Anda di halaman 1dari 22

REFARAT

PUSTULOSIS EKSANTEMATOSA GENERALISATA AKUT

Referat ini dibuat untuk melengkapi persyaratan mengikuti kepaniteraan klinik senior
(KKS) di bagian ilmu kedokteran kulit dan kelamin di RSUD Dr.RM. Djoelham Binjai

Disusun oleh :
ADEK AYU TUTI ALAWIYAH
102119019

Pembimbing :
dr. Hj. Hervina, Sp.KK, FINSDV, MKM

DEPARTEMEN / SMF ILMU PENYAKIT KULIT & KELAMIN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BATAM
RSUD DR R.M DJOELHAM BINJAI
2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan bimbingannya sehingga Refarat ini dapat diselesaikan tepat pada
waktunya. Refarat ini disusun dalam rangka memenuhi tugas dalam Kepanitraan Klinik
Departemen Kulit dan Kelamin di RSUD DR.RM Djoelham Binjai .

Pada kesempatan ini penulis juga hendak mengucapkan terimakasih yang sebesar-
besarnya atas bantuan dari pembimbing kami yaitu dr. Hj. Hervina, Sp.KK, FINSDV,
MKM berupa bimbingannya yang sangat membantu penulis dalam menyelesaikan Referat
ini yang berjudul PUSTULOSIS EKSTAMANTOSA GENERALISATA AKUT

Penulis berharap Refarat ini dapat bermanfaat dalam menambah pengetahuan tentang
PUSTULOSIS EKSTAMANTOSA GENERALISATA AKUT. Dengan menyadari
masih banyaknya kekurangan dalam penyusunan ini. Penulis mengharapkan kritik dan saran
yang membangun.

Binjai, Januari 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...............................................................................................i

KATA PENGANTAR............................................................................................ii

DAFTAR ISI.........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1

1.1 Latar Belakang.........................................................................................1


BAB II TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................2

PUSTULOSIS EKSANTEMATOSA GENERALISATA AKUT


2.1 Definisi....................................................................................................2
2.2 Etiologi ...................................................................................................3
2.3 Epidemiologi...........................................................................................3
2.4 Faktor resiko............................................................................................4
2.5 Diagnosis.................................................................................................4
2.5.1 Anamnesis...............................................................................5
2.5.2 Pemeriksaan Fisik...................................................................5
2.5.3 Pemeriksaan Penunjang..........................................................5
2.6 Patogenesis..............................................................................................7
2.7 Patofisiologi.............................................................................................8
2.8 Diagnosis banding...................................................................................9
2.9 Penatalaksanaan.....................................................................................12
2.9.1 Non Farmakologi .................................................................12
2.9.2 Farmakologi..........................................................................12
2.10 Komunikasi dan Edukasi.......................................................................12
2.11 Komplikasi.............................................................................................13
2.12 Prognosis...............................................................................................13
2.13 Profesionalisme.....................................................................................13

BAB III KESIMPULAN......................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Erupsi obat alergi dapat memberikan berbagai macam gejala klinis berbeda. Salah
satu bentuk erupsi obat alergi berat adalah pustulosis eksantema generalisata akut
(PEGA) atau acute generalized exanthematous pustulosis (AGEP). Lebih dari 90%
kasus PEGA disebabkan obat namun terkadang disebabkan etiologi lain seperti infeksi
atau pajanan merkuri. Obat yang sering menyebabkan PEGA adalah antibiotik
golongan β-laktam dan makrolida, antikonvulsan, serta antihipertensi golongan β-
blocker dan calcium channel blocker (Dermawan and Diba, 2017).
Kasus pertama kelainan ini dilaporkan di Brazil oleh Campbell dan Furtado yang
mendeskripsikan kasus PEGA pada seorang perempuan setelah mengonsumsi
ampisilin. Roujeau et al. menyatakan bahwa PEGA sering ditemukan pada pasien
dengan riwayat psoriasis, akan tetapi pernyataan ini diperdebatkan oleh peneliti
lainnya. Pada tahun 1980, Beylot et al. menyebutkan bahwa pada beberapa kasus
PEGA awalnya timbul sebagai psoriasis, yang kemudian diagnosisnya disingkirkan
bila tidak terjadi rekurensi dalam 2 tahun pasca gejala (Pandaleke and Pandaleke,
2017).
Penyakit ini memiliki gambaran klinis berupa demam yang timbul mendadak
(>38°C), bercak merah yang diikuti munculnya pustul nonfolikular pada kulit yang
eritematosa dan edematosa, terdapat riwayat mengonsumsi obat (biasanya kurang dari 1
hari sampai 18 hari, rerata 11 hari), dan leukositosis dengan dominasi neutrofil. Pada
pemeriksaan histopatologik dapat ditemukan pustul intraepidermal dan atau spongiform
subkorneal, dengan edema papila dermis yang nyata, infiltrat perivaskular oleh
neutrofil dan eksositosis beberapa eosinofil, serta resolusi spontan setelah penghentian
obat penyebab (biasanya kurang dari 15 hari), dan pada pemeriksaan darah ditemukan
neutrofilia dan eosinofilia (Susanti, Mamuaja and Niode, 2017).
Penatalaksanaan PEGA mencakup penghentian obat pencetus dan pada
kebanyakan kasus dapat diberikan steroid sistemik. Memiliki komplikasi seperti infeksi
sekunder serta terjadi hidrasi dan gangguan keseimbangan elektrolit, limfadenopati dan
gangguan fungsi ginjal. Prognosis PEGA umumnya baik dan dapat sembuh sendiri
(Susanti, Mamuaja and Niode, 2017).

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Penyakit pustulosis eksantematosa generalisata akut (PEGA) merupakan
erupsi pustular akut yang timbul 1-3 minggu setelah konsumsi obat yang diawali oleh
demam, mual, dan malaise (Menaldi, 2017).
Pustulosis eksantematosa generalisata akut (PEGA) atau dikenal sebagai
pustular drug rash, pustular eruption, atau toxic pustuloderma adalah suatu keadaan
inflamasi pada kulit dan membran mukosa yang jarang terjadi, ditandai oleh onset yang
akut dari pustul-pustul steril nonfolikular dan disertai resolusi yang cepat.(Pandaleke
and Pandaleke, 2017).
Pustulosis Eksantematosa Generalisata Akut (PEGA) merupakan salah satu
reaksi obat yang jarang, ditandai dengan pustul-pustul didasari bercak kemerahan pada
kulit yang muncul secara akut. Biasanya reaksi PEGA muncul dalam 48 jam setelah
terpapar obat yang bersangkutan, dan akan menghilang dalam 2 minggu (Antonius,
2020).

Gambar: Pustulosis Ekstamantosa Generalisata Akut

2
2.2 Etiologi
Beberapa literatur menulis 90% kasus terkait konsumsi obat telah dapat
menyebabkan PEGA Namun demikian, obat penyebab PEGA berbeda secara
substansial dari Sindrom Stevens-Johnson/Nekrolisis Epidemal Toksik (SSJ/NET) atau
erupsi obat alergi lain. Penyebab PEGA paling sering adalah antibiotic (ampisilin,
tetrasiklin), antikonvulsan, serta anti hipertensi golongan β-blocker dan calcium
channel blocker (diltiazem). Obat lain yang jarang seperti, pristinamisin (pengobatan
stafilokokus yang digunakan di Eropa), kuinolon, sulfonamid, nonsteroid anti
inflammatory drug (NSAID), hidroksiklorokuin, terbinafin, ketokonazol, dan
flukonazol telah dilaporkan pada beberapa kasus. Pajanan terhadap obat hingga
timbul reaksi butuh waktu 48 jam namun antibiotik dapat menimbulkan reaksi hanya
dalam 24 jam (Dermawan and Diba, 2017).
Beberapa agen infeksius yang diduga memiliki korelasi etiologi dengan
PEGA antara lain enterovirus, epsteinbarr virus, hepatitis B virus, parvovirus B19,
sitomegalovirus , Mycoplasma pneumonia, Chlamydia pneumoniae, Escherichia coli,
dan Echinococcus granulosus. Namun demikian, penelitian EuroSCAR tidak
menemukan risiko signifikan untuk infeksi dalam analisis multivariat termasuk 97
kasus PEGA yang divalidasi dari 1009 kontrol. Temuan ini menunjukkan bahwa
dugaan hubungan infeksi dengan PEGA mungkin disebabkan oleh pengobatan
antiinfeksi yang dikonsumsi dan bukan pada agen infeksi (Dermawan and Diba,
2017).

2.3 Epidemiologi
PEGA dapat terjadi 1-5 kasus pertahun. Insidens PEGA lebih sedikit
dibandingkan reaksi alergi obat lainnya. Data dari studi retrospektif tahun 1992-2007
yang dilakukan di satu pusat kesehatan di Taiwan mendapatkan 16 pasien yang
memenuhi kriteria EuroSCAR scoring system dan dibagi menjadi 2 kelompok
berdasarkan etiologinya; 10 pasien diduga disebabkan oleh obat sistemik dan 6 pasien
yang bukan disebabkan karena obat. Semua pasien tersebut diterapi dengan
kortikosteroid sistemik, baik oral maupun injeksi. Tahun 2009 ditemukan 7 kasus
PEGA yang disebabkan kombinasi obat parasetamol dilaporkan dalam database WHO
Global Individual Case Safety Reports (ICSR). (Pandaleke and Pandaleke, 2017).
Data karakteristik demografik dari populasi studi yang dilakukan oleh
EuroSCAR tahun 2007 menunjukkan bahwa pasien PEGA lebih banyak ditemukan
3
pada perempuan dibandingkan laki-laki dengan rata-rata usia >50 tahun (Pandaleke
and Pandaleke, 2017).

2.4 Faktor Resiko


Faktor-fator resiko yang menimbulkan Pustulosis Ekstamantosa Generalisata
Akut ialah sebagai beikut (Tanzira, 2019) .
a. Usia dan Jenis Kelamin
Penyebab utama komplikasi morbiditas dan mortalitas pada pasien dari
semua usia. Pada kelompok usia lebih dari 50 tahun mempunyai risiko lebih besar
untuk mengalami PEGA. Perempuan lebih sering terkena erupsi obat bila
dibandingkan dengan laki-laki.
b. Genetik
Beberapa faktor intrinsik mempengaruhi risiko terjadinya erupsi obat, seperti
variasi genetik dalam metabolisme obat dan HLA. Untuk membentuk reaksi imun,
molekul HLA berperan sebagai antigen penyaji untuk sel T melalui reseptor sel T
(TCR).
c. Pajanan Obat Sebelumnya
Obat yang dicurigai diklasifikasikan sesuai dengan klasifikasi terapi.
Antibiotik merupakan golongan obat paling utama yang dicurigai menimbulkan
banyak kasus erupsi obat. Sefalosporin, fluorokuinolon, dan penisilamin adalah
obat yang paling banyak diresepkan pada pasien yang dirawat di rumah sakit, baik
sebagai obat profilaksis untuk infeksi nosokomial atau sebagai pilihan pengobatan
sesuai dengan dosis. Dan berikutnya diikuti oleh OAINS dan obat antihipertensi.
d. Riwayat penyakit yang dimilliki
PEGA sering ditemukan pada penderita yang memiliki riwayat psoriasis
yang kemudian diagnosisnya disingkirkan bila tidak terjadi rekurensi dalam 2 tahun
pasca gejala.

2.5 Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan riwayat penderita, keluhan dan gejala
klinis serta pemeriksaan penunjang untuk menemukan agen penyebabnya.

4
2.5.1 Anamnesis
Pasien mengeluhkan adanya bercak kemerahan timbul mendadak di
seluruh tubuh disertai lenting pustul steril nonfolikular diatas kulit eritomatosa
diawali ataupun disertai keluhan pruritus dan demam (>38°C). Pustul timbul di
atas dasar kulit eritem dengan sensasi terbakar atau gatal kadang memberi
gambaran Nikolsky’s positif. Limfadenopati dilaporkan pada beberapa kasus.
Periode waktu setelah minum obat sampai timbul kelainan kulit bervariasi
(Pandaleke and Pandaleke, 2017).

2.5.2 Pemeriksaan Fisik


Pada pemeriksaan kulit ditemukan :
a. Lokalisasi
Seluruh tubuh, wajah, leher, badan, eksremitas terutama didaerah
lipatan (Susanti, Mamuaja and Niode, 2017).
b. Efloresensi
Berupa pustul non-foliker bergerombol diatas kulit yang
eritematosa. PEGA dapat sembuh sendiri namun erupsi pustular pada kulit
dapat bertahan hingga 9 hari (rerata 4-14 hari) kemudian diikuti oleh
resolusi spontan yang disertai deskuamasi (Susanti, Mamuaja and Niode,
2017).
c. Ukuran
Pustul multipel milier sampai dengan lentikuler (Kristiani and
Anggraini, 2020).

2.5.3 Pemeriksaan Penunjang

2.5.4 Lesi asimptomatik,


papul poligonal, atau
plak berwarna
kekuningan ,
5
2.5.5 simetris pada
kelopak mata superior
dan inferior sekitar
kantus media.
2.5.6 Pada inspeksi dan
palpasi memperlihatkan
tekstur yang lunak,
semisolid.
2.5.7 Pembesaran lambat,
dimulai dari papul kecil.
Mulai dari beberapa bulan
2.5.8 sampai beberapa
tahun
2.5.9 Lesi asimptomatik,
papul poligonal, atau

6
plak berwarna
kekuningan ,
2.5.10 simetris pada
kelopak mata superior
dan inferior sekitar
kantus media.
2.5.11 Pada inspeksi dan
palpasi memperlihatkan
tekstur yang lunak,
semisolid.
2.5.12 Pembesaran
lambat, dimulai dari
papul kecil. Mulai dari
beberapa bulan
2.5.13 sampai beberapa
tahun
7
2.5.14 Lesi
asimptomatik, papul
poligonal, atau plak
berwarna kekuningan ,
2.5.15 simetris pada
kelopak mata superior
dan inferior sekitar
kantus media.
2.5.16 Pada inspeksi dan
palpasi memperlihatkan
tekstur yang lunak,
semisolid.
2.5.17 Pembesaran
lambat, dimulai dari
papul kecil. Mulai dari
beberapa bulan
8
2.5.18 sampai beberapa
tahun
2.5.19
1. Pemeriksaan Histopatologi
Pada pemeriksaan histopatologi akan menunjukkan pustul
spongiform intraepidermal dan/ atau subkorneal, edema papila dermis,
dan campuran infiltrat inflamasi perivaskular eosinofil atau neutrofil di
bagian atas dermis (Papaiordanou and Tebcherani, 2016).

Gambar: Histopatologi Pustulosis Ekstamantosa Generalisata Akut.


2. Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium darah lengkap pada pasien PEGA
dapat ditemukan adanya leukositosis, neutrophilia, IgE total meningkat
serta SGOT/SGPT meningkat. Pada beberapa kasus fungsi ginjal terjadi
sedikit peningkatan ureum dan kreatinin (Dermawan and Diba, 2017).
3. Patch Test
Banyak kasus PEGA memberikan hasil positif saat dilakukan
patch test. Sebagai penyakit yang merupakan hipersensitifitas tipe
IV/lambat (diperantarai sel T), PEGA cocok untuk dilakukan patch test
karena ketika berkontak dengan kulit, obat penyebab menimbulkan respon
sel T lokal. Drug- specific T cells (CD4 dan CD8) telah berhasil diisolasi
dari patch test positif pasien PEGA. Namun demikian, hasil tidak selalu
positif dan terbatas karena beberapa faktor seperti metodologi uji tempel,
fungsi sawar kulit, faktor metabolisme obat, berat molekul obat dan
kelarutan. Obat-obat dengan frekuensi tinggi patch test positif termasuk

9
antikonvulsan aromatik (karbamazepin dan fenitoin), beta-laktam
(terutama amoksisilin) dan aminopenisilin, kotrimoksasol, diltiazem,
diazepam, tetrazepam dan pristinamisin. Sebagian besar obat ini
merupakan etiologi PEGA dibanding erupsi obat alergi lain(Dermawan
and Diba, 2017).
4. Uji Provokasi Oral
Uji provokasi oral (UPO) merupakan administrasi terkontrol obat
yang digunakan untuk diagnostik reaksi hipersensitivitas. Tes ini
dilakukan dengan memberikan obat dosis lebih kecil dari dosis yang
diduga akan menimbulkan reaksi berat, kemudian dosis ditingkatkan dan
diberikan jarak tertentu sampai tercapai dosis penuh sesuai dengan yang
diharapkan. Pemeriksaan ini merupakan baku emas (gold standard) untuk
diagnostik hipersensitivitas zat tertentu. Tes ini merupakan salah satu
upaya pendekatan diagnostik dari erupsi obat alergi yang sederhana
namun harus dikerjakan di bawah pengawasan ketat serta siap antisipasi
jika terjadi reaksi lebih berat seperti anafilaksis. Tes UPO baik dikerjakan
di bawah pengawasan tenaga kompeten yang memiliki fasilitas resusitasi
lengkap. European Network for Drug Allergy (ENDA) dari European
Academy of Allergy and Clinical Immunology (EAACI) merekomendasi
UPO sebagai alternatif upaya pendekatan diagnostik erupsi obat alergi
(Dermawan and Diba, 2017).

2.6 Patogenesis
Patogenesis PEGA membuktikan sel T berperan dalam mekanisme penyakit
ini. Setelah terpapar agen penyebab, APC akan mengaktivasi antigen menggunakan
molekul MHC sehingga terjadi aktivasi spesifik sel T CD4 dan CD8. Setelah
teraktivasi, sel T ini (sering disebut drugspecific T cells) proliferasi dan migrasi ke
dermis dan epidermis. Sel CD8 menggunakan perforin/granzim B dan ligan Fas
menyebabkan apoptosis keratinosit pada epidermis sehingga menyebabkan kerusakan
jaringan dan pembentukan vesikel epidermal (Dermawan and Diba, 2017).
Pada stadium awal, vesikel tersebut berisi sel CD4 dan keratinosit. Sel ini
meningkatkan pelepasan Interleukin 8 (CXCL8) yang merupakan sitokin neutrofilik
poten dan menimbulkan kemotaksis netrofil menuju vesikelvesikel tersebut. Hal ini
menyebabkan vesikel berubah menjadi pustul-pustul steril. Analisis sel CD4 pada
10
pasien PEGA menunjukkan besarnya peran sitokin Th1 dengan peningkatan
interferon (IFN)-ɤ dan produksi granulocyte/macrophage colonystimulating factor.
Peningkatan dua komponen tersebut menyebabkan augmentasi neutrofil sehingga
terbentuk pustul steril. Kedua komponen tersebut juga menginduksi pelepasan
CXCL8 oleh keratinosit sehingga menyebabkan akumulasi neutrofil. Pada beberapa
pasien terkadang ada kelompok sel CD4 memproduksi CXCL8. Hal ini menunjukkan
pola sitokin Th2 menghasilkan IL-4 dan IL-5 dalam jumlah besar. IL-5 adalah
stimulator poten pertumbuhan serta diferensiasi eosinofil dan peningkatan faktor ini
diduga berperan dalam pembentukan PEGA. Sel-sel Th17 melepaskan IL-17 dan IL-
22 yang memiliki efek sinergis terhadap produksi CXCL8 oleh keratinosit. Analisis
darah perifer pasien menunjukkan peningkatan produksi jumlah sel Th17 dan IL-22
(Dermawan and Diba, 2017).
Mutasi genetik dapat menyebabkan seseorang memiliki predisposisi terkena
PEGA. Mutasi pada antagonis reseptor IL-36 (IL36RN) ditemukan memiliki korelasi
terhadap psoriasis pustulosa generalisata. Akibat kemiripan klinis dan imunologik
psoriasis pustulosa dan PEGA kemudian dilakukan berbagai penelitian mengenai
IL36RN. Gen IL36RN mengkode antagonis reseptor IL36 yang merupakan molekul
dalam menghambat sitokin proinflamasi seperti IL-36α, IL-36β, dan IL-36ɤ. Mutasi
gen IL36RN menyebabkan antagonis reseptor IL-36 berkurang atau tidak efektif
sehingga berdampak jalur IL-36 tidak terkontrol. Peningkatan sinyal IL-36 berujung
pada peningkatan produksi IL-6, IL-8, IL-1α, dan IL-1β sehingga menjadi
predisposisi erupsi pustular. Mutasi IL36RN ditemukan jauh lebih tinggi pada pasien
PEGA dibanding populasi kontrol (1,6% banding 0,4%). Pasien dengan mutasi gen
IL36RN lebih sering mengalami keterlibatan daerah mukosa oral dibanding pasien
tanpa mutasi gen tersebut. Hasil ini menunjukkan mutasi gen IL36RN merupakan
predisposisi PEGA (Dermawan and Diba, 2017).

2.7 Patofisiologi
Patofisiologi erupsi obat pada kulit belum diketahui secara jelas namun dapat
disebabkan oleh proses imunologik, klasifikasi mekanisme imun dari Gell dan
Coombs, maupun non imunologik. Salah satu yang melibatkan proses imunologik
ialah PEGA dan dikategorikan dalam reaksi hipersensitifitas tipe IV Gell dan Coombs
yaitu reaksi hipersensitifitas yang tertunda (delayed hypersensitivity) karena dimediasi
oleh sel T. Setelah konsumsi obat, antigen-presenting cells (APCs) mengaktivasi sel T
11
reaktif spesifik obat yaitu major histocompatibility complex (MHC) kelas I (CD4+)
dan MHC kelas II (CD8+) di kelenjar getah bening. Obat akan terikat secara kovalen
pada kompleks peptida/ MHC dan non-kovalen, diikuti dengan migrasi ke dermis dan
epidermis. Fase II, drug-presenting keratinocytes di MHC kelas I dan sel-sel
Langerhans (di MHC kelas I dan II) menstimulasi sel T untuk memroduksi kemokin
poten CXCL8 (interleukin 8) yang bertanggung jawab untuk mengawali proses
aktivasi dan perekrutan neutrofil dalam proses peradangan dimediasi oleh nerofil pada
kulit yang disebabkan oleh sitotoksisitas obat dan sitokin inflamasi serta faktor
kemotaktik seperti IL-5, interferon-gamma (IFN-ɣ), granulocyte-macrophage
colonystimulating factor (GM-CSF), yang akan mengubah faktor pertumbuhan (TGF-
β) dan regulated on activation, normal T cell expressed and secreted (RANTES). Sel
T spesifik obat baik CD4(+) maupun CD8(+) keduanya bersifat sitotoksik dan akan
mengakibatkan sekresi sitokin. Sel T menghasilkan perforin/granzyme B dan
mengaktifkan mekanisme Fas/FasL-killing yang akan mengakibatkan kematian
keratinosit sehingga terjadi kerusakan jaringan dan memungkinkan pembentukan
vesikel subkorneal yang berisi sel CD4+. Fase lanjut ditandai dengan peningkatan
jumlah neutrofil di lokasi peradangan ke molekul adesi (misalnya ICAM-1). Migrasi
neutrofil polimorfonuklear (PMN) ini bersamaan dengan meningkatnya CXCL8
melewati dermis dan epidermis masuk ke dalam dan mengisi vesikel sehingga
terbentuk pustul yang steril. Studi akhir-akhir ini menyatakan kemungkinan
keterlibatan IL-8 keratinosit dan obat yang dapat mengaktivasi sel Th17 pada
patogenesis PEGA. Sel Th17 dan IL22 sebagai produk utamanya ditemukan
meningkat nilainya pada pasien PEGA bila dibandingkan kelompok kontrol.
Interleukin-17 dan IL-22 menstimulasi keratinosit untuk memroduksi IL-8 sehingga
terbentuk infiltrat subkorneal berisi neutrofil yang merupakan karakteristik dari
PEGA. Predisposisi genetik juga diduga menjadi dasar pemicu reaksi serta perubahan
neutrofil tetapi masih sedikit data yang mendukung hal ini. Bernhard et al.
menemukan peningkatkan ekspresi HLA pada pasien dengan PEGA bila
dibandingkan dengan populasi umum (Pandaleke and Pandaleke, 2017).

2.8 Diagnosis Banding


a. Dermatosis Pustular Subkorneal

12
Dermatosis pustular subkorneal (D.P.S.) atau sinonim Penyakit Sneddon-
Wilkinson ialah penyakit kronis residif yang ditandai secara klinis dengan adanya
pustul-pustul yang bergerombol di atas kulit yang eritematosa, histologik terdapat
pustul subkorneal berisi banyak neutrophil (Menaldi, 2017). Pasien umumnya
mengeluh gatal dan kemerahan pada daerah kontak, kemudian timbul pustula.
Lokalisasi: Daerah perut, ketiak, dan lipatan-lipatan. Lesi di mukosa jarang dan
biasanya ringan (Perdana, 2018). Efloresensi:Berupa pustul-pustul bergerombol
di atas kulit yang eritematosa, tersusun anular atau sirsinar. Setelah beberapa hari
pustulpustul memecah dan kering membentuk krusta dan skuama. Penyebaran ke
perifer dan penyembuhan di tengah meninggalkan daerah eritematosa polisiklik
disertai timbulnya pustul-pustul yang baru (Menaldi, 2017). Ukuran:Pustula
berukuran miliar ampai lentikular. (Perdana, 2018). Prognosis baik.

Gambar: Dermatosis Pustular Subkorneal

b. Psoriasis Pustular Generalisata


Psoriasis adalah penyakit peradangan kulit yang kronik dan residif,
mempunyai dasar genetik, dengan karakteristik gangguan pertumbuhan dan
diferensiasi epidermis. Psoriasis dapat timbul pada semua usia, terutama 15-30
tahun (PERDOSKI, 2017). Tipe psoriasis ialah Psoriasis tipe plak, psoriasis
gutata, psoriasis pustulosa generalisata dan lokalisata, Psoriasis inversa, psoriasis
artritis, psoriasis kuku, eritroderma psoriatika (PERDOSKI, 2017).
Terdapat 2 bentuk psoriasis pustulosa, yaitu psoriasis pustulosa lokalisata
dan psoriasis pustulosa generalisata (PPG). Psoriasis pustulosa generalisata (PPG)
disebut juga psoriasis von Zumbusch mengenai sebagian besar area tubuh dan
ekstremitas terjadi bila pustul yang muncul sangat parah dan menyerang seluruh
tubuh, sering diikuti dengan gejala konstitusi. Keadaan ini bersifat sistemik dan
mengancam jiwa. Tampak kulit yang merah, nyeri, meradang dengan pustul
milier tersebar di atasnya. Pustul terletak nonfolikuler, putih kekuningan, terasa

13
nyeri, dengan dasar eritematosa. Pustul dapat bergabung membentuk lake of
pustules, bila mengering dan krusta lepas meninggalkan lapisan merah terang
(Menaldi, 2017).
Psoriasis pustulosa lokalisata pada palmo plantar menyerang daerah
hipotenar dan tenar, sedangkan pada daerah plantar mengenai sisi dalam telapak
kaki atau dengan sisi tumit. Perjalanan lesi kronis residif di mulai dengan vesikel
bening , vesikopustul, pustul yang parah dan makulopapular kering cokelat.
Bentuk kronik disebut akrodermatitis kontinua supurativa dari Hallopeau,
ditandai dengan pustul yang muncul pada ujung jari tangan dan kaki, bila
mengering menjadi skuama yang meninggalkan lapisan merah kalau skuama
dilepas. Destruksi lempeng kuku dan osteolisis falangs distal sering terjadi
(Menaldi, 2017).

Gambar: Psoriasis Pustular

c. Pustulosis Eksantemantosa Generalisata Akut


Pustulosis Eksantematosa Generalisata Akut (PEGA) merupakan salah
satu reaksi obat yang jarang, ditandai dengan pustul-pustul didasari bercak
kemerahan pada kulit yang muncul secara akut. Biasanya reaksi PEGA muncul
dalam 48 jam setelah terpapar obat yang bersangkutan, dan akan menghilang
dalam 2 minggu (Antonius, 2020). Pasien mengeluhkan adanya bercak
kemerahan timbul mendadak di seluruh tubuh disertai lenting pustul steril
nonfolikular diatas kulit eritomatosa diawali ataupun disertai keluhan pruritus dan
demam (>38°C) (Pandaleke and Pandaleke, 2017). Lokalisasi Seluruh tubuh,
wajah, leher, badan, eksremitas (Susanti, Mamuaja and Niode, 2017). Efloresensi
Berupa pustul non-foliker bergerombol diatas kulit yang eritematosa. PEGA
dapat sembuh sendiri namun erupsi pustular pada kulit dapat bertahan hingga 9
hari (rerata 4-14 hari) kemudian diikuti oleh resolusi spontan yang disertai
deskuamasi (Susanti, Mamuaja and Niode, 2017). Ukuran Pustul multipel milier

14
sampai dengan lentikuler (Kristiani and Anggraini, 2020). Prognosis PEGA
umumnya baik dan dapat sembuh sendiri (Pandaleke and Pandaleke, 2017)

Gambar: Pustulosis Ekstamantosa Generalisata Akut

2.9 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan PEGA terutama terapi simptomatis maupun suportif.
Penyakit PEGA bersifat self limiting disease dengan menghentikan obat penyebab
kemudian akan diikuti dengan fase resolusi. Pengobatan simtomatis seperti antipiretik
maupun antihistamin dapat digunakan untuk meringankan keluhan pasien. Antibiotik
harus digunakan ketika terdapat diagnosis infeksi yang jelas (Pandaleke and
Pandaleke, 2017).
2.9.1 Non-Farmakologi
Kompres dengan cairan NaCl agar pustul pecah dan mengering
(Menaldi, 2017)
2.9.2 Farmakologi
a. Topikal
1. Emolien: misalnya urea, petrolatum, parafin cair, minyak mineral,
gliserin, asam glikolat dan lainnya. pada fase deskuamatif untuk
membangun kembali penghalang kulit.
2. Povidon iodine 1%: Larutan antiseptik pada fase pustular untuk
mencegah superinfeksi (Papaiordanou and Tebcherani, 2016).

b. Sistemik
1. Kortikosteroid: prednison 40-60 mg/hari setara dengan prednison 1-2
mg/kgBB/hari
2. Antihistamin:
* Citirizine: Dosis dewasa 10-40 mg/hari ; anak-anak 5-10 ml/hari
* Loratadine: Dosis dewasa 10-40 mg/hari; anak-anak 5-10 ml/hari

15
3. Antipiretik: Paracetamol 500 mg
4. Antibiotik: Tidak diberikan kecuali terdapat bukti infeksi (Dermawan
and Diba, 2017).

2.10 Komunikasi dan Edukasi


1. Menjelaskan kepada pasien tentang penyakit  Pustulosis Ekstamantosa
Generalisata Akut , berupa faktor penyebab, terapi, dan prognosisnya.
2. Edukasi terhadap pasien dan keluarga untuk selalu memperhatikan kebersihan
kulit.
3. Pasien dan keluarga diedukasi untuk kecukupan hidrasi, dan menghindarkan
garukan untuk mencegah infeksi sekunder.
4. Edukasi terhadap pasien dan keluarga untuk menhindari faktor pencetus (Susanti,
Mamuaja and Niode, 2017).

2.11 Komplikasi
Komplikasi penyakit ini adalah infeksi sekunder serta terjadi hidrasi dan
gangguan keseimbangan elektrolit, limfadenopati dan gangguan fungsi ginjal
(Papaiordanou and Tebcherani, 2016).

2.12 Prognosis
Prognosis PEGA umumnya baik dan dapat sembuh sendiri, terutama setelah
penghentian obat yang diduga sebagai penyebab, kecuali bila didapatkan adanya
infeksi sekunder pada lesi atau pasien usia lanjut dengan demam tinggi (Pandaleke
and Pandaleke, 2017).

2.13 Profesionalisme
 Membantu mengontrol kesembuhan pasien dengan pemberian dosis yang
adekuat, dan penjelasan tata cara pengobatan dengan benar
 Kontrol ulang, bila keluhan tidak membaik bisa di rujuk ke dokter spesialis kulit
dan kelamin untuk dilakukan terapi lebih lanjut.

16
BAB III

KESIMPULAN

Pustulosis Eksantematosa Generalisata Akut (PEGA) merupakan salah satu reaksi


obat yang jarang, ditandai dengan pustul-pustul didasari bercak kemerahan pada kulit yang
muncul secara akut. Biasanya reaksi PEGA muncul dalam 48 jam setelah terpapar obat yang
bersangkutan, dan akan menghilang dalam 2 minggu. PEGA lebih banyak ditemukan pada
perempuan dibandingkan laki-laki dengan rata-rata usia 56 tahun. Penyebab PEGA paling
sering adalah antibiotik golongan β-laktam dan makrolida, antikonvulsan, serta anti hipertensi
golongan β-blocker dan calcium channel blocker. Obat lain yang jarang seperti, pristinamisin
(pengobatan stafilokokus yang digunakan di Eropa), kuinolon, sulfonamid, nonsteroid anti
inflammatory drug (NSAID), hidroksiklorokuin, terbinafin, diltiazem, ketokonazol, dan
flukonazol telah dilaporkan pada beberapa kasus.
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan riwayat penderita, keluhan dan gejala klinis
serta pemeriksaan penunjang. Pasien mengeluhkan adanya bercak kemerahan timbul
mendadak di seluruh tubuh disertai lenting pustul steril nonfolikular diatas kulit eritomatosa
diawali ataupun disertai keluhan pruritus dan demam (>38°C). Lokalisasi Seluruh tubuh,
wajah, leher, badan, eksremitas. Efloresensi Berupa pustul non-foliker bergerombol diatas
kulit yang eritematosa. PEGA dapat sembuh sendiri namun erupsi pustular pada kulit dapat
bertahan hingga 9 hari (rata-rata 4-14 hari) kemudian diikuti oleh resolusi spontan yang
disertai deskuamasi. Ukuran Pustul multipel milier sampai dengan lentikuler. Pemeriksaan
penunjang yang di lakukakan ialah pemeriksaan histopatologi akan menunjukkan pustul
spongiform intraepidermal dan/ atau subkorneal, edema papila dermis, dan campuran infiltrat
inflamasi perivaskular eosinofil atau neutrofil di bagian atas dermis. Pemeriksaan

17
laboratorium ditemukan adanya leukositosis, neutrophilia, IgE tota meningkat serta
SGOT/SGPT meningkat. Pada beberapa kasus fungsi ginjal terjadi sedikit peningkatan ureum
dan kreatinin.
Penatalaksanaan PEGA terutama terapi simptomatis maupun suportif. Penyakit PEGA
bersifat self limiting disease dengan menghentikan obat penyebab kemudian akan diikuti
dengan fase resolusi. Pengobatan simtomatis seperti antipiretik maupun antihistamin dapat
digunakan untuk meringankan keluhan pasien. Antibiotik harus digunakan ketika terdapat
diagnosis infeksi yang jelas.
Komplikasi penyakit ini adalah infeksi sekunder serta terjadi hidrasi dan gangguan
keseimbangan elektrolit, limfadenopati dan gangguan fungsi ginjal. Prognosis PEGA
umumnya baik dan dapat sembuh sendiri.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Antonius, C. S. (2020) ‘Pustulosis Eksantematosa Generalisata Akut (PEGA)


Postpartum Diduga Dicetuskan oleh Ampisilin’, Cermin Dunia Kedokteran, 47(7),
pp. 520–521.
2. Dermawan, H. and Diba, S. (2017) ‘Pustulosis Eksantema Generalisata Akut’, Jurnal
Biomedik (Jbm), 9(3), pp. 449–459. doi: 10.35790/jbm.9.3.2017.17339.
3. Kristiani, F. S. and Anggraini, D. I. (2020) ‘Psoriasis Pustulosa Generalisata :
Tinjauan Kasus Pada Geriatri Generalized Pustulosa Psoriasis : Case Report on a
Geriatric’, Medula, 9(4), pp. 692–698.
4. Menaldi, S. L. S. (2017) Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin.Edisi Ketujuh.Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia., Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
5. Pandaleke, T. A. and Pandaleke, H. E. J. (2017) ‘Pustulosis Eksantematosa
Generalisata Akut’, Jurnal Biomedik (Jbm), 9(3), pp. 137–143. doi:
10.35790/jbm.9.3.2017.17334.
6. Papaiordanou, F. and Tebcherani, A. (2016) ‘Acute generalized exanthematous
pustulosis x Von Zumbusch ’ s pustular psoriasis : A diagnostic challenge in a
psoriatic patient *’, (September). doi: 10.1590/abd1806-4841.20153256.
7. Perdana (2018) Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit Edisi 2, Journal of Chemical
Information and Modeling.
8. PERDOSKI (2017) Panduan Praktik Klinis, Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
Kelamin.
9. Susanti, R. I., Mamuaja, E. H. and Niode, N. J. (2017) ‘Pustulosis Eksantema
Generalisata Akut’, Jurnal Biomedik (Jbm), 9(3), pp. 172–177. doi:
10.35790/jbm.9.3.2017.17339.
10. Tanzira, D. (2019) ‘Profil Erupsi Obat Di RSUD DR Pringadi Kota Medan
Tahun2015-2017’, SKRIPSI.

Anda mungkin juga menyukai