Anda di halaman 1dari 34

TINJAUAN PUSTAKA

Diagnosis dan Tatalaksana Limfadenitis Tuberkulosis

Oleh :

Wanda Rendraswara (H1A013062)

Pembimbing :

dr. Komang Sri Rahayu Widiasari, Sp.P

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK

MADYA BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT DALAM

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM

2017

i
KATA PENGANTAR

Penyusun memanjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha


Esa atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis menyelesaikan Makalah
yang berjudul Limfadenitis TB.

Selama penyusunan tinjauan pustaka ini, penulis telah banyak


mendapatkan bantuan yang tidak sedikit dari beberapa pihak, sehingga
dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan sehingga
tinjauan pustaka ini dapat terselesaikan sebagaimana mestinya. Penulis
menyadari bahwa selama dalam penyusunan tinjauan pustaka ini jauh
dari sempurna dan banyak kekurangan dalam penyusunannya. Oleh karena
itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun guna
kesempurnaan tinjauan pustaka ini. Penulis berharap tinjauan pustaka ini
dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membaca pada umumnya dan
penulis pada khususnya.

Mataram, 31 Juli 2017

Penulis

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ................................................................................................. i

Daftar Isi........................................................................................................... ii

BAB 1 Pendahuluan..................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang................................................................................. 1

1.2 Tujuan .............................................................................................. 2

BAB 2 Tinjauan Pustaka.............................................................................. 3

2.1 Kelenjar Getah Bening .................................................................... 3

2.2 Limfadenitis TB............................................................................... 5

2.3 Epidemiologi ................................................................................... 6

2.4 Etiologi Limfadenitis TB................................................................. 6

2.5 Penularan Tuberculosis.................................................................... 8

2.6 Patogenesis ...................................................................................... 8

2.7 Manifestasi Klinis............................................................................ 10

2.8 Diagnosis ......................................................................................... 15

2.8.1 Pemeriksaan Mikrobiologi................................................... 15

2.8.2 Tes Tuberkulin ..................................................................... 15

2.8.3 Uji Interferon ....................................................................... 20

2.8.4 Serologi ................................................................................ 20

2.8.5 Patologi Anatomi ................................................................. 21

ii
2.9 Penatalaksanaan............................................................................... 21

2.9.1 Terapi Non Farmakologis .................................................... 21

2.9.2 Terapi Farmakologis ............................................................ 22

2.10 Efek Samping Obat Anti Tuberkulosis........................................... 26

2.11 Resistensi Obat Anti Tuberkulosis ................................................. 27

2.12 Evaluasi Keberhasilan Pengobatan Tuberkulosis ........................... 28

DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................30

3
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi
Mycobacterium tuberculosis (MTB) yang menyerang parenkim paru. Dan dalam
beberapa abad tuberkulosis masih menempati urutan infeksi tersering yang dapat
menyebabkan kematian bagi penderitanya. Pada tahun 2009, WHO juga telah
memprediksikan bahwa insidensi penyakit tuberkulosis akan terus meningkat baik
kasus baru disertai dengan adanya komorbid pasien dengan HIV-positif maupun
pasien dengan HIV-negatif. Pada tahun yang sama, Indonesia menduduki peringkat
kelima negara dengan insidensi TB tertinggi di dunia sebanyak 0,35 -0,52 juta
setelah India (1,6-2,4 juta), Cina (1,1-1,5 juta), Afrika Selatan (0,40-0,59 juta),
dan Nigeria (0,37-0,55 juta) (WHO, 2010).
Mycobacterium tuberculosis umumnya akan menginfeksi jaringan parenkim paru,
namun tidak jarang saat ini MTB juga dapat menginfeksi organ dan sistem organ di
luar paru, hal ini dikenal dengan TB ekstra-paru. TB ekstra-paru adalah masalah
klinis yang penting karena berdasarkan epidemiologi TB ekstra-paru terjadi sekitar
15-20% dari semua kasus TB pada pasien dengan HIV-negatif dan lebih dari 50%
pada pasien dengan HIV-positif, dimana limfadenitis TB (35%) adalah temuan
terbanyak dari seluruh kasus TB ekstra-paru baik pada pasien dengan HIV-negatif
maupun HIV-positif (WHO, 2010).
1.3 Tujuan
1. Untuk memahami tinjauan ilmu teoritis mengenai limfadenitis TB.
2. Untuk mengintegrasikan ilmu kedokteran terhadap kasus limfadenitis TB pada
pasien secara langsung.
3. Untuk memahami perjalanan penyakit limfadenitis TB.

4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kelenjar Getah Bening


Kelenjar getah bening (KGB) merupakan salah satu bentuk dari sistem
pertahanan tubuh, berbentuk seperti kacang polong yang terdiri dari lapisan
korteks dan medulla yang terdiri dari kumpulan sel pembentuk pertahanan tubuh
dan tempat penyaringan antigen dari pembuluh getah bening yang melewatinya.
Fungsinya adalah sebagai filter berbagai mikroorganisme asing dan partikel
hasil degradasi sel atau metabolisme.

Gambar 2.1 Kelenjar Getah Bening1

5
Terdapat kurang lebih 600 KGB, namun ada daerah yang teraba normal pada
orang sehat, yaitu submandibular, axillary, dan inguinal. 50% terdapat di kepala &
leher.

Gambar 2.2 Kelenjar Getah Bening Leher1

Gambar 2.3 Kelenjar Getah Bening Axilla1

6
Gambar 2.4 Kelenjar Getah Bening Inguinal1

2.2 Limfadenitis TB
Limfadenitis merupakan peradangan pada kelenjar limfe atau getah
bening, sedangkan limfadenitis tuberculosis (TB) merupakan peradangan pada
kelenjar limfe atau getah bening yang disebabkan oleh basil tuberculosis. Apabila
peradangan terjadi pada kelenjar limfe di leher disebut dengan scrofula.
Limfadenitis pada kelenjar limfe di leher inilah yang biasanya paling sering
terjadi. Istilah scrofula diambil dari bahasa latin yang berarti pembengkakan
kelenjar. Infeksi M. tuberculosis pada kulit disebabkan oleh perluasan langsung
tuberculosis ke kulit dari struktur dasarnya atau terpajan langsung melalui kontak
dengan M. tuberculosis yang disebut dengan scrofuloderma. 1

Gambar 2.5 Limfadenitis TB Regio Colli1

7
2.3 Epidemiologi
Tuberkulosis masih merupakan penyebab kematian tersering pada
golongan penyakit infeksi. WHO memprediksi insidensi penyakit tuberculosis ini
akan terus meningkat, di mana akan terdapat 12 juta kasus baru dan 3 juta
kematian akibat penyakit tuberkulosis setiap tahun. Sepertiga dari peningkatan
jumlah kasus baru disebabkan leh epidemic HIV, di mana tuberkulosis
menyebabkan kematian pada satu orang dari tujuh orang yang menderita AIDS. 1
Di Indonesia pada tahun 2009 menempati peringkat kelima negara dengan
insidensi TB tertinggi di dunia sebanyak 0,35-0,52 juta setelah India (1,6-2,4
juta), Cina (1,1-1,5 juta), Afrika Selatan (0,40-0,59), dan Nigeria (0,37-0,55 juta).2
Tuberkulosis dapat melibatkan berbagai sistem organ tubuh. Meskipun TB
pulmoner adalah kasus yang paling banyak, TB ekstrapulmoner juga merupakan
salah satu masalah yang tidak kalah penting. Istilah TB ekstrapulmoner digunakan
pada tuberkulosis yang terjadi selain pada paru-paru. Berdasarkan epidemiologi
TB ekstrapulmoner merupakan 15-20% dari semua kasus TB pada pasien HIV-
negatif, di mana limfadenitis TB merupakan bentuk terbanyak (35% dari semua
TB ekstrapulmoner). Sedangkan pada pasien dengan HIV-positif TB
ekstrapulmoner adalah lebih dari 50% kasus TB, di mana limfadenitis tetap
terbanyak yaitu 35% dari Tb ekstrapulmoner. 3

2.4 Etiologi Limfadenitis TB


Limfadenitis tuberkulosis disebabkan oleh infeksi Mycobacterium
tuberculosis. Mycobacterium tergolong dalam family Mycobactericeae dan ordo
Actinomyceales. Spesies patogen yang termasuk dalam Mycobacterium kompleks,
yang merupakan agen penyebab penyakit yang tersering dan terpenting adalah
Mycobacterium tuberculosis. Yang tergolong dalam Mycobacterium tuberculosis
complex adalah M.tuberculosae, M. bovis, M. caprae, M. africanum, M. microti,
M. pinnipedii, M. canettii. Pembagian tersebut berdasarkan perbedaan
epidemiologi. 4
Basil TB adalah bakteri aerobic obligat berbentuk batang tipis lurus
berukuran 0,4 x 3 m dan tidak berspora. Pada media buatan berbentuk kokoid
dan filamentous tampak bervariasi dari satu spesies ke spesies lain. Mycobacteria

8
termasuk M.tuberculosis tidak dapat diwarnai dengan pewarnaan gram dan hanya
dapat diwarnai dengan pewarnaan khusus yang sangat kuat mengikat zat warna
tersebut sehingga tidak dapat dilunturkan walaupun menggunakan asam alkohol,
sehingga dijuluki bakteri tahan asam. M. tuberculosis mudah mengikat pewarna
Ziehl-Neelsen atau karbol fuchsin.4
Dinding bakteri Mycobacteria kaya akan lipid yang terdiri dari asam
mikolat, lilin, dan fosfat. Muramil dipeptida yang membuat kompleks dengan
asam mikolat dapat menyebabkan pembentukan granuloma. Lipid inilah yang
bertanggung jawab pada sifat tahan asam bakteri Mycobacteria.4

Gambar 2.6 Struktur dinding sel M. tuberculosis2

Gambar 2.7 M. tuberculosis tampak pada pewarnaan Ziehl-Neelsen32

Gambar 2.8 Kultur M. tuberculosis pada medium Lowenstein Jensen32

9
2.5 Penularan Tuberkulosis
Penularan tuberkulosis melalui berbagai cara, yaitu lewat udara/ droplet
nuclei dengan diameter 3-5 m (>90%) dengan jarak 1-5 meter, dapat juga
(jarang) melalui kontak langsung kulit/ luka/ lecet, dan kongenital, minum susu
terkontaminasi basil (M. bovis). Basil tetap hidup dan virulen dalam keadaan
kering beberapa minggu, mati dalam cairan dengan suhu 60oC selama 15-20
menit. Basil tidak membentuk toksin. Penularan pada umumnya berasal dari TB
dewasa dengan BTA (+).34
Faktor yang berpengaruh dalam penularan TB menurut Beyers et al (2004)
adalah:
- Dosis/ jumlah paparan
- Konsentrasi kuman di udara
- Virulensi kuman
- Durasi/ lama pajanan
- Keadaan imunitas host

Gambar 2.9 Penularan M. tuberculosis melalui droplet nuklei34

2.6 Patogenesis
Secara umum penyakit tuberkulosis dapat diklasifikasikan menjadi TB
pulmoner dan Tb ekstrapulmoner. TB pulmoner dapat diklasifikasikan menjadi
TB pulmoner primer dan TB pulmoner post-primer (sekunder). Basil tuberkulosis
juga dapat menginfeksi organ lain selain paru, yang disebut sebagai TB
ekstrapulmoner. Organ ekstrapulmoner yang sering diinfeksi oleh basil

10
tuberkulosis adalah kelanjar getah bening, pleura, saluran kemih, tulang,
menigens, peritoneum, dan pericardium. 5
TB primer terjadi pada saat seseorang pertama kali terpapar terhadap basil
tuberkulosis. Basil TB ini masuk ke paru dengan cara inhalasi droplet. Sampai di
paru, basil TB ini akan difagosit oleh makrofag dan akan mengalami dua
kemungkinan. Pertama, basil TB akan mati difagosit oleh makrofag. Kedua, basil
TB akan dapat bertahan hidup dan bermultiplikasi dalam makrofag sehingga basil
TB akan dapat menyebar secara limfogen, perkontinuitatum, bronkogen, bahkan
hematogen. Penyebaran basil TB ini pertama sekali secara limfogen menuju
kelenjar limfe regional di hilus, di mana penyebaran basil TB tersebut akan
menimbulkan reaksi inflamasi di sepanjang saluran limfe (limfangitis) dan
kelenjar limfe regional (limfadenitis). Pada orang yang mempunyai imunitas baik,
dalam waktu 3-4 minggu setelah ineksi akan terbentuk imunitas seluler. Imunitas
seluler ini akan membatasi penyebaran basil TB dengan cara menginaktivasi basil
TB dalam makrofag membentuk suatu focus primer yang disebut focus Ghon.
Fokus Ghon bersama-sama dengan limfnagitis dan limfadenitis regional disebut
dengan komplek Ghon. Terbentuknya focus Ghon mengimplikasikan dua hal
penting. Pertama, focus Ghon berarti dalam tubuh seseorang sudah terdapat
imunitas seluler yang spesifik terhadap basil TB. Kedua, focus Ghon merupakan
suatu lesi penyembuhan yang didalamnya berisi basil TB dalam keadaan laten
yang dapat bertahan hidup dalam beberapa tahun dan bisa tereaktivasi kembali
menimbulkan penyakit. 5
Jika terjadi reaktivasi atau reinfeksi basil TB pada orang yang sudah
memiliki imunitas seluler, hal ini disebut dengan TB-post primer. Adanya
imunitas seluler akan mebatasi peneybaran basil TB lebih cepat daripada TB primer
disertai dengan pembentukan jaringan keju (kaseosa). Sama seperti pada Tb
primer, basic TB pada TB post-primer dapat menyebar terutama melalui aliran
limfe menuju kelenjar limfe lalu ke semua organ. Kelenjar limfe hilus,
mediastinal, dan paratrakeal merupakan tempat penyebaran pertama dari infeksi
TB pada parenkim paru. 5
Basil TB juga dapat menginfeksi kelenjar limfe tanpa terlebih dahulu
menginfeksi paru. Basil TB ini akan berdiam di mukosa orofaring setelah basil

11
TB masuk melalui inhalasi droplet. Di mukosa orofaring basil TB akan difagosit
oleh makrofag dan di bawa ke tonsil, selanjutnya akan di bawa ke kelenjar limfe
di leher. 5

Gambar 2.10 Patofisiologi Limfadenitis TB 5

2.7 Manifestasi Klinis


Limfadenitis adalah presentasi klinis paling sering dari TB
ekstrapulmoner. Limfadenitis TB juga dapat merupakan manifestasi lokal dari
penyakit sistemik. Pasien biasanya datang dengan keluhan pembesaran kelenjar
getah bening yang lambat. Pada pasien limfadenitis TB dengan HIV-negatif,
limfadenopati leher terisolasi adalah manifestasi yang paling sering dijumpai yaitu
sekitar 2/3 pasien. Oleh karena itu, infeksi mikobakterium harus menjadi salah
satu diagnosis banding dari pembengkakan kelenjar getah bening, terutama pada
daerah yang endemis. Durasi gejala sebelum diagnosis berkisar dari beberapa
minggu sampai beberapa bulan. 5
Limfadenitis TB paling sering melibatkan kelenjar getah bening servikalis,
kemudian diikuti berdasarkan frekuensinya oleh kelenjar mediastinal, aksilaris,
mesenterikus, portal hepatikus, perihepatik dan kelenjar inguinalis. 5
Lokasi limfadenitis meliputi:
1. Limfadenitis daerah kepala dan leher
Kelenjar getah bening servikal teraba pada sebagian besar anak, tetapi
ditemukan juga pada 56% orang dewasa. Penyebab utama limfadenopati servikal
adalah infeksi; pada anak, umumnya berupa infeksi virus akut yang swasirna.

12
Pada infeksi mikobakterium atipikal, cat-scratch disease, toksoplasmosis,
limfadenitis Kikuchi, sarkoidosis, dan penyakit Kawasaki, limfadenitis dapat
berlangsung selama beberapa bulan. Limfadenitis supraklavikula kemungkinan
besar (54%-85%) disebabkan oleh keganasan.3 Kelenjar getah bening servikal
yang mengalami inflamasi dalam beberapa hari, kemudian berfluktuasi (terutama
pada anak-anak) khas untuk limfadenitis akibat infeksi stafilokokus dan
streptokokus.1 Kelenjar getah bening servikal yang berfluktuasi dalam beberapa
minggu sampai beberapa bulan tanpa tanda-tanda inflamasi atau nyeri yang
signifikan merupakan petunjuk infeksi mikobakterium, mikobakterium atipikal
atau Bartonella henselae (penyebab cat scratch disease).1 Kelenjar getah bening
servikal yang keras, terutama pada orang usia lanjut dan perokok menunjukkan
metastasis keganasan kepala dan leher (orofaring, nasofaring, laring, tiroid, dan
esofagus).1 Limfadenitis servikal merupakan manifestasi limfadenitis tuberkulosa
yang paling sering (63-77% kasus), disebut skrofula. Kelainan ini dapat juga
disebabkan oleh mikobakterium nontuberkulosa.2
2. Limfadenitis epitroklear
Terabanya kelenjar getah bening epitroklear selalu patologis. Penyebabnya
meliputi infeksi di lengan bawah atau tangan, limfoma, sarkoidosis, tularemia, dan
sifilis sekunder.1
3. Limfadenitis aksila
Sebagian besar limfadenitis aksila disebabkan oleh infeksi atau jejas pada
ekstremitas atas. Adenokarsinoma payudara sering bermetastasis ke kelenjar getah
bening aksila anterior dan sentral yang dapat teraba sebelum ditemukannya tumor
primer. Limfoma jarang bermanifestasi sejak awal atau, kalaupun bermanifestasi,
hanya di kelenjar getah bening aksila. Limfadenitis antekubital atau epitroklear
dapat disebabkan oleh limfoma atau melanoma di ekstremitas, yang bermetastasis
ke kelenjar getah bening ipsilateral.3
4. Limfadenitis supraklavikula
Limfadenitis supraklavikula mempunyai keterkaitan erat dengan
keganasan. Pada penelitian, keganasan ditemukan pada 34% dan 50% penderita.
Risiko paling tinggi ditemukan pada penderita di atas usia 40 tahun.1 Limfadenitis
supraklavikula kanan berhubungan dengan keganasan di mediastinum, paru, atau

13
esofagus. Limfadenitis supraklavikula kiri (nodus Virchow) berhubungan dengan
keganasan abdominal (lambung, kandung empedu, pankreas, testis, ovarium,
prostat).4
5. Limfadenitis inguinal
Limfadenitis inguinal sering ditemukan dengan ukuran 1-2 cm pada orang
normal, terutama yang bekerja tanpa alas kaki. Limfadenitis reaktif yang jinak dan
infeksi merupakan penyebab tersering limfadenitis inguinal. Limfadenitis inguinal
jarang disebabkan oleh keganasan. Karsinoma sel skuamosa pada penis dan vulva,
limfoma, serta melanoma dapat disertai limfadenitis inguinal. Limfadenitis
inguinal ditemukan pada 58% penderita karsinoma penis atau uretra.5
6. Limfadenitis generalisata
Limfadenitis generalisata lebih sering disebabkan oleh infeksi serius,
penyakit autoimun, dan keganasan, dibandingkan dengan limfadenitis lokalisata.
Penyebab jinak pada anak adalah infeksi adenovirus. Limfadenitis generalisata
dapat disebabkan oleh leukemia, limfoma, atau penyebaran kanker padat stadium
lanjut. Limfadenitis generalisata pada penderita AIDS dapat terjadi karena tahap
awal infeksi HIV, tuberkulosis, kriptokokosis, sitomegalovirus, toksoplasmosis, dan
sarkoma Kaposi.3 Lokasi kelenjar getah bening daerah leher dapat dibagi menjadi
6 level. Pembagian ini berguna untuk memperkirakan sumber keganasan primer
yang mungkin bermetastasis ke kelenjar getah bening tersebut dan
tindakan diseksi leher.6
Menurut Sharma (2009), pada pasien dengan HIV-negatif maupun HIV-
positif, kelenjar limfe servikalis adalah yang paling sering terkena, diikuti oleh
kelenjar limfe aksilaris dan inguinalis. 6
Pembekakan kelenjar limfe dapat terjadi secara unilateral atau bilateral,
tunggal maupun multiple, di mana benjolan ini biasanya tidak nyeri dan
berkembang secara lambat dalam hitungan minggu sampai bulan, dan paling
sering berlokasi di region servikalis posterior dan yang lebih jarang di region
supraklavikular. 5

14
Gambar 2.11 Level kelenjar getah bening leher6

Tabel 2.1 Kelompok kelenjar getah bening daerah leher berdasarkan level6

Keterlibatan multifokal ditemukan pada 39% pasien HIV-negatif dan pada


90% HIV-positif. Pada pasien HIV-positif, keterlibatan multifokal, limfadenopati
6
intratorakalis dan intraabdominal serta TB paru adalah sering ditemukan.

15
Beberapa pasien dengan limfadenitis TB dapat menunjukkan gejala sistemik
yaitu seperti demam, penurunan berat badan, fatigue dan keringat malam. Lebih dari
57% pasien tidak menunjukkan gejala sistemik. 5
Menurut Jones dan Campbell dalam Mohapatra (2009) limfadenopati
tuberkulosis perifer dapat diklasifikasikan ke dalam lima stadium yaitu:
1. Stadium 1, pembesaran kelenjar berbatas tegas, mobile dan diskret
2. Stadium 2, pembesaran kelenjar yang kenyal serta terfiksir ke jaringan
sekitar oleh karena adanya periadenitis
3. Stdium 3, perlunakan di bagian tengah kelenjar (central softening) akibat
pembentukan abses
4. Stadium 4, pembentukan collar-stud abscess
5. Stadium 5, pembentukan traktus sinus
Gambaran klinis limfadenitis TB bergantung pada stadium penyakit.
Kelenjar limfe yang terkena biasanya tidak nyeri kecuali, terjadi infeksi sekunder
bakteri, pembesaran kelenjar yang cepat atau koinsidensi dengan infeksi HIV. Abses
kelenjar limfe dapat pecah, dan kemudian kadang-kadang dapat terjadi sinus
yang tidak menyembuh secara kronis dan pembentukan ulkus. Pembentukan fistula
terjadi pada 10% dari limfadentis TB servikalis. 5
Skrofuloderma adalah infeksi mikobakterial pada kulit yang disebabkan
oleh perluasan langsung infeksi TB ke kulit dari struktur dibawahnya atau oleh
paparan langsung terhadap basil TB. 5
Limfadenitis mediastinal lebih sering terjadi pada anak-anak. Pada dewasa
limfadenitis mediastinal jarang menunjukkan gejala. Manifestasi yang jarang terjadi
pada pasien dengan keterlibatan kelenjar limfe mediastinal termasuk disfagia,
fistula oesophagomediastinal, dan fistula tracheooesophageal. Pembengkakan
kelenjar limfe mediastinal dan abdomen atas juga dapat menyebabkan obstruksi
duktus torasikus dan chylothorax, chylous ascites ataupun chyluria. Pada keadaan
tertentu, obstruksi biliaris akibat pembesaran kelenjar limfe dapat menyebabkan
obstructive jaundice. Tamponade jantung juga pernah
dilaporkan terjadi akibat limfadenitis mediastinal. 5
Pembengkakan kelenjar getah bening yang berukuran > 2 cm biasanya
disebabkan oleh M. tuberculosis. Pembengkakan yang berukuran < 2 cm biasanya

16
disebabkan oleh mikobakterium atipik, tetapi tidak menutup kemungkinan
pembengkakan tersebut disebabkan oleh M. tuberculosis. 5

2.8 Diagnosis
Untuk mendiagnosa limfadenitis TB dilakukan melalui anamnesis
dan pemeriksaan fisik yang lengkap. Selain itu ditunjang oleh
pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan mikrobiologi, tes tuberculin,
pemeriksaan sitologi, dan pemeriksaan radiologis. Pemeriksaan-pemeriksaan
tersebut penting untuk membantu dalam membuat diagnosis awal yang dapat
digunakan sebagai pedoman dalam memberikan pengobatan sebelum diagnosis
akhir dapat dibuat berdasarkan biopsi dan kultur. Selain itu, juga penting
untuk membedakan jenis penyebab infeksi apakah karena mikobakterium
tuberkulosis atau non-tuberkulosis. Beberapa pemeriksaan yang dilakukan untuk
menegakkan diagnosa limfadenitis TB :

2.8.1 Pemeriksaan Mikrobiologi


Pemeriksaan mikrobiologi yang meliputi pemeriksaan mikroskopis dan
kultur. Pemeriksaan mikroskopis dilakukan dengan pewarnaan Ziehl- Neelsen.
Spesimen untuk pewarnaan dapat diperoleh dari sinus atau biopsiaspirasi. Dengan
pemeriksaan ini kita dapat memastikan adanya basilmikobakterium pada
spesimen, diperlukan minimal 10.000 basil TB agar perwarnaan dapat positif. 5
Kultur juga dapat dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis
limfadenitis TB. Adanya 10-100 basil/mm3 cukup untuk membuat hasil kultur
positif. Hasil kultur positif hanya pada 10-69% kasus. Berbagai media dapat
digunakan seperti Petregnani, Trudeau, Middle-brook, danBactec TB. Diperlukan
waktu beberapa minggu untuk mendapatkan hasilkultur. Pada adenitis
tuberkulosa, M.tuberculosis adalah penyebab tersering,diikuti oleh M.bovis. 5

2.8.2 Tes Tuberkulin


Tuberkulin adalah komponen protein kuman TB yang mempunyai sifat
antigenik yang kuat. Jika disuntikkan secara intrakutan kepada seseorang yang telah
terinfeksi TB (telah ada kompleks primer dalam tubuhnya dan telah

17
terbentuk imunitas selular terhadap TB), maka akan terjadi reaksi berupa indurasi
di lokasi suntikan. Indurasi ini terjadi karena vasodilatasi lokal, edema, endapan
fibrin dan terakumulasinya sel-sel inflamasi di daerah suntikan.4
Prinsip dasar uji tuberkulin adalah sebagai berikut:
Infeksi M.tuberculosis sel limfosit T berproliferasi, tersensitisasi masuk
ke aliran darah, bersirkulasi berbulan-bulan/ bertahun-tahun.
Proses sensitisasi terjadi dalam kelenjar getah bening regional (2-12 jam
setelah infeksi).
Injeksi tuberkulin pada kulit menstimulasi sel limfosit respons
hipersensitivitas tipe lambat (delayed-type hypersensitivity/ DTH) yang
memerlukan waktu berjam-jam.
Reaktivitas kulit: vasodilatasi, edema, infiltrasi sel-sel limfosit, basofil,
monosit dan netrofil ke lokasi suntikan.
Antigen-spesific limfosit T akan berproliferasi dan melepaskan limfokin, yg
akan mengundang akumulasi sel-sel lain ke lokasi suntikan terjadi indurasi
yg mencerminkan aktivitas DTH.

Gambar 2.12 Respon imun pada tes tuberkulin4

Uji tuberkulin memiliki sensitivitas dan spesifisitas > 90%. Tuberkulin


yang tersedia di Indonesia saat ini adalah PPD RT-23 2TU (tuberculin unit)
buatan Statens Serum Institute Denmark, dan PPD (purified protein derivative)
dari Biofarma.4

18
Gambar 2.13 PPD RT-23 2TU4

Uji tuberkulin cara Mantoux dilakukan dengan menyuntikkan 0,1 ml PPD


RT 23 2TU atau PPD S 5TU, secara intrakutan di bagian volar lengan bawah.
Pembacaan dilakukan 48-72 jam setelah penyuntikan. Pengukuran dilakukan
terhadap indurasi yang timbul, bukan hiperemi atau eritemanya. Indurasi diperiksa
dengan cara palpasi untuk menentukan tepi indurasi, transversal indurasi diukur
dengan alat pengukur transparan, dan hasilnya dinyatakan dalam milimeter. Jika
tidak timbul indurasi sama sekali, hasilnya dilaporkan sebagai 0 mm, jangan
hanya dilaporkan sebagai negatif. Selain ukuran indurasi, perlu dinilai tebal
tipisnya indurasi dan perlu dicatat jika ditemukan vesikel hingga bula. 3,4

Gambar 2.14 Cara penyuntikan dan pembacaan hasil tes tuberkulin 3

19
Secara umum, hasil uji tuberkulin dengan diameter indurasi 10 mm
dinyatakan positif tanpa menghiraukan penyebabnya. Hasil positif ini sebagian
besar disebabkan oleh infeksi TB alamiah, tetapi masih mungkin disebabkan oleh
imunisasi Bacille Calmette-Guerin (BCG) atau infeksi M. atipik. BCG merupakan
infeksi TB buatan dengan kuman M. bovis yang dilemahkan, sehingga
kemampuannya dalam menyebabkan reaksi tuberkulin menjadi positif, tidak
sekuat infeksi alamiah.4,5 Interpretasi dari uji tuberkulin dapat dilihat pada gambar
12 berikut.

Gambar 2.15 Interpretasi tes tuberkulin4

Uji tuberkulin positif dapat dijumpai pada keadaan sebagai berikut:


1. Infeksi TB alamiah
a. Infeksi TB tanpa sakit TB (infeksi TB laten)
b. Infeksi TB dan sakit TB
c. TB yang telah sembuh
2. Imunisasi BCG (infeksi TB buatan)
3. Infeksi mikobakterium atipik

20
Uji tuberkulin negatif dapat dijumpai pada keadaan sebagai berikut:
1. Tidak ada infeksi TB
2. Dalam masa inkubasi infeksi TB
3. Anergi
Anergi adalah keadaan penekanan sistem imun, sehingga tubuh tidak
memberikan reaksi terhadap tuberkulin walaupun sebenarnya sudah terinfeksi TB.
Beberapa keadaan dapat menimbulkan anergi, misalnya gizi buruk, keganasan,
penggunaan steroid jangka panjang, sitostatika, penyakit morbili, pertusis,
varisela, influenza, TB yang berat, serta pemberian vaksinasi dengan vaksin virus
hidup.4,5
Tabel 2.2 Sebab-sebab hasil positif palsu dan negatif palsu pada uji tuberkulin 4
Positif palsu
Penyuntikan salah
Interpretasi tidak benar
Reaksi silang dengan mikobakterium atipik

Negatif palsu
Masa inkubasi
Penyimpanan tidak baik dan penyuntikan salah
Interpretasi tidak benar
Menderita tuberkulosis luas dan berat
Disertai infeksi virus (campak, rubella, cacar air, influenza, HIV)
Imunokompetensi selular, termasuk pemakaian kortikosteroid
Kekurangan komplemen
Demam
Leukositosis
Malnutrisi
Sarkoidosis
Psoriasis
Jejunoileal by pass
Terkena sinar ultraviolet (matahari, solaria)
Defisiensi pernisiosa
Uremia

Untuk mempermudah pemahaman mengenai konsep infeksi TB dan sakit


TB, maka dibuat klasifikasi TB oleh American Thoracic Society (ATS) dan Centers
for Disease Control and Prevention (CDC) Amerika sesuai tabel berikut.

21
Tabel 2.3 Klasifikasi individu berdasarkan status tuberkulosisnya 4
Kelas Pajanan (kontak Infeksi (uji (sakit (uji tuberkulin,
dengan pasien TB tuberkulin klinis, dan pemeriksaan
aktif) positif) penunjang positif)
0 - - -
1 + - -
2 + + -
3 + + +

2.8.3 Uji Interferon


Pemeriksaan IGRA (interferon gamma release assay) didasarkan pada
adanya pelepasan sitokin inflamasi yang dihasilkan oleh sel T limfosit yang
sebelumnya telah tersensitisasi oleh antigen M. tuberculosis. Pada uji IFN-,
limfosit darah tepi distimulasi secara in-vitro dan kadar IFN- yang dihasilkan
oleh sel limfosit T yang telah tersensitisasi oleh antigen protein spesifik M.
tuberculosis yaitu early secretory antigenic target-6 (ESAT-6) dan culture filtrate
protein-10 (CFP-10). Hasil pemeriksaan ini belum dapat membedakan infeksi saja
atau ada penyakit TB.4
Pemeriksaan IGRA ini memiliki spesifitas lebih tinggi daripada uji
tuberkulin karena tidak ada reaksi silang dengan vaksinasi BCG dan infeksi
mikobakterium atipik. Ada 2 macam pemeriksaan IGRA, yaitu quantiferon TB gold
dan T-spot-TB. Quantiferon TB-gold mengukur jumlah IFN- dengan ELISA yang
dinyatakan dalam pg/ml atau IU/ml. T-spot-TB menghitung jumlah IFN- secreting
T-cell berupa titik-titik (spot foaming cells). Pemeriksaan IGRA belum
dibuktikan hasilnya pada anak-anak.4

2.8.4 Serologi
Berbagai penelitian dan pengembangan pemeriksaan imunologi antigen-
antibodi spesifik untuk M. tuberculosis ELISA dengan menggunakan PPD, A60,
38kDa, lipoarabinomanan (LAM) dengan bahan pemeriksaan dari darah, sputum,
cairan bronkus (bronkus dan bronchoalveolar lavage; BAL), cairan pleura, dan CSS
terus dilakukan. Beberapa pemeriksaan serologis yang ada: PAP TB, mycodot,
immunochromatographic test (ICT), dan lain-lain masih belum bisa membedakan
antara infeksi TB dan sakit TB. Tes serologis ini memiliki sensitivitas 19-68% dan
spesifitas 40-98%.4,5

22
2.8.5 Patologi Anatomi
Pemeriksaan PA dapat menunjukkan gambaran granuloma yang
ukurannya kecil, terbentuk dari agregasi sel epiteloid yang dikelilingi oleh
limfosit. Granuloma tersebut mempunyai karakteristik perkijuan atau area
nekrosis kaseosa di tengah granuloma. Gambaran khas lainnya adalah
ditemukannya multinucleated giant cell (sel datia Langhans). Diagnosis
histopatologi dapat ditegakkan dengan menemukan perkijuan (kaseosa), sel
epiteloid, limfosit, dan sel datia Langhans. Kadang dapat ditemukan juga BTA.4,6
Kendala pemeriksaan PA adalah sulitnya didapatkan spesimen yang
representatif. Spesimen yang paling mudah dan paling sering diperiksa adalah
limfadenopati kolli. Idealnya kelenjar diambil secara utuh agar gambaran
histopatologi yang khas dapat terlihat. Pemeriksaan PA kelenjar limfe ini
mempunyai perancu, yaitu infeksi M. atipik dan limfadenitis BCG yang secara
histopatologi sulit dibedakan dengan TB. 4,6

2.9 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan limfadenitis TB secara umum dibagi menjadi dua bagian,
yakni secara farmakologis dan non farmakologis. Terapi non farmakologis adalah
dengan pembedahan, sedangkan terapi farmakologis memiliki prinsip dan
regimen obatnya yang sama dengan tuberkulosis paru. 7

2.9.1 Terapi Non Farmakologis


Pembedahan bukan pilihan terapi yang utama. Prosedur pembedahan yang
dapat dilakukan adalah dengan: 7
a. Biopsi eksisional : Limfadenitis yang disebabkan oleh karena atypical
mycobacteria
b. Aspirasi
c. Insisi dan drainase
Indikasi pembedahan pada limfadenitis adalah ketika pusat radang
tuberkulosis sudah terdiri dari pengejuan dan dikelilingi jaringan fibrosa. Adanya
jaringan nekrosis akan menghambat penetrasi antibiotik ke daerah radang
sehingga pembasmian kuman tidak efektif. Oleh karena itu sarang infeksi di

23
berbagai organ misalnya kaverne di paru dan debris di tulang harus dibuang. Jadi,
tindak bedah menjadi syarat mutlak untuk hasil baik terapi medis. Selain itu
tindak bedah juga diperlukan untuk mengatasi penyulit, misalnya pada
tuberkulosis paru yang menyebabkan destruksi luas dan empiema, pada
tuberkulosis usus yang menimbulkan obstruksi atau perforasi, dan osteitis atau
artritis tuberkulosa yang menimbulkan cacat. 7

2.9.2 Terapi Farmakologis


Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) (2011) mengklasifikasikan
limfadenitis TB ke dalam TB ekstra paru dan mendapat terapi Obat Anti
Tuberkulosis (OAT) Kategori I. Regimen obat yang digunakan adalah
2HRZE/4H3R3. Obat yang digunakan adalah Rifampisin, Isoniazid, Pirazinamid,
dan Etambutol.8
Tabel 2.4 Golongan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) 8
Golongan dan Jenis Obat
Golongan- 1 Obat lini Pertama - Isoniazid - Pirazinamid
- Etambutol - Rifampicin
- Streptomycin
Golongan-2/Obat suntik/ suntikan Kanamycin - Amikacin
lini kedua - Capreomycin
Golongan-3/Golongan - Ofloxacin Moxifloxacin
Floroquinolone - Levofloxacin
Golongan-4/Obat bakteriostatik lini - Ethionamide - Para amino salisilat
kedua - Prothionamide - Terizidone
- Cycloserine
Golongan-5/Obat yang belum - Clofazimine - Thioacetazone
terbukti efikasinya dan tidak - Linezolid - Clarithromycin
direkomendasikan oleh WHO - Amoxilin-Clavulanate - Imipenem
Prinsip-prinsip yang digunakan dalam rangka memperoleh
efektifitas pengobatan TB adalah: 8
1. Menghindari penggunaan monoterapi. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis obat, dengan jumlah
dan dosis yang tepat sesuai dengankategori pengobatan. Hal ini untuk
mencegah timbulnya kekebalan terhadap OAT.
2. Untuk menjamin kepatuhan penderita dalam menelan obat, pengobatan
dilakukan dengan pengawasan langsung (DOT = Directly
Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
3. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.

24
a. Tahap Intensif 8
1. Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan
perludiawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan
obat.
2. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat,
biasanya penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu
2 minggu.
3. Sebagian besar penderita TB BTA positif menjadi BTA
negatif (konversi) dalam 2 bulan
b. Tahap Lanjutan 8
1. Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit,
namun dalam jangka waktu yang lebih lama
2. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister (dormant)
sehingga mencegah terjadinya kekambuhan
Regimen pengobatan yang digunakan adalah:
1. Kategori 1 (2HRZE/4H3R3)
Tahap intensif terdiri dari Rifampisin, Isoniazid, Pirazinamid,
dancEtambutol diberikan setiap hari selama 2 bulan. Kemudian
diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari Rifampisin dan
Isoniazid diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan.
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
- Pasien baru TB paru BTA positif
- Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
- Pasein Tb ekstra paru
Tabel 2.5 Dosis Panduan OAT KDT untuk Kategori 1 8
Tahap Intensif Tahap Lanjutan
Berat Badan tiap hari selama 56 hari 3 kali seminggu selama 16 minggu
RHZE (150/75/400/275) RH (150/150)
30 37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 4KDT
38 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 4KDT
55 70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 4KDT
71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 4KDT

25
Tabel 2.6 Dosis Obat OAT Kombipak untuk Kategori 1 8
Dosis per hari / kali Jumlah
Tahap Lama
Tablet Kaplet Tablet Tablet hari/kali
Pengobata Pengobata
Isoniazid Rifampisin Pirazinamid Etambutol menelan
n n
@ 300 mg @450 mg @500 mg @250 mg obat
Intensif 2 bulan 1 1 3 3 56
Lanjutan 4 bulan 2 1 - - 48

2. Kategori 2 (2HRZES / HRZE / 5H3R3E3)


Tahap intensif terdiri dari Rifampisin, Isoniazid, Pirazinamid,
Etambutol,dan Streptomisin. Obat ini diberikan setiap hari selama 2
bulan dengan diikuti pengobatan dengan regimen yang sama, tanpa
disertai Streptomisin selama satu bulan. Kemudian diteruskan dengan
tahap lanjutan terdiri dari Rifampisin, Isoniazid, dan Etambutol
selama 5 bulan diberikan 3 kali seminggu. Obat ini diberikan untuk :
- Pasien kambuh
- Paien gagal
- Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)
Tabel 2.7 Dosis untuk Panduan OAT KDT Kategori 2 8

Tahap Lanjutan
Tahap Intensif
3 kali seminggu selama
Tiap hari
Berat Badam 16 minggu
RHZE (150/75/400/275) + S
RH (150/150) + E (400)
Selama 56 hari Selama 28 hari Selama 20 minggu
2 tab 4KDT + 500 mg 2 tab 4KDT 2 tab 4KDT + 2 tab
30 37 kg
Streptomisin inj. Etambutol
3 tab 4KDT + 750 mg 3 tab 4KDT 3 tab 4KDT + 3 tab
38 54 kg
Streptomisin inj. Etambutol
4 tab 4KDT + 1000 mg 4 tab 4KDT 4 tab 4KDT + 4 tab
55 70 kg
Streptomisin inj. Etambutol
5 tab 4KDT + 1000 mg 5 tab 4KDT 5 tab 4KDT + 5 tab
71 kg
Streptomisin inj. Etambutol

Tabel 2.8 Dosis Panduan OAT Kombipak untuk Kategori 2 8

26
- Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk
Streptomisin adalah 500 mg tanpa memperhatikan berat badan
- Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan khusus
- Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan
menambahkan aquabidest sebanyak 3,7 ml sehingga menjadi 4 ml (1
ml = 250 mg)
3. Kategori Anak (2HRZ / 4HR)
Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk
paket berupa obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT
KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet.
Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas
dalam satu paket untuk satu pasien. 8

Penatalaksanaan TB Anak
Pengobatan TB anak dalam waktu 6 bulan. Setelah pengobatan selama
6 bulan, dilakukan evaluasi secara klinis maupun penunjang. Evaluasi
klinis merupakan parameter terbaik untuk menilai keberhasilan
pengobatan. Apabila gambaran klinis menunjukkan perbaikan yang nyata,
tetapi gambaran radiologi tidak menunjukkan perubahan yang berarti,
OAT tetap dihentikan. Prinsip pengobatan TB pada anak adalah dengan
memberikan minimal tiga macam obat pada dua bulan pertama, yang
terdiri dari Rifampisin, Isoniazid dan Pirazinamid. Tahap berikutnya
diberikan dua macam obat dalam jangka waktu empat bulan, yang terdiri
dari Rifampisin, Isoniazid. OAT tersebut diberikan pada anak setiap hari,
baik pada tahap intensif maupun tahap lanjutan. Dosis obat sendiri harus
disesuaikan dengan berat badan anak. 8
Tabel 2.9 Dosis OAT Kombipak pada Anak 8

27
Gambar 2.10 Dosis OAT KDT pada Anak 8

Selain informasi dari tabel di atas terdapat keterangan-keterangan


yang menjelaskan kondisi di luar tabel tersebut, yakni: 8
- Bayi dengan berat badan kurang dari 5 kg dirujuk ke rumah sakit
- Anak dengan BB 15-19 kg dapat diberikan 3 tablet
- Anak dengan BB > 33 kg , dirujuk ke rumah sakit
- Obat harus diberikan secara utuh, tidak boleh dibelah
- OAT KDT dapat diberikan dengan cara : ditelan secara utuh atau digerus
sesaat sebelum diminum

2.10 Efek Samping Obat Anti Tuberkulosis


Tabel. 2.11 Efek Samping Ringan OAT 9

Tabel 2.12 Efek Samping Berat OAT 10

28
- Jika seorang pasien dalam pengobatan OAT mulai mengeluh gatal-gatal
singkirkan dulu kemungkinan penyebab lain
- Pasien diberikan terlebih dahulu antihistmin, sambil meneruskan OAT
dengan pengawasan ketat
- Apabila gatal-gatal tersebut terjadi pada sebagian pasien hilang, namun pada
sebagian pasien malahan terjadi suatu kemerahan kulit, hentikan semua OAT
dan tunggu sampai kemerahan kulit tersebut hilang
- Jika gejala efek samping ini bertambah berat, pasien perlu dirujuk

Tabel 2.13 Kontraindikasi OAT 10

2.11 Resistensi Obat Anti Tuberkulosis


Multidrug-resistant TB (MDR-TB) adalah resistensi bakteri/
organisme penyebab tuberculosis terhadap obat-obat yang efektif memberantas
tuberculosis, seperti rifampisin dan isoniazid. Hal ini bisa disebabkan oleh infeksi
organisme yang telah resisten terhadap obat TB atau mungkin
terjadi perkembangan selama pengobatan TB. TB jenis ini tidak berespon
dengan pengobatan enam bulan lini pertama dan memerlukan obat yang lebih,
danlebih toksik, serta mahal. 2
Salah satu tahapan pemberantasan TB pada fase penjaringan pasien adalah
mengklasifikasikan pasien TB. Pasien dinyatakan sebagai suspek MDR TB adalah
semua orang yang mempunyai gejala TB dengan salah satu atau lebih kriteria
suspek dibawah ini, yakni: 11
- Pasien TB yang gagal pengobatan kategori 2 (kasus kronik)
- Pasien TB tidak konversi pada pengobatan kategori 2
- Pasien TB dengan riwayat pengobatan TB

29
- Pasien TB gagal pengobatan kategori 1
- Pasien TB tidak konversi setelah pemberian sisipan
- Pasien TB kambuh
- Pasien TB yang kembali berobat setelai lalai/default
- Pasien TB dengan riwayat kontak erat pasien TB MDR
- ODHA dengan gejala TB-HIV
Pasien suspek resistensi obat antituberkulosis nantinya akan dipastikan
melalui pemeriksaan biakan dan uji kepekaan M.tuberkulosis. Semua suspek TB
MDR diperiksa dahaknya dua kali, salah satu diantaranya harus dahak pagi hari.
Uji kepekaan M.tuberculosis harus dilakukan di laboratorium yang telah
tersertifikasi untuk uji kepekaan. Sambil menunggu hasil uji kepekaan, maka suspek
TB MDR akan tetap meneruskan pengobatan sesuai dengan pedoman
pengendalian TB Nasional. Obat yang digunakan dalam tatalaksana pasien TB
resistan obat di Indonesia terdiri dari OAT lini ke-2 yaitu Kanamycin, Capreomisin,
Levofloksasin, Ethionamide, Sikloserin dan PAS, serta OAT lini-1, yaitu
pirazinamid and etambutol. Secara umum, prinsip pengobatan MDR TB
adalah sebagai berikut: 12
- Pengobatan menggunakan minimal 4 macam OAT yang masih efektif
- Jangan menggunakan obat yang kemungkinan menimbulkan resistan
silang(cross-resistance)
- Membatasi pengunaan obat yang tidak aman

2.12 Evaluasi Keberhasilan Pengobatan Tuberkulosis


Pemantauan keberhasilan pengobatan TB pada orang dewasa
dilakukandengan cara pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis. Pemeriksaan
ini dinilai lebih baik dibandingkan dengan pemeriksaan radiologis dalam memantau
kemajuan pengobatan. Untuk memantau keberhasilan pengobatan dilakukan
pemeriksaan specimen sebanyak dua kali (sewaktu dan pagi). Hasil
pemeriksaan dinyatakan negatif bila kedua spesimen tersebut negatif.
Bilasalah satu specimen dinyatakan positif atau keduanya positif, maka
hasil pemeriksaan ulang dahak tersebut dinyatakan positif. Untuk tindak lanjutnya
dapat dilihat pada tabel di bawah: 13

30
Tabel 2.14 Tindak lanjut Pemantauan Keberhasilan Pengobatan Kategori 1 14

Tabel 2.15 Tindak lanjut Pemantauan Keberhasilan Pengobatan Kategori 2 14

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Amaylia O. Pendekatan Diagnosis Limfadenopati. Jakarta: Cermin Dunia


Kedokteran-2009, vol 40, no. 40. 2013.
2. Fletcher RH. Evaluation of peripheral lymphadenitis in adults [Internet]. 2010
Sep [cited 2014 June 27]. Available from: www.uptodate.com.
3. Ferrer R. Lymphadenitis: Differential diagnosis and evaluation. Am Fam
Physician. 2013;58:1315.
4. Bazemore AW. Smucker DR. Lymphadenitis and malignancy. Am Fam
Physician. 2012;66:2103-10.
5. Spelman D. Tuberculous lymphadenitis. 2013 Sep [cited 2014 June 27].
Available from: www.uptodate.com.
6. Robbins KT, Clayman G, Levine PA, Medina J, Sessions R. Neck dissetion
clasification update. Revision proposed by the American Head and Neck
Society and the American Academy of Otolaryngology-Head and Neck
Surgery. Arch Otolaryngol Head Neck Surg. 2012;128:751-8.
7. Kumar, Vinary, Cotran, Ramzi S., Robbins, Stanley L. Limfadenitis
Tuberkulosis. Dalam : Buku Ajar Patologi Edisi Vol.2. Jakarta : ECG, 2011:
316-53.
8. World Health Organization. Global Tuberculosis Control. Geneva : World
Health Organization. 2013.
9. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Penanganan
Tuberkulosis. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2007.
10. Brooks, Geo F., Butel, Janet S., Morse, Stephen A. Mikrobiologi Kedokteran,
Edisi 23, Jakarta : EGC, 2012.
11. Mohapatra, Prasanta Raghab dan Janmeja, Ashok Kumar. Tuberculous
Lymphadenitis. India : Journal of The Association of Physicians of India.
2010.
12. Sharma SK, Mohan A. Extrapulmonary Tuberculosis. Indian : Journal of
Medicine Microbiology Res. 2011.

32
13. Starke, Jeffrey R. Tuberculosis. 2010. (Internet). Didapat dari
http://www.medscape.com/viewarticle/484123_2. Diakses pada tanggal 7 Juli
2014.
14. PDPI. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta :
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 2011.

33

Anda mungkin juga menyukai