Anda di halaman 1dari 40

Laporan Kasus

TATALAKSANA PASIEN SEPSIS ET CAUSA INFEKSI SALURAN


KEMIH DI RUANG RAWAT INAP PUSKESMAS MUARO BODI

Disusun Oleh:
dr. Hazel Faras Alhafiz

Dokter Pendamping:
dr. Rahmi Fadhilla, Sp. KKLP

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


PUSKESMAS MUARO BODI
SUMATERA BARAT
2023
KATA PENGANTAR

Dengan penuh rasa syukur dan puji, saya mengucapkan terima kasih
kepada Allah SWT yang telah melimpahkan ilmu, rahmat, dan karunia-Nya
sehingga saya dapat menyelesaikan Laporan Kasus yang berjudul "Tatalaksana
Pasien Sepsis Et Causa Infeksi Saluran Kemih di Ruang Rawat Inap Puskesmas
Muaro Bodi". Laporan Kasus ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi
untuk menyelesaikan Program Internship Dokter Indonesia.
Saya juga ingin menyampaikan terima kasih kepada dr. Rahmi Fadhilla,
Sp. KKLP selaku pendamping yang telah membimbing dan mendampingi saya
dalam penulisan makalah ini. Tidak lupa, saya juga berterima kasih kepada
seluruh staf Puskesmas yang telah meluangkan waktu untuk membimbing saya
selama menyelesaikan makalah Laporan Kasus ini.
Saya menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna, oleh karena itu,
dengan rendah hati, saya mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
berbagai pihak demi kesempurnaan makalah ini. Saya berharap makalah ini dapat
memberikan manfaat bagi semua pihak yang membacanya.

Sijunjung, 10 April 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

BAB 1......................................................................................................................1

1.1 Latar Belakang...............................................................................................1

1.2 Batasan Masalah.............................................................................................3

1.3 Tujuan Penulisan............................................................................................3

1.4 Metode Penulisan...........................................................................................3

BAB 2......................................................................................................................4

2.1 Infeksi Saluran Kemih....................................................................................4

2.1.1 Definisi....................................................................................................4

2.1.2 Etiologi....................................................................................................4

2.1.3 Klasifikasi................................................................................................5

2.1.4 Pathogenesis............................................................................................6

2.1.5 Gambaran Klinis......................................................................................8

2.1.6 Diagnosis.................................................................................................8

2.1.7 Penatalaksanaan.......................................................................................9

2.1.8 Pencegahan............................................................................................14

2.2 Sepsis............................................................................................................15

2.2.1 Definisi..................................................................................................15

2.2.2 Epidemiologi..........................................................................................16

2.2.3 Etiologi dan Faktor Risiko.....................................................................17

2.2.4 Patogenesis............................................................................................17

2.2.5 Diagnosis...............................................................................................18

2.2.6 Tatalaksana............................................................................................21

BAB 3....................................................................................................................26

3.1 Identitas Pasien.............................................................................................26

iii
3.2 Anamnesis....................................................................................................26

3.3 Pemeriksaan Fisik.........................................................................................27

3.4 Diagnosis Kerja............................................................................................29

3.5 Diagnosis Banding.......................................................................................29

3.6 Pemeriksaan Penunjang................................................................................29

3.7 Diagnosis......................................................................................................29

3.8 Tatalaksana...................................................................................................30

3.9 Follow Up Pasien.........................................................................................31

BAB 4....................................................................................................................32

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................34

iv
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Infeksi saluran kemih (ISK) adalah kondisi ketika urin mengandung


mikroorganisme. Ada dua jenis bakteriuria (bakteri dalam urin): bermakna dan
asimtomatik. Bakteriuria bermakna berarti ada pertumbuhan mikroorganisme
lebih dari 105 koloni dalam biakan urin dan disertai gejala ISK. Bakteriuria
asimtomatik berarti tidak ada gejala ISK. Penyebab ISK biasanya adalah kuman
gram negatif seperti Escherichia coli, Proteus mirabilis, Klebsiella pneumonia dan
Pseudomonas aeruginosa. Kuman gram positif jarang ditemukan. Proteus dan
Pseudomonas lebih sering menyebabkan ISK nosokomial atau ISK kompleks.1
Terdapat dua jenis ISK yaitu ISK bawah dan ISK atas. Presentasi klinis
ISK bawah pada perempuan dapat berupa sistitis atau Sindrom Uretra Akut
(SUA), sedangkan pada pria dapat berupa sistitis, prostatitis, epididimis, dan
uretritis. Pada ISK atas, terdapat dua jenis yaitu Pielonefritis akut (PNA) dan
Pielonefritis kronik (PNK). Presentasi klinis PNA meliputi demam tinggi,
menggigil dan sakit pada sekitar pinggang, sedangkan PNK sering diikuti
pembentukan jaringan ikat pada ginjal. ISK rekuren terdiri dari dua kelompok
yaitu re-infeksi dan relapsing infection, dengan perbedaan pada mikroorganisme
penyebab infeksi.1
Secara umum, presentasi klinis ISK bawah meliputi sakit suprapubik,
polakisuria, nokturia, disuria, dan stanguria. Pada perempuan, SUA sering sulit
dibedakan dengan sistitis, dan dapat ditemukan pada usia antara 20-50 tahun.
Sedangkan presentasi klinis ISK atas dapat berupa demam tinggi dan sakit pada
sekitar pinggang. PNK sering diikuti dengan pembentukan jaringan ikat pada
ginjal, sedangkan ISK rekuren dapat terjadi karena re-infeksi atau relapsing
infection. Penting untuk mengetahui presentasi klinis ISK dan jenis ISK yang
terjadi, sehingga dapat memberikan penanganan yang tepat dan menghindari
komplikasi yang lebih serius.3

1
Infeksi saluran kemih bila berprogresi dapat menyebabkan sepsis. Sepsis
adalah kondisi yang membahayakan nyawa akibat ketidakseimbangan respon
tubuh terhadap infeksi. Sepsis dapat menimbulkan komplikasi berupa kegagalan
organ, tekanan darah rendah, dan kematian. Sepsis muncul sebagai akibat dari
infeksi yang mengaktifkan sistem kekebalan tubuh yang pro-inflamasi dan
antiinflamasi. Aktivasi rantai reaksi tersebut mengakibatkan gangguan pada
sistem pembekuan darah, keadaan imun yang lemah, dan kerusakan organ pada
tingkat sel, jaringan, dan organ.2
Sepsis menjadi masalah kesehatan global yang mempengaruhi lebih dari
30 juta orang dan menyebabkan sekitar 6 juta kematian setiap tahun di seluruh
dunia. Angka kematian akibat sepsis bervariasi di berbagai negara, mulai dari
20% hingga 41%. Di Indonesia, data sepsis masih terbatas, tetapi sebuah studi
menunjukkan bahwa sepsis menyebabkan kematian pada 58,3% dari 14.076
pasien yang diteliti. Infeksi multifokal, diare, kelainan pada fase neonatal, dan
infeksi saluran napas bawah adalah penyebab utama sepsis dan kematian terkait
sepsis.4,5
Manifestasi klinis sepsis beragam karena sepsis adalam sindrom yang
berdampak pada sistem organ tubuh. Presentasi awal sepsis dimulai dari
perubahan tanda-tanda vital seperti suhu tubuh abnormal. Suhu tubuh bisa demam
di atas 38oC atau hipotermia di bawah 36oC. Nadi tubuh meningkat di atas 90
pada keadaan sepsis. Sepsis juga menyebabkan meningkatnya laju napas. Tanda-
tanda sepsis berat meliputi kesadaran terganggu, oliguria atau anuria, hipoksia,
sianosis, dan ileus. Pasien sepsis dapat mengalami syok, yaitu hipotensi dan
menurunnya tekanan nadi. Pada pasien sepsis, tanda utama penyakit salah satunya
adalah asidosis laktat dan menurunnya mean arterial pressure.6
Diagnosis sepsis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Penyakit sepsis adalah penyakit kegawatdaruratan dan
dapat ditemukan pada primary survei berupa hipotensi, menurunnya tekanan nadi,
menurunnya mean arterial pressure, demam tinggi atau hipotermia, akral dingin,
capillary refill time lebih dari dua detik, oliguria atau anuria, dan kesadaran
terganggu. Kelainan diikutsertakan oleh gejala dari masing-masing sistem tubuh.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan darah lengkap

2
dan kimia darah. Pemeriksaan darah lengkap dapat menemukan tanda
leukositosis, trombositopenia, uremia, penurunan kreatinin, penurunan
glomerular filtration rate, dan anemia. Pemeriksaan kimia darah dapat
menemukan tanda asidosis laktat, koagulopati, meningkatnya enzim hepar dan
bilirubin, dan hiperglikemia. Diagnosis sepsis menggunakan skoring qSOFA
sebagai skrining sepsis, skor SIRS untuk diagnostik, skor SOFA untuk mengukur
prognosis.7
Penatalaksanaan sepsis dimulai dari primary survei. Jalur napas dan
oksigenisasi harus diterapkan. Tatalaksana sirkulasi, terapi vasopresor, dan
antibiotik dilakukan dalam satu paket one hour bundle dan dilakukan dalam satu
jam pertama pasien diterima. Infus bolus dilakukan dengan cairan kristaloid dalam
satu jam pertama beserta terapi lainnya yang termasuk one hour bundle. Terapi
antibiotik yang diberikan bersifat broad spectrum. Norefinefrin digunakan untuk
memperbaiki kondisi syok. Kultur bakteri diambil dalam satu jam pertama supaya
dapat diberikan antibiotik spesifik. Asam laktat dimonitor dalam satu jam pertama
untuk mengukur prognosis pasien.8

1.2 Batasan Masalah

Laporan Kasus ini membahas mengenai diagnosis dan penatalaksanaan


pada kasus Sepsis e.c. ISK.

1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan Laporan Kasus ini adalah untuk menambah pengetahuan


dan pemahaman mengenai beserta tatalaksananya.

1.4 Metode Penulisan

Laporan Kasus ini ditulis dengan menggunakan metode tinjauan


kepustakaan yang merujuk dari berbagai literatur.

3
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Infeksi Saluran Kemih

2.1.1 Definisi

Infeksi saluran kemih atau ISK merupakan istilah umum yang


menunjukkan keberadaan mikroorganisme dalam urin. Adanya bakteri dalam urin
disebut bakteriuria. Bakteriuria bermakna (significant bacteriuria) : bakteriuria
bermakna menunjukkan pertumbuhan mikroorganisme murni lebih dari sama
dengan 105 colony forming units pada biakan urin. Bakteriuria bermakna mungkin
tanpa disertai presentasi klinis ISK dinamakan bakteriuria asimtomatik (covert
bacteriuria). Sebaliknya bakteriuria bermakna disertai presentasi klinis ISK
dinamakan bakteriuria bermakna simtomatik. Pada beberapa keadaan pasien
dengan presentasi klinis ISK tanpa bakteriuria bermakna.1
2.1.2 Etiologi

Pada keadaan normal urin adalah steril. Umumnya ISK disebabkan oleh
kuman gram negatif. Escherichia coli merupakan penyebab terbanyak baik pada
yang simtomatik maupun yang asimtomatik yaitu 70 - 90%. Enterobakteria seperti
Proteus mirabilis (30 % dari infeksi saluran kemih pada anak laki-laki tetapi
kurang dari 5 % pada anak perempuan ), Klebsiella pneumonia dan Pseudomonas
aeruginosa dapat juga sebagai penyebab. Organisme gram positif seperti
Streptococcus faecalis (enterokokus), Staphylococcus epidermidis dan
Streptococcus viridans jarang ditemukan. Pada uropati obstruktif dan kelainan
struktur saluran kemih pada anak laki-laki sering ditemukan Proteus species. Pada
ISK nosokomial atau ISK kompleks lebih sering ditemukan kuman Proteus dan
Pseudomonas.3

4
Tabel 1. Famili, genus dan spesies mikroorganisme yang paling sering
sebagai penyebab ISK:1

2.1.3 Klasifikasi

1. Infeksi Saluran Kemih (ISK) Bawah


Presentasi klinis ISK bawah tergantung dari gender.
Pada perempuan, terdapat dua jenis ISK bawah pada perempuan yaitu :
- Sistitis adalah presentasi klinis infeksi kandung kemih disertai bakteriuria
bermakna.
- Sindrom Uretra Akut (SUA) adalah presentasi klinis sistitis tanpa ditemukan
mikroorganisme (steril), sering dinamakan sistitis bakterialis. Penelitian
terkini SUA disebabkan mikroorganisme anaerob.
Pada pria, presentasi klinis ISK bawah mungkin sistitis, prostatitis, epidimidis,
dan uretritis.1

2. Infeksi Saluran Kemih (ISK) Atas


a. Pielonefritis akut (PNA). Pielonefritis akut adalah proses inflamasi parenkim
ginjal yang disebabkan infeksi bakteri.
b. Pielonefritis kronik (PNK). Pielonefritis kronik mungkin akibat lanjut dari
infeksi bakteri berkepanjangan atau infeksi sejak masa kecil. Obstruksi

5
saluran kemih dan refluks vesikoureter dengan atau tanpa bakteriuria kronik
sering diikuti pembentukan jaringan ikat parenkim ginjal yang ditandai
pielonefritis kronik yang spesifik. Bakteriuria asimtomatik kronik pada
orang dewasa tanpa faktor predisposisi tidak pernah menyebabkan
pembentukan jaringan ikat parenkim ginjal.1

ISK dibedakan menjadi ISK komplikata dan nonkomplikata. ISK komplikata


termasuk ISK pada pasien laki-laki, ibu hamil, pasien dengan abnormalitas
struktur atau fungsi pada saluran kemih, menggunakan kateter, penyakit ginjal,
atau penyakit komorbid lain yang menekan sistem imun. ISK nonkomplikata
terjadi pada wanita pre-menopause, non-hamil yang tidak memiliki abnormalitas
struktur atau fungsi saluran kemih serta penyakit komorbid.

2.1.4 Pathogenesis

Pathogenesis bakteriuria asimtomatik dengan presentasi klinis ISK tergantung dari


patogenitas dan status pasien sendiri (host).
a. Peran patogenisitas bakteri. Sejumlah flora saluran cerna termasuk Escherichia
coli diduga terkait dengan etiologi ISK. Patogenisitaas E.coli terkait dengan
bagian permukaan sel polisakarida dari lipopolisakarin (LPS). Hanya IG
serotype dari 170 serotipe O/ E.coli yang berhasil diisolasi rutin dari pasien
ISK klinis, diduga strain E.coli ini mempunyai patogenisitas khusus.
b. Peran bacterial attachment of mucosa. Penelitian membuktikan bahwa fimbriae
merupakan satu pelengkap patogenesis yang mempunyai kemampuan untuk
melekat pada permukaan mukosa saluran kemih. Pada umumnya fimbriae
akan terikat pada blood group antigen yang terdpat pada sel epitel saluran
kemih atas dan bawah.
c. Peranan faktor virulensi lainnya. Sifat patogenisitas lain dari E.coli
berhubungan dengan toksin. Dikenal beberapa toksin seperti α-hemolisin,
cytotoxic necrotizing factor-1(CNF-1), dan iron reuptake system (aerobactin
dan enterobactin). Hampir 95% α-hemolisin terikat pada kromosom dan
berhubungan degan pathogenicity island (PAIS) dan hanya 5% terikat pada gen
plasmio. Virulensi bakteri ditandai dengan kemampuan untuk mengalami

6
perubahan bergantung pada dari respon faktor luar. Konsep variasi fase MO ini
menunjukan ini menunjukkan peranan beberapa penentu virulensi bervariasi di
antara individu dan lokasi saluran kemih. Oleh karena itu, ketahanan hidup
bakteri berbeda dalam kandung kemih dan ginjal.
d. Peranan Faktor Tuan Rumah (host)
- Faktor Predisposisi Pencetus ISK. Penelitian epidemiologi klinik mendukung
hipotensi peranan status saluran kemih merupakan faktor risiko atau pencetus
ISK. Jadi faktor bakteri dan status saluran kemih pasien mempunyai peranan
penting untuk kolonisasi bakteri pada saluran kemih. Kolonisasi bacteria sering
mengalami kambuh (eksasebasi) bila sudah terdapat kelainan struktur anatomi
saluran kemih. Dilatasi saluran kemih termasuk pelvis ginjal tanpa obstruksi
saluran kemih dapat menyebabkan gangguan proses klirens normal dan sangat
peka terhadap infeksi. Endotoksin (lipid A) dapat menghambat peristaltik
ureter. Refluks vesikoureter ini sifatnya sementara dan hilang sendiri bila
mendapat terapi antibiotika. Proses pembentukan jaringan parenkim ginjal
sangat berat bila refluks visikoureter terjadi sejak anak-anak. Pada usia dewasa
muda tidak jarang dijumpai di klinik gagal ginjal terminal (GGT) tipe kering,
artinya tanpa edema dengan/tanpa hipertensi.
- Status Imunologi Pasien (host). Penelitian laboratorium mengungkapkan
bahwa golongan darah dan status sekretor mempunyai konstribusi untuk
kepekaan terhadap ISK. Prevalensi ISK juga meningkat terkait dengan
golongan darah AB, B dan PI (antigen terhadap tipe fimbriae bakteri) dan
dengan fenotipe golongan darah Lewis.1

7
2.1.5 Gambaran Klinis

a. Pielonefritis Akut (PNA). Presentasi klinis PNA seperti panas tinggi (39,5-40,5
°C), disertai mengigil dan sekit pinggang. Presentasi klinis PNA ini sering
didahului gejala ISK bawah (sistitis).
b. ISK bawah (sistitis). Presentasi klinis sistitis seperti sakit suprapubik, polakisuria,
nokturia, disuria, dan stanguria.
c. Sindroma Uretra Akut (SUA). Presentasi klinis SUA sulit dibedakan dengan
sistitis. SUA sering ditemukan pada perempuan usia antara 20-50 thun. Presentasi
klinis SUA sangat minimal (hanya disuri dan sering kencing) disertai cfu/ml urin
<105; sering disebut sistitis abakterialis.
d. ISK rekuren. ISK rekuren terdiri 2 kelompok; yaitu:
a). Re-infeksi (re-infections). Pada umumnya episode infeksi dengan interval >6
minggu mikroorganisme (MO) yang berlainan.
b). Relapsing infection. Setiap kali infeksi disebabkan MO yang sama, disebabkan
sumber infeksi tidak mendapat terapi yang adekuat.1

2.1.6 Diagnosis

8
Pemeriksaan yang paling ideal untuk deteksi adanya ISK adalah kultur
urin. Untuk menegakkan diagnosis ISK bergejala (sistitis akut dan pielonefritis),
nilai ambang batas yang digunakan adalah 10 3 colony forming units/ml (cfu/mL).
Untuk ISK tak bergejala (bakteriuria asimtomatik), nilai ambang batas yang
digunakan adalah 105 cfu/mL. Dalam diagnosis bakteriuria asimtomatik pada
perempuan, termasuk ibu hamil, harus digunakan sampel yang berasal dari urin
pancar tengah yang diambil secara bersih (midstream, clean-catch urine sample).
Masalah yang ada di negara yang sedang berkembang umumnya adalah layanan
kesehatan dengan fasilitas yang terbatas. Pada layanan tersebut, umumnya fasilitas
untuk kultur urin tidak ada. Masalah lain dalam penggunaan kultur urin sebagai
teknik skrining bakteriuria asimtomatik adalah biaya yang cukup tinggi dan waktu
yang cukup lama untuk mendapatkan hasil. Diagnosis ISK dapat ditegakkan
dengan metode tidak langsung untuk deteksi bakteri atau hasil reaksi inflamasi.
Metode yang sering dipakai adalah tes celup urin, yang dapat digunakan untuk
deteksi nitrit, esterase leukosit, protein, dan darah di dalam urin.9
Investigasi lanjutan terutama renal imaging procedures tidak boleh rutin,
harus berdasarkan indikasi yang kuat. Pemeriksaan radiologis dimaksudkan untuk
mengetahui adanya batu atau kelainan anatomis yang merupakan faktor
predisposisi ISK. Renal imaging procedures untuk investigasi faktor predisposisi
ISK, antara lain : ultrasonogram (USG), radiografi (foto polos perut, pielografi
IV, micturating cystogram), dan isotop scanning.1

2.1.7 Penatalaksanaan

2.1.7.1 ISK Bawah Nonkomplikata


Pada ISK bawah nonkomplikata, dapat diberikan nitrofurantoin selama 5
hari. Pilihan antibiotik lain adalah kotrimoksazol dengan durasi terapi 7 hari.
Nitrofurantoin monohidrat diberikan 100 mg, 2 kali sehari selama
setidaknya 5 hari. Sementara itu, kotrimoksazol dapat diberikan 160/800
mg, 2 kali sehari selama 7 hari. Kotrimoksazol hanya dipilih jika tingkat
resistensi lokal di bawah 20%. Pilihan antibiotik lain
adalah fosfomycin trometamol dosis tunggal 3 gram; atau pivmecillinam
400 mg, 3 kali sehari selama setidaknya 3 hari

9
2.1.7.2 ISK Bawah Komplikata

Pasien dengan ISK bawah komplikata mengalami peningkatan risiko


kegagalan terapi. ISK bawah komplikata dapat timbul pada pasien
dengan diabetes, gejala selama 7 hari atau lebih sebelum mencari
perawatan, gagal ginjal, kelainan fungsional atau anatomi saluran
kemih, transplantasi ginjal, terpasang kateter, atau imunosupresi.

Pilihan terapi pada pasien dengan ISK bawah komplikata adalah:

 Ciprofloxacin 500 mg, 2 kali sehari, per oral, selama 7-14 hari

 Levofloxacin 750 mg, sekali sehari, per oral, selama 5 hari

 Ciprofloxacin 400 mg IV setiap 12 jam selama 7-14 hari

 Levofloxacin 750 mg IV, sekali sehari selama 5 hari

 Ampicillin 1-2 g IV setiap 6 jam, dengan gentamicin 2 mg/kg/dosis


setiap 8 jam selama 7-14 hari

 Doripenem 500 mg IV setiap 8 jam selama 10 hariImipenem-cilastatin


500 mg IV setiap 6 jam selama 7-14 hari

 Meropenem 1 g IV setiap 8 jam selama 7-14 hari

Terapi yang diutamakan adalah terapi oral. Terapi intravena dapat dipilih jika
pasien tidak dapat mentoleransi terapi oral. Durasi terapi adalah sesingkat
mungkin sesuai dengan respon klinis pasien. Jika dirasa perlu, maka dapat
digunakan terapi dengan durasi lebih panjang (10-14 hari). Pada pasien yang
mendapat terapi intravena, dapat dilakukan konversi ke terapi oral segera setelah
gejala klinis membaik.

2.1.7.3 ISK Atas Nonkomplikata

10
Pada pasien ISK atas nonkomplikata, masih dapat dilakukan terapi rawat jalan
namun ada indikasi rawat inap. Untuk pemberian antibiotik empiris awal pada
pasien dengan pyelonephritis akut yang tidak memerlukan rawat inap, dapat
diberikan fluoroquinolone oral sampai diperoleh hasil dari tes kultur. Pilihan
terapi oral antara lain:

 Ciprofloxacin 500 mg, 2 kali sehari, selama 7 hari

 Levofloxacin 750 mg, sekali sehari, selama 5 hari

 Ceftibuten 400 mg, sekali sehari, selama 10 hari

 Cefpodoxime proxetil 200 mg, 2 kali sehari, selama 10 hari

 Kotrimoksazol 16/800 mg, 2 kali sehari, selama 14 hari


Indikasi rawat inap pielonefritis akut adalah seperti berikut:
- Kegagalan mempertahankan hidrasi normal atau toleransi terhadap
antibiotika oral.
- Pasien sakit berat atau debilitasi.
- Terapi antibiotika oral selama rawat jalan mengalami kegagalan.
- Diperlukan invesstigasi lanjutan.
- Faktor predisposisi untuk ISK tipe berkomplikasi.
- Komorbiditas seperti kehamilan, diabetes mellitus, usia lanjut.

Pada pasien rawat inap, disarankan untuk langsung diberikan regimen


antibiotik parenteral. Pilihan antibiotik empiris antara lain:

 Ciprofloxacin 400 mg IV, 2 kali sehari

 Levofloxacin 500–750 mg IV, sekali sehari

 Cefuroxime 750 mg IV setiap 8 jam

 Ceftriaxone 1–2 g IV, sekali sehari

 Cefepime 1–2 g IV, 2 kali sehari

11
 Meropenem 500–1000 mg IV, setiap 8 jam

 Imipenem-cilastatin 500 mg IV, setiap 6–8 jam

 Doripenem 500 mg, setiap 8 jam

 Ertapenem 1 g IV, sekali sehari

Setelah demam berkurang, antibiotik harus diubah menjadi antibiotik oral


yang dipilih berdasarkan kerentanan antibiotik dan resistensi bakteri penyebab.

2.1.7.4 ISK Atas Komplikata

Meskipun tidak semua kasus pyelonephritis complicated memerlukan


rawat inap, perawatan perlu dipertimbangkan pada pasien yang tampak sakit berat
atau menunjukkan gejala sepsis. Pasien juga mungkin perlu dirawat inap jika
mengalami demam dan nyeri persisten, tidak mampu mempertahankan hidrasi,
atau tidak mampu mengonsumsi obat per oral.

Antibiotik empiris untuk pasien dengan pyelonephritis complicated atau


yang berhubungan dengan obstruksi saluran kemih sebetulnya serupa dengan
pilihan antibiotik pada pyelonephritis tanpa komplikasi. Fluoroquinolone, β-
laktam/ β-laktamase inhibitor, sefalosporin generasi ketiga, aminoglikosida, dan
karbapenem dapat digunakan sebagai antibiotik empiris awal. Namun, jika gejala
klinis berat, maka pemilihan antibiotik harus didasarkan pada protokol
pengobatan untuk ISK berat yang disertai dengan sepsis.

Pada kasus dimana pyelonephritis berkaitan dengan obstruksi saluran


kemih, pemberian antibiotik perlu dibarengi dengan dekompresi. Intervensi harus
dimulai dari yang bersifat invasif minimal seperti, nefrostomi perkutan atau
insersi stent ureter. Reseksi ginjal haruslah menjadi pilihan tata laksana akhir.

12
Table 3. rekomendasi terapi antibiotik empiris pada pielonefritis akut
dengan komplikasi pada wanita.4

2.1.7.5 Infeksi Saluran Kemih Rekuren


ISK rekuren merupakan terjadinya 3 atau lebih ISK selama periode 12
bulan. Prinsip terapi ISK rekuren mencakup penggunaan dini antibiotik spektrum
luas, dengan penyesuaian cakupan antibiotik berdasarkan hasil kultur, dan upaya
untuk meringankan obstruksi urine bila ada. Pilihan antibiotik oral yang
direkomendasikan termasuk fluoroquinolones, amoxicillin-clavulanate, dan
aminoglikosida.
Pencegahan dapat dilakukan dengan pemberian profilaksis antibiotik dosis
rendah, seperti nitrofurantoin 50-100 mg sekali sehari. Pilihan antibiotik
profilaksis lain adalah kotrimoksazol 40/200 mg sekali sehari. Antibiotik
digunakan selama 6-12 bulan. Meski demikian, pilihan antibiotik harus
disesuaikan dengan riwayat terapi pasien, pola resistensi lokal, status alergi
pasien, profil efek samping, serta biaya.
Pada pasien wanita postmenopause, dapat diberikan estrogen intravagina
untuk memperbaiki flora vagina dan mengurangi kolonisasi E coli pada vagina.
Pilihan terapi estrogen, seperti estrogen krim dan estradiol vagina dapat diberikan.

2.1.8 Pencegahan

13
Sebagian kuman yang berbahaya hanya dapat hidup dalam tubuh manusia.
Untuk melangsungkan kehidupannya, kuman tersebut harus pindah dari orang
yang telah kena infeksi kepada orang sehat yang belum kebal terhadap kuman
tersebut. Kuman mempunyai banyak cara atau jalan agar dapat keluar dari orang
yang terkena infeksi untuk pindah dan masuk ke dalam seseorang yang sehat.
Kalau kita dapat memotong atau membendung jalan ini, kita dapat mencegah
penyakit menular. Kadang kita dapat mencegah kuman itu masuk maupun keluar
tubuh kita. Kadang kita dapat pula mencegah kuman tersebut pindah ke orang
lain.11
Pada dasarnya ada tiga tingkatan pencegahan penyakit secara umum, yaitu
pencegahan tingkat pertama (primary prevention) yang meliputi promosi
kesehatan dan pencegahan khusus, pencegahan tingkat kedua (secondary
prevention) yang meliputi diagnosis dini serta pengobatan yang tepat, dan
pencegahan tingkat ketiga (tertiary prevention) meliputi pencegahan terhadap
cacat dan rehabilitasi. Ketiga tingkatan pencegahan tersebut saling berhubungan
erat sehingga dalam pelaksanaannya sering dijumpai keadaan tumpang tindih. 11
Beberapa pencegahan infeksi saluran kemih dan mencegah terulang
kembali, yaitu:
1. Jangan menunda buang air kecil, sebab menahan buang air seni merupakan
sebab terbesar dari infeksi saluran kemih.
2. Perhatikan kebersihan secara baik, misalnya setiap buang air seni, bersihkanlah
dari depan ke belakang. Hal ini akan mengurangi kemungkinan bakteri masuk
ke saluran urin dari rektum.
3. Ganti selalu pakaian dalam setiap hari, karena bila tidak diganti, bakteri akan
berkembang biak secara cepat dalam pakaian dalam.
4. Pakailah bahan katun sebagai bahan pakaian dalam, bahan katun dapat
memperlancar sirkulasi udara.
5. Hindari memakai celana ketat yang dapat mengurangi ventilasi udara, dan dapat
mendorong perkembangbiakan bakteri.
6. Minum air yang banyak. 11

2.2 Sepsis

2.2.1 Definisi

14
Sepsis adalah keadaan yang mengancam jiwa karena respon tubuh yang
tidak seimbang terhadap infeksi. Sepsis bisa menyebabkan masalah seperti
kegagalan organ, hipotensi, dan kematian. Sepsis terjadi karena infeksi yang
memicu sistem imun yang pro-inflamasi dan antiinflamasi. Pemicuan reaksi
berantai ini menyebabkan gangguan pada sistem koagulasi darah, kelemahan
imun, dan kerusakan organ pada tingkat seluler, jaringan, dan organ.2
Definisi sepsis pertama ditetapkan sebagai systemic inflammatory
response syndrom (SIRS). Kriteria SIRS terpenuhi jika terdapat dua antara tanda-
tanda berikut:

a. Suhu tubuh di bawah 36°C dan di atas 38°C.


b. Nadi tubuh di atas 90 kali per menit
c. Laju napas di atas 20 kali per menit
d. Hitung sel darah putih dalam darah kurang dari 4.000 sel per mikroliter
atau lebih dari 12.000 sel per mikroliter. 2

Kondisi SIRS menjadi sepsis berat bila disertai kerusakan organ, hipoperfusi
jaringan, atau hipotensi. Sepsis berat menjadi syok sepsis bila setelah resusitasi
kondisi tidak membaik. 2

Sepsis pada tahun 2004 diterapkan di petunjuk Surviving Sepsis Campaign


dengan sepsis ditetapkan jika dua dari kriteria SIRS terpenuhi dan disertai infeksi.
Sepsis berat ditetapkan apabila ada tanda kerusakan organ dan termasuk kadar
serum laktat di atas 2 mmol/liter. Syok sepsis ditetapkan sebagai sepsis dengan
hipotensi yang tidak membaik setelah resusitasi cairan, membutuhkan vasopresor,
atau level laktat sama atau di atas 4 mmol/L. 2

Definisi sepsis dan syok sepsis mengalami perubahan pada tahun 2016 oleh
komite Sepsis-3. Sepsis didefinisikan sebagai kondisi yang mengancam jiwa
akibat respons inang yang tidak teratur terhadap infeksi, yang menyebabkan
disfungsi organ. Syok sepsis didefinisikan sebagai kelainan sirkulasi, seluler, dan
metabolik pada pasien sepsis, yang ditunjukkan dengan hipotensi yang tidak
responsif terhadap cairan dan memerlukan vasopresor, serta hipoperfusi jaringan
dengan laktat tinggi (> 2 mmol/L). Klasifikasi sepsis berat tidak digunakan lagi. 2

15
2.2.2 Epidemiologi

Sepsis adalah kondisi serius yang mempengaruhi jutaan orang di seluruh


dunia dan menyebabkan jutaan kematian setiap tahun. Angka kematian sepsis
bervariasi tergantung pada wilayah dan penyebab infeksi yang mendasarinya.
Sepsis dapat disebabkan oleh berbagai jenis infeksi, seperti diare, gangguan
neonatal, dan infeksi saluran napas bawah.4
Di Indonesia, data mengenai prevalensi sepsis masih sangat terbatas.
Sebuah studi retrospektif melaporkan bahwa terdapat 14.076 pasien sepsis antara
tahun 2013 dan 2016, dengan angka kematian sebesar 58,3%. Rata-rata usia
pasien adalah 49,4 tahun. Sebagian besar dari mereka memiliki infeksi multifokal.
Angka kematian lebih tinggi untuk pasien yang dirawat di unit perawatan
intensif.5

2.2.3 Etiologi dan Faktor Risiko

Sepsis adalah sekuale dari penyakit infeksi pada manusia. Faktor risiko
terjadinya sepsis antara lain usia sangat muda, kelemahan sistem imun seperti
pada pasien keganasan dan diabetes melitus, trauma, atau luka bakar mayor.
Penyebab iatrogenik dapat menjadi penyebab sepsis. Penyebab sepsis tergantung
tiap kasus, dan infeksi fokalnya. Tempat infeksi fokal tersering dimulai dari paru-
paru (64%), perut (20%), hematogen (15%), dan saluran kemih kemanin (14%).
Sebanyak 47% penyebab tersering sepsis adalah bakteri Gram positif dengan
Staphylococcus aureus sebesar (20%). Selanjutnya, 62% bakteri berupa Gram
negatif seperti Pseudomonas sp. dan E. coli. 19% penyebab adalah jamur. Infeksi
methicillin resistant S aureus dapat terjadi dan dapat meningkatkan mortalitas
pada kasus sepsis.2

2.2.4 Patogenesis

Saat infeksi berprogresi menjadi sepsis, kerja endotelium terganggu.


Terganggunya endotelium disebabkan oleh reaksi inflamasi secara sistemik pada

16
pembuluh darah. Bila terganggu, maka akan terjadi aktivasi kaskade koagulasi,
vasodilatasi, dan rusaknya fungsi barier pembuluh darah. Kondisi ini
menyebabkan edema jaringan, hipoperfusi jaringan, dan syok. 4
Aktivasi kaskade koagulasi terjadi akibat pelepasan tissue factor yang
menyebabkan produksi trombin, aktivasi platelet, dan pembentukan fibrin clots.
Kondisi ini dapat menyebabkan hipoksia jaringan dan disfungsi organ. Pada
kondisi sepsis, terjadi trombositopenia ringan hingga disseminated intravascular
coagulation (DIC). 4
Rusaknya fungsi barier pembuluh darah menyebabkan edema paru,
hipoperfusi, dan kurangnya fungsi paru yang berprogresi menjadi distress
respirasi akut. Rusaknya endotel secara sistemik menyebabkan rusaknya sistem
organ. Sitokin sebagai agen inflamasi meningkat di jaringan. Kerusakan organ
yang terjadi seperti meningkatnya kadar bilirubin dan ezim hati dan menurunnya
filtrasi ginjal.
Hipoperfusi pada jaringan otak menyebabkan gangguan jaras pada otak
dan menurunnya kesadaran. Jaringan otak dapat mengalami edema karena sitokin
masuk ke jaringan otak sehingga mengganggu kerja otak dan terjadinya herniasi
otak. 4
Fase rusaknya jaringan tubuh dapat berlanjut jadi fase disfungsi sistem
imun. Sitokin dari sel T mengalami penurunan karena apoptosis sel T. Keadaan
ini mengakibatkan eliminasi penyebab terganggu. Sitokin dapat membuat tubuh
memprodiksi reactive oxygen species (ROS) yang merusak jaringan secara
seluler.
Hipoperfusi pada jaringan tubuh dapat menyebabkan meningkatnya kadar
laktat dalam tubuh karena meningkatnya reaksi anaerobik pada metabolisme.
Pengukuran kadar laktat dilakukan untuk mengetahui prognosis.4

2.2.5 Diagnosis

Diagnosis dimulai dari survei primer. Pada jalur napas dan pernapasan
dapat terjadi terhalangnya jalur napas dan apnea. Pasien dapat kehilangan
kesadarn sehingga jalur napas tidak paten. Pada sirkulasi, tanda-tanda yang
didapat sebagai berikut:

17
a. Tekanan darah menurun di bawah 90/60
b. Suhu tubuh di atas 38oC atau di bawah 36oC
c. Nadi meningkat di atas 90 kali per menit
d. Akral dingin
e. Capillary refill time lebih dari dua detik
f. Tanda-tanda gagal organ
a. Oliguria
b. Jaundice
c. Edema paru

Pada disabilitas, sepsis dapat menyebabkan menurunnya gangguan kesadaran.

Untuk menegakkan diagnosis sepsis, kriteria yang digunakan adalah SIRS.


Kriteria SIRS terpenuhi jika terdapat dua antara tanda-tanda berikut:

e. Suhu tubuh di bawah 36°C dan di atas 38°C.


f. Nadi tubuh di atas 90 kali per menit
g. Laju napas di atas 20 kali per menit
h. Hitung sel darah putih dalam darah kurang dari 4.000 sel per mikroliter
atau lebih dari 12.000 sel per mikroliter.

Sepsis ditetapkan jika dua dari kriteria SIRS terpenuhi dan disertai infeksi.
Sepsis berat ditetapkan apabila ada tanda kerusakan organ dan termasuk kadar
serum laktat di atas 2 mmol/liter. Syok sepsis ditetapkan sebagai sepsis dengan
hipotensi yang tidak membaik setelah resusitasi cairan, membutuhkan vasopresor,
atau level laktat sama atau di atas 4 mmol/L.

Selain SIRS, alat diagnostik sepsis yang digunakan adalah skoring qSOFA.
Namun, Panduan Surviving Sepsis Campaign menyatakan qSOFA tidak
direkomendasi sebagai alat diagnosis. Kriteria qSOFA terpenuhi jika terdapat dua
dari tanda berikut:

a. Laju pernapasan >= 22 kali per menit


b. Perubahan status mental atau kesadaran
c. Tekanan darah sistolik di bawah 100 mmHg

18
Skor SOFA digunakan untuk mengukur prognosis pasien sepsis. Skor di
bawah 9 mengindikasikan mortalitas <33%. Sedangkan, skor >11 memprediksi
mortalitas 95%.

19
Skor
Sistem Organ 0 1 2 3 4
<200 (26,7)
Respirasi:
Dengan <100 (13,3)
PO2 /FiO2, mmHg bantuan Dengan
(kPa) respirasi bantuan
≥400 (53,3) <400 (53,3) <300 (40) respirasi
Koagulasi:

Platelet, x103/mm3 ≥150 <150 <100 <50 <20


Hepar:

Bilirubin, mg/dL
<1,2 <1,2 – 1,9 2,0 – 5,9 6,0 – 11,9 >12,0
Dopamin 5,1 Dopamin >
– 15 15

stau atau

Epinefrin Epinefrin >


≤0,1 0,1

atau atau
Dopamin < 5
Mean Mean atau Norepinefrin Norepinefin
arterial arterial ≤0,1 > 0,1 µg/
pressure ≥ pressure < Dobutamin (dosis µg/kg/menit kg/menit
Kardiovaskular 70 mmHg 70 mmHg berapapun)
Sistem saraf pusat:

Glasgow Coma Scale


(GCS)
15 13 – 14 10 - 12 6-9 <6
Renal: Kreatinin,
mg/dL
<1,2 1,2 – 1,9 2,0 – 5,9 6,0 – 11,9 12

20
2.2.6 Tatalaksana

Penatalaksanaan sepsis meliputi resusitasi inisial, terapi antimikroba yang


sesuai, mengontrol sumber infeksi dengan tindakan drainase atau bedah bila
diperlukan. Diperlukan pula terapi suportif, seperti bila terjadi respons imun
maladaptif host terhadap infeksi dapat diberikan vasopresor dan inotropik, terapi
suportif terhadap kegagalan organ, gangguan koagulasi dan terapi imunologi.
Skrining sumber infeksi menjadi esensial dalam penanganan pasien sepsis,
diperlukan ketelitian dalam menduga mikroorganisme patogen yang menjadi
penyebab (berdasarkan pengalaman klinis dan pola kuman di RS setempat),
sebagai panduan dalam memberikan terapi antimikroba empirik.
2.2.6.1 One Hour Bundle
One hour bundle adalah lima Tindakan yang dilakukan pada satu jam
pertama pasien sepsis terdiagnosa. One hour bundle terdiri dari:

a) Mengukur kadar laktat. Ulangi pengukuran kadar laktat jika laktat >2
mmol/L
b) Ambil kultur darah sebelum pemberian antibiotic
c) Pemberian antibiotic broad-spectrum
d) Pemberian resusitasi cairan bolus 30 mL/kg jika hipotensi atau laktat >= 4
mmol/L dengan target Mean Arterial Pressure >=65 mmHg
e) Pemberian obat vasopressor setelah resusitasi cairan untuk
mempertahankan MAP

2.2.6.2 Resusitasi
Resusitasi harus segera dilakukan bila didapatkan keadaan hipoperfusi.
Selama 6 jam pertama resusitasi, tujuan dari resusitasi pada pasien sepsis-induced
hypoperfusion adalah:

a) CVP 8–12 mm Hg
Pasien yang menggunakan ventilasi dengan diketahui komplians
ventrikular yang menurun dan pasien dengan tekanan abdominal tinggi,
target CVP nya lebih tinggi yaitu 12-15 mmHg.
b) MAP ≥ 65 mm Hg
c) Urine output ≥ 0.5 mL·kg·hr

21
d) Saturasi oksigenisasi superior vena cava (Scvo2) atau mixed venous
oxygen saturation (SvO2) 70% or 65%,

Target resusitasi adalah untuk menormalkan laktat pada pasien dengan level
laktat meningkat yang merupakan marker dari hipoperfusi jaringan. Terapi cairan
(kristaloid dan/atau koloid), vasopresor/inotropik, dan transfusi bila diperlukan.
Bila dalam 6 jam resusitasi, saturasi oksigen tidak mencapai 70% atau mixed
venous oxygen saturation (SvO2) kurang dari 70% dengan resusitasi cairan,
transfusi PRC untuk mencapai hematokrit >30% dan/atau pemberian dobutamin
(sampai maksimal 20 μg/kg/menit). Untuk mencapai cairan yang adekuat
pemberian cairan inisial kristaloid, minumun 30 ml/kg untuk dewasa dan
tambahan albumin pada pasien yang membutuhkan cukup banyak kristaloid untuk
mempertahankan cukup MAP. Sebaiknya menghindari hetactarh, karena koloid
buatan tidak terbukti menguntungkan melainkan meningkatkan resiko gagal ginjal
akut.

2.2.6.3 Terapi antimikroba

Terapi antibiotik intravena sebaiknya dimulai dalam jam pertama sejak


diketahui sepsis berat tanpa syok septik dan syok septik, setelah kultur diambil.
Penundaan terapi antimikroba berhubungan dengan peningkatan mortalitas.
Terapi empirik inisial berupa satu atau lebih obat yang memiliki aktivitas
melawan patogen bakteri atau jamur atau virus dan dapat penetrasi ke tempat yang
diduga sumber sepsis. Terapi antimikroba empiris tergantung pada riwayat
penyakit pasien meliputi intoleransi obat, penggunaan antibiotik sebelumnya (3
bulan), penyakit penyerta, sindrom klinis, dan patogen berdasarkan komunitas dan
rumah sakit.

Patogen umum yang sering menyebabkan syok septik adalah gram positif,
diikuti gram negatif dan mikroorganisme campuran. Kandidiasis, sindrom syok
toksik, dan patogen uncommon harus dipertimbangkan pada pasien tertentu.
Iinisial kombinasi untuk pasien neutropenia dengan sepsis berat dan untuk pasien
dengan sulit untuk disembuhkan, Untuk memilih terapi empirik, klinisi harus
mempertimbangkan mengenani virulensi dan prevalensi methicillin resistant

22
staphylococcus aureus dan resistensi spektrum luas beta laktam dan carbapenem
untuk gram negatif bacilli di beberapa komunitas dan seting kesehatan.

23
Sumber Infeksi Penyebab Sepsis Rekomendasi Contoh Antibiotik
antibiotik
Respirasi Pneumonia komunitas B-Lactam Ceftriaxone, cefotaxime,
ampicillin/sulbactam

Kombinasi dengan: Azythromycin


Floroquinolon Levofloxacin, moxifloxacin
Pneumonia nosokomial Antipseudomonal Piperacillin/tazobactam,
β-lactam cefepime, meropenem,
imipenem, doripenem
Kombinasi dengan: Aminoglikosida gentamicin, tobramycin,
amikacin
Antipseudomonal Levofloxacin, ciprofloxacin
Floroquinolon
Intraabdomen atau Antibiotik Ampicillin/sulbactam,
intrapelvik monoterapi meropenem, imipenem,
piperacillin/tazobactam
Terapi Kombinasi Clindamycin atau
Metronidazole, disertai dengan
aztreonam, levofloxacin, atau
aminoglikosida
Sepsis Vancomycin atau daptomycin
dari catheter-
related PLUS Piperacillin/tazobactam,
bloodstream cefepime, meropenem,
Antipseudomonal
infection (CRBSI) imipenem, doripenem
β-lactam

PLUS Gentamicin, tobramycin,


amikacin
Aminoglikosida

Disertai risiko infeksi PLUS Fluconazole Caspofungin, micafungin,


jamur anidulafungin
atau echinocandin

Sumber infeksi Monoterapi: Meropenem, imipenem,


tidak diketahui piperacillin/tazobactam
Terapi Kombinasi: Metronidazole + Aztreonam
atau cefepime

24
2.2.6.4 Kontrol Sumber

Diagnosis anatomis yang spesifik dari infeksi dibutuhkan sebagai


pertimbangan untuk mengendalikan kontrol sumber untuk didiagnosis atau
dieksklusi sesegera mungkin dan intervensi harus dilakukan pada kontrol sumber
dalam 12 jam pertama setelah diagnosis ditegakkan. Misalnya infeksi jaringan
lunak nekrotik, peritonitis, cholangitis).

2.2.6.5 Oksigenasi

Pada keadaan hipoksemia berat dan gagal napas bila disertai dengan
penurunan kesadaran atau kerja ventilasi yang berat, ventilasi mekanik segera
dilakukan. Pada pasien dengan acute respiratory distress syndrome (ARDS),
dapat ditemukan tanda tanda edema paru. Strategi pemberian oksigenasi pada
kasus ARDS yang disarankan adalah dengan volume tidal rendah (6 ml/kg).
Selain itu, disarankan juga untuk melakukan prone ventilation lebih dari 12 jam
sehari.

2.2.6.6 Vasopresor

Terapi vasopressor mulanya mencapai target tekanan arterial rata-rata


(MAP) 65 mmHg. Norephinephrine (0,1-0,5 mcg/kg/menit IV) merupakan pilihan
utama vasopressor. Epinefrin (ditambahkan dan berpotensial sebagai subsitusi
dari norepinefrin) digunakan ketika agen tambahan dibutuhkan untuk menjaga
tekanan darah yang memadahi. Vasopresin 0,03 U/menit dapat ditambahkan pada
norepinefrin dengan tujuan untuk menaikkan MAP atau menurunkan dosis
norepinefrin. Dopamin dapat menjadi alternative vasopressor selain norepinefrin
hanya pada pasien tertentu. Misalnya pada pasien dengan resiko rendah
takiaritmia dan bradikardia absolut atau relatif. Fenilefrin tidak direkomendasikan
pada pengobatan syok septik kecuali pada lingkup dimana norepinefrin yang
berhubungan dengan aritmia yang serius, curah jantung diketahui akan tinggi atau
tekanan darah akan secara persisten rendah, atau sebagai terapi penyelamat ketika
kombinasi obat inotropic atau vasopressor dan vasopressin dosis rendah telah
gagal untuk mencapai target MAP. Dopamin dosis rendah seharusnya tidak
digunakan untuk proteksi renal.

25
2.2.6.7 Terapi Inotropik

Infus percobaan dari dobutamin hingga mencapai 30 mcg/kg/menit


diberikan atau ditambahkan pada vasopressor (jika digunakan) dalam keadaan
disfungsi miokardial sebagaimana disebabkan karena peningkatan tekanan
pengisian jantung dan curah jantung yang rendah atau gejala hipoperfusi yang
terus menerus, meskipun mencapai volume intravascular secara adekuat dan MAP
yang cukup.

2.2.6.8 Steroid

Steroid diberikan bila pemberian vasopressor tidak respon terhadap


hemodinamik pada pasien syok septik. Hidrokortison intravena dosis rendah
(<300 mg/hari) hari) dapat dipertimbangkan pada pasien syok septic dengan
hipotensi yang tidak respon terhadap resusitasi cairan dan vasopressor. Sebaiknya
tidak menggunakan hidrokortison intravena untuk mengobati pasien dewasa syok
septik jika resusitasi cairan cukup dan terapi vasopressor dapat menjaga kestabilan
hemodinamik. Pasien dalam terapi hidrokortison diturunkan dosisnya jika
vasopressor tidak lagi digunakan. Kortikosteroid tidak diberikan dalam terapi
sepsis tanpa syok.

2.2.6.9 Kontrol Gula Darah

Beberapa penelitian menunjukkan penurunan angka kematian di ICIJ


dengan menggunakan terapi insulin intensif. Peneliti menemukan target GD <
180mg/dl menurunkan mortalitas daripada target antara 80-108mg/dl. Banyaknya
episode hipoglikemia ditemukan pada kontrol GD yang ketat. Rekomendasi SSC
adalah mempertahankan gula darah < 150 mg/dl.

2.2.6.10 Pemberian Produk darah

Pemberian PRC dilakukan bila Hb turun dibawah 7.0 g/dl.


Direkomendasikan target Hb antara 7-9 g/dl pada pasien sepsis dewasa. Tidak
menggunakan FFP untuk memperbaiki hasil laboratorium dengan masa

26
pembekuan yang abnormal kecuali ditemukan adanya perdarahan atau
direncanakan prosedur invasif. Pemberian trombosit dilakukan bila hitung
trombosit <5000/mm3 tanpa memperhatikan perdarahan.

BAB 3

ILUSTRASI KASUS

3.1 Identitas Pasien

Nama : Ny. L
Usia : 59 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Status Perkawinan : Menikah
Alamat : Jr. Koto Panjang

3.2 Anamnesis

Keluhan Utama
Pasien datang ke IGD Puskesmas Muaro Bodi pada tanggal 17 Maret 2023, pukul
20.00 WIB dengan keluhan demam sejak 7 hari sebelum datang ke Puskesmas
Muaro Bodi.

Riwayat Penyakit Sekarang

- Demam dirasakan sejak 7 hari sebelum datang ke puskesmas. Demam


dirasakan tinggi sepanjang hari dan disertai menggigil dan keringat.
- Pasien memiliki nafsu makan rendah dan tidak makan sejak 3 hari
sebelum datang ke puskesmas.
- Pasien mengeluhkan nyeri ulu hati dengan mual.
- Pasien mengeluhkan nyeri di ari-ari dan nyeri saat buang air kecil. Pasien
tidak mengeluhkan BAK berdarah dan bernanah.
- Pasien masih bisa BAB dan tidak ada keluhan BAB.
- Pasien menyangkal adanya keluhan batuk, pilek, dan sesak napas.

27
- Pasien menyangkal adanya lesi pada kulit.
- Pasien menyangkal adanya keluhan sakit kepala, lemah badan, dan kejang-
kejang.

- Pasien menyangkal keluah duh atau perdarahan dari jalan lahir


- Pasien tidak hamil
- Tidak ada riwayat kelainan struktur dan fungsi berkemih dan Riwayat
penyakit ginjal kronis

Riwayat Penyakit Dahulu

- Pasien tidak pernah mengalami hal yang sama sebelumnya.


- Tidak ada riwayat magh sebelumnya.
- Tidak ada riwayat trauma sebelumnya.
- Tidak ada riawayat hipertensi, diabetes, dan penyakit jantung sebelumnya.

Riwayat Pengobatan
Pasien tidak mengonsumsi obat-obatan secara rutin. Pasien belum berobat ke
dokter sebelum datang ke puskesmas. Pasien tidak menerima vaksin dan tindakan
bedah sebelumnya.

Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada keluarga dengan keluhan yang sama dengan pasien. Tidak ada riwayat
atopi pada keluarga.

Riwayat Pekerjaan, Sosial, dan Ekonomi


Pasien bekerja sebagai ibu rumah tangga dengan skala aktifitas fisik ringan,
pasien tidak merokok, dan pasien tidak minum alkohol.

Riwayat Alergi
Tidak ada riwayat alergi obat-obatan maupun alergi makanan pada pasien.

28
3.3 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan Fisik Umum

- Keadaan umum : Sakit sedang


- Kesadaran : GCS 15 (E4M6V5)
- Nadi : 102 kali/menit
- Nafas : 22 x/menit
- Suhu : 37 oC
- Tekanan Darah : 85/65 mmHg
- VAS :7
- BB : 52 Kg
- TB : 153 cm
- IMT : 22,21 kg/m2

Status Generalis

- Kepala : Normochepal
- Kulit : Turgor kulit baik
- KGB : Tidak ditemukan pembesaran KGB
- Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
- Hidung : Tidak ditemukan kelainan
- Telinga : Tidak ditemukan kelainan
- Mulut : Lidah bersih, tonsil T1/T1, faring tidak hiperemis
- Leher : Tidak ditemukan kelainan
- Paru
o Inspeksi : Dinding dada dan pergerakannya simetris kanan-
kiri
o Palpasi : Fremitus sama kanan-kiri
o Perkusi : Sonor
o Auskultasi : SN Vesikuler, Rh -/-, Wh -/-
- Jantung
o Inspeksi : Iktus kordis (IC) tidak terlihat
o Palpasi : IC teraba 1 jari medial LMCS RIC V

29
o Perkusi : Batas atas RIC II, Batas kanan LSD, Batas kiri 1
jari medial LMCS RIC V
o Auskultasi : S1 S2 reguler,, murmur (-), gallop (-)
- Abdomen
o Inspeksi : Distensi (-), tampak simetris
o Palpasi : Supel, nyeri tekan (+) regio hipogastrium, nyeri
lepas (-), hepar dan lien tidak teraba, massa (-)
o Perkusi : Nyeri ketok (-), timpani diseluruh regio abdomen,
nyeri CVA (+/+)
o Auskultasi : Bising usus (+) normal
- Ekstremitas : Akral dingin, CRT < 2 detik

3.4 Diagnosis Kerja

Dispepsia + Susp. ISK Atas

3.5 Diagnosis Banding

Sepsis e.c. ISK Atas

3.6 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Darah Lengkap

- Hb: 7,8 mg/dL


- Leukosit: 14.910 / mm3
- Eritrosit: 3,34 juta / mm3
- Trombosit: 466.000 / mm3
- Ht: 25,2 %

Kimia Klinik

- Gula Darah Sewaktu: 139 mg/dL

30
3.7 Diagnosis

Sepsis e.c. ISK Atas

31
3.8 Tatalaksana

Tatalaksana Non-Farmakologis

- Bed Rest
- Diet Makanan Lunak

Tatalaksana Farmakologis

- IVFD RL 30 tpm
- Antasida tab 400 mg 3x1 po
- Vitamin B Complex tab 3x1 po
- Cotrimoxazol 480 mg tab 2x2 po
- Parasetamol 500 mg tab 3x1 po

Konseling dan Edukasi

- Edukasi terkait konsumsi antibiotik sesuai resep dokter.


- Edukasi terkait menjaga kebersihan. Basuh kelamin dari depan ke
belakang.
- Edukasi terkait minum air putih yang cukup.
- Edukasi tentang kondisi pasien dan tindakan yang dibutuhkan. Pasien
membutuhkan perawatan intensif di Rumah Sakit.
- Anjuran rujuk ke Rumah Sakit.

32
3.9 Follow Up Pasien

Berikut merupakan gambaran follow up pasien saat dirawat di ruang rawat


inap Puskesmas Muaro Bodi.

Tabel 3.1 Follow Up Pasien di Ruang Rawat Inap Puskesmas Muaro Bodi

Tanggal Perjalanan Penyakit Tatalaksana


17/3/2023 S/ Nyeri perut membaik, - IVFD RL 30 tpm
22.00 WIB O/ TD 85/65 mmHg, Nd - Antasida tab 400 mg 3x1 po
100 x/mnt, Nf 25 x/mnt, - Vitamin B Complex tab 3x1
S37 oC, anemis (-), ikterik po
(-), NTE (-) - Cotrimoxazol 480 mg tab 2x2
GDS: 76 mg/dL po
A/ susp. ISK - Parasetamol 500 mg tab 3x1
po

19/3/2023 S/ Demam (+), mual muntah - Terapi lanjut


08.00 WIB (+), anuria (+) 24 jam - Anjuran rujuk ke Rumah
terakhir Sakit
O/ TD 79/62 mmHg, Nd - Keluarga pasien pulang
105 x/mnt, Nf 25 x/mnt, S paksa
38,8 oC, anemis (-), ikterik
(-), pulmo nafas vesikuler
+/+ ronkhi -/- wheezing -/-,
cor S1 S2, abdomen NTE
(-), akral dingin CRT <2s,
edema -/-/+/+ pitting
A/ Sepsis e.c. ISK Atas

33
BAB 4

DISKUSI

Pasien perempuan berusia 59 tahun dirawat di ruang rawat inap Puskesmas


Muaro Bodi dengan diagnosis sepsis e.c. ISK atas. Diagnosis sepsis ditegakkan
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
Berdasarkan anamnesis diketahui bahwa pasien mengalami demam sejak 7
hari sebelum datang ke puskesmas. - Demam dirasakan sejak 7 hari sebelum
datang ke puskesmas. Demam dirasakan tinggi sepanjang hari dan disertai
menggigil dan keringat. Keluhan disertai dengan nafsu makan rendah dan tidak
makan sejak 3 hari sebelum datang ke puskesmas. Selain itu, pasien juga
mengeluhkan nyeri di ari-ari dan nyeri saat buang air kecil. Pasien tidak
mengeluhkan BAK berdarah dan bernanah. Pasien juga nyeri ulu hati disertai
dengan rasa mual. Pasien masih bisa BAB dan tidak ada keluhan BAB. Pasien
menyangkal adanya keluhan batuk, pilek, dan sesak napas. Pasien menyangkal
adanya lesi pada kulit. Pasien menyangkal adanya keluhan sakit kepala, lemah
badan, dan kejang-kejang.
Dari pemeriksaan fisik diketahui jika suhu pasien saat pertama kali masuk
37 oC, tekanan darah 85/65 mmHg, frekuensi nadi 102 kali/menit, dan frekuensi
nafas 22 kali/menit. Dari pemeriksaan abdomen ditemukan nyeri tekan
epigastrium. Ditemukan juga nyeri ketok CVA di kedua sisi pinggang. Pasien
diduga syok dan diusulkan untuk pemeriksaan darah rutin
ISK atas berbeda dengan ISK bawah. Pada ISK atas, pasien demam tinggi
dan ditemukannya nyeri ketok CVA. Pada anamnesis pasien, didapatkan juga
nyeri saat BAK dan diduga pasien sebelumnya memiliki gejala ISK bawah
sebelum berprogresi menjadi ISK atas. Gejala prodromal ISK atas ditemukan
seperti anoreksia dan demam. Pasien juga mengeluhkan nyeri ulu hati. Gejala ini
diduga karena pasien kurang asupan makanan. Pasien tidak bisa makan selama
tiga hari dan diindikasikan untuk rawat inap. Pasien curiga sepsis dan diusulkan
pemeriksaan laboratorium darah rutin.
Setelah diusulkan pemeriksaan darah rutin pada hari perawatan ketiga
didapatkan pasien anemia dan leukositosis. Tidak hanya itu, kondisi pasien

34
memberat. Pasien mengeluhkan BAK tidak keluar selama satu hari terakhir dan
kondisi umum pasien memberat. Tekanan darah dan tekanan nadi pasien
berkurang dari 85/65 menjadi 79/62. Suhu tubuh pasien mencapai 38,8oC. Nadi
meningkat menjadi 105 kali per menit dan laju napas menjadi 25 kali per menit.
Tanda-tanda sepsis ditemukan pada perawatan hari ketiga. Nadi yang
meningkat, suhu tubuh meningkat, laju napas meningkat, dan disertai hasil
pemeriksaan darah rutin leukositosis serta infeksi salurah kemih menunjukkan
gejala sepsis. Gejala anuria pasien menunjukkan bahwa mulai muncul tanda-tanda
kerusakan organ.
Tatalaksana yang diberikan pada hari pertama perawatan adalah infus
intravena ringer laktat sebanyak 30 tetes per menit untuk menjaga maintenance
asupan cairan pasien. Diberikan antasida untuk keluhan nyeri ulu hati pasien.
Pasien mendapatkan obat Vitamin B Complex dan Parasetamol untuk mengatasi
keluhan anoreksia dan demam. Untuk penanganan ISK Atas pasien diberikan
Cotrimoxazol.
Dari tanda-tanda sepsis di hari ketiga perawatan, dapat ditemukan bahwa
keluhan pasien tidak membaik. Penanganan sepsis membutuhkan ruang rawat
inap intensif untuk pemberian antibiotik infus, vasopresor, intubasi, dan
pemeriksaan laktat. Keluarga pasien diberikan anjuran rujuk ke RSUD Sijunjung.
Pasien ingin rujuk secara umum ke RSUD M. Natsir Solok dan meminta pulang
paksa.
Pemeriksaan penunjang diperlukan untuk menegakkan diagnosis, dimana
pada pasien ini dilakukan pemeriksaan darah lengkap, pemeriksaan widal, dan
pemeriksaan NS1. Dari pemeriksaan darah lengkap ditemukan leukositosis dan
trombositopenia. Pada pemeriksaan widal diketahui jika widal positif dengan titer
S. typhi O sebesar 1/320. Pemeriksaan NS1 dilakukan untuk menyingkirkan
diagnosis banding demam dengue, dimana hasil pemeriksaan NS1 pada pasien ini
negatif. Pada pemeriksaan widal, interpretasi positif jika titer aglutinin O minimal
1/320 atau terdapat kenaikan titer hingga 4 kali lipat pada pemeriksaan ulang
dengan interval 5 – 7 hari.

35
DAFTAR PUSTAKA

1. Sukandar, E. Infeksi saluran kemih pada pasien dewasa. Dalam: Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2007. (Edisi IV; vol.
Jilid I).

2. Gotts JE, Matthay MA. Sepsis: pathophysiology and clinical management.


BMJ. 23 Mei 2016;353:i1585.

3. Lumbanbatu SM. Bakteriuria Asimptomatik pada Anak Sekolah Dasar Usia


9-12 tahun. Medan: Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara; 2003.

4. Gyawali B, Ramakrishna K, Dhamoon AS. Sepsis: The evolution in


definition, pathophysiology, and management. SAGE Open Med.
2019;7:2050312119835043.

5. Purba AKR, Mariana N, Aliska G, Wijaya SH, Wulandari RR, Hadi U, dkk.
The burden and costs of sepsis and reimbursement of its treatment in a
developing country: An observational study on focal infections in Indonesia.
Int J Infect Dis. Juli 2020;96:211–8.

6. Mahapatra S, Heffner AC. Septic Shock. Dalam: StatPearls [Internet].


Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2023 [dikutip 20 April 2023].
Tersedia pada: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK430939/

7. Dugar S, Choudhary C, Duggal A. Sepsis and septic shock: Guideline-based


management. CCJM. Januari 2020;87(1):53–64.

8. Evans L, Rhodes A, Alhazzani W, Antonelli M, Coopersmith CM, French C,


dkk. Surviving sepsis campaign: international guidelines for management of
sepsis and septic shock 2021. Intensive Care Med. November
2021;47(11):1181–247.

9. Schmiemann G, Kniehl E, Gebhardt K, Matejczyk MM, Hummers-Pradier


E. The diagnosis of urinary tract infection: a systematic review. Dtsch
Arztebl Int. Mei 2010;107(21):361–7.

10. Naber KG, Bergman B, Bishop MC, Bjerklund-Johansen TE, Botto H, Lobel
B, dkk. EAU guidelines for the management of urinary and male genital tract
infections. Urinary Tract Infection (UTI) Working Group of the Health Care
Office (HCO) of the European Association of Urology (EAU). Eur Urol.
November 2001;40(5):576–88.

11. Pengantar epidemiologi penyakit menular / Nur Nasry Noor | OPAC


Perpustakaan Nasional RI. [Internet]. [dikutip 22 April 2023]. Tersedia pada:
https://opac.perpusnas.go.id/DetailOpac.aspx?id=635677

36

Anda mungkin juga menyukai