Oleh :
Arina Sabila H G99152101
Emma Ayu L G99152102
Latifa Zulfa S G99152094
Sarah Luthfiani G99152098
Fatmanisa Laila G99152111
Pembimbing:
Dr. Pepi Budianto., Sp.S
BAB I
STATUS PASIEN
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. J
Umur : 39 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Swasta
Alamat : Blora, Jawa Tengah
No. RM : 012867XX
Tanggal Periksa : 7 Oktober 2016
B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Kelemahan anggota gerak bawah yang menjalar ke atas
5. Riwayat Kebiasaan
Riwayat minum alkohol : disangkal
Riwayat merokok : disangkal
Riwayat pengobatan : disangkal
Riwayat olahraga : jarang berolahraga
6. Riwayat Gizi
Pasien makan sehari tiga kali dengan porsi sedang. Pasien tidak menjalankan diet
tertentu.
8. Anamnesis Sistem
a. Sistem saraf pusat :
b. Sistem Indera
1) Mata:
berkunang-kunang (-), pandangan dobel (-), penglihatan kabur (-), pandangan
berputar (-).
2) Hidung:
mimisan (-), pilek (-)
3) Telinga:
pendengaran berkurang (-), berdenging (-), keluar cairan (-), darah (-), nyeri (-)
c. Mulut:
sariawan (-), gusi berdarah (-), mulut kering (-), gigi tanggal (-), gigi goyang (-),
mulut mencong (-)
d. Tenggorokan:
nyeri saat menelan (-), suara serak (-), gatal (-)
e. Sistem respirasi:
sesak nafas (-), batuk (-), batuk darah (-), mengi (-), tidur mendengkur (-)
f. Sistem kardiovaskuler:
sesak nafas saat beraktivitas (-), nyeri dada (-), berdebar-debar (-)
g. Sistem gastrointestinal:
mual (-), muntah (-), nyeri ulu hati (-), susah BAB (+), mbeseseg (+), kembung
(-), nafsu makan berkurang (-), ampeg (-)
h. Sistem muskuloskeletal:
Kelemahan gerak tungkai (+) menjalar sampai ke lengan
i. Sistem genitourinaria:
mengompol (-), susah BAK (+)
j. Extremitas superior:
luka (-), tremor (-), ujung jari terasa dingin (-), kesemutan(+/+), bengkak (-),
kelemahan (+/+), sakit sendi (-), panas (-) berkeringat (-)
k. Extremitas inferior:
luka (-), tremor (-), ujung jari terasa dingin (-), kesemutan (+/+), sakit sendi lutut
(-/-), kelemahan (+/+)
l. Sistem neurobehaviour:
kejang (-), gelisah (-), mengigau (-), emosi tidak stabil (-)
m. Sistem integumentum:
kulit coklat sawo, pucat (-), kering (-)
C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Generalis
VS : TD : 110/70 mmHg
Nadi : 82 kali/menit
RR : 16 kali/menit
Suhu : 36,6 C
VAS : 0
2. Status Neurologis
a. Kesadaran : GCS E4V5M6
b. Fungsi luhur : dalam batas normal
c. Fungsi otonom : retensi alvi et uri
d. Fungsi sensorik : dalam batas normal
e. Fungsi motorik :
f. Nn. craniales
1) N.II, III : pupil isokor (3mm/3mm), refleks cahaya (+/+)
2) N.III, IV, VI : gerak bola mata normal
3) N. V : dalam batas normal
g. Meningeal Signs
1) Kaku kuduk : (-)
2) Tanda Brudzinski I : (-)
3) Tanda Brudzinski II : (-)
4) Tanda Brudzinski III : (-)
5) Tanda Brudzinski IV : (-)
6) Tanda Kernig : (-)
Hasil pemeriksaan darah (30 September 2016)
PEMERIKSAAN HASIL SATUAN RUJUKAN
HEMATOLOGI RUTIN
Makroskopis
Warna Tak berwarna
Kejernihan Jernih
Bekuan Tidak ada bekuan
Tes Pandy Negative Negative
Tes Nonne Negative Negative
Protein total 92 mg/dl 10 - 43
Glukosa 84 mg/dl 32 - 82
Jumlah sel 70 /ul < 32
Hitung Jenis Sel PMN 54 % -
Hitung Jenis MN 46 % -
D. RESUME
Pasien merupakan pasien rawat inap yang dirawat dibangsal Anggrek 2dengan
keluhan kedua tungkai terasa berat setelah bangun tidur, kemudian tidak bisa digerakkan.
Kelemahan gerak tungkai menjalar sampai ke lengan. Keluhan mulai dirasakan sejak
tanggal 10 September 2016. Sulit BAK dan BAB. Pemeriksaan status neurologis dari
fungsi otonom terdapat retensi alvi et uri.
Kekuatan Tonus R. Fisiologis R. Patologis
2/2/2 2/2/2 +1/+1 +1/+1 - -
E. ASSESMENT
K : Tetraparese LMN, Acending paralysis, Retensi Alvi et Uri
T : Poliradix
E : Suspek GBS
F. PENATALAKSANAAN
(1) Infus asering 20 tpm
(2) Diet nasi TKTP 1800 kkal/hari
(3) Infus aminofluid 1 flash/ 24 jam IV
(4) Injeksi ranitidin 50 mg/12 jam IV
(5) Injeksi ketorolac 30 mg/12 jam IV P.rn
(6) Mecobalamin 500 mcg/12 jam P.O
(7) Simvastatin 20 mg/24 jam P.O
(8) Sucralfat C1/ 8 jam P.O
(9) Curcuma
(10) Paracetamol 1000 mg/12 jam P.O
G. PLANNING
1. Edukasi keluarga
H. PROGNOSIS
Ad vitam : bonam
Ad sanam : bonam
Ad fungsionam : dubia
I. PROGRESS REPORT
Tanggal 23 9 2016 (DPH 0)
Kelemahan keempat anggota gerak bawah yang menjalar ke lengan
Subjective
atas, kesulitan BAK dan BAB
GCS E4V5M6
Tensi: 110/70 mmHg
Nadi: 82 kali/menit
Respirasi: 16kali/menit, regular
Suhu: 36oC (per axilla)
VAS : 0
Fungsi luhur: dalam batas normal
Meningeal signs: tidak ada
Nn. craniales:
N.II, III : pupil isokor (3 mm/3mm), refleks cahaya ( +/+)
N.III, IV, VI : gerak bola mata normal
N.VII, XII : dalam batas normal
Objective Motorik:
K 2/2/2 2/2/2 T
2/2/2 2/2/2
RF +1/+1 +1/+1 RP - -
+1/+1 +1/+1 - -
Sensorik: hiperalgesia
Otonom: retensi urin et alvi
Koordinasi : sulit dievaluasi
Kolumna vertebralis : dalam batas normal
K : tetraparese LMN, retensio urin et alvi, paralysis ascendent,
hiperalgesia
Assessment
T: radix
E: suspek GBS
Terapi:
Infus asering 20 tpm
Inj metamizole 1 gr/12 jam IV Prn
Mecobalamin 500 mcg/12 jam PO
Inj metilprednisolon 12mg/ 8 jam IV
Fleed enema/ 3 hari
Fenitoin 2x100 mg PO
Amitriptilin 2x12,5 mg PO
Planning
Plan:
Cek lab lengkap
Konsul mata pro lumbal pungsi
Pro EMG
1 Spinal Nerve
2 Dorsal Root Ganglion
3 Dorsal Root (Sensory)
4 Ventral Root (Motor)
6 Central Canal
7 White Matter
Gambar 2.2 Penampang Melintang Medulla Spinalis
Susunan Neuromuskular
Sistem motorik berhubungan dengan sistem neuromuskular. Susunan
neuromuskular terdiri dari Upper motor neuron (UMN) dan lower motor neuron
(LMN). Upper motor neuron (UMN) merupakan kumpulansaraf-saraf motorik yang
menyalurkan impuls dari area motorik di korteks motorik sampai inti-inti motorik di
saraf kranial di batang otak atau kornu anterior medulla spinalis. Sedangkan lower
motor neuron (LMN), merupakan kumpulan saraf-saraf motorik yang berasal dari
batang otak atau yang keluar dari cornu anterior medulla spinallis yang kemudiannya
pergi ke otot. Kedua saraf motorik tersebut mempunyai peranan penting di dalam
sistem neuromuscular tubuh. Sistem ini yang memungkinkan tubuh kita untuk
bergerak secara terencana dan terukur.
Berikut merupakan perbandingan antara ciri-ciri kelumpuhan tipe LMN dan tipe UMN.
Lower motor neuron weakness (LMN) Upper motor neuron weakness (UMN)
Flaccid Spasticity
Decreased tone Increased tone
Decreased muscle stretch reflexes Increased muscle stretch reflexes
Profound muscle atrophy Minimal muscle atrophy
Pathologic reflexes (-) Pathologic reflexes (+)
2.2 PARESE
A. Definisi
Parese adalah kelemahan/ kelumpuhan parsial yang ringan/ tidak
lengkap atau suatu kondisi yang ditandai oleh hilangnya sebagian gerakan atau
gerakan terganggu. Kelemahan adalah hilangnya sebagian fungsi otot untuk
satu atau lebih kelompok otot yang dapat menyebabkan gangguan mobilitas
bagian yang terkena. Parese pada anggota gerak dibagi menjadi 4 macam,
yaitu: 3
Monoparese : Kelemahan pada satu ekstremitas atas atau ekstremitas
bawah
Paraparese : Kelemahan pada kedua ekstremitas bawah
Hemiparese : Kelemahan pada satu sisi tubuh yaitu satu ekstremitas
atau dan satu ekstremitas bawah pada sisi yang sama
Tetraparese : Kelemahan pada keempat ekstremitas
B. Tetraparesis
Tetraparese juga diistilahkan juga sebagai quadiparese, yang keduanya
merupakan parese dari keempat ekstremitas. Tetra dari bahasa Yunani
sedangkan Quadra dari bahasa Latin. Tetraparese adalah kelumpuhan/
kelemahan yang disebabkan oleh penyakit atau trauma pada manusia yang
menyebabkan hilangnya sebagian fungsi motorik pada keempat anggota gerak,
dengan kelumpuhan/ kelemahan lengan lebih atau sama hebatnya dibandingkan
dengan tungkai. Hal ini diakibatkan oleh adanya kerusakan otak, kerusakan
tolang belakang pada tingkat tertinggi (khususnya pada vertebra cervikalis),
kerusakan sistem saraf perifer, kerusakan neuromuscular atau penyekit otot.
Kerusakan diketahui karena adanya lesi yang menyebabkan hilangnya fungsi
motorik pada keempat anggota gerak, yaitu lengan dan tungkai. Penyebab khas
pada kerusakan ini adalah trauma (seperti tabrakan mobil, jatuh atau aport
injury) atau karena penyakit (seperti myelitis trasversal, polio atau spina
bifida).
Pada tetraparese kadang terjadi kerusakan atau kehilangan kemampuan
dalam mengontrol sistem pencernaan, fungsi seksual, pengosongan saluran
kemih dan rectum, sistem pernafasan atau fungsi otonom. Selanjutnya dapat
terjadi penuruanan/ kehilangan fungsi sensorik. Adapun manifestasi seperti
kekakuan, penurunan sensorik dan nyeri neuropatik. Walaupun pada
tetreparese itu terjadi kelumpuhan pada keempat anggota gerak tapi terkadang
tungkai dan lengan masih dapat digunakan atau jari-jari tangan yang tidak
dapat memengang kuat suatu benda tapi jari-jari tersebut masih bisa
digerakkan, atau tidak bisa menggerakkan tangan tapi lenganya masih bisa
digerakkan atau tidak bisa menggerakkan tangan tapi lengannya masih bisa
digerakkan. Hal ini semua tergantung dari luas tidaknya kerusakan.
C. Epidemiologi
Tetraparese salah satunya disebabkan karena adanya cedera pada
medulla spinalis. Menurut Pusat Data Nasional Cedera Medulla Spinalis (The
National Spinal Cord Injury Data Research Centre), memperkirakan adanya
10.000 kasus baru cedera medulla spinalis setiap tahunya di Amerika Serikat.
Angka insidensi paralisis komplet akibat kecelakaan diperkirakan 10 per
100.000 penduduk dengan tetraparese 100.000 merupakan penyebab utama
cedera medulla spinalis.Cedera medulla spinalis dapat dibagi menjadi komplet
dan tidak komplet berdasarkan ada/ tidaknya fungsi yang dipertahankan di
bawah lesi. Pembagian ini penting untuk meramalkan prognosis dan
penangangan selanjutnya. Data di Amerika Serikat menunjukan urutan frekensi
disabilitas neurologis karena sedera medulla spinalis traumatika sebab:
Tetraparese Inkomplet : 29,5%
Paraparese Komplet : 27,3%
Paraparese Inkomplet : 21,3%
Tetraparese Komplet : 18,5%
D. Klasifikasi Tetraparese
Pembagian tetraparese berdasarkan kerusakan topisnya:
a. Tetraparese spastik
Tetraparese speastik terjadi karena kerusakan yang mengenai Upper Motor
Neuron (UMN), sehingga menyebabkan peningkatan tonus otot atau
hipertoni.
b. Tetraparese flasid
Tetraparese flasid terjadi karena kerusakan yang mengenai Lower Motor
Neuron (LMN), sehingga menyebabakan penurunan tonus otot atau
hipotoni.
E. Patofisiologi Tetraparese
Tetraparese dapat disebabkan karena kerusakan Upper Motor Neuron
(UMN) atau kerusakan Lower Motor Neuron (LMN). Kelumpuhan terjadi pada
kerusakan Upper Motor Neuron (UMN) disebabkan karena adanya lesi di
medulla spinalis. Kerusakan bisa dalam bentuk jaringan scar atau kerusakan
karena tekanan dari vertebra atau diskus invertebralis. Hal ini berbeda dengan
lesi pada LMN yang berpengaruh pada serabut saraf yang berjalan dari cornu
anterior medulla spinalis sampai ke otot.
Pada columna vertebralis terdapat nervus spinalis, yaitu nervus
servikalis, thorakal, lumbal dan sacral. Kelumpuhan berpengaruh pada nervus
spinalis dari servikal dan lumbosakral pada nervus spinalis dari servikal dan
lumbosakral dapat menyebabkan kelemahan/ kelumpuhan pada keempat
anggota gerak. Wilayah ini penting, jika terjadi kerusakan pada daerah ini maka
akan berpengaruh pada otot, organ dan sensorik yang dipersarafinya.
Ada dua tipe lesi, yaitu lesi komplit dan inkomplit. Lesi komplit dapat
menyebabkan kehilangan kontrol otot dan sensorik secara total dari bagian di
bawah lesi, sedangkan lesi inkomplit mungkin hanya terjadi kelumpuhan otot
ringan (parese) dan arau mungkin kerusakan senssorik. Lesi pada UMN dapat
menyebabkan parase spastic sedangkan lesi pada LMN menyebabkan parese
flasid.
a. Lesi di Mid or Upper Cervical Cord
Tiap lesi di medulla spinalis yang merusakan daerah jaras
kortikospinalis lateral menimbulkan kelumpuhan Upper Motor Neuron
(UMN) pada otot-otot bagian tubuh yang terletak di bawah tingkat lesi. Lesi
transversal medulla spinalis pada tingkat servikal, misalnya C5
mengakibatkan kelumpuhan Upper Motor Neuron (UMN) pada otot-otot
kedua lengan yang berasal dari miotom C6 sampai miotom C8, lalu otot-otot
thoraks dan abdomen serta segenap otot kedua tungkai yang mengakibatkan
kelumpuhan parsial dan deficit neurologis yang tidak massif diseluruh
tubuh. Lesi yang terletak di medulla spinalis tersebut maka akan
menyebabkan kelemahan/ kelumpuhan keempat anggota gerak yang disebut
tetraparese spastik.
b. Lesi di Low Cervical Cord
Lesi transversal yang merusak segmen C5 ke bawah itu tidak saja
memutuskan jaras kortikospinalis lateral, melainkan ikut memotong segenap
lintasan asendens dan desendens lain. Disamping itu kelompok motor
neuron yang berada di dalam segmen C5 ke bawah ikut rusak. Ini berarti
bahwa pada tingkat lesi kelumpuhan itu bersifat Lower Motor Neuron
(LMN) dan di bawah tingkat lesi bersifat Upper Motor Neuron (UMN). Di
bawah ini kelumpuhan Lower Motor Neuron (LMN) akan diuraikan menurut
komponen-komponen Lower Motor Neuron (LMN).
Motorneuron-motor neuron berkelompok di kornu anterior dan dapat
mengalami gangguan secara selektif atau terlibat dalam satu lesi bersama
dengan bangunan di sekitarnya, sehingga di dalam klinik dikenal sindrom lesi
di kornu anterior, sindrom lesi yang selektif merusak motorneuron di jaras
kortikospinalis, sindrom lesi di substansia grisea sentralis. Lesi ini biasanya
disebabkan karena adanya infesi, misalnya poliomyelitis. Pada umumnya
motorneuron-motorneuron yang rusak di daerah intumesensia servikal dan
lumbils sehingga kelumpuhan LMN adalah anggota gerak.
Kerusakan pada radiks ventrals (dan dorsalis) yang reversible dan
menyeluruh dapat terjadi. Kerusakan itu merupakan pewujudan reaksi
imunopatologik. Walaupun segenap radiks (ventralis/ dorsalis) terkena, namun
yang berada di intumesensia servikalis dan lumbosakralis paling berat
mengalami kerusakan. Karena daerah ini yang mengurus anggota gerak atas
dan bawah. Pada umumnya bermula di bagian distal tungkai kemudian
bergerak ke bagian proksimalnya. Kelumpuhan meluas ke bagian tubuh atas,
terutama otot-otot kedua lengan. Kelainan fungsional sistem saraf tepi dapat
disebabkan kelainan sepanjang seraf tepi sendiri. Salah satu penyakit dengan
lesi utama pada neuron saraf perifer adalah polineuropati.
Lesi di otot dapat berupa kerusakan struktural pada serabut otot atau
selnya yang disebabkan infeksi, intoksikasi eksogen/ endogen dan degenerasi
herediter. Karena serabut otot rusak, kontraktilitasnya hilang dan otot tidak
dapat melakukan tugasnya. Penyakit di otot bisa berupa miopati dan distrofi,
dapat menyebabkan kelemahan di keempat anggota gerak biasanya bagian
proksimal lebih lemah di banding distalnya. Pada penderita distrofi muscle
didapatkan enzim kreatinin fosfokinase dalam jumlah yang besar. Sebelum
terdapat manifestasi ini, kadar enzim ini di dalam serum sudah jelas meningkat
akan tetapi mengapa enzim ini dapat beredar di dalam darah tepi masih belum
diketahui.
Disamping kelainan pada sistem enzim, secara klinis juga dapat
ditentukan kelainan morfologik pada otot. Jauh sebelum tenaga otot berkurang
sudah terlihat banyak sel lemak (liposit) menyusup di antara sel-sel serabut
otot. Ketika kelemahan otot menjadi nyata, terdapat pembengkakan dan
nekrosis-nekrosis serabut otot. Seluruh endropalsma serabut otot ternyata
menjadi lemak. Otot-otot yang terkena ada yang membesar dan sebangian
mengecil. Pembesaran tersebut bukan karena bertambannya jumlah serabut
otot melainkan karena degenerasi lemak.
F. Tetraparese dapat dijumpai pada beberapa keadaan
a) Penyakit Infeksi
Myelitis Transversal
Poliomyelitis
b) Polioneuropati
c) Guillain-Barre Syndrome (GBS)
d) Myastenia Gravis (MG)
e) Amyotrophic Lateral Sclerosis (ALS)
G. Manifestasi Klinis
GBS umumnya dimulai dengan rasa baal, parestesia pada bagian distal dan diikuti
secara cepat oleh paralisa keempat ekstremitas yang bersifat ascendens. Parestesia ini
biasanya bersifat bilateral. Refleks fisiologis akan menurun dan kemudian menghilang
sama sekali. Secara klinis GBS biasanya digambarkan dalam 3 fase, yaitu fase progresif,
fase plateau dan fase pemulihan. Pada fase progresif kerusakan saraf motorik biasanya
dimulai dari ekstremitas bawah dan menyebar secara progresif, dalam hitungan jam, hari
maupun minggu, ke ekstremitas atas, tubuh dan saraf pusat. Kerusakan saraf motoris ini
bervariasi mulai dari kelemahan sampai pada yang menimbulkan quadriplegia flacid.
Keterlibatan saraf kranial, muncul pada 50% kasus, biasanya berupa facial diplegia.
Kelemahan otot pernapasan dapat timbul secara signifikan dan bahkan 20% pasien
memerlukan bantuan ventilator dalam bernafas. Kerusakan saraf sensoris yang terjadi
kurang signifikan dibandingkan dengan kelemahan pada otot. Saraf yang diserang
biasanya proprioseptif dan sensasi getar. Gejala yang dirasakan penderita biasanya berupa
parestesia dan disestesia pada extremitas distal. Rasa sakit dan kram juga dapat menyertai
kelemahan otot yang terjadi, terutama pada anak anak. Rasa sakit ini biasanya merupakan
manifestasi awal pada lebih dari 50% anak dan dapat menyebabkan kesalahan dalam
mendiagnosis.
Kelainan saraf otonom sering dijumpai dan dapat berakibat fatal. Kelainan ini dapat
menimbulkan takikardi, hipotensi atau hipertensi, aritmia bahkan cardiac arrest, facial
flushing, sfingter yang tidak terkontrol, dan kelainan dalam berkeringat. Hipertensi terjadi
pada 10 - 30 % pasien sedangkan aritmia terjadi pada 30 % dari pasien. Kerusakan pada
susunan saraf pusat dapat menimbulkan gejala berupa disfagia, kesulitan dalam berbicara,
dan yang paling sering (50%) adalah bilateral facial palsy. Gejala-gejala tambahan adalah
kesulitan untuk mulai buang air kecil, inkontinensia urin dan alvi, konstipasi, kesulitan
menelan dan bernapas, perasaan tidak dapat menarik napas dalam, dan penglihatan kabur.
H. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan neurologis ditemukan adanya kelemahan otot yang bersifat
difus dan paralisis. Refleks tendon akan menurun atau bahkan menghilang. Rasa tebal
pada tangan dan kaki menyerupai pola sarung tangan dan kaus kaki juga dijumpai pada
awal penyakit. Refleks batuk yang lemah dan risiko aspirasi mengindikasikan adanya
kelemahan pada otot-otot intercostal. Tanda rangsang meningeal seperti perasat kernig
dan kaku kuduk mungkin ditemukan. Refleks patologis seperti refleks Babinsky tidak
ditemukan.
I. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan LCS
Pada pemeriksaan cairan cerebrospinal didapatkan adanya kenaikan kadar
protein (1- 1,5 g/dl) tanpa diikuti kenaikan jumlah sel. Keadaan ini oleh Guillain,
1961, disebut sebagai disosiasi sitoalbumin. Pemeriksaan LCS pada 48 jam
pertama penyakit tidak memberikan hasil apapun juga. Kenaikan kadar protein
biasanya terjadi pada minggu pertama atau kedua. Kebanyakan pemeriksaan LCS
pada pasien akan menunjukkan jumlah sel yang kurang dari 10/mm. Pada kultur
LCS tidak ditemukan adanya virus ataupun bakteri. Peningkatan jumlah protein
dalam cairan serebrospinal bisa melebihi 45 mg/dl (normal < 40 mg/dl) yang
puncaknya terjadi pada 4 sampai 5 minggu dan setelah itu berangsur-angsur
kembali normal.
b. Pemeriksaan EMG
Gambaran elektromiografi pada awal penyakit masih dalam batas normal,
kelumpuhan terjadi pada minggu pertama dan puncaknya pada akhir minggu
kedua dan pada akhir minggu ketiga mulai menunjukkan adanya perbaikan. Pada
pemeriksaan EMG minggu pertama dapat dilihat adanya keterlambatan atau
bahkan blok dalam penghantaran impuls, gelombang F yang memanjang dan
latensi distal yang memanjang. Bila pemeriksaan dilakukan pada minggu ke 2,
akan terlihat adanya penurunan potensial aksi (CMAP) dari beberapa otot, dan
menurunnya kecepatan konduksi saraf motorik. Pemeriksaan MRI akan
memberikan hasil yang bermakna jika dilakukan kira-kira pada hari ke 13 setelah
timbulnya gejala. MRI akan memperlihatkan gambaran cauda equina yang
bertambah besar. Hal ini dapat terlihat pada 95% kasus GBS. Pemeriksaan serum
CK biasanya normal atau meningkat sedikit. Biopsi otot tidak diperlukan dan
biasanya normal pada stadium awal. Pada stadium lanjut terlihat adanya
denervation atrophy.
J. Kriteria Diagnosis
Diagnosa GBS terutama ditegakkan secara klinis. SBG ditandai dengan timbulnya
suatu kelumpuhan akut yang disertai hilangnya refleks-refleks tendon dan didahului
parestesi dua atau tiga minggu setelah mengalami demam disertai disosiasi sitoalbumin
pada likuor dan gangguan sensorik dan motorik perifer.
Kriteria diagnostik GBS menurut National Institute of Neurological and
Communicative Disorders and Stroke (NINCDS)
Gejala utama
1. Kelemahan progresif pada satu atau lebih ekstremitas dengan atau tanpa disertai
ataxia
2. Arefleksia atau hiporefleksia yang bersifat general
Gejala tambahan
1. Progresivitas dalam waktu sekitar 4 minggu
2. Biasanya simetris
3. Adanya gejala sensoris yang ringan
4. Terkenanya SSP, biasanya berupa kelemahan saraf facialis bilateral
5. Disfungsi saraf otonom
6. Tidak disertai demam
7. Penyembuhan dimulai antara minggu ke 2 sampai ke 4
Pemeriksaan LCS
1. Peningkatan protein
2. Sel MN < 10 /ul
Pemeriksaan elektrodiagnostik
Idealnya, semua pasien harus harus dirawat di unit perawatan kritis, di mana
sumber daya yang memadai tersedia untuk memungkinkan pemantauan jantung
dan pernapasan terus menerus. Bahkan tanpa adanya klinis distress pernapasan,
ventilasi mekanis mungkin diperlukan pada pasien dengan setidaknya satu kriteria
utama atau dua kriteria minor. Kriteria utama adalah hiperkarbia (tekanan parsial
karbon dioksida arteri, > 6,4 kPa [48 mm Hg]), hipoksemia (tekanan parsial
oksigen arteri sementara pasien menghirup udara ambien, <7,5 kPa [56 mm Hg]),
dan kapasitas vital kurang dari 15 ml per kilogram berat badan, dan kriteria minor
batuk tidak efisien, gangguan menelan, dan atelektasis. Penilaian awal
kemampuan menelan pasien pada risiko aspirasi, mengharuskan pemasangan
nasogastric tube. Disfungsi otonom serius dan berpotensi fatal, seperti aritmia dan
hipertensi ekstrim atau hipotensi, terjadi pada 20% pasien GBS, bradikardia berat
mungkin didahului oleh beda tekanan nadi yang lebar (melebihi 85 mm Hg).
b. Fisioterapi
Fisioterapi dada secara teratur untuk mencegah retensi sputum dan kolaps
paru. Gerakan pasif pada kaki yang lumpuh mencegah kekakuan sendi. Segera
setelah penyembuhan mulai, maka fisioterapi aktif dimulai untuk melatih dan
meningkatkan kekuatan otot.
c. Plasma exchange therapy (PE)
Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor
autoantibodi yang beredar. Pemakaian plasmaparesis pada GBS memperlihatkan
hasil yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat, penggunaan alat bantu
nafas yang lebih sedikit, dan lama perawatan yang lebih pendek. Waktu yang
paling efektif untuk melakukan PE adalah dalam 2 minggu setelah munculnya
gejala. Jumlah plasma yang dikeluarkan per exchange adalah 40 - 50 ml/kg dalam
waktu 7 - 10 hari dilakukan empat sampai lima kali exchange.
d. Imunoglobulin IV
Intravenous inffusion of human Immunoglobulin (IVIg) dapat menetralisasi
autoantibodi patologis yang ada atau menekan produksi auto antibodi tersebut.
IVIg juga dapat mempercepat katabolisme IgG, yang kemudian menetralisir
antigen dari virus atau bakteri sehingga T cells patologis tidak terbentuk.
Pemberian IVIg ini dilakukan dalam 2 minggu setelah gejala muncul dengan
dosis 0,4g/kgBB/hari selama 5 hari. Pemberian PE dikombinasikan dengan IVIg
tidak memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan hanya memberikan
PE atau IVIg.
e. Pengelolaan Tambahan : Gejala Nyeri pada fase akut dan kronis
Nyeri adalah gejala yang umum dan parah pada pasien dengan GBS. Adanya
nyeri penting, terutama pada pasien yang tidak mampu berkomunikasi karena
intubasi. Nyeri biasa gejala yang muncul sebelum onset kelemahan mungkin
membingungkan dan menunda dalam mendiagnosis GBS. Nyeri dijumpai hingga
89 % dari pasien dengan GBS. Perbedaan gejala rasa sakit yang terkait dengan
GBS dapat dibedakan selama fase penyakit: parestesia atau dysaesthesia, nyeri
punggung atau radikular, meningisme, nyeri otot, nyeri sendi, dan pain visceral.
Nyeri pada GBS bisa sangat parah, dan pengobatan sering tidak berhasil.
Kortikosteroid, opioid, gabapentin, dan carbamazepine disarankan untuk menjadi
efektif, meskipun laporannya terbatas. Kemungkinan asal nyeri adalah
multifaktorial. Nyeri pada fase akut GBS mungkin dari nosiseptif karena
inflamasi. Saraf berdiameter kecil di kulit, bertanggung jawab atas nosisepsi, yang
terkena dampak pada GBS. Pengurangan jumlah saraf intraepidermal ditemukan
pada biopsi kulit dari pasien dengan GBS. Kemudian pada perjalanan penyakit,
nyeri neuropatik non-nosiseptif mungkin timbul dari degenerasi dan bahkan
mungkin regenerasi saraf sensorik. Biopsi kulit mungkin bisa membantu
menjelaskan mekanisme timbulnya nyeri pada neuropati di GBS.
M. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi adalah gagal napas, aspirasi makanan atau cairan ke
dalam paru, pneumonia, meningkatkan resiko terjadinya infeksi, trombosis vena dalam,
paralisa permanen pada bagian tubuh tertentu, dan kontraktur pada sendi. Pada negara-
negara maju, 5 % dari pasien dengan sindrom Guillain-Barre meninggal akibat
komplikasi medis seperti sepsis, emboli paru, atau henti jantung yang tidak dapat
dijelaskan, mungkin terkait dengan dysautonomia / disfungsi otonom. Disfungsi otonom
adalah komplikasi umum pada dua pertiga pasien GBS. Distribusi saraf otonom yang luas
mungkin menyebabkan berbagai tanda dan gejala akibat kegagalan atau overaktivitas
simpatis dan parasimpatis. Gejalanya termasuk aritmia jantung, fluktuasi tekanan darah,
respon tidak normal hemodinamik terhadap obat, kelainan keringat, kelainan pupil, dan
disfungsi kandung kemih dan defekasi. Meskipun disfungsi otonom biasanya tidak
membahayakan, namun, komplikasi kardiovaskuler dapat terjadi mengancam jiwa. 3-10
% dari pasien GBS dapat meninggal, dan beberapa pasien ini penyebabnya kemungkinan
mati mendadak. Oleh karena itu, pengenalan disfungsi otonom penting untuk
memprediksi pasien akan mengalami gagal otonom yang serius, oleh karena itu perlu
pemantauan terus menerus. Bradiaritmia berpotensi serius, mulai dari bradikardia
menyebabkan kecacatan. Seringnya disfungsi otonom terjadi dengan GBS. Pada beberapa
kasus, penerapan alat pacu jantung transkutan atau atropin harus diberikan. Secara umum,
terapi vasoaktif dan morfin sebaiknya digunakan dengan hati-hati. Saraf otonom dapat
dipelajari dari biopsi kulit, dan kurang berkorelasi pada saraf intraepidermal dengan
menilai densitas saraf pada biopsi kulit pasien dengan GBS.
Kelelahan setelah GBS merupakan problem penting yang dilaporkan pada 60 %
dan 80 % pasien. Dalam sebuah studi pasien dengan polineuropati, termasuk GBS, 80 %
dari pasien mengeluh kelelahan. Gejala kelelahan ini independen dari keparahan
kelemahan selama fase awal GBS dan mungkin menetap bertahun-tahun. Amantadine
tidak efektif untuk menghilangkan kepenatan setelah GBS. Program pelatihan intensif,
tiga kali seminggu dilaporkan dapat ditoleransi dengan baik, dan menurunkan skor
kelelahan secara signifikan. Program fisioterapi juga dinilai baik dalam meningkatkan
keluaran fungsional, dan kualitas hidup. Dari sudut pandang yang lebih holistik,
perubahan kelelahan, mobilitas dan fungsi dirasakan tampaknya tidak dipengaruhi oleh
perubahan fisik. Kombinasi faktor fisik dan psikologis tampaknya untuk menentukan
terjadinya kelelahan setelah GBS.
N. Prognosis
Prognosis GBS sulit untuk diprediksi pada pasien karena bervariasi. Usia lanjut
umumnya menunjukkan prognosis yang lebih buruk. Tingkat keparahan GBS tampaknya
ditentukan pada tahap awal penyakit. Penilaian neurofisiologis juga diperlukan untuk
membantu untuk menilai risiko kegagalan pernapasan, yang tertinggi pada pasien dengan
penurunan kapasitas vital lebih dari 20 %. Sekitar 95 % pasien GBS dapat bertahan hidup
dengan 75 % diantaranya sembuh total. Kelemahan ringan atau gejala sisa seperti
dropfoot dan postural tremor masih mungkin terjadi pada sebagian pasien.Kelainan ini
juga dapat menyebabkan kematian pada 5 % pasien, yang disebabkan oleh gagal napas
dan aritmia. Gejala yang terjadinya biasanya hilang 3 minggu setelah gejala pertama kali
timbul. 3 % pasien dengan GBS dapat mengalami relaps yang lebih ringan beberapa
tahun setelah onset pertama. PE dapat mengurangi kemungkinan terjadinya relapsing
inflammatory polyneuropathy. 75 % pasien terjadi penyembuhan tanpa gejala sisa dalam
waktu 3 bulan bila dengan keadaan antara lain:
a. pada pemeriksaan NCV-EMG relatif normal
b. mendapat terapi plasmaparesis dalam 4 minggu mulai saat onset
c. progresifitas penyakit lambat dan pendek
d. pada penderita berusia 30-60 tahun
DAFTAR PUSTAKA
Mardjono Mahar, Sidharta Priguna. 2000. Sindroma Guillain-Barre : Neurologi Klinis Dasar,
Cetakan ke 8. Jakarta: Dian Rakyat
McClellan, K., Armeau, E., Parish, T. Recognizing Guillain-Barr Syndrome in the Primary
Care Setting. The Internet Journal ofAllied Health Sciences and Practice. Jan 2007,
(5):1