Anda di halaman 1dari 35

REFARAT

HIDRADENITIS SUPURATIV

Refarat Ini Disusun Untuk Melengkapi Persyaratan Dalam Mengikuti Kegiatan


Kepaniteraan Klinik Senior Departemen Ilmu kulit kelamin di RSU Haji Medan

Disusun oleh:

Arya putri sukulima

20360019

Pembimbing:

dr.widya

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU KULIT KELAMIN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI
RUMAH SAKIT UMUM HAJI MEDAN
2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, yang telah mencurahkan nikmat dan

karunia-Nya sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan tugas refarat ini.

Alhamdulillah berkat kemudahan yang diberikan Allah subhanahuwata’ala, Referat

ini, penulis penulis dapat menyelesaikan tugas referat yang berjudul “hidradenitis

suppurativ”. Dalam penyusunan mendapatkan beberapa hambatan serta kesulitan. Akan

tetapi dengan bantuan dari berbagai pihak hal tersebut dapat teratasi. Oleh karena itu, penulis

mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu

dalam penyusunan paper ini, terutama kepada drwidya selaku pembimbing. Semoga segala

bantuan yang penulis terima akan mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT.

Adapun penulisan tugas referat ini dibuat sebagai salah satu syarat dalam mengikuti

kegiatan kepaniteraan klinik senior bagian Ilmu kulit kelamin Rumah Sakit Umum Haji

Medan.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan masih banyak kekurangan dan jauh

dari kesempurnaan, oleh karena itu Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang

ditujukan untuk membangun.

Medan, februari 2022

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN DEPAN .................................................................................................... i


KATA PENGANTAR .................................................................................................. ii
DAFTAR ISI ................................................................................................................. iii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang................................................................................................ 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi.......................................................................................................... 3
2.2 Epidemiologi................................................................................................. 4
2.3 Etiologi ......................................................................................................... 4
2.4 Faktor resiko.................................................................................................. 6
2.5 Patofisiologi................................................................................................... 8
2.6 Pemeriksaan fisik .......................................................................................... 8
2.7 Klasifikasi .....................................................................................................10
2.8 Pemeriksaan diagnostik.................................................................................10
2.9 Penatalaksanaan.............................................................................................12
2.10 Edukasi .........................................................................................................12
2.11 Prognosis ......................................................................................................13
2.12.Komplikasi………………………………………………………………….13
BAB III KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan....................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA
BAB 1

PENDAHULUAN

Hidradenitis merupakan infeksi yang disebabkan oleh bakteri Staphylococcus aureus


pada folikel rambut kelenjar apokrin. Infeksi sering didahului oleh mikrotrauma, misalnya :
banyak keringat, pemakaian deodorant atau rambut aksila yang dicukur. Penyakit kulit ini
juga dipengaruhi hormonal dan banyak terjadi pada wanita seperti pada masa pubertas,
menopause, dan keparahan penyakit dapat meningkat selama menstruasi dan kehamilan.
Penyakit ini terjadi kronis dan secara signifikan mempengaruhi kualitas hidup pada populasi
muda yang aktif.
Tanda dan gejala hidradenitis adalah ruam berupa nodus dengan kelima tanda radang
akut yang dapat disertai dengan demam serta malaise. Nodus yang terbentuk dapat melunak
menjadi abses dan memecah membentuk fistel, kemudian disebut hidradenitis supurativa.
Hidradenitis supurativa lebih banyak dijumpai pada perempuan dengan rasio
perbandingan 2 : 1 sampai 5 : 1.1 Rerata awitan penyakit sekitar usia 21 tahun, walaupun
gejalanya dapat dimulai kapan saja antara usia pubertas danusia paruh-baya. Selain durasi
penyakit, temuan yang konsisten pada pemeriksaan histologis HS adalah oklusi folikular
akibat hiperkeratosis, dan terdapat bukti hiperplasia isotop epitel folikel.
Hal ini menyebabkan oklusi kelenjar apokrin, di ikuti ruptur folikel, peradangan
perifolikular dan infeksi sekunder. Selain itu banyak faktor yang dapat memengaruhi
timbulnya HS, antara lain genetik, hormon androgen, beberapa penyakit terkait (penyakit
Crohn, pioderma gangrenosum, sindrom nefrotik, amiloidosis, penyakit Dowling-Degos, dan
artropati), obesitas, dan merokok.
Manifestasi klinis HS bervariasi, daerah yang terkena dengan penurunan frekuensi
berturut-turut adalah : ketiak, inguinal, perineum dan perianus, mammae dan infra-mammae,
bokong, daerah kemaluan, dada, kulit kepala, retroaurikular, dan kelopak mata. Lesi kulit
dapat merupakan nodus, abses, saluran sinus yang nyeri, dan skar hipertrofik di daerah
kelenjar apokrin. Diagnosis dibuat secara klinis berdasarkan daerah predileksi dan lesi yang
khas. Sebagian besar pemeriksaan laboratorium tidak begitu membantu. Penatalaksanaan HS
dapat menggunakan antibiotik sistemik, anti-TNF, dan anti androgen.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFENISI
Hidradenitis supurativa (HS) adalah penyakit inflamasi kronis yang
berasal dari kelenjar apokrin, yang dapat menjadi kronis dan cenderung
menimbulkan sikatriks. Penyakit ini secara klinis ditandai dengan
pembentukan nodul bulat dan abses dengan jaringan parut hipertrofik dan
supurasi yang rekuren, menyakitkan dan dalam yang terjadi terutama pada
area lipatan-lipatan kulit yang memiliki ujung rambut dan kelenjar apokrin.
Penyakit ini cenderung menjadi kronis dengan ekstensi subkutan yang
mengarah pada pembentukan jaringan parut hipertrofi, sinus, dan fistula.
(James, 2006)
Daerah axillae, inguinal, dan perineal merupakan daerah yang sering
terkena, sementara bokong dan submamary jarang terkena. Penyakit ini
biasanya terjadi setelah pubertas dan empat kali lebih banyak menyerang
wanita dari pada pria serta lebih sering terjadi pada orang yang obesitas.(Fite,
2011)

B. EPIDEMIOLOGI

Prevalensi dan insidensi HS di US masih belum diketahui dengan pasti.


Namun sebuah studi di Denmark menyatakan bahwa prevalensi hidradenitis
suppurativa di dunia adalah 4%. Penyakit ini hanya menimbulkan kesakitan
namun tidak berakibat fatal, kecuali jika berkembang menjadi infeksi sistemik
yang luas pada pasien immunocompromised. Ada peningkatan insidensi pada
ras rambut keriting. Perbandingan insiden penyakit ini pada wanita dan pria
adalah sekitar 4:1 sampai 5:1. HS tidak terjadi sebelum pubertas karena
kelenjar apokrin belum aktif hingga dipicu oleh hormon sex.(Vinkel,2018)
Hidradenitis suppurativa telah menjadi penyakit yang diabaikan selama
beberapa dekade, dan akibatnya, data epidemiologis jarang. Tingkat
prevalensi yang dilaporkan untuk HS berkisar antara 0,03 hingga 4,1 %
tergantung pada populasi yang diteliti dan desain penelitian. Meskipun
diterima secara luas menjadi satu persen pada populasi umum, prevalensi
yang sebenarnya mungkin lebih tinggi karena berlanjutnya tidak di diagnosis
dan kesalahan diagnosis pasien. Data terbaru menunjukkan peningkatan
insidensi HS, karena insidensinya meningkat lebih dari dua kali lipat dari 4,0
pasien per 100.000 pada tahun 1968 menjadi 10,0 pasien per 100.000 pada
2008. Kecenderungan ini kemungkinan besar mencerminkan peningkatan
diagnosa pasien karena meningkatnya kesadaran akan penyakit tersebut.
(Vinkel, 2018)

hidradenitis suppurativa tidak “langka.” Perkiraan kisaran prevalensi


global antara 1% dan 4%. Sebagian besar penulis melaporkan tidak ada
perbedaan rasial tetapi rasio perempuan terhadap laki-laki adalah 3,3 :
1.Wanita dipengaruhi di bawah payudara (22%) dan di pangkal paha (93%);
pria terpengaruh pada bokong (40%) dan area perianal (51%) Usia rata-rata
onset adalah 23 tahun. Onsetnya terjadi lebih awal pada mereka yang
memiliki riwayat keluarga, dan tidak biasa setelah menopause. Pada pria,
penyakit ini dapat berlanjut hingga usia lanjut dan seringkali lebih parah, dan
karsinoma sel skuamosa yang jarang lebih sering terjadi pada pria. HS
memiliki program yang berkepanjangan, dengan periode aktivitas dan remisi
yang terputus-putus. Aktivitas inflamasi biasanya memuncak pada dekade
ketiga dan keempat kehidupan dan setelah itu cenderung sembuh, terutama
pada wanita setelah menopause. Kebanyakan pasien memiliki penyakit ringan
atau sedang, meskipun penyakit parah telah dilaporkan pada 4 -22% pasien.
(Vinkel, 2018)
C. Etiologi
hidradenitis suppurativa masih belum diketahui pasti. Studi histologi
pada HS memperlihatkan hiperkeratosis folikular yang diikuti oleh ruptur
epitel folikel dan pelepasan keratin, sebum, bakteri dan rambut ke lapisan
dermis menyebabkan terjadinya suatu oklusi pada kelenjar apokrin.
Terjadinya reaksi inflamasi pada kelenjar apokrin yang dipicu oleh oklusi
tersebut menyebabkan ruptur pada kulit, fibrosis, dan pembentukan sinus.
Infeksi sekunder oleh bakteri Staphylococcus Aureus, Streptococcus
pyogenes, dan berbagai bakteri gram negatif lain dapat terjadi.(Fimmel, 2011)

D. Faktor Risiko

Beberapa faktor risiko terjadinya HS antara lain(Revuz, 2004):


a. Faktor genetik
Adanya riwayat keluarga yang menderita penyakit hidradenitis
supurativa diperoleh pada 26% pasien. Beberapa studi tidak
menunjukkan adanya hubungan dengan HLA. Namun beberapa studi
lainnya menunjukkan adanya penurunan autosomal dominan dengan
single gene transmission. Namun, lokus genetik yang terkait tidak
ditemukan. Revuz, 2004)
b. Hormonal
Kecenderungan terjadinya hidradenitis suppurativa ketika
pubertas atau setelah pubertas menunjukkan adanya pengaruh
androgen. Selain itu, adanya peningkatan kejadian yang dilaporkan
pada pasien postpartum yang berhubungan dengan penggunaan pil
kontrasepsi oral dan pada periode premenstrual sekitar 50%.
Terapi antiandrogen juga memperlihatkan keuntungan terapetik
pada beberapa studi. Revuz, 2004)
Namun, tidak ada bukti biokimia dari hiperandrogenisme dapat
ditemukan pada 66 wanita dengan hidradenitis suppurativa. Selain itu,
tidak seperti kelenjar sebacea, kelenjar apokrin tidak dipengaruhi oleh
androgen. Karenanya, pengaruh androgen terhadap kejadian
hidradenitis suppurativa masih belum jelas. Revuz, 2004)
Ada hubungan yang kuat antara hormon seks dan HS. Dominasi
wanita menunjukkan sensitivitas yang lebih besar dari wanita terhadap
androgen. Tidak ada peningkatan serum androgen pada sebagian besar
pasien HS. Sensitivitas organ akhir kemungkinan besar bertanggung
jawab. Ini menyoroti peran Fox O1 dalam menekan reseptor androgen.
Peningkatan akses ke reseptor androgen dimediasi oleh insulin dan
insulin-like growth factor-1 (IGF-1), keduanya secara kronis dinaikkan
oleh faktor makanan. Revuz, 2004)
Pada wanita, timbulnya HS terjadi di sekitar menarche, terjadi
secara pramenstruasi dan setelah paparan progestin androgenik seperti
medroksiprogesteron asetat (MPA) atau levonorgestrel, tetapi
membaik seiring kehamilan dan memudar setelah menopause. Terapi
antiandrogen membantu pasien HS dari kedua jenis kelamin.
Finasteride, penghambat selektif dari isomer tipe II 5a-reductase,
mengurangi kadar 5aeDHT. Itu digunakan untuk meningkatkan enam
dari tujuh orang dewasa dengan HS dan tiga anak, satu dengan
adrenarche prematur dan satu dengan sindrom ovarium polikistik.
Revuz, 2004)
c. Obesitas
Obesitas bukan merupakan faktor kausa terjadinya hidradenitis
suppurativa namun sering dianggap sebagai faktor yang memperberat
melalui peningkatan gaya gesek, oklusi, hidrasi keratinosit, dan
maserasi. Obesitas juga memperberat penyakit ini dengan
meningkatkan androgen. Penurunan berat badan dianjurkan bagi
pasien dengan berat badan berlebih dan dapat membantu mengontrol
penyakit. Revuz, 2004)

d. Infeksi bateri
Peranan infeksi bakteri pada terjadinya hidradenitis suppurativa
masih belum jelas. Diyakini bahwa peran patogenesisnya sama
dengan peranan bakteri pada terjadinya jerawat. Obat antibakteri
biasa digunakan sebagai terapi. Keterlibatan bakteri terjadi secara
sekunder. Kultur biasanya menunjukkan hasil yang negatif, namun
sejumah bakteri dapat ditemukan dari lesi. Staphylococcus aureus
dan coagulase- negative-staphylococcus adalah yang peling sering
diisolasi. Namun, bakteri lain termasuk Streptococcus, basil gram
negaif, dan anaerob, juga dapat ditemukan. (Vinkel, 2018)
e. Merokok
Perokok paling sering ditemukan pada penderita hidradenitis
suppurativa dibandingkan dengan kontrol yang sehat. Satu studi
kohort menunjukkan bahwa 70% dari 43 pasien dengan hidradenitis
suppurativa perineal adalah perokok. Diperkirakan bahwa merokok
dapat mempengaruhi kemotaxis sel polymorphonuclear. Penghentian
merokok dapat memperbaiki manifestasi klinis penyakit ini .(Vinkel,
2018)
f. Faktor imun
Kekebalan yang tidak teratur Hubungan HS dengan penyakit
inflamasi mapan lainnya, seperti penyakit Crohn (CD) dan pioderma
gangrenosum (PG), bersama dengan efek menguntungkan faktor
antitumor nekrosis (TNF) - agen menunjukkan peran utama imunitas
yang tidak teregulasi dalam patogenesis HS Lebih lanjut, beberapa
penelitian telah menunjukkan peningkatan kadar sitokin pro dan
antiinflamasi, terutama interleukin (IL) -1beta, TNF, IL-17, dan IL-10
pada kulit lesional, serta kelainan pada antimikroba. peptida dan
pensinyalan seperti reseptor Toll.17,18 Jalur IL-23 / TH17 disarankan
untuk terlibat dalam HS dan, terutama, peran IL-17; IL-17 merupakan
faktor penting dalam penyakit inflamasi lainnya, termasuk psoriasis
dan CD.19 Namun, profil sitokin terperinci dan jalur patogen yang
tepat dalam HS perlu dijabarkan lebih lanjut. (Vinkel, 2018)

E. Patogenesis

Regio axilla dan inguinoperineal adalah regio yang paling sering


terkena HS, regio lain yang juga biasa terkena HS adalah areola mammae,
regio submamary, periumbilicalis, scalp, fasialis, meatus ekternal auditori,
leher dan punggung.(Parks, 2008)
Kelenjar apokrin tersusun atas kelenjar keringat yang memanjang
dari dermis ke jaringan subkutan. Masing-masing kelenjar terdiri atas
komponen sekretori yang dalam dan melingkar yang mengalir melalui
duktus eksketorius yang lurus dan panjang, biasanya menuju folikel
rambut. Sekresi dari kelenjar ini berbau. (Parks, 2008)
Walaupun penyebab dari HS masih belum diketahui dengan jelas,
telah disepakati secara umum bahwa semua berawal dari oklusi apokrin
atau duktus folikuler oleh sumbatan keratin, yang menyebabkan dilatasi
duktus dan stasis komponen glandular. Bakteri memasuki sistem apokrin
melalui folikel rambut dan terperangkap di bawah sumbatan keratin yang
kemudian bermultiplikasi dengan cepat dalam lingkungan yang
mengandung banyak nutrisi dari keringat apokrin. Kelenjar dapat ruptur,
sehingga menyebabkan penyebaran infeksi ke kelenjar dan area
sekitarnya. Infeksi Strptococcus, Staphylococcus, dan organisme lain
menyebabkan inflamasi lokal yang lebih luas, destruksi jaringan dan
kerusakan kulit. Proses penyembuhan yang kronis menimbulkan fibrosis
luas dan sikatrik hipertrofi pada kulit di atasnya. (Parks, 2008).

Patogenesis penyakit ini terdiri dari penyumbatan folikel, ruptur


duktus, dan peradangan sekunder yang mengarah ke perubahan hilir. HS
tunduk pada pengaruh genetik, mekanik, hormonal, dan lainnya. Kisah
berurutan kemungkinan sebagai berikut, meskipun beberapa tautan masih
harus dibuktikan. Pasien dengan HS menunjukkan area dengan dukungan
struktural yang lemah di persimpangan kelenjar sebaceous dan saluran
folikel. Ketika hormon berlebih yang terjadi pada produksi keratinosit
duktus menghasilkan sumbat yang kencang dan melebar pada saluran,
tekanan sentrifugal diterapkan pada hal ini. area, dan dinding dari saluran
bocor dan pecah ke samping, jauh di dalam dermis. Isi folikel intraductal
bocor, merangsang sistem kekebalan tubuh bawaan. Proses penyembuhan
berusaha untuk memperbaiki anatomi normal FPSU. (Gbr. 1) (Parks,
2008)
Ketika perbaikan gagal, fragmen folikel merangsang tiga reaksi
terpisah. Reaksi pertama adalah respons peradangan, yang dipicu oleh
sistem kekebalan tubuh bawaan. Ini menyebabkan purulensi dan
kerusakan jaringan. Ini menyebabkan reaksi benda asing dan jaringan
parut yang luas. Kedua, sinus epitelisasi dapat berkembang, dipostulatkan
untuk berevolusi dari sel induk (berasal dari FPSU) yang selamat dari
kerusakan. Ketiga, massa gelatin proliferatif invasif (IPGM) diproduksi
dalam banyak kasus, terdiri dari gel yang tertanam kedua sel-sel inflamasi
dan, dipostulatkan, prekursor dari elemen epitelisasi yang dijelaskan di
atas. Pertumbuhan terus-menerus dari sisa-sisa yang terstimulasi oleh
hormon di bawah permukaan ini melanggengkan sinus yang
berkomunikasi dan massa peradangan dan memberikan peningkatan
volume bahan penyerbu. Peradangan pada dermis dan subkutis tidak akan
menetap sampai bahan ini dihilangkan. Permulaan lesi biasa terjadi
sebagai papula, pustula, atau nodula yang tampaknya acak, kecil, merah,
tidak berurat yang mungkin sembuh tanpa meninggalkan bekas apa pun.
Onsetnya bisa memakan waktu berminggu-minggu atau berbulan-bulan,
menyebabkan rasa gatal yang tidak jelas menjadi nyeri ringan sampai
sedang. Awitan akut, parah, bahkan menakutkan bisa timbul besar, dalam,
dan menyakitkan. (Vinkel, 2018)
Berdasarkan penelitian patogenesis bersama yang melibatkan
oklusi folikel, HS telah dikaitkan dengan jerawat parah (acne conglobata),
yang membedah selulitis dari. kulit kepala, dan penyakit pilonidal dengan
istilah “oklusi oklusi folikel.” 15 Kejadian patogenik awal pada HS
melibatkan peradangan perifollicular yang mengarah ke hiperkeratosis
dan oklusi folikel rambut di daerah predileksi. Pecahnya folikel yang
melebar dan ekstrusi dari akumulasi isi duktus folikel (sebum dan puing-
puing) ke dalam dermis sekitarnya memicu respons inflamasi, yang pada
akhirnya menghasilkan pembentukan nodul yang nyeri dan meradang.
Peradangan yang berkelanjutan di area tersebut berkontribusi pada
pembentukan abses, fistula, dan saluran sinus (terowongan),
sehingga menciptakan lingkungan yang menguntungkan untuk
pembentukan biofilm, kolonisasi bakteri, dan nanah.(Pink, 2018)
Pada hidradenitis yang melibatkan regio perineal, ada peningkatan
insiden infeksi oleh Streptosossus milleri, yang berhubungan dengan
aktivitas penyakit. Organisme lain yang juga dapat diidentifikasi ketika
penyakit ini menyerang daerah ini adalah Staphylococcus aureus,
Streptococcus anaerob dan Bacteroides.(Parks, 2008)

Gambar 1. Patogenesis Hidradenitis suppurativa.


F. Pemeriksaan
1. Pemeriksaan Efloresensi
Hidradenitis suppurativa biasanya diawali dengan nodul dalam
(ukuran 0,5-2 cm) (gambar 2). Pustul juga dapat terlihat. (gambar 3).
Nodul ini dapat sembuh secara lambat atau justru berkembang dan
bergabung dengan nodul disekitarnya serta dapat terinfeksi sehingga
menghasilkan abses inflamasi nyeri yang besar. Abses ini bulat tanpa
nekrosis sentral dan dapat sembuh atau fuptur spontan, menghasilkan
discharge purulen (gambar 4). Parks, 2008)

Gambar 2. Bisul besar pada area genitalia Wanita Gambar 3. Pustul dan papul inflamasi sekitar lesi

Gambar 4. Abses yang ruptur mengeluarkan material purulen


Kerusakan progresif pada arsitektur kulit normal terjadi karena inflamasi
periductal dan periglandular dan dermal serta fibrosis subkutan. Proses
penyembuhan dapat menghasilkan sikatrik dengan fibrosis (gambar 5), kontraktur
dan peninggian kulit rope-like, dan double-ended comedones (gambar 6). Sinus
juga dapat terbentuk (gambar 7). Sinus telah dilaporkan melibatkan jaringan
dalam, termasuk otot dan fascia, uretra dan usus. Proses kemudian terjadi kembali
pada area sekitarnya atau pada area lain yang mengandung kelenjar apokrin.

Gambar 5. Sikatriks dengan fibrosis

Gambar 6. Double ended comedone

Gambar 7. Pembentukan sinus pada daerah vulva


Perinanal hidradenitis suppurativa dapat disertai nyeri, edema,
discharge purulen, pruritus atau perdarahan dan dapat menyerupai
penyakit lain seperti furunculosis, fistula ani, penyakit pilonidal, abses
perianal atau penyakit Crohn. Fistula pada canalis analis dapat terjadi
pada hidradenitis, namun hanya akan terjadi pada bagian terbawah
canalis analis, pada kulit yang mengandung kelenjar apokrin.
(Parks,2008)

G. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik dilakukan penilaian UKK dengan hasil mkula eritematosa


dan nodus lentikular numular, difus, regional. Juga terdapat sinus dan fistel.
Pemeriksaan histopatologis didapatkan obstruksi saluran kelenjar apokrin oleh keratin,
dilatasi duktus dan tubulus kelenjar, infiltrasi PMN intraglandular, terdapat hiperplasi
pseudoepitelioma pada fase akhir.(Soepardiman, 2007)

Penampakan lesi hidradenitis suppurativa bergantung pada progresi penyakit.


Lesi dapat ditemukan pada aksila, anogenital, lipatan paha, dan lipatan inframammary.
Hidradenitis suppurativa memiliki karakteristik lesi primer berupa nodul dengan
ukuran 0,5-2 cm. Nodul dapat muncul pada lebih dari satu kelenjar, sehingga akan
tampak berbenjol-benjol. Kumpulan nodul yang saling bertumpuk dan tidak teratur ini
kemudian akan melunak tidak merata, yang disebut sebagai abses multipel. Abses yang
pecah akan mengeluarkan cairan purulen berbau busuk, serta menimbulkan sinus dan
fistula. (Soepardiman, 2007)
Diagnosis HS secara primer dibuat berdasarkan karakteristik klinis dan telah

memenuhi kriteria yang diadopsi oleh 2nd International Conference on Hidradenitis


suppurativa. Kriteria hidradenitis supurativa tersebut antara lain (Revuz, 2004):
1. Lesi tipikal seperti nodul dalam yang nyeri: “blind boils” pada lesi awal; abses,
sinus, bridged scars,dan double-ended pseudo- comedones pada lesi sekunder.
1. Topografi tipikal seperti axillae, paha dan regio perianal, bokong, lipatan
infra dan inter mamary
2. Kronik dan rekuren
Keparahan penyakit dapat diklasifikasikan dalam tiga tingkat untuk
masing-masing area berdasarkan klasifikasi Hurley, suatu sistem sederhana
namun statis dan tidak sesuai untuk penilaian keparahan secara global.
Sementara itu, Sartorius score dan versi modifikasinya mempertimbangkan
sejauh mana penyakit, jumlah, dan tingkat keparahan lesi secara individual.

H. Klasifikasi Hurley (Vinkel, 2018):

Tingkat Karakteristik
I Abses soliter atau multipel tanpa sikatriks atau
sinus. (sejumlah sisi minor dengan inflamasi yang
jarang; mungkin keliru untuk jerawat)
II Abses rekuren, lesi soliter atau multipel yang
terpisah jauh, dengan sinus (inflamasi yang
membatasi pergerakan dan mungkin membutuhkan
bedah minor seperti insisi dan
drainase)
III Keterlibatan area sekitar yang difus atau luas
dengan sinus dan abses yang saling berhubungan.
(inflamasi berukuran sebesar bola golf atau
terkadang sebesar bola baseball; timbul sikatriks,
termasuk infeksi subkutan. Pasien pada
tingkat ini mungking tidak dapat berfungsi)
B
A

Gambar 8. (A) dan (B) Tingkat I klasifikasi Hurley

A B
Gambar 9. (A) dan (B) Tingkat II klasifikasi Hurley

B C
A

Gambar 10. (A), (B), dan (C). Tingkat III klasifikasi Hurley
Sistem klasifikasi Hurley dinilai tidak dinamis dalam menjelaskan
hasil terapi. Sartorius Score yang menghitung skor keterlibatan regio,
nodul, dan sinus, kemudian dijadikan panduan untuk menilai keparahan
penyakit.(Sartorius, 2010)

Gambar 8. Sartorius Score

A. Pemeriksaan Diagnostik
Tidak ada pemeriksaan diagnostik khusus untuk hidradenitis
suppurativa. Kultur dari eksudat yang diambil dapat menumbuhkan
berbagai bakteri saprofit dan patogen seperti staphylococcus dan
streptococcus. Pada pemeriksaan laboratorium pasien dengan lesi HS akut
dapat memperlihatkan peningkatan laju endap darah atau C- reactive
protein. Bila pasien tampak toksik atau demam, pemeriksaan darah
lengkap, kultur darah, kultur eksudat,dan kimia rutin perlu dilakukan.
(Linette, 2018)
Diagnosis hidradenitis suppurativa umumnya tidak membutuhkan
pemeriksaan penunjang.
Peran pemeriksaan penunjang pada hidradenitis suppurativa adalah
untuk menyingkirkan diagnosis banding dan mencari komorbiditas.
(LInette, 2014)
1. Biopsi Kulit
Sampai sekarang tidak ditemukan perubahan histopatologis
yang merupakan karakteristik dari hidradenitis suppurativa. Biopsi
kulit dilakukan guna menyingkirikan diagnosis banding yang berat dan
lebih jarang, seperti karsinoma sel skuamosa. Hasil biopsi kulit yang
ditemukan pada hidradenitis suppurativa adalah hiperkeratosis
infundibular, hiperplasia epitelium folikular, dan perifolikulitis. Selain
itu, hiperplasia psoriasiform dan infiltrasi leukosit derajat rendah juga
dapat ditemukan. Apabila sudah terjadi pembentukan sinus, maka
ruptur folikular dapat ditemukan.(Gulliver,2016)
2. Ultrasonografi
Ultrasonografi dilakukan pada pasien hidradenitis suppurativa
apabila klinisi masih tidak yakin akan diagnosis. High frequency
ultrasound imaging merupakan pemeriksaan yang efektif dalam
mengidentifikasi dan menentukan tingkat keparahan hidradenitis
suppurativa. Selain itu, lesi subklinis hidradenitis suppurativa juga
dapat dideteksi dengan pemeriksaan ini. (Gulliver,2016)
Lesi hidradenitis suppurativa pada pencitraan ultrasound
umunya dapat ditemukan dengan karakteristik kantung cairan
hipoekoik dengan tepi regular yang menggambarkan terdapatnya
abses. Apabila ditemukan kantung cairan hipoekoik namun dengan
tepi irregular, maka menandakan bahwa abses telah ruptur. Formasi
sinus juga dapat ditemukan dengan karakteristik terowongan hipoekoik
dengan tepi hiperekoik. (Gulliver,2016)
3. Tes Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dapat digunakan untuk evaluasi
penyakit dan komorbiditas pada pasien hidradenitis suppurativa.
Berikut ini merupakan beberapa tes laboratorium yang dapat dilakukan
pada pasien hidradenitis suppurativa :
a. Pemeriksaan darah lengkap : Pada pemeriksaan darah lengkap pasien
hidradenitis suppurativa dapat ditemukan peningkatan sel darah putih
yang menunjukkan terdapat infeksi
b. Laju endap darah : Peningkatan laju endap darah dapat ditemukan pada
lesi akut hidradenitis suppurativa
c. Hemoglobin A1c : Peningkatan hemoglobin A1c (HbA1c) ≥ 6,5%
dapat ditemukan pada hidradenitis suppurativa dengan komorbiditas
diabetes mellitus.(Ingram, 2016)
4. Kultur Bakteri
Kultur bakteri umumnya tidak diperlukan pada kasus
hidradenitis suppurativa dan hanya dilakukan saat terdapat kecurigaan
terjadinya infeksi sekunder. Beberapa organisme, seperti
Staphylococcus aureus, Streptococcus sp, dan Bacteroides sp, dapat
ditemukan. Selain itu Corynebacterium sp, Porphyromonas sp, dan
Peptoniphilus sp juga dapat ditemukan pada lesi hidradenitis
suppurativa. (Ingram, 2016)

B. PENATALAKSANAAN

Hidradenitis suppurativa bukanlah penyakit infeksi yang simpel, dan


antibiotik sistemik hanyalah merupakan bagian dari program
penatalaksanaannya. Kombinasi dari pengobatan glukokortikoid intralesi,
pembedahan, antibiotik oral, dan isotretinoin perlu digunakan.(Wolf, 2009)
Tujuan penatalaksanaan pasien adalah untuk mencegah perkembangan
lesi primer juga resolusi, ameliorasi, atau regresi penyakit sekunder seperti
sikatriks atau pembentukan sinus. Lesi yang timbul paling awal sering kali
sembuh dengan cepat dengan pemberian terpai steroid intralesi, dan sebaiknya
dicoba untuk memulai kombinasi dengan cleocin topikal atau tetracycline
atau minocycline oral. (Wolf, 2009)

1. Pengobatan pada lesi


Pengobatan pada lesi nyeri yang akut seperti nodul dapat
digunakan triamcinolone (3-5 mg/mL) intralesi. Pada abses digunakan
triamcinolone (3-5 mg/mL) intralesi yang diikuti insisi dan drainase
cairan abses. Antibiotik oral yang dapat digunakan adalah erythromycin
(250-500 mg qid), tetracycline (250-500 mg qid), atau minocycline (100
mg 2 kali sehari) hingga lesi sembuh, atau kombinasi klindamisin 2 x 300
mg bid dengan rifampin (300 mg 2 kali perhari) selama beberapa minggu.
Prednison dapat diberikan bila nyeri dan inflamasi sangat berat dosisnya
70 mg perhari selama 2-3 hari, diturunkan (tappered) selama 14 hari.
Pemberian isotretinoin oral tidak bermanfaat pada penyakit yang kronis
namun bermanfaat pada awal penyakit untuk mencegah sumbatan
folikuler dan saat dikombinasikan dengan eksisi lesi. (Wolf, 2009)
Pencucian teratur tiap hari dengan sabun antibakteri dan pemberian
clindamycin topikal penting untuk pencegahan. Mengurangi gesekan
dengan menggunakan pakaian longgar dan penurunan berat badan bila
diperlukan, dan mencegah timbulnya keringat berlebih dengan
menggunakan aluminium klorida topical. (Wolf, 2009)
Pada kondisi adanya draining sinus, kultur dari pus mungkin akan
menunjukkan S. Aureus atau organisme gram negatif. Pemilihan antibiotik
harus didasarkan pada sensitivitas kultur organisme.
Isotretinoin efektif pada beberapa kasus. Pada suatu studi diberikan
isoretinoin dengan dosis 0,56 mg/kg selama 4 sampai 6 bulan. (Wolf,
2009)

2. Perawatan sistemik

Pasien dengan penyakit yang lebih luas dan / atau penyakit parah
(Hurley stadium II dan III) selanjutnya memerlukan terapi sistemik.
Rejimen pengobatan sistemik termasuk antibiotik (mis., Tetrasiklin,
rifampisin + klindamisin) dan agen antiinflamasi (mis., Agen anti-TNF,
siklosporin). Dasar pemikiran untuk terapi antimikroba pada HS belum
diketahui dengan baik; namun, obat ini diyakini mengandalkan efek anti-
inflamasi dari obat-obatan tersebut. Intervensi bedah harus selalu
dipertimbangkan bersamaan dengan perawatan medis untuk mendapatkan
remisi lengkap dari lesi yang persisten. Tetrasiklin sistemik 500mg dua
kali sehari selama setidaknya tiga bulan direkomendasikan pada penyakit
luas yang sedang hingga sedang di mana pengobatan topikal saja tidak
memadai.Tidak ada bukti berkualitas tinggi yang mendukung tetrasiklin
sistemik daripada pengobatan topikal. (Vinkel, 2018)

Faktanya, RCT kecil dari 46 pasien dengan HS ringan (Hurley


stadium I dan II) tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan antara
tetrasiklin sistemik dan klindamisin topikal, sehingga mempertanyakan
dasar pemikiran untuk tetrasiklin sistemik. Namun, tetrasiklin sistemik
sering lebih disukai pada pasien dengan lebih banyak penyakit luas karena
lebih mudah bagi pasien untuk mengelola. Saat memilih antara
pengobatan topikal atau sistemik pada pasien dengan HS ringan hingga
sedang, penting untuk mempertimbangkan distribusi lesi, luasnya
penyakit, dan faktor individu pasien (mis., Preferensi pasien,
komorbiditas, kehamilan). Kombinasi penggunaan rifampisin sistemik
(300mg dua kali sehari) dan clindamycin (300mg dua kali sehari)
dianjurkan setelah kurangnya respons terhadap tetrasiklin sistemik dan
/ atau dalam kasus yang lebih lanjut. Peningkatan yang signifikan dalam
fitur klinis dan kualitas hidup setelah menggunakan rejimen ini telah
ditunjukkan dalam tiga seri kasus terbuka, tetapi tidak ada RCT prospektif
yang belum dilakukan untuk mengkonfirmasi hasil ini. (Vinkel, 2018)

Perawatan sistemik dengan agen antiinflamasi atau


imunomodulator seperti acitretin, isotretinoin, dapson, siklosporin,
prednison, dan colchicine telah disarankan. Namun, kemanjuran mereka
hanya dievaluasi dalam laporan kasus dan seri kasus kecil dengan hasil
yang bervariasi, sehingga mereka tidak direkomendasikan sebagai rejimen
standar dan hanya boleh digunakan dalam kasus-kasus ketidakcukupan,
intoleransi, dan / atau kontraindikasi (misalnya komorbiditas, kehamilan)
untuk terapi-terapi yang disebutkan di atas. Biologik (misalnya,
adalimumab [anti-TNF] atau infliximab [anti-TNF]) diindikasikan pada
HS yang sedang hingga parah (Hurley stadium II dan III) yang bandel
terhadap perawatan sebelumnya. (Vinkel, 2018)

Dalam dua fase, RCT yang termasuk 307 dan 327 pasien, masing-
masing, dengan HS sedang hingga berat, adalimumab 40mg yang diambil
setiap minggu mendorong peningkatan klinis yang signifikan
(pengurangan 50% dalam jumlah total nodul / abses yang meradang dan
tidak ada peningkatan jumlah abses atau pengeringan- fistula, serta
pengurangan yang signifikan dalam rasa sakit dan skor DLQI) setelah 12
minggu dibandingkan dengan plasebo. Adalimumab 40mg dua kali
seminggu, bagaimanapun, tidak efektif.
Evaluasi infliximab 5mg / kg dalam RCT dari 38 pasien dengan HS
sedang hingga berat tidak menunjukkan efek signifikan pada titik akhir
primer (peningkatan >50%) dibandingkan dengan plasebo; Namun,
tingkat peningkatan 25 hingga 50 persen yang secara signifikan lebih
tinggi terdeteksi, seperti penurunan skor nyeri DLQI dan VAS. Oleh
karena itu, infliximab direkomendasikan untuk adalimumab. kemanjuran
etanercept (anti-TNF) dan anakinra (anti-IL1) telah diselidiki dalam
laporan kasus dan RCT kecil. Tidak ada perbedaan signifikan yang
ditemukan antara etanercept 50mg mingguan dan plasebo, sedangkan
pengobatan dengan anakinra menghasilkan peningkatan yang signifikan.
Studi yang mengevaluasi kemanjuran obat yang menargetkan IL-12/23
serta IL-17 terbatas tetapi sangat diharapkan di masa depan karena obat ini
menjadi lebih mudah diakses. (Vinkel, 2018)

3. Perawatan bedah.
Lesi persisten dan jaringan parut difus pada HS sulit ditangani
dengan perawatan medis saja dan seringkali membutuhkan pembedahan.
Untuk mendapatkan hasil terbaik, operasi harus dilakukan selama periode
aktivitas inflamasi minimum di HS pasien. Perawatan medis yang
intensif dapat diperlukan sebelum operasi. Prosedur bedah untuk
mengelola HS meliputi eksisi lokal dan luas, insisi dan drainase,
deroofing, dan teknik laser (mis., Karbon dioksida, yttrium aluminium
garnet yttrium yang didoping neodymium [Nd: YAG]). Pilihan untuk
penyembuhan luka pasca operasi termasuk penutupan primer,
penyembuhan luka niat sekunder, atau berbagai teknik rekonstruksi
seperti pencangkokan kulit atau flap kulit. Jenis metode bedah dan jalur
penyembuhan tergantung pada berbagai faktor, seperti lokalisasi dan
ukuran lesi, serta faktor yang
berhubungan dengan pasien. Seperti dengan semua prosedur bedah,
komplikasi pasca operasi termasuk perdarahan, infeksi, kerusakan saraf,
dan penyempitan karena jaringan parut. (Vinkel, 2018)
Tidak ada studi yang memberikan panduan untuk teknik bedah atau
waktu operasi yang paling optimal untuk kapan melakukan operasi di
HS.. Diperlukan studi lebih lanjut dan dilaksanakan dengan baik untuk
mengoptimalkan strategi perawatan bedah untuk HS.Lesi persisten dan
jaringan parut difus pada HS sulit ditangani dengan perawatan medis saja
dan seringkali membutuhkan pembedahan. Untuk mendapatkan hasil
terbaik, operasi harus dilakukan selama periode aktivitas inflamasi
minimum di HS pasien. Perawatan medis yang intensif dapat diperlukan
sebelum operasi. Prosedur bedah untuk mengelola HS meliputi eksisi
lokal dan luas, insisi dan drainase, deroofing, dan teknik laser (mis.,
Karbon dioksida, yttrium aluminium garnet yttrium yang didoping
neodymium [Nd: YAG]). (Vinkel, 2018)
Pilihan untuk penyembuhan luka pasca operasi termasuk penutupan
primer, penyembuhan luka niat sekunder, atau berbagai teknik
rekonstruksi seperti pencangkokan kulit atau flap kulit. Jenis metode
bedah dan jalur penyembuhan tergantung pada berbagai faktor, seperti
lokalisasi dan ukuran lesi, serta faktor yang berhubungan dengan pasien.
Seperti dengan semua prosedur bedah, komplikasi pasca operasi
termasuk perdarahan, infeksi, kerusakan saraf, dan penyempitan karena
jaringan parut. Tidak ada studi yang memberikan panduan untuk teknik
bedah atau waktu operasi yang paling optimal untuk kapan melakukan
operasi di HS.. Diperlukan studi lebih lanjut dan dilaksanakan dengan
baik untuk mengoptimalkan strategi perawatan bedah untuk HS. (Vinkel,
2018)
Insisi dan drainase adalah salah satu prosedur yang paling sering
dilakukan. Namun, prosedur ini dikaitkan dengan tingkat kekambuhan
yang tinggi dan harus dibatasi untuk digunakan untuk pengelolaan abses
yang meradang akut.(Linuwih, 2018)

Eksisi merupakan prosedur yang bermakna pada HS yang dikelola


dengan baik pada pasien dengan lesi yang menetap. Eksisi minor
berhubungan dengan risiko kekambuhan yang tinggi, sedangkan eksisi
luas memiliki tingkat kekambuhan terendah.1 Namun, pengangkatan
seluruh area dapat luas dan membutuhkan keahlian bedah yang tinggi (ahli
bedah umum atau plastik) dan teknik rekonstruktif. (Vinkel, 2018)

3 tahap klinis klasik sebagaimana didefinisikan oleh Hurley


adalah(Revuz, 2004):

a. Tahap 1: Pembentukan abses tunggal atau multipel, tanpa saluran


sinus dan cicatrisation.
b. Tahap 2: Abses berulang, dengan pembentukan saluran dan
cicatrisation. Mungkin ada lesi tunggal atau multipel yang terpisah.
c. Tahap 3: Keterlibatan difus atau hampir difus atau beberapa saluran
dan abses yang saling berhubungan diamati di seluruh area

C. EDUKASI

Edukasi pasien hidradenitis supurativa meliputi(Djuanda, 2013)

1. Mengurangi berat badan untuk mengurangi obesitas


2. Hindari trauma mencabut bulu ketiak
3. Hindari penggunaan obat perontok rambut
4. Hindari penggunaan deodoran
5. Menggunakan pakaian longgar untuk mengurangi gesekan
6. Hindari hiperhidrosis
7. Berhenti merokok
8. Tidak mencukur di kulit yang berjerawat karena mencukur dapat
mengiritasi kulit
9. Menjaga kebersihan kulit
10. Mandi dengan menggunakan sabun dan antiseptik atau
antiperspirant

D. PROGNOSIS

Prognosis umumnya dubia ad bonam Keparahan penyakit ini sangat


bervariasi. Banyak pasien hanya mengalami gejala ringan yang rekuren, dapat
sembuh sendiri, sehingga tidak berobat. Penyakit ini biasanya mengalami
remisi spontan pada usia > 35 tahun. Pada beberapa individu, gejalanya dapat
menjadi progresif, dengan morbiditas nyata terkait pada penyakit kronis,
pembentukan sinus, dan sikatriks yang menimbulkan keterbatasan gerak
(Wolf, 2009)

E. KOMPLIKASI

Komplikasi fisik dan psikologis dapat disebabkan oleh penyakit jangka


panjang yang tidak dikelola. Lesi HS dapat menjadi infeksi sekunder.
Erysipelas dan sepsis setelah infeksi jaringan lunak telah dilaporkan dalam
kasus yang jarang terjadi. Mobilitas sendi yang terganggu karena fibrosis
yang luas dan jaringan parut dapat terjadi, terutama di daerah aksila.
Limfedema dan karsinoma sel skuamosa dapat berkembang di area
peradangan kronis. Komplikasi tambahan akibat peradangan sistemik yang
berkepanjangan termasuk anemia,
hipoalbuminemia, dan amiloidosis AA yang menyebabkan gagal
ginjal.(Pink,2017)

Komplikasi sistemik yang dapat terjadi antara lain disebabkan oleh


infeksi lokal yang dapat menimbulkan septikemia. Anemia atau leukositosis
dapat terjadi namun tidak signifikan. Komplikasi lokal dapat berupa sikatriks
yang membatasi mobilitas. Inflamasi genitofemoral dapat mengakibatkan
striktur anus, uretra, atau rektum. Fistula uretra juga dapat terjadi. Selain itu,
dapat juga terjadi kecacatan persisten pada penis dan skrotum, atau limfedema
vulva yang menyebabkan kerusakan fungsi yang signifikan. Limfedema ini
diduga terjadi karena fibrosis dan obstruksi saluran limfe. Squamous cell
carcinoma (SCC) dapat terjadi pada area yang mengalami inflamasi dan
sikatriks kronis. SCC dilaporkan terjadi pada 3,2% pasien dengan perianal HS
yang terjadi selama 20-30 tahun. SCC sering terjadi pada pria di regio
anogenital. (Pink,2017)
Rasa sakit yang hebat, keluarnya cairan yang berbau busuk, dan lesi
yang tidak jelas di tempat-tempat intim menjadikan HS penyakit yang
memberatkan. Sekuel psikososial yang menyertai HS, seperti rasa malu,
kesadaran diri, isolasi sosial, stigmatisasi, depresi, disfungsi seksual, dan
ketidakmampuan kerja berkontribusi terhadap peningkatan cuti sakit dan
kualitas signifikan dari kerusakan jiwa yang melebihi gangguan kulit yang
melumpuhkan lainnya. (Pink,2017)

Komplikasi dari penyakit yang tidak diobati sejak lama


termasuk(LInette, 2014):

1) Pembentukan fistula - tidak biasa - ke dalam uretra, kandung kemih,


rektum, atau peritoneum.
2) Konsekuensi dari nanah kronis mungkin termasuk anemia,
hipoproteinemia, amiloidosis
3) Artropati perifer dan aksial.
4) Kelesuan kronis dan depresi
5) Obstruksi limfatik dan limfedema anggota badan, skrotum elephantiasis
6) Karsinoma sel skuamosa dapat mempersulit lokalisasi perineum dan
bokong; Risiko kanker tampaknya lebih tinggi untuk pasien dengan HS
daripada di kontrol terutama untuk kanker paru-paru dan bukal Hal ini
dapat dijelaskan oleh tingginya insiden perokok yang terkena HS.
DAFTAR PUSTAKA

Fimmel S and Zouboulrs CC. Cormobities of Hidradenitis Suppurativa


(Acne Inversa). Dermatoendocrinol.2010 Jan-Mar; 2(1): 9-16. Available
from URL:http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3084959/?
tool=pmce ntrez. Accesed on May 22nd, 2011.

Fite D. Hidradenitis Suppurativa in Emergency Medicine. May 2010.


Emedicine. Available from URL:
http://emedicine.medscape.com/article/762444-overview. Accesed on may
22nd, 2011.

Gulliver W, Zouboulis CC, Prens E, et al. Evidence-based approach to the


treatment of hidradenitis suppurativa/acne inversa, based on the European
guidelines for hidradenitis suppurativa. Rev Endocr Metab Disord.
2016;17(3):343–351.

Ingram JR, Woo PN, Chua SL, et al. Interventions for hidradenitis
suppurativa: a Cochrane systematic review incorporating GRADE
assessment of evidence quality. Br J Dermatol. 2016;174(5):970–978.

James WD, Berger TG, and Elston DM. Andrews’ Disease of the Skin
Clinical Dermatology, 10th edition. Philadelphia: saunders Elsevier. 2006.

Linuwih, Sri. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.FKUI. 2018. Ed.7.

Linette J, Margesson, MD, FRCPC, Assistant Professor of Obstetrics and


Gynecology and Surgery (Dermatology). Hidradenitis Suppurativa.
Elsevier. 2014:1-15
Parks RW and Parks TG. Pathogenesis, Clinical Features and Management
of Hidradenitis Suppurativa (Review). Ann R Coll Surg Engl 2008; 79: 83-
89.

Pink A, Anzengruber F, and Navarini AA. Acne and Hidradenitis Supurativa.


British Journal of Dermatology. 2018.:17(1):2-8

Revuz J. Hidradenitis suppurativa. Orphanet Encyclopedia. March 2004.


Available from URL: http://www.orpha.net/data/patho/GB/uk-hidradenitis-
suppurativa.pdf. Accesed on May 22nd, 2011.

Sartorius, K., Emtestam, L., Lapins,J. & Johansson, O. 2010. Cutaneous PGP
9.5 Distribution Patterns In Hidradenitis Suppurativa. Archives of
Dermatological Research, 302,pp. 461-8.

Soepardiman L. ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN. 5TH Ed.


Jakarta: FKUI. 2007: p. 296-298

Vinkel C and Thomsen S. Hidradenitis Suppurativa: Causes, Features, and


Current Treatments. J Clin Aesthet Dermatol. 2018;11(10):17–23

Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, et al. Fitzpatrick’s Dermatology in


General Medicine, 7th edition. US: Mc Graw Hill Medical. 2008.

Wolf K and Johnson RA. Fitzpatrick’s Color Atlas and Synopsis of Clinical
Dermatology 6th edition. US: Mc Graw Hill Medical. 2009

Anda mungkin juga menyukai