“KETOASIDOSIS DIABETIKUM”
Diajukan sebagai salah satu syarat dalam menjalani Kepaniteraan Klinik
di Bagian/ SMF Anestesiologi dan Reanimasi
Fakultas Kedokteran Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya
Oleh :
Imam Dwi Wahyudi
6120018019
Pembimbing :
Oleh:
Mengesahkan,
Dokter Pembimbing
2
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.................................................................................................... 3
Definisi............................................................................................................. 5
Epidemiologi .................................................................................................... 5
Patofisiologi ..................................................................................................... 7
Diagnosis ....................................................................................................... 10
Penatalaksanaan ............................................................................................. 12
Komplikasi ..................................................................................................... 23
Pencegahan .................................................................................................... 26
Prognosis ........................................................................................................ 27
3
BAB I
PENDAHULUAN
KAD dilaporkan bertanggung jawab untuk lebih dari 100.000 pasien yang
dirawat per tahun di Amerika Serikat. Walaupun data komunitas di Indonesia
belum ada, agaknya insiden KAD di Indonesia tidak sebanyak di negara barat,
mengingat prevalensi DM tipe 1 yang rendah. Laporan insiden KAD di Indonesia
umumnya berasal dari data rumah sakit dan terutama pada pasien DM tipe 2.(1)
Angka kematian pasien dengan KAD di negara maju kurang dari 5% pada
banyak senter, beberapa sumber lain menyebutkan 5 – 10%, 2 – 10%, atau 9 –
10%. Sedangkan di klinik dengan sarana sederhana dan pasien usia lanjut angka
kematian dapat mencapai 25 – 50%. Angka kematian menjadi lebih tinggi pada
beberapa keadaan yang menyertai KAD, seperti sepsis, syok berat, infark miokard
akut yang luas, pasien usia lanjut, kadar glukosa darah awal yang tinggi, uremia
dan kadar keasaman darah yang rendah. Kematian pada pasien KAD usia muda
umumnya dapat dihindari dengan diagnosis cepat, pengobatan yang tepat dan
rasional sesuai dengan patofisiologinya. Pada pasien kelompok usia lanjut,
penyebab kematian lebih sering dipicu oleh faktor penyakit dasarnya.(1)
Mengingat pentingnya pengobatan rasional dan tepat untuk menghindari kematian
pada pasien KAD usia muda, maka selanjutnya akan dibicarakan tentang
penatalaksanaan KAD disertai dengan komplikasi akibat penatalaksanaannya.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. DEFINISI
II.2. EPIDEMIOLOGI
KAD dilaporkan bertanggung jawab untuk lebih dari 100.000 pasien yang
dirawat per tahun di Amerika Serikat.(6) Walaupun data komunitas di Indonesia
belum ada, agaknya insiden KAD di Indonesia tidak sebanyak di negara barat,
mengingat prevalensi DM tipe 1 yang rendah. Laporan insiden KAD di Indonesia
umumnya berasal dari data rumah sakit dan terutama pada pasien DM tipe 2.(1)
Angka kematian pasien dengan KAD di negara maju kurang dari 5% pada
banyak senter, beberapa sumber lain menyebutkan 5 – 10%2, 2 – 10%, atau 9-
10%.(1) Sedangkan di klinik dengan sarana sederhana dan pasien usia lanjut angka
kematian dapat mencapai 25 – 50%. Angka kematian menjadi lebih tinggi pada
beberapa keadaan yang menyertai KAD, seperti sepsis, syok berat, infark miokard
akut yang luas, pasien usia lanjut, kadar glukosa darah awal yang tinggi, uremia
dan kadar keasaman darah yang rendah.
Kematian pada pasien KAD usia muda umumnya dapat dihindari dengan
5
diagnosis cepat, pengobatan yang tepat dan rasional sesuai dengan
patofisiologinya. Pada pasien kelompok usia lanjut, penyebab kematian lebih
sering dipicu oleh faktor penyakit dasarnya.(1)
Terdapat sekitar 20% pasien KAD yang baru diketahui menderita DM untuk
pertama kalinya. Pada pasien KAD yang sudah diketahui DM sebelumnya, 80%
dapat dikenali adanya faktor pencetus, sementara 20% lainnya tidak diketahui
faktor pencetusnya.(1,6)
Faktor pencetus tersering dari KAD adalah infeksi, dan diperkirakan sebagai
pencetus lebih dari 50% kasus KAD.(6-8) Pada infeksi akan terjadi peningkatan
sekresi kortisol dan glukagon sehingga terjadi peningkatan kadar gula darah yang
bermakna. Faktor lainnya adalah cerebrovascular accident, alcohol abuse,
pankreatitis, infark jantung, trauma, pheochromocytoma, obat, DM tipe 1 yang
baru diketahui dan diskontinuitas (kepatuhan) atau terapi insulin inadekuat.(1,2,5-8)
Kepatuhan akan pemakaian insulin dipengaruhi oleh umur, etnis dan faktor
komorbid penderita.(5) Faktor lain yang juga diketahui sebagai pencetus KAD
adalah trauma, kehamilan, pembedahan, dan stres psikologis. Infeksi yang
diketahui paling sering mencetuskan KAD adalahinfeksi saluran kemih dan
pneumonia.(5,6) Pneumonia atau penyakit paru lainnya dapat mempengaruhi
oksigenasi dan mencetuskan gagal napas, sehingga harus selalu diperhatikan
sebagai keadaan yang serius dan akan menurunkan kompensasi respiratorik dari
asidosis metabolik.(2) Infeksi lain dapat berupa infeksi ringan seperti skin lesion
atau infeksi tenggorokan. Obat-obatan yang mempengaruhi metabolisme
karbohidrat seperti kortikosteroid, thiazid, pentamidine, dan obat simpatomimetik
6
(seperti dobutamin dan terbutalin), dapat mencetuskan KAD. Obat-obat lain yang
diketahui dapat mencetuskan KAD diantaranya beta bloker, obat antipsikotik, dan
fenitoin, Pada pasien usia muda dengan DM tipe 1, masalah psikologis yang
disertai kelainan makan memberikan kontribusi pada 20% KAD berulang.
7
hiperglikemia. Mekanisme yang mendasari peningkatan produksi benda keton
telah dipelajari selama ini. Kombinasi defisiensi insulin dan peningkatan
konsentrasi hormon kontraregulator menyebabkan aktivasi hormon lipase yang
sensitif pada jaringan lemak. Peningkatan aktivitas ini akan memecah trigliserid
menjadi gliserol dan asam lemak bebas (free fatty acid/FFA). Diketahui bahwa
gliserol merupakan substrat penting untuk glukoneogenesis pada hepar,
sedangkan pengeluaran asam lemak bebas yang berlebihan diasumsikan sebagai
prekursor utama dari ketoasid.
8
Gambar 2. Proses Ketogenesis di Hepar(1)
Pada hepar, asam lemak bebas dioksidasi menjadi benda keton yang
prosesnya distimulasi terutama oleh glukagon. Peningkatan konsentrasi glukagon
menurunkan kadar malonyl coenzyme A (Co A) dengan cara menghambat
konversi piruvat menjadi acetyl Co A melalui inhibisi acetyl Co A carboxylase,
enzim pertama yang dihambat pada sintesis asam lemak bebas. Malonyl Co A
menghambat camitine palmitoyl- transferase I (CPT I), enzim untuk transesteri¿
kasi dari fatty acyl Co A menjadi fatty acyl camitine, yang mengakibatkan
oksidasi asam lemak menjadi benda keton. CPT I diperlukan untuk perpindahan
asam lemak bebas ke mitokondria tempat dimana asam lemak teroksidasi.
Peningkatan aktivitas fatty acyl Co A dan CPT I pada KAD mengakibatkan
peningkatan ketongenesis.(6)
9
II.5. GEJALA KLINIS
Tujuh puluh sampai sembilan puluh persen pasien KAD telah diketahui
menderita DM sebelumnya. Sesuai dengan patofisiologi KAD, akan dijumpai
pasien dalam keadaan ketoasidosis dengan pernapasan cepat dan dalam
(Kussmaul), berbagai derajat dehidrasi (turgor kulit berkurang, lidah dan bibir
kering), kadang-kadang disertai hipovolemia sampai syok. Keluhan poliuria dan
polidipsi seringkali mendahului KAD, serta didapatkan riwayat berhenti
menyuntik insulin, demam, atau infeksi. (1)
II.6. DIAGNOSIS
Langkah pertama yang harus diambil pada pasien KAD terdiri dari
anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cepat dan teliti terutama memperhatikan
patensi jalan napas, status mental, status ginjal dan kardiovaskular, dan status
hidrasi. Langkah-langkah ini harus dapat menentukan jenis pemeriksaan
laboratorium yang harus segera dilakukan, sehingga penatalaksanaan dapat segera
dimulai tanpa adanya penundaan.(1)
10
sensoria, dan akhirnya koma. Pemeriksaan klinis termasuk turgor kulit yang
menurun, respirasi Kussmaul, takikardia, hipotensi, perubahan status mental,
syok, dan koma. Lebih dari 25% pasien KAD menjadi muntah-muntah yang
tampak seperti kopi.
11
Tabel 1. Kriteria diagnostik KAD menurut American Diabetes Association(7)
II.7. PENATALAKSANAAN
12
komorbid, dan yang terpenting adalah pemantauan pasien terus menerus.(3,7)
Berikut ini beberapa hal yang harus diperhatikan pada penatalaksanaan KAD.
1. Terapi cairan
Rumus lain yang dapat dipakai untuk menentukan derajat dehidrasi adalah
dengan menghitung osmolalitas serum total dan corrected serum sodium
concentration.
Nilai corrected serum sodium concentration > 140 dan osmolalitas serum total >
330 mOsm/kg air menunjukkan defisit cairan yang berat.(12) Penentuan derajat
dehidrasi dengan gejala klinis seringkali sukar dikerjakan, namun demikian
13
beberapa gejala klinis yang dapat menolong untuk menentukan derajat dehidrasi
adalah.(13) :
Tidak ada uji klinik yang membuktikan kelebihan pemakaian salah satu
jenis cairan.(2) Kebanyakan ahli menyarankan pemakaian cairan fisiologis (NaCl
0,9%) sebagai terapi awal untuk resusitasi cairan. Cairan fisiologis (NaCl 0,9%)
diberikan dengan kecepatan 15 – 20 ml/kgBB/jam atau lebih selama jam pertama
(± 1 – 1,5 liter). Sebuah sumber memberikan petunjuk praktis pemberian cairan
sebagai berikut: 1 liter pada jam pertama, 1 liter dalam 2 jam berikutnya,
kemudian 1 liter setiap 4 jam sampai pasien terehidrasi.
14
kemungkinan terjadinya hiperkloremia yang umumnya terjadi pada pemakaian
normal saline(14) dan berdasarkan strong- ion theory untuk asidosis (Stewart
hypothesis).(2)
Ketika kadar gula darah mencapai 250 mg/dl, cairan diganti atau
ditambahkan dengan cairan yang mengandung dextrose seperti (dextrose 5%,
dextrose 5% pada NaCl 0,9%, atau dextrose 5% pada NaCl 0,45%) untuk
menghindari hipoglikemia dan mengurangi kemunginan edema serebral akibat
penurunan gula darah yang terlalu cepat.(2,3,5,14)
15
Tabel 2. Perkiraan jumlah total defisit air dan elektrolit pada pasien KAD(7)
2. Terapi Insulin
Terapi insulin harus segera dimulai sesaat setelah diagnosis KAD dan
rehidrasi yang memadai.(1) Sumber lain menyebutkan pemberian insulin dimulai
setelah diagnosis KAD ditegakkan dan pemberian cairan telah dimulai.(12)
Pemakaian insulin akan menurunkan kadar hormon glukagon, sehingga menekan
produksi benda keton di hati, pelepasan asam lemak bebas dari jaringan lemak,
pelepasan asam amino dari jaringan otot dan meningkatkan utilisasi glukosa oleh
jaringan.(1,6) Sampai tahun 1970-an penggunaan insulin umumnya secara bolus
intravena, intramuskular, ataupun subkutan.
16
hipokalemia (K < 3,3 mEq/l), dapat diberikan insulin regular 0,15 u/kg BB,
diikuti dengan infus kontinu 0,1 u/kgBB/jam (5 – 7 u/jam). Jika kadar kalium <
3,3 mEq/l, maka harus dikoreksi dahulu untuk mencegah perburukan hipokalemia
yang akan dapat mengakibatkan aritmia jantung.(6,12)
Pada kondisi klinik pemberian insulin intravena tidak dapat diberikan, maka
insulin diberikan dengan dosis 0,3 iu (0,4 – 0,6 iu)/ kgBB yang terbagi menjadi
setengah dosis secara intravena dan setengahnya lagi secara subkutan atau
intramuskular, selanjutnya diberikan insulin secara intramuskular atau subkutan
0,1 iu/kgBB/ jam, selanjutnya protokol penatalaksanaannya sama seperti
pemberian drip intravena.(12) Perbaikan ketonemia memerlukan waktu lebih lama
daripada hiperglikemia. Pengukuran langsung β-OHB (beta hidroksi butirat) pada
darah merupakan metoda yang lebih disukai untuk pemantauan KAD. Selama
terapi β-OHB berubah menjadi asam asetoasetat, yang menandakan bahwa ketosis
memburuk. Selama terapi KAD harus diperiksa kadar elektrolit, glukosa, BUN,
serum kreatinin, osmolalitas, dan derajat keasaman vena setiap 2 – 4 jam, sumber
lain menyebutkan bahwa kadar glukosa kapiler diperiksa tiap 1 – 2 jam.(6)
Pada KAD ringan, insulin regular dapat diberikan secara subkutan atau
intramuskular setiap jam dengan efektifitas yang sama dengan pemberian
intravena pada kadar gula darah yang rendah dan keton bodies yang rendah.
Efektifitas pemberian insulin dengan intramuskular dan subkutan adalah sama,
namun injeksi subkutan lebih mudah dan kurang menyakitkan pasien. Pasien
17
dengan KAD ringan harus mendapatkan “priming dose” insulin regular 0,4 – 0,6
u/kgBB, setengah dosis sebagai bolus dan setengah dosis dengan subkutan atau
injeksi intramuskular. Selanjutnya diberikan insulin subkutan atau intramuskular
0,1 u/kgBB/jam.
Kriteria resolusi KAD diantaranya adalah kadar gula darah < 200 mg/dl,
serum bikarbonat ≥ 18 mEq/l, pH vena > 7,3, dan anion gap ≤ 12 mEq/l. Saat ini,
jika pasien NPO, lanjutkan insulin intravena dan pemberian cairan dan ditambah
dengan insulin regular subkutan sesuai keperluan setiap 4 jam. Pada pasien
dewasa dapat diberikan 5 iu insulin tambahan setiap kenaikan gula darah 50 mg/dl
pada gula darah di atas 150 mg/dl dan dapat ditingkatkan 20 iu untuk gula darah ≥
300 mg/dl.
Ketika pasien mendapat makan, jadwal dosis multipel harus dimulai dengan
memakai kombinasi dosis short atau rapid acting insulin dan intermediate atau
long acting insulin sesuai kebutuhan untuk mengontrol glukosa darah. Lebih
mudah untuk melakukan transisi ini dengan pemberian insulin saat pagi sebelum
makan atau saat makan malam. Teruskan insulin intravena selama 1 – 2 jam
setelah pergantian regimen dimulai untuk memastikan kadar insulin plasma yang
adekuat.
18
3. Natrium
4. Kalium
19
menghindari aritmia atau gagal jantung dan kelemahan otot pernapasan.(6,7) Terapi
kalium dimulai saat terapi cairan sudah dimulai, dan tidak dilakukan jika tidak ada
produksi urine, terdapat kelainan ginjal, atau kadar kalium > 6 mEq/l.(16)
5. Bikarbonat
6. Fosfat
20
Bagaimanapun untuk menghindari lemahnya otot rangka dan jantung serta
depresi pernapasan yang disebabkan hipofosfatemia, pemberian fosfat secara hati-
hati mungkin kadang- kadang diindikasikan pada pasien dengan kelainan jantung,
anemia, atau depresi pernapasan dan pada mereka dengan kadar serum posfat <
1,0 mg/dl. Ketika diperlukan, 20 – 30 mEq/l kalium fosfat dapat ditambahkan
pada terapi cairan yang telah diberikan. Untuk itu diperlukan pemantauan secara
kontinu.(7) Beberapa peneliti menganjurkan pemakaian kalium fosfat rutin karena
mereka percaya akan dapat menurunkan hiperkloremia setelah terapi dengan
membatasi pemberian anion Cl-. Pemberian fosfat juga mencetuskan
hipokalsemia simtomatis pada beberapa pasien.(9)
7. Magnesium
Oleh karena pertimbangan pengeluaran keto acid dalam urine selama fase
awal terapi, substrat atau bahan turunan bikarbonat akan menurun. Sebagian
defisit bikarbonat akan diganti dengan infus ion klorida pada sejumlah besar salin
untuk mengkoreksi dehidrasi. Pada kebanyakan pasien akan mengalami sebuah
keadaan hiperkloremik dengan bikarbonat yang rendah dengan anion gap yang
normal. Keadaan ini merupakan kelainan yang ringan dan tidak akan berbahaya
dalam waktu 12 – 24 jam jika pemberian cairan intravena tidak diberikan terlalu
lama.(3)
21
9. Penatalaksaan terhadap Infeksi yang Menyertai
22
II.8. PEMANTAUAN TERAPI
Pemeriksaan kadar gula darah yang sering adalah penting untuk menilai
efikasi pemberian insulin dan mengubah dosis insulin ketika hasilnya tidak
memuaskan. Ketika kadar gula darah 250 mg/dl, monitor kadar gula darah dapat
lebih jarang (tiap 4 jam). Kadar elektrolit serum diperiksa dalam interval 2 jam
sampai 6 – 8 jam terapi. Jumlah pemberian kalium sesuai kadar kalium, terapi
fosfat sesuai indikasi. Titik terendah kadar kalium dan fosfat pada saat terapi
terjadi 4-6 jam setelah mulainya terapi.(7)
II.9. KOMPLIKASI
Komplikasi yang paling sering dari KAD adalah hipoglikemia oleh karena
penanganan yang berlebihan dengan insulin, hipokalemia yang disebabkan oleh
pemberian insulin dan terapi asidosis dengan bikarbonat, dan hiperglikemia
sekunder akibat pemberian insulin yang tidak kontinu setelah perbaikan tanpa
diberikan insulin subkutan. Umumnya pasien KAD yang telah membaik
23
mengalami hiperkloremia yang disebabkan oleh penggunaan cairan saline yang
berlebihan untuk penggantian cairan dan elektrolit dan non-anion gap metabolic
acidosis seperti klor dari cairan intravena mengganti hilangnya ketoanion seperti
garam natrium dan kalium selama diuresis osmotik. Kelainan biokemikal ini
terjadi sementara dan tidak ada efek klinik signifikan kecuali pada kasus gagal
ginjal akut atau oliguria ekstrem.(7)
Edema serebri umumnya terjadi pada anak-anak, jarang pada dewasa. Tidak
didapatkan data yang pasti morbiditas pasien KAD oleh karena edema serebri
pada orang dewasa. Gejala yang tampak berupa penurunan kesadaran, letargi,
penurunan arousal, dan sakit kepala. Kelainan neurologis dapat terjadi cepat,
dengan kejang, inkontinensia, perubahan pupil, bradikardia, dan kegagalan
respirasi.
24
dan penambahan dextrose untuk hidrasi ketika kadar gula darah mencapai 250
mg/dl.(7)
Hipoksemia dan kelainan yang jarang seperti edema paru nonkardiak dapat
sebagai komplikasi KAD. Hipoksemia terjadi mengikuti penurunan tekanan
koloid osmotik yang merupakan akibat peningkatan kadar cairan pada paru dan
penurunan compliance paru. Pasien dengan KAD yang mempunyai gradient
oksigen alveolo-arteriolar yang lebar yang diukur pada awal pemeriksaan analisa
gas darah atau dengan ronki pada paru pada pemeriksaan fisik tampaknya
mempunyai risiko tinggi untuk menjadi edema paru.(7)
a. Sering ditemukan pada usia lanjut yaitu sekitar >60 tahun, semakin
muda,semakin berkurang dan belum pernah ditemukan pada anak.
b. Hampir separuh pasien tidak mempunyai riwayat DM, atau diabetes
tanpa pengobatan insulin.
c. Mempunyai penyakit dasar lain. Sekitar 80% penderita HHS
mempunyai penyakit ginjal dan kardiovaskular, tirotoksikosis dan
penyakit cushing.
d. Sering disebabkan obat-obatan antara lain tiazid, sterois,
haloperidol,simetidin, dll
e.
Mempunyai factor pencetus seperti penyakit kardiovaskular,
pankreatitis,operasi.Pemeriksaan dapat membantu membedakan KAD
dengan HHS, adapun perbandingan hasil pemeriksaan KAD dengan HHS
25
sebagaimana terlampir pada tabel 2.Angka kematian pada HHS lebih
banyak dibandingkan KAD karena insidenlebih sering pada usia lanjut dan
berhubungan dengan penyakit kardiovaskular dan dehidrasi. Angka
kematian pada HHS sekitar 30-50%.(1,5,7)
2. Asidosis laktat
II.11. PENCEGAHAN
Faktor pencetus utama KAD ialaha pemberian dosis insulin yang kurang
memadai dan kejadian infeksi. Pada beberapa kasus, kejadian tersebut dapat
dicegah dengan akses pada system pelayanan kesehatan lebih baik (termasuk
edukasi DM) dan komunikasi efektif terutama pada saat penyandang DM
mengalami sakit akut (misalnya batuk, pilek, diare, demam, luka).
26
nasihat tenaga kesehatan yang professional. Pasien DM harus didorong untuk
perawatan mandiri terutama saat mengalami masa-masa sakit, dengan melakukan
pemantauan kadar glukosa darah dan keton urin sendiri.
II.12. PROGNOSIS
Pada DM yang tidak terkendali dengan kadar gula darah yang terlalu
tinggi dan kadar hormon insulin yang rendah, tubuh tidak dapat menggunakan
glukosa sebagai sumber energi. Sebagai gantinya tubuh akan memecah lemak
untuk sumber energi.
INTUBASI ENDOTRAKEAL
Intubasi endotrakeal adalah suatu tehnik memasukkan suatu alat berupa
pipa ke dalam saluran pernafasan bagian atas. Tujuan dilakukannya intubasi
endotrakeal untuk mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas, mengendalikan
oksigenasi dan ventilasi, mencegah terjadinya aspirasi lambung pada keadaan
tidak sadar, tidak ada refleks batuk ataupun kondisi lambung penuh, sarana gas
anestesi menuju langsung ke trakea, membersihkan saluran trakeobronkial.17,18
Indikasi
Keadaan oksigenasi yang tidak adekuat (karena menurunnya tekanan
oksigen arteri dan lain-lain) yang tidak dapat dikoreksi dengan pemberian
suplai oksigen melalui masker nasal.
Keadaan ventilasi yang tidak adekuat karena meningkatnya tekanan
karbondioksida di arteri.
GCS < 8
Pernafasan irregular
27
Frekuensi nafas < 10 atau > 40 kali permenit
Volume tidal < 3,5 ml/kgBB
Vital capacity < 15 ml/kgBB
PaO2 < 70 mmHg
PaCO2 > 50 mmHg
Kebutuhan untuk mengontrol dan mengeluarkan sekret pulmonal atau
sebagai bronchial toilet.
Menyelenggarakan proteksi terhadap pasien dengan keadaan yang gawat
atau pasien dengan refleks akibat sumbatan yang terjadi.20
Kontraindikasi
Trauma servikal yang memerlukan keadaan imobilisasi tulang vertebra
servical, sehingga sangat sulit untuk dilakukan intubasi.
Keadaan trauma atau obstruksi jalan nafas atas.
Penialaiam Jalan napas
Ada beberapa cara dalam mengidentifikasi sebanyak mungkin resiko akan
terjadinya kesulitan intubasi dan laringoskopi yaitu dengan teknik LEMON atau
MELON :
1. L (Look externally)
Hal yang perlu dievaluasi adalah dengan melihat seluruh bagian wajah.
Apakah ada hal - hal yang dapat menyebabkan kemungkinan sulit ventilasi
maupun intubasi seperti trauma pada wajah, lidah yang besar, protrusi gigi, leher
pendek, mandibula yang kecil.20
2. E (Evaluate 3 – 3 - 2)
Ditemukan oleh Patil pada tahun 1983 yang menemukan jarak thyromental
Langkah ini merupakan gabungan dari buka mulut dan ukuran mandibula
terhadap posisi laring. Normalnya 65 mm, namun bila kurang dari 60 mm,
kemungkinan sulit untuk dilakukan intubasi. Evaluasi buka mulut juga penting.
Pasien normal bisa membuka mulutnya dengan jarak 3 jari antara gigi seri. Jarak
thyromental direpresentasikan dengan 3 jari pasien antara ujung mentum, tulang
hioid dan 2 jari antara tulang hioid dan takik tiroid. Dalam aturan 3-3-2 yaitu:
Angka 3 yang pertama adalah kecukupan akses oral
28
Angka 3 yang kedua adalah kapasitas ruang mandibula untuk memuat
lidah ketika laringoskopi. Kurang atau lebih dari 3 jari dapat dikaitkan
dengan peningkatan kesulitan.
Angka 2 yang terakhir mengidentifikasi letak laring berkaitan dengan
dasar lidah. Bila lebih dari 2 jari maka letak laring lebih jauh dari dasar
lidah, sehingga mungkin menyulitkan dalam hal visualisasi glottis.21
3. M (Mallampaty score)
Skor mallampati atau klasifikasi mallampati adalah sistem skor medis
yang digunakan dibidang anestesiologi untuk menentukan level kesulitan dan bisa
menimbulkan resiko pada intubasi pasien yang sedang menjalani proses
pembedahan. Hasil menentukan tingkat yang dibedakan dari I sampai IV. Kelas I
mengindikasikan seorang pasien yg seharusnya lebih mudah diintubasi. Tingkat
tertinggi, kelas IV ditujukan ditujukan kepada pasien dengan resiko tinggi,
komplikasi. Klasifikasi mallampati ditentukan oleh pengamatan visual dari rongga
mulut .Klasifikasi Mallampati :
Mallampati 1 : Palatumole, ufula, dinding posterial urofaring, pilar
tonsil
Mallampati 2 : Palatumole, sebagian ufula, dinding posterial ufula
Mallampati 3 : Palatumole, dasar ufula
Mallampati 4 : Palatudurum saja
29
1. O (Obstruction)
Adanya pertanda kesulitan jalan napas harus selalu kita
pertimbangkan sebagai akibat adanya obstruksi pada jalan napas. 3 tanda
utama adanya obstruksi yaitu muffled voice (hot potato voice), adanya
kesulitan menelan ludah (karena nyeri atau obstruksi) dan adanya stridor.20
2. N (Neck mobility)
Keterbatasan mobilisasi leher harus dipertimbangan sebagai suatu
kesulitan dalam intubasi. Mobilisasi leher dapat dinilai dengan Ekstensi
sendi atlanto-oksipital yaitu posisi leher fleksi dengan menyuruh pasien
memfleksikan kepalanya kemudian mengangkat mukanya, hal ini untuk
menguji ekstensi daripada sendi atlanto - oksipital. Aksis oral, faring dan
laring menjadi satu garis lurus dikenal dengan posisi Magill. Nilai
normalnya adalah 35 derajat. 19,20
Cormack dan Lehane membuat skala yang menggambarkan derajat
visualisasi laring pada saat laringoskopi. Skor Cormack-Lehane harus
dinilai pada saat visualisasi laring yang paling baik, dengan pasien berada
dalam posisi sniffing yang optimal, keadaan relaksasi otot yang baik, teknik
laringoskopi yang benar, dan bergantung pada keterampilan serta
kemampuan individu yang melakukan laringoskopi.19,20
Peralatan
STATICS:
Scope: Laryngoscope, Stethoscope
Tube: siapkan 3 nomor ukuran
Airway: Bagging, Face mask, OPT/NPT
Tape: plester
Introducer: Stylet, Magill forceps
Connector: konektor Oksigen
Suction: peralatan suction yang berfungsi baik.21
b. Keluhan utama :
Penurunan kesadaran
c. Riwayat penyakit sekarang :
Pasien datang ke RSI jemursari tanggal 14 Oktober 2019 rujukan dari
Rumah Sakit Mitra. Pasien datang dalam keadaan penurunan
kesadaran. Pasien mengalami penurunan kesadaran sejak tadi pagi.
Sejak 3 hari yang lalu pasien mengeluhkan lemas tetapi masih bisa di
ajak bicara dan nyambung, tetapi sejak tadi pagi pasien mengalami
sesak nafas dan penurunan kesadaran dan susah untuk diajak
berkomunikasi. Keluhan demam disangkal, mual dan muntah
disangkal, BAK dan BAB normal.
d. Riwayat penyakit dahulu :
Riwayat DM + sudah lama
Riwayat asma disangkal, riwayat alergi disangkal.
Hasil :
Cor : bentuk dan besar normal
Pulmo :
Sinus phreniccostalis kanan dan kiri tajam
Tulang-tulang dan soft tissue dalam batas normal
Kesimpulan : foto thorax dalam batas normal
I. DIAGNOSIS
a. Diagnosis Kerja
Ketoasidosis Diabetikum
b. Diagnosis Akhir
Ketoasidosis Diabetikum
IV. Tatalaksana
Airway : Jalan nafas bebas
Breathing : 02 masker 8 lpm
Circulation : IV line
Disability : In line mobilization
Inf asering 2ltr/4jam lanjut pz 500cc/1jam
Inj. Ceftriaxone 2x1g
Novorapid pump 4ui/jam cek gda tiap 3 jam
V. FOLLOW UP
Pukul 19.30
S : kesadaran pasien menurun dan sesak nafas
O:
B1 : napas spontan, o2 masker 8 lpm, SpO2 : 99 %, RR 40-50x/menit
B2 : TD : 131/85, N : 127x/menit, T : 37,5
B3 : GCS : 224, skala nyeri : 3
B4 : Kateter urine (+), produksi urine 100 cc
B5 : Soepel, Bu (+)
B6 : MMT + +
+ +
Pukul 20.00
S : kesadaran pasien menurun, demam dan sesak nafas
O :
B1 : napas spontan, o2 masker 8 lpm, SpO2 : 99 %, RR 49x/mnt
B2 : TD : 154/89 mmhg, N: 128x/menit, T :38,4
B3 : GCS : 224, Skala nyeri : 3
B4 : Kateter urine (+), produksi urine 200 cc
B5 : Soepel, Bu (+)
B6 : MMT + +
+ +
A : KAD
DM hiperglikemi
P :
Observasi kesadaran
Inf asering 2ltr/4jam lanjut pz 500cc/1jam
Inj. Ceftriaxone 2x1
Inj. Antrain 1gr extra
Vascon pump 100 nano
Novorapid pump 4ui/jam cek gda tiap 3 jam
B3 : GCS : 111
B5 : Soepel, Bu (+)
B6 : MMT + +
+ +
A : KAD
Dm hiperglikemi
Pukul 24.00
S : kesadaran semakin menurun, SPO2 turun, apnea 6x dan cardiac arest
O:
B1 : napas spontan, oksigenasi menggunakan BVM, SpO2 : 60%, RR :
gasping
B3 : GCS : 111
B5 : Soepel, Bu (+)
B6 : MMT - -
- -
A : KAD
Dm hiperglikemi
P : - RJPO
- Inj. Adrenalin (Epinefrin) 1amp tiap 3 menit (15 amp)
4.1 KESIMPULAN