BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit Graves merupakan penyakit kelenjar tiroid yang sering dijumpai dalam praktek
sehari-hari. Tanda dan gejala penyakit Graves yang paling mudah dikenali ialah adanya
struma (hipertrofi dan hiperplasia difus), tirotoksikosis (hipersekresi kelenjar tiroid/
hipertiroidisme) dan sering disertai oftalmopati, serta -meskipun jarang- disertai dermopati.
Selain penyakit Graves, yang merupakan penyebab paling sering, penyebab lain
tirotoksikosis ialah struma multinodosa toksik, adenoma toksik, tiroiditis, dan pemberian
obat-obatan.
Patogenesis penyakit Graves sampai sejauh ini belum diketahui secara pasti. Namun
demikian, diduga faktor genetik dan lingkungan ikut berperan dalam mekanisme -yang belum
diketahui secara pasti- meningkatnya risiko menderita penyakit Graves. Berdasarkan ciri-ciri
penyakitnya, penyakit Graves dikelompokkan ke dalam penyakit autoimun, antara lain
dengan ditemukannya antibodi terhadap reseptor TSH (Thyrotropin Stimulating Hormone
Receptor Antibody /TSHR-Ab) dengan kadar bervariasi.
Pengobatan penyakit Graves idealnya ditujukan langsung pada penyebabnya. Tetapi,
mengingat dasar penyakit Graves adalah penyakit autoimun yang belum diketahui pasti
penyebabnya, maka pengobatan penyakit Graves dilakukan melalui berbagai pendekatan,
yaitu merusak/mengurangi massa kelenjar tiroid, menghambat produksi dan pengeluaran
hormon tiroid serta mengeliminasi efek hormon tiroid di perifer, sekaligus menekan proses
autoimun.
B. Tujuan Penulisan
1. Mampu menjelaskan tentang konsep medis pada Penyakit Grave.
2. Mampu menjelaskan tentang asuhan keperawatan pada Penyakit Grave.
BAB II
PEMBAHASAN
2. Etiologi
Penyebab penyakit grave tidak diketahui ; akan tetapi tampak predisposisi genetic pada
penyakit auto imun. Reaksi silang tubuh terhadap penyakit virus mungkin merupakan salah
satu penyebabnya ( mekanisme ini sama seperti postulat terjadinya diabetes mellitus tipe
I).Obat-obatan tertentu yang digunakan untuk menekan produksi hormon kelenjar tiroid dan
Kurang yodium dalam diet dan air minum yang berlangsung dalam kurun waktu yang cukup
lama mungkin dapat menyebabkan penyakit ini.
3. Patofisiologi
Graves disease merupakan salah satu contoh dari gangguan autoimun hipersensitif tipe II.
Sebagian besar gambaran klinisnya disebabkan karena produksi autoantibodi yang berikatan
dengan reseptor TSH, dimana tampak pada sel folikuler tiroid ( sel yang memproduksi
tiroid). Antibodi mengaktifasi sel tiroid sama seperti TSH yang menyebabkan peningkatan
produksi dari hormon tiroid. Opthalmopathy infiltrat ( gangguan mata karena tiroid) sering
terjadi yang tampak pada ekspresi reseptor TSH pada jaringan retroorbital. Penyebab
peningkatan produksi dari antibodi tidak diketahui. Infeksi virus mungkin merangsang
antibodi, dimana bereaksi silang dengan reseptor TSH manusia. Ini tampak sebagai faktor
predisposisi genetik dari Graves disease, sebagian besar orang lebih banyak terkena Graves
disease dengan aktivitas antibodi dari reseptor TSH yang bersifat genetik
4. Manifestasi klinis
a. Peningkatan frekuensi jantung
b. Peninngkatan tonus otot, tremor, iratabilitas, peningkatan sensitifitas terhadap katekolamin.
c. Peningktan laju metabolism basal dan produksi panas, intoleransi terhadap panas, keringat
berlebihan.
d. Penurunan berat badan, peningkatan rasa lapar.
e. Melotot
f. Dapat terjadi eksoftalmus (penonjulan bola mata).
g. Peningkatan frekunsi buang air besat.
h. Gondok (biasanya), yaitu peningtan ukuran kelenjar tiroid.
i. Perubahan kulit dan kondisi rambut dapat terjadi.
5. Pemeriksaan Penunjang
Untuk dapat memahami hasil-hasil laboratorium pada penyakit Graves dan
hipertiroidisme umumnya, perlu mengetahui mekanisme umpan balik pada hubungan (axis)
antara kelenjar hipofisis dan kelenjar tiroid. Dalam keadaan normal, kadar hormon tiroid
perifer, seperti L-tiroksin (T-4) dan tri-iodo-tironin (T-3) berada dalam keseimbangan dengan
thyrotropin stimulating hormone (TSH). Artinya, bila T-3 dan T-4 rendah, maka produksi
TSH akan meningkat dan sebaliknya ketika kadar hormon tiroid tinggi, maka produksi TSH
akan menurun.
Pada penyakit Graves, adanya antibodi terhadap reseptor TSH di membran sel folikel tiroid,
menyebabkan perangsangan produksi hormon tiroid secara terus menerus, sehingga kadar
hormon tiroid menjadi tinggi. Kadar hormon tiroid yang tinggi ini menekan produksi TSH di
kelenjar hipofisis, sehingga kadar TSH menjadi rendah dan bahkan kadang-kadang tidak
terdeteksi. Pemeriksaan TSH generasi kedua merupakan pemeriksaan penyaring paling
sensitif terhadap hipertiroidisme, oleh karena itu disebut TSH sensitive (TSHs), karena dapat
mendeteksi kadar TSH sampai angka mendekati 0,05mIU/L. Untuk konfirmasi diagnostik,
dapat diperiksa kadar T-4 bebas (free T-4/FT-4).(1,2,3)
Pemeriksaan penunjang lain seperti pencitraan (scan dan USG tiroid) untuk
menegakkan diagnosis penyakit Graves jarang diperlukan, kecuali scan tiroid pada tes supresi
tiroksin.
6. Komplikasi
a. Aritmia biasa terjadi pada pasien yang mengalami hipertiroidisme dan merupakan gejalah
yang terjadi pada gangguan tersebut. Setiap individu yang mengeluhkan artmia harus
dievaluasi untuk mengetahui terjadinya gangguan tiroid.
b. Komplikasi yang mengancam jiwa adalah krisis tirotoksik (badai tiroid), yang dapat terjadi
secara spontan pada pasien hipertiroidisme yang menjalani terpi atau selama pembedahan
kelenjar tiroid, atau dapat terjadi pada pasien yang tadak terdiagnosis hiipertiroidisme.
Akibatnya adalah pelepasan TH dalam jumlah yang sangat besar yang menyebabkan
takikardia, agitasi, tremor, hipertermia (sampai 106F) dan apabila tidak diobati, terjadi
kematian.
7. Penatalaksanaan
Pengobatan terhadap Graves disease termasuk penggunaan obat-obat anti tiroid
(OAT), yodium radioaktif dan tiroidektomi (eksisi pembedahan dari kelenjar tiroid).
Pengobatan hipertiroid pada graves disease adalah dengan obat-obatan seperti methimazole
atau propylthiouracil (PTU), yang akan menghambat produksi dari hormon tiroid, atau juga
dengan yodium radioaktif . Pembedahan merupakan salah satu pilihan pengobatan, sebelum
pembedahan pasien diobati dengan methimazole atau propylthiouracil (PTU). Beberapa ahli
memberikan terapi kombinasi tiroksin dengan OAT dosis tinggi untuk menghambat produksi
hormon tiroid namun pasien tetap dipertahankan eutiroid dengan pemberian tiroksin.
Penambahan tiroksin selama terapi dengan OAT juga akan menurunkan produksi antibodi
terhadap reseptor TSH dan frekuensi kambuhnya hipertiroid.
Pengobatan dengan iodium radioaktif diindikasikan pada : pasien umur 35 tahun atau
lebih, hipertiroid yang kambuh setelah dioperasi, gagal mencapai remisi sesudah pemberian
OAT, tidak mampu atau tidak mau pengobatan dengan OAT dan pada adenoma toksik, goiter
multinodular toksik. Digunakan I131 dengan dosis 5-12mCi per oral.
Tiroidektomi subtotal sangat efektif untuk menanggulangi hipertiroid. Indikasi
operasi adalah :
a. Pasien umur muda dengan struma yang besar serta tidak mempan dengan OAT
b. Pada wanita hamil (trimester kedua) yang memerlukan OAT dosis tinggi.
c. Alergi terhadap OAT, pasien tidak bisa menerima iodium radioaktif.
d. Adenoma toksik atau struma multinodular toksik.
e. Pada penyakit grave yang berhubungan dengan satu atau lebih nodul.
k. Penyuluhan / pembelajaran
o Gejala: adanya riwayat keluarga yang mengalami masalah tiroid, riwayat hipotiroidisme,
terapi hormon toroid atau pengobatan antitiroid, dihentikan terhadappengobatan antitiroid,
dilakukan pembedahan tiroidektomi sebagian, riwayat pemberian insulin yangmenyebabkan
hipoglikemia, gangguan jantung atau pembedahan jantung, penyakit yang baru terjadi
(pneumonia), trauma, pemeriksaan rontgen foto dengan kontras
Penyimmpangan KDM
2. Diagnosa Keperawatan
a. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan frekuensi jantung
b. Risiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan status hipermetabolik
c. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh b/d
d. Diare berhubungan dengan bising usus hiperaktif
3. Intervensi Keperawatan
a. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan frekuensi jantung
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam, diharapkan pasien dapat n
mempertahankan curah jantung yang adekuat sesuai dengan kebutuhan tubuh.
kriteria hasil :
tanda vital stabil, denyut nadi perifer normal, pengisisan kapiler normal, status mental baik,
tidak ada disritmia.
Intervensi :
1) Pantau tekanan darah pada posisi baring, duduk dan berdiri jika memungkinkan.
Perhatikan besarnya tekanan nadi.
Rasional : Hipotensi umum atau ortostatik dapat terjadi sebagai akibat vasodilatasi perifer
yang berlebihan dan penurunan volume sirkulasi. Besarnya tekanan nadi merupakan refleksi
kompensasi dari peningkatan isi sekuncup dan penurunan tahanan sistem pembuluh darah.
2) Periksa/teliti kemungkinan adanya nyeri dada atau angina yang dikeluhkan pasien.
Rasional : Merupakan tanda adanya peningkatan kebutuhan oksigen oleh otot jantung atau
iskemia.
3) Kaji nadi atau denyut jantung saat pasien tidur.
Rasional : Memberikan hasil pengkajian yang lebih akurat terhadap adanya takikardia.
4) Auskultasi suara jantung, perhatikan adanya bunyi jantung tambahan, adanya irama gallop
dan murmur sistolik.
Rasional : S1 dan murmur yang menonjol berhubungan dengan curah jantung meningkat
pada keadaan hipermetabolik, adanya S3 sebagai tanda adanya kemungkinan gagal jantung.
5) Pantau EKG, catat dan perhatikan kecepatan atau irama jantung dan adanya disritmia.
Rasional : Takikardia merupakan cerminan langsung stimulasi otot jantung oleh hormon
tiroid, dsiritmia seringkali terjadi dan dapat membahayakan fungsi jantung atau curah
jantung.
6) Berikan cairan iv sesuai indikasi.
Rasional : Pemberian cairan melalui iv dengan cepat perlu untuk memperbaiki volume
sirkulasi tetapi harus diimbangi dengan perhatian terhadap tanda gagal jantung/kebutuhan
terhadap pemberian zat inotropik.
7) Berikan O2 sesuai indikasi
Rasional : Mungkin juga diperlukan untuk memenuhi peningkatan kebutuhan
metabolisme/kebutuhan terhadap oksigen tersebut.
Sjamsuhidajat R, Jong WD. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC, Jakarta, 1996. Hal 932
Noer S, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1. FKUI, Jakarta, 1996. Hal 766 72
Leksana, Mirzanie H. Chirurgica. Tosca Enterprise. Yogyakarta, 2005.
Buku saku Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2012-2014 NANDA International
Judith M. Wilkinson, Nancy R. Ahern. 2012, Buku Saku Diagnosis Keperawatan: Diagnosis
NANDA, Intervensi NIC, Kriteria Hasil NOC (Edisi 9). Jakarta: ECG
http://www.eMedicine.com
http://www.konsultasigizi.com
http://www.GraveDisease.com