematian.26
Apabila Erupsi Obat Alergi tidak ditangani dengan tepat dan adekuat,
maka dapat terjadi Severe Drug Eruption. Komplikasi dari Erupsi Obat yang
berat dapat menyebabkan infeksi yang luas bahkan memungkinkan adanya
sepsis. Bahkan, kejadian kematian merupakan komplikasi paling fatal. 27,28
2.10. Prognosis
Pada dasarnya erupsi kulit karena obat akan sembuh bila obat
penyebabnya dapat diketahui dan segera disingkirkan. Akan tetapi pada
beberapa bentuk, misalnya eritroderma dan kelainan berupa sindrom Lyell
dan sindrom Steven Johnson, prognosis sangat tergantung pada luas kulit
yang terkena. Prognosis buruk bila kelainan meliputi 50-70% permukaan
kulit.3,24
26
27
BAB III
KESIMPULAN
27
28
DAFTAR PUSTAKA
1. Sutedja, E. 2018. Erupsi Alergi Obat. Website Perhimpunan Dokter
Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia. Departemen Ilmu Kesehatan Kulit
dan Kelamin FKUNPAD/RSUP dr. Hasan Sadikin. Bandung. Diakses
pada [20 November 2021] https://perdoski.id/mdvi/detail/1178-erupsi-
alergi-obat
2. Zalewska-Janowska A, Spiewak R, Kowalski ML. Cutaneous
Manifestation of Drug Allergy and Hypersensitivity. Immunol Allergy
Clin North Am. 2017 Feb;37(1):165-181. doi: 10.1016/j.iac.2016.08.006.
PMID: 27886905.
3. Kang S, et al. 2019. ‘Fitzpatrick’s Dermatology 9th Edition’. Volume 1.
McGraw Hill Education, United States. p748
4. Hoetzenecker W, Nägeli M, Mehra ET, Jensen AN, Saulite I, Schmid-
Grendelmeier P, Guenova E, Cozzio A, French LE. Adverse cutaneous
drug eruptions: current understanding. Semin Immunopathol. 2016
Jan;38(1):75-86. doi: 10.1007/s00281-015-0540-2. Epub 2015 Nov 9.
PMID: 26553194.
5. Menaldi S.W, et al. 2019. ‘ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN’.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta; pp. 190-195
6. Harlim A. 2016. ‘Temu Ilmiah Siang Klinik: Erupsi Obat’. Rumah Sakit
Umum Universitas Kristen Indonesia. Jakarta.
7. Griffiths C.E, et al. 2016. ‘Rook’s Textbook of Dermatology, Ninth
Edition’. Blackwell Publishing, USA.
8. Suryana Ketut, Suardamana Ketut, Saturti Anom. Pedoman Diagnosis dan
Terapi Ilmu Penyakit Dalam. Anafilaksis/Reaksi Hipersensitivitas Akut:
Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana/RSUP Sanglah. 2013:577-585.
9. F Estelle. Anaphylaxis: the acute episode and beyond. BMJ 2013; 1–10.
10. Sastra, I Made Wirya. 2017. Hipersensitivitas : Proses Imun yang
Menyebabkan Cedera Jaringan. Bagian Patologi Anatomi Fakultas
Kedokteran UNUD/RSUP Sanglah. Denpasar: p.8.
11. Fitria. 2013. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala Volume 13. Aceh. p.97.
28
29
29
30
30