Anda di halaman 1dari 36

MAKALAH

CASE BASED DISCUSSION


Komplikasi Post Excisi Meningioma

Oleh :
Almeir Pradhipta Andras Asmara 6120018006
Pembimbing:
dr. Tedy Apriawan, Sp.BS

DEPARTEMEN / SMF BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA
2019
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala
nikmat, rahmat, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas Case
Based Discussion dengan baik dan tepat waktu.
Tugas ini disusun dalam rangka memenuhi tugas Kepaniteraan Ilmu Bedah
Fakultas Kedokteran Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya. Di samping itu, melalui
kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar – besarnya kepada dr.
Tedy Apriawan,Sp. BS dan dr. Irwan Barlian,Sp.BS selaku pembimbing dalam
penyusunan tugas ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada rekan – rekan
anggota Kepaniteraan SMF Bedah serta berbagai pihak yang telah member dukungan
dan bantuan kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari sempurna dan tidak luput
dari kesalahan. Oleh karena itu, penulis sangat berharap adanya masukan, kritik maupun
saran yang membangun. Akhir kata penulis ucapkan terima kasih yang sebesar –
besarnya, semoga tugas ini dapat memberikan tambahan informasi bagi kita semua.

Surabaya , 26 Desember 2019

Penulis

1
BAB I

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. K
Usia : 60 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Bogangin Baru, Surabaya
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Status Perkawinan : Menikah
MRS : 18 September 2019
No. RM : 286234

II. ANAMNESIS
II.I Keluhan Utama:
Lemas seluruh badan
II.2 Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang dengan keluhan lemas seluruh badan, lemas sudah dirasakan
sejak 1 minggu sebelum MRS. Lemas timbul perlahan dan memberat 3 hari
terakhir, sampai pasien kesulitan untuk duduk sendiri. Keluhan tidak membaik
walaupun sudah dipakai istirahat. Pasien juga mengeluh merasa pusing dan
sakit kepala terutama di sebelah kiri. Pusing timbul sewaktu-waktu dan
bertahan sekitar 15 menit. Pusing tidak berputar dan tidak disertai mual
muntah. Pusing diperberat dengan aktivitas dan diperingan dengan istirahat
berbaring. Pasien juga kesulitan berbicara seperti terbatah-batah, namun masih
dapat mengerti dan menjawab komunikasi. Tidak ada kejang , tidak ada
demam, Batuk, mual atau muntah. BAB dan BAK dbn. Alergi (-) DM (-) HT
(+) Sejak 10 tahun yang lalu, tetapi rutin minum obat amlodipin dan kontrol ke
Sp Jantung. Pasien memiliki riwayat operasi pengangkatan tumor pada tahun

2
2018 bulan 6. Keluhan sebelum operasi nyeri kepala hebat di sebalah kiri,
tanpa disertai kejang atau lemas. Pasca operasi pasien mengeluh kelemahan
anggota gerak sebelah kanan secara medadak, pasien juga harus rawat inap
selama 2 bulan pasca operasi untuk perawatan dan latihan fisioterapi. 2 bulan
setelah pulang dari RS pasien berulangkali kejang, kejang separuh badan
terutama kanan dengan mata melihat keatas, lama kejang sekitar 5 menit, tidak
muntah dan langsung sadar sesaat setelah kejang. Pasien juga sering MRS
karna lemas seluruh tubuh dan pusing yang berulang . Saat ini kunjungan ke 6
pasien MRS pasca operasi.

II.3 Riwayat Penyakit Dahulu


HT Sejak 10 tahun yang lalu
DM disangkal
Operasi Pengangkatan tumor 1,5 tahun yang lalu
Kejang pasca operasi sebanyak 5x sampai MRS
Keluhan yang sama sebelumnya (+)
II.4 Riwayat Keluarga
DM disangkal
HT (+)
Keluhan yang sama dengan pasien disangkal
II.5 Riwayat Sosial
Pasien memiliki 1 anak, Pekerjaan sebagai ibu rumah tangga
II.6 Riwayat Pengobatan
Pasien mengkonsumsi obat darah tinggi amlodipin 10 mg, dan obat-obatan dari
dr Irwan Sp.BS yaitu depakot dan phenitoin

III. PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
GCS : E4V5M6
Tanda-tanda Vital

3
Tekanan Darah : 180/90 mmHg
Nadi : 65 x/menit
RR : 20 x/menit
Temperatur : 36,5 °C axilar
Skala Nyeri :5

Status Generalis
Kepala/Leher : Anemis (-/-), Ikterus (-/-), Cyanosis (-), Dyspneu (-), Pernafasan
cuping hidung (-), Pembesaran kelenjar getah bening (-),
pembesaran kelenjar tiroid (-), peningkatan vena jugularis
(+), faring hiperemis (-), mukosa mulut kering (-), mata
cowong (-/-), nyeri telan (-)
Thoraks
a. Pulmo
Inspeksi : Bentuk simetris, tidak ada retraksi, pergerakan dada simetris
Palpasi : Pengembangan paru simetris, fremitus raba hemithoraks
simetris
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : Vesikuler/vesikuler, rhonki-/-, wheezing -/-
b. Cor
Inspeksi : Normochest, ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Batas jantung kanan parasternal kanan ICS 4, batas jantung
kiri ICS 5 MCL kiri
Auskultasi : S1/S2 tunggal, murmur (-), gallop (-)

Abdomen
Inspeksi : Soepel, tidak ada bekas operasi, massa (-)
Auskultasi : Bising usus normal

4
Palpasi : Soepel, nyeri tekan di epigastrium (-), hepar, renal, lien
tidak teraba, ascites (-), Murphy’s Sign (-), nyeri tekan
suprapubik (-)
Perkusi : Hipertimpani di seluruh lapang abdomen
Esktremitas
Akral hangat kering merah, oedema di semua ekstremitas (-), CRT < 2
detik, Atrofi otot bahu dan lengan kanan (+)

IV. PEMERIKSAAN NEUROLOGIS


Kesadaran : Compos mentis
GCS : E = 4, V =5, M=6
N. Cranialis
N. I : Dalam batas normal
N. II, III : VOD >3/60, VOS >3/60 , PBI (3/3 mm,
bulat/bulat, RCL +/+, RCTL +/+
N. III, N. IV, N. VI : Gerak bola mata normal
N. V : Dalam batas normal, sensorik normal +/+
N. VII : Facial palsy -
N. VIII : Dalam batas normal
N. IX, X : Dalam batas normal
N. XI : Kelemahan M. Trapezius dextra (+), dalam
batas normal
N. XII : Lingual palsy dextra (-), dalam batas normal

2 5
Motorik (MRC)
3 5

5
Sensorik
Eksteroseptif + +
1. Rasa Raba + +

+ +
2. Rasa Nyeri
+ +

3. Rasa Suhu : Tidak dilakukan


Rasa Tekan
+ +
+ +

Reflek Fisiologis
BPR : +3/+2
TPR : +3/+2
KPR : +3/+2
APR : +2/+2
Reflek Patologis
Refleks Babinski : +/-
Refleks Chaddock : -/-
Refleks Oppenheim : -/-
Relek gordon : -/-
Reflek gonda : -/-
Reflek scahaffer : +/-
Reflek Hoffman : +/-
Reflek tromner : +/-

6
V. PROBLEM
 Hemiparese Dextra
 Cephalgia
 Malaise
 Afasia Motorik / Broca ringan
 Hipertensi grade II

VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Darah Lengkap

Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan

Leukosit 6,49 ribu/Ul 3,8-10,6 ribu/uL

Basofil 0,722% 0-1 %

Neutrofil 44,91% 39,3-73,7 %

Limfosit 46,680% 25-40%

Eosinofil 0,348% 2-4 %

Monosit 7,198% 2-8 %

Eritrosit 3,47 juta/uL 3,80-5,20 juta/uL

Hemoglobin 11,87 g/dL 11,7-15,5 g/dL

Hematokrit 35,2% 35-47 %

Trombosit 168 ribu/uL 150-440 ribu/uL

MCV 103,1 fL 84,0 – 96,0 fL


MCH 34,2 pg 28,0 – 34,0 pg
MCHC 33,8% 26,0 – 34,0%

RDW CV 13,1% 11,5 – 14,5%

7
ELEKTROLIT
Natrium 132,20 mEq/L 135 - 147
Kalium 3,94 mEq/L 3,5 – 5,0
Clorida 102,20 mEq/L 95 - 105

ELEKTROKARDIOGRAFI

Hasil :
Irama Sinus 60x / menit
Aksis Frontal Normal
Aksis Horizontal Counter Clockwise

FOTO THORAX

8
Hasil :
Cor : Kesan dan bentuk Membesar
Pulmo : Tak tampak Infiltrat
Kedua Sinus phrenicocostalis tajam
Tulang-tulang dan soft tissue normal
Kesimpulan: Kesan Cardiomegaly

CT-SCAN KEPALA

DGHHHHH

Hasil :

 Tampak anputated Os Parietal kiri post OP


 Tampak area hypodense di cortical subcortical lobus frontoparietal kiri disertai
area hyperdense minimal di dalamnya
 Tak tampak deviasi mid line

9
 System ventrikel melebar
 Sulci dan Gyri normal
 Tak tampak kalsifikasi di basal ganglia kanan kiri
 Mastoid, sinus frontalis, ethmoidalis, sphenoidalis kanan kiri normal
 Tulang-tulang calvaria tampak normal, tak tampak fraktur
 Pons dan cerebellum normal

Kesimpulan :

 Ensefalomalacya dengan minimal perdarahan dan kontusio cerebri di cortical


subcortical lobus frontoparietal kiri
 Non-Communican hydrocephalus
 Amputed os parietal kiri posr OP

VII.DIAGNOSIS
Hemiparese D + Afasia motorik + Post eksisi Meningioma + Hipertensi grade II

VIII. Tatalaksana
Planning Diagnostik
 DL , SE, Foto thorax, CT Scan kepala
Planning Terapi :
 MRS pro perbaikan KU
 Inf. PZ L/L
 Inj Dexamethasone 3 x 1 ml IV ( 5 mg/ ml)
 Inj.Omeprazole 2 x 40 mg IV
 Inj Phenitoin 2 ml IV ( 50 mg / ml )
 Depakot 2x 1 PO
 Phenitoin 3x1 PO
 Konsul dr Spesialis Jantung  Candesartan 1x 16 mg PO
KIE
 Bed rest yang cukup
 Menjaga personal hygiene pasien

10
Tanggal Subjective Objective Assesmen Planning

19/12/2019 Pasien masih mengeluh GCS EV45M6 Hemiparese D + P.Diagnosis:


lemas seluruh badan KU tampak lemah -
Afasia motorik
dan sakit kepala TTV
Makan minum banyak TD 148/68 mmHg + Post eksisi P.Terapi :
BAB BAK normal Nadi 68x/mnt Medikamentosa
Meningioma +
RR 20x/mnt -Inf. PZ L/L
T 36,5 C Hipertensi grade -Inj Dexamethasone 3 x 1 ml
Motorik IV ( 5 mg/ ml)
II
-Inj.Omeprazole 2 x 40 mg IV
-Inj Phenitoin 2 ml IV ( 50 mg
/ ml )
-Depakot 2x 1 PO
-Candesartan 1x16 mg PO

P.Diagnosis:
20/12/2019 Pasien mengeluh masih GCS EV45M6 Hemiparese D + -
lemas dan sakit kepala KU tampak lemah
Afasia motorik
Makan minum normal TTV P.Terapi :
BAB BAK normal TD 147/80 mmHg + Post eksisi Medikamentosa
Pasien mengeluh tidak Nadi 63x/mnt -Inf. PZ : RD5 1:1 14 tpm
Meningioma +
bisa tidur RR 20x/mnt -Inj Dexamethasone 3 x 1 ml
T 36 C Hipertensi grade IV ( 5 mg/ ml)
-Inj.Omeprazole 2 x 40 mg IV
II
-Inj Phenitoin 2 ml IV ( 50 mg
/ ml )
-Depakot 2x 1 PO
-Candesartan 1x16 mg PO
-Escovit 2x1 tab PO

11
21/12/2019 Lemas masih tetapi P.Diagnosis:
sudah berkurang GCS E4V5M6 Hemiparese D + -
Pusing masih KU tampak lemah
Afasia motorik +
Makan minum TTV P.Terapi :
normal TD 143/70 mmHg Post eksisi Medikamentosa
BAB BAK normal Nadi 64x/mnt -Inf. PZ : RD5 1:1
Meningioma +
RR 20x/mnt 14 tpm
T 36 C Hipertensi grade -Inj Dexamethasone
3 x 1 ml IV ( 5 mg/
II
ml)
-Inj.Omeprazole 2 x
40 mg IV
-Inj Phenitoin 2 ml IV
( 50 mg / ml )
-Depakot 2x 1 PO
-Candesartan 1x16 mg
PO
-Escovit 2x1 tab PO

23/12/2019 Pasien mengaku Hemiparese D + P.Diagnosis:


lemas sudah GCS E4V5M6 -
Afasia motorik +
berkurang KU tampak lemah
Tetapi pusing TTV Post eksisi P.Terapi :
masih dan tidak TD 143/70 mmHg Medikamentosa
Meningioma +
berkurang Nadi 64x/mnt -Inf. PZ : RD5 1:1
Makan minum RR 20x/mnt Hipertensi grade 14 tpm
normal T 36 C -Inj Dexamethasone
II
BAB BAK normal 3 x 1 ml IV ( 5 mg/
ml)
-Inj.Omeprazole 2 x
40 mg IV
-Inj Phenitoin 2 ml IV
( 50 mg / ml )
-Depakot 2x 1 PO
-Candesartan 1x16 mg
PO
-Escovit 2x1 tab PO
-Frego 2x1 tab PO
-Konsul spesialis
Rehab

12
24/12/2019 Pasien mengaku GCS E4V5M6 P.Diagnosis:
lemas sudah KU tampak lemah Hemiparese D + -
berkurang TTV
Afasia motorik +
Tetapi pusing TD 125/70 mmHg P.Terapi :
masih dan tidak Nadi 67x/mnt Post eksisi Medikamentosa
berkurang RR 20x/mnt -Inf. PZ : RD5 1:1
Meningioma +
Makan minum T 36 C 14 tpm
normal Hipertensi grade -Inj Manitol loading
BAB BAK normal 200 cc  Lanjut
II
6x100 cc
-Depakot 2x 1 PO
-Candesartan 1x16 mg
PO
-Escovit 2x1 tab PO
-Frego 2x1 tab PO
-Dexamethasone tab
3x1 PO
-Omeprazole 2x20 mg
tab PO
-Phenitoin 3x100 mg
tab PO
-Latihan fisioterapi
1x/hari
25/12/2019 Pasien mengaku GCS E4V5M6 Hemiparese D + P.Diagnosis:
sudah tidak lemas KU tampak lemah -
Afasia motorik +
Tetapi pusing TTV P.Terapi :
masih TD 125/70 mmHg Post eksisi Medikamentosa
Makan minum Nadi 67x/mnt -Inf. PZ : RD5 1:1
Meningioma +
normal RR 20x/mnt 14 tpm
BAB BAK normal T 36 C Hipertensi grade -Inj Manitol 5x100 cc
-Depakot 2x 1 PO
II
-Candesartan 1x16 mg
PO
-Escovit 2x1 tab PO
-Frego 2x1 tab PO
-Dexamethasone tab
3x1 PO
-Omeprazole 2x20 mg
tab PO
-Phenitoin 3x100 mg
tab PO
-Latihan fisioterapi
1x/hari

13
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI
Sistem Saraf Pusat Otak terdiri dari serebrum, serebelum, dan batang
otak yang dibentuk oleh mesensefalon, pons, dan medulla oblongata. Bila
kalvaria dan dura mater disingkirkan, di bawah lapisan arachnoid mater kranialis
dan pia mater kranialis terlihat gyrus, sulkus, dan fisura korteks serebri. Sulkus
dan fisura korteks serebri membagi hemisfer serebri menjadi daerah lebih kecil
yang disebut lobus. 1

Gambar 1. Bagian-bagian Otak 1

Seperti terlihat pada gambar di atas, otak terdiri dari tiga bagian, yaitu:
1. Serebrum (Otak Besar)
Serebrum adalah bagian terbesar dari otak yang terdiri dari dua hemisfer.
Hemisfer kanan berfungsi untuk mengontrol bagian tubuh sebelah kiri dan
hemisfer kiri berfungsi untuk mengontrol bagian tubuh sebelah kanan.
Masing-masing hemisfer terdiri dari empat lobus. Bagian lobus yang

14
menonjol disebut gyrus dan bagian lekukan yang menyerupai parit disebut
sulkus. Keempat lobus tersebut masing-masing adalah lobus frontal, lobus
parietal, lobus oksipital dan lobus temporal. 1
a. Lobus parietal merupakan lobus yang berada di bagian tengah serebrum.
Lobus parietal bagian depan dibatasi oleh sulkus sentralis dan bagian
belakang oleh garis yang ditarik dari sulkus parieto-oksipital ke ujung
posterior sulkus lateralis (Sylvian). Daerah ini berfungsi untuk menerima
impuls dari serabut saraf sensorik thalamus yang berkaitan dengan segala
bentuk sensasi dan mengenali segala jenis rangsangan somatik. 2
b. Lobus frontal merupakan bagian lobus yang ada di bagian paling depan
dari serebrum. Lobus ini mencakup semua korteks anterior sulkus sentral
dari Rolando. Pada daerah ini terdapat area motorik untuk mengontrol
gerakan otot-otot, gerakan bola mata; area broca sebagai pusat bicara; dan
area prefrontal (area asosiasi) yang mengontrol aktivitas intelektual. 2
c. Lobus temporal berada di bagian bawah dan dipisahkan dari lobus oksipital
oleh garis yang ditarik secara vertikal ke bawah dari ujung atas sulkus
lateral. Lobus temporal berperan penting dalam kemampuan 10
pendengaran, pemaknaan informasi dan bahasa dalam bentuk suara. 2
d. Lobus oksipital berada di belakang lobus parietal dan lobus temporal.
Lobus ini berhubungan dengan rangsangan visual yang memungkinkan
manusia mampu melakukan interpretasi terhadap objek yang ditangkap
oleh retina mata. 2
2. Serebelum (Otak Kecil)
Serebelum atau otak kecil adalah komponen terbesar kedua otak. Serebelum
terletak di bagian bawah belakang kepala, berada di belakang batang otak
dan di bawah lobus oksipital, dekat dengan ujung leher bagian atas.
Serebelum adalah pusat tubuh dalam mengontrol kualitas gerakan.
Serebelum juga mengontrol banyak fungsi otomatis otak, diantaranya:
mengatur sikap atau posisi tubuh, mengontrol keseimbangan, koordinasi otot
dan gerakan tubuh. Selain itu, serebelum berfungsi menyimpan dan

15
melaksanakan serangkaian gerakan otomatis yang dipelajari seperti gerakan
mengendarai mobil, gerakan tangan saat menulis, gerakan mengunci pintu
dan sebagainya. 1
3. Batang Otak Batang otak berada di dalam tulang tengkorak atau rongga
kepala bagian dasar dan memanjang sampai medulla spinalis. Batang otak
bertugas untuk mengontrol tekanan darah, denyut jantung, pernafasan,
kesadaran, serta pola makan dan tidur. Bila terdapat massa pada batang otak
maka gejala yang sering timbul berupa muntah, kelemahan otat wajah baik
satu maupun dua sisi, kesulitan menelan, diplopia, dan sakit kepala ketika
bangun. 1
Batang otak terdiri dari tiga bagian, yaitu:
a. Mesensefalon atau otak tengah (disebut juga mid brain) adalah bagian
teratas dari batang otak yang menghubungkan serebrum dan serebelum.
Saraf kranial III dan IV diasosiasikan dengan otak tengah. Otak tengah
berfungsi dalam hal mengontrol respon penglihatan, gerakan mata, 12
pembesaran pupil mata, mengatur gerakan tubuh dan pendengaran. 2
b. Pons merupakan bagian dari batang otak yang berada diantara midbrain
dan medulla oblongata. Pons terletak di fossa kranial posterior. Saraf Kranial
(CN) V diasosiasikan dengan pons. 2
c. Medulla oblongata adalah bagian paling bawah belakang dari batang otak
yang akan berlanjut menjadi medulla spinalis. Medulla oblongata terletak
juga di fossa kranial posterior. CN IX, X, dan XII disosiasikan dengan
medulla, sedangkan CN VI dan VIII berada pada perhubungan dari pons dan
medulla. 2
B. AREA KORTEKS MOTORIK
Korteks motorik primer (Girus presentralis) merupakan sekumpulan
jaringan kortikal yang terletak di sisi yang berlawanan dengan sulkus
sentralis dari korteks somatosendorik primer (di girus post-sentralis) dan
meluas ke atas dan melewati tepi superomedial hemisfer serebri menuju

16
permukaan medialnya. Area yang merepresentasikan tenggorokan dan laring
terletak pada ujung inferior korteks motorik primer; di bagian atasnya ,
secara berkesinambungan adalah area yang merepresentasikan wajah;
eksterimatas atas , badan dan ekstremitas bawah. Struktur ini merupakan
“Homonkulus motorik” terbalik, yang bersesuaian dengan “ homonkulus
somatosensorik” girus post-sentralis.3
Neuron motorik tidak hanya ditemukan di area 4, tetapi juga di area
korteks di sekitarnya. Namun, serabut yan menghantarkan gerakan volunter
halus terutama berasal dari girus pre-sentralis. Girus ini merupakan lokasi
neuron piramidalis (sel betz) besar yang khas, yang terletak dilapisan selular
kelima korteks dan mengirimkan aksonnya yang bermiyelin tebal dan
berdaya konduksi cepat ketraktur piramidalis. 3

Gambar 2 : Homunkulus Motorik korteks cerebri 3


A. Traktus Kortikospinalis (Traktus Piramidalis)
Traktus ini berasal dari korteks motorik dan berjalan melalui
substantia alba serebri (Corona radiata), Krus posterius kapsula interna
(Serabut terletak sangat berdekatan disini), Bagian sentral pedunkulus
serebri ( krus serebri), Pons , dan basal medula ( Bagian anteriot) , tempat
traktus terlihat sebagai penonjolan kecil yang disebut piramid. Piramid
medula (terdapat satu pada masing-masing sisi) memberikan nama pada
traktus tersebut. Pada bagian ujung bawah medula, 80-85% serabut
piramidal menyilang di sisi lain di deccucasio piramidum. Serabut yng tidak

17
menyilang disini berjalan menuruni medula spinal di fenikulus anterior
ipsilaterlal sebagai traktus kortikospinalis anterior ; serabut ini menyilang
lebih ke bawah ( biasanya setingkat segmen yang dipersarafinya), melalui
komisura anterior medula spinalis. 3
Pada tingkat servikal dan torakal , kemungkinan juga terdapat
beberapa serabut yang tetap tidak menyilang dan mempersarafi neuron
motorik ipsilateral di kornu anterius, sehingga otot-otot leher dan badan
mendapatkan persarafan korikal bilateral. Mayoritas serabut traktus
piramidalis menyilang di dekusasio piramidum, kemudian menuruni medula
spinalis di funikulus lateralis kontralateral sebagai traktus kortispinalis
lateralis. Traktus ini mengecil pada area potong-lintangnya ketika berjalan
turun kebawah medula spinalis, karna beberapa serabutnya berakhiir di
masing-masing segmen disepanjang perjalanannya. Sekitar 90% dari semua
serabut traktus piramidalis berakhir membentuk sinaps dengan interneuron,
yang kemudain menghantarkan impuls motorik ke neuron motor α yang
besar di kornu anterius, serta ke neuron motorik yang lebih kecil. 3

B. Traktus Kortikonuklearis (Traktus Kortikobulbaris)


Beberapa serabut traktus piramidalis membentuk cabang dan massa
utama ketika melewati otak tengah dan kemudian berjalan lebih ke dorsal
menuju nuklei nervi kranialis motorik . Serabut yang mepersarafi nuklei
batang otak ini sebagian menyilang dan tidak menyilang. Nuklei yang
menerima input traktus piramidalis adalah nuklei yang memediasi gerakan
volunter otot-otot kranial melalui nervus kranialis V ( nervus trigeminus),
Nervus kranialis VII (Nervus fasialis), Nervus krnaialis IX, X , XI ( Nervus
glossofaringeus , Nervus vagus dan nervus aksesorius), Serta Nervus
kranialis XII ( Nervus Hypoglossus). 2,3

18
Gambar 3: Traktus Kortikospinalis dan Kortikobulbar 3

C. AREA KORTEKS SENSORIK


Daerah anterior lobus parietalis ditandai oleh sulkus sentralis, yang
juga menunjukkan batas posterior lobus frontalis.Pada bagian medialnya,
lobus parietalis dipisahkan dari lobus oksipitalis oleh sulkus
parietooksipitalis.Pemisahan lobus parietalis dan oksipitalis pada konveksitas
lateralis dapat diperkirakan dengan menarik garis dari sulkus
parietooksipitalis pada bagian medial ke preoccipital notch (suatu indentasi
sulkus yang kecil pada permukaan ventrolateral otak yang juga perluasan
lobus temporalis ke arah posterior). Kecuali daerah sepanjang ramus posterior
horizontal (RHP) fisura lateralis, sulit menentukan batas antara lobus
parietalis dan temporalis. Batas posteroinferior lobus parietalis pada
permukaan lateral serebri dapat diperkirakan dengan membuat garis khayal
dari RHP fisura lateralis ke garis perpendikular yang digambar ke arah atas
dari preoccipital notch. 4 Ada lima bagian penting pada lobus parietalis yaitu
girus postsentralis, lobus parietalis superior, lobus parietalis inferior,
prekuneus, dan bagian posterior dari lobus parasentralis. Girus postsentralis
terletak antara sulkus sentralis dan sulkus postsentralis. Lobus parietalis
inferior terdiri dari dua bagian yaitu girus supramarginal dan girus angularis.

19
Prekuneus adalah bagian korteks yang terletak di anterior lobus oksipitalis
pada medial permukaan hemisfer. 4

Gambar 4 : Somatosensorik Otak 2

a. Korteks area sensorik primer (Area 3, 1, dan 2)


Korteks area sensorik primer meliputi girus postsentralis dan meluas ke
arah anterior sampai mencapai dasar sulkus sentralis. Korteks area ini
juga meluas sampai meliputi sebagian dari permukaan medial hemisfer
serebri. Area ini bertanggung jawab untuk persepsi nyeri dan suhu,
sensasi somatik dan proprioseptif secara sadar, terutama dari separuh
tubuh dan wajah bagian kontralateral. Aferennya menerima input
somatosensoris dari nukleus ventral posterolateralis (VPL) dan ventral
posteromedialis (VPM) di talamus. Proyeksi alat genital, daerah anal,
kaki serta jari kaki terdapat pada permukaan medial hemisfer (bagian
posterior lobulus parasentralis). 4

20
Gambar 5 : Homunkulus somatosensorik 4
b. Korteks area asosiasi somatosensorik (area 5 dan 7)
Korteks area asosiasi somatosensorik menempati lobulus parietalis
superior meluas sampai permukaan medial hemisfer. Area ini
mempunyai hubungan dengan area sensorik lainnya. Fungsi utama
korteks ini adalah menerima dan mengintegrasikan modalitas sensorik
yang berlainan. Daerah ini menerima serabut talamokortikalis yang
berasal dari nukleus ventral posterolateralis talamus, dan memiliki
hubungan dengan area 3, 1, dan 2 melalui seratasosiasi pendek. 4
c. Girus angularis dan supramarginalis (area 39 dan 40) Impulssensorik
yang mencapai korteks serebri pada akhirnya akan mengalami integrasi
terakhir di dalam girus angularis (area 39) yang juga dikenal sebagai
daerah integrasi umum. Girus angularis terletak di daerah pertemuan
antara lobus parietalis, temporalis, dan oksipitalis. Girus ini menerima
dan mengirimkan seratasosiasi dari dan ke berbagai daerah korteks,
termasuk girus supramarginalis. Girus supramarginalis (area 40) disebut
area ideomotor yang bertugas untuk menentukan serangkaian tindakan
yang diperlukan sebagai reaksi dari informasi yang telah dikoordinasi
oleh girus angularis. 4

21
D. DEFINISI MENINGIOMA
Meningioma adalah tumor ekstra aksial yang berasal dari arachnoid
cap cell, umumnya jinak dan tumbuh lambat. 5
E. ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI MENINGIOMA
Para ahli tidak memastikan apa penyebab tumor meningioma, namun
beberapa teori telah diteliti dan sebagian besar menyetujui bahwa kromosom
yang jelek yang menyebabkan timbulnya meningioma. Para peneliti sedang
mempelajari beberapa teori tentang kemungkinan asal-usul meningioma. Di
antara 40% dan 80% dari meningioma berisi kromosom 22 yang abnormal
pada lokus gen neurofibromatosis 2 (NF2). NF2 merupakan gen supresor
tumor pada 22Q12, ditemukan tidak aktif pada 40% meningioma sporadik.
Pasien dengan NF2 dan beberapa non-NF2 sindrom familial yang lain dapat
berkembang menjadi meningioma multiple, dan sering terjadi pada usia
muda. Di samping itu, deplesi gen yang lain juga berhubungan dengan
pertumbuhan meningioma. 6
Kromosom ini biasanya terlibat dalam menekan pertumbuhan tumor.
Penyebab kelainan ini tidak diketahui. Meningioma juga sering memiliki
salinan tambahan dari platelet diturunkan faktor pertumbuhan (PDGFR) dan
epidermis reseptor faktor pertumbuhan (EGFR) yang mungkin memberikan
kontribusi pada pertumbuhan tumor ini. Sebelumnya radiasi ke kepala,
sejarah payudara kanker, atau neurofibromatosis tipe 2 dapat resiko faktor
untuk mengembangkan meningioma. Multiple meningioma terjadi pada 5%
sampai 15% dari pasien, terutama mereka dengan neurofibromatosis tipe 2. 7
Beberapa meningioma memiliki reseptor yang berinteraksi dengan
hormon seks progesteron, androgen, dan jarang estrogen. Ekspresi
progesteron reseptor dilihat paling sering pada meningioma yang jinak, baik
pada pria dan wanita. Fungsi reseptor ini belum sepenuhnya dipahami, dan
demikian, sering kali menantang bagi dokter untuk menasihati pasien
perempuan mereka tentang penggunaan hormon jika mereka memiliki sejarah
suatu meningioma. Meskipun peran tepat hormon dalam pertumbuhan

22
meningioma belum ditentukan, peneliti telah mengamati bahwa kadang-
kadang mungkin meningioma tumbuh lebih cepat pada saat kehamilan. 7
F. KLASIFIKASI MENINGIOMA
WHO mengembangkan sistem klasifikasi untuk beberapa tumor yang
telah diketahui, termasuk meningioma. Tumor diklasifikasikan melalui tipe
sel dan derajat pada hasil biopsi yang dilihat di bawah mikroskop.
Penatalaksanaannya pun berbeda-beda di tiap derajatnya. 8
 Grade I
Meningioma tumbuh dengan lambat, jika tumor tidak menimbulkan gejala,
mungkin pertumbuhannya sangat baik jika diobservasi dengan MRI secara
periodik. Jika tumor semakin berkembang, maka pada akhirnya dapat
menimbulkan gejala, kemudian penatalaksanaan bedah dapat
direkomendasikan. Kebanyakan meningioma grade I diterapi dengan
tindakan bedah dan observasi yang berkelanjutan.
 Grade II
Meningioma grade II disebut juga meningioma atypical. Jenis ini tumbuh
lebih cepat dibandingkan dengan grade I dan juga mempunyai angka
kekambuhan yang lebih tinggi. Pembedahan adalah penatalaksanaan awal
pada tipe ini. Meningioma grade II biasanya membutuhkan terapi radiasi
setelah pembedahan.
 Grade III
Meningioma berkembang dengan sangat agresif dan disebut meningioma
malignan atau meningioma anaplastik. Meningioma malignan terhitung
kurang dari 1 % dari seluruh kejadian meningioma. Pembedahan adalah
penatalaksanaan yang pertama untuk grade III diikuti dengan terapi radiasi.
Jika terjadi rekurensi tumor, dapat dilakukan kemoterapi.

23
Gambar 6 : Klasifikasi Meningioma menurut WHO 7
Meningioma juga diklasifikasikan ke dalam subtipe berdasarkan lokasi dari tumor : 7
a. Meningioma falx dan parasagital (25% dari kasus meningioma). Falx
adalah selaput yang terletak antara dua sisi otak yang memisahkan
hemisfer kiri dan kanan. Falx cerebri mengandung pembuluh darah besar.
Parasagital meningioma terdapat di sekitar falx.
b. Meningioma Convexitas (20%). Tipe meningioma ini terdapat pada
permukaan atas otak.
c. Meningioma Sphenoid (20%) Daerah Sphenoidalis berlokasi pada daerah
belakang mata. Banyak terjadi pada wanita.
d. Meningioma Olfactorius (10%). Tipe ini terjadi di sepanjang nervus yang
menghubungkan otak dengan hidung.
e. Meningioma fossa posterior (10%). Tipe ini berkembang di permukaan
bawah bagian belakang otak.
f. Meningioma suprasellar (10%). Terjadi di bagian atas sella tursica, sebuah
kotak pada dasar tengkorak dimana terdapat kelenjar pituitari.
g. Spinal meningioma (kurang dari 10%). Banyak terjadi pada wanita yang
berumur antara 40 dan 70 tahun. Akan selalu terjadi pada medulla spinalis
setingkat thorax dan dapat menekan spinal cord. Meningioma spinalis
dapat menyebabkan gejala seperti nyeri radikuler di sekeliling dinding
dada, gangguan kencing, dan nyeri tungkai.
h. Meningioma Intraorbital (kurang dari 10%). Tipe ini berkembang pada
atau di sekitar mata cavum orbita.

24
i. Meningioma Intraventrikular (2%). Terjadi pada ruangan yang berisi
cairan di seluruh bagian otak.

Gambar 7 : Gambaran lokasi Meningioma 7


G. MANIFESTASI KLINIS MENINGIOMA
Gejala meningioma dapat bersifat umum (disebabkan oleh tekanan
tumor pada otak dan medulla spinalis) atau bisa bersifat khusus (disebabkan
oleh terganggunya fungsi normal dari bagian khusus dari otak atau tekanan
pada nervus atau pembuluh darah). Secara umum, meningioma tidak bisa
didiagnosa pada gejala awal. 5
Gejala umumnya seperti :
 Sakit kepala, dapat berat atau bertambah buruk saat beraktifitas atau
pada pagi hari.
 Perubahan mental
 Kejang
 Mual muntah
 Perubahan visus, misalnya pandangan kabur.

25
Gejala dapat pula spesifik terhadap lokasi tumor : 5
 Meningioma falx dan parasagittal : nyeri tungkai
 Meningioma Convexitas : kejang, sakit kepala, defisit neurologis
fokal, perubahan status mental
 Meningioma Sphenoid : kurangnya sensibilitas wajah, gangguan
lapangan pandang, kebutaan, dan penglihatan ganda.
 Meningioma Olfactorius : kurangnya kepekaan penciuman, masalah
visus.
 Meningioma fossa posterior : nyeri tajam pada wajah, mati rasa, dan
spasme otot-otot wajah, berkurangnya pendengaran, gangguan
menelan, gangguan gaya berjalan,
 Meningioma suprasellar : pembengkakan diskus optikus, masalah
visus
 Spinal meningioma : nyeri punggung, nyeri dada dan lengan
 Meningioma Intraorbital : penurunan visus, penonjolan bola mata

 Meningioma Intraventrikular : perubahan mental, sakit kepala,


pusing

H. TATALAKSANA MENINGIOMA
Penatalaksanaan meningioma tergantung dari lokasi dan ukuran tumor
itu sendiri. Terapi meningioma masih menempatkan reseksi operatif sebagai
pilihan pertama. Beberapa faktor yang mempengaruhi operasi removal massa
tumor ini antara lain lokasi tumor, ukuran dan konsistensi, vaskularisasi dan
pengaruh terhadap sel saraf, dan pada kasus rekurensi, riwayat operasi
sebelumnya dan atau radioterapi. Lebih jauh lagi, rencana operasi dan
tujuannya berubah berdasarkan faktor resiko, pola, dan rekurensi tumor.

26
Tindakan operasi tidak hanya mengangkat seluruh tumor tetapi juga termasuk
dura, jaringan lunak, dan tulang untuk menurunkan kejadian rekurensi. 5
1. Tatalaksana Meningioma WHO Grade I : 9
a. Medkamentosa
- Antikonvulsan profilaksis tidak direkomendasikan, kecuali atas
indikasi
- Pengobatan dengan dexamethasone dianjurkanpada pasien dengan
edema cerebral dengan dosis awal 16 mg / hari, bisa ditingkatkan
sampai 100 mg/hari dibagi menjadi2-4 kali.
- PPI diberikan jika pasien memiliki riwayat ulkus peptikum atau
menerima terapi kortikosteroid bersamaan dengan pemberian NSID.
b. Pembedahan
- Pembedahan adalah terapi primer, teknik operasi meliputi : rekseksi
tumor secara mikroskopik sangat disarankan untuk mencapai total
safe resection dengan minimal defisit neurologi (ICD 9 CM : 01.51)
, deompresi saraf krnaial (ICD 9 CM : 04.41) .\, pembebasan
pembuluh darah yang terlibat dengan tumor , dan tindakan
rekonstruksi tulang wajah (ICD 9 CM : 76.46) untuk meningioma
yang disertai hiperostosis tulang.
- IOM (Intra Operative Monitor) digunakan pada tindakan reseksi
meningioma yang letaknya intraparenkim dan ekstraaksial tetapi
sangat dekat dengan struktur vital seperti nervus kranial dan
pembuluh darah.
c. Radioterapi
- Dipertimbangkan pada kasus meningioma yang lokasinya sulit /
resiko tinggi untuk operasi , misal meningioma sinus covernosus,
tumor unresectable.

27
2. Tatalaksana Meningioma grade II dan III : 9
a. Terapi standar : Pembedahan dan radioterapi
b. Tumor kecil lokasi sulit, kandidat untuk stereotactic radiosurgery
c. Terapi sistemik dipertimbangkan untuk tumor yang unresectable atau
rekuren
Sistem derajat Simpson untuk pengambilan tumor
Derajat Pengambilan/Eksisi
I Komplit, eksisi secara makroskopik, termasuk: duramater, tulang yang
tidak normal, dan dura sinus yang terkena.
II Komplit, eksisi secara makroskopik, dengan koagulasi duramater
dengan Bovie atau laser.
III Komplit, eksisi secara makroskopik, tanpa reseksi atau koagulasi
duramater
Atau ekstensi ekstradural (misalnya tulang yang hiperostosi)
IV Parsial eksisi, meninggalkan sebagian tumor
V Dekompresi sederhana, biopsy

Edukasi : 9
 Edukasi yang dapat disampaikan kepada pasien dan keluarga yakni
menjelaskan kemungkinan dapat terjadi defisit neurologis yang berhubungan
dengan lokasi meningioma dan akibat prosedur pembedahan seperti infeksi,
dan komplikasi lainnya.
 Karena progresinya lambat adalah tanda dari tumor jinak. Terapi pembedahan
merupakan pengobatan pilihan, yaitu dengan reseksi total. Dengan angka
harapan hidup 5 tahun 91,33%. Angka rekurensi setelah reseksi total
sebesar 11-15% dan setelah reseksi parsial atau inkomplit 37-85%. Secara
keseluruhan, angka rerata rekurensi 29% tanpa radioterapu dalam suatu
penelitian menyebutkan 19% sementara penelitian lain menemukan sekitar
50%.

28
 Efek radioterapi pada meningioma tidak jelas, meskipun sutau penelitian
retrospektif menyebutkan meningioma relatif radioresisten. Partial reseksi
dengan radioterapi mempunyai angka rekurensi 29% tanpa radioterapi 74%.
Efek samping radiasi sering timbul setelah dilakukan raioterapi rutin.
Kemoterapi tidak memberikan manfaat.
 Prognosis tumor otak tergantung pada hasil histopatologis, lokasi tumor, dan
volume tumor. Prognosis untuk meningioma dengan terapi pilihan (total
reseksi) adalah baik.
I. DEFINISI KEJANG
Kejang adalah perubahan aktivitas motorik abnormal yang tanpa atau
disertai dengan perubahan perilaku yang sifatnya sementara yang disebabkan
akibat pelepasan aktivitas listrik berlebihan di otak. 10 Epilepsi adalah kondisi
dimana terjadi kejang berulang karena ada proses yang mendasari tanpa
provokasi dan biasanya tidak terduga. Intractable seizure adalah kejang
dimana penggunaan obat - obatan tidak cukup kuat untuk menangani kejang.
11
Status epileptikus adalah kejang yang lebih dari 30 menit atau berulang
lebih dari 30 menit tanpa disertai pemulihan kesadaran. 11
J. ETIOLOGI KEJANG
Penyebab kejang secara umum dapat dibagi menjadi dua yaitu
intrakranial dan ekstrakranial.
1. Intrakranial
Penyebab intrakranial dapat dibagi lagi menjadi dua yaitu primer
dan sekunder. Penyebab intrakranial primer disebut juga idiopatik.
Sedangkan sekunder dapat disebabkan karena neoplasma intrakranial,
kelainan kongenital seperti hidrosefalus, infeksi seperti meningitis dan
ensefalitis, trauma kepala, dan perdarahan intracranial.
2. Ekstrakranial
Penyebab ekstrakranial biasa disebabkan karena gangguan
metabolisme seperti hipoglikemia, hipokalsemia, hepatik ensefalopati,

29
uremia, hiperproteinemia, hiperlipidemia, hipotiroid, dan hipoksia.
Penyebab ekstrakranial dapat juga disebabkan oleh metastasis keganasan ke
otak. 11
K. KLASIFIKASI KEJANG
Kejang dapat diklasifikasikan menjadi : 11
1. Kejang parsial
Kejang parsial adalah kejang yang berhubungan dengan keterlibatan satu
hemisfer serebri (pada daerah yang terbatas dan terlokalisir di korteks). Kejang
parsial dapat berkembang menjadi kejang umum pada seseorang yang
mengalami kejang. Kejang parsial dapat dikelompokkan menjadi :
a) Kejang parsial simpleks
Kejang parsial simpleks adalah bentuk kejang parsial yang tanpa disertai
dengan perubahan status mental. Kejang ini sering ditandai dengan
perubahan aktivitas motorik yang abnormal, sering terlihat pola aktivitas
motorik yang tetap pada wajah dan ekstremitas atas saat episode kejang
terjadi. Walaupun kejang parsial simpleks sering ditandai dengan perubahan
abnormal dari aktivitas motorik, perubahan abnormal dari sensorik,
autonom, dan psikis. Biasanya sering pula timbul gejala atau sensasi awal
dari kejang (Aura) yang terdiri dari rasa tidak nyaman pada
epigastrium,ketakutan,dan halusinasi.
b) Kejang parsial kompleks
Kejang parsial kompleks ditandai dengan perubahan abnormal dari
persepsi dan sensasi, dan disertai dengan perubahan kesadaran. Kejang ini
diakibatkan penyebaran cetusan pada jaringan otak secara bilateral,kearah
basal pada bagian frontal dan sistem limbik. 80% kejang ini berasal dari
lobus temporal dan sisanya dari lobus frontal serta occipital. Pada saat
kejang, pandangan mata anak tampak linglung, mulut anak seperti mengecap
– ngecap, jatuhnya air liur keluar dari mulut, dan seringkali disertai mual dan
muntah.

30
c) Kejang parsial dengan kejang umum sekunder
Kejang parsial dapat melibatkan kedua hemisfer serebri dan
menimbulkan gejala seperti kejang umum. Kejang parsial dengan kejang
umum sekunder biasanya menimbulkan gejala seperti kejang tonik klonik.
Hal ini sulit dibedakan dengan kejang tonik – klonik.
2. Kejang Umum
Kejang umum adalah kejang yang berhubungan dengan keterlibatan
kedua hemisfer serebri. Kejang umum disertai dengan perubahan kesadaran.
Kejang umum dapat dikelompokkan menjadi : 11
1. Kejang tonik klonik (grand mal seizure)
Kejang tonik klonik adalah bentuk kejang umum yang paling sering
terjadi. Kebanyakan kejang ini memiliki onset yang tiba – tiba, namun pada
beberapa kasus kejang ini didahului oleh aura (motorik atau sensorik). Aura
nya terdiri dari ansietas,irritabilitas,penurunan konsentrasi dan rasa sakit
pada kepala. Pada awal fase tonik, anak menjadi pucat, terdapat dilatasi
kedua pupil, dan kontraksi otot – otot yang disertai dengan rigiditas otot
yang progresif. Sering juga disertai dengan inkontinensia urin atau
inkontinensia tinja. Kemudian pada fase klonik, terjadi gerakan menghentak
secara ritmik dan gerakan fleksi yang disertai spasme pada ekstremitas.
Terjadi perubahan kesadaran selama episode kejang berlangsung dan bisa
berlanjut hingga beberapa saat setelah kejang berhenti.
2. Kejang tonik
Bentuk kejang ini sama seperti kejang tonik klonik pada fase tonik. Pada
hal ini tiba – tiba terdiam dengan seluruh tubuh menjadi kaku akibat rigiditas
otot yang progresif.
3. Kejang klonik
Kejang klonik ditandai dengan gerakan yang
menyentak,repetitif,tajam,lambat.
4. Kejang mioklonik

31
Kejang mioklonik ditandai dengan gerakan
menyentak,involunter,mendadak,dan cepat. Kejang tipe ini dapat terjadi
hingga ratusan kali per hari.
5. Kejang atonik
Kejang atonik ditandai dengan kehilangan tonus otot secara tiba – tiba
(drop attack).
6. Kejang absens
Kejang absens dapat dibagi menjadi kejang absens simpel (tipikal) atau
disebut juga petit mal dan kejang absens kompleks (atipikal). Kejang absens
tipikal ditandai dengan berhentinya aktivitas motorik secara tiba – tiba,
kehilangan kesadaran sementara secara singkat yang disertai dengan tatapan
kosong. Sering tampak kedipan mata berulang saat episode kejang terjadi.
Episode kejang terjadi kurang dari 30 detik. Sedangkan pada kejang absens
atipikal ditandai dengan gerakan seperti hentakan berulang yang bisa
ditemukan pada wajah dan ekstremitas, dan disertai dengan perubahan
kesadaran. 11
3. Kejang tak terklasifikasi
Kejang ini digunakan untuk mengklasifikasikan bentuk kejang yang
tidak dapat dimasukkan dalam bentuk kejang umum maupun kejang parsial. 11

32
BAB III

PEMBAHASAN

 Pada kasus ini, dari anamnesis ditemukan pasien wanita berusia 60 tahun dengan
keluhan lemas seluruh badan, lemas sudah dirasakan sejak 1 minggu sebelum MRS.
Lemas timbul perlahan dan memberat 3 hari terakhir, sampai pasien kesulitan untuk
duduk sendiri. Keluhan tidak membaik walaupun sudah dipakai istirahat. Pasien
juga mengeluh merasa pusing dan sakit kepala terutama di sebelah kiri. Pusing
timbul sewaktu-waktu dan bertahan sekitar 15 menit. Pusing tidak berputar dan
tidak disertai mual muntah. Pusing diperberat dengan aktivitas dan diperingan
dengan istirahat berbaring. Pasien juga kesulitan berbicara seperti terbatah-batah,
namun masih dapat mengerti dan menjawab komunikasi. Tidak ada kejang , tidak
ada demam, Batuk, mual atau muntah. BAB dan BAK dbn. Alergi (-) DM (-) HT
(+) Sejak 10 tahun yang lalu, tetapi rutin minum obat amlodipin dan kontrol ke Sp
Jantung.
 Dari Riwayat penyakit dahulu didapatkan pasien pernag mengidap meningioma dan
telah dilakukan operasi eksisi meningioma 1,5 tahun yang lalu. Gejala yang timbul
saat ini seperti hemiparese, pusing kepala sebelah kiri, dan kejang adalah
komplikasi yang ditimbulkan dari operasi tumor yang lalu.
 Karena tumor berada di area motorik primer sehingga gejala saat ini sulit
dihilangkan namun hanya bisa dikontrol dengan obat-obatan.
 Pada pemeriksaan fisik didapatkan:
TTV pada tensi didapatkan tingi yaitu 180/70 mmHg, Nadi 65x / menit ,
yang lain dalam batas normal
Status Neurologis kesadaran CM, GCS 456, Pupil isokor 3mm/3mm,
Kelemahan M. Trapezius dextra (+), pemeriksaan motorik didapatkan
hemiparese dengan kekuatan motorik lengan kanan 2 dan kaki kanan 3 .
Sensorik sebelah kanan berkurang namun masih terasa

33
 Pemeriksaan Penunjang:
Darah Lengkap Limfosit 46,670 ribu/Ul, Eritrosit 3,40 juta/uL, Hb 11,64 g/dL,
Trombosit 258 ribu/uL), Natrium 132,20 , Lain-lain dalam batas normal
 Pada Pemeriksaan Penunjang dengan CT Scan kepala tanpa kontras maupun
dengan kontras didapatkan adanya Ensefalomalacya dan non communicating
hydrocephalus.
 Pemilihan terapi berupa medikamentosa, dan fisioterapi.
 Pada pasien ini mendapat terapi:
 -Inf. PZ : RD5 1:1 14 tpm
 -Inj Dexamethasone 3 x 1 ml IV ( 5 mg/ ml)
 -Inj.Omeprazole 2 x 40 mg IV
 -Inj Phenitoin 2 ml IV ( 50 mg / ml )
 -Depakot 2x 1 PO
 -Candesartan 1x16 mg PO
 -Escovit 2x1 tab PO
 -Frego 2x1
 -Konsul spesialis Rehab
 Selain mendapat terapi medikamentosa, pada pasien juga dilakukan edukasi bahwa
saat ini yang bisa dilakukan adalah mencegah keluhan semakin buruk dengan obat-
obatan dan memperbaiki keadaan umum pasien dengan pemberian nutrisi yang
adekuat.

34
DAFTAR PUSTAKA

1. Moore KL, Dalley AF, Agur AMR, Moore ME. 2013. Anatomi berorientasi
klinis. Edisi ke−5. Jakarta: Erlangga.
2. Bahrudin, M. (2012) Neuroanatomi dan Aplikasi Klinis Diagnosis Topis. 1st
edn. Edited by J. Triwanto. Malang: UPT Penerbitan Universitas
Muhammadiyah Surakarta. Available at: http://ummpress.umm.ac.id.
3. Nieuwenhuys et al., 2008.The Human Central Nervous System.4th ed. Springer,
Germany.Pp 20- 22
4. Baehr, M., Frotscher, M. 2005. Duus’ Topical Diagnosis in Neurology. 4th ed.
Thieme: New York. pp 350-353
5. Al-Hadidy, A.M., Maani, W.S., Mahafza, W.S., Al-Najar, M.S., Al-Nadii,
M.M., 2007. Intracranial Meningioma. J Med J 41 (1): 37-51.
6. Wiemels, J., Wrensch, M., Claus, E.B., 2010. Epidemiology and etiology of
meningioma. J Neurooncol 99 (3): 307-314
7. Ragel, B.T. & Jensen, R.L., 2003. Pathophysiology of meningiomas. Semin
Neurosurg 14 (3): 169-185.
8. Riemenschneider, M.J., Perry, A., Reifenberger, G., 2006. Histological
classification and molecular genetics of meningioma. Lancet Neurol 5: 1045-
1054.
9. Satyanegara. 2014. Ilmu Bedah Saraf. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
10. Friedman M.J, Sharrieff G. Q. Seizures in Children. Pediatric Clin N Am.
2006;53:257-277
11. Fauci A, Braunwald E, Kasper D, Hauser S, Longo D, Jameson J, et al.
Epilepsy. Di Dalam: Harrison’s Principles of Internal Medicine 17th Edition:
McGraw Hill. 2008.

35

Anda mungkin juga menyukai