Anda di halaman 1dari 45

CASE BASED DISCUSSION

“KETOASIDOSIS DIABETIKUM”
Diajukan sebagai salah satu syarat dalam menjalani Kepaniteraan Klinik
di Bagian/ SMF Anestesiologi dan Reanimasi
Fakultas Kedokteran Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya

Oleh :
Imam Dwi Wahyudi

6120018019

Pembimbing :

dr. Ainul Rofiq, Sp.An., K

DEPARTEMEN / SMF ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA
2019
LEMBAR PENGESAHAN

CASE BASED DISCUSSION


DEPARTEMEN / SMF ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI
“KETOASIDOSIS DIABETIKUM”

Oleh:

Imam Dwi Wahyudi (6120018019)

Case Based Discussion “Ketoasidosis diabetikum” ini telah diperiksa,


disetujui, dan diterima sebagai salah satu tugas dalam rangkat menyelesaikan
program studi profesi dokter di bagian Ilmu Anastesi dan Reanimasi RSI Jemur
Sari Surabaya, Fakultas Kedokteran Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya.

Surabaya, 19 September 2019

Mengesahkan,

Dokter Pembimbing

dr. Ainul Rofiq, Sp. An, KIC

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ....................................................................................... 1

LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................. 2

DAFTAR ISI.................................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN ............................... Error! Bookmark not defined.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................... Error! Bookmark not defined.

Definisi............................................................................................................. 5

Epidemiologi .................................................................................................... 5

Faktor pencetus ................................................................................................ 6

Patofisiologi ..................................................................................................... 7

Gejala Klinis .................................................................................................. 10

Diagnosis ....................................................................................................... 10

Penatalaksanaan ............................................................................................. 12

Pemantauan Terapi ........................................................................................ 23

Komplikasi ..................................................................................................... 23

Diagnosa Banding .......................................................................................... 25

Pencegahan .................................................................................................... 26

Prognosis ........................................................................................................ 27

BAB III TINJAUAN KASUS ....................................................................... 32

BAB IV PENUTUP ....................................................................................... 29

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 30

3
BAB I
PENDAHULUAN

Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah keadaan dekompensasi kekacauan metabolik


yang ditandai oleh trias hiperglikemia, asidosis, dan ketosis, terutama disebabkan
oleh defisiensi insulin absolut atau relatif.(1) KAD dan Hiperosmolar
Hyperglycemia State (HHS) adalah 2 komplikasi akut metabolik diabetes mellitus
yang paling serius dan mengancam nyawa. Kedua keadaan tersebut dapat terjadi
pada Diabetes Mellitus (DM) tipe 1 dan 2, meskipun KAD lebih sering dijumpai
pada DM tipe 1.(2) KAD mungkin merupakan manifestasi awal dari DM tipe 1
atau mungkin merupakan akibat dari peningkatan kebutuhan insulin pada DM tipe
1 pada keadaan infeksi, trauma, infark miokard, atau kelainan lainnya.(3)

KAD dilaporkan bertanggung jawab untuk lebih dari 100.000 pasien yang
dirawat per tahun di Amerika Serikat. Walaupun data komunitas di Indonesia
belum ada, agaknya insiden KAD di Indonesia tidak sebanyak di negara barat,
mengingat prevalensi DM tipe 1 yang rendah. Laporan insiden KAD di Indonesia
umumnya berasal dari data rumah sakit dan terutama pada pasien DM tipe 2.(1)

Angka kematian pasien dengan KAD di negara maju kurang dari 5% pada
banyak senter, beberapa sumber lain menyebutkan 5 – 10%, 2 – 10%, atau 9 –
10%. Sedangkan di klinik dengan sarana sederhana dan pasien usia lanjut angka
kematian dapat mencapai 25 – 50%. Angka kematian menjadi lebih tinggi pada
beberapa keadaan yang menyertai KAD, seperti sepsis, syok berat, infark miokard
akut yang luas, pasien usia lanjut, kadar glukosa darah awal yang tinggi, uremia
dan kadar keasaman darah yang rendah. Kematian pada pasien KAD usia muda
umumnya dapat dihindari dengan diagnosis cepat, pengobatan yang tepat dan
rasional sesuai dengan patofisiologinya. Pada pasien kelompok usia lanjut,
penyebab kematian lebih sering dipicu oleh faktor penyakit dasarnya.(1)
Mengingat pentingnya pengobatan rasional dan tepat untuk menghindari kematian
pada pasien KAD usia muda, maka selanjutnya akan dibicarakan tentang
penatalaksanaan KAD disertai dengan komplikasi akibat penatalaksanaannya.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1. DEFINISI

Ketoasidosis diabetik adalah keadaan dekompensasi-kekacauan metabolic


yang ditandai oleh trias hiperglikemia, asidosis, dan ketosis, terutama disebabkan
oleh defisiensi insulin absolut atau relatif. KAD dan hipoglikemia merupakan
komplikasi akut diabetes mellitus (DM) yang serius dan membutuhkan
pengelolaan gawat darurat. Akibat diuresis osmotik, KAD biasanya mengalami
dehidrasi berat dan bahkan dapat sampai menyebabkan syok.(1)

II.2. EPIDEMIOLOGI

Data komunitas di Amerika Serikat, Rochester, menunjukkan bahwa insiden


KAD sebesar 8/1000 pasien DM per tahun untuk semua kelompok umur,
sedangkan untuk kelompok umur kurang dari 30 tahun sebesar 13,4/1000 pasien
DM per tahun.1 Sumber lain menyebutkan insiden KAD sebesar 4,6 – 8/1000
pasien DM per tahun.(4,5)

KAD dilaporkan bertanggung jawab untuk lebih dari 100.000 pasien yang
dirawat per tahun di Amerika Serikat.(6) Walaupun data komunitas di Indonesia
belum ada, agaknya insiden KAD di Indonesia tidak sebanyak di negara barat,
mengingat prevalensi DM tipe 1 yang rendah. Laporan insiden KAD di Indonesia
umumnya berasal dari data rumah sakit dan terutama pada pasien DM tipe 2.(1)

Angka kematian pasien dengan KAD di negara maju kurang dari 5% pada
banyak senter, beberapa sumber lain menyebutkan 5 – 10%2, 2 – 10%, atau 9-
10%.(1) Sedangkan di klinik dengan sarana sederhana dan pasien usia lanjut angka
kematian dapat mencapai 25 – 50%. Angka kematian menjadi lebih tinggi pada
beberapa keadaan yang menyertai KAD, seperti sepsis, syok berat, infark miokard
akut yang luas, pasien usia lanjut, kadar glukosa darah awal yang tinggi, uremia
dan kadar keasaman darah yang rendah.

Kematian pada pasien KAD usia muda umumnya dapat dihindari dengan

5
diagnosis cepat, pengobatan yang tepat dan rasional sesuai dengan
patofisiologinya. Pada pasien kelompok usia lanjut, penyebab kematian lebih
sering dipicu oleh faktor penyakit dasarnya.(1)

Mengingat pentingnya pengobatan rasional dan tepat untuk menghindari


kematian pada pasien KAD usia muda, maka tulisan ini akan membicarakan
tentang penatalaksanaan KAD disertai dengan komplikasi akibat
penatalaksanaannya. Sebagai pendahuluan akan dijelaskan secara ringkas tentang
faktor pencetus dan kriteria diagnosis KAD.

II.3. FAKTOR PENCETUS

Terdapat sekitar 20% pasien KAD yang baru diketahui menderita DM untuk
pertama kalinya. Pada pasien KAD yang sudah diketahui DM sebelumnya, 80%
dapat dikenali adanya faktor pencetus, sementara 20% lainnya tidak diketahui
faktor pencetusnya.(1,6)

Faktor pencetus tersering dari KAD adalah infeksi, dan diperkirakan sebagai
pencetus lebih dari 50% kasus KAD.(6-8) Pada infeksi akan terjadi peningkatan
sekresi kortisol dan glukagon sehingga terjadi peningkatan kadar gula darah yang
bermakna. Faktor lainnya adalah cerebrovascular accident, alcohol abuse,
pankreatitis, infark jantung, trauma, pheochromocytoma, obat, DM tipe 1 yang
baru diketahui dan diskontinuitas (kepatuhan) atau terapi insulin inadekuat.(1,2,5-8)

Kepatuhan akan pemakaian insulin dipengaruhi oleh umur, etnis dan faktor
komorbid penderita.(5) Faktor lain yang juga diketahui sebagai pencetus KAD
adalah trauma, kehamilan, pembedahan, dan stres psikologis. Infeksi yang
diketahui paling sering mencetuskan KAD adalahinfeksi saluran kemih dan
pneumonia.(5,6) Pneumonia atau penyakit paru lainnya dapat mempengaruhi
oksigenasi dan mencetuskan gagal napas, sehingga harus selalu diperhatikan
sebagai keadaan yang serius dan akan menurunkan kompensasi respiratorik dari
asidosis metabolik.(2) Infeksi lain dapat berupa infeksi ringan seperti skin lesion
atau infeksi tenggorokan. Obat-obatan yang mempengaruhi metabolisme
karbohidrat seperti kortikosteroid, thiazid, pentamidine, dan obat simpatomimetik

6
(seperti dobutamin dan terbutalin), dapat mencetuskan KAD. Obat-obat lain yang
diketahui dapat mencetuskan KAD diantaranya beta bloker, obat antipsikotik, dan
fenitoin, Pada pasien usia muda dengan DM tipe 1, masalah psikologis yang
disertai kelainan makan memberikan kontribusi pada 20% KAD berulang.

Faktor yang memunculkan kelalaian penggunaan insulin pada pasien muda


diantaranya ketakutan untuk peningkatan berat badan dengan perbaikan kontrol
metabolik, ketakutan terjadinya hipoglikemia, dan stres akibat penyakit
kronik.(4,6,7) Namun demikian, seringkali faktor pencetus KAD tidak ditemukan
dan ini dapat mencapai 20 – 30% dari semua kasus KAD, akan tetapi hal ini tidak
mengurangi dampak yang ditimbulkan akibat KAD itu sendiri.(9,10)

II.4 PATOFISIOLOGI KAD

KAD ditandai oleh adanya hiperglikemia, asidosis metabolik, dan


peningkatan konsentrasi keton yang beredar dalam sirkulasi. Ketoasidosis
merupakan akibat dari kekurangan atau inefektifitas insulin yang terjadi
bersamaan dengan peningkatan hormon kontraregulator (glukagon, katekolamin,
kortisol, dan growth hormon). Kedua hal tersebut mengakibatkan perubahan
produksi dan pengeluaran glukosa dan meningkatkan lipolisis dan produksi benda
keton. Hiperglikemia terjadi akibat peningkatan produksi glukosa hepar dan ginjal
(glukoneogenesis dan glikogenolisis) dan penurunan utilisasi glukosa pada
jaringan perifer.

Peningkatan glukoneogenesis akibat dari tingginya kadar substrat


nonkarbohidrat (alanin, laktat, dan gliserol pada hepar, dan glutamin pada ginjal)
dan dari peningkatan aktivitas enzim glukoneogenik (fosfoenol piruvat
karboksilase/ PEPCK, fruktose 1,6 bifosfat, dan piruvat karboksilase).
Peningkatan produksi glukosa hepar menunjukkanpatogenesis utama yang
bertanggung jawab terhadap keadaan hiperglikemia pada pasien dengan KAD.

Selanjutnya, keadaan hiperglikemia dan kadar keton yang tinggi


menyebabkan diuresis osmotik yang akan mengakibatkan hipovolemia dan
penurunan glomerular filtration rate. Keadaan yang terakhir akan memperburuk

7
hiperglikemia. Mekanisme yang mendasari peningkatan produksi benda keton
telah dipelajari selama ini. Kombinasi defisiensi insulin dan peningkatan
konsentrasi hormon kontraregulator menyebabkan aktivasi hormon lipase yang
sensitif pada jaringan lemak. Peningkatan aktivitas ini akan memecah trigliserid
menjadi gliserol dan asam lemak bebas (free fatty acid/FFA). Diketahui bahwa
gliserol merupakan substrat penting untuk glukoneogenesis pada hepar,
sedangkan pengeluaran asam lemak bebas yang berlebihan diasumsikan sebagai
prekursor utama dari ketoasid.

Gambar 1. Bagan Patofisiologi KAD(13)

8
Gambar 2. Proses Ketogenesis di Hepar(1)

Pada hepar, asam lemak bebas dioksidasi menjadi benda keton yang
prosesnya distimulasi terutama oleh glukagon. Peningkatan konsentrasi glukagon
menurunkan kadar malonyl coenzyme A (Co A) dengan cara menghambat
konversi piruvat menjadi acetyl Co A melalui inhibisi acetyl Co A carboxylase,
enzim pertama yang dihambat pada sintesis asam lemak bebas. Malonyl Co A
menghambat camitine palmitoyl- transferase I (CPT I), enzim untuk transesteri¿
kasi dari fatty acyl Co A menjadi fatty acyl camitine, yang mengakibatkan
oksidasi asam lemak menjadi benda keton. CPT I diperlukan untuk perpindahan
asam lemak bebas ke mitokondria tempat dimana asam lemak teroksidasi.
Peningkatan aktivitas fatty acyl Co A dan CPT I pada KAD mengakibatkan
peningkatan ketongenesis.(6)

9
II.5. GEJALA KLINIS

Tujuh puluh sampai sembilan puluh persen pasien KAD telah diketahui
menderita DM sebelumnya. Sesuai dengan patofisiologi KAD, akan dijumpai
pasien dalam keadaan ketoasidosis dengan pernapasan cepat dan dalam
(Kussmaul), berbagai derajat dehidrasi (turgor kulit berkurang, lidah dan bibir
kering), kadang-kadang disertai hipovolemia sampai syok. Keluhan poliuria dan
polidipsi seringkali mendahului KAD, serta didapatkan riwayat berhenti
menyuntik insulin, demam, atau infeksi. (1)

Muntah-muntah merupakan gejala yang sering dijumpai. Pada KAD anak,


sering dijumpai gejala muntah-muntah massif. Dapat pula dijumpai nyeri perut
yang menonjol dan hal ini dapat berhubungan dengan gastroparesis-dilatasi
lambung. Derajat kesadaran pasien bervariasi, mulai dari kompos mentis sampai
koma. Bila dijumpai kesadaran koma perlu dipikirkan penyebab penurunan
kesadaran lain (misalnya uremia, trauma, infeksi, minum alcohol). Bau aseton dari
hawa napas tidak selalu mudah tercium

II.6. DIAGNOSIS

Langkah pertama yang harus diambil pada pasien KAD terdiri dari
anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cepat dan teliti terutama memperhatikan
patensi jalan napas, status mental, status ginjal dan kardiovaskular, dan status
hidrasi. Langkah-langkah ini harus dapat menentukan jenis pemeriksaan
laboratorium yang harus segera dilakukan, sehingga penatalaksanaan dapat segera
dimulai tanpa adanya penundaan.(1)

Meskipun gejala DM yang tidak terkontrol mungkin tampak dalam beberapa


hari, perubahan metabolik yang khas untuk KAD biasanya tampak dalam jangka
waktu pendek (< 24 jam). Umumnya penampakan seluruh gejala dapat tampak
atau berkembang lebih akut dan pasien dapat tampak menjadi KAD tanpa gejala
atau tanda KAD sebelumnya.

Gambaran klinis klasik termasuk riwayat poliuria, polidipsia, dan polifagia,


penurunan berat badan, muntah, sakit perut, dehidrasi, lemah, clouding of

10
sensoria, dan akhirnya koma. Pemeriksaan klinis termasuk turgor kulit yang
menurun, respirasi Kussmaul, takikardia, hipotensi, perubahan status mental,
syok, dan koma. Lebih dari 25% pasien KAD menjadi muntah-muntah yang
tampak seperti kopi.

Perhatian lebih harus diberikan untuk pasien dengan hipotermia karena


menunjukkan prognosis yang lebih buruk. Demikian pula pasien dengan
abdominal pain, karena gejala ini dapat merupakan akibat atau sebuah indikasi
dari pencetusnya, khususnya pada pasien muda. Evaluasi lebih lanjut diperlukan
jika gejala ini tidak membaik dengan koreksi dehidrasi dan asidosis metabolik.

Pemeriksaan laboratorium yang paling penting dan mudah untuk segera


dilakukan setelah dilakukannya anamnesis dan pemeriksaan fisik adalah
pemeriksaan kadar glukosa darah dengan glucose sticks dan pemeriksaan urine
dengan menggunakan urine strip untuk melihat secara kualitatif jumlah glukosa,
keton, nitrat, dan leukosit dalam urine. Pemeriksaan laboratorium lengkap untuk
dapat menilai karakteristik dan tingkat keparahan KAD meliputi kadar HCO3,
anion gap, pH darah dan juga idealnya dilakukan pemeriksaan kadar AcAc dan
laktat serta 3HB.

11
Tabel 1. Kriteria diagnostik KAD menurut American Diabetes Association(7)

II.7. PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan KAD bersifat multifaktorial sehingga memerlukan


pendekatan terstruktur dokter dan paramedis yang bertugas. Terdapat banyak
sekali pedoman penatalaksanaan KAD pada literatur kedokteran, dan hendaknya
semua itu tidak diikuti secara ketat sekali dan disesuaikan dengan kondisi
penderita. Dalam menatalaksana penderita KAD setiap rumah sakit hendaknya
memiliki pedoman atau disebut sebagai integrated care pathway. Pedoman ini
harus dilaksanakan sebagaimana mestinya dalam rangka mencapai tujuan terapi.
Studi terakhir menunjukkan sebuah integrated care pathway dapat memperbaiki
hasil akhir penatalaksanaan KAD secara signifikan.(7)

Keberhasilan penatalaksanaan KAD membutuhkan koreksi dehidrasi,


hiperglikemia, asidosis dan kelainan elektrolit, identifikasi faktor presipitasi

12
komorbid, dan yang terpenting adalah pemantauan pasien terus menerus.(3,7)
Berikut ini beberapa hal yang harus diperhatikan pada penatalaksanaan KAD.

1. Terapi cairan

Prioritas utama pada penatalaksanaan KAD adalah terapi cairan.8 Terapi


insulin hanya efektif jika cairan diberikan pada tahap awal terapi dan hanya
dengan terapi cairan saja akan membuat kadar gula darah menjadi lebih rendah.
Studi menunjukkan bahwa selama empat jam pertama, lebih dari 80% penurunan
kadar gula darah disebabkan oleh rehidrasi.(2,11) Oleh karena itu, hal penting
pertama yang harus dipahami adalah penentuan defisit cairan yang terjadi.
Beratnya kekurangan cairan yang terjadi dipengaruhi oleh durasi hiperglikemia
yang terjadi, fungsi ginjal, dan intake cairan penderita.(11) Hal ini bisa
diperkirakan dengan pemeriksaan klinis atau dengan menggunakan rumus sebagai
berikut:(2)

Fluid deficit = (0,6 X berat badan dalam kg) X (corrected Na/140)

*Corrected Na = Na + (kadar gula darah-5)/3,5

Rumus lain yang dapat dipakai untuk menentukan derajat dehidrasi adalah
dengan menghitung osmolalitas serum total dan corrected serum sodium
concentration.

Osmolalitas serum total =

2 X Na (mEq/l) + kadar glukosa darah (mg/dl)/18 + BUN/2,8

Serum sodium concentration dapat dikoreksi dengan menambahkan 1,6


mEq/l tiap kenaikan 100 mg/dl kadar gula darah di atas kadar gula 100 mg/ dl.

•Corrected Na+ = (Plasma glucose-100) / 100 * 1.6)

Nilai corrected serum sodium concentration > 140 dan osmolalitas serum total >
330 mOsm/kg air menunjukkan defisit cairan yang berat.(12) Penentuan derajat
dehidrasi dengan gejala klinis seringkali sukar dikerjakan, namun demikian

13
beberapa gejala klinis yang dapat menolong untuk menentukan derajat dehidrasi
adalah.(13) :

- 5% : penurunan turgor kulit, membran mukosa kering, takikardia

- 10% : capillary refill time ≥ 3 detik, kelopak mata cekung

- > 10% : pulsus arteri perifer lemah, hipotensi, syok, oliguria

Resusitasi cairan hendaknya dilakukan secara agresif. Targetnya adalah


penggantian cairan sebesar 50% dari kekurangan cairan dalam 8 – 12 jam pertama
dan sisanya dalam 12 – 16 jam berikutnya.(5,9) Menurut perkiraan banyak ahli,
total kekurangan cairan pada pasien KAD sebesar 100 ml/kgBB, atau sebesar 5 –
8 liter.(2,5,9) Pada pasien dewasa, terapi cairan awal langsung diberikan untuk
ekspansi volume cairan intravaskular dan ekstravaskular dan menjaga perfusi
ginjal.(7,9) Terdapat beberapa kontroversi tentang jenis cairan yang dipergunakan.

Tidak ada uji klinik yang membuktikan kelebihan pemakaian salah satu
jenis cairan.(2) Kebanyakan ahli menyarankan pemakaian cairan fisiologis (NaCl
0,9%) sebagai terapi awal untuk resusitasi cairan. Cairan fisiologis (NaCl 0,9%)
diberikan dengan kecepatan 15 – 20 ml/kgBB/jam atau lebih selama jam pertama
(± 1 – 1,5 liter). Sebuah sumber memberikan petunjuk praktis pemberian cairan
sebagai berikut: 1 liter pada jam pertama, 1 liter dalam 2 jam berikutnya,
kemudian 1 liter setiap 4 jam sampai pasien terehidrasi.

Sumber lain menyarankan 1 – 1,5 lt pada jam pertama, selanjutnya 250 –


500 ml/jam pada jam berikutnya.(2) Petunjuk ini haruslah disesuaikan dengan
status hidrasi pasien. Pilihan cairan selanjutnya tergantung dari status hidrasi,
kadar elektrolit serum, dan pengeluaran urine. Pada umumnya, cairan NaCl 0,45%
diberikan jika kadar natrium serum tinggi (> 150 mEq/l), dan diberikan untuk
mengkoreksi peningkatan kadar Na+ serum (corrected serum sodium) dengan
kecepatan 4 – 14 ml/kgBB/jam serta agar perpindahan cairan antara intra dan
ekstraselular terjadi secara gradual.(3,4,7)

Pemakaian cairan Ringer Laktat (RL) disarankan untuk mengurangi

14
kemungkinan terjadinya hiperkloremia yang umumnya terjadi pada pemakaian
normal saline(14) dan berdasarkan strong- ion theory untuk asidosis (Stewart
hypothesis).(2)

Sampai saat ini tidak didapatkan alasan yang meyakinkan tentang


keuntungan pemakaian RL dibandingkan dengan NaCl 0,9%. Jika kadar Na
serum rendah tetaplah mempergunakan cairan NaCl 0,9%. Setelah fungsi ginjal
dinilai, infus cairan harus mengandung 20 – 30 mEq/l Kalium (2/3 KCl dan 1/3
KPO4) sampai pasien stabil dan dapat makan. Keberhasilan terapi cairan
ditentukan dengan monitoring hemodinamik (perbaikan tekanan darah),
pengukuran cairan masuk dan keluar, dan pemeriksaan klinis.

Pemberian cairan harus dapat mengganti perkiraan kekurangan cairan


dalam jangka waktu 24 jam pertama. Perubahan osmolalitas serum tidak melebihi
3 mOsm/kgH 2O/jam. Pada pasien dengan kelainan ginjal, jantung atau hati
terutama orang tua, harus dilakukan pemantauan osmolalitas serum dan penilaian
fungsi jantung, ginjal, dan status mental yang berkesinambungan selama
resusitasi cairan untuk menghindari overload cairan iatrogenik. Untuk itu
pemasangan Central Venous Pressure (CVP) monitor dapat sangat menolong.

Ketika kadar gula darah mencapai 250 mg/dl, cairan diganti atau
ditambahkan dengan cairan yang mengandung dextrose seperti (dextrose 5%,
dextrose 5% pada NaCl 0,9%, atau dextrose 5% pada NaCl 0,45%) untuk
menghindari hipoglikemia dan mengurangi kemunginan edema serebral akibat
penurunan gula darah yang terlalu cepat.(2,3,5,14)

15
Tabel 2. Perkiraan jumlah total defisit air dan elektrolit pada pasien KAD(7)

2. Terapi Insulin

Terapi insulin harus segera dimulai sesaat setelah diagnosis KAD dan
rehidrasi yang memadai.(1) Sumber lain menyebutkan pemberian insulin dimulai
setelah diagnosis KAD ditegakkan dan pemberian cairan telah dimulai.(12)
Pemakaian insulin akan menurunkan kadar hormon glukagon, sehingga menekan
produksi benda keton di hati, pelepasan asam lemak bebas dari jaringan lemak,
pelepasan asam amino dari jaringan otot dan meningkatkan utilisasi glukosa oleh
jaringan.(1,6) Sampai tahun 1970-an penggunaan insulin umumnya secara bolus
intravena, intramuskular, ataupun subkutan.

Sejak pertengahan tahun 1970-an protokol pengelolaan KAD dengan drip


insulin intravena dosis rendah mulai digunakan dan menjadi popular. Cara ini
dianjurkan karena lebih mudah mengontrol dosis insulin, menurunkan kadar
glukosa darah lebih lambat, efek insulin cepat menghilang, masuknya kalium ke
intrasel lebih lambat, komplikasi hipoglikemia dan hipokalemia lebih sedikit.(1)
Pemberian insulin dengan infus intravena dosis rendah adalah terapi pilihan pada
KAD yang disebutkan oleh beberapa literatur, sedangkan ADA menganjurkan
insulin intravena tidak diberikan pada KAD derajat ringan. Jika tidak terdapat

16
hipokalemia (K < 3,3 mEq/l), dapat diberikan insulin regular 0,15 u/kg BB,
diikuti dengan infus kontinu 0,1 u/kgBB/jam (5 – 7 u/jam). Jika kadar kalium <
3,3 mEq/l, maka harus dikoreksi dahulu untuk mencegah perburukan hipokalemia
yang akan dapat mengakibatkan aritmia jantung.(6,12)

Insulin dosis rendah biasanya menurunkan gula darah dengan kecepatan 50


– 75 mg/dl/jam, sama seperti pemberian insulin dosis lebih tinggi. Jika gula darah
tidak menurun sebesar 50 mg/dl dari nilai awal pada jam pertama, periksa status
hidrasi pasien. Jika status hidrasi mencukupi, infus insulin dapat dinaikkan 2 kali
lipat setiap jam sampai tercapai penurunan gula darah konstan antara 50 – 75
mg/dl/jam. Ketika kadar gula darah mencapai 250 mg/dl, turunkan infus insulin
menjadi 0,05 – 0,1 u/kgBB/jam (3 – 6 u/jam), dan tambahkan infus dextrose 5 –
10%.(6,7) Setelah itu kecepatan pemberian insulin atau konsentrasi dextrose harus
disesuaikan untuk memelihara nilai glukosa sampai keadaan asidosis membaik.

Pada kondisi klinik pemberian insulin intravena tidak dapat diberikan, maka
insulin diberikan dengan dosis 0,3 iu (0,4 – 0,6 iu)/ kgBB yang terbagi menjadi
setengah dosis secara intravena dan setengahnya lagi secara subkutan atau
intramuskular, selanjutnya diberikan insulin secara intramuskular atau subkutan
0,1 iu/kgBB/ jam, selanjutnya protokol penatalaksanaannya sama seperti
pemberian drip intravena.(12) Perbaikan ketonemia memerlukan waktu lebih lama
daripada hiperglikemia. Pengukuran langsung β-OHB (beta hidroksi butirat) pada
darah merupakan metoda yang lebih disukai untuk pemantauan KAD. Selama
terapi β-OHB berubah menjadi asam asetoasetat, yang menandakan bahwa ketosis
memburuk. Selama terapi KAD harus diperiksa kadar elektrolit, glukosa, BUN,
serum kreatinin, osmolalitas, dan derajat keasaman vena setiap 2 – 4 jam, sumber
lain menyebutkan bahwa kadar glukosa kapiler diperiksa tiap 1 – 2 jam.(6)

Pada KAD ringan, insulin regular dapat diberikan secara subkutan atau
intramuskular setiap jam dengan efektifitas yang sama dengan pemberian
intravena pada kadar gula darah yang rendah dan keton bodies yang rendah.
Efektifitas pemberian insulin dengan intramuskular dan subkutan adalah sama,
namun injeksi subkutan lebih mudah dan kurang menyakitkan pasien. Pasien

17
dengan KAD ringan harus mendapatkan “priming dose” insulin regular 0,4 – 0,6
u/kgBB, setengah dosis sebagai bolus dan setengah dosis dengan subkutan atau
injeksi intramuskular. Selanjutnya diberikan insulin subkutan atau intramuskular
0,1 u/kgBB/jam.

Kriteria resolusi KAD diantaranya adalah kadar gula darah < 200 mg/dl,
serum bikarbonat ≥ 18 mEq/l, pH vena > 7,3, dan anion gap ≤ 12 mEq/l. Saat ini,
jika pasien NPO, lanjutkan insulin intravena dan pemberian cairan dan ditambah
dengan insulin regular subkutan sesuai keperluan setiap 4 jam. Pada pasien
dewasa dapat diberikan 5 iu insulin tambahan setiap kenaikan gula darah 50 mg/dl
pada gula darah di atas 150 mg/dl dan dapat ditingkatkan 20 iu untuk gula darah ≥
300 mg/dl.

Ketika pasien mendapat makan, jadwal dosis multipel harus dimulai dengan
memakai kombinasi dosis short atau rapid acting insulin dan intermediate atau
long acting insulin sesuai kebutuhan untuk mengontrol glukosa darah. Lebih
mudah untuk melakukan transisi ini dengan pemberian insulin saat pagi sebelum
makan atau saat makan malam. Teruskan insulin intravena selama 1 – 2 jam
setelah pergantian regimen dimulai untuk memastikan kadar insulin plasma yang
adekuat.

Penghentian insulin tiba-tiba disertai dengan pemberian insulin subkutan


yang terlambat dapat mengakibatkan kontrol yang buruk, sehingga diperlukan
sedikit overlapping pemberian insulin intravena dan subkutan. Pasien yang
diketahuidiabetes sebelumnya dapat diberikan insulin dengan dosis yang
diberikan sebelum timbulnya KAD dan selanjutnya disesuaikan seperlunya. Pada
pasien DM yang baru, insulin awal hendaknya 0,5 – 1,0 u/ kgBB/hari, diberikan
terbagi menjadi sekurangnya 2 dosis dalam regimen yang termasuk short dan long
acting insulin sampai dosis optimal tercapai, duapertiga dosis harian ini diberikan
pagi hari dan sepertiganya diberikan sore hari sebagai split-mixed dose.(6,7)

18
3. Natrium

Penderita dengan KAD kadang-kadang mempunyai kadar natrium serum


yang rendah, oleh karena level gula darah yang tinggi. Untuk tiap peningkatan
gula darah 100 mg/dl di atas 100 mg/dl maka kadar natrium diasumsikan lebih
tinggi 1,6 mEq/l daripada kadar yang diukur. Hiponatremia memerlukan koreksi
jika level natrium masih rendah setelah penyesuaian efek ini. Contoh, pada orang
dengan kadar gula darah 600 mg/dl dan level natrium yang diukur 130, maka level
natrium yang sebenarnya sebesar 130 + (1,6 x 5) = 138, sehingga tidak
memerlukan koreksi dan hanya memerlukan pemberian cairan normal saline
(NaCl 0,9%).

Sebaliknya kadar natrium dapat meningkat setelah dilakukan resusitasi


cairan dengan normal saline oleh karena normal saline memiliki kadar natrium
lebih tinggi dari kadar natrium ekstraselular saat itu disamping oleh karena air
tanpa natrium akan berpindah ke intraselular sehingga akan meningkatkan kadar
natrium.(8) Serum natrium yang lebih tinggi daripada 150 mEq/l memerlukan
koreksi dengan NaCl 0,45%.(7)

4. Kalium

Meskipun terdapat kekurangan kalium secara total dalam tubuh (sampai 3 –


5 mEq/kgBB), hiperkalemia ringan sampai sedang seringkali terjadi. Hal ini
terjadi karena shift kalium dari intrasel ke ekstrasel oleh karena asidosis,
kekurangan insulin, dan hipertonisitas, sehingga terapi insulin, koreksi asidosis,
dan penambahan volume cairan akan menurunkan konsentrasi kalium serum.
Untuk mencegah hipokalemia, penggantian kalium dimulai setelah kadar kalium
serum kurang dari 5,0, sumber lain menyebutkan nilai 5,5 mEq/l. Umumnya, 20 –
30 mEq kalium (2/3 KCl dan 1/3 KPO4) pada tiap liter cairan infus cukup untuk
memelihara kadar kalium serum dalam range normal 4 – 5 mEq/l.

Kadang- kadang pasien KAD mengalami hipokalemia yang signifikan. Pada


kasus tersebut, penggantian kalium harus dimulai dengan terapi KCl 40 mEq/l,
dan terapi insulin harus ditunda hingga kadar kalium > 3,3 mEq/l untuk

19
menghindari aritmia atau gagal jantung dan kelemahan otot pernapasan.(6,7) Terapi
kalium dimulai saat terapi cairan sudah dimulai, dan tidak dilakukan jika tidak ada
produksi urine, terdapat kelainan ginjal, atau kadar kalium > 6 mEq/l.(16)

5. Bikarbonat

Pemakaian bikarbonat pada KAD masih kontroversial. Pada pH > 7,0 ,


pengembalian aktifitas insulin memblok lipolisis dan memperbaiki ketoasidosis
tanpa pemberian bikarbonat. Studi random prospektif telah gagal menunjukkan
baik keuntungan atau kerugian pada perubahan morbiditas atau mortalitas dengan
terapi bikarbonat pada pasien KAD dengan pH antara 6,9 – 7,1. Tidak didapatkan
studi random prospektif yang mempelajari pemakaian bikarbonat pada KAD
dengan nilai pH < 6,9. Mengetahui bahwa asidosis berat menyebabkan banyak
efek vaskular yang tidak diinginkan, tampaknya cukup bijaksana menentukan
bahwa pada pasien dewasa dengan pH < 6,9 , 100 mmol natrium bikarbonat
ditambahkan ke dalam 400 ml cairan fisiologis dan diberikan dengan kecepatan
200 ml/jam. Pada pasien dengan pH 6,9 – 7,0, 50 mmol natrium bikarbonat
dicampur dalam 200 mlcairan fisiologis dan diberikan dengan kecepatan 200
ml/jam.

Natrium bikarbonat tidak diperlukan jika pH > 7,0. Sebagaimana natrium


bikarbonat, insulin menurunkan kadar kalium serum, oleh karena itu pemberian
kalium harus terus diberikan secara intravena dan dimonitor secara berkala.
Setelah itu pH darah vena diperiksa setiap 2 jam sampai pH menjadi 7,0 , dan
terapi harus diulangi setiap 2 jam jika perlu.(7)

6. Fosfat

Meskipun kadar fosfat tubuh secara keseluruhan mengalami penurunan


hingga 1,0 mmol/kgBB, kadar fosfat serum seringkali normal atau meningkat.
Kadar fosfat menurun dengan terapi insulin. Studi acak prospektif gagal untuk
menunjukkan efek menguntungkan dari pemberian fosfat pada hasil akhir pasien
KAD, dan terapi fosfat berlebihan dapat menyebabkan hipokalemia berat tanpa
bukti adanya tetanus.

20
Bagaimanapun untuk menghindari lemahnya otot rangka dan jantung serta
depresi pernapasan yang disebabkan hipofosfatemia, pemberian fosfat secara hati-
hati mungkin kadang- kadang diindikasikan pada pasien dengan kelainan jantung,
anemia, atau depresi pernapasan dan pada mereka dengan kadar serum posfat <
1,0 mg/dl. Ketika diperlukan, 20 – 30 mEq/l kalium fosfat dapat ditambahkan
pada terapi cairan yang telah diberikan. Untuk itu diperlukan pemantauan secara
kontinu.(7) Beberapa peneliti menganjurkan pemakaian kalium fosfat rutin karena
mereka percaya akan dapat menurunkan hiperkloremia setelah terapi dengan
membatasi pemberian anion Cl-. Pemberian fosfat juga mencetuskan
hipokalsemia simtomatis pada beberapa pasien.(9)

7. Magnesium

Biasanya terdapat defisit magnesium sebesar 1 – 2 mEq/l pada pasien KAD.


Kadar magnesium ini juga dipengaruhi oleh pemakaian obat seperti diuretik yang
dapat menurunkan kadar magnesium darah. Gejala kekurangan magnesium sangat
sulit dinilai dan sering tumpang tindih dengan gejala akibat kekurangan kalsium,
kalium atau natrium. Gejala yang sering dilaporkan adalah parestesia, tremor,
spame karpopedal, agitasi, kejang, dan aritmia jantung. Pasien biasanya
menunjukkan gejala pada kadar ≤ 1,2 mg/dl. Jika kadarnya di bawah normal
disertai gejala, maka pemberian magnesium dapat dipertimbangkan.(7)

8. Hiperkloremik asidosis selama terapi

Oleh karena pertimbangan pengeluaran keto acid dalam urine selama fase
awal terapi, substrat atau bahan turunan bikarbonat akan menurun. Sebagian
defisit bikarbonat akan diganti dengan infus ion klorida pada sejumlah besar salin
untuk mengkoreksi dehidrasi. Pada kebanyakan pasien akan mengalami sebuah
keadaan hiperkloremik dengan bikarbonat yang rendah dengan anion gap yang
normal. Keadaan ini merupakan kelainan yang ringan dan tidak akan berbahaya
dalam waktu 12 – 24 jam jika pemberian cairan intravena tidak diberikan terlalu
lama.(3)

21
9. Penatalaksaan terhadap Infeksi yang Menyertai

Antibiotika diberikan sesuai dengan indikasi, terutama terhadap faktor


pencetus terjadinya KAD.(3) Jika faktor pencetus infeksi belum dapat ditemukan,
maka antibiotika yang dipilih adalah antibiotika spektrum luas.(5)

10. Terapi Pencegahan terhadap Deep Vein Thrombosis (DVT)

Terapi pencegahan DVT diberikan terhadap penderita dengan risiko tinggi,


terutama terhadap penderita yang tidak sadar, immobilisasi, orang tua, dan
hiperosmolar berat. Dosis yang dianjurkan 5000 iu tiap 8 jam secara subkutan.(16)

Gambar 3. Bagan penatalaksanaan KAD(7)

22
II.8. PEMANTAUAN TERAPI

Semua pasien KAD harus mendapatkan evaluasi laboratorium yang


komprehensif termasuk pemeriksaan darah lengkap dengan profil kimia termasuk
pemeriksaan elektrolit dan analisis gas darah. Pemberian cairan dan pengeluaran
urine harus dimonitor secara hati-hati dan dicatat tiap jam. Pemeriksaan EKG
harus dikerjakan kepada setiap pasien, khususnya mereka dengan risiko
kardiovaskular.(9)

Terdapat bermacam pendapat tentang frekuensi pemeriksaan pada beberapa


parameter yang ada. ADA merekomendasikan pemeriksaan glukosa, elektrolit,
BUN, kreatinin, osmolalitas dan derajat keasaman vena tiap 2 – 4 jam sampai
keadaan stabil tercapai. Sumber lain menyebutkan pemeriksaan gula darah tiap 1
– 2 jam, elktrolit setiap 6 jam selama 24 jam selanjutnya tergantung keadaan,
analisis gas darah; bila pH<7 waktu masuk periksa setiap 6 jam sampai pH> 7,1
selanjutnya setiap hari sampai stabil, kemudian cek juga tekanan darah, nadi,
frekuensi pernafasan, temperatur, keadaan hidrasi, balans cairan dan waspada
kemungkinan DIC.(6)

Pemeriksaan kadar gula darah yang sering adalah penting untuk menilai
efikasi pemberian insulin dan mengubah dosis insulin ketika hasilnya tidak
memuaskan. Ketika kadar gula darah 250 mg/dl, monitor kadar gula darah dapat
lebih jarang (tiap 4 jam). Kadar elektrolit serum diperiksa dalam interval 2 jam
sampai 6 – 8 jam terapi. Jumlah pemberian kalium sesuai kadar kalium, terapi
fosfat sesuai indikasi. Titik terendah kadar kalium dan fosfat pada saat terapi
terjadi 4-6 jam setelah mulainya terapi.(7)

II.9. KOMPLIKASI

Komplikasi yang paling sering dari KAD adalah hipoglikemia oleh karena
penanganan yang berlebihan dengan insulin, hipokalemia yang disebabkan oleh
pemberian insulin dan terapi asidosis dengan bikarbonat, dan hiperglikemia
sekunder akibat pemberian insulin yang tidak kontinu setelah perbaikan tanpa
diberikan insulin subkutan. Umumnya pasien KAD yang telah membaik

23
mengalami hiperkloremia yang disebabkan oleh penggunaan cairan saline yang
berlebihan untuk penggantian cairan dan elektrolit dan non-anion gap metabolic
acidosis seperti klor dari cairan intravena mengganti hilangnya ketoanion seperti
garam natrium dan kalium selama diuresis osmotik. Kelainan biokemikal ini
terjadi sementara dan tidak ada efek klinik signifikan kecuali pada kasus gagal
ginjal akut atau oliguria ekstrem.(7)

Edema serebri umumnya terjadi pada anak-anak, jarang pada dewasa. Tidak
didapatkan data yang pasti morbiditas pasien KAD oleh karena edema serebri
pada orang dewasa. Gejala yang tampak berupa penurunan kesadaran, letargi,
penurunan arousal, dan sakit kepala. Kelainan neurologis dapat terjadi cepat,
dengan kejang, inkontinensia, perubahan pupil, bradikardia, dan kegagalan
respirasi.

Tabel 3. Komplikasi Akibat Penatalaksanaan KAD(5)

Meskipun mekanisme edema serebri belum diketahui, tampaknya hal ini


merupakan akibat dari masuknya cairan ke susunan saraf pusat lewat mekanisme
osmosis, ketika osmolaritas plasma menurun secara cepat saat terapi KAD.
Pencegahan yang tepat dapat menurunkan risiko edema serebri pada pasien risiko
tinggi, diantaranya penggantian cairan dan natrium secara bertahap pada pasien
yang hiperosmolar (penurunan maksimal pada osmolalitas 2 mOsm/kgH2O/jam),

24
dan penambahan dextrose untuk hidrasi ketika kadar gula darah mencapai 250
mg/dl.(7)

Hipoksemia dan kelainan yang jarang seperti edema paru nonkardiak dapat
sebagai komplikasi KAD. Hipoksemia terjadi mengikuti penurunan tekanan
koloid osmotik yang merupakan akibat peningkatan kadar cairan pada paru dan
penurunan compliance paru. Pasien dengan KAD yang mempunyai gradient
oksigen alveolo-arteriolar yang lebar yang diukur pada awal pemeriksaan analisa
gas darah atau dengan ronki pada paru pada pemeriksaan fisik tampaknya
mempunyai risiko tinggi untuk menjadi edema paru.(7)

II.10. DIAGNOSIS BANDING

1. Hyperglicemic Hyperosmolar State

Ialah suatu sindrom yang ditandai dengan hiperglikemia berat,


hyperosmolar, dehidrasi berat tanpa ketoasidosis disertai penurunan kesadaran.
Gejala klinik HHS sulit dibedakan dengan KAD terutama dari hasil laboratorium
seperti kadar gula darah, keton, dan keseimbangan asam-basa belum diketahui
hasilnya. Gejala klinik yang dapat dijadikan pegangan agar dapat membedakan
KAD dengan HHS :

a. Sering ditemukan pada usia lanjut yaitu sekitar >60 tahun, semakin
muda,semakin berkurang dan belum pernah ditemukan pada anak.
b. Hampir separuh pasien tidak mempunyai riwayat DM, atau diabetes
tanpa pengobatan insulin.
c. Mempunyai penyakit dasar lain. Sekitar 80% penderita HHS
mempunyai penyakit ginjal dan kardiovaskular, tirotoksikosis dan
penyakit cushing.
d. Sering disebabkan obat-obatan antara lain tiazid, sterois,
haloperidol,simetidin, dll
e.
Mempunyai factor pencetus seperti penyakit kardiovaskular,
pankreatitis,operasi.Pemeriksaan dapat membantu membedakan KAD
dengan HHS, adapun perbandingan hasil pemeriksaan KAD dengan HHS

25
sebagaimana terlampir pada tabel 2.Angka kematian pada HHS lebih
banyak dibandingkan KAD karena insidenlebih sering pada usia lanjut dan
berhubungan dengan penyakit kardiovaskular dan dehidrasi. Angka
kematian pada HHS sekitar 30-50%.(1,5,7)

2. Asidosis laktat

Merupakan komplikasi yang sangat jarang akaibat terapi dengan


metformin. Pasien datang biasanya dengan gejala malaise, anoreksia, muntah,
pernapasankussmaul (cepat dan dalam). Kadar glukosa biasanya normal, tidak
ditemukan benda keton dalam urin, dan analis gas darah menunjukkan asidosis
berat, aniongap meninggi. Terapi bersifat suportif dengan menghentikan
penggunaan metformin.(5)

II.11. PENCEGAHAN

Faktor pencetus utama KAD ialaha pemberian dosis insulin yang kurang
memadai dan kejadian infeksi. Pada beberapa kasus, kejadian tersebut dapat
dicegah dengan akses pada system pelayanan kesehatan lebih baik (termasuk
edukasi DM) dan komunikasi efektif terutama pada saat penyandang DM
mengalami sakit akut (misalnya batuk, pilek, diare, demam, luka).

Upaya pencegahan merupakan hal yang penting pada penatalaksanaan DM


secara komprehensif. Upaya pencegahan sekunder untuk mencegah terjadinya
komplikasi DM kronik dan akut melalui edukasi sangat penting untuk
mendapatkan ketaatan berobat pasien yang baik.

Khusus mengenai pencegahan KAD dan Hipoglikemia, program edukasi


perlu menekankan pada cara-cara mengatasi saat sakit akut, meliputi informasi
mengenai pemberian insulin kerja cepat, target kadar glukosa darah pada saat
sakit, mengatasi demam dan infeksi, memulai pemberian makanan cair
mengandung karbohidrat dan garam yang mudah dicerna.

Yang paling penting adalah agar tidak menghentikan pemberian insulin


atau obat hiperglikemik oral dan sebaiknya segera mencari pertolongan atau

26
nasihat tenaga kesehatan yang professional. Pasien DM harus didorong untuk
perawatan mandiri terutama saat mengalami masa-masa sakit, dengan melakukan
pemantauan kadar glukosa darah dan keton urin sendiri.

II.12. PROGNOSIS

Pada DM yang tidak terkendali dengan kadar gula darah yang terlalu
tinggi dan kadar hormon insulin yang rendah, tubuh tidak dapat menggunakan
glukosa sebagai sumber energi. Sebagai gantinya tubuh akan memecah lemak
untuk sumber energi.

Pemecahan lemak tersebut akan menghasilkan benda-benda keton dalam


darah(ketosis). Ketosis menyebabkan derajat keasaman (pH) darah menurun atau
disebutsebagai asidosis. Keduanya disebut sebagai ketoasidosis. Oleh karena itu
prognosis pada KAD masih tergolong dubia, tergantung pada usia,adanya infark
miokard akut, sepsis, syok. Pasien membutuhkan insulin dalam jangka panjang
dan kematian pada penyakit ini dalam jumlah kecil sekitar 5%.

INTUBASI ENDOTRAKEAL
Intubasi endotrakeal adalah suatu tehnik memasukkan suatu alat berupa
pipa ke dalam saluran pernafasan bagian atas. Tujuan dilakukannya intubasi
endotrakeal untuk mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas, mengendalikan
oksigenasi dan ventilasi, mencegah terjadinya aspirasi lambung pada keadaan
tidak sadar, tidak ada refleks batuk ataupun kondisi lambung penuh, sarana gas
anestesi menuju langsung ke trakea, membersihkan saluran trakeobronkial.17,18
Indikasi
 Keadaan oksigenasi yang tidak adekuat (karena menurunnya tekanan
oksigen arteri dan lain-lain) yang tidak dapat dikoreksi dengan pemberian
suplai oksigen melalui masker nasal.
 Keadaan ventilasi yang tidak adekuat karena meningkatnya tekanan
karbondioksida di arteri.
 GCS < 8
 Pernafasan irregular

27
 Frekuensi nafas < 10 atau > 40 kali permenit
 Volume tidal < 3,5 ml/kgBB
 Vital capacity < 15 ml/kgBB
 PaO2 < 70 mmHg
 PaCO2 > 50 mmHg
 Kebutuhan untuk mengontrol dan mengeluarkan sekret pulmonal atau
sebagai bronchial toilet.
 Menyelenggarakan proteksi terhadap pasien dengan keadaan yang gawat
atau pasien dengan refleks akibat sumbatan yang terjadi.20
Kontraindikasi
 Trauma servikal yang memerlukan keadaan imobilisasi tulang vertebra
servical, sehingga sangat sulit untuk dilakukan intubasi.
 Keadaan trauma atau obstruksi jalan nafas atas.
Penialaiam Jalan napas
Ada beberapa cara dalam mengidentifikasi sebanyak mungkin resiko akan
terjadinya kesulitan intubasi dan laringoskopi yaitu dengan teknik LEMON atau
MELON :
1. L (Look externally)
Hal yang perlu dievaluasi adalah dengan melihat seluruh bagian wajah.
Apakah ada hal - hal yang dapat menyebabkan kemungkinan sulit ventilasi
maupun intubasi seperti trauma pada wajah, lidah yang besar, protrusi gigi, leher
pendek, mandibula yang kecil.20
2. E (Evaluate 3 – 3 - 2)
Ditemukan oleh Patil pada tahun 1983 yang menemukan jarak thyromental
Langkah ini merupakan gabungan dari buka mulut dan ukuran mandibula
terhadap posisi laring. Normalnya 65 mm, namun bila kurang dari 60 mm,
kemungkinan sulit untuk dilakukan intubasi. Evaluasi buka mulut juga penting.
Pasien normal bisa membuka mulutnya dengan jarak 3 jari antara gigi seri. Jarak
thyromental direpresentasikan dengan 3 jari pasien antara ujung mentum, tulang
hioid dan 2 jari antara tulang hioid dan takik tiroid. Dalam aturan 3-3-2 yaitu:
 Angka 3 yang pertama adalah kecukupan akses oral

28
 Angka 3 yang kedua adalah kapasitas ruang mandibula untuk memuat
lidah ketika laringoskopi. Kurang atau lebih dari 3 jari dapat dikaitkan
dengan peningkatan kesulitan.
 Angka 2 yang terakhir mengidentifikasi letak laring berkaitan dengan
dasar lidah. Bila lebih dari 2 jari maka letak laring lebih jauh dari dasar
lidah, sehingga mungkin menyulitkan dalam hal visualisasi glottis.21

3. M (Mallampaty score)
Skor mallampati atau klasifikasi mallampati adalah sistem skor medis
yang digunakan dibidang anestesiologi untuk menentukan level kesulitan dan bisa
menimbulkan resiko pada intubasi pasien yang sedang menjalani proses
pembedahan. Hasil menentukan tingkat yang dibedakan dari I sampai IV. Kelas I
mengindikasikan seorang pasien yg seharusnya lebih mudah diintubasi. Tingkat
tertinggi, kelas IV ditujukan ditujukan kepada pasien dengan resiko tinggi,
komplikasi. Klasifikasi mallampati ditentukan oleh pengamatan visual dari rongga
mulut .Klasifikasi Mallampati :
 Mallampati 1 : Palatumole, ufula, dinding posterial urofaring, pilar
tonsil
 Mallampati 2 : Palatumole, sebagian ufula, dinding posterial ufula
 Mallampati 3 : Palatumole, dasar ufula
 Mallampati 4 : Palatudurum saja

29
1. O (Obstruction)
Adanya pertanda kesulitan jalan napas harus selalu kita
pertimbangkan sebagai akibat adanya obstruksi pada jalan napas. 3 tanda
utama adanya obstruksi yaitu muffled voice (hot potato voice), adanya
kesulitan menelan ludah (karena nyeri atau obstruksi) dan adanya stridor.20
2. N (Neck mobility)
Keterbatasan mobilisasi leher harus dipertimbangan sebagai suatu
kesulitan dalam intubasi. Mobilisasi leher dapat dinilai dengan Ekstensi
sendi atlanto-oksipital yaitu posisi leher fleksi dengan menyuruh pasien
memfleksikan kepalanya kemudian mengangkat mukanya, hal ini untuk
menguji ekstensi daripada sendi atlanto - oksipital. Aksis oral, faring dan
laring menjadi satu garis lurus dikenal dengan posisi Magill. Nilai
normalnya adalah 35 derajat. 19,20
Cormack dan Lehane membuat skala yang menggambarkan derajat
visualisasi laring pada saat laringoskopi. Skor Cormack-Lehane harus
dinilai pada saat visualisasi laring yang paling baik, dengan pasien berada
dalam posisi sniffing yang optimal, keadaan relaksasi otot yang baik, teknik
laringoskopi yang benar, dan bergantung pada keterampilan serta
kemampuan individu yang melakukan laringoskopi.19,20
Peralatan
 STATICS:
 Scope: Laryngoscope, Stethoscope
 Tube: siapkan 3 nomor ukuran
 Airway: Bagging, Face mask, OPT/NPT
 Tape: plester
 Introducer: Stylet, Magill forceps
 Connector: konektor Oksigen
 Suction: peralatan suction yang berfungsi baik.21

Ilmu Anastesi dan Reanimasi I 31


BAB III
TINJAUAN KASUS

I. ANAMNESIS (14 Oktober 2019)


a. Identitas Pasien
Nama : Ny. F
Usia : 50 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Surabaya
Pendidikan : S1
Pekerjaan : Pensiunan
Suku : Jawa
Status Perkawinan : Menikah
Tanggal MRS : RES (14 Oktober 2019)

b. Keluhan utama :
Penurunan kesadaran
c. Riwayat penyakit sekarang :
Pasien datang ke RSI jemursari tanggal 14 Oktober 2019 rujukan dari
Rumah Sakit Mitra. Pasien datang dalam keadaan penurunan
kesadaran. Pasien mengalami penurunan kesadaran sejak tadi pagi.
Sejak 3 hari yang lalu pasien mengeluhkan lemas tetapi masih bisa di
ajak bicara dan nyambung, tetapi sejak tadi pagi pasien mengalami
sesak nafas dan penurunan kesadaran dan susah untuk diajak
berkomunikasi. Keluhan demam disangkal, mual dan muntah
disangkal, BAK dan BAB normal.
d. Riwayat penyakit dahulu :
 Riwayat DM + sudah lama
 Riwayat asma disangkal, riwayat alergi disangkal.

Ilmu Anastesi dan Reanimasi I 32


e. Riwayat Penyakit Keluarga :
 Tidak ada sakit seperti ini pada keluarga pasien
f. Riwayat Sosial dan Kebiasaan :
 Tidak ada
g. Riwayat minum obat :
 Penggunaan insulin tetapi keluarga pasien lupa dosisnya.

II. PEMERIKSAAN FISIK (14 Oktober 2019)


a. Pemeriksaan Umum
 Keadaan umum : Lemah
 Kesadaran : Delirium, GCS: 325
 Personal hygiene : Baik
 BB : 70 kg
 TB : 150 cm
 Status Gizi : Baik
b. Tanda Vital
 Tekanan darah : 131/85 mmHg (berbaring, lengan kanan)
 Nadi : 127x/menit (teratur, kuat angkat)
 Suhu : 37,5 C (aksiler)
 Frekuensi nafas : 40-50x/menit
 Saturasi Oksigen : 99% (dengan O2 masker 8lpm)
c. Kulit, Rambut, Kuku
 Tonus normal, turgor normal, kulit normal, rambut rontok (-),
koilonichia (-), ikterus (-), CRT < 2 detik.
d. Kepala
 Pupil bulat isokor: 3mm/3mm, refleks cahaya (+)/(+)
 Konjungtiva anemis (-), sklera ikterus (-)
 Pendarahan nasal (-), deviasi septum nasal (-), fraktur os nasal (-),
pernafasan cuping hidup (+)
 Sekret keluar dari telinga (-), bloody ottorhea (-)
 Mukosa bibir kering, muntah darah (-)

Ilmu Anastesi dan Reanimasi I 33


e. Leher
 Pembesaran kelenjar getah bening (-)
 Pembesaran kelenjar tiroid (-)
 Deviasi trachea (-).
 Pulsasi arteri karotis (+), peningkatan JVP (-).
f. Thorax
 Bentuk simetris, jejas (-)
 Cor:
 Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat, pulsasi jantung
tidak terlihat
 Palpasi : Iktus kordis teraba pada ICS 4 MCL
sinistra.
 Perkusi : Batas kanan jantung terletak di ICS 3
parasternal line dextra, batas kiri jantung
terletak di ICS 4 MCL sinistra
 Auskultasi : S1/S2 tunggal, mur-mur (-), gallop (-).
 Paru :
 Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris.
 Palpasi : fremitus raba sama kanan dan kiri
 Perkusi : sonor/sonor
 Auskultasi : Suara nafas vesikuler di paru bagian
Kanan dan kiri.
g. Abdomen
 Inspeksi : Flat, tidak ada penonjolan, tidak ada bekas
Luka operasi tidak ada tumor, tidak ada
dilatasi vena (-), jejas (-)
 Auskultasi : Bising usus (+) normal
 Palpasi : Soepel, nyeri tekan (-). Hepar/lien/renal
tidak teraba. Turgor normal, tonus normal,
undulasi (-)

 Perkusi : Timpani di seluruh abdomen, shifting

Ilmu Anastesi dan Reanimasi I 34


dullness (-)
h. Ekstremitas :
 Seluruh ekstremitas hangat, kering, merah. Oedema (-), eritema
palmaris (-), ikterus (-), deformitas sendi (-), tremor (-), bekas luka
(-), jejas (-), ruam (-), ptekie (-).

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Darah Lengkap

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan


Darah lengkap
Leukosit 12.30 Ribu/uL 4, 7 - 17, 0
Basophil 1, 186 % 0 -1
Neutrophil 71,78 % 39,3 – 73,7
Limfosit 18,040 % 25 – 40
Eosinophil 2.621 % 2–4
Monosit 6, 374 % 2–8
Eritrosit 5,47 Juta/ uL 3,0 – 5,3
Haemoglobin 15,79 g/dl 10,5 – 15,0
Hematokrit 50,9 % 29 - 43
Indeks eritrosit
MCV 93,0 fL 70 – 110
MCH 28,9 Pg 24 – 38
MCHC 31,0 % 32 – 36
RDW-CV 13, 6 % 11,5 – 14,5
Trombosit 295 Ribu/uL 150 – 440
MPV 9, 866 fL 7,2 – 11,1

Ilmu Anastesi dan Reanimasi I 35


Urine lengkap

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan


Urine lengkap
warna urine Kuning Kuning
Kejernihan urine Agak Keruh Jernih
pH urine 5,0 5–8
Specific gravity 1.015 1,005 – 1,030
Nitrit urine Positive Negative
Protein urine +2 Negative
Glukosa urine +4 Negative
Keton urine +2 Negative
Urobilinogen urine 3,2 mg/dL 3,2 – 16
Lekosit urine +1 Negative
Bilirubin urine Negative Negative
Blood +2 Negative
Mikroskopis urine
Eritrosit 3-5 plp 0–1
Lekosit 3-5 plp 0–1
Sel epitel 0-1 plp 0–1
Kristal Negative Negative
Bakteri Positive Negative
Jamur Negative Negative
Parasite Negative Negative
Cast Negative Negative
Lain-lain Negative Negative

Ilmu Anastesi dan Reanimasi I 36


Blodd Gas Analisa (asidosis metabolic terkompensasi partial)

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan


Blodd Gas Analisa
pH 7,322 7,35-7,45
PCO2 23,1 mmHg 35-45
PO2 178,0 mmHg 80-100
HCO3 12,1 Mmol/L 22-26
FIO2 29,0
BE -14 Mmol/L -2 s/d +2
TCO 13,0 Mmol/L
Sat O2 100 % >95%
O2 ct -

Glukosa darah Acak


GLUKOSA DARAH
Glukosa Darah Acak (17.00) HIGH mg/dl
Glukosa Darah Acak (20.00) HIGH mg/dl
Glukosa Darah Acak LAB (20.00) 424 mg/dl
Glukosa Darah Acak (23.00) 272 mg/dl
Glukosa Darah Acak (24.00) 207 mg/dl

Ilmu Anastesi dan Reanimasi I 37


Foto Thorax AP

Hasil :
Cor : bentuk dan besar normal
Pulmo :
Sinus phreniccostalis kanan dan kiri tajam
Tulang-tulang dan soft tissue dalam batas normal
Kesimpulan : foto thorax dalam batas normal

I. DIAGNOSIS

a. Diagnosis Kerja
Ketoasidosis Diabetikum
b. Diagnosis Akhir
Ketoasidosis Diabetikum

Ilmu Anastesi dan Reanimasi I 38


II. RESUME
Seorang perempuan usia 50 tahun datang dengan keluhan penurunan
kesadaran sejak tadi pagi. Sejak 3 hari yang lalu pasien mengeluhkan lemas
tetapi masih bisa di ajak bicara dan nyambung, tetapi sejak tadi pagi pasien
mengalami sesak nafas dan penurunan kesadaran dan susah untuk diajak
berkomunikasi. Dengan diagnosis Ketoasidosis Diabetikum. Tindakan yang
akan dilakukan adalah Stabilisasi airway, breathing, circulation dan
disability, terapi cairan dan terapi insulin.

IV. Tatalaksana
Airway : Jalan nafas bebas
Breathing : 02 masker 8 lpm
Circulation : IV line
Disability : In line mobilization
Inf asering 2ltr/4jam lanjut pz 500cc/1jam
Inj. Ceftriaxone 2x1g
Novorapid pump 4ui/jam cek gda tiap 3 jam

V. FOLLOW UP
Pukul 19.30
S : kesadaran pasien menurun dan sesak nafas
O:
B1 : napas spontan, o2 masker 8 lpm, SpO2 : 99 %, RR 40-50x/menit
B2 : TD : 131/85, N : 127x/menit, T : 37,5
B3 : GCS : 224, skala nyeri : 3
B4 : Kateter urine (+), produksi urine 100 cc
B5 : Soepel, Bu (+)
B6 : MMT + +
+ +

Ilmu Anastesi dan Reanimasi I 39


A : KAD
DM hiperglikemi
P:
Inf asering 2ltr/4jam lanjut pz 500cc/1jam
Inj. Ceftriaxone 2x1g
Inj. Antrain 1gr extra
Vascon pump 100 nano
Novorapid pump 4ui/jam cek gda tiap 3 jam
Pasang NGT no 16 dengan kedalaman 50cm

Pukul 20.00
S : kesadaran pasien menurun, demam dan sesak nafas
O :
B1 : napas spontan, o2 masker 8 lpm, SpO2 : 99 %, RR 49x/mnt
B2 : TD : 154/89 mmhg, N: 128x/menit, T :38,4
B3 : GCS : 224, Skala nyeri : 3
B4 : Kateter urine (+), produksi urine 200 cc
B5 : Soepel, Bu (+)
B6 : MMT + +
+ +
A : KAD
DM hiperglikemi
P :

Observasi kesadaran
Inf asering 2ltr/4jam lanjut pz 500cc/1jam
Inj. Ceftriaxone 2x1
Inj. Antrain 1gr extra
Vascon pump 100 nano
Novorapid pump 4ui/jam cek gda tiap 3 jam

Ilmu Anastesi dan Reanimasi I 40


Pukul 23.30
S : kesadaran semakin menurun, SPO2 turun, sempat apnea 2x
O:
B1 : oksigenasi menggunakan BVM, SpO2 : 60%, RR : gasping

B2 : TD : 97/57 mmhg, N: 40x/menit

B3 : GCS : 111

B4 : Kateter urine (+), produksi urine 200 cc

B5 : Soepel, Bu (+)

B6 : MMT + +
+ +

A : KAD

Dm hiperglikemi

P : advis dr sri martini Sp.PD


- Vascon 50 nano
- Konsul ke spesialis anestesi ( pemasangan ETT/intubasi)
Persiapan Intubasi
Alat dan Bahan :
 Laringoskop
 ETT no.7.0
 Xylocain spray
 Inj, Sulfas Atropin 2 mg
 Ventilator
 Spuit 5 cc
 Plaster
Pasien posisi supine
Premedikasi SA 2 mg
Oksigenasi via BVM, lakukan Sellick Manuver
Intubasi dengan ETT ID 7.0 sedalam ± 20 cm
Cek bunyi pernapasan ki=ka, Rh -/-, wh -/-

Ilmu Anastesi dan Reanimasi I 41


Fiksasi ETT di sudut kanan bibir  Disambungkan dengan ventilator
VC, MV 7, Fr 30 peep 8, TG 2 FiO2 80%, SpO2 : 99%

Pukul 24.00
S : kesadaran semakin menurun, SPO2 turun, apnea 6x dan cardiac arest
O:
B1 : napas spontan, oksigenasi menggunakan BVM, SpO2 : 60%, RR :
gasping

B2 : TD : 80/40 mmhg, N: 30x/menit

B3 : GCS : 111

B4 : Kateter urine (+), produksi urine 200 cc

B5 : Soepel, Bu (+)

B6 : MMT - -
- -

A : KAD

Dm hiperglikemi

P : - RJPO
- Inj. Adrenalin (Epinefrin) 1amp tiap 3 menit (15 amp)

 Tanggal 15 oktober 2019, Pukul 01.00 pasien dinyatakan meninggal

Ilmu Anastesi dan Reanimasi I 42


BAB IV
PENUTUP

4.1 KESIMPULAN

Keberhasilan penatalaksanaan KAD membutuhkan koreksi dehidrasi,


hiperglikemia, asidosis dan kelainan elektrolit, identifikasi faktor presipitasi
komorbid, dan yang terpenting adalah pemantauan pasien terus menerus.
Penatalaksanaan KAD meliputi terapi cairan yang adekuat, pemberian insulin
yang memadai, terapi kalium, bikarbonat, fosfat, magnesium, terapi terhadap
keadaan hiperkloremik serta pemberian antibiotika sesuai dengan indikasi. Faktor
yang sangat penting pula untuk diperhatikan adalah pengenalan terhadap
komplikasi akibat terapi sehingga terapi yang diberikan tidak justru
memperburuk kondisi pasien.

Ilmu Anastesi dan Reanimasi I 43


DAFTAR PUSTAKA

1. Soewondo P. Ketoasidosis Diabetik. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,


Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. 4th ed.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006.
p.1874-7.
2. Van Zyl DG. Diagnosis and Treatment of Diabetic Ketoacidosis. SA Fam
Prac 2008;50:39-49.
3. Masharani U. Diabetic Ketoacidosis. In: McPhee SJ, Papadakis MA, editors.
Lange current medical diagnosis and treatment. 49th ed. New York: Lange;
2010. p.1111-5.
4. Chiasson JL. Diagnosis and Treatment of Diabetic Ketoacidosis and The
Hyperglycemic Hyperosmolar State. Canadian Medical Association Journal
2003;168(7): p.859-66.
5. Yehia BR, Epps KC, Golden SH. Diagnosis and Management of Diabetic
Ketoacidosis in Adults. Hospital Physician 2008. p. 21-35.
6. Umpierrez GE, Murphy MB, Kitabachi AE. Diabetic Ketoacidosis and
Hyperglycemic Hyperosmolar Syndrome. Diabetes Spectrum 2002;15(1):28-
35.
7. American Diabetes Association. Hyperglycemic Crisis in Diabetes. Diabetes
Care 2004;27(1):94- 102.
8. Alberti KG. Diabetic Acidosis, Hyperosmolar Coma, and Lactic Acidosis.
In: Becker KL, editor. Principles and practice of endocrinology and
metabolism. 3rd ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2004.
p.1438-49.
9. Ennis ED, Kreisberg RA. Diabetic Ketoacidosis and The Hyperglycemic
Hyperosmolar Syndrome. In: LeRoith D, Taylor SI, Olefsky JM, editors.
Diabetes mellitus a fundamental and clinical text. 2nd ed. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins;2000. p.336-46.
10. Wallace TM, Matthews DR. Recent Advances in The Monitoring and
Management of Diabetic Ketoacidosis. Q J Med 2004;97(12):773-80.
11. Trachtenbarg DE. Diabetic Ketoacidosis. American Family Physician

Ilmu Anastesi dan Reanimasi I 44


2005;71(9): 1705-14.
12. Kitabachi AE, Wall BM. Management of Diabetic Ketoacidosis. American
Family Physician 1999;60:455-64.
13. Wolfsdore JW, Glaser N, Sperling MA. Diabetic Ketoacidosis in Infants,
Children, and Adolescents. Diabetes Care 2006;29(5):1150-6.
14. Powers AC. Diabetes Mellitus. In: Jameson JL, editor. Harrison’s
endocrinology. New York: McGraw-Hill;2006.p.283-332.
15. Guneysel O, Guralp I, Onur O. Bicarbonate Therapy in Diabetic
Ketoacidosis. Bratisl Lek Listy 2009;109(10):453-4.
16. NN. Diabetic Ketoacidosis, Epistaxis, Sepsis, Dyspneu. The medical student
forum. Available at: http//.www.medkaau.com. Accessed on: September
23rd, 2012.
17. Ollerton, Joe, Dr. 2016. Emergency Airway Management CPG in the Trauma
Patient. Institute of Trauma & Injury Management. Liverpool Hospital.
18. Rao, U. Airway Management in Neurosurgical Patients. 2005. In: Indian
Journal Anaesthesi 49(4): 336-343.
19. Japardi iskandar. 2004. Penatalaksanaan Cedera Kepala secara Operatif .
Sumatra Utara: USU Press.
20. Kluwer wolters. 2009. Trauma and acute care surger. Philadelphia:
Lippicott Williams and Wilkins.
21. Tjunt, Early. 2010. Anatomy and Physiology, FA Davis Company,
Philadelphia.

Ilmu Anastesi dan Reanimasi I 45

Anda mungkin juga menyukai