Disusun Oleh:
dr. Hazel Faras Alhafiz
Dokter Pendamping:
dr. Rahmi Fadhilla, Sp. KKLP
Dengan penuh rasa syukur dan puji, saya mengucapkan terima kasih
kepada Allah SWT yang telah melimpahkan ilmu, rahmat, dan karunia-Nya
sehingga saya dapat menyelesaikan Laporan Kasus yang berjudul "Tatalaksana
Pasien Sepsis Et Causa Infeksi Saluran Kemih di Ruang Rawat Inap Puskesmas
Muaro Bodi". Laporan Kasus ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi
untuk menyelesaikan Program Internship Dokter Indonesia.
Saya juga ingin menyampaikan terima kasih kepada dr. Rahmi Fadhilla,
Sp. KKLP selaku pendamping yang telah membimbing dan mendampingi saya
dalam penulisan makalah ini. Tidak lupa, saya juga berterima kasih kepada
seluruh staf Puskesmas yang telah meluangkan waktu untuk membimbing saya
selama menyelesaikan makalah Laporan Kasus ini.
Saya menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna, oleh karena itu,
dengan rendah hati, saya mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
berbagai pihak demi kesempurnaan makalah ini. Saya berharap makalah ini dapat
memberikan manfaat bagi semua pihak yang membacanya.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
BAB 1......................................................................................................................1
BAB 2......................................................................................................................4
2.1.1 Definisi....................................................................................................4
2.1.2 Etiologi....................................................................................................4
2.1.3 Klasifikasi................................................................................................5
2.1.4 Pathogenesis............................................................................................6
2.1.6 Diagnosis.................................................................................................8
2.1.7 Penatalaksanaan.......................................................................................9
2.1.8 Pencegahan............................................................................................14
2.2 Sepsis............................................................................................................15
2.2.1 Definisi..................................................................................................15
2.2.2 Epidemiologi..........................................................................................16
2.2.4 Patogenesis............................................................................................17
2.2.5 Diagnosis...............................................................................................18
2.2.6 Tatalaksana............................................................................................21
BAB 3....................................................................................................................26
iii
3.2 Anamnesis....................................................................................................26
3.7 Diagnosis......................................................................................................29
3.8 Tatalaksana...................................................................................................30
BAB 4....................................................................................................................32
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................34
iv
BAB 1
PENDAHULUAN
1
Infeksi saluran kemih bila berprogresi dapat menyebabkan sepsis. Sepsis
adalah kondisi yang membahayakan nyawa akibat ketidakseimbangan respon
tubuh terhadap infeksi. Sepsis dapat menimbulkan komplikasi berupa kegagalan
organ, tekanan darah rendah, dan kematian. Sepsis muncul sebagai akibat dari
infeksi yang mengaktifkan sistem kekebalan tubuh yang pro-inflamasi dan
antiinflamasi. Aktivasi rantai reaksi tersebut mengakibatkan gangguan pada
sistem pembekuan darah, keadaan imun yang lemah, dan kerusakan organ pada
tingkat sel, jaringan, dan organ.2
Sepsis menjadi masalah kesehatan global yang mempengaruhi lebih dari
30 juta orang dan menyebabkan sekitar 6 juta kematian setiap tahun di seluruh
dunia. Angka kematian akibat sepsis bervariasi di berbagai negara, mulai dari
20% hingga 41%. Di Indonesia, data sepsis masih terbatas, tetapi sebuah studi
menunjukkan bahwa sepsis menyebabkan kematian pada 58,3% dari 14.076
pasien yang diteliti. Infeksi multifokal, diare, kelainan pada fase neonatal, dan
infeksi saluran napas bawah adalah penyebab utama sepsis dan kematian terkait
sepsis.4,5
Manifestasi klinis sepsis beragam karena sepsis adalam sindrom yang
berdampak pada sistem organ tubuh. Presentasi awal sepsis dimulai dari
perubahan tanda-tanda vital seperti suhu tubuh abnormal. Suhu tubuh bisa demam
di atas 38oC atau hipotermia di bawah 36oC. Nadi tubuh meningkat di atas 90
pada keadaan sepsis. Sepsis juga menyebabkan meningkatnya laju napas. Tanda-
tanda sepsis berat meliputi kesadaran terganggu, oliguria atau anuria, hipoksia,
sianosis, dan ileus. Pasien sepsis dapat mengalami syok, yaitu hipotensi dan
menurunnya tekanan nadi. Pada pasien sepsis, tanda utama penyakit salah satunya
adalah asidosis laktat dan menurunnya mean arterial pressure.6
Diagnosis sepsis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Penyakit sepsis adalah penyakit kegawatdaruratan dan
dapat ditemukan pada primary survei berupa hipotensi, menurunnya tekanan nadi,
menurunnya mean arterial pressure, demam tinggi atau hipotermia, akral dingin,
capillary refill time lebih dari dua detik, oliguria atau anuria, dan kesadaran
terganggu. Kelainan diikutsertakan oleh gejala dari masing-masing sistem tubuh.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan darah lengkap
2
dan kimia darah. Pemeriksaan darah lengkap dapat menemukan tanda
leukositosis, trombositopenia, uremia, penurunan kreatinin, penurunan
glomerular filtration rate, dan anemia. Pemeriksaan kimia darah dapat
menemukan tanda asidosis laktat, koagulopati, meningkatnya enzim hepar dan
bilirubin, dan hiperglikemia. Diagnosis sepsis menggunakan skoring qSOFA
sebagai skrining sepsis, skor SIRS untuk diagnostik, skor SOFA untuk mengukur
prognosis.7
Penatalaksanaan sepsis dimulai dari primary survei. Jalur napas dan
oksigenisasi harus diterapkan. Tatalaksana sirkulasi, terapi vasopresor, dan
antibiotik dilakukan dalam satu paket one hour bundle dan dilakukan dalam satu
jam pertama pasien diterima. Infus bolus dilakukan dengan cairan kristaloid dalam
satu jam pertama beserta terapi lainnya yang termasuk one hour bundle. Terapi
antibiotik yang diberikan bersifat broad spectrum. Norefinefrin digunakan untuk
memperbaiki kondisi syok. Kultur bakteri diambil dalam satu jam pertama supaya
dapat diberikan antibiotik spesifik. Asam laktat dimonitor dalam satu jam pertama
untuk mengukur prognosis pasien.8
3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Definisi
Pada keadaan normal urin adalah steril. Umumnya ISK disebabkan oleh
kuman gram negatif. Escherichia coli merupakan penyebab terbanyak baik pada
yang simtomatik maupun yang asimtomatik yaitu 70 - 90%. Enterobakteria seperti
Proteus mirabilis (30 % dari infeksi saluran kemih pada anak laki-laki tetapi
kurang dari 5 % pada anak perempuan ), Klebsiella pneumonia dan Pseudomonas
aeruginosa dapat juga sebagai penyebab. Organisme gram positif seperti
Streptococcus faecalis (enterokokus), Staphylococcus epidermidis dan
Streptococcus viridans jarang ditemukan. Pada uropati obstruktif dan kelainan
struktur saluran kemih pada anak laki-laki sering ditemukan Proteus species. Pada
ISK nosokomial atau ISK kompleks lebih sering ditemukan kuman Proteus dan
Pseudomonas.3
4
Tabel 1. Famili, genus dan spesies mikroorganisme yang paling sering
sebagai penyebab ISK:1
2.1.3 Klasifikasi
5
saluran kemih dan refluks vesikoureter dengan atau tanpa bakteriuria kronik
sering diikuti pembentukan jaringan ikat parenkim ginjal yang ditandai
pielonefritis kronik yang spesifik. Bakteriuria asimtomatik kronik pada
orang dewasa tanpa faktor predisposisi tidak pernah menyebabkan
pembentukan jaringan ikat parenkim ginjal.1
2.1.4 Pathogenesis
6
perubahan bergantung pada dari respon faktor luar. Konsep variasi fase MO ini
menunjukan ini menunjukkan peranan beberapa penentu virulensi bervariasi di
antara individu dan lokasi saluran kemih. Oleh karena itu, ketahanan hidup
bakteri berbeda dalam kandung kemih dan ginjal.
d. Peranan Faktor Tuan Rumah (host)
- Faktor Predisposisi Pencetus ISK. Penelitian epidemiologi klinik mendukung
hipotensi peranan status saluran kemih merupakan faktor risiko atau pencetus
ISK. Jadi faktor bakteri dan status saluran kemih pasien mempunyai peranan
penting untuk kolonisasi bakteri pada saluran kemih. Kolonisasi bacteria sering
mengalami kambuh (eksasebasi) bila sudah terdapat kelainan struktur anatomi
saluran kemih. Dilatasi saluran kemih termasuk pelvis ginjal tanpa obstruksi
saluran kemih dapat menyebabkan gangguan proses klirens normal dan sangat
peka terhadap infeksi. Endotoksin (lipid A) dapat menghambat peristaltik
ureter. Refluks vesikoureter ini sifatnya sementara dan hilang sendiri bila
mendapat terapi antibiotika. Proses pembentukan jaringan parenkim ginjal
sangat berat bila refluks visikoureter terjadi sejak anak-anak. Pada usia dewasa
muda tidak jarang dijumpai di klinik gagal ginjal terminal (GGT) tipe kering,
artinya tanpa edema dengan/tanpa hipertensi.
- Status Imunologi Pasien (host). Penelitian laboratorium mengungkapkan
bahwa golongan darah dan status sekretor mempunyai konstribusi untuk
kepekaan terhadap ISK. Prevalensi ISK juga meningkat terkait dengan
golongan darah AB, B dan PI (antigen terhadap tipe fimbriae bakteri) dan
dengan fenotipe golongan darah Lewis.1
7
2.1.5 Gambaran Klinis
a. Pielonefritis Akut (PNA). Presentasi klinis PNA seperti panas tinggi (39,5-40,5
°C), disertai mengigil dan sekit pinggang. Presentasi klinis PNA ini sering
didahului gejala ISK bawah (sistitis).
b. ISK bawah (sistitis). Presentasi klinis sistitis seperti sakit suprapubik, polakisuria,
nokturia, disuria, dan stanguria.
c. Sindroma Uretra Akut (SUA). Presentasi klinis SUA sulit dibedakan dengan
sistitis. SUA sering ditemukan pada perempuan usia antara 20-50 thun. Presentasi
klinis SUA sangat minimal (hanya disuri dan sering kencing) disertai cfu/ml urin
<105; sering disebut sistitis abakterialis.
d. ISK rekuren. ISK rekuren terdiri 2 kelompok; yaitu:
a). Re-infeksi (re-infections). Pada umumnya episode infeksi dengan interval >6
minggu mikroorganisme (MO) yang berlainan.
b). Relapsing infection. Setiap kali infeksi disebabkan MO yang sama, disebabkan
sumber infeksi tidak mendapat terapi yang adekuat.1
2.1.6 Diagnosis
8
Pemeriksaan yang paling ideal untuk deteksi adanya ISK adalah kultur
urin. Untuk menegakkan diagnosis ISK bergejala (sistitis akut dan pielonefritis),
nilai ambang batas yang digunakan adalah 10 3 colony forming units/ml (cfu/mL).
Untuk ISK tak bergejala (bakteriuria asimtomatik), nilai ambang batas yang
digunakan adalah 105 cfu/mL. Dalam diagnosis bakteriuria asimtomatik pada
perempuan, termasuk ibu hamil, harus digunakan sampel yang berasal dari urin
pancar tengah yang diambil secara bersih (midstream, clean-catch urine sample).
Masalah yang ada di negara yang sedang berkembang umumnya adalah layanan
kesehatan dengan fasilitas yang terbatas. Pada layanan tersebut, umumnya fasilitas
untuk kultur urin tidak ada. Masalah lain dalam penggunaan kultur urin sebagai
teknik skrining bakteriuria asimtomatik adalah biaya yang cukup tinggi dan waktu
yang cukup lama untuk mendapatkan hasil. Diagnosis ISK dapat ditegakkan
dengan metode tidak langsung untuk deteksi bakteri atau hasil reaksi inflamasi.
Metode yang sering dipakai adalah tes celup urin, yang dapat digunakan untuk
deteksi nitrit, esterase leukosit, protein, dan darah di dalam urin.9
Investigasi lanjutan terutama renal imaging procedures tidak boleh rutin,
harus berdasarkan indikasi yang kuat. Pemeriksaan radiologis dimaksudkan untuk
mengetahui adanya batu atau kelainan anatomis yang merupakan faktor
predisposisi ISK. Renal imaging procedures untuk investigasi faktor predisposisi
ISK, antara lain : ultrasonogram (USG), radiografi (foto polos perut, pielografi
IV, micturating cystogram), dan isotop scanning.1
2.1.7 Penatalaksanaan
9
2.1.7.2 ISK Bawah Komplikata
Ciprofloxacin 500 mg, 2 kali sehari, per oral, selama 7-14 hari
Terapi yang diutamakan adalah terapi oral. Terapi intravena dapat dipilih jika
pasien tidak dapat mentoleransi terapi oral. Durasi terapi adalah sesingkat
mungkin sesuai dengan respon klinis pasien. Jika dirasa perlu, maka dapat
digunakan terapi dengan durasi lebih panjang (10-14 hari). Pada pasien yang
mendapat terapi intravena, dapat dilakukan konversi ke terapi oral segera setelah
gejala klinis membaik.
10
Pada pasien ISK atas nonkomplikata, masih dapat dilakukan terapi rawat jalan
namun ada indikasi rawat inap. Untuk pemberian antibiotik empiris awal pada
pasien dengan pyelonephritis akut yang tidak memerlukan rawat inap, dapat
diberikan fluoroquinolone oral sampai diperoleh hasil dari tes kultur. Pilihan
terapi oral antara lain:
11
Meropenem 500–1000 mg IV, setiap 8 jam
12
Table 3. rekomendasi terapi antibiotik empiris pada pielonefritis akut
dengan komplikasi pada wanita.4
2.1.8 Pencegahan
13
Sebagian kuman yang berbahaya hanya dapat hidup dalam tubuh manusia.
Untuk melangsungkan kehidupannya, kuman tersebut harus pindah dari orang
yang telah kena infeksi kepada orang sehat yang belum kebal terhadap kuman
tersebut. Kuman mempunyai banyak cara atau jalan agar dapat keluar dari orang
yang terkena infeksi untuk pindah dan masuk ke dalam seseorang yang sehat.
Kalau kita dapat memotong atau membendung jalan ini, kita dapat mencegah
penyakit menular. Kadang kita dapat mencegah kuman itu masuk maupun keluar
tubuh kita. Kadang kita dapat pula mencegah kuman tersebut pindah ke orang
lain.11
Pada dasarnya ada tiga tingkatan pencegahan penyakit secara umum, yaitu
pencegahan tingkat pertama (primary prevention) yang meliputi promosi
kesehatan dan pencegahan khusus, pencegahan tingkat kedua (secondary
prevention) yang meliputi diagnosis dini serta pengobatan yang tepat, dan
pencegahan tingkat ketiga (tertiary prevention) meliputi pencegahan terhadap
cacat dan rehabilitasi. Ketiga tingkatan pencegahan tersebut saling berhubungan
erat sehingga dalam pelaksanaannya sering dijumpai keadaan tumpang tindih. 11
Beberapa pencegahan infeksi saluran kemih dan mencegah terulang
kembali, yaitu:
1. Jangan menunda buang air kecil, sebab menahan buang air seni merupakan
sebab terbesar dari infeksi saluran kemih.
2. Perhatikan kebersihan secara baik, misalnya setiap buang air seni, bersihkanlah
dari depan ke belakang. Hal ini akan mengurangi kemungkinan bakteri masuk
ke saluran urin dari rektum.
3. Ganti selalu pakaian dalam setiap hari, karena bila tidak diganti, bakteri akan
berkembang biak secara cepat dalam pakaian dalam.
4. Pakailah bahan katun sebagai bahan pakaian dalam, bahan katun dapat
memperlancar sirkulasi udara.
5. Hindari memakai celana ketat yang dapat mengurangi ventilasi udara, dan dapat
mendorong perkembangbiakan bakteri.
6. Minum air yang banyak. 11
2.2 Sepsis
2.2.1 Definisi
14
Sepsis adalah keadaan yang mengancam jiwa karena respon tubuh yang
tidak seimbang terhadap infeksi. Sepsis bisa menyebabkan masalah seperti
kegagalan organ, hipotensi, dan kematian. Sepsis terjadi karena infeksi yang
memicu sistem imun yang pro-inflamasi dan antiinflamasi. Pemicuan reaksi
berantai ini menyebabkan gangguan pada sistem koagulasi darah, kelemahan
imun, dan kerusakan organ pada tingkat seluler, jaringan, dan organ.2
Definisi sepsis pertama ditetapkan sebagai systemic inflammatory
response syndrom (SIRS). Kriteria SIRS terpenuhi jika terdapat dua antara tanda-
tanda berikut:
Kondisi SIRS menjadi sepsis berat bila disertai kerusakan organ, hipoperfusi
jaringan, atau hipotensi. Sepsis berat menjadi syok sepsis bila setelah resusitasi
kondisi tidak membaik. 2
Definisi sepsis dan syok sepsis mengalami perubahan pada tahun 2016 oleh
komite Sepsis-3. Sepsis didefinisikan sebagai kondisi yang mengancam jiwa
akibat respons inang yang tidak teratur terhadap infeksi, yang menyebabkan
disfungsi organ. Syok sepsis didefinisikan sebagai kelainan sirkulasi, seluler, dan
metabolik pada pasien sepsis, yang ditunjukkan dengan hipotensi yang tidak
responsif terhadap cairan dan memerlukan vasopresor, serta hipoperfusi jaringan
dengan laktat tinggi (> 2 mmol/L). Klasifikasi sepsis berat tidak digunakan lagi. 2
15
2.2.2 Epidemiologi
Sepsis adalah sekuale dari penyakit infeksi pada manusia. Faktor risiko
terjadinya sepsis antara lain usia sangat muda, kelemahan sistem imun seperti
pada pasien keganasan dan diabetes melitus, trauma, atau luka bakar mayor.
Penyebab iatrogenik dapat menjadi penyebab sepsis. Penyebab sepsis tergantung
tiap kasus, dan infeksi fokalnya. Tempat infeksi fokal tersering dimulai dari paru-
paru (64%), perut (20%), hematogen (15%), dan saluran kemih kemanin (14%).
Sebanyak 47% penyebab tersering sepsis adalah bakteri Gram positif dengan
Staphylococcus aureus sebesar (20%). Selanjutnya, 62% bakteri berupa Gram
negatif seperti Pseudomonas sp. dan E. coli. 19% penyebab adalah jamur. Infeksi
methicillin resistant S aureus dapat terjadi dan dapat meningkatkan mortalitas
pada kasus sepsis.2
2.2.4 Patogenesis
16
pembuluh darah. Bila terganggu, maka akan terjadi aktivasi kaskade koagulasi,
vasodilatasi, dan rusaknya fungsi barier pembuluh darah. Kondisi ini
menyebabkan edema jaringan, hipoperfusi jaringan, dan syok. 4
Aktivasi kaskade koagulasi terjadi akibat pelepasan tissue factor yang
menyebabkan produksi trombin, aktivasi platelet, dan pembentukan fibrin clots.
Kondisi ini dapat menyebabkan hipoksia jaringan dan disfungsi organ. Pada
kondisi sepsis, terjadi trombositopenia ringan hingga disseminated intravascular
coagulation (DIC). 4
Rusaknya fungsi barier pembuluh darah menyebabkan edema paru,
hipoperfusi, dan kurangnya fungsi paru yang berprogresi menjadi distress
respirasi akut. Rusaknya endotel secara sistemik menyebabkan rusaknya sistem
organ. Sitokin sebagai agen inflamasi meningkat di jaringan. Kerusakan organ
yang terjadi seperti meningkatnya kadar bilirubin dan ezim hati dan menurunnya
filtrasi ginjal.
Hipoperfusi pada jaringan otak menyebabkan gangguan jaras pada otak
dan menurunnya kesadaran. Jaringan otak dapat mengalami edema karena sitokin
masuk ke jaringan otak sehingga mengganggu kerja otak dan terjadinya herniasi
otak. 4
Fase rusaknya jaringan tubuh dapat berlanjut jadi fase disfungsi sistem
imun. Sitokin dari sel T mengalami penurunan karena apoptosis sel T. Keadaan
ini mengakibatkan eliminasi penyebab terganggu. Sitokin dapat membuat tubuh
memprodiksi reactive oxygen species (ROS) yang merusak jaringan secara
seluler.
Hipoperfusi pada jaringan tubuh dapat menyebabkan meningkatnya kadar
laktat dalam tubuh karena meningkatnya reaksi anaerobik pada metabolisme.
Pengukuran kadar laktat dilakukan untuk mengetahui prognosis.4
2.2.5 Diagnosis
Diagnosis dimulai dari survei primer. Pada jalur napas dan pernapasan
dapat terjadi terhalangnya jalur napas dan apnea. Pasien dapat kehilangan
kesadarn sehingga jalur napas tidak paten. Pada sirkulasi, tanda-tanda yang
didapat sebagai berikut:
17
a. Tekanan darah menurun di bawah 90/60
b. Suhu tubuh di atas 38oC atau di bawah 36oC
c. Nadi meningkat di atas 90 kali per menit
d. Akral dingin
e. Capillary refill time lebih dari dua detik
f. Tanda-tanda gagal organ
a. Oliguria
b. Jaundice
c. Edema paru
Sepsis ditetapkan jika dua dari kriteria SIRS terpenuhi dan disertai infeksi.
Sepsis berat ditetapkan apabila ada tanda kerusakan organ dan termasuk kadar
serum laktat di atas 2 mmol/liter. Syok sepsis ditetapkan sebagai sepsis dengan
hipotensi yang tidak membaik setelah resusitasi cairan, membutuhkan vasopresor,
atau level laktat sama atau di atas 4 mmol/L.
Selain SIRS, alat diagnostik sepsis yang digunakan adalah skoring qSOFA.
Namun, Panduan Surviving Sepsis Campaign menyatakan qSOFA tidak
direkomendasi sebagai alat diagnosis. Kriteria qSOFA terpenuhi jika terdapat dua
dari tanda berikut:
18
Skor SOFA digunakan untuk mengukur prognosis pasien sepsis. Skor di
bawah 9 mengindikasikan mortalitas <33%. Sedangkan, skor >11 memprediksi
mortalitas 95%.
19
Skor
Sistem Organ 0 1 2 3 4
<200 (26,7)
Respirasi:
Dengan <100 (13,3)
PO2 /FiO2, mmHg bantuan Dengan
(kPa) respirasi bantuan
≥400 (53,3) <400 (53,3) <300 (40) respirasi
Koagulasi:
Bilirubin, mg/dL
<1,2 <1,2 – 1,9 2,0 – 5,9 6,0 – 11,9 >12,0
Dopamin 5,1 Dopamin >
– 15 15
stau atau
atau atau
Dopamin < 5
Mean Mean atau Norepinefrin Norepinefin
arterial arterial ≤0,1 > 0,1 µg/
pressure ≥ pressure < Dobutamin (dosis µg/kg/menit kg/menit
Kardiovaskular 70 mmHg 70 mmHg berapapun)
Sistem saraf pusat:
20
2.2.6 Tatalaksana
a) Mengukur kadar laktat. Ulangi pengukuran kadar laktat jika laktat >2
mmol/L
b) Ambil kultur darah sebelum pemberian antibiotic
c) Pemberian antibiotic broad-spectrum
d) Pemberian resusitasi cairan bolus 30 mL/kg jika hipotensi atau laktat >= 4
mmol/L dengan target Mean Arterial Pressure >=65 mmHg
e) Pemberian obat vasopressor setelah resusitasi cairan untuk
mempertahankan MAP
2.2.6.2 Resusitasi
Resusitasi harus segera dilakukan bila didapatkan keadaan hipoperfusi.
Selama 6 jam pertama resusitasi, tujuan dari resusitasi pada pasien sepsis-induced
hypoperfusion adalah:
a) CVP 8–12 mm Hg
Pasien yang menggunakan ventilasi dengan diketahui komplians
ventrikular yang menurun dan pasien dengan tekanan abdominal tinggi,
target CVP nya lebih tinggi yaitu 12-15 mmHg.
b) MAP ≥ 65 mm Hg
c) Urine output ≥ 0.5 mL·kg·hr
21
d) Saturasi oksigenisasi superior vena cava (Scvo2) atau mixed venous
oxygen saturation (SvO2) 70% or 65%,
Target resusitasi adalah untuk menormalkan laktat pada pasien dengan level
laktat meningkat yang merupakan marker dari hipoperfusi jaringan. Terapi cairan
(kristaloid dan/atau koloid), vasopresor/inotropik, dan transfusi bila diperlukan.
Bila dalam 6 jam resusitasi, saturasi oksigen tidak mencapai 70% atau mixed
venous oxygen saturation (SvO2) kurang dari 70% dengan resusitasi cairan,
transfusi PRC untuk mencapai hematokrit >30% dan/atau pemberian dobutamin
(sampai maksimal 20 μg/kg/menit). Untuk mencapai cairan yang adekuat
pemberian cairan inisial kristaloid, minumun 30 ml/kg untuk dewasa dan
tambahan albumin pada pasien yang membutuhkan cukup banyak kristaloid untuk
mempertahankan cukup MAP. Sebaiknya menghindari hetactarh, karena koloid
buatan tidak terbukti menguntungkan melainkan meningkatkan resiko gagal ginjal
akut.
Patogen umum yang sering menyebabkan syok septik adalah gram positif,
diikuti gram negatif dan mikroorganisme campuran. Kandidiasis, sindrom syok
toksik, dan patogen uncommon harus dipertimbangkan pada pasien tertentu.
Iinisial kombinasi untuk pasien neutropenia dengan sepsis berat dan untuk pasien
dengan sulit untuk disembuhkan, Untuk memilih terapi empirik, klinisi harus
mempertimbangkan mengenani virulensi dan prevalensi methicillin resistant
22
staphylococcus aureus dan resistensi spektrum luas beta laktam dan carbapenem
untuk gram negatif bacilli di beberapa komunitas dan seting kesehatan.
23
Sumber Infeksi Penyebab Sepsis Rekomendasi Contoh Antibiotik
antibiotik
Respirasi Pneumonia komunitas B-Lactam Ceftriaxone, cefotaxime,
ampicillin/sulbactam
24
2.2.6.4 Kontrol Sumber
2.2.6.5 Oksigenasi
Pada keadaan hipoksemia berat dan gagal napas bila disertai dengan
penurunan kesadaran atau kerja ventilasi yang berat, ventilasi mekanik segera
dilakukan. Pada pasien dengan acute respiratory distress syndrome (ARDS),
dapat ditemukan tanda tanda edema paru. Strategi pemberian oksigenasi pada
kasus ARDS yang disarankan adalah dengan volume tidal rendah (6 ml/kg).
Selain itu, disarankan juga untuk melakukan prone ventilation lebih dari 12 jam
sehari.
2.2.6.6 Vasopresor
25
2.2.6.7 Terapi Inotropik
2.2.6.8 Steroid
26
pembekuan yang abnormal kecuali ditemukan adanya perdarahan atau
direncanakan prosedur invasif. Pemberian trombosit dilakukan bila hitung
trombosit <5000/mm3 tanpa memperhatikan perdarahan.
BAB 3
ILUSTRASI KASUS
Nama : Ny. L
Usia : 59 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Status Perkawinan : Menikah
Alamat : Jr. Koto Panjang
3.2 Anamnesis
Keluhan Utama
Pasien datang ke IGD Puskesmas Muaro Bodi pada tanggal 17 Maret 2023, pukul
20.00 WIB dengan keluhan demam sejak 7 hari sebelum datang ke Puskesmas
Muaro Bodi.
27
- Pasien menyangkal adanya lesi pada kulit.
- Pasien menyangkal adanya keluhan sakit kepala, lemah badan, dan kejang-
kejang.
Riwayat Pengobatan
Pasien tidak mengonsumsi obat-obatan secara rutin. Pasien belum berobat ke
dokter sebelum datang ke puskesmas. Pasien tidak menerima vaksin dan tindakan
bedah sebelumnya.
Riwayat Alergi
Tidak ada riwayat alergi obat-obatan maupun alergi makanan pada pasien.
28
3.3 Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
- Kepala : Normochepal
- Kulit : Turgor kulit baik
- KGB : Tidak ditemukan pembesaran KGB
- Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
- Hidung : Tidak ditemukan kelainan
- Telinga : Tidak ditemukan kelainan
- Mulut : Lidah bersih, tonsil T1/T1, faring tidak hiperemis
- Leher : Tidak ditemukan kelainan
- Paru
o Inspeksi : Dinding dada dan pergerakannya simetris kanan-
kiri
o Palpasi : Fremitus sama kanan-kiri
o Perkusi : Sonor
o Auskultasi : SN Vesikuler, Rh -/-, Wh -/-
- Jantung
o Inspeksi : Iktus kordis (IC) tidak terlihat
o Palpasi : IC teraba 1 jari medial LMCS RIC V
29
o Perkusi : Batas atas RIC II, Batas kanan LSD, Batas kiri 1
jari medial LMCS RIC V
o Auskultasi : S1 S2 reguler,, murmur (-), gallop (-)
- Abdomen
o Inspeksi : Distensi (-), tampak simetris
o Palpasi : Supel, nyeri tekan (+) regio hipogastrium, nyeri
lepas (-), hepar dan lien tidak teraba, massa (-)
o Perkusi : Nyeri ketok (-), timpani diseluruh regio abdomen,
nyeri CVA (+/+)
o Auskultasi : Bising usus (+) normal
- Ekstremitas : Akral dingin, CRT < 2 detik
Kimia Klinik
30
3.7 Diagnosis
31
3.8 Tatalaksana
Tatalaksana Non-Farmakologis
- Bed Rest
- Diet Makanan Lunak
Tatalaksana Farmakologis
- IVFD RL 30 tpm
- Antasida tab 400 mg 3x1 po
- Vitamin B Complex tab 3x1 po
- Cotrimoxazol 480 mg tab 2x2 po
- Parasetamol 500 mg tab 3x1 po
32
3.9 Follow Up Pasien
Tabel 3.1 Follow Up Pasien di Ruang Rawat Inap Puskesmas Muaro Bodi
33
BAB 4
DISKUSI
34
memberat. Pasien mengeluhkan BAK tidak keluar selama satu hari terakhir dan
kondisi umum pasien memberat. Tekanan darah dan tekanan nadi pasien
berkurang dari 85/65 menjadi 79/62. Suhu tubuh pasien mencapai 38,8oC. Nadi
meningkat menjadi 105 kali per menit dan laju napas menjadi 25 kali per menit.
Tanda-tanda sepsis ditemukan pada perawatan hari ketiga. Nadi yang
meningkat, suhu tubuh meningkat, laju napas meningkat, dan disertai hasil
pemeriksaan darah rutin leukositosis serta infeksi salurah kemih menunjukkan
gejala sepsis. Gejala anuria pasien menunjukkan bahwa mulai muncul tanda-tanda
kerusakan organ.
Tatalaksana yang diberikan pada hari pertama perawatan adalah infus
intravena ringer laktat sebanyak 30 tetes per menit untuk menjaga maintenance
asupan cairan pasien. Diberikan antasida untuk keluhan nyeri ulu hati pasien.
Pasien mendapatkan obat Vitamin B Complex dan Parasetamol untuk mengatasi
keluhan anoreksia dan demam. Untuk penanganan ISK Atas pasien diberikan
Cotrimoxazol.
Dari tanda-tanda sepsis di hari ketiga perawatan, dapat ditemukan bahwa
keluhan pasien tidak membaik. Penanganan sepsis membutuhkan ruang rawat
inap intensif untuk pemberian antibiotik infus, vasopresor, intubasi, dan
pemeriksaan laktat. Keluarga pasien diberikan anjuran rujuk ke RSUD Sijunjung.
Pasien ingin rujuk secara umum ke RSUD M. Natsir Solok dan meminta pulang
paksa.
Pemeriksaan penunjang diperlukan untuk menegakkan diagnosis, dimana
pada pasien ini dilakukan pemeriksaan darah lengkap, pemeriksaan widal, dan
pemeriksaan NS1. Dari pemeriksaan darah lengkap ditemukan leukositosis dan
trombositopenia. Pada pemeriksaan widal diketahui jika widal positif dengan titer
S. typhi O sebesar 1/320. Pemeriksaan NS1 dilakukan untuk menyingkirkan
diagnosis banding demam dengue, dimana hasil pemeriksaan NS1 pada pasien ini
negatif. Pada pemeriksaan widal, interpretasi positif jika titer aglutinin O minimal
1/320 atau terdapat kenaikan titer hingga 4 kali lipat pada pemeriksaan ulang
dengan interval 5 – 7 hari.
35
DAFTAR PUSTAKA
1. Sukandar, E. Infeksi saluran kemih pada pasien dewasa. Dalam: Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2007. (Edisi IV; vol.
Jilid I).
5. Purba AKR, Mariana N, Aliska G, Wijaya SH, Wulandari RR, Hadi U, dkk.
The burden and costs of sepsis and reimbursement of its treatment in a
developing country: An observational study on focal infections in Indonesia.
Int J Infect Dis. Juli 2020;96:211–8.
10. Naber KG, Bergman B, Bishop MC, Bjerklund-Johansen TE, Botto H, Lobel
B, dkk. EAU guidelines for the management of urinary and male genital tract
infections. Urinary Tract Infection (UTI) Working Group of the Health Care
Office (HCO) of the European Association of Urology (EAU). Eur Urol.
November 2001;40(5):576–88.
36