Anda di halaman 1dari 39

Presentasi Kasus Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit

Saraf

Subdural Empyema

Disusun oleh:

Devi Anantha Setiawan/ 01073180034

Pembimbing:
dr. Anyeliria Sutanto, Sp.S

KEPANITERAAN KLINIK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN SILOAM HOSPITALS


LIPPO VILLAGE
PERIODE AGUSTUS- SEPTEMBER 2019 TANGERANG
BAB I
LAPORAN KASUS

I. Identitas Pasien

Nama : Nn. S

Usia : 19 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Status : Belum Menikah

Alamat : Tangerang

Agama : Islam

Pekerjaan : Mahasiswa

No. MR : 87-82-74

II. Anamnesis

Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis pada 7 September 2019 di Intensive


Care Unit Rumah Sakit Umum Siloam Karawaci.

Keluhan Utama

Penurunan kesadaran sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit.

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien wanita berusia 19 tahun datang dengan keluhan penurunan kesadaran


sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit. Penurunan kesadaran terjadi secara
progresif, 5 hari SMRS pasien mulai tampak gelisah dan tidak respon diajak
berbicara kemudian saat dirumah sakit pasien menjadi cenderung tidur dan hanya
membuka mata sebentar jika diberi nyeri. Anggota gerak cenderung diam dan dapat
melokalisir rangsang nyeri. Pasien beberapa kali mengerang saat di rumah sakit.
Keluarga pasien mengatakan terdapat benjolan pada kelopak mata kiri sejak 10 hari
SMRS. Benjolan berukuran kecil dan timbul ketika pasien bangun tidur. Pasien
merasa nyeri pada lokasi benjolan. Benjolan dirasa semakin membesar dengan
ukuran akhir sekitar 2 cm x 4 cm x 6 cm dan pecah pada hari perawatan ketiga di
ICU Rumah Sakit Umum Siloam Karawaci. Saat benjolan pecah terdapat nanah
berwarna kuning yang keluar dari benjolan tersebut. Pasien sempat muntah tidak
menyembur pada 1 hari SMRS. Muntah sebanyak satu kali berisi cairan. Pasien
mengeluhkan nyeri kepala dan demam sejak 14 hari SMRS.

Keluhan kejang, kelemahan sebelah anggota gerak disangkal. Pasien tidak


menderita hipertensi dan diabetes melitus disangkal. Riwayat trauma disangkal.
Keluhan pada penciuman, penglihatan, pendengaran, keseimbangan, bicara
sengau/cadel disangkal.

Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat keluhan serupa sebelumnya disangkal. Pasien tidak memiliki riwayat
diabetes mellitus, hipertensi, dislipidemia, asam urat, epilepsi, stroke, maupun
penyakit jantung. Riwayat alergi obat dan makanan disangkal.

Riwayat Keluarga
Riwayat keluhan serupa pada keluarga disangkal. Riwayat penyakit kronis
seperti diabetes mellitus, hipertensi, dislipidemia, dan asam urat disangkal. Riwayat
epilepsi, stroke dan penyakit jantung disangkal.

Riwayat Sosial/ Kebiasaan/ Pola Hidup


Pasien menyangkal memiliki kebiasaan merokok, mengonsumsi NAPZA dan
meminum alkohol.

III. Pemeriksaan Fisik

Status Generalis
Keadaan Umum : Tampak Sakit Berat
Kesadaran : E2M3Vett (pada saat masuk IGD tanggal 5 September→ E2M5V2)
BB/TB : 50 kg/ 150 cm
Tanda-tanda vital :
- Tekanan darah: 90/60 mmHg
- Nadi: 90 bpm, kuat angkat
- Pernapasan: 12x/menit
- Suhu: 37,8 °C
- SpO2: 100% dengan ventilator

Kepala : Normocephal
Mata : Pupil bulat anisokor, 3 mm/ 5 mm, RCL -/-, RCTL -/-
• Terdapat abses pada periorbital sinistra dengan ukuran 2 cm x 4 cm x 6 cm yang
ruptur dengan sendirinya pada tanggal 7 September 2019. Sebelum pecah abses
memiliki batas tidak tegas, mobile, lunak, fluktuatif pada palpasi. Tampak keluar
pus berwarna kekuningan.
THT : dalam batas normal. Tidak ditemukan deviasi trakea, kelainan septum
nasal, deformitas. Tidak ditemukan sekret maupun darah
Leher : Tidak ditemukan pembesaran kelenjar getah bening
Thorax : kontur normal, kembang kempis dada simetris.
• Paru:
Inspeksi: dalam batas normal
Perkusi: dalam batas normal
Palpasi: dalam batas normal
Auskultasi: Suara napas vesikuler +/+, Rhonchi -/-, wheezing -/-
• Jantung:
Inspeksi: dalam batas normal
Perkusi: dalam batas normal
Palpasi: dalam batas normal
Auskultasi Suara jantung S1S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen :
• Inspeksi : supel, kontur normal
• Perkusi : dalam batas normal
• Palpasi : dalam batas normal
• Auskultasi : Bising usus normal

Punggung : Deformitas (-)


Ekstremitas Atas : Akral hangat, CRT < 2 detik, pallor (+), edema (-), onikolisis (-)

Ekstremitas Bawah : Akral hangat, CRT < 2 detik, pallor (+), edema (-), onikolisis (-)

Status Neurologis

GCS: E3M4Vett

Tanda rangsal meningeal:

- Kaku kuduk (-)

- Tanda Lasegue >70°/>70°

- Tanda Kernig >135°/>135°

- Brudzinski I (-)

- Brudzinski II (-)

- Brudzinski III (-)

- Brudzinski IV (-)

Saraf Kranialis

Nervus I : gangguan menghidu tidak dapat dikaji

Nervus II :

- Visus: tidak dapat dikaji

- Kampus/ lapang pandang (tes konfrontasi): tidak dapat dikaji

- Warna: tidak dapat dikaji

- Fundus: tidak dapat dikaji


Nervus III, IV, VI :

- Sikap bola mata: orthophoria/ orthophoria

- Celah palpebra: tidak dapat dikaji

- Pupil: bulat anisokor, 3 mm/ 5 mm, RCL +/+, RCTL +/+

- Nistagmus: (-)

- Pergerakan bola mata: tidak dapat dikaji

Nervus V :

- Motorik: Tidak dapat dikaji

- Sensorik:

• Sensibiltias V1: tidak dapat dikaji

• Sensibiltias V2: tidak dapat dikaji

• Sensibiltias V3: tidak dapat dikaji

- Refleks kornea: +/+

Nervus VII :

- Sikap mulut istirahat terkesan normal

- Angkat alis, kerut dahi, dan tutup mata dengan kuat tidak dapat dikaji

- Kembung pipi, menyeringai tidak dapat dikaji

- Rasa kecap 2/3 anterior lidah tidak dapat dikaji

Nervus VIII :

- Nervus Cochlearis:

o Suara bisikan/ suara gesekan jari tidak dapat dikaji

o Pemeriksaan Rinne, weber, schwabach tidak dapat dikaji


- Nervus Vestibularis:

o Nistagmus (-)

o Berdiri dengan satu kaki, berdiri dengan 2 kaki tidak dapat dikaji

o Berjalan tandem tidak dapat dilakukan

o Fukuda stepping test tidak dapat dilakukan

o Past pointing test tidak dapat dilakukan

Nervus IX, X :

- Disfonia, disfagia tidak dapat dikaji

- Gag reflex (+)

Nervus XI : tidak dapat dikaji

Nervus XII : tidak dapat dikaji karena endotracheal tube

Motorik : pemeriksaan motorik kasar tidak dapat dilakukan, kesan lateralisasi dextra

- Inspeksi: atrofi (-), fasikulasi (-) pada seluruh anggota gerak

- Palpasi: normotonus pada seluruh anggota gerak

- Gerakan involunter (-)

Refleks fisiologis:

- Biceps ++/++

- Triceps ++/++

- Brachioradialis ++/++

- Patella ++/++

- Achilles ++/++
Refleks patologis:

- Babinski (-/-)

- Chaddock (-/-)

- Oppenheim (-/-)

- Gordon (-/-)

- Schaffer (-/-)

- Hoffman Tromner (-/-)

Sensorik : tidak dapat dikaji

Koordinasi : tidak dapat dikaji

Otonom :

- Miksi: dalam batas normal

- Defekasi: dalam batas normal

- Sekresi keringat: dalam batas normal

Fungsi luhur : MMSE tidak dapat dilakukan

Pemeriksaan Penunjang

Tanggal 5 September 2019

Test Results Unit Ref

Full Blood Count

Hb 12,10 g/dL 11,70- 15,50


Ht 34,2 (L) % 35,00- 47,00

RBC 4,17 106/μl 3,80-5,20

WBC 1,48 (LL) 106/μl 3,60-11,00

Differential Count 0/0/3/81/14/2 %

Platelet 219 103/μl 150-440

ESR 38 (H) Mm/hours 0-20

MCV 82 fL 80-100

MCH 29 pg 26-34

MCHC 35 g/dL 32-36

Fungsi Liver

SGOT 17 u/L 0-32

SGPT 20 u/L 0-33

Fungsi Ginjal

Ureum 30 mg/dL <50,00

Creatinine 0,71 mg/dL 0,5-1,1

eGFR 123,5 mL/mnt/1,73 m2

RBG 170

Elektrolit

Na 131 (L)

K 4,1

Cl 94

Urinalisis

Makroskopis
Color Dark yellow

Appearance Slightly cloudy

Specific gravity 1,025

pH 6,0

Leukocyte esterase -

Nitrit -

Protein (2+) 100

Glucose -

Ketone (2+) 40

Urobilinogen ≥80

Bilirubin -

Occult blood -

Mikroskopis

Erythrocyte 3

Leucocyte 15

Epithel (1+)

Cast -

Crystal -

Bacteria (1+)

Anti-HIV Non Reactive

B-HCG Slide Test negative

MRSA screening Negative

AFB Sputum AFB (-)


Smear
Leukocyte: 80/lpf
Epithel: <10/lpf

6 September 2019

CT Scan Orbita Non-Contrast:

- Kumpulan cairan kental dengan udara pada regio extraconal sisi medial-superior kiri
ketebalan +/- 0,69 cm & regio pre-eptal superolateral orbita sisi kiri ukuran ±4,33 x
2,57 x 3,49 cm→ sugestif abses

- Sinusitis maxillaris kiri, ethmoidalis kiri, sphenoidalis kiri, frontalis kiri

- Lesi hipodens (HU: 21-24) dengan komponen udara pada subdural regio lobus fronto-
parieto-temporal kiri dengan ketebalan ±0,58- 1,49 cm → midline shift ke kanan ± 0,82
cm→ subdural empyema
7 September 2019

CSF analysis:

Makroskopis:

- Color: colorless

- Clarity: clear

- Clot (-)

- Sediment (+)

Mikroskopis:

- Cell count: 115 (H)

- Differential count: PMN: 21, MN: 79

Chemicals:

- Glucose: 76,0

- Cl: 133 (H)

- Protein: 0,63 (H)

Bacteria direct smear CSF:

- Bacteria (-)

- Leucocyte 0-1/lpf

- Epithel 0-1/lpf

Fungus direct smear CSF:

- Spora (-)

AFB direct smear CSF:

- AFB (-)

8 September 2019
PT Ref

Control 11,4 seconds 9,3-12,5

Patient 13,10 seconds (H) 9,4-11,3

APTT

Control 32,10 seconds 29,0-39,2

patient 38,20 seconds 27,70-40,20

9 September 2019

Aerob MO culture (-)

Resume

Pasien wanita berusia 19 tahun datang dengan keluhan penurunan kesadaran sejak 5 hari
sebelum masuk rumah sakit. Pada awalnya, muncul keluhan berupa benjolan pada kelopak
mata kiri sejak 10 hari sebelum masuk rumah sakit. Benjolan muncul setelah pasien bangun
tidur, berukuran kecil dan terasa sedikit nyeri. Namun benjolan tersebut semakin membesar
secara progresif, dengan ukuran akhir sekitar 2 cm x 4 cm x 6 cm,kemudian pecah dengan
sendirinya pada tanggal 7 September 2019 pada saat pasien sudah dirawat di ICU Rumah Sakit
Umum Siloam. Pada 5 hari sebelum masuk rumah sakit, pasien mulai mengalami penurunan
kesadaran secara progresif. Awalnya pasien tampak gelisah, namun pada saat masuk rumah
sakit pasien sudah cenderung tidur. Pasien mengalami muntah satu kali, muntah tidak
menyembur. Keluhan sakit kepala dan demam dirasakan sejak 14 hari sebelum masuk rumah
sakit.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan keadaan umum sakit berat dengan GCS E2M3Vett. Pupil
bulat anisokor, 3 mm/ 5 m, terdapat abses pada periorbital sinistra dengan ukuran 2 cm x 4 cm
x 6 cm yang ruptur dengan sendirinya pada tanggal 7 September 2019. Sebelum pecah abses
memiliki batas tidak tegas, mobile, lunak, fluktuatif pada palpasi. Tampak keluar pus berwarna
kekuningan.

Pada pemeriksaan penunjang ditemukan leukopenia, hiponatremia, proteinuria. Pada


pemeriksaan CT scan ditemukan kumpulan cairan kental dengan udara pada regio extraconal
sisi medial-superior kiri ketebalan +/- 0,69 cm & regio pre-eptal superolateral orbita sisi kiri
ukuran ±4,33 x 2,57 x 3,49 cm, sugestif abses Sinusitis maxillaris kiri, ethmoidalis kiri,
sphenoidalis kiri, frontalis kiri. Ditemukan lesi hipodens (HU: 21-24) dengan komponen udara
pada subdural regio lobus fronto-parieto-temporal kiri dengan ketebalan ±0,58- 1,49 cm yang
menyebbabkan midline shift ke kanan ± 0,82 cm, sugestif subdural empyema. Pada
pemeriksaan analisis cairan serebrospinal, ditemukan hasil sugestif infeksi pada sistem saraf
pusat.

Diagnosis:

A. Klinis: Penurunan kesadaran, kesan lateralisasi dextra

B. Topis: lobus fronto-parieto-temporal sinistra

C. Etiologi: Infeksi

D. Patologis: abses intrakranial orbita sinistra

Diagnosis Kerja:

- Subdural empyema os fronto-parieto-temporal sinistra et causa abscess intraorbita


sinistra

- Ensefalopati sepsis

Diagnosis Banding:

- Ensefalopati metabolik et causa hypoglycaemia

- Subdural empyema os fronto-parieto-temporal sinistra et causa sinusitis

Terapi yang diberikan di RS (hari ke-3 perawatan):

- Monitor tanda-tanda vital

- O2 3 lpm on nasal cannule

- IV line NS 0,9% 500 ml/8 jam

- Mannitol IV 4x150cc

- Ceftriaxone IV 3x2gr hari ke1, 1x2 gr sebelumnya


- Ketorolac IV 3x30mg

- Ranitidin IV 2x50mg

- Metronidazole IV 3x500mg

- Paracetamol PO 3x1gr

Follow up:

Tanggal SOAP

9 September 2019 S: tidak dapat dikaji. Kejang + awalnya tangan kanan lalu seluruh
tubuh +/- 20 detik (tgl 8/9 jam 02.00)

O:

KU: tampak sakit berat

GCS: E2M3Vett

Status generalis:

TD 135/94 mmHg dengan noradrenalin 40mcg/menit dobutamin


5mcg/kgbb/menit

N: 117x/mnt, regular, kuat angkat

RR: 12x/mnt ventilator

S: 37,7 C

SpO2 100% dengan ventilator

Mata : massa abses 2x3x3

Status neurologi:

Pupil 3 mm/ 5mm, anisokor, RCL (+/+), RCTL (+/+)

Meningeal signs : kaku kuduk - laseg >70 kerniq >135


Cranial nerve : reflek kornea +

Refleks fisiologis +2/+2

Refleks patologis: babinski -/-

Motorik kesan lateralisasi kanan

Sensorik: tidak dapat dikaji

GDS pagi 185 mg/dl

A:

Ensefalopati sepsis

Subdural empyema os fronto-parieto-temporal sinistra et causa abscess


intraorbita sinistra

Kejang akut simtomatik

ISK

Hiponatremia

Sinusitis maksilaris ethmoidalis sphenoidalis frontalis sinistra

Abses palpebra sinistra

P:

IVFD RL 500ml/8jam

Morphin 1mg/jam

Midazolam 1mg/jam

Ceftriaxone IV 3x2gr hari ke 4, 1x2 gr sebelumnya

Ketorolac IV 3x30mg

Ranitidin IV 2x50mg
Metronidazole IV 3x500mg hari ke 4

Paracetamol PO 3x1gr

Bisolvon + NS nebu 3x 1 resp

Minosep gargle 2x1

Progenta tetes mata ODS 1 tts/jam

Kompres NaCl 0.9% ODS

Gentamicin EO OSD 3x

LFX OS 1 tetes per jam

Phenitoin 3x100mg

Sotatic 3x 10mg

R/ dari spTHT : FESS

R/ dari SpM : insisi + drainase+ debridement orbita sinistra

R/ TBS: burr hole

10 September S: tidak dapat dikaji. Pasien post Burrhole drainage, FESS, dan insisi
2019 + drainase abses

O:

KU: tampak sakit berat

GCS: E2M3Vett

Status generalis:

TD 128/95 mmHg dengan noradrenalin 40mcg/menit dobutamin


5mcg/kgbb/menit

N: 78x/mnt, regular, kuat angkat


RR: 12x/mnt ventilator

S: 37,5 C

SpO2 100% dengan ventilator

Status neurologi:

Pupil 3 mm/ 3mm, anisokor, RCL (-/-), RCTL (-/-)

Meningeal signs : kaku kuduk - laseg >70 kerniq >135

Cranial nerve : reflek kornea +

Refleks fisiologis +2/+2

Refleks patologis: babinski -/-

Motorik kesan lateralisasi kanan

Sensorik: tidak dapat dikaji

GDS pagi 170 mg/dl

Laporan operasi:

- Burrhole drainase: ditemukan aliran pus warna hijau


kekuningan, kental, tidak ditemukan darah, ± 300 cc. Dipasang
drain dibawah subdural, drain difiksasi.

Diagnosa post operasi: subdural empyema os fronto-temporo-


parietal sinistra

- FESS: Diagnosa post opeasi: rhinosinusitis akut + suspek


komplikasi orbita + intrakranial

- Insisi + drainase abses posterior okular sinistra

A:

Ensefalopati sepsis
Subdural empyema os fronto-parieto-temporal sinistra et causa abscess
intraorbita sinistra

ISK

Hiponatremia

Sinusitis maksilaris ethmoidlais sphenoidalis frontalis sinistra

Abses palpebra sinistra

P:

IVFD RL 500ml/8jam

Morphin 1mg/jam

Midazolam 1mg/jam

Ceftriaxone IV 3x2gr hari ke 4, 1x2 gr sebelumnya

Ketorolac IV 3x30mg

Ranitidin IV 2x50mg

Metronidazole IV 3x500mg hari ke 4

Paracetamol PO 3x1gr

Bisolvon + NS nebu 3x 1 resp

Minosep gargle 2x1

Progenta tetes mata ODS 1 tts/jam

Kompres NaCl 0.9% ODS

Gentamicin EO OSD 3x

LFX OS 1 tetes per jam

Phenitoin 3x100mg

Sotatic 3x 10mg
BAB II

ANALISA KASUS

I. Kesadaran

Kesadaran adalah manifestasi dari normalnya aktivitas otak, dimana kesadaran


ditandai dengan sadar (aware) terhadap diri sendiri dan lingkungan sekitarnya.1
Menurut Plum dan Posner, isi kesadaran menggambarkan keseluruhan dari fungsi
korteks serebri, yakni termasuk fungsi kognitif dan sikap untuk merespons
rangsangan, baik rangsangan internal maupun eksternal. Penilaian kesadaran
berhubungan dengan tingkat kewaspadaan (alertness) atau tingkat keterjagaan
(wakefulness).3

Kesadaran memiliki dua aspek yang dapat dinilai, yakni derajat dan kualitas
kesadaran. Kualitas kesadaran menggambarkan isi kesadaran, yakni fungsi kognitif
dan afektif. Sedangkan derajat kesadaran sendiri menggambarkan tingkat
kuantitatif dari kesadaran, sehingga apabila derajat kesadaran terganggu, maka
secara otomatis kualitas kesadaran juga terganggu.1,3

II. Penurunan Kesadaran

Karena kesadaran adalah tanda dari normalnya aktivitas otak, maka apabila
terjadi penurunan kesadaran maka dapat disimpulkan bahwa ada kegagalan fungsi
integritas otak, dengan kecenderungan terjadi kegagalan seluruh fungsi tubuh.
Kesadaran dapat mengalami gangguan secara akut maupun secara kronik-
progresif.1,3,4

a. Patofisiologi

Pada penurunan kesadaran, gangguan biasanya terjadi pada korteks


serebri, pada sistem reticular activating system (RAS) di batang otak, maupun
pada formasio retikularis di thalamus, hipothalamus, dan mesensefalon.
Gangguan yang terjadi adalah kerusakan pada penyampaian impuls aferen ke
korteks serebri atau gangguan proyeksi di korteks serebri sendiri.1,25

Reticular Activating System (RAS) adalah sistem yang mengatur siklus


tidur-bangun dan kesadaran pada seseorang. RAS sendiri terdiri atas dua jalur,
yakni jalur ascending (ARAS) dan jalur descending (DRAS). ARAS adalah
jalur yang menerima rangsangan dan menghantarkan rangsangan tersebut ke
korteks serebri, sedangkan DRAS adalah jalur yang menghantarkan impuls dari
korteks serebri ke saraf perifer. Neurotransmitter yang berperan dalam jalur
RAS adalah neurotransmitter kolinergik dan adrenergik.

Struktur anatomi yang mengatur ARAS adalah formasio retikularis,


mesensefalon, nukleus intralaminar talamus, hipotalamus dorsalis, dan
tegmentum. Pada jalur ARAS, ada dua lintasan yang ditempuh oleh impuls
aferen menuju korteks serebri, yakni:

▪ Lintasan sensorik spesifik: yang melewati traktus spinotalamikus,


lemniskus medialis, lemniskus lateralis, dan radiasio optika. Lintasan ini
menghantarkan impuls dari reseptor ke satu titik spesifik di korteks
sensorik primer.

▪ Lintasan sensorik nonspesifik: yang merupakan serabut-serabut pada


formasio retikularis. Fungsi dari serabut-serabut ini adala
memproyeksikan impuls dari serabut eferen ke kedua hemisfer serebri.

Sehingga apabila terjadi kerusakan pada struktur anatomis yang disebutkan


diatas, dapat terjadi gangguan kesadaran.1
Gambar 1. Skema struktur anatomi yang mempengaruhi derajat kesadaran

Ada berbagai macam penyebab penurunan kesadaran, yakni kerusakan stuktural (lesi
supratentorial, infratentorial), serta gangguan metabolik. Pada kerusakan struktural yang
diakibatkan oleh lesi, lesi tersebut dapat berupa lesi kompresi maupun lesi destruksi. Pada
kelainan ini, gangguan kesadaran dapat diakibatkan langsung pada distorsi atau kompresi
ARAS karena lesi tersebut atau peningkatan tekanan intrakranial difus atau edema serebri
yang diakibatkannya. Efek desak ruang yang diakibatkan oleh lesi juga dapat
mengakibatkan iskemia dan herniasi. Biasanya pada lesi kompresi, gangguan yang
diakibatkan bersifat fokal karena lesi hanya mengenai satu bagian dari struktur anatomis
yang mengatur kesadaran. Sedangkan pada lesi destruksi, penurunan kesadaran diakibatkan
oleh kerusakan langsung pada bagian RAS.

Berdasarkan lokasi lesi, penyebab penurunan kesadaran dapat dibedakan menjadi dua,
yakni penurunan kesadaran akibat lesi supratentorial dan penurunan keasadaran akibat lesi
infratentorial. Perbedaannya adalah:

- Lesi supratentorial: lesi mengakibatkan kerusakan difus kedua hemisfer serebri. Batang
otak tetap berfungsi dengan baik.Pada lesi struktural supratentorial, biasanya terdapat
massa yang mengakibatkan efek desak ruang di dalam kranium, yang disebabkan oleh
volume lesi itu sendiri serta edema yang diakibatkannya. Akibat dari lesi ini adalah
pergeseran struktur intrakranial yang menyebabkan herniasi girus singuli, herniasi
transtentorial sentral, dan herniasi unkus. Herniasi menyebabkan tekanan pada
pembuluh darah serta jaringan parenkim otak, sehingga mengakibatkan iskemi dan
edema, memperparah kerusakan jaringan otak.

- Lesi infratentorial: Pada lesi destruksi, kelainan terjadi karena adanya proses di dalam
batang otak sendiri yang merusak jalur ARAS atau pembuluh darah yang
memperdarahinya. Contoh dari lesi destruksi ini adalan pada stroke dan cedera kepala.
Pada lesi kompresi, contohnya pada tumor serebelum, lesi langsung menekan pons,
sehingga terjadi herniasi dari serebelum dan mesensefalon yang menekan tegmentum
mesensefalon, atau menekan medulla oblongata.1,2,3

Tabel 1. Penyebab struktural pada kasus penurunan kesadaran

Gangguan metabolik yang dapat menyebabkan penurunan kesadaran adalah hipoksia,


iskemia global, hipoglikemia, hiper/hipoosmolar, asidosis, alkalosis, hipokalemia,
hiperamonemia, hiperkarbia, intoksikasi obat, dan defisiensi vitamin. Pada gangguan yang
disebabkan oleh gangguan metabolik, gejala neurologis biasanya bilateral dan pada
umumnya simetris. Biasanya, pada pasien dengan gangguan kesadaran karena gangguan
metabolik, penurunan kesadaran akan terjadi secara bertahap.1,2,3
Tabel 2. Penyebab metabolik pada kasus penurunan kesadaran

b. Diagnosis

- Anamnesis

Pada keluhan penurunan kesadaran, biasanya alloanamnesis yang terbaik


didapatkan dari orang yang selalu berada bersama pasien. Hal-hal yang wajib
ditanyakan adalah riwayat perjalanan penyakit sekarang ini, riwayat trauma, riwayat
penggunaan obat-obatan, dan riwayat kelainan kejiwaan untuk menyingkirkan
diagnosis diferensial. 1

Menurut Panduan Belajar Ilmu Penyakit Saraf (2006), hal-hal pertama yang
harus ditanyakan adalah apakah ditemukan botol obat kosong di sekitar pasien, apakah
pasien memiliki riwayat depresi sebelumnya, apakah ada pesan bunuh diri di sekitar
pasien, dan apakah ada spuit di sekitar pasien untuk menyingkirkan diagnosis
diferensial overdosis. Perlu juga diketahui apakah pasien memiliki riwayat diabetes
melitus atau tidak, karena apabila pasien menjalani pengobatan dengan insulin, dapat
terjadi koma diabetikum karena hipoglikemia berat. Riwayat epilepsi juga penting
ditanyakan karena penurunan kesadaran dapat terjadi pada saat kejang/post kejang.
Apabila kasus penurunan kesadaran tersebut tidak membaik dalam beberapa jam-hari,
maka diagnosis diferensial yang dipikirkan adalah adanya infeksi intrakranial atau
gagal ginjal, hepar, dan/ atau gagal pernapasan. Apabila pasien memiliki riwayat
hipertensi dan penurunan kesadaran dengan onset mendadak, maka yang ditakutkan
adalah kemungkinan terjadinya stroke atau perdarahan subaraknoid. 2

Gejala yang menyertai juga ditanyakan untuk mengetahui etiologi. Contohnya


apabila terjadi penurunan kesadaran karena infeksi, dapat dicari tahu apakah ada gejala-
gejala infeksi yang menyertai/ mendahului penurunan kesadaran. Apabila penyebab
penurunan kesadaran adalah lesi desak ruang/ lesi destruktif, dapat ditemukan defisit
neurologis sesuai dengan topis lesi.

Pada pasien, penurunan kesadaran tidak terjadi secara akut, melainkan progresif
dalam rentang waktu beberapa hari. Dapat dipikirkan bahwa penurunan kesadaran
kemungkinan bukanlah diakibatkan oleh penyebab-penyebab akut, yakni vaskular,
trauma, dan intoksikasi zat. Penurunan kesadaran pada pasien terjadi secara progresif
dalam waktu beberapa hari. Kemungkinan diagnosa hipoglikemia dapat disingkirkan
pada pasien, karena riwayat diabetes dan penggunaan insulin sebelumnya disangkal dan
dari hasil laboratorium pasien, dapat ditemukan bahwa hanya terdapat kelainan ringan
pada panel elektrolit pasien, dan GDS pasien dalam batas normal. Kegagalan organ
juga dapat disingkirkan karena pada pasien tidak ada keluhan yang mengarah ke
kerusakan organ tertentu, dan nilai panel fungsi hati serta ginjal dalam batas normal.
Penurunan kesadaran oleh karena syok sepsis dapat dipikirkan sebagai diagnosis
diferensial, dan gangguan akibat hasil analisa gas darah yang abnormal belum dapat
disingkirkan karena tidak dilakukannya analisa gas darah. Pada pasien terdapat gejala-
gejala yang mendukung diagnosa infeksi, dimana pasien memiliki fokus infeksi
intraorbital serta pada pasien terpenuhi kriteria adanya sepsis sesuai dengan kriteria
qSOFA.

Tabel 3. Kriteria qSOFA

- Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik dilakukan setelah manajemen pengkajian awal kondisi


pasien, yakni dalam segi airway, breathing, dan circulation. Pada pemeriksaan fisik
umum, yang harus diperiksa adalah:
• Tanda vital

Biasanya, tekanan darah tinggi pada penurunan kesadaran memiliki asosiasi


dengan peningkatan TIK, dengan perdarahan intraserebral atau lesi desak ruang. Pada
pemeriksaan suhu, biasanya hipotermia dapat ditemukan pada kasus penurunan
kesadaran akibat intoksikasi obat sedatif, intoksikasi alkohol, hipoglikemia, dan
ensefalopati hepatikum. Hipertermia dapat ditemukan pada kasus stroke, status
epileptikus, perdarahan pontin, atau lesi hipotalamus. Pemeriksaan pernapasan
dilakukan untuk memastikan apakah oksigenasi pasien adekuat untuk pasokan jaringan
otak.

• Tanda trauma

Dilakukan inspeksi secara menyeluruh untuk melihat ada tidaknya hematom,


laserasi, atau fraktur. Pemeriksaan yang dilakukan terutama pada daerah kepala dan
leher. Pada penderita dengan trauma, biasanya kontraindikasi pemeriksaan tanda-
tanda meningeal jikalau diduga adanya fraktur servikal. Jika kemungkinan itu tidak
ada, maka lakukan pemeriksaan kaku kuduk dan lakukan auskultasi karotis untuk
mencari ada tidaknya bruit. Tanda trauma yang harus diutamakan dalam
pemeriksaan adalah:

o Raccoon eyes: ekimosis periorbital, dapat merupakan tanda fraktur basis


cranii.

o Battle sign: pembengkakkan/ perubahan warna pada jaringan yang melapisi


os mastoid yang terletak di belakang telinga.

o Rhinorrhea/otorrhea: terjadinya kebocoran cairan serebrospinal sehingga


mengalir keluar melalui rongga hidung/telinga.

o Tanda-tanda fraktur pada palpasi


Gambar 2. Tanda-tanda fraktur basis cranii

• Pemeriksaan neurologis

Pemeriksaan fisik neurologis bertujuan untuk menentukan tingkat kesadaran


secara kualitatif dan kuantitatif. Pemeriksaan neurologis dilakukan selengkap
mungkin, yakni yang memungkinkan dilakukan pada pasien tidak sadar, yakni
meliputi derajat kesadaran dan pemeriksaan motorik.

• Level kesadaran

Ditentukan secara kualitatif dan kuantitatif.

- Kualitatif (apatis, somnolen, delirium, stupor dan koma)

- Kuantitatif (menggunakan GCS)


Gambar 3. Skoring GCS

• Pupil

Diperiksa: ukuran, reaktivitas cahaya - Simetris/ reaktivitas cahaya normal, petunjuk


bahwa integritas mesensefalon baik. Pupil reaksi normal, reflek kornea dan
okulosefalik (-), dicurigai suatu koma metabolik

- Mid posisi (2-5 mm), fixed dan irregular, lesi mesenfalon fokal.

- Pupil reaktif pint-point, pada kerusakan pons, intoksikasi opiat kolinergik.

- Dilatasi unilateral dan fixed, terjadi herniasi.

- Pupil bilateral fixed dan dilatasi, herniasi sentral, hipoksik-iskemi global,


keracunan barbiturat.
Gambar 4. Petunjuk lokasi lesi dari karakteristik pupil

• Funduskopi

• Refleks okulovestibuler/okulosefalik (dolls eye manuevre)

Pergerakan bola mata untuk melirik dan memfokuskan pandangan diatur oleh
nervus oculomotorius. Nuclei nervus oculomotor mendapat impuls aferen dari
cortical, tectal, dan tegmental sistem oculomotor, serta impuls langsung dari sistem
vestibular dan vestibulocerebellum. Reflex okulovestibuler diperiksa dengan
menolehkan kepala pasien, namun harus hati-hati pada pasien trauma yang dicurigai
adanya fraktur atau dislokasi dari tulang cervical. Selain dengan menolehkan kepala
pasien, dapat juga tes kalori. Respon normal dari gerakan yang menimbulkan impuls
pada vestibular menuju sistem oculomotor dan membuat mata berputar berlawanan
arah dengan gerakan yang diberikan pemeriksa. Pada pasien sadar, refelks
memfokuskan pandangan menutupi reflex tesebut, sehingga pemeriksaan doll’s eye
tidak dilakukan pada pasien sadar, namun pada pasien dengan penurunan kesadaran,
reflex okulosefalik lebih dominan.

• Refleks kornea dan posisi kelopak mata

Dari posisi kelopak mata dapat dinilai apakah kelopak mata dalam keadaan
tetutup atau terbuka sebagian (tidak tertutup rapat). Dalam keadaaan koma, biasanya
kelopak mata dalam keadaan tertutup dan mudah diangkat seperti halnya dalam
keadaan tidur. Tidak adanya tonus pada kelopak mata atau terbuka sebagian dari
kelopak mata dapat menandakan adanya kelemahan dari otot-otot wajah. Jika saat
pemeriksaan ditemukan kelopak mata yang sulit dibuka atau saat dibuka langsung
tertutup kembali, biasanya itu merupakan gerakan yang volunter dan dapat
menandakan bahwa pasien tidak sepenuhnya dalam keadaan koma. Reflek mengedip
biasanya hilang pada saat seseorang dalam keadaan koma. Respon mengedip
terhadap suara keras atau sinar lampu pada pasien dalam persistent vegetative state
menggambarkan bahwa jaras sensoris aferen ke batang otak masih baik, namun tidak
berarti pasien aktif dalam menerima respon, bahkan pasien dengan kerusakan total
pada korteks yang mengatur visual masih dapat merespon kedip terhadap sinar,
tetapi tidak pada respon langsung/sentuhan. Reflek dalam menutup kelopak mata
dan elevasi kedua bola mata (Bell’s Phenomenon) menandakan jaras reflek dari
nervus trigeminal menuju tegmentum batang otak lalu kembali ke nervus oculomotor
dan facial masih dalam keadaaan intak/baik. Lesi struktural pada mesencephalon
dapat menyebabkan hilangnya Bell’s phenomenon, tetapi respon mengedip tetap
ada.

• Refleks muntah

• Respons motorik

• Refleks fisiologik dan patologik

- Pemeriksaan penunjang

• Pemeriksaan gas darah, berguna untuk melihat oksigenasi di dalam darah, juga
untuk melihat gangguan keseimbangan asam basa.

• Pemeriksaan darah, meliputi darah perifer lengkap (DPL), keton, faal hati, faal
ginjal dan elektrolit.

• Pemeriksaan toksikologi, dari bahan urine darah dan bilasan lambung.

• Pemeriksaan khusus meliputi pungsi lumbal, CT scan kepala, EEG, EKG, foto
toraks dan foto kepala.1,2

Pada pasien, ditemukan tanda-tanda vital normal kecuali suhu, dengan


kesadaran E2M3Vett, dan ditemukan fokus infeksi berupa abses intraorbital sinistra.
Tanda rangsal meningeal ditemukan dalam batas normal sehingga dapat dipikirkan
bahwa pada kasus ini, penyebab penurunan kesadaran bukanlah iritasi meningens
ataupun perdarahan subaraknoid. Pemeriksaan saraf kranialis tidak dapat dilakukan,
sehingga dilakukan pemeriksaan refleks batang otak yang ditemui dalam batas
normal. Refleks fisiologis ditemukan normorefleks, dan tidak ditemukan adanya
refleks patologis. Tes sensorik, koordinasi, dan fungsi luhur tidak dapat dilakukan.
Tidak ditemukan gangguan fungsi otonom. Dari hasil pemeriksaan fisik, penemuan
klinis lebih menunjukkan ke arah etiologis infeksi dengan fokus infeksi intraorbital.

Pada pemeriksaan penunjang, dapat disingkirkan diagnosis diferensial berupa


kelainan metabolik. Pada pencitraan, ditemukan bahwa selain tervisualisasinya
empyema subdural tersebut, pasien memiliki kondisi sinusitis maksilaris kiri,
etmoidalis kiri, sphenoidalis kiri, serta frontalis kiri. Diketahui dari literatur bahwa
pasien dengan SDE mayoritas infeksinya berasal dari sinusitis tersebut.

- Tatalaksana

Adapun tatalaksana umum pada pasien penurunan kesadaran adalah:

o Tidurkan pasien dengan posisi lateral dekubitus dengan leher sedikit ekstensi bila tidak
ada kontraindikasi seperti fraktur servikal dan tekanan intrakranial yang meningkat.

o Posisi trendelenburg baik sekali untuk mengeluarkan cairan trakeobronkhial, pastikan


jalan nafas lapang, keluarkan gigi palsu jika ada, lakukan suction di daerah nasofaring
jika diduga ada cairan.

o Lakukan imobilisasi jika diduga ada trauma servikal, pasang infus sesuai dengan
kebutuhan bersamaan dengan sampel darah.

o Pasang monitoring jantung jika tersedia bersamaan dengan melakukan


elektrokardiogram (EKG).

o Pasang nasogastric tube, keluarkan isi cairan lambung untuk mencegah aspirasi,
lakukan bilas lambung jika diduga ada intoksikasi.

o Berikan tiamin 100 mg iv, berikan destrosan 100 mg/kgbb. Jika dicurigai adanya
overdosis opium/ morfin, berikan nalokson 0,01 mg/kgbb setiap 5-10 menit sampai
kesadaran pulih (maksimal 2 mg).

o Lakukan CT Scan kepala non kontras, tergantung dari hasil yang ditemukan,
tatalaksana dibagi menjadi 2 yakni tatalaksana dengan herniasi dan tanpa herniasi.

o Pada pasien dengan herniasi: Pasang ventilator ,lakukan hiperventilasi dengan


target PCO2: 25- 30 mmHg. Berikan manitol 20% dengan dosis 1-2 gr/ kgbb atau 100
gr iv. Selama 10-20 menit kemudian dilanjutkan 0,25-0,5 gr/kgbb atau 25 gr setiap 6
jam. Pada edema serebri karena tumor atau abses dapat diberikan deksametason 10
mg iv lanjutkan 4-6 mg setiap 6 jam. Jika pada CT scan kepala ditemukan adanya CT
yang operabel seperti epidural hematom, konsul bedah saraf untuk operasi
dekompresi.

o Pengobatan khusus tanpa herniasi: Jika pada CT scan tak ditemukan kelainan,
lanjutkan dengan pemeriksaan pungsi lumbal (LP). Jika LP positif adanya infeksi
berikan antibiotik yang sesuai. Jika LP positif adanya perdarahan terapi sesuai dengan
pengobatan perdarahan subarakhnoid.5,6

III. Subdural Empyema

a. Definisi

Subdural empyema adalah koleksi fokal materi purulen yang terletak diantara
lapisan duramater dan arachnoid mater. Kondisi subdural empyema yang terjadi pada
intrakranial ini merupakan komplikasi dari sinusitis paranasal, otitis media, mastoiditis,
maupun infeksi intrakranial lainnya. Dapat terjadi subdural empyema spinal, namun
sangat jarang terjadi dan biasanya merupakan komplikasi dari osteomyelitis. Pada
mayoritas kasus, mikroorganisme penyebab subdural empyema adalah kuman anaerob
dan Streptococcus (S. Milleri dan anginosus). Sindroma klinis klasik yang ada biasanya
berupa penyakit febris akut yang disertai penurunan fungsi neurologis yang cepat dan
progresif, dan apabila dibiarkan, akan berujung pada koma bahkan mortalitas.
Tatalaksana pada subdural empyema adalah evakuasi abses secara segera disertai
dengan pemberian antibiotik yang sesuai dengan mikroorganisme penyebab.6,7

b. Epidemiologi

Pasien dengan SDE intrakranial biasanya berada dalam rentang usia anak-anak
sampai dewasa muda, mayoritas pada usia 20-30 tahunan. Jumlah penderita laki-laki
lebih banyak dari perempuan. Di 60-90% kasus, tampak adanya sinusitis atau otitis.6
c. Patofisiologi

Subdural empyema (SDE) adalah kumpulan dari nanah yang terletak diantara
duramater dan araknoid mater, biasanya unilateral dan biasanya mengalami penyebaran
disepanjang celah subdural sampai terbatasi oleh batas tertentu, contohnya falx serebri,
tentorium serebeli, atau foramen magnum. SDE sendiri biasanya merupakan
komplikasi dari penyakit lain, seperti infeksi perikranial, meningitis purulen, sinusitis,
atau otitis media. Lebih jarang, namun subdural empyema juga dapat merupakan
komplikasi dari suatu trauma yang menyebabkan subdural hematoma, yang mengalami
transformasi menjadi subdural empyema dalam jangka waktu beberapa bulan- tahun.7,8

Infeksi menyebar dari lokasi infeksius primer, contohnya dari sinus frontalis
dengan mengerosi dinding posteriornya kedalam ruang intrakranial. Pada otitis media,
contohnya, infeksi menyebar dari mastoid atau telinga tengah dengan mengerosi
tegmen timpani. Infeksi juga daoat menyebar dengan tromboplebitis sepsis retrograde.

Setelah empyema masuk kedalam ruang intrakranial, empyema akan


menyebabkan reaksi inflamatorik didalam ruang subdural. Reaksi ini dapat diikuti
dengan pleositosis cairan serebrospinal dan ensefalitis kortikal. Reaksi inflamasi ini
menyebabkan terbentuknya edema. Kombinasi dari empyema dan edema ini akan
menyebabkan efek desak ruang, yang akan menyebabkan peningkatan TIK.
Peningkatan dari TIK dapat menyebabkan herniasi transtentorial, kompresi batang otak
yang menyebabkan berbagai gejala neurologis.

Desakan ini juga dapat menyebabkan disrupsi pada aliran darah dan cairan
serebrospinal. Trombosis dari vena kortikalis atau sinus kavernosus pada area fokal
yang terkena SDE dapat menyebabkan infark.7,10,11

d. Etiologi

Penyebab terbanyak SDE adalah kuman-kuman anaerob, streptokokus,


stafilokokus, Streptococcus pneumoniae dan Haemophilus influenzae. Karena
penyebab tersering SDE adalah sinusitis paranasal, maka organisme penyebab SDE
mayoritas adalah streptokokus anaerob dan mikroaerofilikm yakni Streptokokus milleri
dan Streptococcus anginosus.7,9
Tabel 4. Mikroorganisme penyebab SDE

e. Manifestasi Klinis

Pasien SDE intrakranial kebanyakan anak-anak dan dewasa muda.Gejala


prodromal yang muncul adalah demam dan sakit kepala fokal yang berprogresi menjadi
muntah dan tanda-tanda iritasi meningeal. Gejala klinis yang cukup umum, mencakup
50% dari jumlah pasien SDE, adalah penurunan kesadaran. Trias dari SDE menurut
Agrawal, et al adalah demam, sinusitis dan defisit neurologis yang mengalami
perburukan secara fulminan dan progresif. Gejala lainnya yang dapat muncul adalah7:

o Defisit neurologis fokal, contohnya hemiplegia, kelemahan tungkai bawah


unilateral/bilateral, afasia

o Epilepsi fokal/generalisata, pasien biasanya tidak memiliki riwayat kejang


sebelumnya.

o Meningismus

Gejala-gejala awal, apabila tidak mendapat penanganan segera, maka akan


berprogresi dalam rentang waktu beberapa hari. Yang tampak adalah penurunan kesadaran
progresif, dimana awalnya pasien akan tampak mengantuk, cenderung tidur, dan lama
kelamaan, koma.12

Pada pasien, gejala klinis yang ditemukan sesuai dengan gambaran klasik SDE. Ditemukan
gejala utama berupa penurunan kesadaran secara progresif dalam beberapa hari, dan ketiga
gejala dari trias SDE yakni demam, sinusitis dan defisit neurologis yang mengalami
perburukan secara progresif. Gejala prodromal yang mengawali infeksi juga sesuai. Pada
hari perawatan ke-4, terjadi epilepsi fokal yang menunjukkan letak topis lesi yang
disebabkan empyema tersebut.

f. Tatalaksana

a. Pemeriksaan Penunjang

o Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan laboratorium yang diperiksakan pada SDE biasanya adalah


darah lengkap. Dapat terlihat peningkatan jumlah leukosit, laju endap darah
(LED), dan C-reactive protein (CRP) akibat adanya infeksi. Pemeriksaan
fungsi ginjal dan liver juga dilakukan untuk kepentingan pencitraan dan
pemberian obat-obatan medikamentosa. Biasanya, diperiksakan juga gula
darah sewaktu untuk menyingkirkan diagnosis banding penurunan kesadaran
karena hipoglikemia. Pasien anak-anak yang memiliki diabetes mellitus juga
memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami empyema sinogenik
intrakranial.

o Lumbar Puncture

Lumbar puncture (LP) biasanya dilakukan untuk menyingkirkan diagnosis


banding infeksi meningeal. Hasil dari cairan serebrospinal biasanya
mengindikasikan adanya infeksi non-spesifik. LP dikontraindikasikan
apabila adanya peningkatan TIK yang mengindikasikan adanya herniasi
serebral.

o Pencitraan
Pemeriksaan pencitraan yang dilakukan untuk mendiagnosa SDE adalah CT
Scan/ MRI kepala. Pemeriksaan optimal yang digunakan adalah CT Scan Kepala
dengan kontras / MRI. CT scan non kontras
Kurang sensitif, namun dapat dilakukan dengan mengambil gambar plana
aksial dan koronal. Pada CT scan, empyema terlihat dengan adanya area
hipodens di sekitar hemisfer atau menyusuri jalur falx serebri.

Gambar 5. Contoh CT Scan pada SDE: tampak adanya area hipodens pada
area hemisfer sinistra serebri

b. Tatalaksana medikamentosa

Tatalaksana SDE tidak dapat dilakukan melalui obat-obatan saja, karena SDE
biasa disebut ‘the most imperative of neurosurgical emergencies’ , yang berarti
tindakan drainase harus dilakukan sesegera mungkin. Menurut Greenlee (2003),
berikut ini adalah pilihan antibiotik yang digunakan untuk tatalaksana pasien
SDE:
Tabel 5. Pilihan antibiotik pada kasus SDE

Apabila terjadi kejang, dapat juga diberikan anti-epileptik seperti phenytoin.

c. Tatalaksana pembedahan

Tindakan drainase biasa dilakukan dengan burr holes atau kraniotomi. Selain
drainase, diperlukan juga tindakan pembedahan pada sumber infeksi seperti
sinusitis, otitis dan mastoiditis.

d. Tatalaksana rehabilitasi medis, dapat dilakukan rehabilitasi medis seperti terapi


wicara tergantung dengan gejala defisit neurologis yang muncul.6,13,14
Daftar Pustaka

1. Aninditha, Tiara, Wiratman, Winnugroho (2017) Buku Ajar Neurologi. Departemen


Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. Hal 16-35.

2. Hasan (2016). PANDUAN PRAKTIK KLINIS NEUROLOGI PERHIMPUNAN


DOKTER SPESIALIS SARAF INDONESIA . PERDOSSI. Hal 163-164.

3. Plum, F. Posner, JB. Saper, CB. Schiff, ND. (2007). Plum and Posner’s Diagnosis of
Stupor and Coma. Oxford University Press. New York. Hal. 5-9.

4. Dewanto, G. Suwono, WJR. Budi, dkk. (2007). Diagnosis & Tatalaksana Penyakit
Saraf. Fakultas UNIKA ATMAJAYA. EGC

5. Harris, S. (2004). Penatalaksanaan Pada Kesadaran Menurun dalam Updates in


Neuroemergencies. FKUI. Jakarta. Hal.1-7

6. Greenlee, John E. (2003) Subdural Empyema. Department of Neurology, University of


Utah Health Sciences Center. Current Science Inc.

7. Agrawal, Awil, et al. (2007) A Review of Subdural Empyema and Its Management.
Department of Surgery, B.P. Koirala Institute of Health Sciences, Dharan,
Nepal; Leeds General Infirmary, Leeds, United Kingdom; Departments
of Neurology, Radiology and Pathology, K.S. Hegde Medical
Academy, Mangalore, India. Lippincott Williams &Wilkins.

8. Reynolds, Dorothy J., et al. (2003). Intracranial Infection Associated With


Preseptal and Orbital Cellulitis in the
Pediatric Patient. Department of Ophthalmology, North Shore—Long Island Jewish
Health System, Great Neck, NY. Journal of AAPOS.

9. Rennels MB, Woodward CL, Robinson WL, Gumbinas MT, Brenner JI (1983).
Medical cure of apparent brain abscesses. Pediatrics.
10. Bambakidis NC, Cohen AR (2001). Intracranial complications of frontal
sinusitis in children: Pott’s puffy tumor revisited. Pediatr Neurosurg

11. Singh B, van Dellen J, Ramjettan S, Maharaj T (1995). Sinogenic intracranial


complications. J Laryngol Otol

12. Osborn, Melissa K, Steinberg, James P (2007). Subdural empyema and other
suppurative complications of paranasal sinusitis. Division of Infectious Diseases,
Department of Medicine, Emory University School of Medicine, Atlanta, GA, USA.
Lancet Infectious Dis.

13. Wu TJ, Chiu NC, Huang FY (February 2008). "Subdural empyema in center". J
Microbiol Immunol Infect. 41 (1): 62–7

14. Quraishi H, Zevallos JP (September 2006). "Subdural empyema as a complication of


sinusitis in the pediatric population". Int. J. Pediatr. Otorhinolaryngol.

Anda mungkin juga menyukai