Anda di halaman 1dari 19

REFERAT

AIRWAY MANAGEMENT

Diajukan untuk memenuhi sebagian tugas kepaniteraan klinik dan melengkapi


salah satu syarat menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter di Bagian Ilmu
Anesthesi dan Reanimasi RS Islam Jemursari Surabaya

Disusun oleh:
Maya Ayu Elfrida
6120018049

Pembimbing:
dr. Ardian Medianto, Sp.An

Departemen / SMF Ilmu Anesthesi dan Reanimasi


Fakultas Kedokteran Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya
RSI Jemursari Surabaya
2019

1
LEMBAR PENGESAHAN
Referat
AIRWAY MANAGEMENT

Oleh :
Maya Ayu Elfrida

Referat “Airway Management” ini telah diperiksa, disetujui, dan diterima sebagai
salah satu tugas dalam rangka menyelesaikan studi kepanitraan klinik di bagian
Ilmu Anesthesi dan Reanimasi RSI Jemursari Surabaya, Fakultas Kedokteran
Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya.

Surabaya, September 2019


Mengesahkan,
Dokter Pembimbing

dr. Ardian Medianto, Sp.An

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................................... 1

LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................... 2

DAFTAR ISI ........................................................................................................... 3

Definisi Airway Management ................................ Error! Bookmark not defined.

Pemeriksaam Jalan Napas ...................................... Error! Bookmark not defined.

Bebaskan Jalan Napas ............................................................................................. 6

Pembebasan Jalan Napas Dengan Alay .................................................................. 8

Face Mask Design ................................................................................................... 8

Laryngeal Mask Airway.......................................................................................... 9

Intubasi Endotracheal ............................................................................................ 12

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 16

3
PENDAHULUAN
Airway management menurut ATLS (Advance Trauma Life Support),
merupakan hal yang terpenting dalam resusitasi dan membutuhkan keterampilan
yang khusus dalam penatalaksanaan keadaan gawat darurat, oleh karena itu hal
pertama yang harus dinilai adalah kelancaran jalan nafas, yang meliputi
pemeriksaan jalan nafas yang dapat disebabkan oleh benda asing, fraktur tulang
wajah, fraktur manibula atau maksila, fraktur laring atau trakea. Gangguan airway
dapat timbul secara mendadak dan total, perlahan-lahan dan sebagian, dan
progresif dan atau berulang.1
Gangguan airway dapat berakibat pada kematian dini akibat henti napas yang
disebabkan oleh kegagalan mengetahui adanya kebutuhan airway, ketidak
mampuan untuk membuka airway, kegagalan mengetahui adanya airway yang
dipasang secara keliru, perubahan letak airway yang sebelumnya yang telah
dipasang, kegagalan mengetahui adanya kebutuhan ventilasi serta adanya aspirasi
isi lambung.2,3

DEFINISI AIRWAY MANAGEMENT


Airway Management ialah memastikan jalan napas terbuka. Tindakan paling
penting untuk keberhasilan resusitasi adalah segera melapangkang saluran
pernapasan. Dengan tujuan untuk menjamin jalan masuknya udara ke paru secara
normal sehingga menjamin kecukupan oksigenasi tubuh. Dalam airway
management terdapat tiga jenis airway definitif yaitu, pipa orotrakeal, pipa
nasotrakeal, dan airway surgical (krikotiroidotomi atau trakeostomi).1,2,3
Penentuan pemasangan airway definitif didasarkan pada penemuan-penemuan
klinis antara lain adanya apnea, ketidakmampuan mempertahankan airway yang
bebas dengan cara-cara yang lain, kebutuhan untuk melindungi airway bagian
bawah dari aspirasi darah atau vomitus, ancaman segera atau bahaya potensial
sumbatan airway, adanya cedera kepala yang membutuhkan bantuan nafas (GCS <
8), ketidakmampuan mempertahankan oksigenasi yang adekuat dengan dan
pemberian oksigen tambahan lewat masker wajah.2.3

4
PEMERIKSAAN JALAN NAPAS
Setelah jalan nafas terbuka, maka periksalah jalan nafas karena terbukanya
jalan nafas dengan baik dan bersih sangat diperlukan untuk pernafasan adekuat.
Keadaan jalan nafas dapat ditentukan bila korban sadar, respon dan dapat berbicara
dengan penolong. Perhatikan pengucapannya apakah baik atau terganggu, dan
hati-hati memberikan penilaian untuk korban dengan gangguan mental. Penialaim
jalan napas dapat dilakuakan dengan cara sebagai berikut :
1. Lihat (look), melihat naik turunnya dada yang simetris dan pergerakan
dinding dada yang adekuat.
2. Dengar (listen), mendengar adanya suara pernafasan pada kedua sisi dada.
3. Rasa (feel), merasa adanya hembusan nafas.4,5,6
Untuk korban yang disorientasi, merasa mengambang, bingung atau tidak
respon harus diwaspadai kemungkinan adanya darah, muntah berlebihan dalam
saluran nafas. Oleh karena itu dapat dilakukan6,8
a. Posisi Pemulihan
Bila korban dapat bernafas dengan baik dan tidak ada kecurigaan
adanya cedera leher, tulang punggung atau cedera lainnya yang dapat
bertambah parah akibat tindakan ini maka letakkan korban dalam posisi
pemulihan atau dikenal dengan istilah posisi miring mantap. Posisi ini
berguna untuk mencegah sumbatan dan jika ada cairan maka cairan akan
mengalir melalui mulut dan tidak masuk ke dalam saluran napas.4,6,9
b. Cross finger
Teknik hanya dilakukan untuk penderita yang tidak sadar, penolong
menggunakan jarinya untuk membuang benda yang mengganggu jalan
nafas. Sebagaimana patokan pada resusitasi awal otak yaitu pendekatan
airway, breathing dan sirkulasi kemudian tekanan intra kranial. Data klinis
menunjukkan bahwa cedera otak sangat rentan terhadap keadaan hipoksia
dan adanya korelasi yang kuat antara defisit neurologis awal dengan
hipotensi dan hipoksia. Bila memungkinkan penderita dapat diberikan jalan
nafas definitif dengan pemasangan endotracheal tube dengan tujuan

5
mengamankan jalan nafas, menjamin pertukaran gas, menstabilkan
sirkulasi dan mengelola tekanan intrakranial dengan semestinya.3,8

BEBASKAN JALAN NAPAS


Memeriksa dan menjaga jalan nafas selalu menjadi prioritas utama.
Jika pasien dapat bicara biasanya jalan nafasnya bersih, tapi pada pasien yang
tidak sadar cenderung memerlukan alat bantu jalan nafas dan ventilasi.
Tanda penting adanya suatu sumbatan meliputi snoring atau gargling, stridor,
dan pergerakan dada paradoksal. Adanya benda asing harus dipertimbangkan
pada pasien yang tidak sadar. Penatalaksanaan jalan nafas lebih lanjut (seperti
intubasi endotracheal, cricothyrotomy, atau tracheostomy) adalah indikasi jika
terjadi apneu, obstruksi yang menetap, cedera kepala berat, trauma maxillofacial,
trauma tembus leher dengan hematoma yang luas, atau trauma dada yang berat. 4
Pasien tidak sadar dengan trauma mayor harus dipertimbangkan memiliki
resiko terjadinya aspirasi, dan jalan nafas harus diamankan segera dengan
endotracheal tube atau trakeostomi. Hiperekstensi leher dan traksi aksial yang luas
harus dihindari ketika ketidakstabilan tulang belakang servikal dicurigai.
Imobilisasi manual dari kepala dan leher oleh asisten harus dilakukan untuk
menstabilisasikan tulang belakang servikal selama pemasangan laringoskop
(manual in-line stabilization atau MILS). Seorang asisten harus meletakkan tangannya
pada sisi kepala, menahan oksiput dan mencegah adanya rotasi kepala.7
Dari semua teknik ini, MILS mungkin teknik yang paling efektif, namun
teknik tersebut membuat pemasangan laringoskop direk menjadi sulit. Atas alasan
tersebut banyak yang menyukai menggunakan intubasi nasal (buta atau fiberoptik)
pada pasien yang bernafas spontan dengan kecurigaan adanya trauma cervical,
walaupun teknik ini ada hubungannya dengan resiko tinggi terjadinya aspirasi paru.
Kebanyakan ahli lebih menyukai intubasi oral, dan teknik ini harus
dipertimbangkan pada pasien yang apneu dan yang membutuhkan intubasi
secepatnya. Lebih lanjut, intubasi nasal harus dihindari pada pasien dengan fraktur tulang
wajah dan basis cranii. Jika obturator esophageal telah dipasang, alat tersebut jangan
dipindahkan sampai trakea terintubasi karena kemungkinan adanya regurgutasi.7

6
Penguasan jalan nafas merupakan prioritas pada semua korban.
Prosedurnya sangat bervariasi mulai dari yang sederhana sampai yang paling rumit
dan penanganan bedah. Tindakan-tindakan yang lain kecil peluangnya untuk
berhasil bila jalan nafas korban masih terganggu. Beberapa cara yang dikenal dan
sering dilakukan untuk membebaskan jalan nafas antara lain:
1. TRIPPLE MANOUVER
a) Angkat dagu tekan dahi (Head tilt and chin lift)
Teknik ini dilakukan pada korban yang tidak mengalami trauma
pada kepala, leher maupun tulang belakang.

b) Pendorongan rahang bawah (jaw thrust)


Teknik ini digunakan sebagai pengganti teknik angkat dagu tekan
dahi. Teknik ini sangat sulit dilakukan tetapi merupakan teknik yang aman
untuk membuka jalan nafas bagi korban yang mengalami trauma pada
tulang belakang. Dengan teknik ini, kepala dan leher korban dibuat dalam
posisi alami atau normal.

7
c) Penatalaksanaan jalan nafas lebih lanjut (seperti intubasi, cricotirotomi,
atau tracheostomi).6,7

2. HEIMLICH MANOUVER
Menurut American College of Surgeon heimlich manouver ini
merupakan metode yang paling efektif untuk mengatasi obstruksi saluran
pernapasan atas akibat makanan atau benda asing yang terperangkap dalam
faring posterior atau glottis.2,4,5

PEMBEBASAN JALAN NAPAS DENGAN ALAT


FACE MASK DESIGN
Penggunaan face mask dapat memfasilitasi pengaliran oksigen atau gas
anestesi dari sistem breathing ke pasien. Lingkaran dari face mask disesuaikan
dengan bentuk muka pasien. Orifisium face mask dapat disambungkan ke sirkuit
mesin anestesi melalui konektor. Retaining hook dipakai untuk mengkaitkan head
scrap sehingga face mask tidak perlu terus dipegang. Beberapa macam mask untuk
pediatrik di disain untuk mengurangi dead space.9,10,12
Ventilasi yang efektif memerlukan jalan nafas yang bebas dan face
mask yang rapat atau tidak bocor. Teknik pemasangan face mask yang tidak tepat
dapat menyebabkan reservoir bag kempis walaupun klepnya ditutup, hal ini
menunjukkan adanya kebocoran sekeliling face mask. Sebaliknya, tekanan sirkuit
breathing yang tinggi dengan pergerakan dada dan suara pernafasan yang minimal
menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas.9,10,11

8
Bila face mask dipegang dengan tangan kiri, tangan kanan digunakan untuk
melakukan ventilasi dengan tekanan positif dengan memeras breathing bag. Face
mask dipasang dimuka pasien dan sedikit ditekan pada badan face mask dengan ibu
jari dan telunjuk. Jari tengah dan jari manis menarik mandibula untuk ekstensi joint
atlantooccipital. Tekanan jari-jari harus pada mandibula, jangan pada jaringan
lunak yang menopang dasar lidah karena dapat terjadi obstruksi jalan nafas. Jari
kelingking ditempatkan dibawah sudut jaw dan digunakan untuk jaw
thrust manuver yang paling penting untuk dapat melakukan ventilasi pasien.3,5

Pada situasi yang sulit, diperlukan dua tangan untuk mendapatkan jaw
thrust yang adekuat dan face mask yang rapat. Kebanyakan jalan nafas pasien dapat

9
dipertahankan dengan face mask dan oral atau nasal airway. Ventilasi dengan face
mask dalam jangka lama dapat menimbulkan cedera akibat tekanan pada cabang
saraf trigeminal atau fasial. 5,8,9

LARYNGEAL MASK AIRWAY


Penggunaan LMA meningkat untuk menggantikan pemakaian face
mask selama pemberian anestesi, untuk memfasilitasi ventilasi pada pasien dengan
difficult airway, dan untuk membantu ventilasi selama bronchoscopy fiberoptic,
juga pemasangan bronkhoskop. LMA memiliki kelebihan istimewa dalam
menentukan penanganan kesulitan jalan nafas dibandingkan combitube. Ada 4 tipe
LMA yang biasa digunakan LMA yang dapat dipakai ulang, LMA yang tidak dapat
dipakai ulang, Proseal LMA yang memiliki lubang untuk memasukkan pipa
nasogastrik dan dapat digunakan ventilasi tekanan positif, dan Fastrach LMA yang
dapat memfasilitasi intubasi bagi pasien dengan jalan nafas yang sulit.4

LMA terdiri dari pipa dengan lubang yang besar, yang di akhir bagian
proksimal dihubungkan dengan sirkuit nafas dengan konektor berukuran 15 mm,

10
dan dibagian distal terdapat balon berbentuk elips yang dapat dikembangkan lewat
pipa. Balon dikempiskan dulu, kemudian diberi pelumas dan masukan secara
membuta ke hipofaring, sekali telah dikembangkan, balon dengan tekanan rendah
ada di muara laring. Pemasangannya memerlukan anestesi yang lebih dalam
dibandingkan untuk memasukan oral airway. 4,9
Posisi ideal dari balon adalah dasar lidah di bagian superior, sinus pyriforme
dilateral, dan spincter oesopagus bagian atas di inferior. Jika, oesophagus terletak
di rim balon, distensi lambung atau regurgitasi masih mungkin terjadi. Variasi
anatomi mencegah fungsi LMA yang adekuat pada beberapa pasien. Akan tetapi,
jika LMA tidak berfungsi semestinya dan setelah mencoba memperbaiki masih
tidak baik, kebanyakan klinisi mencoba dengan LMA lain yang ukurannya lebih
besar atau lebih kecil. 6
Penutupan oleh epiglotis atau ujung balon merupakan penyebab kegagalan
terbanyak, maka memasukkan LMA dengan penglihatan secara langsung dengan
laringoskop atau bronchoskop fiberoptik (FOB) menguntungkan pada kasus yang
sulit. Demikian juga, sebagian balon digembungkan sebelum insersi dapat sangat
membantu. LMA melindungi laring dari sekresi faring (tapi tidak terhadap
regurgitasi lambung) dan LMA harus tetap dipertahankan pada tempatnya sampai
reflek jalan nafas pasien pulih kembali. Ini biasanya ditandai dengan batuk atau
membuka mulut sesuai dengan perintah.4,7

Kontraindikasi untuk LMA adalah pasien dengan kelainan faring


(misalnya abses), sumbatan faring, lambung yang penuh (misalnya kehamilan,

11
hernia hiatal), atau komplians paru rendah (misalnya penyakit restriksi jalan nafas)
yang memerlukan tekanan inspirasi puncak lebih besar dari 30 cm H2O. Secara
tradisional, LMA dihindari pada pasien dengan bronkospasme aatau resistensi jalan
nafas tinggi, akan tetapi, bukti-bukti baru menunjukkan bahwa karena tidak
ditempatkan dalam trakhea, penggunaan LMA dihubungkan dengan kejadian
bronchospasme. LMA membuktikan sangat membantu terutama pada pasien
dengan jalan nafas yang sulit (yang tidak dapat diventilasi atau diintubasi)
disebabkan mudah untuk memasangnya dan angka keberhasilannya relatif besar

(95-99%).5

INTUBASI ENDOTRAKEAL
Tindakan pembedahan terutama yang memerlukan anestesi umum
diperlukan teknik intubasi endotrakeal. Intubasi endotrakeal adalah suatu tehnik
memasukkan suatu alat berupa pipa ke dalam saluran pernafasan bagian atas.
Tujuan dilakukannya intubasi endotrakeal untuk mempertahankan jalan nafas agar
tetap bebas, mengendalikan oksigenasi dan ventilasi, mencegah terjadinya aspirasi
lambung pada keadaan tidak sadar, tidak ada refleks batuk ataupun kondisi
lambung penuh, sarana gas anestesi menuju langsung ke trakea, membersihkan
saluran trakeobronkial.1,4
Indikasi
 Keadaan oksigenasi yang tidak adekuat (karena menurunnya tekanan
oksigen arteri dan lain-lain) yang tidak dapat dikoreksi dengan pemberian
suplai oksigen melalui masker nasal.
 Keadaan ventilasi yang tidak adekuat karena meningkatnya tekanan
karbondioksida di arteri.
 GCS < 8
 Pernafasan irregular
 Frekuensi nafas < 10 atau > 40 kali permenit
 Volume tidal < 3,5 ml/kgBB
 Vital capacity < 15 ml/kgBB

12
 PaO2 < 70 mmHg
 PaCO2 > 50 mmHg
 Kebutuhan untuk mengontrol dan mengeluarkan sekret pulmonal atau
sebagai bronchial toilet.
 Menyelenggarakan proteksi terhadap pasien dengan keadaan yang gawat
atau pasien dengan refleks akibat sumbatan yang terjadi.9

Kontraindikasi
 Trauma servikal yang memerlukan keadaan imobilisasi tulang vertebra
servical, sehingga sangat sulit untuk dilakukan intubasi
 Keadaan trauma atau obstruksi jalan nafas atas.10

Komplikasi
 Trauma gigi geligi
 Laserasi bibir, gusi, laring
 Merangsang saraf simpatis ( hipertensi-takikardi)
 Intubasi bronkus
 Intubasi esophagus
 Aspirasi
 Gangguan fonasi
 Edema glotis-subglotis
 Infeksi laring, faring, trakea
 Spasme bronkus.10

Penialaian Jalan napas


Ada beberapa cara dalam mengidentifikasi sebanyak mungkin resiko akan
terjadinya kesulitan intubasi dan laringoskopi yaitu dengan teknik LEMON atau
MELON :
1. L (Look externally)
Hal yang perlu dievaluasi adalah dengan melihat seluruh bagian wajah.
Apakah ada hal - hal yang dapat menyebabkan kemungkinan sulit ventilasi maupun

13
intubasi seperti trauma pada wajah, lidah yang besar, protrusi gigi, leher pendek,
mandibula yang kecil.8,9
2. E (Evaluate 3 – 3 - 2)
Ditemukan oleh Patil pada tahun 1983 yang menemukan jarak thyromental
Langkah ini merupakan gabungan dari buka mulut dan ukuran mandibula terhadap
posisi laring. Normalnya 65 mm, namun bila kurang dari 60 mm, kemungkinan
sulit untuk dilakukan intubasi. Evaluasi buka mulut juga penting. Pasien normal
bisa membuka mulutnya dengan jarak 3 jari antara gigi seri. Jarak thyromental
direpresentasikan dengan 3 jari pasien antara ujung mentum, tulang hioid dan 2 jari
antara tulang hioid dan takik tiroid. Dalam aturan 3-3-2 yaitu:
 Angka 3 yang pertama adalah kecukupan akses oral
 Angka 3 yang kedua adalah kapasitas ruang mandibula untuk memuat lidah
ketika laringoskopi. Kurang atau lebih dari 3 jari dapat dikaitkan dengan
peningkatan kesulitan.
 Angka 2 yang terakhir mengidentifikasi letak laring berkaitan dengan dasar
lidah. Bila lebih dari 2 jari maka letak laring lebih jauh dari dasar lidah,
sehingga mungkin menyulitkan dalam hal visualisasi glottis.10
3. M (Mallampaty score)
Skor mallampati atau klasifikasi mallampati adalah sistem skor medis yang
digunakan dibidang anestesiologi untuk menentukan level kesulitan dan bisa
menimbulkan resiko pada intubasi pasien yang sedang menjalani proses
pembedahan. Hasil menentukan tingkat yang dibedakan dari I sampai IV. Kelas I
mengindikasikan seorang pasien yg seharusnya lebih mudah diintubasi. Tingkat
tertinggi, kelas IV ditujukan ditujukan kepada pasien dengan resiko tinggi,
komplikasi. Klasifikasi mallampati ditentukan oleh pengamatan visual dari rongga
mulut .Klasifikasi Mallampati :
 Mallampati 1 : Palatumole, ufula, dinding posterial urofaring, pilar
tonsil
 Mallampati 2 : Palatumole, sebagian uvula, dinding posterial uvula
 Mallampati 3 : Palatumole, dasar uvula
 Mallampati 4 : Palatudurum saja

14
15
1. O (Obstruction)
Adanya pertanda kesulitan jalan napas harus selalu kita
pertimbangkan sebagai akibat adanya obstruksi pada jalan napas. 3 tanda
utama adanya obstruksi yaitu muffled voice (hot potato voice), adanya
kesulitan menelan ludah (karena nyeri atau obstruksi) dan adanya stridor.8
2. N (Neck mobility)
Keterbatasan mobilisasi leher harus dipertimbangan sebagai suatu
kesulitan dalam intubasi. Mobilisasi leher dapat dinilai dengan Ekstensi sendi
atlanto-oksipital yaitu posisi leher fleksi dengan menyuruh pasien
memfleksikan kepalanya kemudian mengangkat mukanya, hal ini untuk
menguji ekstensi daripada sendi atlanto - oksipital. Aksis oral, faring dan
laring menjadi satu garis lurus dikenal dengan posisi Magill. Nilai normalnya
adalah 35 derajat.7,8
Cormack dan Lehane membuat skala yang menggambarkan derajat
visualisasi laring pada saat laringoskopi. Skor Cormack-Lehane harus dinilai
pada saat visualisasi laring yang paling baik, dengan pasien berada dalam
posisi sniffing yang optimal, keadaan relaksasi otot yang baik, teknik
laringoskopi yang benar, dan bergantung pada keterampilan serta
kemampuan individu yang melakukan laringoskopi.7,8

16
Peralatan
STATICS:
 Scope: Laryngoscope, Stethoscope
 Tube: siapkan 3 nomor ukuran
 Airway: Bagging, Face mask, OPT/NPT
 Tape: plester
 Introducer: Stylet, Magill forceps
 Connector: konektor Oksigen
 Suction: peralatan suction yang berfungsi baik.10

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Ollerton, Joe, Dr. 2016. Emergency Airway Management CPG in the Trauma
Patient. Institute of Trauma & Injury Management. Liverpool Hospital.

2. Rao, BK. 2010. Airway Management in Trauma. Volume 8 Issue 2 Page


98-105.

3. Rosner, Greg. 2015. The Important of Airway Management and Oxygenation of


the Traumatic Brain Injury Patient. Center for Emergency Medicine, JEMS.

4. Rao, U. Airway Management in Neurosurgical Patients. 2005. In: Indian


Journal Anaesthesi 49(4): 336-343.

5. Hafid A. 2007. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jong W.D. Jakarta: penerbit buku
kedokteran EGC

6. Ghazali Malueka. 2007. Radiologi Diagnostik. Yogyakarta: Pustaka Cendekia.

7. Japardi iskandar. 2004. Penatalaksanaan Cedera Kepala secara Operatif .


Sumatra Utara: USU Press.

8. Kluwer wolters. 2009. Trauma and acute care surger. Philadelphia: Lippicott
Williams and Wilkins.

9. Halliday HL., (2014), Endotracheal Intubation at Birth for Preventing


Morbidity and Mortality in Vigorous, Meconium-stained Infants Bord at Term.
Virginia : Center for Emergency Medicine, JEMS.

18
10. Tjunt, Early. 2010. Anatomy and Physiology, FA Davis Company, Philadelphia.

11. Galvin I, Drummond GB. 2007. Distribution of blood flow and ventilation
in the lung: gravity is not the only factor. British Journal of Anaesthesia, 98:
420-8.

12. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. 2007. Breathing System in Clinical
Anesthesilogy 4th ed. McGraw-Hill.

19

Anda mungkin juga menyukai