Anda di halaman 1dari 12

REFERAT

GRAVE’S DISEASE

Disusun Oleh :

Ayana Saberina Aprillia

201410330311145

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2018
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa, karena atas berkat dan

rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan referat dengan judul “Grave’s Disease”.

Saya menyadari referat ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu kritik dan

saran saya harapkan demi memperbaiki kekurangan atau kekeliruan yang mungkin ada.

Semoga referat ini bermanfaat bagi rekan dokter muda khususnya dan masyarakat umum

pada umumnya. Akhir kata, penulis mengharapkan tugas ini dapat bermanfaat bagi semua

pihak.

Wassalamualaikum WR.WB.

Malang, 5 April 2018

Penulis

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit Graves (Grave’s Disease) merupakan bentuk tiroktoksikosis

(hipertiroid) yang paling sering dijumpai dalam praktek sehari-hari. Dapat terjadi

pada semua umur, sering ditemukan pada wanita dari pada pria. Tanda dan gejala

penyakit Graves yang paling mudah dikenali ialah adanya struma (hipertrofi dan

hiperplasia difus), tirotoksikosis (hipersekresi kelenjar tiroid/ hipertiroidisme) dan

sering disertai oftalmopati, serta disertai dermopati, meskipun jarang (Subekti, 2001;

Shahab, 2002; Price dan Wilson, 1995).

Patogenesis penyakit Graves sampai sejauh ini belum diketahui secara pasti.

Namun demikian, diduga faktor genetik dan lingkungan ikut berperan dalam

mekanisme yang belum diketahui secara pasti meningkatnya risiko menderita

penyakit Graves. Berdasarkan ciri-ciri penyakitnya, penyakit Graves dikelompokkan

ke dalam penyakit autoimun, antara lain dengan ditemukannya antibodi terhadap

reseptor TSH (Thyrotropin Stimulating Hormone Receptor Antibody / TSHR-Ab)

dengan kadar bervariasi (Subekti, 2001; Shahab, 2002).

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Penyakit Graves merupakan penyebab tersering hipertiroidisme adalah suatu

penyakit autoimun yang biasanya ditandai oleh produksi autoantibodi yang memiliki

kerja mirip TSH pada kelenjar tiroid. Penderita penyakit Graves memiliki gejala-

gejala khas dari hipertiroidisme dan gejala tambahan khusus yaitu pembesaran

kelenjar tiroid / struma difus, oftamopati (eksoftalmus / mata menonjol) dan kadang-

kadang dengan dermopati (Subekti, 2001; Corwin, 2001; Stein, 2000; Harrison,

2000).

2.2 Etiologi

Penyakit Graves merupakan salah satu penyakit autoimun yang disebabkan

thyroid-stimulating antibodies (TSAb). Antibodi ini berikatan dan mengaktifkan

TSH receptor (TSHR) pada sel tiroid yang mensintesis dan melepaskan hormon

tiroid. Faktor- faktor resiko antara lain : faktor genetik, faktor imunologis, infeksi,

faktor trauma psikis, penurunan berat badan secara drastis, chorionic gonadotropin,

periode post partum, kromosom X, dan radiasi eksternal (Moelyanto, 2007).

2.3 Patofisiologi

Pada penyakit Graves, limfosit T mengalami perangsangan terhadap

antigen yang berada didalam kelenjar tiroid yang selanjutnya akan merangsang

limfosit B untuk mensintesis antibodi terhadap antigen tersebut. Antibodi yang

disintesis akan bereaksi dengan reseptor TSH didalam membran sel tiroid sehingga

4
akan merangsang pertumbuhan dan fungsi sel tiroid, dikenal dengan TSH-R

antibody. Adanya antibodi didalam sirkulasi darah mempunyai korelasi yang erat

dengan aktivitas dan kekambuhan penyakit. Mekanisme autoimunitas merupakan

faktor penting dalam patogenesis terjadinya hipertiroidisme, oftalmopati, dan

dermopati pada penyakit Graves (Shahab, 2002).

Terjadinya oftalmopati Graves melibatkan limfosit sitotoksik (killer cells) dan

antibodi sitotoksik lain yang terangsang akibat adanya antigen yang berhubungan

dengan tiroglobulin atau TSH-R pada fibroblast, otot-otot bola mata dan jaringan

tiroid. Sitokin yang terbentuk dari limfosit akan menyebabkan inflamasi fibroblast

dan miositis orbita, sehingga menyebabkan pembengkakan otot-otot bola mata,

proptosis dan diplopia.

Dermopati Graves (miksedema pretibial) juga terjadi akibat stimulasi sitokin

didalam jaringan fibroblast didaerah pretibial yang akan menyebabkan terjadinya

akumulasi glikosaminoglikans (Shahab, 2002).

2.4 Gejala Klinik

Trias Graves yaitu struma difusa, oftalmopati, dan dermopati. Perubahan

pada mata (oftalmopati Graves), menurut the American Thyroid Association

diklasifikasikan sebagai berikut (dikenal dengan singkatan NOSPECS) :

a. No signs or symptoms

b. Only signs (lid retraction or lag), no symptoms

c. Soft tissue involvement (periorbital edema)

5
d. Proptosis (>22 mm)

e. Extraocular muscle involvement (diplopia)

f. Corneal involvement

g. Sight Loss

2.5 Diagnosis

Gejala dan tanda apakah seseorang menderita hipertiroid atau tidak juga dapat

dilihat atau ditentukan dengan indeks wayne atau indeks newcastle yaitu sebagai

berikut.

• Tes Laboratorium

6
• Sidik tiroid

Jarang dikerjakan untuk graves, kecuali apabila gondok sulit teraba atau teraba

nodul yang memerlukan evaluasi. Gambaran sindrom marine-lenhardt ditemukan

waktu melakukan sidik tiroid, yang ditandai dengan satu atau lebih nodul (cold

nodul) atas dasar kelenjar toksik difus. Hal ini terjadi karena graves terdapat pada

gondok non toksik. Meskipun demikian tidak boleh dilupakan untuk menyingkirkan

kemungkinan keganasan.

2.6 Tatalaksana

Faktor utama yang berperan dalam patogenesis terjadinya sindrom penyakit

Graves adalah proses autoimun, namun penatalaksanaannya terutama ditujukan

untuk mengontrol keadaan hipertiroidisme. Pemeriksaan yang perlu dilakukan untuk

membantu menegakkan diagnosis toxic adenoma adalah pemeriksaan TSH, kadar

hormon tiroid bebas, ultrasonography dan fine-needle aspiration (FNA).

Pemeriksaan TSH merupakan pemeriksaan awal yang harus dilakukan untuk

mengevaluasi fungsi kelenjar tiroid, serta perlu dilakukan pemeriksaan kadar hormon

tiroid (T4 dan T3). Ada pula tiga jenis pengobatan terhadap hipertiroidisme akibat

penyakit Graves, yaitu: Obat anti tiroid, Pembedahan dan Terapi Yodium Radioaktif.

Pilihan pengobatan tergantung pada beberapa hal antara lain berat ringannya

tirotoksikosis, usia pasien, besarnya struma, ketersediaan obat antitiroid dan respon

atau reaksi terhadapnya serta penyakit lain yang menyertainya (Subekti, 2001;

Shahab, 2002).

1. Obat – obatan

7
a. Obat Antitiroid : Golongan Tionamid

Terdapat 2 kelas obat golongan tionamid, yaitu tiourasil dan imidazol. Tiourasil

dipasarkan dengan nama propiltiourasil (PTU) dan imidazol dipasarkan dengan nama

metimazol dan karbimazol. Obat golongan tionamid lain yang baru beredar ialah

tiamazol yang isinya sama dengan metimazol.

b. Obat Golongan Penyekat Beta

Obat golongan penyekat beta, seperti propranolol hidroklorida, sangat bermanfaat

untuk mengendalikan manifestasi klinis tirotoksikosis (hyperadrenergic state) seperti

palpitasi, tremor, cemas, dan intoleransi panas melalui blokadenya pada reseptor

adrenergik. Di samping efek antiadrenergik, obat penyekat beta ini juga dapat,

meskipun sedikit, menurunkan kadar T3 melalui penghambatannya terhadap

konversi T4 ke T3. Dosis awal propranolol umumnya berkisar 80 mg/hari (Price dan

Wilson, 1995; Corwin, 2001).

2. Terapi Yodium Radioaktif

Pengobatan dengan yodium radioaktif (131I). Respons yang terjadi sangat

tergantung pada jumlah 131I yang ditangkap dan tingkat radiosensitivitas kelenjar

tiroid. Oleh karena itu mungkin dapat terjadi hipofungsi tiroid dini (dalam waktu 2 –

6 bulan) atau lebih lama yaitu setelah 1 tahun. 131I dengan cepat dan sempurna

diabsorpsi melalui saluran cerna untuk kemudian dengan cepat pula terakumulasi di

dalam kelenjar tiroid.

Efek samping yang menonjol dari pengobatan yodium radioaktif adalah

hipotiroidisme. Kejadian hipotiroidisme sangat dipengaruhi oleh besarnya dosis;

8
makin besar dosis yang diberikan makin cepat dan makin tinggi angka kejadian

hipotiroidisme (Shahab, 2002).

Dengan dosis I131 yang moderat yaitu sekitar 100 μCi/g berat jaringan tiroid,

didapatkan angka kejadian hipotiroidisme sekitar 10% dalam 2 tahun pertama dan

sekitar 3% untuk tiap tahun berikutnya.

3. Pembedahan

Tiroidektomi subtotal merupakan terapi pilihan pada struma yang besar. Sebelum

operasi, penderita dipersiapkan dalam keadaan eutiroid dengan pemberian OAT

(biasanya selama 6 minggu). Disamping itu, selama 2 minggu pre operatif, diberikan

larutan Lugol atau potassium iodida, 5 tetes 2 kali sehari, yang dimaksudkan untuk

mengurangi vaskularisasi kelenjar dan mempermudah operasi. Sampai saat ini masih

terdapat silang pendapat mengenai seberapa banyak jaringan tiroid yangn harus

diangkat (Subekti, 2001). Tiroidektomi total biasanya tidak dianjurkan, kecuali pada

pasein dengan oftalmopati Graves yang progresif dan berat. Namun bila terlalu

banyak jaringan tiroid yang ditinggalkan, dikhawatirkan akan terjadi relaps.

Kebanyakan ahli bedah menyisakan 2 – 3 gram jaringan tiroid. Walaupun demikan

kebanyakan penderita masih memerlukan suplemen tiroid setelah mengalami

tiroidektomi pada penyakit Graves. Hipoparatiroidisme dan kerusakan nervus

laryngeus recurrens merupakan komplikasi pembedahan yang dapat terjadi pada

sekitar 1% kasus (Subekti, 2001).

9
2.7 Prognosis

Krisis tiroid (Thyroid storm) merupakan eksaserbasi akut dari semua gejala

tirotoksikosis yang berat sehingga dapat mengancam kehidupan penderita terhadap

fetus. Propanolol dapat digunakan untuk mengobati gejala hipertiroid akut dan

persiapan perioperatif tanpa edanya efek teratogenik yang jelas.

Penggunaan kronik iodida selama kehamilan berhubungan dengan hipotiroid

dan goiter neonatus yang kadang-kadang dapatmenyebabkan asfiksi karena obstruksi

trakea. Terdapat laporan penggunaan dosis rendah kalium iodida (6 – 40 mg/hari)

tidak menyebabkan goiter namun 6% neonatus mengalami peningkatan TSH. Iodida

tidak digunakan untuk terapi lini pertama untuk wanita hamil dengan Graves namun

dapat digunakan sementara jika diperlukan sementara untuk persiapan tiroidektomi.

Iodida radioaktif dikontrain dikasikan pada kehamilan.

Operasi subtotal tiroidektomi dipikirkan sebagai alternatif jika: 1) obat anti

tiroid mengakibatkan efek samping yang jelas seperti misalnya agranulositosis, 2)

dibutuhkan dosis obat anti tiroid yang besar, 3) tidak ada respon dengan obat anti

tiroid dan pasien mengalami hipertiroid tidak terkontrol. Sebelum operasi harus

menerima terapi solusio kalium iodida (50 – 100 mg/hari) selama 10 – 14 hari

sebelum operasi untuk menurunkan vaskularisasi kelenjar tiroid dan dapat diberikan

propanolol.

10
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Ulkus Kaki diabetes merupakan salah satu komplikasi penyakit diabetes yang

sering. Ulkus Kaki diabetes menjadi masalah di bidang sosial dan ekonomi yang

mempengaruhi kualitas hidup penderitanya. Neuropati perifer, penyakit vaskular perifer,

deformitas struktur kaki menjadi faktor utama penyebab ulkus diabetes. Perawatan ulkus

diabetes pada dasarnya terdiri dari 3 komponen utama, yaitu debridement, pengurangan

beban tekanan pada kaki, dan penanganan infeksi. Balutan yang efektif dan tepat

membantu penanganan optimal. Keadaan sekitar luka harus dijaga kebersihan dan

kelembapannya. Diagnosis dini dan penanganan tepat merupakan hal yang penting untuk

mencegah amputasi dan menjaga kualitas hidup penderita.

11
DAFTAR PUSTAKA

1. Corwin. E J, Patofisiologi, Edisi 1, EGC, Jakarta, 2001: hal 263 – 265

2. Djokomoeljanto. Tirotoksikosis-Penyakit Graves. Dalam Tiroidologi klinik Edisi 1.

Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2007. Hal 220-281

3. Harrison, Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam, alih bahasa Prof.Dr.Ahmad H. Asdie,

Sp.PD-KE, Edisi 13, Vol.5, EGC, Jakarta, 2000: hal 2144 – 2151

4. Lembar S, Hipertiroidisme Pada Neonatus Dengan Ibu Penderita Grave’s Disease,

Majalah Kedokteran Atma Jaya, Vol 3, No.1, Jakarta, 2004: hal 57 – 64

5. Mansjoer A, et all, Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1, Edisi 3, Media Aesculapius,

Fakultas Kedokteran UI, Jakarta, 1999: hal 594 – 598

6. Noer HMS, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 1, Edisi 3, Balai Penerbit Fakultas

Kedokteran UI, Jakarta, 1996: hal 725 – 778

7. Price A.S. & Wilson M.L., Patofisiologi Proses-Proses Penyakit, Alih Bahasa

Anugerah P., Edisi 4, EGC, Jakarta, 1995: hal 1049 – 1058, 1070 – 1080

8. Shahab A, 2002, Penyakit Graves (Struma Diffusa Toksik) Diagnosis dan

Penatalaksanaannya, Bulletin PIKKI: Seri Endokrinologi-Metabolisme, Edisi

9. Juli 2002, PIKKI, Jakarta, 2002: hal 9 – 18 Sjamsuhidajat R, Jong WD. Buku Ajar

Ilmu Bedah. EGC, Jakarta, 1996.

10. Stein JH, Panduan Klinik Ilmu Penyakit Dalam, alih bahasa Nugroho E, Edisi 3, EGC,

Jakarta, 2000: hal 606 – 630

12

Anda mungkin juga menyukai