ALLODYNIA
Dokter Pembimbing :
Disusun Oleh :
Fatharani Mazaya G
2018730036
2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan
kenikmatan kesehatan baik jasmani maupun rohani sehingga pada kesempatan ini penulis dapat
menyelesaikan penyusunan tugas Laporan kasus yang berjudul “Allodynia”. Penulis mengharapkan
saran dan kritik yang dapat membangun dari berbagai pihak agar dikesempatan yang akan datang
penulis dapat membuatnya lebih baik lagi.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih sebesar – besarnya kepada dr. Raden
Yogaswara, Sp.N selaku pembimbing serta berbagai pihak yang telah membantu penulis dalam
menyelesaikan penulisan laporan kasus ini. Demikian tugas ini penulis buat sebagai tugas dari
kepaniteraan Stase Ilmu Penyakit Saraf serta untuk menambah pengetahuan bagi penulis dan
pembaca. Semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat untuk kita semua.
Fatharani Mazaya
BAB I
LAPORAN KASUS
I. Identitas pasien
Usia : 71 tahun
Status : Menikah
Pekerjaan : Pensiunan
Agama : Islam
II. Anamnesis
Keluhan Utama:
Keluhan Tambahan
Pasien usia 71 tahun datang ke poliklinik saraf RSIJ Sukapura dengan keluhan nyeri
pada kedua kakinya saat disentuh. Nyeri dirasakan sejak 2 bulan yang lalu, lebih nyeri
pada kaki kiri, frekuensinya terus menerus dan tidak membaik saat istirahat. Pasien
mengatakan nyeri dirasakan seperti tertusuk-tusuk. Pasien juga mengeluhkan kedua
kakinya terasa baal pada tumit hingga telapak kaki, dan muncul sejak 6 bulan yang lalu.
Pasien mempunyai riwayat luka pada kaki kirinya namun sudah sembuh. Saat ini pasien
belum pernah berobat.
Pasien sudah pension dari pekerjaannya menjadi pegawai swasta dan saat ini sehari-
hari ia bercocok tanam di kebunnya. Keluhan nyeri sangat mengganggu aktifitasnya
maka pasien memutuskan untuk berobat. Pasien mempunyai riwayat hipertensi namun
tidak terkontrol. Pada tahun 2020 pasien pernah menjalani operasi katarak. Pada saat
masuk, tekanan darah pasien mencapai 180/90 maka dokter menyarankan pasien untuk
dirawat. Riwayat diabetes disangkal, BAB dan BAK normal.
Pasien belum pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya. Pasien mempunyai
riwayat hipertensi tidak terkontrol. Pasien pernah operasi katarak pada tahun 2020.
Riwayat Pengobatan:
Riwayat Alergi :
Riwayat Psikososial :
Pasien tinggal sendiri karena istrinya sudah wafat. Sehari-hari pasien hanya bercocok
tanam di kebunnya.
Kesadaran : Composmentis
GCS : 15 E4M6V5
Tanda-tanda Vital
Nadi : 117x/menit
Suhu : 36.6℃
SpO2 : 98%
Antropometri
Berat Badan : 70 kg
Thorax
Paru-paru:
Jantung:
Perkusi : Redup
Abdomen
Inspeksi : Datar
Auskultasi : Bising usus (+) 7x/menit
Palpasi : Nyeri tekan (-)
Perkusi : Timpani pada seluruh kuadran abdomen
Ekstremitas Atas : Akral hangat, CRT <2 detik, edema (-/-)
Ekstremitas Bawah : Akral hangat, CRT <2 detik, edema (+/+)
IV. Pemeriksaan Neurologis Tanda
Rangsang Meningeal
Kernig : (-)
Lasegue : (-)
Brudzinski I : (-)
Brudzinski II : (-)
Saraf Kranial
N. II (kanan/kiri)
N. III-IV-VI (kanan/kiri)
Ptosis : (-/-)
Nistagmus : (-/-)
Diplopia : (-/-)
N. V (kanan/kiri)
Motorik
Membuka mulut : Tidak diperiksa
N. VII (kanan/kiri)
Menyeringai : +/+
N. VIII (kanan/kiri)
N. Vestibularis
N. IX-X (kanan/kiri)
N.XI (kanan/kiri)
Bentuk (kanan/kiri)
Tonus (kanan/kiri)
Refleks fisiologis
Biseps : (++/++)
Triseps : (++/++)
Brachioradialis : (++/++)
Patella : (++/++)
Achilles : (++/++)
Refleks patologis
Pemeriksaan Laboratorium
HEMATOLOGI
RENAL PROFILE
LIVER PROFILE
ELEKTROLIT
IMMUNOLOGI / SEROLOGI
Pemeriksaan Penunjang
Foto Polos Lumbosacral
Telah dilakukan foto polos lumbosacral tanpa kontras dengan hasil sbb :
• Aligntment vertebra lumbosacral normal.
• Tak tampak listesis atau kompresi.
• Tampak osteofit pada L. 1 s/d 5
• Pedicle normal. Discus intervertebralis normal.
• Foramen intervertebral lumbalis sempit.
• Densitas tulang menurun.
• Titik berat badan di depan promontorium.
Kesan : Spondilosis lumbalis.
Stenosis foramen intervertebralis lumbalis (LCS).
V. Resume
Pasien usia 71 tahun datang ke poliklinik saraf RSIJ Sukapura diantar oleh suaminya dengan
keluhan nyeri pada kedua kakinya saat disentuh. Nyeri dirasakan sejak 2 bulan yang lalu, lebih
nyeri pada kaki kiri, frekuensinya terus menerus dan tidak membaik saat istirahat. Pasien
mengatakan nyeri dirasakan seperti tertusuk-tusuk. Pasien juga mengeluhkan kedua kakinya
terasa baal pada tumit hingga telapak kaki, dan muncul sejak 6 bulan yang lalu. Pasien
mempunyai riwayat luka pada kaki kirinya namun sudah sembuh. Pasien punya riwayat
hipertensi yang tidak terkontrol namun diabetes disangkal. Pasien pernah menjalani operasi
katarak pada tahun 2020.
Pada pemeriksaan fisik keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran composmentis GCS
15 (E4M6V5) Tanda Vital TD 180/90 mmHg, HR 117 x/menit, RR 26x/menit, Temperatur 36,6
° C , SpO298%. Pemeriksaan fisik neurologis didapatkan rangsang nyeri pada ekstremitas
inferior positif.
Pemeriksaan penunjang laboratorium hematologi didapatkan adanya anemia dan hematokrit
menurun. Pada kadar elektrolit didapatkan kalium yang sedikit meningkat. Pada pemeriksaan
radiologi rontgen lumbosacral didapatkan kesan spondilosis lumbalis.
VII. Tatalaksana
Rawat inap
Infus kristaloid
Amlodipin 1x10 mg p.o
Alpentin 2x10mg p.o
Meloxicam 1x20 mg p.o
Folamil 2x1 tab p.o
Salbutamol 1x2 mg (saat masuk)
Sulfas atropine 2x1 ampul (saat masuk)
VIII. Prognosis
Dubia ad bonam.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Alodinia menurut International Association for The Study of Pain (IASP) adalah rasa
sakit akibat rangsangan yang biasanya tidak menimbulkan rasa sakit. Contohnya adalah
sentuhan bulu ringan (yang seharusnya hanya menghasilkan sensasi) yang menyebabkan rasa
sakit. Allodynia berbeda dari hiperalgesia, yang merupakan respons berlebihan dari stimulus
nyeri yang biasanya, meskipun keduanya dapat dan sering terjadi bersamaan. Keduanya
adalah jenis nyeri neuropatik. Alodinia seringkali diklasifikasikan lebih lanjut berdasarkan
jenis stimulus yang menyebabkan nosisepsi, seperti allodynia taktil, termal, dinamis atau
statis, atau berdasarkan tempat utama nosisepsi, seperti alodinia kulit. Alodinia dapat
disebabkan oleh penyakit yang mendasari seperti allodynia taktil neuropatik yang diinduksi
diabetes atau dapat menjadi proses penyakit utama itu sendiri, seperti pada neuralgia
postherpetic.
2.2 ETIOLOGI
Penyebab dari alodinia belum diketahui secara pasti. Penyebab paling umum dari
allodynia termasuk diabetes, herpes zoster, fibromyalgia dan sakit kepala migrain.
Nyeri neuropatik mempengaruhi 0,9% hingga 17,9% dari populasi masyarakat umum.
Allodynia diperkirakan mempengaruhi 15% sampai 50% orang dengan nyeri neuropatik.
Prevalensi dan epidemiologi allodynia yang tepat sulit ditentukan, karena merupakan gejala
yang terkait dengan banyak penyakit. Di bawah ini adalah epidemiologi penyakit paling umum
yang terkait dengan allodynia:
Fibromyalgia
Fibromyalgia mempengaruhi 0,5% hingga 5% orang di masyarakat umum, dengan rentang
yang bervariasi pada berbagai negara. Faktor risiko yang diketahui untuk fibromyalgia
termasuk usia, lupus, dan rheumatoid arthritis. Studi melaporkan pada perempuan 2-9 kali
lebih sering didiagnosis menderita fibromyalgia dibanding laki-laki. Beberapa penelitian
menyebutkan stres, obesitas, dan riwayat keluarga merupakan faktor resiko.
Trigeminal Neuralgia
Neuralgia trigeminal mempengaruhi 0,01% hingga 0,02% dari populasi umum. Wanita 1,5-3
kali lebih mungkin menderita neuralgia trigeminal daripada pria. Usia adalah faktor yang
kuat, dengan sebagian besar kasus neuralgia trigeminal terjadi pada usia di atas 40 tahun.
2.4 PATOFISIOLOGI
Nyeri merupakan suatu bentuk peringatan akan adanya bahaya kerusakan jaringan.
Pengalaman sensoris pada nyeri akut disebabkan oleh stimulus noksius yang diperantarai oleh
sistem sensorik nosiseptif. Sistem ini berjalan mulai dari perifer melalui medulla spinalis, batang
otak, thalamus dan korteks serebri. Apabila telah terjadi kerusakan jaringan, maka sistem nosiseptif
akan bergeser fungsinya dari fungsi protektif menjadi fungsi yang membantu perbaikan jaringan
yang rusak. Cidera atau inflamasi jaringan akan menyebabkan munculnya perubahan lingkungan
kimiawi pada akhir nosiseptor. Sel yang rusak akan melepaskan komponen intraselulernya seperti
+
adenosine trifosfat, ion K , pH menurun, sel inflamasi akan menghasilkan sitokin, chemokine dan
growth factor. Beberapa komponen diatas akan langsung merangsang nosiseptor (nociceptor
activators) dan komponen lainnya akan menyebabkan nosiseptor menjadi lebih hipersensitif
terhadap rangsangan berikutnya (nociceptor sensitizers). Pada kasus alodinia, sensitisasi yang
terjadi adalah sensitisasi sentral. memfasilitasi dan memperkuat transfer sipnatik dari nosiseptor ke
neuron kornu dorsalis. Pada awalnya proses ini dipacu oleh input nosiseptor ke medulla spinalis
(activity dependent), kemudian terjadi perubahan molekuler neuron (transcription dependent).
Sensitisasi sentral dan perifer merupakan contoh plastisitas sistem saraf, dimana terjadi perubahan
fungsi sebagai respon perubahan input (kerusakan jaringan). Dalam beberapa detik setelah
kerusakan jaringan yang hebat akan terjadi aliran sensoris yang masif kedalam medulla spinalis, ini
akan menyebabkan jaringan saraf didalam medulla spinalis menjadi hiperesponsif. Reaksi ini akan
menyebabkan munculnya rangsangan nyeri akibat stimulus non noksius dan pada daerah yang jauh
dari jaringan cedera juga akan menjadi lebih sensitif terhadap rangsangan nyeri.
2.5 DIAGNOSIS
Sedangkan untuk pemeriksaan fisik dapat dilakukan dengan memberi sentuhan ringan
dengan suhu, ujian sensorik propriosepsi, bersama dengan pengujian motorik dan kekuatan.
Sangat penting untuk menguji sisi yang "tidak terpengaruh", bahkan jika allodynia yang
dinyatakan hanya ada di satu sisi, untuk perbandingan. Penting juga untuk menguji keempat
ekstremitas, terutama jika allodynia tampaknya progresif dari daerah distal ke proksimal.
Adapun pemeriksaan yang terfokus pada area allodynia adalah sebagai berikut:
Umum
Pertama, lakukan inspeksi visual pada area allodynia. Bandingkan dengan sisi lain untuk
asimetri. Apakah ada pengecilan otot? Bagaimana penampakan kulitnya? Apakah ada ruam,
lesi, cacat kulit, atau vesikel? Ada bekas luka dari operasi sebelumnya?
Sentuhan ringan
Mengusapkan ujung kapas adalah cara sederhana untuk memberikan sentuhan ringan. Beri
tahu pasien untuk menutup mata saat pemeriksaan dilakukan, dan tanya kepada pasien
apakah mereka merasakan sesuatu. Catat apakah allodynia mengikuti dermatom kulit, jika
simetris dan jika bilateral.
Nyeri
Mengusap ujung jarum sering digunakan untuk menguji sensasi nyeri. Gunakan ujung yang
tajam dan ulangi seperti di atas untuk sentuhan ringan. Pasien harus dapat mengartikulasikan
dari mana sensasi itu berasal. Distribusi sensasi nyeri dan hiperalgesia mungkin sama atau
berbeda dengan distribusi allodynia.
Suhu
Beberapa pasien mengalami allodynia termal, bukan taktil. Pemeriksa dapat menggunakan
bagian belakang logam yang dingin, seperti garpu tala logam, atau es dalam sarung tangan,
untuk mengukur sensasi dingin.
Neuron Motorik
Memeriksa otot proksimal dan distal bilateral. Pemeriksaan koordinasi akan mengungkapkan
defisit neuron motorik halus. Jika pasien mempunyai kekuatan yang buruk, cobalah untuk
memastikan apakah itu benar-benar karena kelemahan otot, atau karena rasa sakit yang
menyebabkan berkurangnya usaha.
Refleks
Tes refleks bilateral. Catat jika pasien hiper- atau hiporefleksi dan jika refleksnya simetris.
Adapun pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan seperti laboratorium darah, imaging
berupa CT Scan atau MRI, EMG, dan tes Fungsi Neuron.
2.6 TERAPI
Antidepresan dengan aktivitas serotonergik dan noradrenergik telah menunjukkan efikasi
moderat dalam penatalaksanaan nyeri neuropatik. Antidepresan Trisiklik (TCA) dan Serotonin
Norepinefrin Reuptake Inhibitor (SNRI) (venlafaxine, duloxetine) direkomendasikan sebagai agen
lini pertama untuk nyeri neuropati perifer, terutama untuk painful polyneuropathy. Pilihan lini
pertama lainnya adalah gabapentinoid dan lidokain topikal. Menurut nilai number needed to treat
(NNT), TCA lebih efektif, namun efek sampingnya menimbulkan kekhawatiran terutama pada
pasien lansia. SNRI di sisi lain, adalah pilihan yang baik pada nyeri neuropati dengan depresi atau
gangguan kecemasan yang terjadi bersamaan. Antidepresan trisiklik telah menunjukkan efikasi
dalam pengobatan nyeri neuropatik sentral akibat stroke dan spinal cord injury, sedangkan SNRI
belum dipelajari secara memadai dalam nyeri sentral. Untuk pasien secara individual, pengobatan
disesuaikan dengan etiologi nyeri neuropatik, kondisi medis kronis yang menyertai dan
pengobatannya risiko individual, biaya perawatan dan preferensi pribadi.
2.7 PROGNOSIS
Prognosis allodynia akan bervariasi secara dramatis dengan penyakit yang mendasari kondisi yang
terkait. Prognosis dari nyeri neuropatik bergantung pada saraf yang terlibat apakah satu saraf
(mononeuropati), beberapa saraf (mononeuritis multiplex), atau mengenai seluruh saraf yang ada
(polineuropati). Nyeri neuropati ini tidak dapat sembuh total dan dapat timbul kembali. Tatalaksana
yang ada hanya untuk menyembuhkan gejala yang ditimbulkan seperti nyeri. Nyeri neuropatik
secara substansial dapat mengganggu kualitas hidup karena sering dikaitkan dengan masalah lain,
seperti kehilangan fungsi, kecemasan, depresi, gangguan tidur dan gangguan kognisi. Ukuran
kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan (HRQOL) yang menangkap dimensi kesehatan
yang luas termasuk fungsi fisik, mental, emosional dan sosial semakin banyak digunakan ketika
menilai kemanjuran intervensi yang berbeda untuk mengelola nyeri neuropatik dan non-neuropatik
kronis. Hal ini terutama berguna ketika menghitung tahun hidup yang disesuaikan dengan kualitas
(quality-adjusted life years), yang diperlukan untuk analisis utilitas biaya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Bates D, Schultheis BC, Hanes MC, Jolly SM, Chakravarthy KV, Deer TR, Levy RM, Hunter
CW. A comprehensive algorithm for management of neuropathic pain. Pain Medicine. 2019
Jun 1;20(Supplement_1):S2-12.
2. Allodynia - StatPearls - NCBI Bookshelf (no date). Available at:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK537129/ (Accessed: March 7, 2023).
3. Lolignier, S., Eijkelkamp, N. and Wood, J.N. (2014) “Mechanical allodynia,” Pflügers Archiv
- European Journal of Physiology, 467(1), pp. 133–139. Available at:
https://doi.org/10.1007/s00424-014-1532-0.