Oleh :
Pembimbing :
2017
i
KATA PENGANTAR
Penulis
i
DAFTAR ISI
Daftar Isi........................................................................................................... ii
BAB 1 Pendahuluan..................................................................................... 1
ii
2.9 Penatalaksanaan............................................................................... 21
3
BAB 1
PENDAHULUAN
4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
5
Terdapat kurang lebih 600 KGB, namun ada daerah yang teraba normal pada
orang sehat, yaitu submandibular, axillary, dan inguinal. 50% terdapat di kepala &
leher.
6
Gambar 2.4 Kelenjar Getah Bening Inguinal1
2.2 Limfadenitis TB
Limfadenitis merupakan peradangan pada kelenjar limfe atau getah
bening, sedangkan limfadenitis tuberculosis (TB) merupakan peradangan pada
kelenjar limfe atau getah bening yang disebabkan oleh basil tuberculosis. Apabila
peradangan terjadi pada kelenjar limfe di leher disebut dengan scrofula.
Limfadenitis pada kelenjar limfe di leher inilah yang biasanya paling sering
terjadi. Istilah scrofula diambil dari bahasa latin yang berarti pembengkakan
kelenjar. Infeksi M. tuberculosis pada kulit disebabkan oleh perluasan langsung
tuberculosis ke kulit dari struktur dasarnya atau terpajan langsung melalui kontak
dengan M. tuberculosis yang disebut dengan scrofuloderma. 1
7
2.3 Epidemiologi
Tuberkulosis masih merupakan penyebab kematian tersering pada
golongan penyakit infeksi. WHO memprediksi insidensi penyakit tuberculosis ini
akan terus meningkat, di mana akan terdapat 12 juta kasus baru dan 3 juta
kematian akibat penyakit tuberkulosis setiap tahun. Sepertiga dari peningkatan
jumlah kasus baru disebabkan leh epidemic HIV, di mana tuberkulosis
menyebabkan kematian pada satu orang dari tujuh orang yang menderita AIDS. 1
Di Indonesia pada tahun 2009 menempati peringkat kelima negara dengan
insidensi TB tertinggi di dunia sebanyak 0,35-0,52 juta setelah India (1,6-2,4
juta), Cina (1,1-1,5 juta), Afrika Selatan (0,40-0,59), dan Nigeria (0,37-0,55 juta).2
Tuberkulosis dapat melibatkan berbagai sistem organ tubuh. Meskipun TB
pulmoner adalah kasus yang paling banyak, TB ekstrapulmoner juga merupakan
salah satu masalah yang tidak kalah penting. Istilah TB ekstrapulmoner digunakan
pada tuberkulosis yang terjadi selain pada paru-paru. Berdasarkan epidemiologi
TB ekstrapulmoner merupakan 15-20% dari semua kasus TB pada pasien HIV-
negatif, di mana limfadenitis TB merupakan bentuk terbanyak (35% dari semua
TB ekstrapulmoner). Sedangkan pada pasien dengan HIV-positif TB
ekstrapulmoner adalah lebih dari 50% kasus TB, di mana limfadenitis tetap
terbanyak yaitu 35% dari Tb ekstrapulmoner. 3
8
termasuk M.tuberculosis tidak dapat diwarnai dengan pewarnaan gram dan hanya
dapat diwarnai dengan pewarnaan khusus yang sangat kuat mengikat zat warna
tersebut sehingga tidak dapat dilunturkan walaupun menggunakan asam alkohol,
sehingga dijuluki bakteri tahan asam. M. tuberculosis mudah mengikat pewarna
Ziehl-Neelsen atau karbol fuchsin.4
Dinding bakteri Mycobacteria kaya akan lipid yang terdiri dari asam
mikolat, lilin, dan fosfat. Muramil dipeptida yang membuat kompleks dengan
asam mikolat dapat menyebabkan pembentukan granuloma. Lipid inilah yang
bertanggung jawab pada sifat tahan asam bakteri Mycobacteria.4
9
2.5 Penularan Tuberkulosis
Penularan tuberkulosis melalui berbagai cara, yaitu lewat udara/ droplet
nuclei dengan diameter 3-5 m (>90%) dengan jarak 1-5 meter, dapat juga
(jarang) melalui kontak langsung kulit/ luka/ lecet, dan kongenital, minum susu
terkontaminasi basil (M. bovis). Basil tetap hidup dan virulen dalam keadaan
kering beberapa minggu, mati dalam cairan dengan suhu 60oC selama 15-20
menit. Basil tidak membentuk toksin. Penularan pada umumnya berasal dari TB
dewasa dengan BTA (+).34
Faktor yang berpengaruh dalam penularan TB menurut Beyers et al (2004)
adalah:
- Dosis/ jumlah paparan
- Konsentrasi kuman di udara
- Virulensi kuman
- Durasi/ lama pajanan
- Keadaan imunitas host
2.6 Patogenesis
Secara umum penyakit tuberkulosis dapat diklasifikasikan menjadi TB
pulmoner dan Tb ekstrapulmoner. TB pulmoner dapat diklasifikasikan menjadi
TB pulmoner primer dan TB pulmoner post-primer (sekunder). Basil tuberkulosis
juga dapat menginfeksi organ lain selain paru, yang disebut sebagai TB
ekstrapulmoner. Organ ekstrapulmoner yang sering diinfeksi oleh basil
10
tuberkulosis adalah kelanjar getah bening, pleura, saluran kemih, tulang,
menigens, peritoneum, dan pericardium. 5
TB primer terjadi pada saat seseorang pertama kali terpapar terhadap basil
tuberkulosis. Basil TB ini masuk ke paru dengan cara inhalasi droplet. Sampai di
paru, basil TB ini akan difagosit oleh makrofag dan akan mengalami dua
kemungkinan. Pertama, basil TB akan mati difagosit oleh makrofag. Kedua, basil
TB akan dapat bertahan hidup dan bermultiplikasi dalam makrofag sehingga basil
TB akan dapat menyebar secara limfogen, perkontinuitatum, bronkogen, bahkan
hematogen. Penyebaran basil TB ini pertama sekali secara limfogen menuju
kelenjar limfe regional di hilus, di mana penyebaran basil TB tersebut akan
menimbulkan reaksi inflamasi di sepanjang saluran limfe (limfangitis) dan
kelenjar limfe regional (limfadenitis). Pada orang yang mempunyai imunitas baik,
dalam waktu 3-4 minggu setelah ineksi akan terbentuk imunitas seluler. Imunitas
seluler ini akan membatasi penyebaran basil TB dengan cara menginaktivasi basil
TB dalam makrofag membentuk suatu focus primer yang disebut focus Ghon.
Fokus Ghon bersama-sama dengan limfnagitis dan limfadenitis regional disebut
dengan komplek Ghon. Terbentuknya focus Ghon mengimplikasikan dua hal
penting. Pertama, focus Ghon berarti dalam tubuh seseorang sudah terdapat
imunitas seluler yang spesifik terhadap basil TB. Kedua, focus Ghon merupakan
suatu lesi penyembuhan yang didalamnya berisi basil TB dalam keadaan laten
yang dapat bertahan hidup dalam beberapa tahun dan bisa tereaktivasi kembali
menimbulkan penyakit. 5
Jika terjadi reaktivasi atau reinfeksi basil TB pada orang yang sudah
memiliki imunitas seluler, hal ini disebut dengan TB-post primer. Adanya
imunitas seluler akan mebatasi peneybaran basil TB lebih cepat daripada TB primer
disertai dengan pembentukan jaringan keju (kaseosa). Sama seperti pada Tb
primer, basic TB pada TB post-primer dapat menyebar terutama melalui aliran
limfe menuju kelenjar limfe lalu ke semua organ. Kelenjar limfe hilus,
mediastinal, dan paratrakeal merupakan tempat penyebaran pertama dari infeksi
TB pada parenkim paru. 5
Basil TB juga dapat menginfeksi kelenjar limfe tanpa terlebih dahulu
menginfeksi paru. Basil TB ini akan berdiam di mukosa orofaring setelah basil
11
TB masuk melalui inhalasi droplet. Di mukosa orofaring basil TB akan difagosit
oleh makrofag dan di bawa ke tonsil, selanjutnya akan di bawa ke kelenjar limfe
di leher. 5
12
Pada infeksi mikobakterium atipikal, cat-scratch disease, toksoplasmosis,
limfadenitis Kikuchi, sarkoidosis, dan penyakit Kawasaki, limfadenitis dapat
berlangsung selama beberapa bulan. Limfadenitis supraklavikula kemungkinan
besar (54%-85%) disebabkan oleh keganasan.3 Kelenjar getah bening servikal
yang mengalami inflamasi dalam beberapa hari, kemudian berfluktuasi (terutama
pada anak-anak) khas untuk limfadenitis akibat infeksi stafilokokus dan
streptokokus.1 Kelenjar getah bening servikal yang berfluktuasi dalam beberapa
minggu sampai beberapa bulan tanpa tanda-tanda inflamasi atau nyeri yang
signifikan merupakan petunjuk infeksi mikobakterium, mikobakterium atipikal
atau Bartonella henselae (penyebab cat scratch disease).1 Kelenjar getah bening
servikal yang keras, terutama pada orang usia lanjut dan perokok menunjukkan
metastasis keganasan kepala dan leher (orofaring, nasofaring, laring, tiroid, dan
esofagus).1 Limfadenitis servikal merupakan manifestasi limfadenitis tuberkulosa
yang paling sering (63-77% kasus), disebut skrofula. Kelainan ini dapat juga
disebabkan oleh mikobakterium nontuberkulosa.2
2. Limfadenitis epitroklear
Terabanya kelenjar getah bening epitroklear selalu patologis. Penyebabnya
meliputi infeksi di lengan bawah atau tangan, limfoma, sarkoidosis, tularemia, dan
sifilis sekunder.1
3. Limfadenitis aksila
Sebagian besar limfadenitis aksila disebabkan oleh infeksi atau jejas pada
ekstremitas atas. Adenokarsinoma payudara sering bermetastasis ke kelenjar getah
bening aksila anterior dan sentral yang dapat teraba sebelum ditemukannya tumor
primer. Limfoma jarang bermanifestasi sejak awal atau, kalaupun bermanifestasi,
hanya di kelenjar getah bening aksila. Limfadenitis antekubital atau epitroklear
dapat disebabkan oleh limfoma atau melanoma di ekstremitas, yang bermetastasis
ke kelenjar getah bening ipsilateral.3
4. Limfadenitis supraklavikula
Limfadenitis supraklavikula mempunyai keterkaitan erat dengan
keganasan. Pada penelitian, keganasan ditemukan pada 34% dan 50% penderita.
Risiko paling tinggi ditemukan pada penderita di atas usia 40 tahun.1 Limfadenitis
supraklavikula kanan berhubungan dengan keganasan di mediastinum, paru, atau
13
esofagus. Limfadenitis supraklavikula kiri (nodus Virchow) berhubungan dengan
keganasan abdominal (lambung, kandung empedu, pankreas, testis, ovarium,
prostat).4
5. Limfadenitis inguinal
Limfadenitis inguinal sering ditemukan dengan ukuran 1-2 cm pada orang
normal, terutama yang bekerja tanpa alas kaki. Limfadenitis reaktif yang jinak dan
infeksi merupakan penyebab tersering limfadenitis inguinal. Limfadenitis inguinal
jarang disebabkan oleh keganasan. Karsinoma sel skuamosa pada penis dan vulva,
limfoma, serta melanoma dapat disertai limfadenitis inguinal. Limfadenitis
inguinal ditemukan pada 58% penderita karsinoma penis atau uretra.5
6. Limfadenitis generalisata
Limfadenitis generalisata lebih sering disebabkan oleh infeksi serius,
penyakit autoimun, dan keganasan, dibandingkan dengan limfadenitis lokalisata.
Penyebab jinak pada anak adalah infeksi adenovirus. Limfadenitis generalisata
dapat disebabkan oleh leukemia, limfoma, atau penyebaran kanker padat stadium
lanjut. Limfadenitis generalisata pada penderita AIDS dapat terjadi karena tahap
awal infeksi HIV, tuberkulosis, kriptokokosis, sitomegalovirus, toksoplasmosis, dan
sarkoma Kaposi.3 Lokasi kelenjar getah bening daerah leher dapat dibagi menjadi
6 level. Pembagian ini berguna untuk memperkirakan sumber keganasan primer
yang mungkin bermetastasis ke kelenjar getah bening tersebut dan
tindakan diseksi leher.6
Menurut Sharma (2009), pada pasien dengan HIV-negatif maupun HIV-
positif, kelenjar limfe servikalis adalah yang paling sering terkena, diikuti oleh
kelenjar limfe aksilaris dan inguinalis. 6
Pembekakan kelenjar limfe dapat terjadi secara unilateral atau bilateral,
tunggal maupun multiple, di mana benjolan ini biasanya tidak nyeri dan
berkembang secara lambat dalam hitungan minggu sampai bulan, dan paling
sering berlokasi di region servikalis posterior dan yang lebih jarang di region
supraklavikular. 5
14
Gambar 2.11 Level kelenjar getah bening leher6
Tabel 2.1 Kelompok kelenjar getah bening daerah leher berdasarkan level6
15
Beberapa pasien dengan limfadenitis TB dapat menunjukkan gejala sistemik
yaitu seperti demam, penurunan berat badan, fatigue dan keringat malam. Lebih dari
57% pasien tidak menunjukkan gejala sistemik. 5
Menurut Jones dan Campbell dalam Mohapatra (2009) limfadenopati
tuberkulosis perifer dapat diklasifikasikan ke dalam lima stadium yaitu:
1. Stadium 1, pembesaran kelenjar berbatas tegas, mobile dan diskret
2. Stadium 2, pembesaran kelenjar yang kenyal serta terfiksir ke jaringan
sekitar oleh karena adanya periadenitis
3. Stdium 3, perlunakan di bagian tengah kelenjar (central softening) akibat
pembentukan abses
4. Stadium 4, pembentukan collar-stud abscess
5. Stadium 5, pembentukan traktus sinus
Gambaran klinis limfadenitis TB bergantung pada stadium penyakit.
Kelenjar limfe yang terkena biasanya tidak nyeri kecuali, terjadi infeksi sekunder
bakteri, pembesaran kelenjar yang cepat atau koinsidensi dengan infeksi HIV. Abses
kelenjar limfe dapat pecah, dan kemudian kadang-kadang dapat terjadi sinus
yang tidak menyembuh secara kronis dan pembentukan ulkus. Pembentukan fistula
terjadi pada 10% dari limfadentis TB servikalis. 5
Skrofuloderma adalah infeksi mikobakterial pada kulit yang disebabkan
oleh perluasan langsung infeksi TB ke kulit dari struktur dibawahnya atau oleh
paparan langsung terhadap basil TB. 5
Limfadenitis mediastinal lebih sering terjadi pada anak-anak. Pada dewasa
limfadenitis mediastinal jarang menunjukkan gejala. Manifestasi yang jarang terjadi
pada pasien dengan keterlibatan kelenjar limfe mediastinal termasuk disfagia,
fistula oesophagomediastinal, dan fistula tracheooesophageal. Pembengkakan
kelenjar limfe mediastinal dan abdomen atas juga dapat menyebabkan obstruksi
duktus torasikus dan chylothorax, chylous ascites ataupun chyluria. Pada keadaan
tertentu, obstruksi biliaris akibat pembesaran kelenjar limfe dapat menyebabkan
obstructive jaundice. Tamponade jantung juga pernah
dilaporkan terjadi akibat limfadenitis mediastinal. 5
Pembengkakan kelenjar getah bening yang berukuran > 2 cm biasanya
disebabkan oleh M. tuberculosis. Pembengkakan yang berukuran < 2 cm biasanya
16
disebabkan oleh mikobakterium atipik, tetapi tidak menutup kemungkinan
pembengkakan tersebut disebabkan oleh M. tuberculosis. 5
2.8 Diagnosis
Untuk mendiagnosa limfadenitis TB dilakukan melalui anamnesis
dan pemeriksaan fisik yang lengkap. Selain itu ditunjang oleh
pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan mikrobiologi, tes tuberculin,
pemeriksaan sitologi, dan pemeriksaan radiologis. Pemeriksaan-pemeriksaan
tersebut penting untuk membantu dalam membuat diagnosis awal yang dapat
digunakan sebagai pedoman dalam memberikan pengobatan sebelum diagnosis
akhir dapat dibuat berdasarkan biopsi dan kultur. Selain itu, juga penting
untuk membedakan jenis penyebab infeksi apakah karena mikobakterium
tuberkulosis atau non-tuberkulosis. Beberapa pemeriksaan yang dilakukan untuk
menegakkan diagnosa limfadenitis TB :
17
terbentuk imunitas selular terhadap TB), maka akan terjadi reaksi berupa indurasi
di lokasi suntikan. Indurasi ini terjadi karena vasodilatasi lokal, edema, endapan
fibrin dan terakumulasinya sel-sel inflamasi di daerah suntikan.4
Prinsip dasar uji tuberkulin adalah sebagai berikut:
Infeksi M.tuberculosis sel limfosit T berproliferasi, tersensitisasi masuk
ke aliran darah, bersirkulasi berbulan-bulan/ bertahun-tahun.
Proses sensitisasi terjadi dalam kelenjar getah bening regional (2-12 jam
setelah infeksi).
Injeksi tuberkulin pada kulit menstimulasi sel limfosit respons
hipersensitivitas tipe lambat (delayed-type hypersensitivity/ DTH) yang
memerlukan waktu berjam-jam.
Reaktivitas kulit: vasodilatasi, edema, infiltrasi sel-sel limfosit, basofil,
monosit dan netrofil ke lokasi suntikan.
Antigen-spesific limfosit T akan berproliferasi dan melepaskan limfokin, yg
akan mengundang akumulasi sel-sel lain ke lokasi suntikan terjadi indurasi
yg mencerminkan aktivitas DTH.
18
Gambar 2.13 PPD RT-23 2TU4
19
Secara umum, hasil uji tuberkulin dengan diameter indurasi 10 mm
dinyatakan positif tanpa menghiraukan penyebabnya. Hasil positif ini sebagian
besar disebabkan oleh infeksi TB alamiah, tetapi masih mungkin disebabkan oleh
imunisasi Bacille Calmette-Guerin (BCG) atau infeksi M. atipik. BCG merupakan
infeksi TB buatan dengan kuman M. bovis yang dilemahkan, sehingga
kemampuannya dalam menyebabkan reaksi tuberkulin menjadi positif, tidak
sekuat infeksi alamiah.4,5 Interpretasi dari uji tuberkulin dapat dilihat pada gambar
12 berikut.
20
Uji tuberkulin negatif dapat dijumpai pada keadaan sebagai berikut:
1. Tidak ada infeksi TB
2. Dalam masa inkubasi infeksi TB
3. Anergi
Anergi adalah keadaan penekanan sistem imun, sehingga tubuh tidak
memberikan reaksi terhadap tuberkulin walaupun sebenarnya sudah terinfeksi TB.
Beberapa keadaan dapat menimbulkan anergi, misalnya gizi buruk, keganasan,
penggunaan steroid jangka panjang, sitostatika, penyakit morbili, pertusis,
varisela, influenza, TB yang berat, serta pemberian vaksinasi dengan vaksin virus
hidup.4,5
Tabel 2.2 Sebab-sebab hasil positif palsu dan negatif palsu pada uji tuberkulin 4
Positif palsu
Penyuntikan salah
Interpretasi tidak benar
Reaksi silang dengan mikobakterium atipik
Negatif palsu
Masa inkubasi
Penyimpanan tidak baik dan penyuntikan salah
Interpretasi tidak benar
Menderita tuberkulosis luas dan berat
Disertai infeksi virus (campak, rubella, cacar air, influenza, HIV)
Imunokompetensi selular, termasuk pemakaian kortikosteroid
Kekurangan komplemen
Demam
Leukositosis
Malnutrisi
Sarkoidosis
Psoriasis
Jejunoileal by pass
Terkena sinar ultraviolet (matahari, solaria)
Defisiensi pernisiosa
Uremia
21
Tabel 2.3 Klasifikasi individu berdasarkan status tuberkulosisnya 4
Kelas Pajanan (kontak Infeksi (uji (sakit (uji tuberkulin,
dengan pasien TB tuberkulin klinis, dan pemeriksaan
aktif) positif) penunjang positif)
0 - - -
1 + - -
2 + + -
3 + + +
2.8.4 Serologi
Berbagai penelitian dan pengembangan pemeriksaan imunologi antigen-
antibodi spesifik untuk M. tuberculosis ELISA dengan menggunakan PPD, A60,
38kDa, lipoarabinomanan (LAM) dengan bahan pemeriksaan dari darah, sputum,
cairan bronkus (bronkus dan bronchoalveolar lavage; BAL), cairan pleura, dan CSS
terus dilakukan. Beberapa pemeriksaan serologis yang ada: PAP TB, mycodot,
immunochromatographic test (ICT), dan lain-lain masih belum bisa membedakan
antara infeksi TB dan sakit TB. Tes serologis ini memiliki sensitivitas 19-68% dan
spesifitas 40-98%.4,5
22
2.8.5 Patologi Anatomi
Pemeriksaan PA dapat menunjukkan gambaran granuloma yang
ukurannya kecil, terbentuk dari agregasi sel epiteloid yang dikelilingi oleh
limfosit. Granuloma tersebut mempunyai karakteristik perkijuan atau area
nekrosis kaseosa di tengah granuloma. Gambaran khas lainnya adalah
ditemukannya multinucleated giant cell (sel datia Langhans). Diagnosis
histopatologi dapat ditegakkan dengan menemukan perkijuan (kaseosa), sel
epiteloid, limfosit, dan sel datia Langhans. Kadang dapat ditemukan juga BTA.4,6
Kendala pemeriksaan PA adalah sulitnya didapatkan spesimen yang
representatif. Spesimen yang paling mudah dan paling sering diperiksa adalah
limfadenopati kolli. Idealnya kelenjar diambil secara utuh agar gambaran
histopatologi yang khas dapat terlihat. Pemeriksaan PA kelenjar limfe ini
mempunyai perancu, yaitu infeksi M. atipik dan limfadenitis BCG yang secara
histopatologi sulit dibedakan dengan TB. 4,6
2.9 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan limfadenitis TB secara umum dibagi menjadi dua bagian,
yakni secara farmakologis dan non farmakologis. Terapi non farmakologis adalah
dengan pembedahan, sedangkan terapi farmakologis memiliki prinsip dan
regimen obatnya yang sama dengan tuberkulosis paru. 7
23
berbagai organ misalnya kaverne di paru dan debris di tulang harus dibuang. Jadi,
tindak bedah menjadi syarat mutlak untuk hasil baik terapi medis. Selain itu
tindak bedah juga diperlukan untuk mengatasi penyulit, misalnya pada
tuberkulosis paru yang menyebabkan destruksi luas dan empiema, pada
tuberkulosis usus yang menimbulkan obstruksi atau perforasi, dan osteitis atau
artritis tuberkulosa yang menimbulkan cacat. 7
24
a. Tahap Intensif 8
1. Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan
perludiawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan
obat.
2. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat,
biasanya penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu
2 minggu.
3. Sebagian besar penderita TB BTA positif menjadi BTA
negatif (konversi) dalam 2 bulan
b. Tahap Lanjutan 8
1. Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit,
namun dalam jangka waktu yang lebih lama
2. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister (dormant)
sehingga mencegah terjadinya kekambuhan
Regimen pengobatan yang digunakan adalah:
1. Kategori 1 (2HRZE/4H3R3)
Tahap intensif terdiri dari Rifampisin, Isoniazid, Pirazinamid,
dancEtambutol diberikan setiap hari selama 2 bulan. Kemudian
diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari Rifampisin dan
Isoniazid diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan.
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
- Pasien baru TB paru BTA positif
- Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
- Pasein Tb ekstra paru
Tabel 2.5 Dosis Panduan OAT KDT untuk Kategori 1 8
Tahap Intensif Tahap Lanjutan
Berat Badan tiap hari selama 56 hari 3 kali seminggu selama 16 minggu
RHZE (150/75/400/275) RH (150/150)
30 37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 4KDT
38 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 4KDT
55 70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 4KDT
71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 4KDT
25
Tabel 2.6 Dosis Obat OAT Kombipak untuk Kategori 1 8
Dosis per hari / kali Jumlah
Tahap Lama
Tablet Kaplet Tablet Tablet hari/kali
Pengobata Pengobata
Isoniazid Rifampisin Pirazinamid Etambutol menelan
n n
@ 300 mg @450 mg @500 mg @250 mg obat
Intensif 2 bulan 1 1 3 3 56
Lanjutan 4 bulan 2 1 - - 48
Tahap Lanjutan
Tahap Intensif
3 kali seminggu selama
Tiap hari
Berat Badam 16 minggu
RHZE (150/75/400/275) + S
RH (150/150) + E (400)
Selama 56 hari Selama 28 hari Selama 20 minggu
2 tab 4KDT + 500 mg 2 tab 4KDT 2 tab 4KDT + 2 tab
30 37 kg
Streptomisin inj. Etambutol
3 tab 4KDT + 750 mg 3 tab 4KDT 3 tab 4KDT + 3 tab
38 54 kg
Streptomisin inj. Etambutol
4 tab 4KDT + 1000 mg 4 tab 4KDT 4 tab 4KDT + 4 tab
55 70 kg
Streptomisin inj. Etambutol
5 tab 4KDT + 1000 mg 5 tab 4KDT 5 tab 4KDT + 5 tab
71 kg
Streptomisin inj. Etambutol
26
- Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk
Streptomisin adalah 500 mg tanpa memperhatikan berat badan
- Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan khusus
- Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan
menambahkan aquabidest sebanyak 3,7 ml sehingga menjadi 4 ml (1
ml = 250 mg)
3. Kategori Anak (2HRZ / 4HR)
Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk
paket berupa obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT
KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet.
Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas
dalam satu paket untuk satu pasien. 8
Penatalaksanaan TB Anak
Pengobatan TB anak dalam waktu 6 bulan. Setelah pengobatan selama
6 bulan, dilakukan evaluasi secara klinis maupun penunjang. Evaluasi
klinis merupakan parameter terbaik untuk menilai keberhasilan
pengobatan. Apabila gambaran klinis menunjukkan perbaikan yang nyata,
tetapi gambaran radiologi tidak menunjukkan perubahan yang berarti,
OAT tetap dihentikan. Prinsip pengobatan TB pada anak adalah dengan
memberikan minimal tiga macam obat pada dua bulan pertama, yang
terdiri dari Rifampisin, Isoniazid dan Pirazinamid. Tahap berikutnya
diberikan dua macam obat dalam jangka waktu empat bulan, yang terdiri
dari Rifampisin, Isoniazid. OAT tersebut diberikan pada anak setiap hari,
baik pada tahap intensif maupun tahap lanjutan. Dosis obat sendiri harus
disesuaikan dengan berat badan anak. 8
Tabel 2.9 Dosis OAT Kombipak pada Anak 8
27
Gambar 2.10 Dosis OAT KDT pada Anak 8
28
- Jika seorang pasien dalam pengobatan OAT mulai mengeluh gatal-gatal
singkirkan dulu kemungkinan penyebab lain
- Pasien diberikan terlebih dahulu antihistmin, sambil meneruskan OAT
dengan pengawasan ketat
- Apabila gatal-gatal tersebut terjadi pada sebagian pasien hilang, namun pada
sebagian pasien malahan terjadi suatu kemerahan kulit, hentikan semua OAT
dan tunggu sampai kemerahan kulit tersebut hilang
- Jika gejala efek samping ini bertambah berat, pasien perlu dirujuk
29
- Pasien TB gagal pengobatan kategori 1
- Pasien TB tidak konversi setelah pemberian sisipan
- Pasien TB kambuh
- Pasien TB yang kembali berobat setelai lalai/default
- Pasien TB dengan riwayat kontak erat pasien TB MDR
- ODHA dengan gejala TB-HIV
Pasien suspek resistensi obat antituberkulosis nantinya akan dipastikan
melalui pemeriksaan biakan dan uji kepekaan M.tuberkulosis. Semua suspek TB
MDR diperiksa dahaknya dua kali, salah satu diantaranya harus dahak pagi hari.
Uji kepekaan M.tuberculosis harus dilakukan di laboratorium yang telah
tersertifikasi untuk uji kepekaan. Sambil menunggu hasil uji kepekaan, maka suspek
TB MDR akan tetap meneruskan pengobatan sesuai dengan pedoman
pengendalian TB Nasional. Obat yang digunakan dalam tatalaksana pasien TB
resistan obat di Indonesia terdiri dari OAT lini ke-2 yaitu Kanamycin, Capreomisin,
Levofloksasin, Ethionamide, Sikloserin dan PAS, serta OAT lini-1, yaitu
pirazinamid and etambutol. Secara umum, prinsip pengobatan MDR TB
adalah sebagai berikut: 12
- Pengobatan menggunakan minimal 4 macam OAT yang masih efektif
- Jangan menggunakan obat yang kemungkinan menimbulkan resistan
silang(cross-resistance)
- Membatasi pengunaan obat yang tidak aman
30
Tabel 2.14 Tindak lanjut Pemantauan Keberhasilan Pengobatan Kategori 1 14
31
DAFTAR PUSTAKA
32
13. Starke, Jeffrey R. Tuberculosis. 2010. (Internet). Didapat dari
http://www.medscape.com/viewarticle/484123_2. Diakses pada tanggal 7 Juli
2014.
14. PDPI. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta :
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 2011.
33