Saraf
Subdural Empyema
Disusun oleh:
Pembimbing:
dr. Anyeliria Sutanto, Sp.S
KEPANITERAAN KLINIK
I. Identitas Pasien
Nama : Nn. S
Usia : 19 tahun
Alamat : Tangerang
Agama : Islam
Pekerjaan : Mahasiswa
No. MR : 87-82-74
II. Anamnesis
Keluhan Utama
Riwayat Keluarga
Riwayat keluhan serupa pada keluarga disangkal. Riwayat penyakit kronis
seperti diabetes mellitus, hipertensi, dislipidemia, dan asam urat disangkal. Riwayat
epilepsi, stroke dan penyakit jantung disangkal.
Status Generalis
Keadaan Umum : Tampak Sakit Berat
Kesadaran : E2M3Vett (pada saat masuk IGD tanggal 5 September→ E2M5V2)
BB/TB : 50 kg/ 150 cm
Tanda-tanda vital :
- Tekanan darah: 90/60 mmHg
- Nadi: 90 bpm, kuat angkat
- Pernapasan: 12x/menit
- Suhu: 37,8 °C
- SpO2: 100% dengan ventilator
Kepala : Normocephal
Mata : Pupil bulat anisokor, 3 mm/ 5 mm, RCL -/-, RCTL -/-
• Terdapat abses pada periorbital sinistra dengan ukuran 2 cm x 4 cm x 6 cm yang
ruptur dengan sendirinya pada tanggal 7 September 2019. Sebelum pecah abses
memiliki batas tidak tegas, mobile, lunak, fluktuatif pada palpasi. Tampak keluar
pus berwarna kekuningan.
THT : dalam batas normal. Tidak ditemukan deviasi trakea, kelainan septum
nasal, deformitas. Tidak ditemukan sekret maupun darah
Leher : Tidak ditemukan pembesaran kelenjar getah bening
Thorax : kontur normal, kembang kempis dada simetris.
• Paru:
Inspeksi: dalam batas normal
Perkusi: dalam batas normal
Palpasi: dalam batas normal
Auskultasi: Suara napas vesikuler +/+, Rhonchi -/-, wheezing -/-
• Jantung:
Inspeksi: dalam batas normal
Perkusi: dalam batas normal
Palpasi: dalam batas normal
Auskultasi Suara jantung S1S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen :
• Inspeksi : supel, kontur normal
• Perkusi : dalam batas normal
• Palpasi : dalam batas normal
• Auskultasi : Bising usus normal
Ekstremitas Bawah : Akral hangat, CRT < 2 detik, pallor (+), edema (-), onikolisis (-)
Status Neurologis
GCS: E3M4Vett
- Brudzinski I (-)
- Brudzinski II (-)
- Brudzinski IV (-)
Saraf Kranialis
Nervus II :
- Nistagmus: (-)
Nervus V :
- Sensorik:
Nervus VII :
- Angkat alis, kerut dahi, dan tutup mata dengan kuat tidak dapat dikaji
Nervus VIII :
- Nervus Cochlearis:
o Nistagmus (-)
o Berdiri dengan satu kaki, berdiri dengan 2 kaki tidak dapat dikaji
Nervus IX, X :
Motorik : pemeriksaan motorik kasar tidak dapat dilakukan, kesan lateralisasi dextra
Refleks fisiologis:
- Biceps ++/++
- Triceps ++/++
- Brachioradialis ++/++
- Patella ++/++
- Achilles ++/++
Refleks patologis:
- Babinski (-/-)
- Chaddock (-/-)
- Oppenheim (-/-)
- Gordon (-/-)
- Schaffer (-/-)
Otonom :
Pemeriksaan Penunjang
MCV 82 fL 80-100
MCH 29 pg 26-34
Fungsi Liver
Fungsi Ginjal
RBG 170
Elektrolit
Na 131 (L)
K 4,1
Cl 94
Urinalisis
Makroskopis
Color Dark yellow
pH 6,0
Leukocyte esterase -
Nitrit -
Glucose -
Ketone (2+) 40
Urobilinogen ≥80
Bilirubin -
Occult blood -
Mikroskopis
Erythrocyte 3
Leucocyte 15
Epithel (1+)
Cast -
Crystal -
Bacteria (1+)
6 September 2019
- Kumpulan cairan kental dengan udara pada regio extraconal sisi medial-superior kiri
ketebalan +/- 0,69 cm & regio pre-eptal superolateral orbita sisi kiri ukuran ±4,33 x
2,57 x 3,49 cm→ sugestif abses
- Lesi hipodens (HU: 21-24) dengan komponen udara pada subdural regio lobus fronto-
parieto-temporal kiri dengan ketebalan ±0,58- 1,49 cm → midline shift ke kanan ± 0,82
cm→ subdural empyema
7 September 2019
CSF analysis:
Makroskopis:
- Color: colorless
- Clarity: clear
- Clot (-)
- Sediment (+)
Mikroskopis:
Chemicals:
- Glucose: 76,0
- Bacteria (-)
- Leucocyte 0-1/lpf
- Epithel 0-1/lpf
- Spora (-)
- AFB (-)
8 September 2019
PT Ref
APTT
9 September 2019
Resume
Pasien wanita berusia 19 tahun datang dengan keluhan penurunan kesadaran sejak 5 hari
sebelum masuk rumah sakit. Pada awalnya, muncul keluhan berupa benjolan pada kelopak
mata kiri sejak 10 hari sebelum masuk rumah sakit. Benjolan muncul setelah pasien bangun
tidur, berukuran kecil dan terasa sedikit nyeri. Namun benjolan tersebut semakin membesar
secara progresif, dengan ukuran akhir sekitar 2 cm x 4 cm x 6 cm,kemudian pecah dengan
sendirinya pada tanggal 7 September 2019 pada saat pasien sudah dirawat di ICU Rumah Sakit
Umum Siloam. Pada 5 hari sebelum masuk rumah sakit, pasien mulai mengalami penurunan
kesadaran secara progresif. Awalnya pasien tampak gelisah, namun pada saat masuk rumah
sakit pasien sudah cenderung tidur. Pasien mengalami muntah satu kali, muntah tidak
menyembur. Keluhan sakit kepala dan demam dirasakan sejak 14 hari sebelum masuk rumah
sakit.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan keadaan umum sakit berat dengan GCS E2M3Vett. Pupil
bulat anisokor, 3 mm/ 5 m, terdapat abses pada periorbital sinistra dengan ukuran 2 cm x 4 cm
x 6 cm yang ruptur dengan sendirinya pada tanggal 7 September 2019. Sebelum pecah abses
memiliki batas tidak tegas, mobile, lunak, fluktuatif pada palpasi. Tampak keluar pus berwarna
kekuningan.
Diagnosis:
C. Etiologi: Infeksi
Diagnosis Kerja:
- Ensefalopati sepsis
Diagnosis Banding:
- Mannitol IV 4x150cc
- Ranitidin IV 2x50mg
- Metronidazole IV 3x500mg
- Paracetamol PO 3x1gr
Follow up:
Tanggal SOAP
9 September 2019 S: tidak dapat dikaji. Kejang + awalnya tangan kanan lalu seluruh
tubuh +/- 20 detik (tgl 8/9 jam 02.00)
O:
GCS: E2M3Vett
Status generalis:
S: 37,7 C
Status neurologi:
A:
Ensefalopati sepsis
ISK
Hiponatremia
P:
IVFD RL 500ml/8jam
Morphin 1mg/jam
Midazolam 1mg/jam
Ketorolac IV 3x30mg
Ranitidin IV 2x50mg
Metronidazole IV 3x500mg hari ke 4
Paracetamol PO 3x1gr
Gentamicin EO OSD 3x
Phenitoin 3x100mg
Sotatic 3x 10mg
10 September S: tidak dapat dikaji. Pasien post Burrhole drainage, FESS, dan insisi
2019 + drainase abses
O:
GCS: E2M3Vett
Status generalis:
S: 37,5 C
Status neurologi:
Laporan operasi:
A:
Ensefalopati sepsis
Subdural empyema os fronto-parieto-temporal sinistra et causa abscess
intraorbita sinistra
ISK
Hiponatremia
P:
IVFD RL 500ml/8jam
Morphin 1mg/jam
Midazolam 1mg/jam
Ketorolac IV 3x30mg
Ranitidin IV 2x50mg
Paracetamol PO 3x1gr
Gentamicin EO OSD 3x
Phenitoin 3x100mg
Sotatic 3x 10mg
BAB II
ANALISA KASUS
I. Kesadaran
Kesadaran memiliki dua aspek yang dapat dinilai, yakni derajat dan kualitas
kesadaran. Kualitas kesadaran menggambarkan isi kesadaran, yakni fungsi kognitif
dan afektif. Sedangkan derajat kesadaran sendiri menggambarkan tingkat
kuantitatif dari kesadaran, sehingga apabila derajat kesadaran terganggu, maka
secara otomatis kualitas kesadaran juga terganggu.1,3
Karena kesadaran adalah tanda dari normalnya aktivitas otak, maka apabila
terjadi penurunan kesadaran maka dapat disimpulkan bahwa ada kegagalan fungsi
integritas otak, dengan kecenderungan terjadi kegagalan seluruh fungsi tubuh.
Kesadaran dapat mengalami gangguan secara akut maupun secara kronik-
progresif.1,3,4
a. Patofisiologi
Ada berbagai macam penyebab penurunan kesadaran, yakni kerusakan stuktural (lesi
supratentorial, infratentorial), serta gangguan metabolik. Pada kerusakan struktural yang
diakibatkan oleh lesi, lesi tersebut dapat berupa lesi kompresi maupun lesi destruksi. Pada
kelainan ini, gangguan kesadaran dapat diakibatkan langsung pada distorsi atau kompresi
ARAS karena lesi tersebut atau peningkatan tekanan intrakranial difus atau edema serebri
yang diakibatkannya. Efek desak ruang yang diakibatkan oleh lesi juga dapat
mengakibatkan iskemia dan herniasi. Biasanya pada lesi kompresi, gangguan yang
diakibatkan bersifat fokal karena lesi hanya mengenai satu bagian dari struktur anatomis
yang mengatur kesadaran. Sedangkan pada lesi destruksi, penurunan kesadaran diakibatkan
oleh kerusakan langsung pada bagian RAS.
Berdasarkan lokasi lesi, penyebab penurunan kesadaran dapat dibedakan menjadi dua,
yakni penurunan kesadaran akibat lesi supratentorial dan penurunan keasadaran akibat lesi
infratentorial. Perbedaannya adalah:
- Lesi supratentorial: lesi mengakibatkan kerusakan difus kedua hemisfer serebri. Batang
otak tetap berfungsi dengan baik.Pada lesi struktural supratentorial, biasanya terdapat
massa yang mengakibatkan efek desak ruang di dalam kranium, yang disebabkan oleh
volume lesi itu sendiri serta edema yang diakibatkannya. Akibat dari lesi ini adalah
pergeseran struktur intrakranial yang menyebabkan herniasi girus singuli, herniasi
transtentorial sentral, dan herniasi unkus. Herniasi menyebabkan tekanan pada
pembuluh darah serta jaringan parenkim otak, sehingga mengakibatkan iskemi dan
edema, memperparah kerusakan jaringan otak.
- Lesi infratentorial: Pada lesi destruksi, kelainan terjadi karena adanya proses di dalam
batang otak sendiri yang merusak jalur ARAS atau pembuluh darah yang
memperdarahinya. Contoh dari lesi destruksi ini adalan pada stroke dan cedera kepala.
Pada lesi kompresi, contohnya pada tumor serebelum, lesi langsung menekan pons,
sehingga terjadi herniasi dari serebelum dan mesensefalon yang menekan tegmentum
mesensefalon, atau menekan medulla oblongata.1,2,3
b. Diagnosis
- Anamnesis
Menurut Panduan Belajar Ilmu Penyakit Saraf (2006), hal-hal pertama yang
harus ditanyakan adalah apakah ditemukan botol obat kosong di sekitar pasien, apakah
pasien memiliki riwayat depresi sebelumnya, apakah ada pesan bunuh diri di sekitar
pasien, dan apakah ada spuit di sekitar pasien untuk menyingkirkan diagnosis
diferensial overdosis. Perlu juga diketahui apakah pasien memiliki riwayat diabetes
melitus atau tidak, karena apabila pasien menjalani pengobatan dengan insulin, dapat
terjadi koma diabetikum karena hipoglikemia berat. Riwayat epilepsi juga penting
ditanyakan karena penurunan kesadaran dapat terjadi pada saat kejang/post kejang.
Apabila kasus penurunan kesadaran tersebut tidak membaik dalam beberapa jam-hari,
maka diagnosis diferensial yang dipikirkan adalah adanya infeksi intrakranial atau
gagal ginjal, hepar, dan/ atau gagal pernapasan. Apabila pasien memiliki riwayat
hipertensi dan penurunan kesadaran dengan onset mendadak, maka yang ditakutkan
adalah kemungkinan terjadinya stroke atau perdarahan subaraknoid. 2
Pada pasien, penurunan kesadaran tidak terjadi secara akut, melainkan progresif
dalam rentang waktu beberapa hari. Dapat dipikirkan bahwa penurunan kesadaran
kemungkinan bukanlah diakibatkan oleh penyebab-penyebab akut, yakni vaskular,
trauma, dan intoksikasi zat. Penurunan kesadaran pada pasien terjadi secara progresif
dalam waktu beberapa hari. Kemungkinan diagnosa hipoglikemia dapat disingkirkan
pada pasien, karena riwayat diabetes dan penggunaan insulin sebelumnya disangkal dan
dari hasil laboratorium pasien, dapat ditemukan bahwa hanya terdapat kelainan ringan
pada panel elektrolit pasien, dan GDS pasien dalam batas normal. Kegagalan organ
juga dapat disingkirkan karena pada pasien tidak ada keluhan yang mengarah ke
kerusakan organ tertentu, dan nilai panel fungsi hati serta ginjal dalam batas normal.
Penurunan kesadaran oleh karena syok sepsis dapat dipikirkan sebagai diagnosis
diferensial, dan gangguan akibat hasil analisa gas darah yang abnormal belum dapat
disingkirkan karena tidak dilakukannya analisa gas darah. Pada pasien terdapat gejala-
gejala yang mendukung diagnosa infeksi, dimana pasien memiliki fokus infeksi
intraorbital serta pada pasien terpenuhi kriteria adanya sepsis sesuai dengan kriteria
qSOFA.
- Pemeriksaan Fisik
• Tanda trauma
• Pemeriksaan neurologis
• Level kesadaran
• Pupil
- Mid posisi (2-5 mm), fixed dan irregular, lesi mesenfalon fokal.
• Funduskopi
Pergerakan bola mata untuk melirik dan memfokuskan pandangan diatur oleh
nervus oculomotorius. Nuclei nervus oculomotor mendapat impuls aferen dari
cortical, tectal, dan tegmental sistem oculomotor, serta impuls langsung dari sistem
vestibular dan vestibulocerebellum. Reflex okulovestibuler diperiksa dengan
menolehkan kepala pasien, namun harus hati-hati pada pasien trauma yang dicurigai
adanya fraktur atau dislokasi dari tulang cervical. Selain dengan menolehkan kepala
pasien, dapat juga tes kalori. Respon normal dari gerakan yang menimbulkan impuls
pada vestibular menuju sistem oculomotor dan membuat mata berputar berlawanan
arah dengan gerakan yang diberikan pemeriksa. Pada pasien sadar, refelks
memfokuskan pandangan menutupi reflex tesebut, sehingga pemeriksaan doll’s eye
tidak dilakukan pada pasien sadar, namun pada pasien dengan penurunan kesadaran,
reflex okulosefalik lebih dominan.
Dari posisi kelopak mata dapat dinilai apakah kelopak mata dalam keadaan
tetutup atau terbuka sebagian (tidak tertutup rapat). Dalam keadaaan koma, biasanya
kelopak mata dalam keadaan tertutup dan mudah diangkat seperti halnya dalam
keadaan tidur. Tidak adanya tonus pada kelopak mata atau terbuka sebagian dari
kelopak mata dapat menandakan adanya kelemahan dari otot-otot wajah. Jika saat
pemeriksaan ditemukan kelopak mata yang sulit dibuka atau saat dibuka langsung
tertutup kembali, biasanya itu merupakan gerakan yang volunter dan dapat
menandakan bahwa pasien tidak sepenuhnya dalam keadaan koma. Reflek mengedip
biasanya hilang pada saat seseorang dalam keadaan koma. Respon mengedip
terhadap suara keras atau sinar lampu pada pasien dalam persistent vegetative state
menggambarkan bahwa jaras sensoris aferen ke batang otak masih baik, namun tidak
berarti pasien aktif dalam menerima respon, bahkan pasien dengan kerusakan total
pada korteks yang mengatur visual masih dapat merespon kedip terhadap sinar,
tetapi tidak pada respon langsung/sentuhan. Reflek dalam menutup kelopak mata
dan elevasi kedua bola mata (Bell’s Phenomenon) menandakan jaras reflek dari
nervus trigeminal menuju tegmentum batang otak lalu kembali ke nervus oculomotor
dan facial masih dalam keadaaan intak/baik. Lesi struktural pada mesencephalon
dapat menyebabkan hilangnya Bell’s phenomenon, tetapi respon mengedip tetap
ada.
• Refleks muntah
• Respons motorik
- Pemeriksaan penunjang
• Pemeriksaan gas darah, berguna untuk melihat oksigenasi di dalam darah, juga
untuk melihat gangguan keseimbangan asam basa.
• Pemeriksaan darah, meliputi darah perifer lengkap (DPL), keton, faal hati, faal
ginjal dan elektrolit.
• Pemeriksaan khusus meliputi pungsi lumbal, CT scan kepala, EEG, EKG, foto
toraks dan foto kepala.1,2
- Tatalaksana
o Tidurkan pasien dengan posisi lateral dekubitus dengan leher sedikit ekstensi bila tidak
ada kontraindikasi seperti fraktur servikal dan tekanan intrakranial yang meningkat.
o Lakukan imobilisasi jika diduga ada trauma servikal, pasang infus sesuai dengan
kebutuhan bersamaan dengan sampel darah.
o Pasang nasogastric tube, keluarkan isi cairan lambung untuk mencegah aspirasi,
lakukan bilas lambung jika diduga ada intoksikasi.
o Berikan tiamin 100 mg iv, berikan destrosan 100 mg/kgbb. Jika dicurigai adanya
overdosis opium/ morfin, berikan nalokson 0,01 mg/kgbb setiap 5-10 menit sampai
kesadaran pulih (maksimal 2 mg).
o Lakukan CT Scan kepala non kontras, tergantung dari hasil yang ditemukan,
tatalaksana dibagi menjadi 2 yakni tatalaksana dengan herniasi dan tanpa herniasi.
o Pengobatan khusus tanpa herniasi: Jika pada CT scan tak ditemukan kelainan,
lanjutkan dengan pemeriksaan pungsi lumbal (LP). Jika LP positif adanya infeksi
berikan antibiotik yang sesuai. Jika LP positif adanya perdarahan terapi sesuai dengan
pengobatan perdarahan subarakhnoid.5,6
a. Definisi
Subdural empyema adalah koleksi fokal materi purulen yang terletak diantara
lapisan duramater dan arachnoid mater. Kondisi subdural empyema yang terjadi pada
intrakranial ini merupakan komplikasi dari sinusitis paranasal, otitis media, mastoiditis,
maupun infeksi intrakranial lainnya. Dapat terjadi subdural empyema spinal, namun
sangat jarang terjadi dan biasanya merupakan komplikasi dari osteomyelitis. Pada
mayoritas kasus, mikroorganisme penyebab subdural empyema adalah kuman anaerob
dan Streptococcus (S. Milleri dan anginosus). Sindroma klinis klasik yang ada biasanya
berupa penyakit febris akut yang disertai penurunan fungsi neurologis yang cepat dan
progresif, dan apabila dibiarkan, akan berujung pada koma bahkan mortalitas.
Tatalaksana pada subdural empyema adalah evakuasi abses secara segera disertai
dengan pemberian antibiotik yang sesuai dengan mikroorganisme penyebab.6,7
b. Epidemiologi
Pasien dengan SDE intrakranial biasanya berada dalam rentang usia anak-anak
sampai dewasa muda, mayoritas pada usia 20-30 tahunan. Jumlah penderita laki-laki
lebih banyak dari perempuan. Di 60-90% kasus, tampak adanya sinusitis atau otitis.6
c. Patofisiologi
Subdural empyema (SDE) adalah kumpulan dari nanah yang terletak diantara
duramater dan araknoid mater, biasanya unilateral dan biasanya mengalami penyebaran
disepanjang celah subdural sampai terbatasi oleh batas tertentu, contohnya falx serebri,
tentorium serebeli, atau foramen magnum. SDE sendiri biasanya merupakan
komplikasi dari penyakit lain, seperti infeksi perikranial, meningitis purulen, sinusitis,
atau otitis media. Lebih jarang, namun subdural empyema juga dapat merupakan
komplikasi dari suatu trauma yang menyebabkan subdural hematoma, yang mengalami
transformasi menjadi subdural empyema dalam jangka waktu beberapa bulan- tahun.7,8
Infeksi menyebar dari lokasi infeksius primer, contohnya dari sinus frontalis
dengan mengerosi dinding posteriornya kedalam ruang intrakranial. Pada otitis media,
contohnya, infeksi menyebar dari mastoid atau telinga tengah dengan mengerosi
tegmen timpani. Infeksi juga daoat menyebar dengan tromboplebitis sepsis retrograde.
Desakan ini juga dapat menyebabkan disrupsi pada aliran darah dan cairan
serebrospinal. Trombosis dari vena kortikalis atau sinus kavernosus pada area fokal
yang terkena SDE dapat menyebabkan infark.7,10,11
d. Etiologi
e. Manifestasi Klinis
o Meningismus
Pada pasien, gejala klinis yang ditemukan sesuai dengan gambaran klasik SDE. Ditemukan
gejala utama berupa penurunan kesadaran secara progresif dalam beberapa hari, dan ketiga
gejala dari trias SDE yakni demam, sinusitis dan defisit neurologis yang mengalami
perburukan secara progresif. Gejala prodromal yang mengawali infeksi juga sesuai. Pada
hari perawatan ke-4, terjadi epilepsi fokal yang menunjukkan letak topis lesi yang
disebabkan empyema tersebut.
f. Tatalaksana
a. Pemeriksaan Penunjang
o Pemeriksaan laboratorium
o Lumbar Puncture
o Pencitraan
Pemeriksaan pencitraan yang dilakukan untuk mendiagnosa SDE adalah CT
Scan/ MRI kepala. Pemeriksaan optimal yang digunakan adalah CT Scan Kepala
dengan kontras / MRI. CT scan non kontras
Kurang sensitif, namun dapat dilakukan dengan mengambil gambar plana
aksial dan koronal. Pada CT scan, empyema terlihat dengan adanya area
hipodens di sekitar hemisfer atau menyusuri jalur falx serebri.
Gambar 5. Contoh CT Scan pada SDE: tampak adanya area hipodens pada
area hemisfer sinistra serebri
b. Tatalaksana medikamentosa
Tatalaksana SDE tidak dapat dilakukan melalui obat-obatan saja, karena SDE
biasa disebut ‘the most imperative of neurosurgical emergencies’ , yang berarti
tindakan drainase harus dilakukan sesegera mungkin. Menurut Greenlee (2003),
berikut ini adalah pilihan antibiotik yang digunakan untuk tatalaksana pasien
SDE:
Tabel 5. Pilihan antibiotik pada kasus SDE
c. Tatalaksana pembedahan
Tindakan drainase biasa dilakukan dengan burr holes atau kraniotomi. Selain
drainase, diperlukan juga tindakan pembedahan pada sumber infeksi seperti
sinusitis, otitis dan mastoiditis.
3. Plum, F. Posner, JB. Saper, CB. Schiff, ND. (2007). Plum and Posner’s Diagnosis of
Stupor and Coma. Oxford University Press. New York. Hal. 5-9.
4. Dewanto, G. Suwono, WJR. Budi, dkk. (2007). Diagnosis & Tatalaksana Penyakit
Saraf. Fakultas UNIKA ATMAJAYA. EGC
7. Agrawal, Awil, et al. (2007) A Review of Subdural Empyema and Its Management.
Department of Surgery, B.P. Koirala Institute of Health Sciences, Dharan,
Nepal; Leeds General Infirmary, Leeds, United Kingdom; Departments
of Neurology, Radiology and Pathology, K.S. Hegde Medical
Academy, Mangalore, India. Lippincott Williams &Wilkins.
9. Rennels MB, Woodward CL, Robinson WL, Gumbinas MT, Brenner JI (1983).
Medical cure of apparent brain abscesses. Pediatrics.
10. Bambakidis NC, Cohen AR (2001). Intracranial complications of frontal
sinusitis in children: Pott’s puffy tumor revisited. Pediatr Neurosurg
12. Osborn, Melissa K, Steinberg, James P (2007). Subdural empyema and other
suppurative complications of paranasal sinusitis. Division of Infectious Diseases,
Department of Medicine, Emory University School of Medicine, Atlanta, GA, USA.
Lancet Infectious Dis.
13. Wu TJ, Chiu NC, Huang FY (February 2008). "Subdural empyema in center". J
Microbiol Immunol Infect. 41 (1): 62–7