Anda di halaman 1dari 46

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Hipertiroidisme merupakan penyakit yang disebabkan oleh produksi


hormonetiroid yang berlebih yang dapat disebabkan oleh faktor primer yakni
kelainan pada kelenjar tiroid ataupun faktor sekunder yang disebabkan oleh
kelainan pada kelenjar hipofisis, hipothalamus ataupun tumor ektopik pada tempat
lain yang mampu memproduksi hormone TSH. Hipertiroidime merupakan penyakit
metabolik yang menempati urutan kedua terbesar setelah diabetes melitus. Enam
puluh persen kasus hipertiroidisme disebabkan penyakit Graves. Empat puluh
persen sisanya terjadi karena sebab- sebab lain yang meliputi tiroiditis, adenoma
toksik, tumor hipofise yang mensekresikan TSH, struma ovarii an tumor- tumor
yang mensekresikan hCG.1
Penyakit Graves (Graves Disease) atau struma difussa toksik merupakan
penyakit autoimun yang ditandai dengan hipertiroidisme, gondok difussa,
ophthalmopaty dan dermopathy. Penyakit graves disebabkan oleh peristiwa
imunologi dimana terbentuknya igG yang mengikat dan mengaktifkan reseptor
tirotropin disebut thyroid- stimulating antibody (TSAb) yang menyebabkan
hipertrofi dan hiperplasia folikuler yang berakibat membesarnya kelenjar dan
meningkatkannya produksi hormon tiroid.2 Salah satu komplikasi yang ditemukan
pada penderita Graves Disease adalah thyrotoxic periodic paralysis (TPP).3
TPP merupakan kelainan yang ditandai dengan kelemahan atau
kelumpuhan otot lokal ataupun general yang terjadi secara episodik dan berulang
dan disertai dengan hipokalemia. Kondisi ini terutama memengaruhi ekstremitas
bawah dan sekunder akibat tirotoksikosis.3 Komplikasi ini jarang ditemukan namun
biasanya ditemukan pada populasi masyarakat ASIA oriental terutama Jepang dan
Cina tetapi secara sporadis ditemukan pada ras Kaukasia, ras kulit hitam, dan Indian
Amerika.4 Pada laporan kasus ini dilaporkan pasien hipertiroidisme yang
disebabkan oleh penyakit Graves disertai dengan thyrotoxic periodic paralysis.

1
1.2. Tujuan

Tujuan dari pembuatan laporan kasus ini sebagai berikut.

1. Mengetahui definisi, epidemiologi, patogenesis, gambaran klinis dan


penatalaksanaan, dan komplikasi graves disease.
2. Mengetahui definisi, patogenesis, gambaran klinis, pemeriksaan penunjang
dan penatalaksanaan thyrotoxic periode paralisis hypokalemia.
3. Mengetahui definisi, patogenesis, klasifikasi dan penatalaksanaan otitis media
supuratif kronik.
4. Melakukan diskusi kasus penderita Periode Paralisis Hipokalemia ec Graves
Disease
5. Sebagai persyaratan dalam memenuhi Kepanitraan Klinik Senior di SMF Ilmu
Penyakit Dalam RSUD Dr. Pirngadi Medan.

1.3. Manfaat

Laporan kasus ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada penulis


dan pembaca khusunya yang terlibat dalam bidang medis serta masyarakat secara
umum agar dapat lebih mengetahui dan memahami lebih dalam mengenai Grave
Disease dengan thyrotoxic periodic paralysis hypokalemia

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Graves Disease

Penyakit Graves (Graves Disease) atau struma difussa toksik merupakan


penyakit autoimun yang ditandai dengan hipertiroidisme, gondok difussa,
ophthalmopaty dan dermopathy. Penyakit graves disebabkan oleh peristiwa
imunologi dimana terbentuknya IgG yang mengikat dan mengaktifkan reseptor
tirotropin disebut thyroid- stimulating antibody (TSAb) yang menyebabkan
hipertrofi dan hiperplasia folikuler yang berakibat membesarnya kelenjar dan
meningkatkannya produksi hormon tiroid.2

2.1.1 Epidemiologi

Di antara penyebab tirotoksikosis spontan, penyakit Graves adalah yang


paling umum. Penyakit Graves mewakili 60-90% dari semua penyebab
tirotoksikosis di berbagai wilayah di dunia. Seperti kebanyakan penyakit autoimun,
kerentanan meningkat pada wanita. Hipertiroidisme karena penyakit Graves
memiliki rasio perempuan-laki-l aki 7-8: 1. Biasanya, penyakit Graves adalah
penyakit wanita muda, tetapi dapat terjadi pada orang-orang dari segala usia.
Kisaran usia khas adalah 20-40 tahun. Sebagian besar wanita yang terkena dampak
berusia 30-60 tahun.5

2.1.2 Patogenesis

Patogenesis penyakit hipertiroid sampai sejauh ini belum diketahui secara


pasti. Diduga faktor genetik dan lingkungan ikut berperan dalam mekanisme
tersebut. Berdasarkan ciri-ciri penyakitnya, penyakit Graves dikelompokkan ke
dalam penyakit autoimun, antara lain dengan ditemukannya antibodi terhadap
reseptor TSH (Thyrotropin Stimulating Hormone - Receptor Antibody /TSHR-Ab)
dengan kadar bervariasi. Pada penyakit Graves, limfosit T mengalami
perangsangan terhadap antigen yang berada didalam kelenjar tiroid yang
selanjutnya akan merangsang limfosit B untuk mensintesis antibodi terhadap
antigen tersebut. Antibodi yang disintesis akan bereaksi dengan reseptor TSH

3
didalam membran sel tiroid sehingga akan merangsang pertumbuhan dan fungsi sel
tiroid, dikenal dengan TSH-R antibodi. Adanya antibodi didalam sirkulasi darah
mempunyai korelasi yang erat dengan aktivitas dan kekambuhan penyakit.
Mekanisme autoimunitas merupakan faktor penting dalam patogenesis terjadinya
hipertiroidisme, oftalmopati, dan dermopati pada penyakit Graves.
Sampai saat ini, dikenal ada 3 autoantigen utama terhadap kelenjar tiroid
yaitu tiroglobulin (Tg), thyroidal peroxidase (TPO) dan TSH reseptor (TSH-R).
Sel-sel tiroid mempunyai kemampuan bereaksi dengan antigen diatas dan bila
terangsang oleh pengaruh sitokin (seperti interferon gamma) akan mengekspresikan
molekul-molekul permukaan sel kelas II (MHC kelas II, seperti DR4) untuk
mempresentasikan antigen pada limfosit T. Faktor genetik berperan penting dalam
proses otoimun, antara lain HLA-B8 dan HLA-DR3 pada ras kaukasia, HLA-Bw46
dan HLA-B5 pada ras cina dan HLA-B17 pada orang kulit hitam. Faktor
lingkungan juga ikut berperan dalam patogenesis penyakit tiroid autoimun seperti
penyakit Graves. Virus yang menginfeksi sel-sel tiroid manusia akan merangsang
ekspresi DR4 pada permukaan sel-sel folikel tiroid, diduga sebagai akibat pengaruh
sitokin (terutama interferon alfa).
Terjadinya opthtalmopati Graves melibatkan limfosit sitotoksik (killer
cells) dan antibodi sitotoksik lain yang terangsang akibat adanya antigen yang
berhubungan dengan tiroglobulin atau TSH-R pada fibroblast, otot-otot bola mata
dan jaringan tiroid. Sitokin yang terbentuk dari limfosit akan menyebabkan
inflamasi fibroblast dan miositis orbita, sehingga menyebabkan pembengkakan
otot-otot bola mata, proptosis dan diplopia. Dermopati Graves (miksedema
pretibial) juga terjadi akibat stimulasi sitokin didalam jaringan fibroblast didaerah
pretibial yang akan menyebabkan terjadinya akumulasi glikosaminoglikans.
Hormon tiroid mempengaruhi hampir seluruh sistem pada tubuh, termasuk pada
pertumbuhan dan perkembangan, fungsi otot, fungsi Sistem Syaraf Simpatik,
Sistem Kardiovaskular dan metabolisme karbohidrat.2

4
Gambar 2.1 Patogenesis Penyakit Graves2
Berikut adalah faktor predisposisi penyakit Graves.2

1. Genetik (HLA alel)


2. Stress
3. Merokok
4. Jenis kelamin wanita (terkait sex steroid)
5. Periode postpartum
6. Iodin (amiodarone)
7. Litium
8. Faktor yang jarang : terapi interferon alfa, terapi Highly Active Antiretroviral
Therapy (HAART) for HIV infection, Campath 1-H monoclonal antybody (pada
multiple sclerosis)
2.1.3 Gambaran Klinis

Pada penyakit Graves terdapat dua kelompok gambaran utama yaitu tiroidal
dan ekstratiroidal yang keduanya mungkin tidak tampak. Ciri-ciri tiroidal berupa
goiter akibat hiperplasia kelenjar tiroid dan hipertiroidisme akibat sekresi hormon
tiroid yang berlebihan. Gejala-gejala hipertiroidisme berupa manifestasi
hipermetabolisme dan aktifitas simpatis yang berlebihan. Pasien mengeluh lelah,

5
gemetar, tidak tahan panas, keringat semakin banyak bila panas, kulit lembab, berat
badan menurun walaupun nafsu makan meningkat, palpitasi, takikardi, diare dan
kelemahan serta atrofi otot. Manifestasi ekstratiroidal berupa oftalmopati dan
infiltrasi kulit lokal yang biasanya terbatas pada tungkai bawah. Oftalmopati yang
ditemukan pada 50% sampai 80% pasien ditandai dengan mata melotot, fissura
palpebra melebar, kedipan berkurang, lid lag (keterlambatan kelopak mata dalam
mengikuti gerakan mata) dan kegagalan konvergensi. Gambaran klinik klasik dari
penyakit Graves antara lain adalah tri tunggal hipertitoidisme, goiter difus dan
eksoftalmus. Pada penderita yang berusia lebih muda, manifestasi klinis yang
umum ditemukan antara lain palpitasi, nervous, mudah capek, hiperkinesia, diare,
berkeringat banyak, tidak tahan panas dan lebih senang cuaca dingin. Pada wanita
muda gejala utama penyakit Graves dapat berupa amenore atau infertilitas. Pada
anakanak, terjadi peningkatan pertumbuhan dan percepatan proses pematangan
tulang. Sedangkan pada penderita usia tua ( > 60 tahun ), manifestasi klinis yang
lebih mencolok terutama adalah manifestasi kardiovaskuler dan miopati, ditandai
dengan adanya palpitasi, dyspnea d’effort, tremor, nervous dan penurunan berat
badan.2

Gambar 2.2 Kriteria Wayne dan New Castle Hipertiroidisme

6
2.1.4 Penatalaksanaan

Walaupun mekanisme autoimun merupakan faktor utama yang berperan


dalam patogenesis terjadinya sindrom penyakit Graves, namun penatalaksanaannya
terutama ditujukan untuk mengontrol keadaan hipertiroidisme. Sampai saat ini
dikenal ada tiga jenis pengobatan terhadap hipertiroidisme akibat penyakit Graves,
yaitu: Obat anti tiroid, pembedahan dan terapi yodium radioaktif. Pilihan
pengobatan tergantung pada beberapa hal antara lain berat ringannya tirotoksikosis,
usia pasien, besarnya struma, ketersediaan obat antitiroid dan respon atau reaksi
terhadapnya serta penyakit lain yang menyertainya.2,6

A. Obat Anti-Tiroid

Terdapat 2 kelas obat golongan tionamid, yaitu tiourasil dan imidazol.


Tiourasil dipasarkan dengan nama propiltiourasil (PTU) dan imidazol dipasarkan
dengan nama metimazol dan karbimazol. Obat golongan tionamid lain yang baru
beredar ialah tiamazol yang isinya sama dengan metimazol. Obat golongan
tionamid mempunyai efek intra dan ekstratiroid. Mekanisme aksi intratiroid yang
utama ialah mencegah/mengurangi biosintesis hormon tiroid T3 dan T4, dengan
cara menghambat oksidasi dan organifikasi iodium, menghambat coupling
iodotirosin, mengubah struktur molekul tiroglobulin dan menghambat sintesis
tiroglobulin. Sedangkan mekanisme aksi ekstratiroid yang utama ialah
menghambat konversi T4 menjadi T3 di jaringan perifer (hanya PTU, tidak pada
metimazol). Atas dasar kemampuan menghambat konversi T4 ke T3 ini, PTU lebih
dipilih dalam pengobatan krisis tiroid yang memerlukan penurunan segera hormon
tiroid di perifer. Sedangkan kelebihan metimazol adalah efek penghambatan
biosintesis hormon lebih panjang dibanding PTU, sehingga dapat diberikan sebagai
dosisi tunggal. Untuk terapi primer, lama terapi biasanya 12- 18 bulan. Untuk
mencegah terjadinya kekambuhan maka pemberian obat-obat antitiroid biasanya
diawali dengan dosis tinggi. Bila telah terjadi keadaan eutiroid secara klinis,
diberikan dosis pemeliharaan (dosis kecil diberikan secara tunggal pagi hari).
Regimen umum terdiri dari pemberian PTU dengan dosis awal 100-150 mg
setiap 6 jam. Setelah 4-8 minggu, dosis dikurangi menjadi 50-200 mg, 1 atau 2 kali

7
sehari. Propiltiourasil mempunyai kelebihan dibandingkan methimazole karena
dapat menghambat konversi T4 menjadi T3, sehingga efektif dalam penurunan
kadar hormon secara cepat pada fase akut dari penyakit Graves.
Methimazole mempunyai masa kerja yang lama sehingga dapat diberikan
dosis tunggal sekali sehari. Terapi dimulai dengan dosis methimazole 40 mg setiap
pagi selama 1-2 bulan, dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 5-20 mg per hari.
Ada juga pendapat ahli yang menyebutkan bahwa besarnya dosis tergantung pada
beratnya tampilan klinis, tetapi umumnya dosis PTU dimulai dengan 3 x 100-200
mg/hari dan metimazol/tiamazol dimulai dengan 20-40 mg/hari dosis terbagi untuk
3-6 minggu pertama. Setelah periode ini dosis dapat diturunkan atau dinaikkan
sesuai respons klinis dan biokimia.Apabila respons pengobatan baik, dosis dapat
diturunkan sampai dosis terkecil PTU 50 mg/hari dan metimazol/ tiamazol 5-10
mg/hari yang masih dapat mempertahankan keadaan klinis eutiroid dan kadar T4
bebas dalam batas normal. Bila dengan dosis awal belum memberikan efek
perbaikan klinis dan biokimia, dosis dapat di naikkan bertahap sampai dosis
maksimal, tentu dengan memperhatikan faktor-faktor penyebab lainnya seperti
ketaatan pasien minum obat, aktivitas fisis dan psikis. Evaluasi pengobatan perlu
dilakukan secara teratur mengingat penyakit Graves adalah penyakit autoimun yang
tidak bisa dipastikan kapan akan terjadi remisi.
Evaluasi pengobatan paling tidak dilakukan sekali/bulan untuk menilai
perkembangan klinis dan biokimia guna menentukan dosis obat selanjutnya. Dosis
dinaikkan dan diturunkan sesuai respons hingga dosis tertentu yang dapat mencapai
keadaan eutiroid. Kemudian dosis diturunkan perlahan hingga dosis terkecil yang
masih mampu mempertahankan keadaan eutiroid, dan kemudian evaluasi dilakukan
tiap 3 bulan hingga tercapai remisi. 1,2,5

B. Pembedahan

Tiroidektomi total dan total dekat adalah jenis operasi utama dalam kasus
hipertiroidisme. Indikasi operasi:

a) Wanita yang merencanakan kehamilan dalam waktu kurang dari 6 bulan;


b) Gondok yang membesar dan kompresi organ lain di sekitar kelenjar tiroid;

8
c) Penyerapan rendah pada Scanning tiroid
d) Ganas atau curiga keganasan pada pemeriksaan sitologi;
e) Nodul tiroid lebih besar dari 4 cm, atau tidak berfungsinya atau hipofungsi
pada pemindaian tiroid;
f) Hiperparatiroidisme;
g) Tingkat TR-Ab tinggi (sulit diobati dengan obat antitiroid);
h) Oftalmopati Graves aktif sedang atau berat.

Risiko operasi tiroidektomi adalah pendarahan, kelumpuhan pita suara, dan


hipokalsemia. Risiko-risiko ini dapat diminimalisir dengan ahli bedah terlatih.6

C. Radioactive Iodine Therapy (RAI)

RAI dapat diterapkan pada pasien dengan risiko efek samping obat anti-tiroid dan
dengan komorbiditas. Indikasi terapi RAI:

a) Wanita yang merencanakan kehamilan lebih dari 6 bulan setelah terapi RAI;
b) Komorbiditas yang dapat meningkatkan risiko operasi;
c) Riwayat operasi atau radiasi leher eksternal;
d) Terbatasnya ahli bedah tiroid di daerah tersebut;
e) Kontraindikasi untuk obat anti-tiroid atau kegagalan untuk mencapai
euthyroidism dengan obat;
f) Pasien dengan tirotoksikosis periodik kelumpuhan hipokalemik, gagal
jantung kanan yang disebabkan oleh hipertensi paru atau gagal jantung
kongestif.5,6
D. Beta Blocker

Penghambatan beta adrenergik direkomendasikan untuk semua pasien


tirotoksikosis dengan manifestasi yang jelas, terutama pada lansia, mereka yang
berdenyut> 90x / menit, atau penyakit kardiovaskular lainnya. Manfaat beta blocker
adalah mengurangi tanda-tanda dan gejala hiperadrenergik-tirotoksikosis (palpitasi,
tremor, kecemasan, dan intoleransi panas) dengan cepat sebelum hormon tiroid
mencapai tingkat normal, mencegah episode kelumpuhan periodik hipokalemik,

9
menghambat konversi T4 ke T3 di perifer dengan propranolol dosis tinggi,
persiapan untuk operasi.5,6

2.1.5 Komplikasi

Komplikasi hipertiroidisme yang dapat mengancam nyawa adalah krisis


tirotoksik (thyroid storm). Hal ini dapat berkembang secara spontan pada pasien
hipertiroid yang menjalani terapi, selama pembedahan kelenjar tiroid, atau terjadi
pada pasien hipertiroid yang tidak terdiagnosis. Akibatnya adalah pelepasan HT
dalam jumlah yang sangat besar yang menyebabkan takikardia, agitasi, tremor,
hipertermia (sampai 106°F), dan apabila tidak diobati dapat menyebabkan
kematian. Komplikasi lainnya adalah penyakit jantung hipertiroid, oftalmopati
graves, dermopati graves, infeksi karena agranulositosis pada pengobatan dengan
obat antitiroid.Hipertiroid yang terjadi pada anak-anak juga dapat menyebabkan
gangguan pertumbuhan

2.2. Thyrotoxic Periode Paralysis Hypokalemia

Thyrotoxic periodic paralysis (TPP) adalah paralisis lokal ataupun general


yang terjadi secara episodik dan berulang disertai dengan hipokalemia dan memiliki
kaitan dengan komplikasi tirotoksikosis. TPP merupakan suatu kondisi yang serius
dan merupakan komplikasi hipertiroidisme yang berpotensi fatal akibat dari
perpindahan kalium dalam jumlah besar dari ruang ekstraseluler ke intraseluler.
Keadaan ini lebih sering dijumpai pada laki-laki keturunan Asia. Kebanyakan dari
pasien-pasien TPP ini justru tidak mengalami secara jelas gejala dan tanda
hipertiroidisme.3

2.2.1 Epidemiologi

TPP merupakan suatu komplikasi tirotoksikosis yang cukup dikenal pada


populasi masyarakat di Asia termasuk Cina, Jepang, Vietnam, Filipina dan Korea.
Angka kejadinnya pada pasien dengan tirotoksikosis di jepang dan cina adalah 1,8
dan 1,9%.3 Sedangkan secara keseluruhan, di Asia dijumpai insidensi TPP
sebanyak 2% dari seluruh populasi penderita tirotoksikosis. Angka kejadian secara

10
keseluruhan di seluruh wilayah negara-negara Barat tidak diketahui, namun di
Amerika Utara, angka kejadiannya pada pasien tirotoksikosis dilaporkan sebesar
0,1-0,2%. Tirotoksikosis lebih banyak dijumpai pada populasi wanita, namun angka
kejadian TPP sendiri lebih sering dijumpai pada laki-laki. Rasio angka kejadian
TPP antara laki-laki dan perempuan adalah sebesar 17:1 hingga 70:1.3

2.2.2 Patogenesis

Patogenesis TPP hingga saat ini masih belum jelas. Hipokalemia terjadi
sebagai akibat perpindahan kalium yang masif dari kompartemen ekstraseluler ke
intraseluler terutama sel otot. Hal ini terjadi diyakini sebagai akibat peningkatan
aktifitas pompa natrium-kalium-adenosin trifosfatase (Na/K-ATPase) (gambar
2.3). Berbagai data menunjukkan adanya peningkatan dalam jumlah serta aktifitas
pompa Na/K-ATPase pada pasien TPP. Peningkatan jumlah dan aktifitas tersebut
berbeda signifikan dengan pasien tirotoksikosis tanpa TPP. Jika keadaan
tirotoksikosisnya telah berhasil dikendalikan, maka aktifitas Na/K-ATPase akan
kembali pada kadar yang serupa dengan orang normal.

Gambar 2.3 Mekanisme kelemahan otot akut pada thyrotoxic periodic paralysis3

Hormon tiroid dapat meningkatkan aktifitas Na/K-ATPase pada otot


rangka, hati dan ginjal sehingga menyebabkan influks kalium ke ruang intraseluler.
Subunit Na/K-ATPase yang terutama diekspresikan pada keadaan ini antara lain
subunit α1, α2, β1, β2, dan β4. Pada kelima gen subunit ini terlihat adanya
peningkatan aktifitas thyroid hormone-responsive elements (TREs). Peningkatan

11
aktifitas Na/K-ATPase oleh hormon tiroid ini terjadi melalui mekanisme
transkripisional dan paska-transkripsional.
Peningkatan aktifitas dan jumlah pompa Na/K-ATPase dan pengaruhnya
terhadap kecepatan influks kalium semestinya dapat diimbangi dengan proses
homeostasis dimana efluks kalium juga seharusnya meningkat. Oleh karena itu,
seharusnya terdapat faktor lain yang berperan dimana pada TPP terjadi pula
gangguan proses efluks kalium. Beberapa studi menunjukkan pada kasus TPP dan
FHPP terjadi penurunan efluks kalium melalui gerbang Kir pada sel-sel otot
intercostal (Gambar 2.4). Selain itu, diketahui bahwa insulin dan katekolamin juga
ternyata tidak hanya meningkatkan kerja Na/K-ATPase namun memiliki efek
menghambat gerbang Kir juga. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa terdapat
mutasi gen yang mengkode gerbang Kir yang spesifik pada otot rangka yakni Kir2.6
pada pasien TPP. Hal ini berkaitan dengan serangan akut paralisis.

Gambar 2.4 Penurunan jumlah gerbang efluks kalium.3


Selain itu, hormon tiroid juga dapat mempengaruhi Na/K-ATPase melalui
rangsangan katekolamin. Hal ini dikarenakan pada tirotoksikosis, terdapat
peningkatan respon β-adrenergik, sehingga pengobatan dengan agen penghambat
β-adrenergik non-selektif dapat mencegah dan mengobati serangan paralisis. Selain
peningkatan respon adrenergik, pada pasien TPP terdapat respon insulin yang
berlebihan terhadap masukan glukosa oral dibandingkan dengan pasien dengan
tirotoksikosis tanpa TPP. Insulin telah diketahui mampu untuk meningkatkan
aktifitas Na/K-ATPase, oleh karena itu dapat dimengerti bagaimana insulin dapat

12
menyebabkan influks kalium ke intrasel. Respon hirperinsulinemia inilah yang
menjelaskan hubungan antara TPP dengan riwayat konsumsi makanan
berkarbohidrat tinggi ataupun cemilan-cemilan manis. Selanjutnya, olahraga
merupakan suatu keadaan yang dapat melepaskan kalium ke ekstrasel dari sel-sel
otot rangka sedangkan istrahat akan mendorong pengembalian kalium ke dalam sel.
Hal ini menjelaskan mengapa beistirahat setelah olahraga dapat mencetuskan
terjadinya serangan paralisis dan bila olahraga tetap dilanjutkan, maka serangan
paralisis dapat dicegah.
Secara keseluruhan, dapat dilihat bahwa pasien-pasien TPP memiliki
beberapa faktor predisposisi (pemicu) yang dapat meningkatkan aktifitas Na/K-
ATPase, baik melalui rangsangan hormon tiroid secara langsung, ataupun secara
tidak langsung melalui stimulasi adrenergik, insulin dan aktifitas fisik.3,7

2.2.3 Gambaran Klinis

Pasien TPP biasanya laki-laki dewasa berusia 20-40 tahun, namun demikian
ada pula yang melaporkan kejadiannya pada usia remaja. Serangannya berupa
kelemahan otot mulai dari ringan hingga kelumpuhan total yang bersifat episodik,
sementara dan berulang. Diagnosis TPP dapat ditegakkan jika memenuhi kriteria
seperti pada tabel 2.1.
Tabel 2.1 Diagnosis TPP3
Manifestasi Klinis TPP
Gambaran umum
 Laki-laki usia dewasa muda (20-40 tahun)
 Sporadis, tidak ditemukan anggota keluarga yang memiliki gejala yang
serupa
 Paralisis akut berulang yang kembali sembuh sempurna
 Keterlibatan anggota gerak > batang tubuh
 Dipicu oleh asupan karbohidrat dalam jumlah besar, diet tinggi garam,
alkohol serta aktifitas fisik berat
 Riwayat hipertiroidisme pada keluarga
 Gambaran klinis hipertiroidisme (lebih sering tidak terlalu jelas)
Pemeriksaan Laboratorium
 Hipokalemia, hipofosfatemia serta hipomagnesemia (ringan)
 Keseimbangan asam basa normal
 Jumlah ekskresi kalium rendah (rasio kalium dan kreatinin urin rendah,
TTKG rendah)

13
 Hipofoasfaturia
 Hiperkalsiuria
 Pemeriksaan tiroid abnormal (TSH rendah, T4 dan T3 total maupun bebas
meningkat, ambilan T3 meningkat)
Elektrodiagnostik
 Elektrokardiograf
 Sinus takikardia
 Perubahan terkait hipokalemia : gelombang U prominen, interval PR
memanjang, amplitudo gelombang P meningkat, kompleks QRS melebar
 Blok atrioventrikuler derajat satu
 Aritmia atrium dan ventrikuler
 Elektromiografi : gabungan potensial aksi otot gelombang rendah tanpa
adanya perubahan setelah pemberian epinefrin
TTKG : transtubular potassium gradien (merupakan indeks semikuantitatif aktifitas
sekretori kalium yang dapat dihitung dengan rumus [K+ urin/(osmolalitas urin/osmolalitas
plasma)]/K+ plasma); TSH : Thyroid stimulating hormone; T4: tiroksin serum: T3:
triiodotironin.
Keterlibatan otot-otot proksimal lebih berat dibanding dengan otot-otot
distal. Gejala yang muncul awalnya menyerang ekstremitas bawah kemudian
berlanjut ke otot panggul dan ekstremitas atas. Fungsi sensoris tidak terganggu.
Otot-otot yang terlibat bisa saja tidak simetris. Kelumpuhan yang terjadi saat pasien
datang ke dokter dapat berupa tetraparesis yang menyerupai sindroma Gullain-
Barre, mielitis transversum serta kompresi akut sumsum tulang ataupun histeria.
Fungsi saluran cerna dan saluran kemih tidak pernah terganggu. Otot-otot
pernafasan jarang terlibat namun kelumpuhan total otot-otot pernafasan serta mata
pernah dilaporkan pada serangan yang berat. durasi serangan dapat berlangsung
dalam beberapa jam hingga 72 jam, dimana terdapat episode sembuh sempurna di
antara serangan. Serangan yang terjadi dapat didahului dengan gejala-gejala
prodromal seperti nyeri, kram, serta kaku pada otot yang terlibat. Pada kebanyakan
pasien, didapati penurunan yang nyata bahkan menghilangnya refleks tendon
dalam.
Serangan TPP biasanya muncul beberapa jam setelah pasien makan dalam
jumlah yang banyak, cemilan-cemilan manis, alkohol, aktiitas fisik berat ataupun
saat bangun pagi hari. Serangan yang terjadi akibat dipicu oleh olahraga yang berat
terjadi bukan di saat pasien tersebut berolahraga namun saat pasien beristirahat, dan
serangan tersebut bisa saja tidak terjadi jika pasien melanjutkan kembali

14
olahraganya. Jika kadar hormon tiroid sudah mencapai nilai normal (eutiroid),
maka serangan tidak akan muncul.3,7
2.2.4 Pemeriksaan Penunjang
A. Hipertiroidisme

Hormon tiroid pada sebagian besar pasien TPP hanya meningkat sedikit.
Studi-studi sebelumnya menunjukkan hanya 10% penderita TPP dengan gejala
tirotoksikosis, sedangkan selebihnya tanpa gejala. Hal yang demikian mnyebabkan
TPP sulit didiagnosis pada awal pemeriksaan. Mayoritas kasus hipertiroidisme
yang berkaitan dengan TPP adalah penyakit Graves, meskipun kondisi lain seperti
tiroiditis, struma nodular toksik, adenoma toksik, tumor pituitari yang mensekresi
TSH, mengkonsumsi preparat T4, serta kesalahan dalam pemberian Iodine dapat
pula bertindak sebagai penyebab.

B. Elektrolit

Tanda utama dari TPP adalah hipokalemia. Nilai kalium pada saat
pemeriksaan awal biasanya kurang dari 3 mmol/liter bahkan bisa mencapai 1,1
mmol/liter. Kadang-kadang, apabila pasien telah memasuki fase penyembuhan dari
paralisisnya, kalium serum dapat kembali normal. Selain hipokalemia, dapat pula
terjadi hipofosfatemia dan hipomagnesemia. Hipofosfatemia yang terjadi bervariasi
mulai dari ringan hingga sedang (0,36-0,77 mmol/liter). Kadar fosfat serum ini
dapat kembali normal jika pasien telah memasuki fase penyembuhan meskipun
tanpa suplementasi. Hal ini telah dipastikan berdasarkan terjadinya hiperfosfatemia
rebound pada pasien yang telah memasuki fase penyembuhan setelah sebelumnya
mendapat terapi preparat fosfat. Pada TPP, hipofosfatemia yang terjadi
kemungkinan akibat influks fosfat ke dalam sel mengikuti proses transport
masuknya kalium. Proses terjadinya hipomagnesemia juga hampir sama dengan
hipofosfatemia, namun influks magnesium ke dalam sel lebih disebabkan karena
peningkatan aktifitas katekolamin yang dilepas selama adanya stress. Pemeriksaan
elektrolit urin akan didapat hiperkalsiuruia serta hipofosfaturia. Pada duapertiga
TPP dapat dijumpai juga adanya peningkatan kadar kreatinin fosfokinase yang

15
berasal dari otot, khususnya jika faktor pemicunya adalah aktifitas fisik.
Komplikasi berupa rhabdomiolisis juga dapat terjadi pada serangan yang berat.

C. Pemeriksaan elektrodiagnostik

Elektromiogram (EMG) yang dilakukan saat kelemahan/kelumpuhan


spontan sedang berlangsung akan menunjukkan gambaran khas perubahan miopati
dengan gambaran penurunan amplitudo potensial aksi gabungan otot rangka, hal ini
tidak akan berubah setelah pemberian/stimulasi epinefrin.
Gambaran abnormal pada elektrokargiogram (EKG) lebih banyak dijumpai
pada TPP dibandingkan pada hypokalemic periodic paralysis akibat penyebab
lainnya. Kelainan-kelainan EKG yang dapat ditemukan pada TPP antara lain : sinus
takikardia, gelombang U yang menonjol, pemanjangan interval PR, peningkatan
amplitudo gelombang P, peningkatan voltase QRS, kompleks QRS yang melebar,
aritmia ventrikel, serta blok atriventrikuler derajat satu.3,7

2.2.5 Penatalaksanaan

Pada saat serangan paralisis dan disertai hipokalemia yang nyata, pemberian
suplementasi kalium klorida (KCl) dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi
berat kardiopulmonal. KCl yang diberikan dapat melalui jalur intravena, oral
maupun keduanya (tabel 2.2). Pemberiran kalium dalam jumlah yang terlalu besar
dapat menyebabkan hiperkalemia rebound pada masa pemulihan dimana kalium
masuk kembali ke intravaskular. Dalam sebuah studi disebutkan bahwa 40% pasien
yang diberikan infus KCl mengalami hiperkalemia rebound khususnya yang
mendapat KCl >90 mEq pada 24 jam pertama, sedangkan pemberian KCl <50 mEq
jarang menyebabkan hiperkalemia rebound. Pemberian KCl sebaiknya dilakukan
dengan kecepatan yang lambat (<10 mEq/jam) kecuali telah terjadi komplikasi
kardiopulmonal. Pemberian suplemen kalium dalam rangka profilaksis tidak
bermanfaat dan tidak dianjurkan dalam mencegah serangan paralisis berikutnya.3,7

16
Tabel 2.2 Penanganan TPP7

2.3. Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK)

Otitis media supuratif kronis (OMSK) dahulu disebut otitis media perforata
(OMP) atau dalam sebutan sehari – hari : congek. Otitis media supuratif kronis ialah
infeksi kronis di telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan sekret yang
keluar dari telinga tengah terus menerus atau hilang timbul. Sekret mungkin encer
atau kental, bening atau berupa nanah.8

2.3.1 Patogenesis

Otitis media akut dengan perforasi membran timpani menjadi otitis media
supuratif kronis apabila prosesnya sudah lebih dari 2 bulan. Bila proses infeksi
kurang dari 2 bulan, disebut otitis media supuratif subakut. Beberapa faktor yang
menyebabkan OMA menjadi OMSK ialah terapi yang terlambat diberikan, terapi
yang tidak adekuat, virulensi kuman tinggi, daya tahan tubuh pasien rendah (gizi
kurang) atau higiene buruk.
Letak perforasi di membran timpani penting untuk menentukan tipe/jenis
OMSK. Perforasi membran timpani dapat ditemukan di daerah sentral, marginal
atau atik. Oleh karena itu disebut perforasi sentral, marginal atau atik.
Pada perforasi sentral, perforasi terdapat di pars tensa, sedangkan di seluruh
tepi perforasi masih ada sisa membran timpani. Pada perforasi marginal sebagian
tepi perforasi langsung berhubungan dengan anulus atau sulkus timpanikum.
Perforasi atik ialah perforasi yang terletak di pars flaksida.8

17
2.3.2 Klasifikasi

OMSK dapat dibagi 2 jenis, yaitu OMSK tipe benigna (tipe mukosa = tipe
aman) dan OMSK tipe “maligna” (tipe tulang = tipe bahaya). Berdasarkan aktivitas
sekret yang keluar dikenal juga OMSK aktif dan OMSK tenang. OMSK aktif ialah
OMSK dengan sekret yang keluar dari kavum timpani secara aktif, sedangkan
OMSK tenang ialah yang keadaan kavum timpaninya terlihat basah atau kering.
Proses peradangan pada OMSK tipe benigna terbatas pada mukosa saja, dan
biasanya tidak mengenai tulang. Perforasi terletak di sentral. Umumnya OMSK
tipe benigna jarang menimbulkan komplikasi yang berbahaya. Pada OMSK tipe
benigna tidak terdapat kolesteatom. Yang dimaksud dengan OMSK tipe maligna
ialah OMSK yang disertai dengan kolesteatoma. OMSK ini dikenal juga dengan
OMSK tipe bahaya atau OMSK tipe tulang. Perforasi pada OMSK tipe maligna
letaknya marginal atau di atik, kadang – kadang terdapat juga kolesteatoma pada
OMSK dengan perforasi subtotal. Sebagian besar komplikasi yang berbahaya atau
fatal timbul pada OMSK tipe maligna.8

2.3.3 Penatalaksanaan

Terapi OMSK tidak jarang memerlukan waktu lama, serta harus berulang-
ulang. Sekret yang keluar tidak cepat kering atau selalu kambuh kebali. Keadaan
ini antara lain disebabkan oleh satu atau beberapa keadaan, yaitu (1) adanya
perforasi membran timpani yang permanen, sehingga telinga tengah berhubungan
dengan dunia luar, (2) terdpat sumber infeksi di faring, nasofaring, hidung dan sinus
paranasal, (3) sudah terbentuk jaringan patologik yang ireversibal dalam rongga
mastoid, dan (4) gizi dan higiena yang kurang. Prinsip terapi OMSK tipe benigna
ialah konservatif atau dengan medikamentosa. Bila sekret yang keluar terus
menerus, maka diberikan obat pencuci telinga, berupa larutan H2O2 3% selama 3-5
hari. Setelah sekret berkurang, maka terapi dilanjutkan dengan memberikan obat
tetes telinga yang mengandung antibiotika dan kortikosteroid. Banyak ahli
berpendapat bahwa semua obat tetes dijual dipasaran saat ini mengandung
antibiotika yng bersifat ototoksik. Oleh sebab itu penulis menganjurkan agar obat
tetes telinga jangan diberikan secara terus menerus lebih dari 1 tau 2 minggu atau

18
pada OMSK yang sudah tenang. Secara oral diberikan antibiotika dari golongan
ampisilin, atau eritromisin (bila pasien alergi terhadap penisilin), sebelum hasil tes
resistensi diterima. Pada infeksi yang dicuragai karena penyebabnya telah resisten
terhadap ampisiin asam klavulanat. Bila sekret telah kering, tetapi perforasi masih
ada setelah diobservasi selama 2 bulan, maka idealnya dilakukan miringoplasti atau
timpanoplasti. Operasi ini bertujuan untuk menghentikan infeksi secara permanen,
memperbaiki membran infeksi secara permanen, memperbaiki membran timpani
yang perforasi, mencegah terjadinya komplikasi atau kerusakan pendengaran yang
lebih berat, serta memperbaiki pendengaran.
Bila terdapat sumber infeksi yang menyebabkan sekret tetap ada, atau terjadi
infeksi berulang, maka sumber infeksi itu harus diobati terlebih dahulu, mungkin
juga perlu melakukan pembedahan, misalnya adenoidektomi dan tonsilektomi.
Prinsip terapi OMSK tipe maligna ialah pembedahan, yaitu mastoidektomi. Jadilah,
bila terdapat OMSk tipe maligna, maka terapi yang tepat ialah dengan melakukan
mastoidektomi dengan atau tanpa timpanopplasti. Terapi konservatif dengan
medikamentosa hanyalah merupakan terapi sementara sebelum dilakukan
pembedahan. Bila terdapat abses subperiosteal retroaurikuler, maka insisi abses
sebaiknya dilakukan tersendiri sebelum kemudian dilakukan mastoidektomi.8

19
BAB III
STATUS ORANG SAKIT DAN FOLLOW UP PASIEN

3.1. Status Orang Sakit


A. Anamnesis Pribadi

Nama Melati Pandiangan


Umur 53 Tahun
Jenis Kelamin Perempuan
Status Perkawinan Menikah
Pekerjaan Petani
Suku Batak
Agama Kristen
Alamat Giantar Tonga-Tonga II, Toba Samosir

B. Riwayat Penyakit Sekarang


Keluhan Utama : Jantung Berdebar-debar
Telaah :
Pasien merupakan rujukan dari RSU Porsea, datang dengan keluhan jantung
berdebar-debar dalam beberapa bulan terakhir ini, semakin lama semakin memberat
sehingga mengganggu aktivitas. Keluhan ini muncul tiba-tiba dan hilang timbul
tanpa dipengaruhi aktivitas. Keluhan disertai sesak nafas. Sesak sering kambuh,
tidak dipengaruhi oleh posisi, terus menerus, tidak disertai mengi dan memberat
jika beraktivitas, berkurang jika istirahat. Sesak nafas mulai memberat dalam
beberapa hari terakhir. Keluhan sesak tanpa didahului nyeri dada. Riwayat demam
tidak dijumpai.
Pasien kesulitan untuk menggerakkan kedua kakinya dalam 1 minggu
terakhir. Pasien merasa lemas dan sedikit gemetar. Pasien juga mengatakan bahwa
dirinya mudah lelah akhir- akhir ini walaupun hanya melakukan aktivitas sederhana
dan ringan. Pasien merasa berat badannya turun akhir-akhir ini sedangkan nafsu
makan meningkat karena pasien sering merasa lapar. Pasien mengakui sering

20
merasa gelisah dan gugup tanpa sebab. Pasien juga sering kepanasan walaupun
tinggal di daerah dingin dan tidak sedang berada dibawah matahari.
Pasien juga mengeluhkan nyeri di daerah telinga kanan sekitar 1 bulan
SMRS. Nyeri dirasakan terus menerus dan semakin memberat dalam 2 minggu
terakhir, dan sebelumnya pernah keluar cairan berwarna putih kekunig-kuningan
dari telinga kanan, sedikit kental dan tidak berbau. Riwayat mengorek-ngorek
telinga dijumpai dan pasien mengatakan pendengarannya sedikit berkurang. Nyeri
telinga menjalar kebagian belakang kepala, nyeri disertai rasa pusing berputar dan
membuat kepala pasien tidak bisa digerakkan.
BAB dalam batas normal
BAK dalam natas normal
C. Riwayat Penyakit Terdahulu
Pasien pernah menderita penyakit gondok disertai dengan pembesaran
kelenjar gondok pada tahun 2013 dan telah menjalanankan pengobatan di RSU
Porsea selama beberapa bulan namun berhenti sendiri tanpa persetujuan dokter.
D. Riwayat Penggunaan Obat
Keterangan tidak jelas
E. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak dijumpai
F. Riwayat Pribadi
Riwayat alergi : Tidak dijumpai
Riwayat imunisasi : Tidak jelas
Hobi : Tidak dijumpai
Olahraga : Jarang
Kebiasaan makan : teratur, 3x sehari
Merokok : tidak
Minum alkohol : tidak
Hubungan seks : Menikah
Penggunaan obat-obatan : Tidak dijumpai

21
G. Anamnesis Organ (Review of System)
1. Anamnesis Umum
- Badan kurang enak : (+) - Pusing : (-)
- Merasa capek / lemas : (+) - Nafsu makan : Meningkat
- Merasa kurang sehat : (+) - Tidur : dbn
- Deman : (-) - Berat badan : Menurun
- Menggigil : (-)
2. Anamnesis organ
a. Jantung
- Dyspnoe d’effort : (+) - Cyanosis : (-)
- Dyspnoe d’repos : (-) - Angina pectoris : (-)
- Asma cardial : (-) - Palpitasi cordis : (+)
b. Sirkulasi perifer
- Claudicatio intermitten : (-)
- Gangguan tropis : (-)
- Sakit waktu istirahat : (-)
- Mati rasa di ujung jari : (-)
- Kebas-kebas : (-)
c. Traktus respiratorius

- Batuk : (-) - Nyeri tenggorokan : (-)


- Flu : (-) - Pernafasan cuping hidung : (-)
- Haemaptoe : (-) - Nyeri dada saat bernafas : (-)
- Dahak : (-) - Suara parau : (-)
- Sesak nafas : (+)
d. Traktus digestivus
1) Lambung
- Nyeri epigastrium sebelum/ - Muntah : (-)
sesudah makan : (-) - Hematemesis : (-)
- Rasa panas di epigastrium: (-) - Disfagia : (-)
- Ructus : (-) - Foetor ex ore : (-)
- Mual : (-) - Anoreksia : (-)

22
2) Usus
- Nyeri abdomen : (-) - Obstipasi : (-)
- Melena : (-) - Flatulensi : (-)
- Defekasi :Tidak - Borborygmi : (-)
dijumpai sejak 3 hari yang lalu - Hemoroid : (-)
- Diare : (-) - Tenesmus : (-)
3) Hati dan saluran empedu
- Nyeri di perut kanan : (-) - Icterus : (-)
- Gatal- gatal di kulit : (-) - Asites : (-)
- Kolik : (-) - Berak dempul : (-)
e. Ginjal dan Traktus Urinari
- Wajah sembab : (+) - Poliuria : (-)
- Kolik : (-) - Miksi (frek, vol., warna) : dbn
- Oliguria : (-) - Polaksuria : (-)
- Anuria : (-) - Mengedan saat miksi : (-)
f. Sendi
- Nyeri persendian : (+) - Bengkak : (-)
- Nyeri digerakkan : (-) - Merah : (-)
- Kaku sendi : (+)
g. Tulang
- Nyeri : (-) - Bengkak : (-)
- Faktur spontan : (-) - Deformitas : (-)
h. Otot
- Sakit : (-) - Kebas-kebas : (-)
- Kejang-kejang : (-) - Kelemahan otot : (+)
i. Darah
- Sakit di mulut dan lidah : (-) - Pembengkakan kelenjar : (-)
- Wajah pucat : (+) - Penyakit darah : (-)
- Pandangan berkunang : (-) - Ruam kemerahan di kulit : (-)
- Bengkak : (-) - Pendarahan sub kutan : (-)
j. Endokrin
1) Pankreas
- Polidipsi : (-) - Polifagi : (+)
- Poliuria : (-) - Pruritus : (-)

23
2) Tiroid
- Nervositas : (-) - Exoftalmus : (+/+)
- Struma : (+/-) - Miksodema : (-)
3) Hipofisis
- Akromegali : (-)
k. Sistem saraf
- Sakit kepala : (-) - Paralisis : (+)
- Hipoastesia : (-) - Tics : (-)
- Parastesia : (-)
l. Panca indra
- Penglihatan : dbn - Perasaan : dbn
- Pengecapan : dbn - Penciuman : dbn
- Pendengaran : menurun
m. Emosi dan Status Psikologi
Stabil

H. Status Present
Keadaan Umum
Sensorium : composmentis
Tekanan Darah : 150/80 mmHg
Frekuensi Nadi : 116 x/ menit, regular, t/v cukup
Frekuensi pernafasan : 26 x/ menit, regular
Temperatur : 36,3 oC
Keadaan Penyakit
- Anemia : (+) - Eritema : (-)
- Ikterus : (-) - Turgor : kembali cepat
- Sianosis : (-) - Gerakan aktif : (-)
- Dipsnoe : (+) - Sikap tidur paksa : (-)
- Edema : (-)
Keadaan Gizi
BB : 45 kg TB : 150 cm
IMT = 45 = 20 kg/m2 (normoweight)
(1,50)2

24
I. Pemeriksaan Fisik
1. Kepala
- Pertumbuhan rambut : tipis dan rontok
- Nyeri kalau di pegang : (-)
- Perubahan lokal : (-)
a. Wajah
- Sembab : (-) - Parase : (-)
- Pucat : (+) - Gangguan lokal : (-)
- Kuning : (-)
b. Mata
- Stand mata : dbn - Jaundice : (-/-)
- Gerakan : dbn - Anemia : (+/+)
- Exoftalmus : (+/+) - Reflek pupil : isokor
- Lidlag : (+/+) - Edema Palpebra : (-/-)
- Lid Retraction : (+/+)
c. Telinga
- Sekret : (+/+) - Bentuk : dbn
- Radang : (+/-) - Atrofi : (-)
- Perforasi membrane timpani : (+/-), tipe attic
d. Hidung
- Sekret : (-) - Benjolan-benjolan : (-)
- Bentuk : dbn
e. Bibir
- Sianonis : (-) - Kering : (-)
- Pucat : (+) - Radang : (-)
f. Gigi
- Karies : (-) - Jumlah : 32
- Pertumbuhan : dbn - Pyorroe alveolaris : (-)
g. Lidah
- Kering : (-) - Beslag : (-)
- Pucat : (-)
h. Tonsil
- Merah : (-) - Membran : dbn
- Bengkak : (-/-) - Angina lakunaris : (-)
- Beslag : (-)
25
2. Leher
Inspeksi
- Struma : (+/-), ukuran 4 cm x 4 cm,
- Tortikolis : (-)
- Pembengkakan KGB : (-) - Venektasi : (-)
- Pulsasi vena : dbn
Palpasi
- Posisi trakea : medial
- Tekan vena jugularis : R- 2 CmH2O
- Sakit / nyeri tekan : (+) di daerah struma, fiksasi (+)
- Kosta servikalis : dbn
Auskultasi
- Bruit : (-)
3. Thoraks Depan Kanan-Kiri
Inspeksi
- Bentuk : Simetris fusiformis
- Simetris/asimetris : Simetris
- bendungan vena : (-)
- ketinggalan bernafas : (-)
- venektasi : (-)
- pembengkakan : (-)
- pulsasi verbal : (-)
- mammae : (-)
Palpasi
- Nyeri tekan : tidak dijumpai
- Fremitus suara : kanan = kiri, kesan normal
- Iktus : dbn
Perkusi
Paru- paru
- Paru : Sonor
- Batas Paru Hati (R/A) :
 Relatif : ICS IV linea midclavicularis dextra
 Absolute : ICS VI linea midclavicularis dextra

26
Jantung
- Batas atas jantung : ICS III linea mid clavicularis sinistra
- Batas kanan jantung : ICS IV linea parasternalis dextra
- Batas kiri jantung : ICS V, 1 cm ke medial linea midclavicula sinistra
Auskultasi
Paru-paru
- Suara pernafasan : vesikuler (+/+) kesan mengeras
- Frekuensi pernafasan : 26 x/menit, reguler
- Suara tambahan : ronkhi (+/+), wheezing (-/-)
Jantung
- Frekuensi Jantung : 116 x/menit, regular, intensitas cukup
- Suara katup : M1 > M2 A2 > A1
P2 > P1 A2 > P2
- Suara tambahan : (-)
- Desah jantung sistolis/ diastolis : (-)
- Gesek pericardial/ pleurocardial : (-)
4. Thoraks Belakang Kanan- Kiri
Inspeksi
- Bentuk : Simetris fusiformis
- simetris/asimetris : simetris
- benjolan : (-)
- scapula alta : (-)
- ketinggalan bernafas : (-)
- venektasi : (-)
Palpasi
- Penonjolan-penonjolan : tidak dijumpai
- Fremitus suara : kanan = kiri, kesan normal
Perkusi
- Suara perkusi paru : sonor
Auskultasi
- Suara pernafasan : vesikuler (+/+), Kesan mengeras
- Suara tambahan : ronkhi (-/-)
5. Abdomen
Inspeksi
- Bengkak : (-) - metereorismus : (-)
- Venektasi : (-) - Sirkulasi Kolateral : (-)

27
Palpasi
- Defens muskular : (-)
- Nyeri tekan : (-)
- Lien : tidak teraba
- Ren : tidak teraba
- Hepar : tidak teraba
Perkusi
- Pekak hati : dbn
- Shifting dullness : (-)
Auskultasi
- Peristaltik usus : (+), kesan normal
- Double sound : (+)
6. Extremitas
a. Atas
- Edema : (-/-) - Tangan lembab : (+/+)
- Piting Edema : (-/-) - Gangguan fungsi : (-/-)
- Merah : (-/-) - Akral hangat : (+/+)
- Kekuatan otot : skala 4 - CRT <2 detik : (+/+)
- Tremor : (+/+)
b. bawah

- Edema : (-/-) - Gangguan fungsi : (-/-)


- Piting Edema : (-/-) - Akral hangat : (+/+)
- Merah : (-/-) - CRT <2 detik : (+/+)
- Kekuatan otot : skala 3

7. Genitalia Luar : tidak dilakukan pemeriksaan


8. Pemeriksaan Colok Dubur (RT) : tidak dilakukan pemeriksaan

28
J. Pemeriksaan Laboratorium
20 Maret 2019
Darah Rutin Urine Rutin Feses Rutin
Hb : 8,7 g/dl Tidak dilakukan Tidak dilakukan
6 3
Eritrosit : 5,62 x 10 /mm pemeriksaan pemeriksaan
Leukosit : 7,030 /ul
Trombosit : 415000
Hematokrit : 29,2 %
MCV : 61,5 fl
MCH : 18,3 pg
MCHC : 29,8 g/dl
Eosinofil : 3,9 %
Basofil : 0,2%
Neutrofil : 49,4 %
Monosit : 8,0%
Kimia Klinik
Alkaline Phospatase 74 U/L
SGOT 52 U/L
SGPT 50 U/L
Total Bilirubin 0,45 mg/dl
Direct Bilirubin 0,20 mg/dl
Ureum 14 mg/dl
Creatinin 0,31 mg/dl
Uric Acid 3,80 mg/dl
Glukosa Adrandom 150 mg/dl
Elektrolit
Natrium 146 mmol/L
Kalium 2,40 mmol/L
Chlorida 101 mmol/L

22 Maret 2019
Imunologi
T3 0,97 ng/ml
T4 13,81 ug/dl
TSH <0,05 ujU/ml

29
K. Radiologi
22 Maret 2019
Foto Thorax
Uraian hasil pemeriksaan: Kesan :
Jantung bentuk dan ukuran normal, Bronchitis
Corakan bronkovaskular meningkat tidak tampak
konsolidasi, infiltrat dan nodule opaque di paru-paru
kanan, sinus costophrenicus kanan dan kiri lancip,
diaphragm kanan dan kiri baik, tulang- tulang
dinding dada intak.

30
RESUME DATA DASAR

Nama Pasien : Melati Pandiangan, ♂ 53 Tahun No. RM : 01051821


Keluhan Utama : Palpitasi
Anamnesis :
Palpitas (+) sejak beberapa bulan ini, semakin lama memberat, muncul tiba-
tiba tanpa dipengaruhi aktivitas. Dyspnoe (+), sering kambuh, memberat jika
beraktivits dan berkurang dengan istirahat. Parese ekstremitas bawah (+)
Fatigue (+), tremor (+), penurunan berat badan (+), peningkatan nafsu makan
(+), gelisah (+), gugup (+), intoleransi hawa panas (+). Riwayat mengorek
telinga (+), nyeri menjalar kebagian belakang kepala, vertigo (+). Kepala dan
leher sulit digerakkan, kedua ekstremitas sulit digerakkan dikarenakan kaku.
Skor indeks Wayne : Gejala = 18, Tanda = 9, total = 27 (Hipertiroid)
BAK : dbn
BAB : dbn
RPO : keterangan tidak jelas
RPT : pembesaran kelenjar tiroid pada tahun 2013, sudah menjalankan
pengobatan namun tidak tuntas.
RPK : tidak dijumpai
Pemeriksaan Fisik :
Sensorium : composmentis
TTV : TD 150/80 mmHg / HR 116x/menit / RR 26x/menit / T 36,9oC
Kepala : Rambut tipis dan rontok/ Wajah : pucat/ Mata : conjungtiva palpebral
anemis (+/+), eksoftalmus: (+/+), Lid lag (+/+), lid retraction (+/+)/ Bibir:
pucat/ Telinga: KAE sekret (+) kuning kecoklatan, bau (-), membran timpani
perforasi actik, kwadran kanan atas, pinggir rata, pendengaran menurun/
Hidung: dbn/ Leher : struma (+) 4x4 cm, fiksasi (+),kenyal (+), bruit (-)/
Thoraks : vesikuler mengeras (+/+), ronkhi (+/+)/ Abdomen: dbn / Ekstremitas
atas: akral hangat (+/+), tangan lembab (+/+), CRT < 2 detik (+/+), kekuatan
otot skala 4 (+/+), tremor jari tangan (+/+)/ Ekstremitas bawah: akral hangat,
CRT < 2 detik (+/+), kekuatan otot skala 3 (+/+).
Pemeriksaan Laboratorium:
1. Darah Rutin (20 Maret 2019):
Hb : 8,7 g/dl | Leukosit: 7,030 /ul | Trombosit: 415000 | Hematokrit : 29,2
%| MCV 61,5 fL| MCH 18,3 pg| MCHC 29,8 g/dL|
2. Kimia Klinik (20 Maret 2019) :
Alkaline Phospatase 74 U/L
SGOT 52 U/L
SGPT 50 U/L

31
Total Bilirubin 0,45 mg/dl
Direct Bilirubin 0,20 mg/dl
Ureum 14 mg/dl
Creatinin 0,31 mg/dl
Uric Acid 3,80 mg/dl
Glukosa Adrandom 150 mg/dl

3. Elektrolit (20 Maret 2019): :


Natrium 146 mmol/L
Kalium 2,40 mmol/L
Chlorida 101 mmol/L

4. Imunologi (22 Maret 2019):


T3 0,97 ng/ml
T4 13,81 ug/dl
TSH < 0,05 ujU/ml

Radiologi :
1. Foto Thorax (22 Maret 2019) :
Bronchitis

Diagnosis Utama : Periode Paralisis Hipokalemia ec Graves Disease


Diagnosis Sekunder :
1. Otitis Media Supuratif Kronik
2. Bronchitis
Diagnosis Banding :
- Goiter Multinodular Toksik
- Struma Ovarium
- Adenoma Hipofisis
Rencana Terapi :
- Tirah Baring
- Diet MB
- IVFD NaCl 0,9 % + 1 flacon KCL 25 meq/fl 20 gtt/menit
- Ceftriaxone 1 gr/ 12 jam
- PTU tab 200 mg 3x1

32
- Propanolol tab 5 mg 1x1
- Betahistine mesilate 6 mg 2 x 1
- Tarivid otic 3 mg/5 ml 2 x 2 gtt Auris Dextra
Rencana Monitoring :
- Darah rutin
- Elektrolit
- FNAC (Fine Needle Aspiration Cytology
- Foto thoraks
- Radioactive Iodine Uptake
- EKG
R/ Konsul ke Departement THT

33
3.2. Follow Up Pasien
20 Maret 2019
S: Sesak (+), palpitasi (+), kelemahan otot (+), Pendengaran (↓)
O: Sensorium: CM
TD: 150/80 , HR: 116 x/i , RR: 26 x/i , Temp: 36,9oc
Kepala : Rambut tipis dan rontok/ Wajah : pucat/ Mata : conjungtiva
palpebral anemis (+/+), eksoftalmus: (+/+), Lid lag (+/+), lid retraction
(+/+)/ Bibir: pucat/ Telinga: KAE sekret (+) kuning kecoklatan, bau (-),
membran timpani perforasi actik, kwadran kanan atas, pinggir rata,
pendengaran menurun/ Hidung: dbn/ Leher : struma (+) 4x4 cm, fiksasi
(+),kenyal (+), bruit (-)/ Thoraks : vesikuler mengeras (+/+), ronkhi (+/+)/
Abdomen: dbn / Ekstremitas atas: akral hangat (+/+), tangan lembab (+/+),
CRT < 2 detik (+/+), kekuatan otot skala 4 (+/+), tremor jari tangan (+/+)/
Ekstremitas bawah: akral hangat, CRT < 2 detik (+/+), kekuatan otot skala 3
(+/+).
A : Graves Disease + OMSK
Dd : Goiter multinoduler toksik
Struma Ovarium
Adenoma Hipofisis
P: Tirah baring
O2 2l/menit
IVFD RL 20 gtt/menit
Inj. Ranitidin 50 mg/12 jam
Inj Ceftriaxone 1 gr/12 jam
Asam Mefenamat 2 x 500 mg
Ibuprofen Tab 2x1
R/ -
21 Maret 2019
S: Sesak (-), palpitasi (+), kelemahan otot (+), Pendengaran (↓)
O: Sensorium: CM,

34
TD: 150/80 , HR: 118 x/i , RR: 20 x/i , Temp: 36,5oc
Wajah : pucat/ Mata : conjungtiva palpebral anemis (+/+), eksoftalmus:
(+/+), Lid lag (+/+), lid retraction (+/+)/ Bibir: pucat/ Telinga: KAE sekret
(+) kuning kecoklatan, bau (-), membran timpani perforasi actik, kwadran
kanan atas, pinggir rata, pendengaran menurun/ Hidung: dbn/ Leher : struma
(+) 4x4 cm, fiksasi (+),kenyal (+), bruit (-)/ Thoraks : vesikuler mengeras (-
/-), ronkhi (-/-)/ Abdomen: dbn / Ekstremitas atas: akral hangat (+/+), tangan
lembab (+/+), CRT < 2 detik (+/+), kekuatan otot skala 4 (+/+), tremor jari
tangan (+/+)/ Ekstremitas bawah: akral hangat, CRT < 2 detik (+/+),
kekuatan otot skala 3 (+/+).
A: Periode paralisis hypokalemia ec Graves Disease + OMSK
Dd : Goiter multinoduler toksik
Struma Ovarium
Adenoma Hipofisis
P: Tirah baring
IVFD RL 20 gtt/menit
Inj. Ranitidin 50 mg/12 jam
Inj Ceftriaxone 1 gr/12 jam
Asam Mefenamat 2 x 500 mg
Ibuprofen Tab 2x1
R/ Konsul THT
Foto Thorax
22 Maret 2019
S: Sesak (-), palpitasi (↓), kelemahan otot (+), Pendengaran (↓)
O: Sensorium: CM,
TD: 130/70 mmHg, HR: 105 x/i , RR: 22 x/i , Temp: 36,5oc
Wajah : pucat/ Mata : conjungtiva palpebral anemis (+/+), eksoftalmus:
(+/+), Lid lag (+/+), lid retraction (+/+)/ Bibir: pucat/ Telinga: KAE sekret
(+) kuning kecoklatan, bau (-), membran timpani perforasi actik, kwadran
kanan atas, pinggir rata, pendengaran menurun/ Leher : struma (+) 4x4 cm,

35
fiksasi (+),kenyal (+), bruit (-)/ Thoraks dbn/ Abdomen: dbn / Ekstremitas
atas: akral hangat (+/+), tangan lembab (+/+), CRT < 2 detik (+/+), kekuatan
otot skala 4 (+/+), tremor jari tangan (+/+)/ Ekstremitas bawah: akral hangat,
CRT < 2 detik (+/+), kekuatan otot skala 3 (+/+).
A: Periode paralisis hypokalemia ec Graves Disease + OMSK + Bronchitis
Dd : Goiter multinoduler toksik
Struma Ovarium
Adenoma Hipofisis
P: Tirah baring
IVFD RL 20 gtt/menit
Inj. Ranitidin 50 mg/12 jam
Inj Ceftriaxone 1 gr/12 jam
Asam Mefenamat 2 x 500 mg
Ibuprofen Tab 2x1
Curcuma 3x1 tab
Betahistine mesilate 6 mg 2 x 1
Tarivid otic 3 mg/5 ml 2 x 2 gtt Auris Dextra
R/ Transfusi PRC 2 bag (750 cc)

23 Maret 2019
S: Sesak (-), palpitasi (-), Kelemahan otot (↓) Pendengaran (↓)
O: Sensorium: CM,
TD: 130/70 mmHg, HR: 110 x/i , RR: 22 x/i , Temp: 36,5oc
Wajah : pucat/ Mata : conjungtiva palpebral anemis (+/+), eksoftalmus:
(+/+), Lid lag (+/+), lid retraction (+/+)/ Bibir: pucat/ Telinga: KAE sekret
(+) kuning kecoklatan, bau (-), membran timpani perforasi actik, kwadran
kanan atas, pinggir rata, pendengaran menurun/ Leher : struma (+) 4x4 cm,
fiksasi (+),kenyal (+), bruit (-)/ Thoraks dbn/ Abdomen: dbn / Ekstremitas
atas: akral hangat (+/+), tangan lembab (+/+), CRT < 2 detik (+/+), kekuatan

36
otot skala 4 (+/+), tremor jari tangan (+/+)/ Ekstremitas bawah: akral hangat,
CRT < 2 detik (+/+), kekuatan otot skala 3 (+/+).
A: Periode paralisis hypokalemia ec Graves Disease + OMSK + bronchitis
Dd : Goiter multinoduler toksik
Struma Ovarium
Adenoma Hipofisis
P: Tirah baring
IVFD NaCl 0,9 5 + 1 fls KCl
PRC 2x175 cc
PTU 200 mg 3x1 Tab
Propanolol 5 mg 1x1 tab
Curcuma 3x1 tab
R/ -
24 Maret 2019
S: Kelemahan otot (↓) Pendengaran (↓)
O: Sensorium: CM,
TD: 120/80 mmHg, HR: 110 x/i , RR: 22 x/i , Temp: 36,5oc
eksoftalmus: (+/+), Lid lag (+/+), lid retraction (+/+)/Leher : struma (+) 4x4
cm, fiksasi (+),kenyal (+), bruit (-)/ Thoraks dbn/ Abdomen: dbn / Telinga:
KAE sekret (+) kuning kecoklatan, membran timpani perforasi actik,
kwadran kanan atas, pinggir rata/ Ekstremitas atas: akral hangat (+/+),
tangan lembab (+/+), CRT < 2 detik (+/+), kekuatan otot skala 4 (+/+),
tremor jari tangan (↓/↓)/ Ekstremitas bawah: akral hangat, CRT < 2 detik
(+/+), kekuatan otot skala 4 (+/+).
A: Periode paralisis hypokalemia ec Graves Disease + OMSK + Bronchitis
Dd : Goiter multinoduler toksik
Struma Ovarium
Adenoma Hipofisis
P: Tirah baring
IVFD NaCl 0,9 5 + 1 fls KCl

37
IVFD PRC 2x175 cc
Dexametasone 5 mg/24 jam
PTU 200 mg 3x1 Tab
Propanolol 5 mg 1x1 tab
Curcuma 3x1 tab
R/ -
25 Maret 2019
S: Pendengaran (↓)
O: Sensorium: CM,
TD: 130/70 mmHg, HR: 98 x/i , RR: 22 x/i , Temp: 36,5oc
eksoftalmus: (+/+), Lid lag (+/+), lid retraction (+/+)/ Leher : struma (+) 4x4
cm, fiksasi (+),kenyal (+), bruit (-)/Ekstremitas atas: kekuatan otot skala 5
(+/+), tremor jari tangan (↓/↓)/ Ekstremitas bawah: akral hangat, CRT < 2
detik (+/+), kekuatan otot skala 5 (+/+).
A: Periode Paralisis Hypokalemia ec Graves Disease + OMSK + Bronchitis
Dd : Goiter multinoduler toksik
Struma Ovarium
Adenoma Hipofisis
P: Tirah baring
IVFD NaCl 0,9 5 + 1 fls KCl
IVFD PRC 2x175 cc
Dexametasone 5 mg/24 jam
PTU 200 mg 3x1 Tab
Propanolol 5 mg 1x1 tab
Curcuma 3x1 tab
R/ -
26 Maret 2019
S: Pendengaran (↓)
O: Sensorium: CM,
TD: 120/70 mmHg, HR: 110 x/i , RR: 22 x/i , Temp: 36,5oc

38
eksoftalmus: (+/+), Lid lag (+/+), lid retraction (+/+)/ Leher : struma (+) 4x4
cm, fiksasi (+),kenyal (+), bruit (-)/ Ekstremitas atas : tremor jari tangan
(↓/↓)
A: Periode Paralisis Hipokalemia ec Graves Disease + OMSK + Bronchitis
Dd : Goiter multinoduler toksik
Struma Ovarium
Adenoma Hipofisis
P: Tirah baring
PTU 4X1 mg
SF 2X1
R/ - PBJ Poli Endokrin

39
BAB IV
DISKUSI KASUS
Teori Pasien
Definisi dan Gejala Klinis Definisi dan Gejala Klinis
Penyakit Graves (Graves Disease) Pasien datang dengan keluhan
atau struma difussa toksik merupakan jantung berdebar-debar dalam
penyakit autoimun yang ditandai beberapa bulan terakhir ini. Keluhan
dengan hipertiroidisme, gondok disertai sesak nafas. Keluhan sesak
difussa, ophthalmopaty dan tanpa didahului nyeri dada. Riwayat
dermopathy.2 demam tidak dijumpai. Pasien
TPP merupakan kelainan yang kesulitan untuk menggerakkan kedua
ditandai dengan kelemahan atau kakinya dalam 1 minggu terakhir.
kelumpuhan otot lokal ataupun general Pasien merasa lemas dan sedikit
yang terjadi secara episodik dan gemetar. Pasien juga mengatakan
berulang dan disertai dengan bahwa dirinya mudah lelah akhir-
hipokalemia. Kondisi ini terutama akhir ini walaupun hanya melakukan
memengaruhi ekstremitas bawah dan aktivitas sederhana dan ringan. Pasien
sekunder akibat tirotoksikosis.3 merasa berat badannya turun akhir-
akhir ini sedangkan nafsu makan
meningkat karena pasien sering
merasa lapar. Pasien mengakui sering
merasa gelisah dan gugup tanpa sebab.
Pasien juga sering kepanasan
walaupun tinggal di daerah dingin dan
tidak sedang berada dibawah matahari.

Etiologi dan Patogenesis Etiologi dan Patogenesis


Penyakit graves disebabkan oleh Hipertiroidisme pada pasien ini
peristiwa imunologi dimana kemungkinan disebabkan oleh
terbentuknya igG yang mengikat dan penyakit autoimun yang menyerang

40
mengaktifkan reseptor tirotropin kelenjar tiroid atau yang disebut
disebut thyroid- stimulating antibody sebagai penyakit Graves.
(TSAb) yang menyebabkan hipertrofi Autoantibodi yang terbentuk akan
dan hiperplasia folikuler yang berakibat menyerang reseptor TSH di membrane
membesarnya kelenjar dan epitel folikel tiroid sehingga
meningkatkannya produksi hormon menstimulasi produksi hormone tiroid
tiroid.2 Salah satu komplikasi yang (T3 dan T4). Produksi hormone tiroid
ditemukan pada penderita Graves yang berlebih akan mengakibatkan
Disease adalah thyrotoxic periodic peningkatan aktivitas saraf simpatis
paralysis (TPP).3 tubuh.
Paralisis akibat hipokalemia terjadi Adanya ophtalmopathy berupa
sebagai akibat perpindahan kalium exoftalmus pada pasien disebabkan
yang masif dari kompartemen karea antibody IgG juga dapat
ekstraseluler ke intraseluler terutama menyerang jaringan ikat disekitar
sel otot. Hal ini terjadi diyakini sebagai orbita yang memiliki protein yang
akibat peningkatan aktifitas pompa sama dengan reseptor TSH.
natrium-kalium-adenosin trifosfatase Pengaktifan reseptor tersebut
(Na/K-ATPase). Selain itu, hormon menyebabkan pembentukan sitokin
tiroid juga dapat mempengaruhi Na/K- yang membantu pembentukan
ATPase melalui rangsangan glikosaminoglikan yang hidrofilik
katekolamin.3 pada jaringan fibroblast orbita yang
berakibat pada peningkatan tekanan
osmotic, peningkatan volume otot
ekstraokular, dan akumulasi cairan.
Kelemahan otot yang terjadi pada
pasien muncul setelah keluhan
kelenjar tiroid dirasakan. Oleh karena
itu, kelemahan otot yang terjadi
kemungkinan besar disebabkan dari
komplikasi dari hipertiroid yang
menyebabkan hipokalemia.

41
Hipokalemia terjadi akibat
peningkatan aktivitas pompa natrium-
kalium-adenosin trifosfatase (Na/K-
ATPase).
Gambaran klinis Gambaran klinis
Gambaran klinik klasik dari Penyakit Graves pada pasien ini
penyakit Graves antara lain adalah tri ditegakkan berdasaran gambaran klinis
tunggal hipertitoidisme, goiter difus penyakit Graves yang khas yang
dan eksoftalmus. Pada penderita yang ditemukan pada pasien yakni
berusia lebih muda, manifestasi klinis hipertiroidisme dan eksoftalmus.
yang umum ditemukan antara lain Hipertiroidisme pada pasien ini
palpitasi, nervous, mudah capek, ditegakkan berdasarkan kriteria
hiperkinesia, diare, berkeringat banyak, Wayne dengan skor 27, yang terdiri
tidak tahan panas dan lebih senang sesak bila bekerja (+1), palpitasi (+2),
cuaca dingin. Pada wanita muda gejala kelelahan (+2), suka hawa dingin (+5),
utama penyakit Graves dapat berupa gugup (+2), nafsu makan meningkat
amenore atau infertilitas. Pada (+3), berat badan menurun (+3), tiroid
anakanak, terjadi peningkatan teraba (+3), bising tidak dijumpai (-2),
pertumbuhan dan percepatan proses exoftalmus (+2), lid lag (+1),
pematangan tulang. Sedangkan pada hiperkinesis tidak dijumpai (-2),
penderita usia tua ( > 60 tahun ), tremor (+1), tangan panas (+2), tangan
manifestasi klinis yang lebih mencolok basah (+1), HR > 90 (+3).
terutama adalah manifestasi Pada pemeriksaan fisik dijumpai
kardiovaskuler dan miopati, ditandai exoftalmus yang masuk dalam kriteria
dengan adanya palpitasi, dyspnea wayne. Untuk memastikan goiter
d’effort, tremor, nervous dan penurunan difusa dibutuhkan pemeriksaan
berat badan.2 radioaktif iodine uptake untuk melihat
Pasien TPP biasanya laki-laki dewasa distribusi penyerapan iodin pada
berusia 20-40 tahun, namun demikian kelenjar tiroid.
ada pula yang melaporkan kejadiannya
pada usia remaja. Serangannya berupa

42
kelemahan otot mulai dari ringan
hingga kelumpuhan total yang bersifat
episodik, sementara dan berulang.
Gejala yang muncul awalnya
menyerang ekstremitas bawah
kemudian berlanjut ke otot panggul dan
ekstremitas atas. Fungsi sensoris tidak
terganggu. Otot-otot yang terlibat bisa
saja tidak simetris.3
Penatalaksanaan Penatalaksanaan
Pengobatan medikamentosa yang lazim Pada kasus ini diberikan obat antitiroid
digunakan adalah golongan tionamid golongan tiourasil yaitu PTU 3x200
terutama PTU. Efek PTU menghalangi mg sehari dan propanolol 3x20 mg.
proses hormogenesis intratiroid, Hal ini sesuai dengan yang disarankan
mengurangi disregulasi imun intratiroid pada penyakit hipertiroid yaitu PTU
serta konversi perifer dari T4 menjadi 200–600 mg. Mekanisme kerja obat
T3, bersifat immunosupresif dengan antitiroid bekerja dengan dua efek
menekan produksi TSAb melalui yaitu efek intratiroid dan ekstratiroid.
kerjanya mempengaruhi aktivitas sel T Mekanisme aksi intratiroid adalah
limfosit kelenjar tiroid.19,20 Efek dengan menghambat oksidasi dan
imunosupresif PTU melalui induksi organifikasi iodium, menghambat
apoptosis leukosit intratiroid dan coupling iodotirosis, mengubah
menurunkan jumlah sel-sel Th dan struktur molekul tiroglobulin dan
natural killer (NK). Kelebihannya cepat menghambat sintesis tiroglobulin
menimbulkan eutroid dan remisi sehingga mencegah atau mengurangi
imunologi yang tergantung lamanya biosintesis hormon tiroid T3 danT4.
terapi. Pengobatan biasanya dibagi atas Sedangkan mekanisme aksi
tahap inisial dan tahap pemeliharaan ekstratiroid yaitu dengan menghambat
(menggunakan dosis obat yang lebih konversi T4menjadi T3 di jaringan
rendah), lamanya bervariasi tetapi perifer. Sementara itu penggunaan
efektif diberikan selama 12-18 bulan. propanolol bertujuan untuk

43
menurunkan gejala-
gejalahipertiroidisme yang
diakibatkan peningkatan kerja dari β-
adrenergic. Propanolol juga dikatakan
dapat menurunkan perubahan T4 ke T3
di sirkulasi sehingga dapat
menurunkan jumlah hormone yang
dalam bentuk aktif.

44
BAB V
KESIMPULAN

Penyakit Graves merupakan penyebab tersering hipertiroidisme dimana


lebih banyak ditemukan pada wanita dibanding pria, terutama pada usia 20–40
tahun. Prinsip dalam pengobatan hipertiroid adalah menekan produksi hormon
tiroid yaitu dengan menggunakan obat antitiroid. Obat golongan penyekat beta
seperti propanolol sangat bermanfaat untuk mengendalikan manifestasi klinis
tirotoksikosis seperti palpitasi, tremor, cemas dan intoleransi panas melalui
blokadenya pada reseptor adrenergik.

45
DAFTAR PUSTAKA

1. Tao L., Kendall K. Sinopsis organ sistem: Endokrinologi. Tanggerang :


Karisma Publishing; 2014. hh. 157-162.
2. Ginsberg J. Diagnosis and management of Graves' disease. Cmaj. 2003 Mar
4;168(5):575-85.
3. Vijayakumar, Abhishek, Giridhar Ashwath, and Durganna Thimmappa.
"Thyrotoxic periodic paralysis: clinical challenges." Journal of thyroid research
2014 (2014).
4. Baumgartner, Fritz J., and Eric T. Lee. "Hyperthyroid hypokalemic periodic
paralysis in a Hispanic male." Journal of the National Medical Association 82.2
(1990): 129.
5. Yeung, Sai-Ching Jim. Graves Disease. Medscape [internet] 2018 Mar 23.
Medscape – diakses tanggal 21 April 2018
https://emedicine.medscape.com/article/120619-overview#a6
6. Subekti I, Pramono LA. Current Diagnosis and Management of Graves'
Disease. Acta Medica Indonesiana. 2018 Apr;50(2):177-82.
7. Lam L, Nair RJ, Tingle L. Thyrotoxic periodic paralysis. InBaylor University
Medical Center Proceedings 2006 Apr 1 (Vol. 19, No. 2, pp. 126-129). Taylor
& Francis.
8. Arsyad E, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Penyakit THT UI.
Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2007: 27-38.

46

Anda mungkin juga menyukai