Anda di halaman 1dari 31

1

BAB I
ILUSTRASI KASUS

I. IDENTITAS
Nama : Tn. OA
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 34 tahun
Pekerjaan : Pegawai swasta
Pendidikan : Tamat SLTA
Agama : Islam
Status perkawinan : Menikah
Suku bangsa : Indonesia
Alamat : Kp. Setu, Kabupaten Tangerang Selatan
Tanggal masuk RS : 2 Februari 2014

II. ANAMNESIS
Dilakukan autoanamnesis dan alloanamnesis pada tanggal 3 Februari 2014.

Keluhan Utama :
Tidak sadarkan diri sejak 3 jam sebelum masuk RS

Keluhan Tambahan :
Pusing

Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke IGD RSUP Fatmawati dengan keluhan tidak sadarkan diri
sejak 3 jam SMRS. Pasien sebelumnya mengalami kecelakaan motor
tunggal saat berangkat kerja dan langsung dibawa ke IGD RSUP Fatmawati.
Saat itu pasien memakai helm. Pasien mengaku tidak ingat kejadiannya dan
2

berapa lama pingsannya. Pasien tersadar saat sudah berada di IGD dan
merasa kepala pusing setiap kali bergerak. Pasien mengaku bahu kirinya
sakit dan susah digerakkan. Pasien BAK banyak dan belum bisa BAB sejak
masuk RS tapi ada keinginan untuk BAB. Pasien mengaku tidak ada keluar
cairan atau darah dari hidung dan telinga. Pendengaran berkurang atau
berdenging disangkal. Keluhan muntah, kejang, demam, gangguan
penglihatan, nyeri leher, kelemahan anggota tubuh, dan rasa kesemutan
pada anggota tubuh disangkal. Saat kejadian pasien tidak sedang
mengkonsumsi alcohol atau obat-obatan.

Riwayat Penyakit Dahulu:
Tidak ada riwayat epilepsi pada pasien.

Riwayat Kebiasaan:
Pasien tidak mengkonsumsi obat-obatan terlarang maupun minuman
beralkohol.

III. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik di IGD RSUP Fatmawati tanggal 2 Februari 2014 pukul
07.30 WIB:
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : GCS: E4M6V5
Tekanan Darah : 110 / 70 mmHg
Nadi : 80 x/mnt
Suhu : 36
0
C
Pernafasan : 20 x/menit, teratur
Pengisian kapiler : < 3 detik
Ekstremitas : Akral hangat

Pemeriksaan fisik di ruang perawatan tanggal 3 Februari 2014:
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
3

Kesadaran : Compos Mentis, GCS: E4M6V5
Sikap : Berbaring
Koperasi : Kooperatif
Keadaan Gizi : Cukup
Tekanan Darah : 120 / 80 mmHg
Nadi : 76 x/mnt
Suhu : 36,5
0
C
Pernafasan : 20 x/mnt

Keadaan Lokal
Trauma Stigmata : vulnus laserasasi pada kepala bagian belakang,
vulnus ekskoriasi pada alis mata kiri, hematom
palpebra kiri, tampak bengkak dan vulnus
ekskoriasi pada wajah sebelah kiri, vulnus
eksoriasi pada bahu kiri dan punggung kiri, vulnus
ekskoriasi pada punggung tangan kiri, dan vulnus
ekskoriasi pada lutut kiri.
Pulsasi A.Carotis : Teraba, kanan = kiri, reguler
Perdarahan Perifer : capilary refil < 2 detik
Columna Vertebralis : Letak ditengah, skoliosis (-), lordosis (-)

Status Generalis
Kulit : Warna sawo matang, sianosis (-), ikterik (-)
Kepala : Normosefali, rambut hitam, distribusi merata, tidak
mudah dicabut, tidak ada alopesia, vulnus laserasi
pada bagian parietal kanan, bengkak dan vulnus
ekskoriasi pada wajah sebelah kiri.
Mata : konjungtiva anemis +/+, sclera ikterik -/-, ptosis -
/+, lagoftalmus -/-, raccoon eyes -/-, hematom
subkonjungtiva sinistra, hematoma periorbita
sinistra, vulnus ekskoriasi pada alis sinistra, pupil
4

bulat isokor, 3mm/3mm, refleks cahaya
langsung +/+, refleks cahaya tidak langsung +/+.
Telinga : Normotia +/+, perdarahan -/-, lapang +/+, battle
sign -/-
Hidung : Deviasi septum -/-, epistaksis -/-
Mulut : Bibir sianosis -, lidah kotor -
Tenggorok : Tidak dilakukan pemeriksaan
Leher : Bentuk simetris, trakea lurus di tengah, tidak teraba
pembesaran KGB dan tiroid.

Pemeriksaan Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis teraba di ICS 5 linea midklavikula
sinistra.
Perkusi : batas kanan jantung di ICS 4 linea sternalis dekstra,
batas kiri jantung di 1 ICS 5 linea midklavikula
sinistra, pinggang jantung di ICS 3 linea para
sternalis sinistra.
Auskultasi : S1 dan S2 normal reguler, murmur -, gallop -

Pemeriksaan Paru
Inspeksi : pergerakkan dada simetris pada statis dan dinamis
Palpasi : vocal fremitus kanan dan kiri sama
Perkusi : perkusi di seluruh lapang paru sonor
Auskultasi : suara nafas vesikuler, rhonki - / -, wheezing - /-

Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : datar, efloresensi -, venektasi -
Palpasi : supel, nyeri tekan -, hepar dan lien tidak teraba
membesar
Perkusi : timpani
5

Auskultasi : bising usus + normal, 5 x/menit

Punggung : vulnus ekskoriasi pada punggung kiri

Pemeriksaan Ekstremitas
Atas : akral hangat + / +, edema - / -, tampak vulnus
ekskoriasi pada bahu kiri, vulnus ekskoriasi pada
punggung tangan kiri
Bawah : akral hangat + / +, edema - / -, tampak vulnus
ekskoriasi pada lutut kiri

Status Lokalis regio bahu kiri
Look : Deformitas -, perdarahan -, luka terbuka -
Feel : Nyeri tekan Vas 4, krepitasi -
Move : pergerakan aktif dan pasif terbatas nyeri

IV. STATUS NEUROLOGIS
Tanda Rangsang Meningeal
Kaku kuduk : -
Laseque : >70
0
/ >70
0
Kerniq : > 135
0
/ > 135
0
Brudzinsky I : -
Brudzinsky II : - / -

Saraf-saraf Kranialis
N.I (olfaktorius) : normosmia +/+

N.II (optikus)
Acies visus : baik / baik (3/60, terbatas ruangan)
Visus campus : baik / baik
Lihat warna : baik / baik
6

Funduskopi : tidak dilakukan

N.III, IV, VI (Occulomotorius, Trochlearis, Abducen)
Kedudukkan bola mata : ortoposisi + / +
Pergerakkan bola mata : baik ke segala arah +/+ (nasal, temporal,
superior, inferior, nasal atas dan bawah,
temporal atas dan bawah)
Exopthalmus : - / -
Nystagmus : - / -
Pupil
Bentuk : bulat, isokor, 3mm/3mm
Reflek cahaya langsung : +/+
Reflek cahaya tidak langsung : +/+
Reflek akomodasi : +/+
Reflek konvergensi : +/+

N.V (Trigeminus)
Cabang Motorik : baik / baik
Cabang sensorik
Ophtalmikus : baik / baik
Maksilaris : baik / baik
Mandibularis : baik / baik

N.VII (Fasialis)
Motorik
Orbitofrontalis : baik / baik
Orbikularis okuli : baik / baik
Orbikularis oris : baik / baik
Pengecapan lidah : tidak dilakukan

N.VIII (Vestibulocochlearis)
7

Vestibular
Vertigo : +
Nistagmus : - / -
Koklearis
Tuli Konduktif : - / -
Tuli Perseptif : - / -
Test penala weber : tidak ada lateralisasi

N.IX, X (Glossopharyngeus, Vagus)
Motorik : tidak dilakukan
Sensorik : tidak dilakukan

N.XI (Accesorius)
Mengangkat bahu : baik / tidak dilakukan
Menoleh : tidak dilakukan / baik

N.XII (Hypoglossus)
Pergerakkan lidah : baik
Atrofi : -
Fasikulasi : -
Tremor : -

Sistem Motorik
Ekstremitas atas proksimal - distal : 5555 / TVD
Ekstremitas bawah proksimal - distal : 5555 / 5555

Gerakkan Involunter
Tremor : - / -
Chorea : - / -
Atetose : - / -
Miokloni : - / -
8

Tics : - / -
Trofik : eutrofik + / +
Tonus : normotonus + / +

Sistem Sensorik
Propioseptif : baik
Eksteroseptif : baik

Fungsi Serebelar
Ataxia : tidak dilakukan
Tes Romberg : tidak dilakukan
Disdiadokokinesia : baik
Jari-jari : baik
Jari-hidung : baik
Tumit-lutut : baik
Rebound phenomenon : baik
Hipotoni : - / -

Fungsi Luhur
Astereognosia : -
Apraxia : -
Afasia : -

Fungsi Otonom
Miksi : baik
Defekasi : baik
Sekresi keringat : baik

Refleks Fisiologis
Kornea : + / +
Biceps : +2 / +2
9

Triceps : +2 / +2
Dinding perut : + / +
Otot perut : + / +
Lutut : +2 / tidak dilakukan
Tumit : +2 / +2
Kremaster : tidak dilakukan

Refleks Patologis
Hoffman Tromer : - / -
Babinsky : - / -
Chaddok : - / -
Gordon : - / -
Schaefer : - / -
Klonus lutut : - / tidak dilakukan
Klonus tumit : - / -

Keadaan Psikis
Intelegensia : baik
Tanda regresi : -
Demensia : -

V. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Tanggal 2 Februari 2014
PEMERIKSAAN HASIL NILAI NORMAL
HEMATOLOGI
Hb 17,2 14 18 g/dL
Ht 47 33 45 %
Leukosit 22,0 (4,5 13). 10
3
/uL
Trombosit 259 (150 440). 10
3
/uL
Eritrosit 5,30 3.8-5,2 10
6
/uL
10

VER/HER/KHER/RDW
VER 89,3 80,0 - 100,0 fl
HER 32,4 26,0 - 34,0 pg
KHER 36,3 32,0 - 36,0 g/dl
RDW 12,3 11,5 - 14,5%
HEMOSTASIS
APTT 28,2 27,4 39,3 detik
Kontrol APTT 31,5 -
PT 11,7 11,3 14,7 detik
Kontrol PT 13,5 -
INR 0,83 -
FUNGSI HATI
SGOT 48 0 - 34 u/L
SGPT 28 0 - 40 u/L
FUNGSI GINJAL
Ureum Darah 13 20 - 40 mg/dl
Kreatinin Darah 0,6 0,6 - 1,5 mg/dl
DIABETES
GDS 98 70 - 240 mg/dl
ELEKTROLIT
Natrium 143 135 - 147 mmol/L
Kalium 3,90 3,10 - 5,10 mmol/L
Klorida 103 95 - 108 mmol/L
SERO - IMUNOLOGI
Golongan Darah O / Rh (+)


VI. PEMERIKSAAN RADIOLOGIS
CT scan kepala potongan axial dengan tebal irisan 3 mm di basis dan 10
mm di serebral tanpa kontras IV:
11


12



Deskripsi : Sulci dan gyri baik
Sistem ventrikel normal dan simetris
Fissure sylvii dan sisterna ambiens tidak menyempit
Tak tampak pergeseran garis tengah
Tak tampak perdarahan intraparenkimal perdarahan
subarachnoid ataupun subdural / epidural hematom
Serebellum dan pons baik
13

Tampak perselubungan dengan densitas perdarahan di
sinus maksilaris kiri
Tampak fraktur linier komplit dinding lateral dan anterior
sinus maksilaris kiri dan os zygoma kiri
Tampak soft tissue swelling region maksila kiri dan
zygoma kiri dan orbita kiri dengan gambaran udara di
dalamnya
Kesan : Fraktur linier komplit dinding lateral dan anterior sinus
maksilaris kiri dan os zygoma kiri
Perselubungan di sinus maksilaris kiri dd/ hematosinus
maksilaris kiri
Soft tissue swelling region maksila kiri dan zygoma kiri
dan orbita kiri dengan gambaran udara di dalamnya
Tak tampak perdarahan intraprenkimal / perdarahan
subarachnoid ataupun subdural / epidural hematom

VII. RESUME
Pasien laki-laki 34 tahun datang ke IGD dengan keluhan tidak sadarkan diri
sejak 3 jam SMRS. Pasien mengalami kecelakaan motor dan menggunakan
helm. Amnesia retrograde +. Pasien tersadar di IGD dan kepala pusing
setiap kali bergerak. Bahu kirinya sakit dan susah digerakkan. Bisa BAK
dan ada rasa ingin BAB. Dari pemeriksaan fisik didapatkan vulnus laserasasi
pada kepala bagian belakang, vulnus ekskoriasi pada alis mata kiri,
hematom palpebra kiri, tampak bengkak dan vulnus ekskoriasi pada wajah
sebelah kiri, vulnus eksoriasi pada bahu kiri, punggung kiri, punggung
tangan kiri, dan lutut kiri. Perdarahan subkonjungtiva sinistra. Keterbatasan
gerak pada ekstrimitas atas sinistra. Pada pemeriksaan laboratorium
didapatkan leukosit 22.000 u/L dan SGOT 48 u/L. pada pemeriksaan CT
scan kepala tanpa kontras didapatkan fraktur linier komplit dinding lateral
dan anterior sinus maksilaris kiri dan os zygoma kiri, perselubungan di sinus
maksilaris kiri dd/ hematosinus maksilaris kiri, soft tissue swelling region
14

maksila kiri dan zygoma kiri dan orbita kiri dengan gambaran udara di
dalamnya, tak tampak perdarahan intraprenkimal / perdarahan subarachnoid
ataupun subdural / epidural hematoma.

VIII. DIAGNOSIS KERJA
Diagnosis klinis : riwayat penurunan kesadaran, vertigo, amnesia
retrograde, hematom palpebra sinistra, perdarahan
subkonjungtiva sinistra, vulnus laserasi, dan
vulnus ekskoriasi
Diagnosis etiologi : commusio cerebri
Diagnosis topis : dinding lateral dan anterior sinus maksilaris kiri
dan os zygoma kiri, orbita kiri

IX. TATALAKSANA
Head elevation 30, tidak boleh menunduk
Diet tinggi kalori, tinggi protein, dan tinggi serat 1800 kkal/hari dengan
konsistensi makanan lunak
Perawatan luka
Kompres hangat mata kanan
IVFD NaCl 0,9% 500 cc/12 jam
IVFD manitol 4 x 100 cc IV
Ceftriaxone 1 x 2 g IV
Neurotam 3 x 3 g IV
Meloxicam 1 x 15 mg PO
Nonflamin 3 x 2 tab PO
Kalnex 2 x 500 mg PO

X. PROGNOSIS
Ad vitam : bonam
Ad functionam : bonam
Ad sanationam : bonam
15

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Trauma kapitis adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara
langsung ataupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi
neurologi yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik temporer
maupun permanen.

B. EPIDEMIOLOGI
Setiap tahun di Amerika Serikat mencatat 1,7 juta kasus trauma kepala,
52.000 pasien meninggal dan selebihnya dirawat inap. Trauma kepala juga
merupakan penyebab kematian ketiga dari semua jenis trauma yang dikaitkan
dengan kematian.
Rata-rata rawat inap pada lelaki dan wanita akibat terjatuh dengan
diagnosa trauma kepala sebanyak 146,3 per100.000 dan 158,3 per100.000.
Angka kematian trauma kepala akibat terjatuh lebih tinggi pada laki-laki
dibanding perempuan yaitu sebanyak 26,9 per100.000 dan 1,8 per100.000.
Bagi lansia pada usia 65 tahun ke atas, kematian akibat trauma kepala
mencatat 16.000 kematian dari 1,8 juta lansia di Amerika yang mangalami
trauma kepala akibat terjatuh. Menurut Akbar (2000), insiden trauma kepala
pada tahun 1995 sampai 1998 terdiri dari tiga tingkat keparahan trauma kepala
yaitu trauma kepala ringan sebanyak 60,3% (2463 kasus), trauma kepala
sedang sebanyak 27,3% (1114 kasus) dan trauma kepala berat sebanyak
12,4% (505 kasus). Kematian akibat trauma kepala mencatatkan sebanyak
11% berjumlah 448 kasus. Angka kejadian trauma kepala pada tahun 2004
dan 2005 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), FKUI mencatat
sebanyak 1426 kasus.
16

Penyebab utama trauma kepala adalah kecelakaan lalu lintas, kekerasan
dan terjatuh. Pejalan kaki yang mengalami tabrakan kendaraan bermotor
merupakan penyebab trauma kepala terhadap pasien anak-anak bila
dibandingkan dengan pasien dewasa.

C. KLASIFIKASI
Berdasarkan ATLS (2004) cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai
aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi, yaitu berdasarkan;
mekanisme, beratnya cedera, dan morfologi.
1. Mekanisme Cedera Kepala
Cedera otak dibagi atas cedera tumpul dan cedera tembus. Cedera
tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh,
atau pukulan benda tumpul. Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak
ataupun tusukan.

2. Beratnya Cedera Kepala
Glasgow Coma Scale (GCS) digunakan secara umum dalam deskripsi
beratnya penderita cedera otak. Penderita yang mampu membuka kedua
matanya secara spontan, mematuhi perintah, dan berorientasi mempunyai
nilai GCS total sebesar 15, sementara pada penderita yang keseluruhan
otot ekstrimitasnya flaksid dan tidak membuka mata ataupun tidak
bersuara maka nilai GCS-nya minimal atau sama dengan 3. Nilai GCS
sama atau kurang dari 8 didefinisikan sebagai koma atau cedera otak berat.
Berdasarkan nilai GCS, maka penderita cedera otak dengan nilai GCS 9-
13 dikategorikan sebagai cedera otak sedang, dan penderita dengan nilai
GCS 14-15 dikategorikan sebagai cedera otak ringan.
Menurut Brain Injury Association of Michigan (2005), klasifikasi
keparahan dari Traumatic Brain Injury yaitu :
17


3. Morfologi
a. Fraktur Kranium
Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dapat
berbentuk garis/linear atau bintang/stelata, dan dapat pula terbuka
ataupun tertutup. Fraktur dasar tengkorak biasanya memerlukan
pemeriksaan CT scan dengan teknik bone Universitas Sumatera
Utarawindow untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-
tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan
untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci. Fraktur kranium terbuka
dapat mengakibatkan adanya hubungan antara laserasi kulit kepala
dengan permukaan otak karena robeknya selaput dura. Adanya fraktur
tengkorak tidak dapat diremehkan, karena menunjukkan bahwa
benturan yang terjadi cukup berat.
Menurut Japardi (2004), klasifikasi fraktur tulang tengkorak sebagai
berikut;
Gambaran fraktur, dibedakan atas :
o Linier
o Diastase
o Comminuted
o Depressed
18

Lokasi Anatomis, dibedakan atas :
o Calvarium / Konveksitas ( kubah / atap tengkorak )
o Basis cranii ( dasar tengkorak )
Keadaan luka, dibedakan atas :
o Terbuka
o Tertutup

b. Lesi Intra Kraniald
Cedera otak difus
Mulai dari konkusi ringan, dimana gambaran CT scan
normal sampai kondisi yang sangat buruk. Pada konkusi, penderita
biasanya kehilangan kesadaran dan mungkin mengalami amnesia
retro/anterograd. Cedera otak difus yang berat biasanya
diakibatkan hipoksia, iskemi dari otak karena syok yang
berkepanjangan atau periode apnoe yang terjadi segera setelah
trauma. Pada beberapa kasus, CT scan sering menunjukkan
gambaran normal, atau gambaran edema dengan batas area putih
dan abu-abu yang kabur. Selama ini dikenal istilah Cedera
Aksonal Difus (CAD) untuk mendefinisikan trauma otak berat
dengan Universitas Sumatera Utaraprognosis yang buruk.
Penelitian secara mikroskopis menunjukkan adanya kerusakan
pada akson dan terlihat pada manifestasi klinisnya.


Perdarahan Epidural
Hematoma epidural terletak di luar
dura tetapi di dalam rongga tengkorak dan
gambarannya berbentuk bikonveks atau
menyerupai lensa cembung. Sering terletak di
area temporal atau temporo parietal yang
19

biasanya disebabkan oleh robeknya arteri meningea media akibat
fraktur tulang tengkorak.


Perdarahan Subdural
Perdarahan subdural lebih sering terjadi
daripada perdarahan epidural. Perdarahan ini
terjadi akibat robeknya vena-vena kecil di
permukaan korteks serebri. Perdarahan subdural
biasanya menutupi seluruh permukaan hemisfer
otak. Biasanya kerusakan otak lebih berat dan
prognosisnya jauh lebih buruk dibandingkan
perdarahan epidural.




Kontusio dan perdarahan intraserebral
Kontusio serebri sering terjadi dan
sebagian besar terjadi di lobus frontal dan lobus
temporal, walaupun dapat juga terjadi pada setiap
20

bagian dari otak. Kontusio serebri dapat, dalam waktu beberapa
jam atau hari, berubah menjadi perdarahan intra serebral yang
membutuhkan tindakan operasi.

D. PATOFISIOLOGI
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu
cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada
kepala sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan oleh
benturan langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses
akselerasi-deselerasi gerakan kepala.
Pada trauma
kapitis, dapat timbul suatu
lesi yang bisa berupa
perdarahan pada
permukaan otak yang
berbentuk titik-titik besar
dan kecil, tanpa
kerusakan pada
duramater, dan
dinamakan lesi kontusio.
Lesi kontusio di bawah area benturan disebut lesi kontusio coup, di
seberang area benturan tidak terdapat gaya kompresi, sehingga tidak terdapat
lesi. Jika terdapat lesi, maka lesi tersebut dinamakan lesi kontusio
countercoup. Kepala tidak selalu mengalami akselerasi linear, bahkan
akselerasi yang sering dialami oleh kepala akibat trauma kapitis adalah
akselerasi rotatorik. Bagaimana caranya terjadi lesi pada akselerasi rotatorik
adalah sukar untuk dijelaskan secara terinci. Tetapi faktanya ialah, bahwa
akibat akselerasi linear dan rotatorik terdapat lesi kontusio coup, countercoup
dan intermediate. Yang disebut lesi kontusio intermediate adalah lesi yang
berada di antara lesi kontusio coup dan countrecoup.
21

Akselerasi-deselerasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara
mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang
tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semi solid) menyebabkan
tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intra kranialnya. Bergeraknya isi
dalam tengkorak memaksa membentur permukaan dalam tengkorak pada
tempat yang berlawanan dari benturan (countrecoup).

Kerusakan sekunder terhadap otak disebabkan oleh siklus pembengkakan
dan iskemia otak yang menyebabkan timbulnya efek kaskade, yang efeknya
merusak otak. Cedera sekunder terjadi dari beberapa menit hingga beberapa
jam setelah cedera awal. Setiap kali jaringan saraf mengalami cedera, jaringan
ini berespon dalam pola tertentu yang dapat diperkirakan, menyebabkan
berubahnya kompartemen intrasel dan ekstrasel.
Beberapa perubahan ini adalah dilepaskannya glutamin secara berlebihan,
kelainan aliran kalsium, produksi laktat, dan perubahan pompa natrium pada
dinding sel yang berperan dalam terjadinya kerusakan tambahan dan
pembengkakan jaringan otak. Neuron atau sel-sel fungsional dalam otak,
22

bergantung dari menit ke menit pada suplai nutrien yang konstan dalam
bentuk glukosa dan oksigen, dan sangat rentan terhadap cedera metabolik bila
suplai terhenti. Cedera mengakibatkan hilangnya kemampuan sirkulasi otak
untuk mengatur volume darah sirkulasi yang tersedia, menyebabkan iskemia
pada beberapa daerah tertentu dalam otak.




E. DIAGNOSIS
Anamnesis:
Hampir selalu ditemukan riwayat trauma oleh karena kecelakaan lalu
lintas, kecelakaan kerja atau trauma lainnya. Anamnesis yang lebih terperinci
meliputi sifat kecelakaan atau sebab-sebab trauma untuk estimasi berat
ringannya benturan, saat terjadi beberapa jam/hari sebelum dibawa ke rumah
sakit, ada tidaknya benturan kepala langsung dan keadaan penderita saat
kecelakaan misalnya kejang, kelemahan motorik, gangguan bicara dan
perubahan kesadaran sampai saat diperiksa serta adanya nyeri kepala, mual
muntah.
Bila si pasien dapat diajak berbicara, tanyakan urutan peristiwa sejak
sebelum terjadinya kecelakaan, sampai saat tiba di rumah sakit untuk
mengetahui kemungkinan adanya amnesia retrograd. Muntah dapat
disebabkan oleh tingginya tekanan intrakranial. Pasien tidak selalu dalam
keadaan pingsan (hilang/turun kesadarannya), tapi dapat kelihatan
bingung/disorientasi (kesadaran berubah).

Pemeriksaan fisik:
1. Pemeriksaan kesadaran
Pemeriksaan kesadaran paling baik dicapai dengan menggunakan
Glasgow Coma Scale (GCS). GCS merupakan sistem skoring yang
didasari pada tiga pengukuran, yaitu: pembukaan mata, respon motorik,
23

dan respon verbal. Skor dari masing-masing komponen dijumlahkan dan
memberikan total nilai GCS. Nilai terendah adalah 3 sedangkan nilai
tertinggi adalah 15. Menurut Japardi (2004), GCS bisa digunakan untuk
mengkategorikan pasien menjadi:
GCS < 9 : pasien koma dan cedera kepala berat
GCS 9 13 : cedera kepala sedang
GCS > 13 : cedera kepala ringan

Fungsi utama dari GCS bukan sekedar merupakan interpretasi pada
satu kali pengukuran, tetapi skala ini menyediakan penilaian objektif
terhadap tingkat kesadaran dan dengan melakukan pengulangan dalam
penilaian dapat dinilai apakah terjadi perkembangan ke arah yang lebih
baik atau lebih buruk.
Glasgow Coma Scale (GCS) diciptakan oleh Jennet dan Teasdale
pada tahun 1974. Sejak itu GCS merupakan tolak ukur klinis yang
digunakan untuk menilai beratnya cedera kepala. GCS seharusnya telah
diperiksa pada penderita-penderita awal cedera terutama sebelum
mendapat obat-obat paralitik dan sebelum intubasi. Derajat kesadaran
tampaknya mempunyai pengaruh yang kuat terhadap kesempatan hidup
24

dan penyembuhan. GCS juga merupakan faktor prediksi yang kuat dalam
menentukan prognosa.
Terdapat beberapa kontroversi saat menentukan GCS. Penentuan
skor GCS sesudah resusitasi kardiopulmonal, dapat mengurangi nilai
prediksi GCS. Pada beberapa penderita, skor mata dan skor verbal sulit
ditentukan pada atau yang bengkak dan setelah tindakan intubasi
endotrakeal. Skor motorik dapat menjadi rediksi yang kuat; penderita
dengan skor mototrik 1 (bilateral flaksid) mempunyai mortalitas 90 %.
Adanya skor motorik yang rendah pada awal cedera dan usia di
atas 60 tahun merupakan kombinasi yang mematikan. Penentuan skor awal
GCS yang dapat dipercaya dan belum diberi pengobatan apapun atau
sebelum tindakan intubasi mempunyai nilai yang sangat penting.

2. Pemeriksaan Pupil
Pupil harus diperiksa untuk mengetahui ukuran dan reaksi terhadap
cahaya. Perbedaan diameter antara dua pupil yang lebih besar dari 1 mm
adalah abnormal. Pupil yang terfiksir untuk dilatasi menunjukkan adanya
penekanan terhadap saraf okulomotor ipsilateral. Respon yang terganggu
terhadap cahaya bisa merupakan akibat dari cedera kepala.

3. Pemeriksaan Neurologis
Pemeriksaan neurologis dilaksanakan terhadap saraf kranial dan
saraf perifer. Tonus, kekuatan, koordinasi, sensasi dan refleks harus
diperiksa dan semua hasilnya harus dicatat.

4. Pemeriksaan Scalp dan Tengkorak
Scalp harus diperiksa untuk laserasi, pembengkakan, dan memar.
Kedalaman leaserasi dan ditemukannya benda asing harus dicatat.
Pemeriksaan tengkorak dilakukan untuk menemukan fraktur yang bisa
diduga dengan nyeri, pembengkakan, dan memar.

25

Pemeriksaan penunjang:
1. X-ray Tengkorak
Indikasi foto polos kepala Tidak semua penderita dengan cidera
kepala diindikasikan untuk pemeriksaan kepala karena masalah biaya dan
kegunaan yang sekarang makin dittinggalkan. Jadi indikasi meliputi jejas
lebih dari 5 cm, Luka tembus (tembak/tajam), Adanya corpus alineum,
Deformitas kepala (dari inspeksi dan palpasi), Nyeri kepala yang menetap,
Gejala fokal neurologis, Gangguan kesadaran. Sebagai indikasi foto polos
kepala meliputi jangan mendiagnose foto kepala normal jika foto tersebut
tidak memenuhi syarat, Pada kecurigaan adanya fraktur depresi maka
dillakukan foto polos posisi AP/lateral dan oblique.

2. CT-Scan
Penemuan awal computed tomography scanner (CT Scan) penting
dalam memperkirakan prognosa cedera kepala berat. Suatu CT scan yang
normal pada waktu masuk dirawat pada penderita-penderita cedera kepala
berat berhubungan dengan mortalitas yang lebih rendah dan penyembuhan
fungsional yang lebih baik bila dibandingkan dengan penderita-penderita
yang mempunyai CT scan abnormal. Hal di atas tidaklah berarti bahwa
semua penderita dengan CT scan yang relatif normal akan menjadi lebih
baik, selanjutnya mungkin terjadi peningkata TIK dan dapat berkembang
lesi baru pada 40% dari penderita. Di samping itu pemeriksaan CT scan
tidak sensitif untuk lesi di batang otak karena kecilnya struktur area yang
cedera dan dekatnya struktur tersebut dengan tulang di sekitarnya. Lesi
seperti ini sering berhubungan dengan outcome yang buruk.
Indikasi CT scan:
Nyeri kepala menetap atau muntahmuntah yang tidak menghilang
setelah pemberian obatobatan analgesia/anti muntah.
Adanya kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna terdapat lesi
intrakranial dicebandingkan dengan kejang general.
26

Penurunan GCS lebih 1 point dimana faktorfaktor ekstracranial telah
disingkirkan (karena penurunan GCS dapat terjadi karena misal terjadi
shock, febris, dll).
Adanya lateralisasi.
Adanya fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai, misal
fraktur depresi temporal kanan tapi terdapat hemiparese/plegi kanan.
Luka tembus akibat benda tajam dan peluru
Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang membaik dari GCS.
Bradikardia (Denyut nadi kurang 60 X / menit).

3. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Magnetic Resonance Imaging (MRI) juga sangat berguna di dalam
menilai prognosa. MRI mampu menunjukkan lesi di substantia alba dan
batang otak yang sering luput pada pemeriksaan CT Scan. Ditemukan
bahwa penderita dengan lesi yang luas pada hemisfer, atau terdapat lesi
batang otak pada pemeriksaan MRI, mempunyai prognosa yang buruk
untuk pemulihan kesadaran, walaupun hasil pemeriksaan CT Scan awal
normal dan tekanan intrakranial terkontrol baik.
Pemeriksaan Proton Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS)
menambah dimensi baru pada MRI dan telah terbukti merupakan metode
yang sensitif untuk mendeteksi Cedera Akson Difus (CAD). Mayoritas
penderita dengan cedera kepala ringan sebagaimana halnya dengan
penderita cedera kepala yang lebih berat, pada pemeriksaan MRS
ditemukan adanya CAD di korpus kalosum dan substantia alba.
Kepentingan yang nyata dari MRS di dalam menjajaki prognosa cedera
kepala berat masih harus ditentukan, tetapi hasilnya sampai saat ini dapat
menolong menjelaskan berlangsungnya defisit neurologik dan gangguan
kognitif pada penderita cedera kepala ringan.

F. PENATALAKSANAAN
27

Penatalaksanaan awal penderita cedara kepala pada dasarnya memikili
tujuan untuk memantau sedini mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder
serta memperbaiki keadaan umum seoptimal mungkin sehingga dapat
membantu penyembuhan sel-sel otak yang sakit. Penatalaksanaan cedera
kepala tergantung pada tingkat keparahannya, berupa cedera kepala ringan,
sedang, atau berat.
Prinsip penanganan awal meliputi survei primer dan survei sekunder.
Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan antara lain
airway, breathing, circulation, disability, dan exposure, yang kemudian
dilanjutkan dengan resusitasi. Pada penderita cedera kepala khususnya dengan
cedera kepala berat survei primer sangatlah penting untuk mencegah cedera
otak sekunder dan mencegah homeostasis otak.
Tidak semua pasien cedera kepala perlu di rawat inap di rumah sakit.
Indikasi rawat antara lain:
a. Amnesia posttraumatika jelas (lebih dari 1 jam)
b. Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit)
c. Penurunan tingkat kesadaran
d. Nyeri kepala sedang hingga berat
e. Intoksikasi alkohol atau obat
f. Fraktur tengkorak
g. Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea
h. Cedera penyerta yang jelas
i. Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggung jawabkan
j. CT scan abnormal

Terapi medikamentosa pada penderita cedera kepala dilakukan untuk
memberikan suasana yang optimal untuk kesembuhan. Hal-hal yang
dilakukan dalam terapi ini dapat berupa pemberian cairan intravena,
hiperventilasi, pemberian manitol, steroid, furosemid, barbitirat dan
antikonvulsan. Pada penanganan beberapa kasus cedera kepala memerlukan
tindakan operatif. Indikasi untuk tindakan operatif ditentukan oleh kondisi
28

klinis pasien, temuan neuroradiologi dan patofisiologi dari lesi. Secara umum
digunakan panduan sebagai berikut:
a. volume masa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah
supratentorial atau lebih dari 20 cc di daerah infratentorial
b. kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis
c. tanda fokal neurologis semakin berat
d. terjadi gejala sakit kepala, mual, dan muntah yang semakin hebat
e. pendorongan garis tengah sampai lebih dari 3 mm
f. terjadi kenaikan tekanan intrakranial lebih dari 25 mmHg.
g. terjadi penambahan ukuran hematom pada pemeriksaan ulang CT scan
h. terjadi gejala akan terjadi herniasi otak
i. terjadi kompresi/obliterasi sisterna basalis

G. KOMPLIKASI
1. Koma
Penderita tidak sadar dan tidak memberikan respon disebut koma.
Pada situasi ini secara khas berlangsung hanya beberapa hari atau minggu,
setelah masa ini penderita akan terbangun, sedangkan beberapa kasus
lainnya memasuki vegetatife state. Walaupun demikian penderita masih
tidak sadar dan tidak menyadari lingkungan sekitarnya. Penderita pada
vegetatife state lebih dari satu tahun jarang sembuh.

2. Kejang/Seizure
Penderita yang mengalami cedera kepala akan mengalami
sekurang-kurangnya sekali kejang pada masa minggu pertama setelah
cedera. Meskipun demikian, keadaan ini berkembang menjadi epilepsy.

3. Infeksi
Fraktur tulang tengkorak atau luka terbuka dapat merobekkan
membran (meningen) sehingga kuman dapat masuk infeksi meningen ini
29

biasanya berbahaya karena keadaan ini memiliki potensial untuk menyebar
ke system saraf yang lain.

4. Hilangnya kemampuan kognitif
Berfikir, akal sehat, penyelesaian masalah, proses informasi dan
memori merupakan kemampuan kognitif. Banyak penderita dengan cedera
kepala mengalami masalah kesadaran.

5. Penyakit Alzheimer dan Parkinson
Pada khasus cedera kepala resiko perkembangan terjadinya
penyakit Alzheimer tinggi dan sedikit terjadi Parkinson. Resiko akan
semakin tinggi tergantung frekuensi dan keparahan cedera.

H. PROGNOSIS
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh MRC CRASH Trial
Collaborators (2008), Umur yang tua, Glasgow Coma Scale yang rendah,
pupil tidak reaktif, dan terdapatnya cedera ekstrakranial mayor merupakan
prediksi buruknya prognosis. Skor Glasgow Coma Scale menunjukkan suatu
hubungan linier yang jelas terhadap mortalitas pasien. Adapun ditemukannya
angka mortalitas yang lebih rendah pada GCS 3 dibandingkan dengan GCS 4
mungkin disebabkan skor pasien yang di sedasi dianggap sebagai 3.
Apabila penanganan pasien yang mengalami cedera kepala sudah
mendapat terapi yang agresif, terutama pada anak-anak biasanya memiliki
daya pemulihan yang baik. Penderita yang berusia lanjut biasanya mempunyai
kemungkinan yang lebih rendah untuk pemulihan dari cedera kepala. Selain
itu lokasi terjadinya lesi pada bagian kepala pada saat trauma juga sangat
mempengaruhi kondisi kedepannya bagi penderita.




30

BAB III
KESIMPULAN

Trauma kapitis adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara
langsung ataupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologi
yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik temporer maupun
permanen. Trauma ini bisa menyebabkan kematian tetapi juga penderita bisa
mengalami penyembuhan total. Jenis dan beratnya kelainan tergantung kepada
lokasi dan beratnya kerusakan otak yang terjadi.
Terjadinya cedera kepala, kerusakan dapat terjadi dalam dua tahap, yaitu
cedera primer dan cedera sekunder. Trauma kapitis diklasifikasikan berdasarkan
mekanisme cedera kepala, beratnya cedera kepala, dan morfologinya. Kerusakan
otak sering kali menyebabkan kelainan fungsi yang menetap, yang bervariasi
tergantung kepada kerusakan yang terjadi, apakah terbatas (terlokalisir) atau lebih
menyebar (difus). Kelainan fungsi yang terjadi juga tergantung kepada bagian
otak mana yang terkena. Penatalaksanaan awal penderita memikili tujuan untuk
memantau sedini mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder serta
memperbaiki keadaan umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu
penyembuhan sel-sel otak yang sakit. Prognosis tergantung usia, Glasgow Coma
Scale, deficit neurologis, dan cedera ekstrakranial.



31

DAFTAR PUSTAKA

1. Lenzlinger PM, Saatman K, Raghupati R. Overview of basic mechanism
underlying neuropathological consequences of head trauma. In: Miller LP,
Hayer RL, editors. Head trauma basic, preclinical and clinical directions. New
York: Wiley-Liss; 2001. p. 3-23.
2. Mardjono mahar, Sidharta priguna. Neurologi Klinis Dasar.Cetakan ke 9.
Dian Rakyat.2003.Bab.VIII Mekanisme trauma susunan saraf. Hal 248-63.
3. Buku Pedoman SPM dan SPO NEUROLOGI. PERDOSSI. Bab. IX.
Neurotrauma. Hal.147-58.
4. Proceeding Updates In Neuroemergencies II. Hotel Aston Atrium. 28
Februari. FKUI. Penatalaksanaan kedaruratan cedera kranio serebral. Hal 51-
72.
5. Penatalaksanaan fase akut cedera kepala, Cermin Dunia Kedokteran No. 77,
1992.
6. Anderson S. McCarty L., Cedera Susunan Saraf Pusat, Patofisiologi, edisi 4,
Anugrah P. EGC, Jakarta,1995, 1014-1016.
7. A Mardjono M. Sidharta P., Mekanisme Trauma Susunan Saraf, Neurologi
Kilinis Dasar, Dian Rakyat, Jakarta, 2003, 254-259.
8. Buergener F.A, Differential Diagnosis in Computed Tomography, Baert A.L.
Thieme Medical Publisher, New York,1996, 22.
9. Dahnert W, MD, Brain Disorders, Radioogy Review Manual, second edition,
Williams & Wilkins, Arizona, 1993, 117 178.
10. Markam S, Trauma Kapitis, Kapita Selekta Neurologi, Edisi kedua, Harsono,
Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2005, 314.

Anda mungkin juga menyukai