Anda di halaman 1dari 28

BAGIAN KEDOKTERAN PENYAKIT DALAM REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN 29 APRIL 2020

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

GRAVES’ DISEASE

Oleh:
SYAPITRI SYAMSUL
111 2019 2086

Supervisor Pembimbing:
dr. Andi Kartini Eka Yanti, Sp.PD

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

MAKASSAR

2020
LEMBAR PENGESAHAN

Dengan ini, saya yang bertandatanganan di bawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Syapitri Syamsul

Stambuk : 111 2019 2086

Judul : Graves’ Disease

Telah menyelesaikan dan memprentasikan tugas Referat dalam rangka tugas


kepaniteraan klinik pada Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran,
Universitas Muslim Indonesia.

Makassar, April 2020

Pembimbing,

(dr. Andi Kartini Eka Yanti, Sp.PD)

2
BAB I
PENDAHULUAN

Hipertiroid merupakan penyakit metabolik yang menempati urutan kedua


terbesar setelah diabetes melitus. Struma diffusa toksik (Graves disease)
merupakan penyebab hipertiroid terbanyak pertama kemudian disusul oleh
Plummer’s disease, dengan perbandingan 60% karena Graves disease dan 40%
karena Plummer’s disease. Pada tahun 1835 Robert Graves untuk pertama
kalinya menemukan adanya ketertarikan antara pembesaran kelenjar tiroid,
palpitasi dan exopthalmus.1,2
Penyakit grave’s merupakan salah satu jenis penyakit autoimun yang
gejala klinisnya khas yang berkaitan dengan tirotoksikosis, pembesaran kelenjar
tiroid, serta gejala-gejala opthalmologi seperti eksopthalmus hingga diplopia.
Penyakit ini disebabkan karena adanya antibodi yang kerjanya menyerupai
Thyroid Stimulating Hormone (TSH) yang beredar dalam sirkulasi. Antibodi
tersebut kemudian merangsang Reseptor TSH yang berada di kelenjar tiroid,
sehingga terjadi peningkatan produksi hormon tiroid.1,3,4
Pasien penyakit Graves biasanya dengan manifestasi tremor, berdebar-
debar, penurunan berat badan. Dan pada beberapa pasien dengan komplikasi
gejala gastrointestinal, neurologi, hematologi, dan cardiopulmonal. Tanda yang
paling mudah untuk mengenali pasien adalah dengan adanya ophtalmopathy
Graves. Orbitopati terkait tiroid/thyroid-associated orbitopathy (TAO), sering
disebut oftalmopati Graves, merupakan bagian dari proses autoimun yang dapat
mengenai jaringan orbital dan periorbital, kelenjar tiroid, dan, lebih jarang, kulit
pretibial atau digiti. Pada kasus tertentu gejala yang timbul juga dapat berupa
kelemahan anggota badan yang muncul secara tiba – tiba. Keluhan ini biasanya
jarang ditemukan, namun jika terjadi dapat diikuti dengan gangguan kontraki otot
jantung, sehingga dapat mengancam nyawa pasien. Pada kasus yang jarang,
ditemukan pasien dengan keluhan nyeri pada daerah leher yaitu pada kelenjar
tiroid.2,3,4,5
Pada referat ini akan membahas lebih lanjut mengenai penyakit Graves’.

3
BAB II
PEMBAHASAN

2. 1 Definisi
Penyakit Graves adalah hipertiroidisme dengan penyebabnya peristiwa
imunologi dimana terbentuknya IgG yang mengikat dan mengaktifkan reseptor
tirotropin disebut thyroid-stimulating antibody (TSAb) yang menyebabkan
hipertrofi dan hyperplasia folikuler yang berakibat membesarnya kelenjar dan
meningkatnya produksi hormone tiroid. Penyakit Graves merupakan penyakit
autoimun yang terutama menyerang kelenjar tiroid, dimana tiroid terlalu aktif,
menghasilkan jumlah yang berlebihan dari hormon tiroid (ketidakseimbangan
metabolisme serius yang dikenal sebagai hipertiroidisme dan tirotoksikosis) dan
kelainannya dapat mengenai mata dan kulit.6,7

2.2 Epidemiologi
Penyakit Graves merupakan penyebab terbanyak dari kondisi hipertiroid
yaitu 70-80% dari kasus hipertiroidisme. Prevalensi dari penyakit ini kurang lebih
0,5% dan insidennya berkisar 21 kasus per 100.000 penduduk per tahun. Penyakit
grave’sbiasanya lebih sering terjadi pada wanita dengan perbandingan 5:1 hingga
10: 1 jika dibandingkan dengan kasusnya pada laki-laki. Sebagian besar kasus
penyakit grave’s memang terjadi pada kurun usia antara 40 hingga 60 tahun,
walapun demikian penyakit grave’s ini dapat terjadi pada semua umur. Faktor
resiko terbesar adalah factor genetik, yaitu sebesar 80% sedangkan 20%
merupakan factor lingkungan seperti merokok, kehamilan, stress dan infeksi. 1,4,6
Prevalensi keseluruhan hipertiroidisme di Amerika Serikat adalah 1,2%
dengan insidensi 20 / 100.000 hingga 50 / 100.000. Ini paling umum pada orang
berusia 20 hingga 50 tahun. Penyakit Graves lebih sering terjadi pada wanita
daripada pria. Beberapa data menunjukkan risiko seumur hidup pada wanita dan
pria masing-masing adalah 3% dan 0,5%. Sesuai data dari Nurses 'Health Study II
(NHSII), kejadian 12 tahun di antara wanita usia 25 hingga 42 tahun adalah
setinggi 4,6 / 1000.7 

4
Sedangkan Graves oftalmopati lebih sering terjadi pada wanita umumnya
kulit putih (rasio 5:1) antara usia 30 sampai 50 tahun. Penyakit Graves (PG) pada
anak dengan insidens 0,1-3 per 100.000 anak. Insidensnya meningkat sesuai
umur, jarang ditemukan pada usia sebelum 5 tahun dengan puncak insidens pada
usia 10-15 tahun.1,5,8

2.3 Etiologi
Saat ini telah diketahui bahwa penyakit graves merupakan penyakit auto
imun dimana didapatkan autoantibody terhadap reseptor tirotropin (TSH) yang
dikenal dengan nama Thyrotropin Receptor Antibody (TRAb). Berbeda dari
penyakit autoimun yang lainya, antibody pada penyakit Graves tidak hanya
sebagai penanda (marker) namun juga bertanggung jawab terhadap terjadinya
kondisi hipertiroid.6
Penyakit Graves dianggap hasil dari kombinasi faktor genetik dan
lingkungan. Beberapa faktor ini telah diidentifikasi, tetapi banyak tetap tidak
diketahui. Penyakit Graves diklasifikasikan sebagai gangguan autoimun, yaitu
kondisi yang terjadi ketika sistem kekebalan menyerang jaringan tubuh sendiri
dan organ. Pada orang dengan penyakit Graves, sistem kekebalan tubuh
menciptakan protein (antibodi) yang disebut thyroid-stimulating immunoglobulin
(TSI). TSI sinyal tiroid untuk meningkatkan produksi hormon normal. Kelebihan
tiroid yang dihasilkan menyebabkan banyak tanda dan gejala penyakit Graves.7
Studi menunjukkan bahwa kelainan sistem kekebalan tubuh juga
mendasari Graves ophthalmopathy dan pretibial myxedema. Orang dengan
penyakit Graves memiliki peningkatan risiko mengembangkan gangguan
autoimun lainnya, termasuk rheumatoid arthritis, anemia pernisiosa, lupus
eritematosus sistemik, penyakit Addison, penyakit celiac, jenis 1 diabetes, dan
vitiligo. Variasi dalam banyak gen telah dipelajari sebagai faktor risiko yang
mungkin untuk penyakit Graves. Beberapa gen ini adalah bagian dari sebuah
keluarga yang disebut Human leukosit Antibody (HLA) kompleks. The HLA
kompleks membantu sistem kekebalan tubuh membedakan protein sendiri dari
protein yang dibuat oleh penjajah asing (seperti virus dan bakteri). Gen lain yang

5
telah dikaitkan dengan penyakit Graves membantu mengatur sistem kekebalan
tubuh atau terlibat dalam fungsi tiroid normal. Sebagian besar variasi genetik yang
telah ditemukan diperkirakan memiliki dampak kecil pada risiko keseluruhan
seseorang mengembangkan kondisi ini. Lain, faktor nongenetic juga diyakini
berperan dalam penyakit Graves. Faktor ini dapat memicu kondisi pada orang
yang beresiko, meskipun mekanismenya tidak jelas. Pemicu potensial termasuk
perubahan hormon seks (terutama pada wanita), infeksi virus atau bakteri, obat-
obatan tertentu, dan memiliki terlalu banyak atau terlalu sedikit yodium (zat
penting untuk produksi hormon tiroid). Merokok meningkatkan risiko masalah
mata dan dikaitkan dengan kelainan mata yang lebih parah pada orang dengan
penyakit Graves.7,9,10

2.4 Patogenesis
Penyakit Grave disebabkan oleh tiroid stimulating immunoglobulin (TSI),
juga dikenal sebagai tiroid stimulating antibody (TSAb). Limfosit B terutama
mensintesis imunoglobulin merangsang tiroid dalam sel-sel tiroid, tetapi juga
dapat disintesis dalam kelenjar getah bening dan sumsum tulang. Limfosit B
dirangsang oleh limfosit T yang menjadi peka oleh antigen di kelenjar
tiroid. Imunoglobulin perangsang tiroid berikatan dengan reseptor tiroid-
stimulating hormone (TSH) pada membran sel tiroid dan menstimulasi kerja
hormon perangsang tiroid. Ini merangsang keduanya, sintesis hormon tiroid dan
pertumbuhan kelenjar tiroid, menyebabkan hipertiroidisme dan
tiromegali. Thyroid-stimulating hormone disebut juga dengan tirotropin, adalah
glikoprotein yang disekresikan oleh bagian anterior dari kelenjar hipofisis.
Thyroid-stimulating hormone belum banyak dibicarakan walaupun TSH ikut
berperan dalam aksis hipotalamus-hipofisis memainkan peran fisiologis yang
penting pada pengaturan aksis hipotalamus-hipofisis mengatur pelepasan hormon
tiroid dari kelenjar tiroid.6,9
Orbitopati Grave (ophthalmopathy) disebabkan oleh peradangan,
proliferasi sel, dan peningkatan pertumbuhan otot ekstraokular serta jaringan ikat
dan adiposa retro-orbital akibat aksi antibodi perangsang tiroid dan sitokin yang

6
dilepaskan oleh limfosit T sitotoksik (sel pembunuh). Sitokin dan antibodi
perangsang tiroid ini mengaktifkan fibroblast dan preadiposit periorbital,
menyebabkan sintesis glikosaminoglikan hidrofilik berlebih (GAG) dan
pertumbuhan lemak retro-orbital. Glikosaminoglikan menyebabkan
pembengkakan otot dengan menjebak air. Perubahan ini memunculkan proptosis,
diplopia, kongesti, dan edema periorbital. Jika tidak diobati, pada akhirnya
menyebabkan fibrosis otot ireversibel.6,11
Adanya eksopthalmus disebabkan karena antibodi IgGjuga dapat bekerja pada
jaringan ikat di sekitar orbita yang memiliki protein yang menyerupai reseptor TSH.
Pengaktifan reseptor tersebut menyebabkan pembentukan sitokin, membantu
pembentukan glikosisaminoglikan yang hidrofilik pada jaringan fibroblast di sekitar
orbita yang berakibat pada peningkatan tekanan osmotik, peningkatan volume otot
ekstra okular, akumulasi cairan dan secara klinis menimbukan opthalmopati. reaksi
autoimun pada jaringan ikat di dalam rongga mata dengan jaringan lemaknya
menjadi hiperplasik sehingga bola mata terdorong keluar dan otot mata terjepit.
Akibat terjadi eksoftalmus yang dapat menyebabkan rusaknya bola mata akibat
keratitis. Gangguan faal otot mata yang menyebabkan strabismus.4,5
Kelemahan pada ekstremitas merupakan hal yang jarang ditemukan pada
pasien dengan penyakit Grave’s, terdapat dua mekanisme yang dapat menjadi
penyebab dari kelemahan pada pasien ini, yaitu suatu keadaan yang disebut dengan
thyroid periodic paralysis(TPP) dan tiroid miopati. Pada Thyroid periodic paralysis
pasien mengalami gangguan pompa Na+ K+ ATPase, yang menyebabkan jumlah ion
kalium di luar permukaan sel meningkat, sehingga dapat menggangu kerja sel yang
salah satunya berupa gangguan kontraksi sel otot. Kejadian thyroid periodic
paralsis(TPP) ini lebih sering terjadi pada pria, dan lebih sering ditemukan pada ras
asia. Secara normal jaringan otot merupakan pengatur keseimbangan jumlah kalium
di dalam tubuh. Di dalam sel otot terdapat pompa Na + K+ ATPase, dan Chanel K +

yang mengatur jumlah kalium di ekstraseluler. 4,5,6 Jumlah kalium di ekstraseluler jauh
lebih sedikit dari jumlahnya di intraseluler. 2% jumlah kalium berada di ekstraseluler,
sementara 98% terdapat di intraseluler. 6
Pada penyakit Grave’s jumlah hormon tiroid meningkat. Salah satu efek dari
peningkatan jumlah hormon tiroid adalah meningkatnya jumlah dan fungsi dari

7
pompa Na+ K+ ATPase.5,6,7 Dengan terjadi peningkatan kerja pompa tersebut,
kebutuhan akan energi berupa ATP juga akan meningkat, hal itu lah yang
menyebabkan terjadinya peningkatan laju metabolisme basal pada penderita
tirotoksikosis. Selain meningkatkan laju metabolisme, peningkatan kerja pompa Na +
K+ ATPase juga menyebabkan jumlah K + di ruang ekstraseluler menurun. Hal ini
dapat mengganggu kerja dari otot-otot. Pada pasien dengan thyroid periodic paralsis
(TPP) mekanisme inilah yang terganggu, sehingga pasien akan menunjukkan adanya
gejala parese yang akut, dengan refek yang menurun disertrai dengan penurunan
jumlah kalium pada pemeriksaan laboratorium. Keadaan ini juga dapat mengganggu
fungsi kontraktilitas jantung, sehingga jika dibiarkan dapat menyebabkan kegagalan
fungsi sirkulasi.5,7
Patogenesis manifestasi langka lain dari penyakit Graves seperti
myxedema pretibial dan acropachy tiroid kurang dipahami dan diyakini
disebabkan oleh sitokin yang dimediasi stimulasi fibroblas. Banyak gejala
hipertiroidisme seperti takikardia, berkeringat, tremor, kelambatan kelopak mata,
dan tatapan dianggap terkait dengan peningkatan sensitivitas terhadap
katekolamin.6

2.5 Faktor resiko


Beberapa faktor yang berkaitan dengan meningkatnya kejadian penyakit
grave’s antara lain adanya faktor :11,12,13,16
 Genetik
Riwayat keluarga dikatakan 15 kali lebih besar dibandingkan populasi
umum untuk terkena Graves.
 Jenis Kelamin
Wanita lebih sering terkena penyakit ini karena modulasi respons imun
oleh estrogen.
 Status gizi
Status gizi dan berat badan lahir rendah sering dikaitkan dengan prevalensi
timbulnya penyakit autoantibodi tiroid.
 Stress

8
Stress juga dapat sebagai faktor inisiasi untuk timbulnya penyakit lewat
jalur neuroendokrin.
 Merokok
Merokok dan hidup di daerah dengan defisiensi iodium.
 Infeksi
Toxin, infeksi bakteri dan virus. Bakteri Yersinia enterocolitica yang
mempunyai protein antigen pada membran selnya yang sama dengan
TSHR pada sel folikuler kelenjar tiroid diduga dapat mempromosi
timbulnya penyakit graves terutama pada penderita yang mempunyai
faktor genetik. Kesamaan antigen bakteri atau virus dengan TSHR atau
perubahan struktur reseptor terutama TSHR pada folikel kelenjar tiroid
karena mutasi atau biomodifikasi oleh obat, zat kimia atau mediator
inflamasi menjadi penyebab timbulnya autoantibodi terhadap tiroid dan
perkembangan penyakit ini.
 Periode post partum
Periode post partum dapat memicu timbulnya gejala hipertiroid.
 Pengobatan sindroma defisiensi imun (HIV)
Penggunaan terapi antivirus dosis tinggi highly active antiretroviral
theraphy (HAART) berhubungan dengan penyakit ini dengan
meningkatnya jumlah dan fungsi CD4 sel T.

2.6 Gejala Klinik


Gejala klinis dari hipertiroid dipengaruhi oleh banyak faktor, termasuk
umur penderita, lamanya menderita hipertiroid dan kepekaan organ terhadap
kelebihan kadar hormon tiroid. Manifestasi klinis paling sering dirasakan adalah
penurunan berat badan padahal nafsu makan baik, kelelahan atau kelemahan otot,
tremor, gugup, berdebar-debar, keringat berlebihan, tidak tahan panas, palpitasi
dan pembesaran tiroid dan payah jantung. Gejala ini dapat berlangsung beberapa
hari sampai beberapa tahun. Bahkan, kadang-kadang penderita juga tidak
menyadari penyakitnya menyadari penyakitnya. Tanda yang paling mudah untuk
mengenali pasien dengan penyakit Graves adalah dengan adanya ophtalmopathy

9
Graves. Pasien Graave disease juga bisa bermanifestasi gejala gastrointestinal
seperti nyeri menelan, rasa panas pada dada, nausea, muntah dan diare 10,11,14

2.7 Diagnosis
2.7.1 Anamnesis
Gambaran klinik hipertiroid dapat ringan dengan keluhan-keluhan yang
sulit dibedakan dari reaksi kecemasan, tetapi dapat berat sampai mengancam jiwa
penderita karena timbulnya hiperpireksia, gangguan sirkulasi dan kolaps. Keluhan
utama biasanya berupa salah satu dari meningkatnya nervositas, berdebar-debar
atau kelelahan. Dari penelitian pada sekelompok penderita didapatkan 10 gejala
yang menonjol, yaitu: nervositas, kelelahan atau kelemahan otot-otot, penurunan
berat badan sedangkan nafsu makan baik, diare atau sering buang air besar,
intoleransi terhadap udara panas, keringat berlebihan, perubahan pola menstruasi,
tremor, berdebar-debar, penonjolan mata dan leher. Keluhan lain yang dapat
dialami yaitu sesak, edema, lemas sampai kelemahan anggota badan khususnya
tungkai atas dan bawah meskipun sangat jarang ditemukan. 4,14,15,16
2.7.2 Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan klinis didapatkan gambaran yang khas yaitu: seorang
penderita tegang disertai cara bicara dan tingkah laku yang cepat, tanda-tanda
pada mata, telapak tangan basah dan hangat, tremor, oncholisis, vitiligo,
pembesaran leher, nadi yang cepat, aritmia, tekanan nadi yang tinggi dan
pemendekan waktu refleks achilles dan kadang disertai demam, dehidrasi hingga
shock. 15,16
Apabila terdapat pembengkakan atau nodul, perhatikan beberapa
komponen berikut:13,15
 Inspeksi
– Lokasi: lobus kanan, lobus kiri, atau ismus
– Ukuran: besar/kecil, permukaan rata/noduler
– Jumlah: uninodusa atau multinodusa
– Bentuk: apakah difus (leher terlihat bengkak) ataukah berupa noduler
lokal

10
– Gerakan: pasien diminta untuk menelan, apakah pembengkakannya
ikut bergerak
– Pulsasi: bila nampak adanya pulsasi pada permukaan pembengkakan
 Palpasi
Beberapa hal yang perlu dinilai pada pemeriksaan palpasi:13,15
– Perluasan dan tepi
– Gerakan saat menelan, apakah batas bawah dapat diraba atau tidak
dapat diraba trakea dan kelenjarnya
– Konsistensi, temperatur, permukaan, dan adanya nyeri tekan
– Hubungan dengan m. sternokleidomastoideus
– Limfonodi dan jaringan sekitarnya
 Auskultasi
Bruit sound pada ujung bawah kelenjar tiroid.13
2.7.3 Tes Khusus11,16
– Pumberton’s sign: mengangkat kedua tangan ke atas, muka menjadi
merah
– Tremor sign: tangan kelihatan gemetaran. Jika tremor halus, diperiksa
dengan meletakkan sehelai kertas di atas tangan
– Oftalmopati
Test Cara pemeriksaan mata & tanda hipertiroid
Joffroy sign Tidak bisa mengangkat alis dan mengerutkan
dahi
Von Stelwag Mata jarang berkedip
Von Grave Melihat ke bawah, palpebra superior tidak
dapat mengikuti bulbus okuli sehingga antara
palpebra superior dan cornea terlihat jelas
sklera bahagian atas
Rosenbach sign Memejam mata, tremor dari palpebra ketika
mata tertutup
Moebius sign Mengarahkan jari telunjuk mendekati mata
pasien di medial, pasien sukar mengadakan
dan mempertahankan konvergensi
Exopthalmus Mata kelihatan menonjol keluar

11
Pemeriksaan Oftalmopati

Eksoftalmus pada Penderita Penyakit Graves

Untuk daerah di mana pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk


hormon tiroid tak dapat dilakukan, penggunaan indeks wayne atau indeks new
castle sangat membantu menegakkan diagnosis hipertiroid. Pengukuran
metabolisme basal (BMR), bila hasil BMR ≥30, sangat mungkin bahwa seseorang
menderita hipertiroid.6

12
Untuk konfirmasi diagnosis perlu dilakukan pemeriksaan hormon tiroid
(thyroid function test), seperti kadar T4 dan T3, kadar T4 bebas atau free
thyroxine index. Adapun pemeriksaan lain yang dapat membantu menegakkan
diagnosis antara lain: pemeriksaan antibodi tiroid yang meliputi antitiroglobulin
dan antimikrosom, pengukuran kadar TSH serum, test penampungan yodium
radioaktif (radioactive iodine uptake) dan pemeriksaan sidikan tiroid (thyroid
scanning). Khir mengemukakan pendapatnya untuk menegakkan diagnosis
penyakit graves, yakni: adanya riwayat keluarga yang mempunyai penyakit yang
sama atau mempunyai penyakit yang berhubungan dengan otoimun, di samping

13
itu pada penderita didapatkan eksoftalmus atau miksedem pretibial; kemudian
dikonfirmasi dengan pemeriksaan antibodi tiroid6,12
2.7.4 Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan laboratorium11,13,16
– Kadar T4 & T3 meningkat (tirotoksikosis).
– Tirotropin Reseptor Assay (TSIs) berfungsi untuk menegakkan
diagnosis penyakit graves.
– Tes faal hati untuk monitoring kerusakan hati karena penggunaan obat
antitiroid seperti thioamides.
– Pemeriksaan gula darah pada pasien diabetes, penyakit grave dapat
memperberat diabetes, sebagai hasilnya dapat terlihat kadar A1C yang
meningkat dalam darah.
– Kadar antibodi terhadap kolagen XIII menunjukan grave oftalmofati
yang sedang aktif.
– Bisa terdapat anemia mikrositik, trombositopeni, hiperkalsemia,
penurunan LDL dan HDL
 Pemeriksaan Radiologi13,16
– Foto Polos Leher  Mendeteksi adanya kalsifikasi, adanya penekanan
pada trakea, dan mendeteksi adanya destruksi tulang akibat penekanan
kelenjar yang membesar.
– Radio Active Iodine (RAI)  scanning dan memperkirakan kadar
uptake iodium berfungsi untuk menentukan diagnosis banding
penyebab hipertiroid.
– USG  Murah dan banyak digunakan sebagai pemeriksaan radiologi
pertama pada pasien hipertiroid dan untuk mendukung hasil
pemeriksaan laboratorium.
– CT Scan  Evaluasi pembesaran difus maupun noduler, membedakan
massa dari tiroid maupun organ di sekitar tiroid, evaluasi laring, trakea
(apakah ada penyempitan, deviasi dan invasi).
– MRI  Evaluasi Tumor tiroid (menentukan diagnosis banding kasus
hipertiroid)

14
– Radiografi nuklir  dapat digunakan untuk menunjang diagnosis juga
sebagai terapi.
 Pemeriksaan Jarum Halus
Pemeriksaan sitologi nodul tiroid diperoleh dengan aspirasi jarum halus.
Pemeriksaan ini berguna untuk menetapkan suspek diagnosis ataupun
benigna.11

Algorithm for Investigating the Clinical Suspicion of Graves’ Disease18

15
2. 8 Penatalaksanaan
 Obat Antitiroid
Methimazole (MMI) dan propylthiouracil (PTU) adalah dua obat
anti-tiroid yang biasa digunakan.  Tioamida ini menghambat Tiroid
Peroksidase (TPO) yang dimediasi iodinasi tiroglobulin dalam kelenjar
tiroid, menghalangi sintesis T4 dan T3. Hingga taraf tertentu,
Propylthiouracil juga memblokir konversi perifer dari T4 ke T3.7,10,19
Pada pasien yang tidak hamil, methimazole adalah obat pilihan
karena efek sampingnya yang lebih jarang (terutama hepatotoksisitas),
dosis sekali sehari, dan pencapaian fungsi tiroid normal yang lebih
cepat. Selama trimester pertama kehamilan, propiltiourasil harus
digunakan karena efek sampingnya yang kurang teratogenik. Kita bisa
mulai methimazole dari trimester kedua kehamilan.  American Thyroid
Association (ATA) merekomendasikan propylthiouracil untuk pasien
dengan badai tiroid dan untuk pasien dengan reaksi minor terhadap terapi
methimazole yang menolak operasi atau RAIA.7
Sebelum memulai pengobatan thionamide, pasien harus diberitahu
tentang kemungkinan efek samping termasuk reaksi alergi, neutropenia,
dan hepatotoksisitas. Hitung darah lengkap dengan diferensial dan tes
fungsi hati harus diperoleh. Thionamide tidak boleh dimulai jika tingkat
transaminase awal lebih dari lima kali batas atas normal atau jika jumlah
neutrofil absolut (ANC) kurang dari 1000 / ml. Dosis: Mulailah
methimazole 5 mg hingga 10 mg oral setiap hari jika FT4 adalah 1 hingga
1,5 kali batas atas normal (ULN), 10 mg hingga 20 mg oral setiap hari jika
FT4 1,5 hingga 2 kali ULN, 30 mg hingga 40 mg oral setiap hari. jika FT4
lebih dari dua hingga tiga kali ULN. Mulai PTU 50 mg hingga 150 mg
oral tiga kali sehari berdasarkan keparahan hipertiroidisme. Setelah fungsi
tiroid membaik, dosis thioamide dapat diturunkan dan dilanjutkan dengan
dosis pemeliharaan setelah TFT menjadi euthyroid. Methimazole biasanya
dipertahankan pada 5 mg sampai 10 mg setiap hari, dan propiltiourasil
dipertahankan pada 50 mg dua hingga tiga kali sehari.7,10

16
Efek samping: Efek samping minor termasuk pruritus dan ruam
(3% hingga 6%), dan efek samping utama termasuk cedera hepatoselular
(2,7% propiltiourasil, 0,4% Methimazole), agranulositosis (0,7%, ANC
kurang dari 500 / ml) dan vaskulitis (Jarang lupus dan vaskulitis pembuluh
kecil pANCA-positif; lebih banyak dengan propiltiourasil daripada
methimazole). Jarang hipoglikemia telah dilaporkan dengan terapi
methimazole.7,10
Tindak lanjut dan pemantauan: Monitor tes fungsi tiroid (TFT)
setiap empat hingga enam minggu untuk penyesuaian dosis
thionamide. Setelah TFT membaik, kami dapat mengurangi dosis
thionamide hingga 30% hingga 50% hingga dosis pemeliharaan
tercapai. Setelah dosis pemeliharaan, TFT dapat diperiksa setiap tiga bulan
hingga 18 bulan, setelah itu setiap enam bulan dapat diterima. Pantau
adanya efek samping dan lakukan tes darah sesuai kebutuhan berdasarkan
informasi klinis. Hentikan thionamide jika level transaminase lebih dari
tiga kali ULN. Pemantauan rutin terhadap tes fungsi hati dan pemeriksaan
darah lengkap tidak diperlukan. Thionamides dapat dilanjutkan untuk
reaksi kulit kecil dengan atau tanpa penggunaan antihistamin secara
bersamaan, tetapi jika masalah berlanjut, pilihan pengobatan alternatif
termasuk pembedahan atau terapi RAI harus dipertimbangkan.7
Lama pengobatan: Untuk pasien dengan terapi thionamide jangka
panjang yang menggunakan dosis pemeliharaan, kita dapat
mempertimbangkan untuk menghentikan terapi setelah 12 hingga 8 bulan,
jika kadar TSH dan TRAb menjadi normal selama masa tindak lanjut. Jika
pasien tetap eutiroid secara klinis dan biokimia, kami dapat mengulangi
TFT setiap dua hingga tiga bulan selama enam bulan pertama setelah
menghentikan pengobatan, lalu setiap empat hingga enam bulan selama
enam bulan, kemudian setiap enam hingga 12 bulan. Jika TSH tetap
normal selama satu tahun tanpa pengobatan, pemantauan tahunan dengan
TSH sudah cukup.7

 Yodium

17
Pemberian yodium akan menghambat sintesa hormon secara akut
tetapi dalam masa 3 minggu efeknya akan menghilang karena adanya
escape mechanism dari kelenjar yang bersangkutan, sehingga meski
sekresi terhambat sintesa tetap ada. Akibatnya terjadi penimbunan hormon
dan pada saat yodium dihentikan timbul sekresi berlebihan dan gejala
hipertiroidi menghebat. Pengobatan dengan yodium digunakan untuk
memperoleh efek yang cepat seperti pada krisis tiroid atau untuk persiapan
operasi. Sebagai persiapan operasi, biasanya digunakan dalam bentuk
kombinasi. Dosis yang diberikan biasanya 15 mg per hari dengan dosis
terbagi yang diberikan 2 minggu sebelum dilakukan pembedahan.
Marigold dalam penelitiannya menggunakan cairan Lugol dengan dosis
1/2 ml (10 tetes) 3 kali perhari yang diberikan 10 hari sebelum dan
sesudah operasi.6
 Penyekat Beta (Beta Blocker)
Terjadinya keluhan dan gejala hipertiroidi diakibatkan oleh adanya
hipersensitivitas pada sistem simpatis. Meningkatnya rangsangan sistem
simpatis ini diduga akibat meningkatnya kepekaan reseptor terhadap
katekolamin. Penggunaan obat-obatan golongan simpatolitik diperkirakan
akan menghambat pengaruh hati. Reserpin, guanetidin dan penyekat beta
(propranolol) merupakan obat yang masih digunakan. Berbeda dengan
reserpin/guanetidin, propranolol lebih efektif terutama dalam kasus-kasus
yang berat. Biasanya dalam 24-36 jam setelah pemberian akan tampak
penurunan gejala.15,1
Di samping pengaruh pada reseptor beta, propranolol dapat
menghambat konversi T4 ke T3 di perifer. Bila obat tersebut dihentikan,
maka dalam waktu ± 4-6 jam hipertiroid dapat kembali lagi. Hal ini
penting diperhatikan, karena penggunaan dosis tunggal propranolol
sebagai persiapan operasi dapat menimbulkan krisis tiroid sewaktu
operasi. Penggunaan propranolol antara lain sebagai persiapan tindakan
pembedahan atau pemberian yodium radioaktif, mengatasi kasus yang
berat dan krisis tiroid.17

18
 Ablasi Kelenjar Tiroid
Pelaksanaan ablasi dengan pembedahan atau Terapi radioaktif iodine / I131
1) Tindakan Pembedahan / Tiroidektomi
Indikasi utama untuk melakukan tindakan pembedahan adalah
mereka yang berusia muda dan gagal atau alergi terhadap obat-obat
antitiroid. Tindakan pembedahan berupa tiroidektomi subtotal juga
dianjurkan pada penderita dengan keadaan yang tidak mungkin diberi
pengobatan dengan I-131 (wanita hamil atau yang merencanakan
kehamilan dalam waktu dekat). Indikasi lain adalah mereka yang sulit
dievaluasi pengobatannya, penderita yang keteraturannya minum obat
tidak terjamin atau mereka dengan struma yang sangat besar dan
mereka yang ingin cepat eutiroid atau bila strumanya diduga
mengalami keganasan, disertai graves orbitopathy berat dan alasan
kosmetik.18
Untuk persiapan pembedahan dapat diberikan kombinasi antara
thionamid, yodium atau propanolol guna mencapai keadaan eutiroid.
Thionamid biasanya diberikan 6-8 minggu sebelum operasi, kemudian
dilanjutkan dengan pemberian larutan Lugol selama 10-14 hari
sebelum operasi. Propranolol dapat diberikan beberapa minggu
sebelum operasi, kombinasi obat ini dengan Yodium dapat diberikan
10 hari sebelum operasi. Tujuan pembedahan yaitu untuk mencapai
keadaan eutiroid yang permanen. Dengan penanganan yang baik, maka
angka kematian dapat diturunkan sampai 0.18
2) Terapi Radioactive iodine / I131
Lebih ditujukan untuk pasien dewasa yang tidak hamil yang
berusia lebih dari 21 tahun, pasien yang tidak berencana hamil dalam
enam hingga 12 bulan setelah perawatan, pasien dengan kondisi
komorbiditas berisiko untuk pembedahan, dan pasien dengan
kontraindikasi untuk thioamides. Ini dikontraindikasikan selama
kehamilan, menyusui, kanker tiroid yang hidup berdampingan, pada

19
pasien dengan orbitopati Graves sedang hingga berat, dan untuk
individu yang tidak dapat mengikuti pedoman keselamatan radiasi.7,19
Persiapan: Blokade beta-adrenergik dan pretreatment dengan
methimazole (pretreatment propylthiouracil memiliki tingkat
kegagalan yang tinggi untuk pengobatan RAI) harus dipertimbangkan
untuk pasien dengan peningkatan risiko komplikasi akibat
hipertiroidisme dan pasien dengan kadar hormon tiroid yang sangat
tinggi. Jika methimazole dimulai, itu harus dihentikan tiga sampai lima
hari sebelum pengobatan RAI. Ini dapat dimulai kembali untuk pasien
berisiko tinggi tiga hingga tujuh hari setelah perawatan. Tes kehamilan
diperlukan sebelum perawatan RAI.7,19
Dosis: I-131 diberikan dalam bentuk kapsul atau cairan. Dosis
I-131 dapat dihitung atau seseorang dapat menggunakan dosis
tetap. Dosis yang dihitung berdasarkan pada volume tiroid, penyerapan
RAI dan faktor-faktor lokal. Dosis tetap bisa 10 hingga 25 mCi dari I-
131. Pasien harus diberikan tindakan pencegahan keselamatan radiasi
tertulis setelah perawatan RAI untuk menghindari pajanan pada
anggota rumah tangga atau anggota masyarakat, terutama anak-anak,
dan wanita hamil.7,19
Tindak lanjut dan pemantauan: TFT harus dipantau setiap
empat hingga enam minggu selama enam bulan atau sampai pasien
menjadi hipotiroid. Setelah pasien menggunakan dosis levothyroxine
yang stabil, TFT dapat diulang setiap enam hingga 12 bulan. Jika
hipertiroidisme bertahan setelah enam bulan terapi RAI, itu dapat
dianggap sebagai kegagalan pengobatan, dan pengobatan berulang
dengan RAI mungkin diperlukan.7,19

2.8.3 Pengobatan dengan Penyulit


 Penyakit Graves dan Kehamilan
Angka kejadian penyakit graves dengan kehamilan ±0,2%. Selama
kehamilan biasanya penyakit graves mengalami remisi, dan eksaserbasi

20
setelah melahirkan. Dalam pengobatan, yodium radioaktif merupakan
kontraindikasi karena pada bayi dapat terjadi hipotiroidi yang ireversibel.
Penggunaan propranolol masih kontroversi. Beberapa peneliti memberikan
propranolol pada kehamilan, dengan dosis 40 mg 4 kali sehari tanpa
menimbulkan gangguan pada proses kelahiran, tanda-tanda teratogenesis
dan gangguan fungsi tiroid dari bayi yang baru dilahirkan. Tetapi beberapa
peneliti lain mendapatkan gejala-gejala proses kelahiran yang terlambat,
terganggunya pertumbuhan bayi intrauterin, plasenta yang kecil,
hipoglikemi dan bradikardi pada bayi yang baru lahir.18
Umumnya propranolol diberikan pada wanita hamil dengan
hipertiroid dalam waktu kurang dari 2 minggu bilamana dipersiapkan
untuk tindakan operatif.18
Pengobatan yang dianjurkan hanya pemberian obat antitiroid dan
pembedahan. Untuk menentukan pilihan tergantung faktor pengelola
maupun kondisi penderita. PTU merupakan obat antitiroid yang
digunakan, pemberian dosis sebaiknya serendah mungkin. Bila terjadi efek
hipotiroid pada bayi, pemberian hormon tiroid tambahan pada ibu tidak
bermanfaat mengingat hormon tiroid kurang menembus plasenta.
Pembedahan dilakukan bila dengan pemberian obat antitiroid tidak
mungkin. Sebaiknya pembedahan ditunda sampai trimester I kehamilan
untuk mencegah terjadinya abortus spontan. 18
 Eksoftalmus
Pengobatan hipertiroid diduga mempengaruhi derajat
pengembangan eksofalmus. Selain itu pada eksoftalmus dapat diberikan
terapi antara lain: istirahat dengan berbaring terlentang, kepala lebih
tinggi; mencegah mata tidak kering dengan salep mata atau larutan metil
selulose 5%; menghindari iritasi mata dengan kacamata hitam; dan
tindakan operasi; dalam keadaan yang berat bisa diberikan prednison
peroral tiap hari.17
 Krisis Tiroid

21
Krisis tiroid merupakan suatu keadaan tirotoksikosis yang
sekonyong-konyong menjadi hebat dan disertai antara lain adanya panas
badan, delirium, takikardi, dehidrasi berat dan dapat dicetuskan oleh antara
lain: infeksi dan tindakan pembedahan. Prinsip pengelolaan hampir sama,
yakni mengendalikan tirotoksikosis dan mengatasi komplikasi yang
terjadi. Untuk mengendalikan tirotoksikosis dapat digunakan terapi
kombinasi dengan dosis tinggi misalnya PTU 300 mg tiap 6 jam, KJ 10
tetes tiap 6 jam, propranolol 80 mg tiap 6 jam (IV 2-4 mg tiap 4 jam) dan
dapat diberikan glukokortikoid (hidrokortison 300 mg). Sedangkan untuk
mengatasi komplikasinya tergantung kondisi penderita dan gejala yang
ada. Tindakan harus secepatnya karena angka kematian penderita ini
cukup besar.17,19

 Graves Orbitopathy (GO)


Pencapaian cepat tingkat euthyroid harus dicari pada pasien dengan
orbitopathy Graves. Pasien harus disarankan untuk berhenti merokok jika
mereka melakukannya. Pengobatan tergantung pada keparahan
orbitopati. Untuk pasien dengan orbitopati ringan yang menjalani
pengobatan RAI, prednison 0,4 mg / kg / hari hingga 0,5 mg / kg / hari
harus dimulai satu hingga tiga hari setelah pengobatan dan dilanjutkan
selama satu bulan. Itu harus meruncing perlahan selama dua
bulan. Orbitopati Graves aktif ringan harus diobati dengan air mata buatan,
dan terapi glukokortikoid dapat dipertimbangkan. Ketinggian kepala saat
tidur mengurangi kemacetan orbital. Perawatan selenium memiliki
manfaat yang diragukan. Rujukan ophthalmology yang cepat harus
dipertimbangkan untuk semua kasus orbitopathy Graves.7,19
Pengobatan orbitopati Graves aktif moderat hingga berat
membutuhkan hingga 100 mg prednison oral setiap hari selama satu
hingga dua minggu, kemudian diturunkan selama enam hingga 12 minggu
atau intravena (IV) metilprednisolon 500 mg / minggu selama enam

22
minggu diikuti dengan 250 mg / minggu untuk enam minggu. Pilihan lain
termasuk iradiasi orbital, rituximab, dan dekompresi orbital darurat.7,19
Radiasi Seperti kortikosteroid terapi radiasi paling efektif dalam
tahun pertama ketika perubahan fibrotik yang signifikan belum terjadi.
Iradiasi retrobulber (tidak boleh pada penderita diabetes melitus) sering
diakukan pada penderita oftalmopati Graves yang aktif dengan protrusis
yang berat. Secara keseluruhan 60% hinggan 70% pasien memiliki respon
yang baik dengan radiasi, walaupun rekuren terjadi lebih dari 25% pasien.
Perbaikan diharapkan selama 2 minggu hingga 3 bulan setelah terapi
radiasi tetapi dapat berlanjut hingga 1 tahun. Beberapa pasien dengan TAO
memerlukan penanganan bedah, seperti dekompresi orbital, pembedahan
strabismus dan pembedahan kelopak mata.5
Perawatan orbitopati Graves yang tidak aktif melibatkan
pemantauan klinis jarak dekat, dekompresi orbital elektif, perbaikan
strabismus dan perbaikan kelopak mata tergantung pada tingkat
keparahannya.7,19
Berbagai tindakan pencegahan perlu dilakukan agar oftalmopati
tidak menjadi lebih berat. Kontol penyakit tiroid merupakan langkah
utama, Pasien merokok sebaiknya ditekankan untuk berhenti merokok.
Oleh karena merokok ternyatamemperburuk oftalmopati, Pasien dengan
proptosis sebaiknya harus diproteksi misalnya dengan kacamata, atau
cairan tetes khusus agar kornea selalu basah (artificial teas).5

 Dermopati dan Acropachy


Dermatopati kuburan biasanya tidak memerlukan perawatan. Jika
pengobatan dipertimbangkan, glukokortikoid berpotensi tinggi topikal
dengan dressing oklusif dapat dipertimbangkan. Pengobatan rituximab
untuk mengurangi sel-B mungkin bermanfaat, tetapi tetap
eksperimental. Tidak ada pengobatan yang tersedia untuk acropachy.7,18

23
2. 9 Komplikasi
Komplikasi penyakit Graves dapat mencakup:6,19
 Masalah kehamilan.
Kemungkinan komplikasi penyakit Graves selama kehamilan termasuk
keguguran, kelahiran prematur, disfungsi tiroid janin, pertumbuhan janin
yang buruk, gagal jantung ibu dan preeklampía.
 Gangguan jantung.
Jika tidak diobati, penyakit Graves dapat menyebabkan gangguan irama
jantung, perubahan dalam struktur dan fungsi otot jantung, dan
ketidakmampuan jantung untuk memompa darah yang cukup ke tubuh
(gagal jantung kongestif).
 Badai tiroid. Komplikasi yang jarang terjadi, namun mengancam jiwa dari
penyakit Graves adalah badai tiroid, yang juga dikenal sebagai
hipertiroidisme dipercepat atau krisis paralisis. Ini lebih mungkin ketika
hipertiroidisme parah tidak diobati atau diperlakukan tidak memadai.
Peningkatan mendadak dan drastis dalam hormon tiroid dapat
menghasilkan sejumlah efek, termasuk demam, berlimpah berkeringat,
muntah, diare, delirium, kelemahan berat, kejang, detak jantung tidak
teratur, kulit kuning dan mata (penyakit kuning), tekanan darah rendah
parah, dan koma. Badai tiroid membutuhkan perawatan darurat segera.
 Tulang rapuh. Hipertiroidisme yang tidak diobati juga dapat menyebabkan
tulang yang lemah dan rapuh (osteoporosis). Kekuatan tulang Anda
tergantung, sebagian, pada jumlah kalsium dan mineral lainnya yang
dikandungnya. Terlalu banyak hormon tiroid mengganggu kemampuan
tubuh Anda untuk memasukkan kalsium ke dalam tulang Anda.

2.9 Prognosis

24
Pada Graves Disease sebagian besar pasien menjadi hipotiroid. Demikian
pula, ophthalmopathy umumnya menetap. Hipertiroidisme dapat kembali karena
jaringan tiroid bertahan setelah ablasi dan titer antibodi tinggi anti-TSI. Terapi
lebih lanjut mungkin diperlukan dalam bentuk pembedahan atau ablasi radioaktif
yodium.20

Sebuah studi oleh Tun et al menunjukkan bahwa pada pasien dengan


penyakit Graves yang diterapi dengan thionamide, high thyrotropin receptor–
stimulating antibody (TRab) beresiko untuk kambuh, terutama dalam dua tahun
pertama. Studi ini mencakup 266 pasien. Sebuah studi retrospektif oleh Rabon et
al Dari 268 anak yang memulai obat antitiroid, 57 (21%) mengalami perbaikan,
dengan 16 dari mereka (28%) mengalami kekambuhan.20

Penyakit Graves dapat sembuh spontan walaupun presentasinya kecil


terutama nila sifatnya ringan atau sub klinis. Jika terjadi saat kehamilan, terdapat
30% kemungkinan terjadi remisi pada trimester ketiga. 6

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Ariani, Desti. 2016. Ny. Z Usia 47 Tahun dengan Penyakit Graves. Medula
Unila Volume 4, Nomor 3. Available from : https://Desti
Juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/medulla/article Cited : April, 24th 2020.
2. Ahmed, Khaled. Et al. 2017. Case Report Atypical Complications of Graves’
Disease: A Case Report and Literature Review. Hindawi Case Reports in
Endocrinology Volume 2017, Article ID 6087135, 6 pages
https://doi.org/10.1155/2017/6087135 Available from :
https://www.hindawi.com/journals/crie/2017/6087135/ Cited : April, 24th
2020.
3. Shahbaz A, Aziz K, Umair M, et al. (June 08, 2018) Graves' Disease
Presenting as Painful Goiter: A Case Report and Review of the Literature.
Cureus 10(6): e2765. DOI 10.7759/cureus.2765 Available from :
https://www.cureus.com/articles/12474-graves-disease-presenting-as-painful-
goiter-a-case-report-and-review-of-the-literature Cited : April, 24th 2020.
4. Diartha, N. Seorang penderita penyakit grave’s dengan tetraparesis: sebuah
laporan kasus. E-Jurnal Medika Udayana. Available from :
https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum/article/view/9633/7143 Cited : April,
24th 2020.
5. Farida, Siti, Tridana, Pandu Sakti. 2016. Oftalmopati pada Penyakit Graves.
Jurnal Kedokteran 2016, 5(3): 27-30 ISSN 2527-7154. Available from :
http://jku.unram.ac.id/article/download/300/227 Cited : April, 24th 2020.
6. Sutjahjo, Ari dkk . 2015. Penyakit Graves (Grave Disease). Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Edisi 2. Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Rumah
Sakit Pendidikan Dr. Soetomo Surabaya. In: Tjokoprawiro, Askandar.
Surabaya : Airlangga University Press.
7. Pokhrel, Binod; Kamal Bhusal. 2019. Graves Disease. Stats Pearls Publishing
LLC.
8. Prita, Yati Niken et al. 2017 Diagnosis dan Tatalaksana Hipertiroid. Jakarta:
Ikatan dokter anak Indonesia.
9. Decroli, Eva, Kam, Alexander. 2017. Dampak Klinis Thyroid Stimulating
Hormon. Jurnal Kesehatan Andalas. Available frol
http://jurnal.fk.unand.ac.id cited : April, 24th 2020.
10. Dan L. Longo, et al 2013. Harrison 18th edition Manual of Medicine. United
Stated: Mc Graw Hill Medical
11. Johan S. Masjhur. 2015. Nodul Tiroid. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Edisi VI. In: Aru W. Sudoyo;
Bambang S; Idrus A; Marcellus S K; Siti S, editors. Jakarta: Interna
Publishing
12. Subekti, Imam. 2019. Fokus pada Pencegahan Oftalmopati pada Penyakit
Graves. DOI: 10.23886/ejki.7.11288. Available from :
http://journal.ui.ac.id/index.php/eJKI/article/view/11288 Cited : April, 24th
2020.
13. Lister Hill National Center for Biomedical Communications U.S. 2020.
Graves Disease. Genetics Home Reference. Available from:
https://ghr.nlm.nih.gov/condition/graves-disease cited : April, 24th 2020
14. Evayutina, Yulia et al. 2015. Case report of Graves’ disease manifesting with
odynophagia and heartburn. World J Gastroenterol. 21(48): 13582–13586.
Published online 2015 Dec 28. doi: 10.3748/wjg.v21.i48.13582 Available
from : https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4690189/ Cited :
April, 24th 2020.
15. Corenblum, Bernard. 2015. Diffuse Toxic Goiter (Graves Disease) Available
from : https://emedicine.medscape.com/article/120140-overview Cited :
April, 24th 2020.
16. Erik D Schraga. 2020. Hyperthyroidism, Thyroid Storm, and Graves Disease.
Available from :https://emedicine.medscape.com/article/767130-overview
Cited : April, 24th 2020.
17. Volpe, Robert. 2016. treatment of Graves' Disease - An Overview. Available
from : https://www.gdatf.org/about/about-graves-disease/patient-
education/treatment-of-gravesdisease-an-overview/ Cited : April, 24th 2020.

27
18. Terry J. Smith, Laszlo Hegedü. 2016. Graves’ Disease. Available from :
https://mfprac.com/web2019/07literature/literature/Endocrinology/GravesDis
_Smith.pdf Cited : April, 24th 2020.
19. Subekti, Imam.2018. Current Diagnosis and Management of Graves’ Disease
Available from :
https://pdfs.semanticscholar.org/2027/880781a1337c3f68ba8137cb8f8482477
4ac.pdf cited April 24th 2020
20. Ching, Sai Jim Yeung. 2020. Graves Disease. Available from :
https://emedicine.medscape.com/article/120619-overview#a2 cited : April,
24th 2020

28

Anda mungkin juga menyukai