Referat ini dibuat untuk melengkapi persyaratan mengikuti kepaniteraan klinik senior
(KKS) di bagian ilmu kedokteran kulit dan kelamin di RSUD Dr.RM. Djoelham Binjai
Disusun oleh :
ADEK AYU TUTI ALAWIYAH
102119019
Pembimbing :
dr. Hj. Hervina, Sp.KK, FINSDV, MKM
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan bimbingannya sehingga Refarat ini dapat diselesaikan tepat pada
waktunya. Refarat ini disusun dalam rangka memenuhi tugas dalam Kepanitraan Klinik
Departemen Kulit dan Kelamin di RSUD DR.RM Djoelham Binjai .
Pada kesempatan ini penulis juga hendak mengucapkan terimakasih yang sebesar-
besarnya atas bantuan dari pembimbing kami yaitu dr. Hj. Hervina, Sp.KK, FINSDV,
MKM berupa bimbingannya yang sangat membantu penulis dalam menyelesaikan Referat
ini yang berjudul Dermatosis Pustulosa Subkorneal.
Penulis berharap Refarat ini dapat bermanfaat dalam menambah pengetahuan tentang
Dermatosis Pustulosa Subkorneal. Dengan menyadari masih banyaknya kekurangan
dalam penyusunan ini. Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...............................................................................................i
KATA PENGANTAR............................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
DAFTAR PUSTAKA
iii
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
1
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Dermatosis pustular subkorneal (D.P.S.) atau sinonim Penyakit Sneddon-
Wilkinson ialah penyakit kronis residif yang ditandai secara klinis dengan adanya
pustul-pustul yang bergerombol di atas kulit yang eritematosa, histologik terdapat
pustul subkorneal berisi banyak neutrophil (Menaldi, 2017).
2.2 Etiologi
Penyebabnya belum diketahui, diduga suatu penyakit autoimun (Perdana,
2018). Pustul ternyata steril (Menaldi, 2017). Dermatosis pustular subkornea
dianggap sebagai varian pemfigus yang langka, yang dikenal sebagai pemfigus IgA
tipe dermatosis pustular subkornea. Subkelompok pasien ini menunjukkan
imunofluoresensi positif dengan deposit IgA interseluler epidermal. Imunofluoresensi
positif dapat berkembang bertahun-tahun setelah diagnosis awal dermatosis pustular
subkornea. Tidak seperti pemfigus, dominannya neutrofil dan tidak adanya atau
akantolisis sedang; Selain itu, kondisi ini biasanya responsif terhadap dapson
(Sekulovic, 2019).
2.3 Epidemiologi
Dermatosis Pustular Subkorneal (D.P.S) ialah penyakit yang jarang,
umumnya terdapat pada perempuan berusia lebih daripada 40 tahun (Menaldi, 2017).
D.P.S merupakan kondisi yang jarang terjadi, dan tidak ada perkiraan prevalensi atau
insiden yang tersedia, telah dilaporkan kasus di seluruh dunia, tetapi tidak ada
dominasi geografis tertentu yang terlihat (Sekulovic, 2019). Sejauh ini tidak ada
kecenderungan ras, namun, banyak kasus telah dilaporkan di antara orang kulit putih,
2
Afrika, Jepang, dan Cina (Ernaningtyas. et al, 2015). D.P.S lebih sering terjadi pada
wanita dibandingkan pada pria (rasio 4: 1) dan jarang dilaporkan pada anak-anak.
Lebih dari 200 kasus dilaporkan dalam review yang diterbitkan pada tahun 1981
(Bhargava. et al, 2020).
2.5 Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan riwayat penderita, keluhan dan gejala
klinis serta pemeriksaan penunjang untuk menemukan agen penyebabnya.
2.5.1 Anamnesis
Pasien umumnya mengeluh gatal dan kemerahan pada daerah kontak,
kemudian timbul pustula (Perdana, 2018). Kelainan kulit berupa pustul-pustul
bergerombol di atas kulit yang eritematosa, tersusun anular atau sirsinar.
Setelah beberapa hari pustulpustul memecah dan kering membentuk krusta dan
skuama. Penyebaran ke perifer dan penyembuhan di tengah meninggalkan
daerah eritematosa polisiklik disertai timbulnya pustul-pustul yang baru
(Menaldi, 2017).
3
a. Lokalisasi : Daerah perut, ketiak, dan lipatan-lipatan. Lesi di mukosa
jarang dan biasanya ringan (Perdana, 2018).
b. Efloresensi :Berupa pustul-pustul bergerombol di atas kulit yang
eritematosa, tersusun anular atau sirsinar. Setelah beberapa hari pustul-
pustul memecah dan kering membentuk krusta dan skuama. Penyebaran ke
perifer dan penyembuhan di tengah meninggalkan daerah eritematosa
polisiklik disertai timbulnya pustul-pustul yang baru (Menaldi, 2017).
c. Ukuran :Pustula berukuran miliar ampai lentikular. (Perdana, 2018)
4
tekstur yang lunak,
semisolid.
2.5.7 Pembesaran lambat,
dimulai dari papul kecil.
Mulai dari beberapa bulan
2.5.8 sampai beberapa
tahun
2.5.9 Lesi asimptomatik,
papul poligonal, atau
plak berwarna
kekuningan ,
2.5.10 simetris pada
kelopak mata superior
dan inferior sekitar
kantus media.
5
2.5.11 Pada inspeksi dan
palpasi memperlihatkan
tekstur yang lunak,
semisolid.
2.5.12 Pembesaran
lambat, dimulai dari
papul kecil. Mulai dari
beberapa bulan
2.5.13 sampai beberapa
tahun
2.5.14 Lesi
asimptomatik, papul
poligonal, atau plak
berwarna kekuningan ,
2.5.15 simetris pada
kelopak mata superior
6
dan inferior sekitar
kantus media.
2.5.16 Pada inspeksi dan
palpasi memperlihatkan
tekstur yang lunak,
semisolid.
2.5.17 Pembesaran
lambat, dimulai dari
papul kecil. Mulai dari
beberapa bulan
2.5.18 sampai beberapa
tahun
2.5.19
1. Pemeriksaan Histopatologi
Pada gambaran histopatologi ditemukan gambaran yang khas ialah
terdapatnya pustul subkomeal berisi leukosit polimorfonuklear dengan
sedikit eosinofil. Di dermis terdapat infiltrat perivaskular terdiri atas
neutrofil serta sedikit sel-sel mononuklear, dan eosinophil
(Menaldi, 2017).
7
Gambar: Histopatologi Dermatosis pustular subkorneal
2. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan yaitu
elekrtoforesis Protein Serum dimana hubungan praproteinemia dengan
dermatosis pustular subkorneal (D.P.S) didokumentasikan dengan baik.
Satu studi menunjukkan 4 dari 10 pasien dengan D.P.S memiliki
gammopathy monoklonal. Sebagian besar kasus yang dilaporkan terjadi
pada gammopathy monoklonal IgA, jenis rantai ringai kappa atau
lambda. Namun gammopathy G imunoglobulin juga dilaporkan.
Elektroforesis protein serum harus diulang secara berkala karena
perkembangan paraproteinemia dapat terjadi bertahun-tahun setelah erupsi
awal D.P.S. selain itu, peningkatab resiko multipel myeloma pada pasien
dengan gammaopathy monoklonal telah diketahui dengan baik. Survei
skletal dan aspirasi sumsum tulang harus dilakukan jika diduga multiple
myeloma (Sekulovic, 2019).
3. Pemeriksaan Imunofluoresensi
Analisis imunofluoresensi tidak langsung (DIF); IgG, IgM, IgA,
dan C3 dinyatakan negatif. Intermiten dan fibrinogen linear terdeteksi
positif di rongga bulla (Bhargava dkk, 2020).
2.6 Patogenesis
Ada 3 faktor utama yang berkontribusi pada patogenesis ND: ekspresi
abnormal molekul inflamasi; mengubah fungsi neutrofil; dan kecenderungan genetik.
Beberapa penelitian telah menunjukkan overexpression of tumor necrosis factor alpha
8
(TNF-), interleukin 1 (IL-1) dan reseptornya, IL-17, dan IL-8 dalam lesi kulit pada
pasien ND. TNF-, IL-17, dan IL-8 menginduksi aktivasi dan migrasi neutrofil dan
sintesis matriks metalloproteinases MMP-2 dan MMP-9, mengakibatkan kerusakan
jaringan timbul Manifestasi klinis. Hingga sepertiga pasien ND tidak menanggapi
perawatan line pertama (kortikosteroid sistemik dikombinasikan dengan agen
corticosteroid-sparing) (ACTAS, 2020).
2.7 Patofisiologi
Patofisiologi dari kondisi tersebut belum sepenuhnya dijelaskan dan
klasifikasi nosologisnya masih kontroversial. Migrasi neutrofil melalui epidermis
menunjukkan adanya faktor kemotaktik pada epidermis bagian atas. Berbagai faktor
telah terdeteksi di dalam vesikula subcorneal, yaitu tumor necrosis factor (TNF) -
alpha, IL-8, C5a, dan IgA. Peningkatan IL-1b telah dicatat ketika pustulosis muncul
kembali, IL-1b adalah aktivator TNF-alpha, menunjukkan bahwa IL-1b berperan
dalam patogenesis SPD. Peran TNF-alpha dalam patogenesis kondisi tersebut
didukung oleh respon SPD terhadap TNF-alpha blocker, seperti adalimuma. Pelapisan
dasar neutrofil telah disarankan sebagai konsekuensi dari produksi TNF-alfa yang
berlebihan oleh keratinosit, atau monosit mungkin penting untuk pathogenesis.
Tingkat serum timus dan aktivasi ligan kemokin / kemokin 17 yang diatur aktivasi
meningkat, yang menunjukkan respons Th2 menimbulkan lesi (Bhargava dkk, 2020).
Studi imunofluoresensi negatif pada dermatosis pustular subcorneal dari
Sneddon-Wilkinson. Namun, subtipe yang jarang dari dermatosis pustular subcorneal
telah dilaporkan memiliki positif imunofluoresensi dengan deposisi IgA terbatas pada
epidermis atas dan diarahkan melawan desmocollin. Seperti disebutkan di atas,
karakteristik klinis dan histopatologi telah mengarahkan para ahli untuk
mengklasifikasikan varian ini sebagai varian pemfigus IgA yang menyerupai
dermatosis pustular subcorneal. Dalam rangkaian besar tahun 2016 dari 49 pasien
dengan dermatosis IgA antarsel dan 13 kasus dengan dermatosis pustular subcorneal,
dikonfirmasi bahwa jenis dermatosis pustular subcorneal dari dermatosis IgA antar sel
secara klinis dan histopatologis tidak dapat dibedakan dari dermatosis pustular
subcorneal klasik tanpa imunoreaktan (Sekulovic, 2019).
Selain itu, meskipun telah dilakukan banyak upaya, belum ada agen infeksius
atau pemicu imunogenik lain yang telah diidentifikasi pada pasien dermatosis pustular
subcorneal. Letusan dianggap steril, meskipun kadang-kadang dapat terinfeksi
9
sekunder Staphylococcus aureus atau spesies streptokokus secara. Mendahului
Mycoplasma infeksi pneumonia terlibat dalam satu laporan, tetapi hal ini memiliki
presentasi akut yang menanggapi 3 bulan dapson tanpa kambuh (Sekulovic, 2019).
b. Psoriasis Pustular
Psoriasis adalah penyakit peradangan kulit yang kronik dan residif,
mempunyai dasar genetik, dengan karakteristik gangguan pertumbuhan dan
diferensiasi epidermis. Psoriasis dapat timbul pada semua usia, terutama 15-30
tahun (PERDOSKI, 2017). Tipe psoriasis ialah Psoriasis tipe plak, psoriasis
gutata, psoriasis pustulosa generalisata dan lokalisata, Psoriasis inversa, psoriasis
artritis, psoriasis kuku, eritroderma psoriatika (PERDOSKI, 2017).
10
Terdapat 2 bentuk psoriasis pustulosa, yaitu psoriasis pustulosa lokalisata
dan psoriasis pustulosa generalisata (PPG). Psoriasis pustulosa generalisata (PPG)
disebut juga psoriasis von Zumbusch mengenai sebagian besar area tubuh dan
ekstremitas terjadi bila pustul yang muncul sangat parah dan menyerang seluruh
tubuh, sering diikuti dengan gejala konstitusi. Keadaan ini bersifat sistemik dan
mengancam jiwa. Tampak kulit yang merah, nyeri, meradang dengan pustul
milier tersebar di atasnya. Pustul terletak nonfolikuler, putih kekuningan, terasa
nyeri, dengan dasar eritematosa. Pustul dapat bergabung membentuk lake of
pustules, bila mengering dan krusta lepas meninggalkan lapisan merah terang
(Menaldi, 2017).
Psoriasis pustulosa lokalisata pada palmo plantar menyerang daerah
hipotenar dan tenar, sedangkan pada daerah plantar mengenai sisi dalam telapak
kaki atau dengan sisi tumit. Perjalanan lesi kronis residif di mulai dengan vesikel
bening , vesikopustul, pustul yang parah dan makulopapular kering cokelat.
Bentuk kronik disebut akrodermatitis kontinua supurativa dari Hallopeau,
ditandai dengan pustul yang muncul pada ujung jari tangan dan kaki, bila
mengering menjadi skuama yang meninggalkan lapisan merah kalau skuama
dilepas. Destruksi lempeng kuku dan osteolisis falangs distal sering terjadi
(Menaldi, 2017).
11
demam (>38°C) (Pandaleke and Pandaleke, 2017). Lokalisasi Seluruh tubuh,
wajah, leher, badan, eksremitas (Susanti, Mamuaja and Niode, 2017). Efloresensi
Berupa pustul non-foliker bergerombol diatas kulit yang eritematosa. PEGA
dapat sembuh sendiri namun erupsi pustular pada kulit dapat bertahan hingga 9
hari (rerata 4-14 hari) kemudian diikuti oleh resolusi spontan yang disertai
deskuamasi (Susanti, Mamuaja and Niode, 2017). Ukuran Pustul multipel milier
sampai dengan lentikuler (Kristiani and Anggraini, 2020). Prognosis PEGA
umumnya baik dan dapat sembuh sendiri (Pandaleke and Pandaleke, 2017)
2.11 Komplikasi
Komplikasi penyakit ini adalah infeksi sekunder dan Beberapa penderita dapat
mengalami penurunan kualitas hidup dan immune disyfuction disorder (Ernaningsih N
dkk, 2016).
2.12 Prognosis
Dermatosis pustular subkorneal memiliki prognosis baik. Penyembuhan akan
terjadi beberapa hari sampai minggu, namun dapat residif (Menaldi, 2017).
2.13 Profesionalisme
Membantu mengontrol kesembuhan pasien dengan pemberian dosis yang
adekuat, dan penjelasan tata cara pengobatan dengan benar
Kontrol ulang, bila keluhan tidak membaik bisa di rujuk ke dokter spesialis kulit
dan kelamin untuk dilakukan terapi lebih lanjut.
13
BAB III
KESIMPULAN
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan riwayat penderita, keluhan dan gejala klinis
serta pemeriksaan penunjang . Pasien umumnya mengeluh gatal dan kemerahan pada daerah
kontak, kemudian timbul pustula. Kelainan kulit berupa pustul-pustul bergerombol di atas
kulit yang eritematosa, tersusun anular atau sirsinar. Setelah beberapa hari pustulpustul
memecah dan kering membentuk krusta dan skuama. Penyebaran ke perifer dan
penyembuhan di tengah meninggalkan daerah eritematosa polisiklik disertai timbulnya
pustul-pustul yang baru. Lokalisas: Daerah perut, ketiak, dan lipatan-lipatan. Lesi di mukosa
jarang dan biasanya ringan. Efloresensi :Berupa pustul-pustul bergerombol di atas kulit yang
eritematosa, tersusun anular atau sirsinar. Setelah beberapa hari pustulpustul memecah dan
kering membentuk krusta dan skuama. Penyebaran ke perifer dan penyembuhan di tengah
meninggalkan daerah eritematosa polisiklik disertai timbulnya pustul-pustul yang baru.
Ukuran :Pustula berukuran miliar ampai lentikular. Pemeriksaan penunjang dilakukan ialah
pemeriksaan histopatologi, pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan imunofluoresensi.
Komplikasi penyakit ini adalah infeksi sekunder dan Beberapa penderita dapat
mengalami remisi spontan. Dermatosis pustular subkorneal memiliki prognosis baik.
Penyembuhan akan terjadi beberapa hari sampai minggu, namun dapat residif.
14
DAFTAR PUSTAKA
1. Adhi, D. et al. (2018) Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin, Fkui.
2. Antonius, C. S. (2020) ‘Pustulosis Eksantematosa Generalisata Akut (PEGA)
Postpartum Diduga Dicetuskan oleh Ampisilin’, Cermin Dunia Kedokteran, 47(7),
pp. 520–521.
3. Adhi, D. et al. (2018) Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin, Fkui.
4. Bhargava. S, Kumar. U, Kroumpouzos. G. (2020). Subcorneal pustular dermatosis:
Comprehensive review and report of a case presenting during pregnancy.
International Journal of Women’s Dermatology.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7330443/
5. Brown, S. J. et al. (2015) ‘Subcorneal pustular dermatosis in association with chronic
lymphocytic leukaemia [10]’, Acta Dermato-Venereologica, 83(4), pp. 306–307. doi:
10.1080/00015550310016661.
6. Ernaningtyas. N, Jayadi. N, Pandaleke. H. (2015). Subcorneal pustular dermatosis in
a 47 year old women vol 7, no 3. Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi
Manado. https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/biomedik/article/view/10442/10027
7. Hill. Sarah. (2015). Subcorneal pustular dermatosis. Dermatology Registrar, Waikato
Hospital, Hamilton, New Zealand. https://dermnetnz.org/topics/subcorneal-pustular-
dermatosis/.
8. Johan, R. and Hamzah, R. A. (2016) ‘Gejala Klinis dan Terapi Psoriasis Pustulosa
Generalisata tipe von Zumbuch’, Cermin Dunia Kedokteran, 43(2), pp. 117–122.
9. Menaldi, S. L. S. (2017) Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin.Edisi Ketujuh.Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia., Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
10. Pandaleke, T. A. and Pandaleke, H. E. J. (2017) ‘Pustulosis Eksantematosa
Generalisata Akut’, Jurnal Biomedik (Jbm), 9(3), pp. 137–143. doi:
10.35790/jbm.9.3.2017.17334.
11. Perdana (2018) Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit Edisi 2, Journal of Chemical
Information and Modeling.
12. PERDOSKI (2017) Panduan Praktik Klinis, Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
Kelamin.
13. Sekulovic, Lidija Kandolf. (2019). Subcorneal Pustular Dermatosis. Medscape.
https://emedicine.medscape.com/article/1124252-overview