Anda di halaman 1dari 76

RESPONSI

Seorang Perempuan 58 Tahun dengan MS Severe, MR Moderate, CAD, IVD,


NYHA II, AF NVR, dan EF 50% et causa PJR dengan Hiponatremia dan
Hipokalemia

Disusun Oleh:
Intan Pratiwi G991902030
Faradiba Maharani G99172074
Faiq Murteza G99181028
Iqbal Rafsanzani G991902031
M. Prasetya Wibowo G991906022

Pembimbing:
dr. Alfa Alfin Nursidiq, Sp.JP., FIHA

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT JANTUNG


DAN PEMBULUH DARAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR.MOEWARDI
SURAKARTA
2019
BAB I
STATUS PASIEN

A. ANAMNESIS
1. Identitas Pasien
Nama : Ny. S
Usia : 58 tahun
Jenis kelamain : Perempuan
Alamat : Karangrejo, Kendal, Kabupaten Ngawi
Tanggal periksa : 14 Juli 2019
No. RM : 01347721
2. Keluhan Utama
Dada terasa berdebar
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dari poli dengan keluhan dada berdebar. Berdebar memberat
dengan aktifitas dan sedikit membaik dengan istirahat. Keluhan nyeri dada
dan keringat dingin disangkal. Pasien biasa tidur menggunakan bantal, nyeri
perut ulu hati (-) dan nafsu makan berkurang.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Riwayat hipertensi : disangkal
b. Riwayat diabetes mellitus : disangkal
c. Riwayat kolesterol tinggi : disangkal
d. Riwayat sakit jantung : diakui dengan MS Moderate dan
MR Severe, TRMO, Thrombus (+) di LA dan LAD, EF 53-77%
Terapi Rutin pasien : Furosemid 1x40mg, Bisoprolol 1x5mg,
Spinorolacton 1x25mg, Simarc 2mg 0-0-1, Condesartan 1x16mg
e. Riwayat stroke : disangkal
f. Riwayat asma : disangkal
g. Riwayat alergi : disangkal
h. Riwayat mondok : disangkal
5. Riwayat Penyakit Keluarga
a. Riwayat penyakit jantung : disangkal
b. Riwayat hipertensi : disangkal
c. Riwayat DM : disangkal
d. Riwayat kolesterol tinggi : disangkal
e. Riwayat sakit paru : disangkal
f. Riwayat asma : disangkal
6. Riwayat Kebiasaan
a. Riwayat merokok : disangkal
b. Riwayat olahraga : jarang olahraga
c. Riwayat konsumsi alkohol : disangkal
7. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien bekerja sebagai ibu rumah tangga dan berobat menggunakan
fasilitas pelayanan kesehatan BPJS.

B. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum
Compos mentis (E4V5M6), tampak sakit sedang, gizi kesan cukup.
2. Tanda Vital
Tekanan darah : 98/74 mmHg
Laju napas : 20x/menit
Denyut nadi : 73x/menit
Detak jantung : 80x/menit
Suhu : 36,6°C
Saturasi O2 pulse : 96 %
3. Keadaan Sistemik
Kepala : mesocephal
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), mata cekung (-
/-), edema palpebra (-/-)
Telinga : sekret (-/-)
Hidung : nafas cuping hidung (-/-), sekret (-/-)
Mulut : mukosa basah, sianosis (-)
Leher : JVP 5±2cm H2O, kelenjar getah bening tidak
teraba membesar
Toraks : bentuk normochest, simetris, retraksi(-/-)
Cor :
Inspeksi : ictus cordis tak tampak
Palpasi : ictus cordis tak kuat angkat
Perkusi : Batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : Bunyi jantung S1-S2 normal, intensitas normal,
reguler, murmur (-)
Pulmo :
Inspeksi : pengembangan dada kanan sama dengan dada kiri
Palpasi : fremitus raba dada kanan sama dengan dada kiri
Perkusi : sonor / sonor
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+), ronki basah halus (-/-),
ronki basah kasar (-/-)
Abdomen :
Inspeksi : dinding perut sejajar dinding dada
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : timpani (+) seluruh lapang abdomen, pekak alih (-)
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba
Ekstremitas :

Edema Akral Dingin

- - - -

- - - -

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Hasil Pemeriksaan Laboratorium


14 Juli 2019
HEMATOLOGI RUTIN
Hemoglobin 11.9 g/dL 12.0-15.6
Hematokrit 34 % 33-45
Leukosit 7.3 ribu/uL 4.5-11.0
Trombosit 220 ribu/uL 150-450
Eritrosit 3.84 juta/uL 4.10-5.10
INDEX ERITROSIT
MCV 89.3 /um 80.0-96.0
MCH 31.0 Pg 28.0-33.0
MCHC 34.7 g/dL 33.0-36.0
RDW 12.2 % 11.6-14.6
MPV 8.8 Fl 7.2-11.1
PDW 17 % 25-65
HITUNG JENIS
Eosinofil 5.00 % 0.00-4.00
Basofil 0.00 % 0.00-2.00
Neutrofil 67.00 % 55.00-80.00
Limfosit 26.00 % 22.00-44.00
Monosit 2.00 % 0.00 –7.00
HEMOSTASIS
PT 17.2 detik 10.0 – 15.0
APTT 30.6 detik 20.0 – 40.0
NR 1.440
KIMIA KLINIK
Gula Darah Sewaktu 99 mg/dL 60-140
Albumin 3.8 g/dl 3.5-5.2
Creatinine 0.9 mg/dl 0.6-1.1
Ureum 43 mg/dl <50
ELEKTROLIT
Natrium darah 132 mmol/L 136-145
Kalium darah 3.2 mmol/L 3.3-5.1
Kalsium Ion 1.01 mmol/L 1.17-1.29

Hasil Pemeriksaan EKG:


15 Juli 2019 (RSDM)

Kesimpulan : Atrial Fibrilasi Normo VR, HR 82 bpm, normo axis

D. DIAGNOSIS
Anatomis : MS Severe. MR Moderate
Fungsional : NYHA II, AF NVR, EF 50%
Etiologi : PJR
Penyerta :
1. Hiponatremia
2. Hipokalemia
E. TERAPI
1. Bedrest
2. O2 3lpm
3. DJ III 1700 kkal
4. IVFD NaCl 0,9%
5. Spinorolactoan 1x25 mg
6. PMP 2x250 mg
7. Ramipril 1x10 mg
8. Furosemid 1x40 mg
9. Bisoprolol 1x10 mg
10. Codein 3x10 mg
Plan:
1. EKG jika ada keluhan
2. Pro MVR
3. Konsul BTKV
4. Ro Thorax PA
5. Usul cek HS Trop I
Hasil Pemeriksaan Echocardiography
a. Bedside (5 Juli 2019)
Kesimpulan :
PJR dengan MS Severe, MR moderate
SEC (+) di LA, thrombus (+) di LAA
LOW Probability OF PH

Hasil Pemeriksaan Radiologi


15 Juli 2019
Kesimpulan :
1. Cardiomegaly dengan konfigurasi RVH, RAH, dan LAH disertai dengan
Hipertensi Pulmonal
2. Efusi Pleura bilateral minimal

C. FOLLOW UP
CATATAN PERKEMBANGAN
TGL/JAM
TERINTEGRASI
14/7/19 Menerima pasien dari poli dengan dx : MS severe, MR
Cardio moderate
05.00
DPH 0 S : Nyeri dada (-), sesak nafas (-)
O : TD : 98 / 74
HR : 80 x/menit
N : 73 x/menit
RR : 20 x/menit
SpO2 : 96%
Kepala : Mata conjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
Leher : JVP 5 + 2 cmH2O
Thorax : bentuk normochest, retraksi (-), gerakan
simetris kanan=kiri
Cor :
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak kuat angkat
Perkusi : Batas jantung kesan melebar ke lateral
Auskultasi : S1-S2 Interval bervariasi iregular bising (+)
sistolik 3/6 apex
Pulmo : SDV +/+, RBH -/-, RBK -/-
Abdomen : BU (+), NT (-)
Ekstremitas :

_ _
Oedema
- -
Assessment :
Anatomi : MS severe, MR moderate
Fungsional : NYHA II, AFNVR, EF 50%
Etiologi : PJR

Terapi :
1. Bedrest
2. DJ III 1700 kkal
3. O2 3 lpm jika SpO2 <90%
4. IVFD RL 30 ml/jam iv
5. Spironolacton 1 x 25 mg
6. PMP 2 x 250 mg
7. Ramipril 1 x 10 mg
8. Furosemide 1 x 40 mg
9. Bisoprolol 1 x 10 mg
Plan :
1. Pro PCA dan pro MVR (18/7/2019)
Hasil pemeriksaan Laboratorium tanggal 14 Juli 2019
CATATAN PERKEMBANGAN
TGL/JAM
TERINTEGRASI
15/7/19 S : Sesak (-) nyeri dada (-)
Cardio O : TD : 100/70
05:00
DPH I HR : 86 x/menit
N : 72 x/menit
RR : 20 x/menit
SpO2 : 97%
Leher : JVP 5 + 2 cmH2O
Cor : Batas jantung melebar ke lateral, S1S2 Intensitas ireguler,
bising (+) sistolik 3/6 apex
Pulmo : SDV +/+, RBH -/-, RBK -/-
Abdomen : bising usus (+), NT (-)
Ekstremitas :

_ _
Oedema
_ _

Assessment :
Anatomi : MS severe, MR moderate, CAD IVD
Fungsional : NYHA II, AFNVR, EF 50%
Etiologi : PJR
Penyulit :
1. Hiponatremia (132)
2. Hipokalemia (3,2)

Terapi :
1. Bedrest
2. DJ III 1700 kkal
3. O2 3 lpm jika SpO2 <90%
4. IVFD NS 0,9% 30 ml/jam iv
5. Spironolacton 1 x 25 mg
6. PMP 2 x 250 mg
7. Ramipril 1 x 10 mg
8. Furosemide 1 x 40 mg
9. Bisoprolol 1 x 10 mg
10. Codein 3 x 10 mg

Plan :
1. 1. Pro MVR + single CABG single vessel (18-7-2019)
2. 2. Konsul BTKV
3. 3. Eko jika ada keluhan
4. 4. Rontgen Thorax PA
5. 5. Usul cek hs-Troponin I
6. 6. Cek elektrolit post koreksi

Hasil Pemeriksaan Laboratorium 15 Juli 2019


Hasil Pemeriksaan Roentgen PA 15 Juli 2019

Kesimpulan rontgen thoraks PA cor dan pulmo tak tampak kelainan


CATATAN PERKEMBANGAN
TGL/JAM
TERINTEGRASI
16/7/19 S : Sesak (-) nyeri dada (-)
Cardio O : TD : 117/71
06:00
DPH II HR : 75 x/menit
N : 63 x/menit
RR : 20 x/menit
SpO2 : 99%
Leher : JVP 5 + 2 cmH2O
Cor : Batas jantung melebar ke lateral, S1S2 Intensitas ireguler,
bising (+) sistolik 3/6 apex
Pulmo : SDV +/+, RBH -/-, RBK -/-
Abdomen : bising usus (+), NT (-)
Ekstremitas :

_ _
Oedema
_ _

Assessment :
Anatomi : MS severe, MR moderate, CAD IVD
Fungsional : NYHA II, AFNVR, EF 50%
Etiologi : PJR
Penyulit :
1. Hiponatremia (132)
2. Hipokalemia (3,2)
3. Trombus di LAA
Terapi :
1. Bedrest
2. DJ III 1700 kkal
3. O2 3 lpm jika SpO2 <90%
4. IVFD NS 0,9% 30 ml/jam iv
5.Spironolacton 1 x 25 mg
6. PMP 2 x 250 mg
7. Ramipril 1 x 10 mg  ganti candesartan 1 x 16 mg
8. Furosemide 1 x 40 mg
9. Codein 3 x 10 mg

Plan :
7. 1. Pro MVR + single CABG single vessel (18-7-2019)
8. 2. Eko jika ada keluhan
9. 3. Cek elektrolit post koreksi

Hasil Pemeriksaan Laboratorium tanggal 16 Juli 2019


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.PENYAKIT JANTUNG REMATIK


2.1.1. Definisi
Penyakit Jantung Rematik adalah kerusakan katup jantung yang terjadi
akibat respon imun tidak normal terhadap infeksi Streptococus grup A
terutama pada katup mitral dan katup aorta.
2.1.2. Epidemiologi
World Health Organisation (WHO) memperkirakan sekitar 16 juta
orang di dunia terkena PJR.Penyakit jantung rematik menyebabkan
kematian sebanyak 200000 sampai 250000 kematian dini setiap tahunnya,
dan merupakan penyebab utama kematian akibat kardiovaskuler pada anak
- anak dan dewasa muda pada negara berkembang.Penyakit ini memberat
dengan bertambahnya umur, tetapi umumnya terjadi saat usia 6 sampai 12
tahun. Perempuan cenderung lebih banyak menderita PJR dibandingkan
laki-laki.
Katup mitral adalah katup yang paling sering terkena dan sangat
berpotensi menjadi berat, yaitu sebanyak 65% sampai 70%, diikuti oleh
katup aorta sebanyak 25%. Sedangkan katup trikuspid hanya sebanyak
10% dan hampir selalu bersamaan dengan lesi katup mitral dan katup
aorta.Berdasarkan penelitian di Kairo lesi katup tersering adalahpada katup
mitral, sebanyak 86,5% dari seluruh penderita PJR.
2.1.3. Patogenesis dan Patofisiologi
Patogenesis DRA merupakan hasil dari respon imun komponen
humoral dan seluler setelah terinfeksi kuman Steptococus hemolytikus grup
A pada tenggorokan. Terdapat tiga hipotesis yang menjelaskan patogenesis
demam rematik yaitu infeksi langsung, efek dari toksin streptokokus dan
konsep antigen mimikri dihubungkan dengaan kekebalan tubuh serta
berkaitan adanya respon imun host yang tidak normal.
Infeksi bakteri Streptococus grup A pyogenes yang tidak diobati
pada infeksi faring merupakan faktor pencetus dari PJR. Streptococus
pyogenes terdiri dari protein permukaan M, T dan R, yang mana
berhubungan dengan perlekatan sel bakteri pada sel epitel
tengkorokan.9Perlekatan bakteri ke sel epitel tengkorokan berlangsung
melalui ikatan kapsul polisakarida asam hialuronik bakteri pada antigen
CD44 manusia, sehingga terjadi infeksi, aktivasi limfosit serta memberikan
perlawanan terhadap fagositosis host.Hal ini kemudian merangsang respon
imun adaptif (makrofag, sel natural killer, aktivasi jalur komplemen) dan
imun innate (limfosit B , limfosit T , molekul HLA) serta melalui beberapa
mekanisme reaktan fase akut, seperti : Manosse binding lectin (MBL),IL-
1, IL-6, IL-17, TNF-α. Aktivasi limfosit B menghasilkan antibodi dan
selanjutnya menjadi reaksi silang molekul mimikri imun antigen N-asetil
glukosamin streptokokus dengan miosin jantung, endotelium dan laminin
katup. Saatatigen precenting cell (APC) mengekspresikan human leukocyt
antigenic (HLA) kelas II yang mengenalkan peptida streptokokus pada sel
T helper menunjukkan inflamasi dan kerusakan katup mulai terjadi.
Kemudian muncul nodul Aschoffyang terdiri dari makrofag dan sel
T spesifik serta produksi sekresi dari proinflamasi sitokin yang terus
berlangsung di sepanjang koaptasi katup. Akibat peradangan dan endapan
fibrin pada katup menyebabkan fusi komisura katup, pemendekan korda
tendinea dan perubahan morfologi katup. Katup yang paling sering terkena
adalah katup mitral diikuti katup aorta, dimana menyebabkan insufisiensi
katup, dan dapat berlanjut menjadi stenosis katup.
2.1.4. Diagnosis
Rheumatic fever merupakan penyakit sistemik, pasien rheumatic fever
menunjukan keluhan yang bervariasi. Gambaran klinis pada rheumatic
fever bergantung pada sistem organ yang terlibat dan manifestasi yang
muncul dapat tunggal atau merupakan gabungan beberapa sistem organ
yang terlibat.
1. Anamnesis
Sebanyak 70% remaja dan dewasa muda pernah mengalami sakit
tenggorok 1-5 minggu sebelum muncul rheumatic fever dan sekitar
20% anak-anak menyatakan pernah mengalami sakit tenggorokan.
Keluhan mungkin tidak spesifik, seperti demam, tidak enak badan,
sakit kepala, penurunan berat badan, epistaksis, kelelahan, malaise,
diaforesis dan pucat. Terkadang pasien juga mengeluhkan nyeri
dada, ortopnea atau sakit perut dan muntah.. Gejala spesifik yang
kemudian muncul adalah nyeri sendi, nodul di bawah kulit,
peningkatan iritabilitas dan gangguan atensi, perubahan kepribadian
seperti gangguan neuropsikiatri autoimun terkait dengan infeksi
Streptococcus, difungsi motorik, dan riwayat rheumatic fever
sebelumnya.
2. Manifestasi Klinis
Untuk diagnosis rheumatic fever digunakan kriteria Jones yang
pertama kali diperkenalkan pada tahun 1944, dan kemudian
dimodifikasi beberapa kali. Kriteria ini membagi gambaran klinis
menjadi dua, yaitu manifestasi mayor dan minor.
Tabel 1. Kriteria Jones Sebagai Pedoman Dalam Diagnosis Rheumatic Fever

Manifestasi mayor Manifestasi minor


Karditis Klinis :
- artralgia: nyeri sendi tanpa merah
Poliartritis migrans dan bengkak
- demam tinggi (>390 C)
Chorea sydenham Laboratorium:
Eritema marginatum - peningkatan penanda peradangan
yaitu erythrocyte sedimentation
rate (ESR) atau C Reactive
Nodul subkutan Protein (CRP)
- pemanjangan interval PR pada
EKG
Ditambah
Bukti infeksi streptococcus beta hemolyticus grup A
sebelumnya (45 hari terakhir)
- Kultur hapusan tenggorok atau rapid test antigen
streptococcus beta
hemolyticus grup A hasilnya positif
- Peningkatan titer serologi antibodi streptococcus beta
hemolyticus grup A

1. Kriteria Mayor

a) Karditis
Karditis adalah komplikasi yang paling serius dan paling
sering terjadi setelah poli artritis. Pankarditis meliputi
endokarditis, miokarditis dan perikarditis. Pada stadium
lanjut, pasien mungkin mengalami dipsnea ringan-sedang,
rasa tak nyaman di dada atau nyeri pada dada pleuritik,
edema, batuk dan ortopnea. Pada pemeriksaan fisik, karditis
paling sering ditandai dengan murmur dan takikardia yang
tidak sesuai dengan tingginya demam. Gambaran klinis yang
dapat ditemukan dari gangguan katup jantung dapat dilihat
pada tabel 2.
Tabel 2. Manifestasi Klinis Sesuai Gangguan Katup Jantung yang Timbul
Gangguan Manifestasi
- Aktivitas ventrikel kiri
meningkat
- Bising pansistolik di apeks,
Mitral Regurgitasi menyebar ke aksila bahkan ke
punggung
- Murmur mid-diastolik (carrey
coombs murmur) di apeks
- Aktivitas ventrikel kiri
meningkat
Regurgitasi Aorta - Bising diastolik di ICS II
kanan/kiri, menyebar ke apeks
- Tekanan nadi sangat lebar
(sistolik tinggi,
- Aktivitas ventrikel kiri negatif
- Bising diastolik di daerah apeks,
Stenosis Mitral dengan S1 mengeras

Gagal jantung kongestif bisa terjadi sekunder akibat


insufisieni katup yang parah atau miokarditis, yang ditandai
dengan adanya takipnea, ortopnea, distensi vena jugularis,
ronki, hepatomegali, irama gallop, dan edema perifer.
Friction rub pericardial menandai perikarditis. Perkusi
jantung yang redup, suara jantung melemah, dan pulsus
paradoksus adalah tanda khas efusi perikardium dan
tamponade perikardium yang mengancam.
b) Poliartritis Migrans
Merupakan manifestasi yang paling sering dari rheumatic
fever, terjadi pada sekitar 70% pasien rheumatic fever.
Gejala ini muncul 30 hari setelah infeksi Streptococcus yakni
saat antibodi mencapai puncak. Radang sendi aktif ditandai
dengan nyeri hebat, bengkak, eritema pada beberapa sendi.
Nyeri saat istirahat yang semakin hebat pada gerakan aktif
dan pasif merupakan tanda khas. Sendi yang paling sering
terkena adalah sendi-sendi besar seperti sendi lutut,
pergelangan kaki, siku, dan pergelangan tangan. Gejala ini
bersifat asimetris dan berpindah-pindah (poliartritis
migrans). Peradangan sendi ini dapat sembuh spontan
beberapa jam sesudah serangan namun muncul pada sendi
yang lain. Pada sebagian besar pasien dapat sembuh dalam
satu minggu dan biasanya tidak menetap lebih dari dua atau
tiga minggu.
c) Chorea Sydenham/Vt. Vitus’ Dance
Chorea sydenham terjadi pada 13-14% kasus rheumatic
fever dan dua kali lebih sering pada perempuan. Gejala ini
muncul pada fase laten yakni beberapa bulan setelah infeksi
Streptococcus (mungkin 6 bulan). Manifestasi ini
mencerminkan keterlibatan proses radang pada susunan
saraf pusat, ganglia basal, dan nukleus kaudatus otak.
Periode laten dari chorea ini cukup lama, sekitar tiga minggu
sampai tiga bulan dari terjadinya rheumatic fever. Gejala
awal biasanya emosi yang lebih labil dan iritabilitas.
Kemudian diikuti dengan gerakan yang tidak disengaja,
tidak bertujuan, dan inkoordinasi muskular. Semua bagian
otot dapat terkena, namun otot ekstremitas dan wajah adalah
yang paling mencolok. Gejala ini semakin diperberat dengan
adanya stress dan kelelahan, namun menghilang saat
beristirahat.
d) Eritema Marginatum
Eritema marginatum merupakan ruam khas pada rheumatic
fever yang terjadi kurang dari 10% kasus. 12 Ruam
berbentuk anular berwarna kemerahan yang kemudian
ditengahnya memudar pucat, dan tepinya berwarna merah
berkelok-kelok seperti ular. Umumnya ditemukan di tubuh
(dada atau punggung) dan ekstremitas.4
e) e) Nodulus Subkutan
Nodulus subkutan ini jarang dijumpai, kurang dari 5%
kasus. Nodulus terletak pada permukaan ekstensor sendi,
terutama pada siku, ruas jari, lutut, dan persendian kaki.
Kadang juga ditemukan di kulit kepala bagian oksipital dan
di atas kolumna vertebralis. Nodul berupa benjolan berwarna
terang keras, tidak nyeri, tidak gatal, mobile, dengan
diameter 0,2-2 cm. Nodul subkutan biasanya terjadi
beberapa minggu setelah rheumatic fever muncul dan
menghilang dalam waktu sebulan. Nodul ini selalu
menyertai karditis rematik yang berat.
2. Kriteria Minor
Demam biasanya tinggi sekitar 39oC dan biasa kembali
normal dalam waktu 2-3 minggu, walau tanpa pengobatan.
Artralgia, yakni nyeri sendi tanpa disertai tanda-tanda objektif
(misalnya bengkak, merah, hangat) juga sering dijumpai.
Artralgia biasa melibatkan sendi- sendi yang besar. Penanda
peradangan akut pada pemeriksaan darah umumnya tidak
spesifik, yaitu LED dan CRP umumnya meningkat pada
rheumatic fever. Pemeriksaan dapat digunakan untuk menilai
perkembangan penyakit.
2.1.5. Pemeriksaan Penunjang
Adapun beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan
untuk mendukung diagnosis dari rheumatic fever dan rheumatic heart
disease adalah :
1) Pemeriksaan Laboratorium

a) Reaktan Fase Akut

b) Rapid Test Antigen Streptococcus

c) Pemeriksaan Antibodi Antistreptokokus

d) Kultur tenggorok

2) Pemeriksaan Radiologi dan Pemeriksaan


Elektrokardiografi
Pada pemeriksaan radiologi dapat mendeteksi adanya
kardiomegali dan kongesti pulmonal sebagai tanda adanya gagal
jantung kronik pada karditis. Sedangkan pada pemeriksaan EKG
ditunjukkan adanya pemanjangan interval PR yang bersifat tidak
spesifik. Nilai normal batas atas interval PR uuntuk usia 3-12
tahun = 0,16 detik, 12-14 tahun = 0,18 detik , dan > 17 tahun =
0,20 detik.
3) Pemeriksaan Ekokardiografi
Pada pasien RHD, pemeriksaan ekokardiografi bertujuan
untuk mengidentifikasi dan menilai derajat insufisiensi/stenosis
katup, efusi perikardium, dan disfungsi ventrikel. Pada pasien
rheumatic fever dengan karditis ringan, Mitral Regurgitasi akan
menghilang beberapa bulan. Sedangkan pada rheumatic fever
dengan karditis sedang dan berat memiliki Mitral
Regurgitasi/aorta yang menetap. Gambaran ekokardiografi
terpenting adalah dilatasi annulus, elongasi chordae mitral, dan
semburan Mitral Regurgitasi ke posterolateral.
2.1.6. Dasar Diagnosis
Tabel 3. Kriteria WHO 2002-2003 dalam Mendiagnosis
Rheumatic Fever dan RHD
Kategori Diagnosis Kriteria
- Dua mayor
Rheumatic Fever
- Atau satu mayor dan dua
serangan pertama
minor

- Ditambah bukti infeksi


SBHGA sebelumnya

- Dua mayor
Rheumatic Fever
- Atau satu mayor dan dua
serangan ulang tanpa RHD
minor
- Ditambah bukti infeksi
SBHGA sebelumnya

- Dua minor
Rheumatic Fever
- ditambah dengan bukti
serangan ulang dengan
infeksi SBHGA sebelumnya
RHD
Chorea reumatik - Tidak diperlukan kriteria
Karditis reumatik insidious mayor lainnya atau bukti
infeksi SBHGA
- Tidak diperlukan kriteria
RHD lainnya untuk mendiagnosis
sebagai RHD

2.1.7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pasien dengan rheumatic heart disease secara garis besar
bertujuan untuk mengeradikasi bakteri Streptococcus beta hemolyticus grup A,
menekan inflamasi dari respon autoimun, dan memberikan terapi suportif untuk
gagal jantung kongestif. Setelah lewat fase akut, terapi bertujuan untuk
mencegah rheumatic heart disease berulang pada anak-anak dan memantau
komplikasi serta gejala sisa dari rheumatic heart disease kronis pada saat
dewasa. Selain terapi medikamentosa, aspek diet dan juga aktivitas pasien harus
dikontrol. Selain itu, ada juga pilihan terapi operatif sebagai penanganan kasus-
kasus yang tidak dapat diatasi oleh antibiotik.
a. Terapi Antibiotik Profilaksis Primer

Eradikasi infeksi Streptococcus pada faring adalah suatu hal yang


sangat penting untuk mengindari paparan berulang kronis terhadap antigen
Streptococcus beta hemolyticus grup A. Eradikasi dari bakteri
Streptococcus beta hemolyticus grup A pada faring seharusnya diikuti
dengan profilaksis sekunder jangka panjang sebagai perlindungan terhadap
infeksi Streptococcus beta hemolyticus grup A faring yang berulang.
Pemilihan regimen terapi sebaiknya mempertimbangkan aspek
bakteriologi dan efektifitas antibiotik, kemudahan pasien untuk mematuhi
regimen yang ditentukan (frekuensi, durasi, dan kemampuan pasien
meminum obat), harga, dan juga efek samping. Penisilin G Benzathine IM,
penisilin V pottasium oral, dan amoxicilin oral adalah obat pilihan untuk
terapi Streptococcus beta hemolyticus grup A faring pada pasien tanpa
riwayat alergi terhadap penisilin. Setelah terapi antibiotik selama 24 jam,
pasien tidak lagi dianggap dapat menularkan bakteri Streptococcus beta
hemolyticus group A. Penisilin V pottasium lebih dipilih dibanding dengan
penisilin G benzathine karena lebih resisten terhadap asam lambung.
Namun terapi dengan penisilin G benzathine lebih dipilih pada pasien yang
tidak dapat menyelesaikan terapi oral 10 hari, pasien dengan riwayat
rheumatic fever atau gagal jantung rematik, dan pada mereka yang tinggal
di lingkungan dengan faktor risiko terkenal rheumatic fever (lingkungan
padat penduduk, status sosio-ekonomi rendah).
Tabel 4. Obat-obatan Profilaksis Primer untuk Rheumatic Fever

Agen Dosis Evidence rating


Penisilin
Amoxicillin 50 mg/kgBB (maksimal, 1 g) oral satu 1B
kali sehari selama 10 hari
Penicillin G Pasien berat <27 kg (60 lb): 600,000 1B
benzathine unit IM sekali
Pasien dengan BB > 27 kg:
1,200,000 unit IMsekali

Penicillin V potassium Pasien dengan BB < 27 kg diberikan


250 mg oral 2-3x sehari selama 10 hari 1B

Pasien dengan BB > 27 kg: 500 mg oral


2-3x sehari selama 10 hari
Untuk pasien alergi penisilin
Narrow-spectrum
cephalosporin (cephalexin
[Keflex], cefadroxil Bervariasi 1B
[formerly Duricef])
Azithromycin 12mg/kgBB/hari (maksimal, 500 mg) 2aB
(Zithromax) oral 1x sehari selama 5 hari
Clarithromycin 15 mg/kgBB/hari, dibagi menjadi 2
(Biaxin) dosis (maksimal, 250 mg 2x sehari), 2aB
selama 10 hari
Clindamycin (Cleocin) 20 mg/kgBB/hari oral (maksimal, 1.8
g/hari), dibagi menjadi 3 dosis, untuk 2aB
10 hari

b. Terapi Antibioitk sebagai Profilaksis Sekunder


Rheumatic fever sekunder berhubungan dengan perburukan atau
munculnya rheumatic heart disease. Pencegahan terhadap infeksi
Streptococcus beta hemolyticus grup A pada faring yang berulang adalah
metode yang paing efektif untuk mencegah rheumatic heart disease yang
parah.
Tabel 5. Obat-obatan Profilaksis Sekunder untuk Rheumatic Fever

Agen Dosis Evidence rating


Pasien berat < 27 kg (60 lb)
Penicillin G benzathine 600,000 unit IM setiap 4 minggu sekali 1A
Pasien berat > 27 kg: 1,200,000 unit IM
setiap 4 minggu sekali
Penicillin V potassium 250 mg oral 2x sehari 1B
Pasien berat < 27 kg (60 lb): 0.5 g oral
Sulfadiazine 1x sehari 1B
Pasien berat > 27 kg (60 lb) kg:
1 g oral 1x sehari
Macrolide atau
antibiotik azalide Bervariasi 1C
(untuk pasien alergi penicillin dan
sulfadiazine)

Tabel 6. Durasi Profilaksis Sekunder untuk Rheumatic Fever


Tipe Durasi setelah serangan Evidence rating

Rheumatic Fever dengan karditis 10 tahun atau sampai usia 40 tahun


dan penyakit jantung residu (pilih yang terlama) ; profilaksis
(penyakit katup persisten) seumur hidup mungkin diperlukan
1C

Rheumatic Fever dengan karditis


tapi tanpa penyakit jantung residu 10 tahun atau sampai usia 21 tahun
(tanpa penyakit katup persisten) (pilih yang terlama)
1C

Rheumatic Fever tanpa karditis 5 tahun atau sampai usia 40 tahun


(pilih yang terlama)
1C

c. Terapi Anti Inflamasi


Manifestasi dari rheumatic fever (termasuk karditis) biasanya
merespon cepat terhadap terapi anti inflamasi. Antiinflamasi yang menjadi
lini utama adalah aspirin. Untuk pasien dengan karditis yang buruk atau
dengan gagal jantung dan kardiomegali, obat yang dipilih adalah
kortikosteroid. Kortikosteroid juga menjadi pilihan terapi pada pasien yang
tidak membaik dengan aspirin dan terus mengalami perburukan.
Penggunaan kortikosteroid dan aspirin sebaiknya menunggu
sampai diagnosis rheumatic fever ditegakan. Pada anak- anak dosis aspirin
adalah 100-125 mg/kg/hari, setelah mencapai konsentrasi stabil selama 2
minggu, dosis dapat diturunkan menjadi 60-70 mg/kg/hari untuk 3-6
minggu. Pada pasien yang alergi terhadap aspirin bisa digunakan naproxen
10-20 mg/kg/hari. Obat kortikosteroid yang menjadi pilihan utama adalah
prednisone dengan dosis 2 mg/kg/hari, maksimal 80 mg/hari selama 2
minggu, diberikan 1 kali sehari. Setelah terapi 2-3 minggu dosis diturunkan
20-25% setiap minggu. Pada kondisi yang mengancam nyawa, terapi IV
methylprednisolone dengan dosis 30 mg/kg/hari. Durasi terapi dari anti
inflamasi berdasarkan respon klinis terhadap terapi.
d. Terapi Gagal Jantung
Gagal jantung pada rheumatic fever umumnya merespon baik
terhadap tirah baring, restriksi cairan, dan terapi kortikosteroid, namun pada
beberapa pasien dengan gejala yang berat, terapi diuterik, ACE-inhibitor,
dan digoxin bisa digunakan. Awalnya, pasien harus melakukan diet restriksi
garam ditambah dengan diuretik. Apabila hal ini tidak efektif, bisa
ditambahkan ACE Inhibitor dan atau digoxin.

Tabel 7. Obat-obatan untuk Mengatasi Gagal Jantung pada Rheumatic Fever

Obat Dosis
30 mcg/kg dosis total digitalisasi, 7,5
Digoxin mcg/kg/hari dosispemeliharaan
Diuretik: 0,5 – 2 mg/kg/hari,
 Furosemide 0,2 – 0,4 mg/kg/hari

 Metolazone

Dimulai 0,25 mg/kg dosis percobaan,


Vasodilator: dinaikkan 1,5 – 3mg/kg/hari dibagi
 Captopril dalam 3 dosis.
0,5 – 10 mcg/kg/min infus, digunakan
 Sodium
bila gagal jantung sulit dikontrol.
nitroprusside
Monitor kadar sianida.
Inotropik: 2 – 20 mcg/kg/menit per-infus
 Dobutamine 2 – 20 mcg/kg/menit per-infus
 Dopamine

 Milrinone 0,5 – 1 mcg/kg/menit per-infus

e. Diet dan Aktivitas


Diet pasien rheumatic heart disease harus bernutrisi dan tanpa
restriksi kecuali pada pasien gagal jantung. Pada pasien tersebut, cairan dan
natrium harus dikurangi. Suplemen kalium diperlukan apabila pasien
diberikan kortikosteroid atau diuretik.
Tirah baring sebagai terapi rheumatic fever pertama kali
diperkenalkan pada tahun 1940, namun belum diteliti lebih lanjut sejak saat
itu. Pada praktek klinis sehari-hari, kegiatan fisik harus direstriksi sampai
tanda-tanda fase akut terlewati, baru kemudian aktivitas bisa dimulai secara
bertahap.17 Sesuai dengan anjuran Taranta dan Marcowitz tirah baring yang
dianjurkan adalah sebagai berikut :
Tabel 8. Tirah Baring yang Dianjurkan pada Rheumatic Fever
Tanpa karditis Tirah baring selama 2 minggu,
mobilisasi bertahap selama 2 minggu
Karditis, tanpa Tirah baring selama 4 minggu,
kardiomegali mobilisasi
bertahap selama 4 minggu
Karditis dengan Tirah baring selama 6 minggu,
kardiomegali mobilisasi
bertahap selama 6 minggu
Karditis dengan Tirah baring selama gagal jantung,
kardiomegali dan gagal mobilisasi bertahap selama 3 bulan
jantung

f. Terapi Operatif
Pada pasien dengan gagal jantung yang persisten atau terus
mengalami perburukan meskipun telah mendapat terapi medis yang agresif
untuk penanganan rheumatic heart disease, operasi untuk mengurangi
defisiensi katup mungkin bisa menjadi pilihan untuk menyelamatkan nyawa
pasien.Pasien yang simptomatik, dengan disfungsi ventrikel atau
mengalami gangguan katup yang berat, juga memerlukan tindakan
intervensi.
1) Stenosis Mitral: pasien dengan stenosis mitral murni yang
ideal, dapat dilakukan ballon mitral valvuloplasty (BMV). Bila
BMV tak memungkinkan, perlu dilakukan operasi.4
2) Mitral Regurgitasi: Rheumatic fever dengan Mitral Regurgitasi
akut (mungkin akibat ruptur khordae)/kronik yang berat
dengan rheumatic heart disease yang tak teratasi
dengan obat, perlu segera dioperasi untuk reparasi atau
penggantian katup.4
3) Stenosis Aortik: stenosis katut aorta yang berdiri sendiri amat
langka. Intervensi dengan balon biasanya kurang berhasil,
sehingga operasi lebih banyak dikerjakan.
4) Regurgitasi Aortik: regurgitasi katup aorta yang berdiri sendiri
atau kombinasi dengan lesi lain, biasanya ditangani dengan
penggantian katup.
2.1 KELAINAN KATUP
Penyakit katup jantung merupakan penyakit yang melibatkan satu atau lebih dari
empat katup jantung (katup aorta dan bikuspid di sisi kiri jantung dan katup pulmonal
dan trikuspid di sisi kanan jantung). Kondisi ini terjadi sebagian besar karena proses
penuaan/degeneratif, mungkin juga merupakan hasil kelainan bawaan (kongenital) atau
penyakit tertentu atau proses fisiologis termasuk penyakit jantung rematik dan
kehamilan (Nkomo et al., 2006).
Penyakit katup jantung merupakan penyakit yang umum terjadi pada populasi di
AS, dan merupakan penyakit yang meningkat seiring bertambahnya usia (terutama
lebih dari 75 tahun). Penyakit katup mitral (MVD) dan penyakit katup aorta (AVD)
paling sering dijumpai, dan pada penyakit ini dapat muncul gejala atau asimptomatik.
Mitral regurgitation (MR) dan aortic stenosis (AS) merupakan penyebab penyakit
katup jantung paling banyak (Moore et al., 2016).
Secara anatomis, katup merupakan bagian dari jaringan ikat padat pada jantung
yang dikenal sebagai kerangka jantung dan bertanggung jawab dalam pengaturan aliran
darah melalui jantung dan pembuluh darah besar. Kegagalan atau disfungsi katup dapat
menyebabkan berkurangnya fungsi jantung, tergantung pada jenis dan tingkat
keparahan penyakit katup. Terapi katup yang rusak dapat menggunakan obat saja,
tetapi sering melalui pembedahan untuk perbaikan katup (valvuloplasti) atau
penggantian katup (penyisipan katup jantung buatan) (Nkomo et al., 2006).

Tabel 10. Penyakit Katup Jantung

Jenis katup Penyakit stenotik Penyakit insufisiensi/regurgitasi

Katup Aorta Stenosis aorta Insufisiensi/regurgitasi aorta

Katup Mitralis Stenosis Mitral Insufisiensi/Mitral Regurgitasi

Katup Trikuspidalis Stenosis Trikuspid Insufisiensi/regurgitasi trikuspid

Katup Pulmonaris Stenosis Pulmonar Insufisiensi/regurgitasi pulmonar

Pada makalah ini penyakit katup jantung yang akan dibahas yaitu Mitral
Regurgitasi dan mitral stenosis

1. Mitral Regurgitasi

Mitral Regurgitasi dapat terjadi akibat gangguan dari katup itu


sendiri atau dari salah satu struktur di sekitarnya. Di negara
berkembang, penyebab utama MR adalah penyakit jantung rematik,
sedangkan di Amerika Serikat dan negara maju lainnya terutama
disebabkan oleh proses degeneratif (penyakit myxomatous dan
defisiensi fibroelastik). Penyebab lainnya yaitu kalsifikasi anulus
mitral dan kelainan kongenital seperti mitral valve cleft; penyebab MR
lain yang jarang yaitu fibrosis endomiokardial, penyakit karsinoid
dengan right-to-left shunting, toksisitas ergotamine, terapi radiasi,
lupus eritematosus sistemik, dan toksisitas diet-obat. Penyebab utama
kedua MR di negara-negara maju adalah MR “fungsional”, yang
dihasilkan dari dilatasi anulus MV atau dari infark miokard.
Khususnya, infark yang melibatkan otot inferolateral dan posteroma
papilaris yang membatasi katup mitral bekerja dengan normal, yang
mengarah ke MR "fungsional" meskipun katup itu sendiri normal
(Maganti et al., 2010).

Mitral Regurgitasi memungkikan aliran darah berbalik dari


ventrikel kiri ke atrium kiri akibat penutup katup yang tidak sempurna
selama sistolik ventrikel secara bersamaan mendorong darah ke dalam
aorta dan kembali ke dalam atrium kiri. Kerja ventrikel kiri harus
ditingkatkan agar dapat mempertahankan curah jantung. Ventrikel kiri
harus memompakan darah dalam jumlah cukup guna mempertahankan
aliran darah normal ke dalam aorta, dan darah melalui katup mitralis.
Misalnya, curah ventrikel normal perdenyut (volume sekuncup)
adalah 70 ml. Bila aliran balik adalah 30 ml perdenyut, maka ventrikel
tersebut harus mampu memompakan 100ml perdenyut agar volume
sekuncup dipertahankan tetap normal. Beban volume tambahan yang
ditimbulkan oleh katup yang mengalami infusiensi akan segera
mengakibatkan dilatasi ventrikel. Menurut hukum starling pada
jantung, dilatasi dinding ventrikel akan meningkatkan kontraksi
miokardium. Akhirnya, dinding ventrikel mengalami hipertrofi hingga
meningkatkan kekuatan kontraksi selanjutnya (Sylvia & Price, 2005).

Regurgitasi menimbulkan beban volume tidak hanya bagi


ventrikel kiri tetapi juga bagi atrium kiri. Atrium kiri berdilatasi untuk
memungkinkan peningkatan volume dan meningkatkan kekuatan
kontraksi atrium. Selanjutnya atrium mengalami hipertrofi untuk
meningkatkan kekuatan kontraksi dan curah atrium lebih lanjut. Mula-
mula peningkatan kelenturan atrium kiri memungkinkan akomodasi
peningkatan volume tanpa kenaikan tekanan berarti. Sehingga untuk
sementara atrium kiri dapat mengimbangi pengaruh volume
regurgitasi, melindungi pembuluh paru-paru, dan membatasi gejala
paru-paru yang timbul (Sylvia & Price, 2005).

a. Jenis
i. Mitral Regurgitasi Primer

Pada Mitral Regurgitasi primer, satu atau beberapa


komponen dari katup mitral secara langsung mempengaruhi.
Etiologi yang paling sering adalah degeneratif (prolaps, flail
leaflet). Endokarditis merupakan salah satu penyebab Mitral
Regurgitasi primer.

ii. Mitral Regurgitasi Sekunder

Pada Mitral Regurgitasi sekunder (sebelumnya juga disebut


sebagai 'Mitral Regurgitasi fungsional'), katup dan korda
secara struktural normal, Mitral Regurgitasi berasal dari
ketidakseimbangan antara penutupan dan penarikan gaya
pada katup secara sekunder karena perubahan dalam
geometri LV. Paling sering terlihat pada kardiomiopati
dilatasi atau iskemik. Dilatasi annular pada pasien dengan
fibrilasi atrium kronis dan pembesaran LA juga bisa menjadi
penyebab (Baumgartner et al., 2017).

b. Fase insufisiensi katup mitral

Pada insufisiensi katup mitral, terjadi penurunan


kontraktilitas yang biasanya bersifat irreversible, dan disertai
dengan terjadinya kongesti vena pulmonalis yang berat dan edema
pulmonal. Patofisiologi insufisiensi mitral dapat dibagi ke dalam
fase akut, fase kronik yang terkompensasi dan fase kronik
dekompensasi.

Pada fase akut sering disebabkan adanya kelebihan volume


di atrium dan ventrikel kiri. Ventrikel kiri menjadi overload oleh
karena setiap kontraksi tidak hanya memompa darah menuju aorta
(cardiac output atau stroke volume ke depan) tetapi juga terjadi
regurgitasi ke atrium kiri (regurgitasi volume). Kombinasi stroke
volume ke depan dan regurgitasi volume dikenal sebagai total
stroke volume. Pada kasus akut, stroke volume ventrikel kiri
meningkat (ejeksi fraksi meningkat) tetapi cardiac output
menurun. Volume regurgitasi akan menimbulkan overload volume
dan overload tekanan pada atrium kiri dan peningkatan tekanan di
atrium kiri akan menghambat aliran darah dari paru yang melalui
vena pulmonalis.

Pada fase kronik terkompensasi, insufisiensi mitral terjadi


secara perlahan-lahan dari beberapa bulan sampai beberapa tahun
atau jika pada fase akut diobati dengan medikamentosa maka
pasien akan memasuki fase terkompensasi. Pada fase ini ventrikel
kiri menjadi hipertropi dan terjadi peningkatan volume diastolik
yang bertujuan untuk meningkatkan stroke volume agar mendekati
nilai normal. Pada atrium kiri, akan terjadi kelebihan volume yang
menyebabkan pelebaran atrium kiri dan tekanan pada atrium akan
berkurang. Hal ini akan memperbaiki drainase dari vena
pulmonalis sehingga gejala dan tanda kongesti pulmonal akan
berkurang.

Pada fase kronik dekompensasi akan terjadi kontraksi


miokardium ventrikel kiri yang inadekuat untuk mengkompensasi
kelebihan volume dan stroke volume ventrikel kiri akan menurun.
Penurunan stroke volume menyebabkan penurunan cardiac output
dan peningkatan end-systoli volume. Peningkatan end-systolic
volume akan meningkatkan tekanan pada ventrikel dan kongesti
vena pulmonalis sehingga akan timbul gejala gagal jantung
kongestif. Pada fase lebih lanjut akan terjadi cairan ekstravaskular
pulmonal (pulmonary ekstrav askular fluid). Ketika regurgitasi
meningkat secara tiba-tiba, akan mengakibatkan peningkatan
tekanan atrium kiri dan akan diarahkan balik ke sirkulasi
pulmonal, yang dapat mengakibatkan edema pulmonal.

Mitral Regurgitasi juga akan menyebabkan terjadinya edema


paru pada pasien dengan mitral regurgitasi yang kronik, dimana
daerah lubang regurgitasi akan dapat berubah secara dinamis dan
bertanggung jawab terhadap kondisi kapasitas, perubahan daun
katup mitral dan ukuran ventrikel kiri serta akan menurunkan
kekuatan menutup dari katup mitral (Tierney et al., 2008)

c. Anamnesis dan Pemeriksaan fisik


Gejala yang umum terjadi pada Mitral Regurgitasi: (1) Sesak
napas, terutama saat mengeluarkan tenaga atau saat berbaring, (2)
Fatigue, terutama pada saat aktivitas meningkat (3) Batuk,
terutama pada malam hari atau ketika berbaring, (4) Jantung
berdebar-debar, sensasi dari detak jantung, (5) Kaki atau
pergelangan kaki bengkak (Baumgartner et al., 2017).

S1 biasanya terdengar halus, dan split S2 terdengar jelas.


Diastolic rumbling dan S3 mungkin ada dan tidak selalu
menunjukkan disfungsi LV. Murmur sistolik MR bervariasi sesuai
dengan etiologi regurgitasi. Murmur biasanya terdengar paling
jelas di apeks pada posisi dekubitus lateral kiri. Dengan MR
degeneratif berat, murmur bersifat holosistolik, menyebar ke
aksila. Murmur sistolik awal merupakan tanda tipikal dari MR
akut. Murmur sistolik akhir khas pada prolaps MV atau disfungsi
otot papiler (Maganti et al., 2010).

d. Pemeriksaan Penunjang
i. Radiografi Thorax

Kardiomegali karena LV dan pembesaran atrium kiri sering


terjadi pada pasien dengan MR kronis. Pada pasien dengan
hipertensi pulmonal, pembesaran ruang sisi kanan juga
merupakan temuan umum. Garis Kerley B dan edema
interstisial dapat dilihat pada pasien dengan MR akut atau
gagal LV progresif.

ii. Elektrokardiografi.

Pembesaran atrium kiri dan fibrilasi atrium adalah temuan


ECG yang paling umum pada pasien dengan MR.
Pembesaran ventrikel kiri tercatat pada sekitar sepertiga
pasien, dan hipertrofi RV diamati pada 15% .

iii. Echocardiography

Echocardiography adalah alat yang paling umum digunakan


untuk mengevaluasi pasien dengan suspek MR. Ini
memberikan informasi tentang mekanisme dan keparahan
MR, ukuran dan fungsi ventrikel kiri dan kanan, ukuran
atrium kiri, tingkat hipertensi pulmonal, dan adanya lesi
katup terkait lainnya. Evaluasi Doppler memberikan ukuran
kuantitatif keparahan MR yang telah terbukti menjadi
prediktor penting dari hasil (Maganti et al., 2010).

e. Terapi

Pada Mitral Regurgitasi akut, nitrat dan diuretik digunakan


untuk mengurangi filling pressure. Sodium nitroprusside
mengurangi fraksi afterload dan regurgitant. Agen inotropik dan
pompa balon intra aorta digunakan dalam hipotensi dan
ketidakstabilan hemodinamik.

Pada Mitral Regurgitasi kronis dengan fungsi ventrikel yang


baik, tidak ada bukti yang mendukung penggunaan profilaksis
vasodilator, termasuk ACE inhibitor. Namun, ACE inhibitor harus
dipertimbangkan ketika gagal jantung telah berkembang pada
pasien yang tidak cocok untuk operasi atau ketika gejala berlanjut
setelah operasi. Betablocker dan spironolactone (atau eplerenone)
juga harus dipertimbangkan (Baumgartner et al., 2017).
Gambar 7. Terapi Mitral Regurgitasi

2. Stenosis mitral
a. Definisi dan etiologi stenosis mitral
Stenosis mitral adalah kondisi dimana terjadi hambatan aliran darah
dari atrium kiri ke ventrikel kiri pada fase diastolik akibat penyempitan
katup mitral. Penyebab stenosis mitral paling sering demam rematik,
penyebab lain adalah karsinoid, sistemik lupus erimatosus, reumatoid
artritis, mukopolisakaridosis dan kelainan bawaan.

Tabel 2. Etiologi stenosis mitral

Demam Rematik Karditis dengan kerusakan katup mitral


(>95%).
Kongenital Hipoplasia atau fusi dari muskulus
papilaris, pemendekan dan penebalan
dari korda.
Metabolik Penyakit whipple
Mucopolysaccharidosis
Penyakit Fabry
Carcinoid
Terapi Methysergide

b. Patogenesis stenosis mitral


Rematik karditis akut adalah pankarditis yang melibatkan
perikardium, miokardium, dan endokardium. Daerah dengan iklim sedang
serta negara maju interval terjadinya rematik karditis dengan munculnya
stenosis mitral berkisar antara 10-20 tahun. Negara tropis, subtropis dan
negara-negara berkembang interval dapat lebih pendek. Tanda khas dari
rematik karditis akut adalah aschoff nodule. Lesi paling sering pada rematik
endokarditis adalah mitral valvulitis. Katup mitral mengalami vegetasi pada
garis penutupan katup dan korda. Stenosis mitral biasanya terjadi akibat
episode berulang dari karditis yang diikuti dengan penyembuhan dan
ditandai dengan deposisi jaringan fibrosa. Stenosis mitral terjadi akibat dari
fusi dari komisura, kuspis, korda atau kombinasi dari ketiganya. Hasil akhir
katup yang mengalami deformitas terjadi fibrosis dan kalsifikasi. Lesi
tersebut akan berlanjut dengan fusi dari komisura, kontraktur dan penebalan
dari leaflets katup. Korda mengalami pemendekan dan fusi. Kombinasi ini
akan menyebabkan penyempitan dari orifice katup mitral yang membatasi
aliran darah dari LA (Left Atrium) dan LV (Left Ventricle).

c. Patofisiologi stenosis mitral


Orang dewasa normal orifisium katup mitral adalah 4 sampai 6 cm2.
Adanya obstruksi yang signifikan, misalnya, jika orifisium kurang lebih
kurang dari 2 cm2, darah dapat mengalir dari atrium kiri ke ventrikel kiri
hanya jika didorong oleh gradien tekanan atrioventrikel kiri yang meningkat
secara abnormal, tanda hemodinamik stenosis mitral. Apabila orifisium
katup mitral berkurang sampai 1 cm2, tekanan atrium kiri kurang lebih 25
mmHg diperlukan untuk mempertahankan curah jantung (cardiac output)
yang normal. Tekanan atrium kiri yang meningkat, selanjutnya,
meningkatkan tekanan vena dan kapiler pulmonalis, yang mengurangi daya
kembang (compliance) paru dan menyebabkan dispnea pada waktu
pengerahan tenaga (exertional dyspnea, dyspnea d’ effort). Serangan
pertama dispnea biasanya dicetuskan oleh kejadian klinis yang
meningkatkan kecepatan aliran darah melalui orifisium mitral, yang
selanjutnya mengakibatkan elevasi tekanan atrium kiri. Untuk menilai
beratnya obstruksi, penting untuk mengukur gradien tekanan transvalvuler
maupun kecepatan aliran. Gradien tekanan bergantung tidak hanya pada
curah jantung tapi juga denyut jantung. Kenaikan denyut jantung
memperpendek diastolik secara proporsional lebih daripada sistolik dan
mengurangi waktu yang tersedia untuk aliran yang melalui katup mitral.
Oleh karena itu, pada setiap tingkat curah jantung tertentu, takikardia
menambah tekanan gradien transvalvuler dan selanjutnya meningkatkan
tekanan atrium kiri.

Tekanan diastolik ventrikel kiri normal pada stenosis mitral saja;


penyakit katup aorta, hipertensi sistemik, Mitral Regurgitasi, penyakit
jantung iskemik yang terjadi secara bersamaan dan mungkin kerusakan sisa
yang ditimbulkan oleh miokarditis reumatik kadang-kadang bertanggung
jawab terhadap kenaikan yang menunjukan fungsi ventrikel kiri yang
terganggu dan/atau menurunkan daya kembang ventrikel kiri. Disfungsi
ventrikel kiri, seperti yang ditunjukan dalam berkurangnya fraksi ejeksi dan
kecepatan memendek serabut yang mengelilingi, terjadi pada sekitar
seperempat pasien dengan stenosis mitral berat, sebagai akibat
berkurangnya preload kronik dan luasnya jaringan parut dari katup ke dalam
miokardium yang berdekatan.

Stenosis mitral murni dengan irama sinus, tekanan atrium kiri rata-
rata dan pulmonal artery wedge pressure biasanya meningkat,denyut
tekanan menunjukan kontraksi atrium yang menonjol (gelombang a) dan
tekanan bertahap menurun setelah pembukaan katup mitral (y descent). Pada
pasien dengan stenosis mitral ringan sampai sedang tanpa peningkatan
resistensi vaskuler paru, tekanan arteri pulmonalis mungkin mendekati batas
atas normal pada waktu istirahat dan meningkat seiring dengan exercise.
Pada stenosis mitral berat dan kapan saja ketika resistensi vaskuler paru
naik, tekanan arteri pulmonalis meningkat bahkan ketika pasien sedang
istirahat, dan pada kasus ekstrim dapat melebihi tekanan arterial sistemik.
Kenaikan tekanan atrium kiri, kapiler paru, dan tekanan arteri pulmonalis
selanjutnya terjadi selama latihan. Jika tekanan sistolik arteri pulmonalis
melebihi kira-kira 50 mmHg pada pasien dengan stenosis mitral, atau pada
keadaan dengan lesi yang mengenai sisi kiri jantung, peningkatan afterload
ventrikel kanan menghalangi pengosongan ruangan ini, sehingga tekanan
diastolik akhir dan volume ventrikel kanan biasanya meningkat sebagai
mekanisme kompensasi.

d. Klasifikasi stenosis mitral


Stenosis mitral diklasifikasikan menjadi tiga kelas dari ringan
hingga berat sesuai dengan mitral valve area (MVA).

Tabel 3. Klasifikasi stenosis mitral

Klasifikasi Mitral Valve Area (MVA) dalam


cm2
Ringan >1,5 cm2
Sedang 1,0-1,5 cm2
Berat <1,0 cm2

e. Gejala dan tanda stenosis mitral


Gejala yang umum dirasakan oleh pasien dengan stenosis mitral
adalah cepat lelah, sesak nafas bila aktivitas (dyspnea d’ effort) yang makin
lama makin berat. Pada stenosis mitral yang berat, keluhan sesak nafas dapat
timbul saat tidur malam (nocturnal dyspnea), bahkan dalam keadaan
istirahat sambil berbaring (orthopnea).

Irama jantung berdebar terkadang juga dapat didengar apabila


terdapat fibrilasi atrium. Keadaan lebih lanjut bisa ditemukan batuk darah
(hemoptysis), akibat pecahnya kapiler pulmonalis karena tingginya tekanan
arteri pulmonalis; keluhan ini bisa disalahartikan sebagai batuk darah akibat
TBC, apalagi pasien stenosis mitral berat biasanya kurus. Pasien stenosis
mitral juga kadang baru diketahui setelah terkena stroke, terutama bila ada
fibrilasi atrium yang mempermudah terbentuknya trombus di atrium kiri dan
kemudian lepas menyumbat pembuluh darah otak.

Tabel 4. Gejala stenosis mitral8

Gejala stenosis mitral


Aktivitas
Dispnea, mengi, batuk
Kelelahan
Keterbatasan aktivitas
Palpitasi
Sinkop
Istirahat
Batuk, mengi
Paroxysmal nocturnal dyspnea
Orthopnea
Hemoptisis
Suara serak (sindrom ortner)

Pemeriksaan fisik dapat dijumpai malar facial flush, gambaran pipi


yang merah keunguan akibat curah jantung yang rendah, tekanan vena
jugularis yang meningkat akibat gagal ventrikel kanan. Kasus yang lanjut
dapat terjadi sianosis perifer. Denyut apikal tidak bergeser ke lateral,
dorongan kontraksi ventrikel kanan pada bagian parasternal dapat dirasakan
akibat dari adanya hipertensi arteri pulmonalis. Auskultasi dapat dijumpai
adanya S1 akan mengeras, hal ini hanya terjadi bila pergerakan katup mitral
masih dapat fleksibel. Bila sudah terdapat kalsifikasi dan atau penebalan
pada katup mitral, S1 akan melemah. S2 (P2) akan mengeras sebagai akibat
adanya hipertensi arteri pulmonalis. Opening snap terdengar sebagai akibat
gerakan katup mitral ke ventrikel kiri yang mendadak berhenti, opening
snap terjadi setelah tekanan ventrikel kiri jatuh di bawah tekanan atrium kiri
pada diastolik awal. Jika tekanan atrium kiri tinggi seperti pada stenosis
mitral berat, opening snap terdengar lebih awal. Opening snap tidak
terdengar pada kasus dengan kekakuan, fibrotik, atau kalsifikasi daun katup.
Bising diastolik bersifat low-pitched, rumbling dan dekresendo, makin berat
stenosis mitral makin lama bisingnya. Tanda auskultasi stenosis mitral yang
terpenting untuk menyokong beratnya stenosis adalah A2-OS interval yang
pendek dan lamanya rumble diastolik.

Pemeriksaan penunjang dari rontgen toraks pada pasien stenosis


mitral didapatkan pembesaran segmen pulmonal, pembesaran atrium kiri,
karina bronkus yang melebar dan bisa didapatkan gambaran hipertensi vena
pulmonalis, serta efusi pleura.2,7

f. Ekokardiografi pada stenosis mitral


Pemeriksaan penunjang lain yang dapat digunakan untuk membantu
menegakan diagnosis stenosis mitral adalah dengan metode noninvasif
ekokardiografi. Ekokardiografi merupakan metoda yang sangat sensitif dan
spesifik untuk mendiagnosis stenosis mitral. Two dimensional color
Doppler flow echocardiographic imaging dan Doppler echocardiography
memberikan informasi yang kritis, mencakup perkiraan atau penilaian
perbedaan transvalvuler dan ukuran orifisium mitral, adanya Mitral
Regurgitasi serta tingkat keparahan yang menyertai stenosis mitral, luasnya
restriksi daun-daun katup, tebalnya daun katup dan derajat distorsi aparatus
subvalvuler.

Ekokardiografi juga memberikan penilaian ukuran ruang-ruang


jantung, perkiraan tekanan arteri pulmonalis dan indikasi mengenai adanya
regurgitasi trikuspid dan pulmonal serta derajat keparahannya yang
terkadang menyertai kejadian stenosis mitral.10

2.2 GAGAL JANTUNG


A. Definisi gagal jantung
Gagal jantung dapat didefinisikan sebagai kelainan struktur
atau fungsi jantung yang menyebabkan kegagalan jantung untuk
memberikan suplai darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme
jaringan.9

B. Etiologi gagal jantung


Perubahan struktur atau fungsi dari ventrikel kiri dapat
menjadi faktor predisposisi terjadinya gagal jantung pada seorang
pasien, meskipun etiologi gagal jantung pada pasien tanpa penurunan
Ejection Fraction (EF) berbeda dari gagal jantung dengan penurunan
EF. Terdapat pertimbangan terhadap etiologi dari kedua keadaan
tersebut tumpang tindih. Di Negara-negara industri, Penyakit Jantung
Koroner (PJK) menjadi penyebab predominan pada 60-75% pada
kasus gagal jantung pada pria dan wanita. Hipertensi memberi
kontribusi pada perkembangan penyakit gagal jantung pada 75%
pasien, termasuk pasien dengan PJK. Interaksi antara PJK dan
hipertensi memperbesar risiko pada gagal jantung, seperti pada
diabetes mellitus.10

Emboli paru dapat menyebabkan gagal jantung, karena pasien


yang tidak aktif secara fisik dengan curah jantung rendah mempunyai
risiko tinggi membentuk thrombus pada tungkai bawah atau panggul.
Emboli paru dapat berasal dari peningkatan lebih lanjut tekanan arteri
pulmonalis yang sebaliknya dapat mengakibatkan atau memperkuat
kegagalan ventrikel .11

Infeksi apapun dapat memicu gagal jantung, demam, takikardi


dan hipoksemia yang terjadi serta kebutuhan metabolik yang
meningkat akan memberi tambahan beban pada miokard yang sudah
kelebihan beban meskipun masih terkompensasi pada pasien dengan
penyakit jantung kronik.

Tabel 2. Etiologi gagal jantung


Etiologi gagal jantung
Dengan Penurunan EF (<40%)
PJK Kardiomiopati dilatasi non iskemik

Infark miokard Familial / kelainan genetic


Iskemia miokard Kelainan infiltrative

Kenaikan tekanan Kerusakan akibat toksin / obat


Hipertensi Penyakit metabolik

Penyakit katup obstruktif Virus


Kenaikan volume Penyakit Chagas
Penyakit katup regurgitasi Kelainan irama dan detak jantung
Left to right shunting Bradi aritmia kronis
Extracardiac shunting Takiaritmia kronis

Tanpa Penurunan EF (>40-50%)


Hipertrofi patologis Kardiomiopati restriktif
Primer (kardiomiopati hipertrofi) Kelainan infiltrative (amyloidosis,

sarkoidosis)
Sekunder (hipertensi) Fibrosis

Penuaan Kelainan enso-miokardium

Pulmonary Heart Disease (PHD)


Cor pulmonale

Kelainan pembuluh darah paru

Output meningkat
Kelainan metabolik Aliran darah yang berlebihan

Tirotoksikosis Shunt arteri-vena sistemik


Beriberi Anemia kronis
C. Patofisiologi gagal jantunh
Penurunan curah jantung pada gagal jantung mengaktifkan
serangkaian adaptasi kompensasi yang dimaksudkan untuk
mempertahankan homeostasis kardiovaskuler. Salah satu adaptasi
terpenting adalah aktivasi system saraf simpatik, yang terjadi pada
awal gagal jantung. Aktivasi system saraf simpatik pada gagal jantung
disertai dengan penarikan tonus parasimpatis. meskipun gangguan ini
dalam kontrol otonom pada awalnya dikaitkan dengan hilangnya
penghambatan masukan dari arteri atau refleks baroreseptor
kardiopulmoner, terdapat bukti bahwa refleks rangsang juga dapat
berpartisipasi dalam ketidakseimbangan otonom yang terjadi pada
gagal jantung. dalam kondisi normal masukan penghambatan dari
“tekanan tinggi” sinus karotis dan baroreceptor arcus aorta dan
“tekanan rendah” mechanoreceptor cardiopulmonary adalah inhibitor
utama aliran simpatis, sedangkan debit dari kemoreseptor perifer
nonbaroreflex dan otot “metaboreseptor” adalah input rangsang utama
outflow simpatik. Pada gagal jantung, penghambat masukan dari
baroreseptor dan mekanoreseptor menurun dan rangsangan
pemasukan meningkat, maka ada peningkatan dalam aktivitas saraf
simpatik, dengan hilangnya resultan dari variabilitas denyut jantung
dan peningkatan resistensi pembuluh darah perifer.

Berbeda dengan sistem saraf simpatik, komponen dari sistem


renin-angiotensin diaktifkan beberapa saat kemudian pada gagal
jantung. mekanisme untuk aktivasi RAS dalam gagal jantung
mencakup hipoperfusi ginjal, penurunan natrium terfiltrasi mencapai
makula densa di tubulus distal, dan meningkatnya stimulasi simpatis
ginjal, yang menyebabkan peningkatan pelepasan renin dari aparatus
juxtaglomerular. Renin memotong empat asam amino dari sirkulasi
angiotensinogen, yang disintesis dalam hepar, untuk membentuk
angiotensin I. Angiotensin Converting Enzyme (ACE) memotong dua
asam amino dari angiotensin I untuk membentuk angiotensin II.
Mayoritas (90%) dari aktivitas ACE dalam tubuh terdapat dalam
jaringan, sedangkan 10% sisanya terdapat dalam bentuk terlarut
(ikatan non membran) dalam interstitium jantung dan dinding
pembuluh darah. Angiotensin II mengerahkan efeknya dengan
mengikat gabungan dua reseptor G-Protein angiotensin yang disebut
tipe 1 (AT 1) dan angiotensin tipe 2 (AT 2). Reseptor angiotensin
yang dominan dalam pembuluh darah adalah reseptor AT1. Aktivasi
reseptor AT1 menyebabkan vasokonstriksi, pertumbuhan sel, sekresi
aldosteron, dan pelepasan katekolamin, sedangkan aktivasi reseptor
AT2 menyebabkan vasodilatasi, penghambatan pertumbuhan sel,
natriuresis, dan pelepasan bradikinin. Angiotensin II memiliki
beberapa tindakan penting untuk mempertahankan sirkulasi
homeostasis jangka pendek. Namun, ekspresi berkepanjangan dari
angiotensin II dapat menyebabkan fibrosis jantung, ginjal, dan organ
lainnya. Angiotensin II dapat juga memperburuk aktivasi
neurohormonal dengan meningkatkan pelepasan norepinefrin dari
ujung saraf simpatik, serta merangsang zona glomerulosa korteks
adrenal untuk memproduksi aldosteron. Aldosteron menyediakan
dukungan jangka pendek ke dalam sirkulasi dengan melakukan
reabsorbsi natrium dalam pertukaran dengan kalium di tubulus distal.
Aldosterone dapat menimbulkan disfungsi sel endotel, disfungsi
baroreseptor, dan menghambat uptake norepinefrin, salah satu atau
semua dari kelainan tersebut dapat memperburuk gagal jantung.
Stimulasi sistem renin-angiotensin-aldosteron menyebabkan
peningkatan konsentrasi renin, angiotensin II plasma, dan aldosteron.
Angiotensin II adalah vasokonstriktor kuat dari ginjal (arteriol eferen)
dan sirkulasi sistemik, di mana ia merangsang pelepasan noradrenalin
dari terminal saraf simpatis, menghambat tonus vagus, dan
mempromosikan pelepasan aldosteron. Hal ini menyebabkan retensi
natrium dan air dan peningkatan ekskresi kalium. Selain itu,
angiotensin II memiliki efek penting pada miosit jantung dan dapat
menyebabkan disfungsi endotel yang diamati pada gagal jantung
kronis.
Tabel 3 Mekanisme-Mekanisme Pada Gagal Jantung13
Hilangnya miosit
Hipertrofi miosit yang tersisa
Produksi dan penggunaan energi
Pasokan energi dan oksigen
Penggunaan substrat dan penyimpanan energi
Fungsi dan massa mitochondria yang tidak adekuat
Remodeling ventrikel
Protein kontraktil
Miofibril atau miosin ATPase abnormal
Protein miokardium abnormal
Defek pada sintesis protein
Kontraksi dan fungsi yang tidak uniform
Aktivasi elemen kontraktil
Defek membran Na+, K+-ATPase
Fungsi retikulum sarkoplasma yang abnormal
Pelepasan Ca2+ abnormal
Ambilan Ca2+ abnormal

Fungsi reseptor miokard abnormal


Downregulation reseptor β adrenal
Penurunan reseptor β1
Penurunan protein Gs
Peningkatan protein G1
Sistem saraf otonom
Fungsi norepinephrin miokard yang abnormal
Fungsi baroreseptor yang abnormal
Peningkatan pertumbuhan fibroblast miokardium dan sintesis kolagen
Perubahan penuaan, presbikardia
Takikardia terus-menerus
Lain-lain

2.1.1. Kriteria gagal jantung


Dalam mendiagnosis gagal jantung kongestif, dipakai kriteria
Framingham yang di tunjukkan pada tabel 4.

Tabel 4: Kriteria Framingham


Kriteria mayor Kriteria minor
1. Edema paru akut 1. Edema ekstremitas

2. Kardiomegali 2. Batuk malam hari


3. Ronki paru 3. Dispneu d’effort
4. Hepatojugular refluks 4. Hepatomegali
5. Paroximal nocturnal dispneu 5. Efusi pleura
6. Gallop S3 6. Penurunan Vital Capacity 1/3

dari normal

7. Distensi vena leher 7. Takikardi (>120/menit)


8. Peninggian vena jugularis

2.1.2. Klasifikasi Gagal Jantung


Ada berbagai klasifikasi untuk gagal jantung, diantaranya
berdasarkan abnormalitas struktur jantung yang di susun oleh
American Heart Association/American College of Cardiology
(AHA/ACC) atau berdasarkan gejala berkaitan dengan kapasitas
fingsional yang diterbitkan oleh New York Heart Association
(NYHA).
Diagnosis gagal jantung berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
electrocardiography, foto thorax, echocardiography Doppler, dan
kateterisasi.

2.1.2.1. Berdasarkan Tingkat Keparahan Gagal Jantung


Tabel 5. Tingkat Keparahan Gagal Jantung
Klasifikasi menurut ACC/AHA Klasifikasi menurut NYHA
Stadium A Kelas I
Memiliki risiko tinggi untuk Pasien dengan penyakit jantung tetapi
berkembang menjadi gagal jantung. tidak ada pembatasan aktivitas fisik.
Tidak terdapat gangguan struktural Aktivitas fisik biasa tidak menyebabkan
atau fungsional jantung. kelelahan berlebihan, palpitasi, dispnea
atau nyeri angina.

Stadium B Kelas II
Telah terbentuk penyakit struktur Pasien dengan penyakit jantung dengan
jantung yang berhubungan dengan sedikit pembatasan aktivitas fisik.
perkembangan gagal jantung, tidak Merasa nyaman saat istirahat. Hasil
terdapat tanda dan gejala. aktivitas normal fisik kelelahan,
palpitasi, dispnea atau nyeri angina.

Stadium C Kelas III

Gagal jantung yang simpatomatis Pasien dengan penyakit jantung yang


berhubungan dengan penyakir terdapat pembatasan aktivitas fisik.
structural jantung yang mendasari Merasa nyaman saat istirahat. Aktifitas
fisik ringan menyebabkan kelelahan,
palpitasi, dispnea atau nyeri angina.
Stadium D Kelas IV

Penyakit structural jantung yang lanjut Pasien dengan penyakit jantung yang
serta gejala gagal jantung yang sangat mengakibatkan ketidakmampuan untuk
bermakna saat istirahat walaupun telah melakukan aktivitas fisik apapun tanpa
mendapat terapi. ketidaknyamanan. Gejala gagal jantung
dapat muncul bahkan pada saat istirahat.
Keluhan meningkat saat melakukan
aktifitas

2.1.2.2. Berdasarkan Curah Jantung


1) Gagal jantung curah-tinggi

Pada pasien dengan gagal jantung curah-tinggi, curah jantung


tidak melebihi batas atas normal, tetapi mungkin lebih dekat dengan
batas atas normal. Gagal jantung curah-tinggi terlihat pada pasien
hipertiroidisme, anemia, kehamilan, fistula arteriovenosa, beri-beri,
dan penyakit Paget.

2 ) Gagal Jantung curah rendah

Pada gagal jantung curah-rendah, curah jantung berada dalam


batas normal pada saat istirahat, tetapi tidak mampu meningkat secara
normal selama aktivitas fisik
2.1.2.3. Berdasarkan Gangguan Fungsi
1) Gagal jantung Sistolik
Gagal jantung sistolik yang utama berkaitan dengan curah
jantung yang tidak adekuat dengan kelemahan, kekelahan,
berkurangnya toleransi terhadap exercise, dan gejala lain dari
hipoperfusi.17

2) Gagal Jantung Diastolik


Gagal jantung diastolik berhubungan dengan peningkatan
tekanan pengisian. Pada banyak pasien yang mempunyai hipertrofi
ventrikel dan dilatasi, abnormalitas kontraksi dan relaksasi terjadi
secara bersamaan.

Tabel 6. Perbedaan Gagal Jantung Sistolik dan Diastolik


Karakteristik Gagal jantung diastolik Gagal jantung sistolik

Ciri-ciri klinis
Gejala (e.g dyspnea) Ya Ya
Status kongesti ( e.g Ya Ya

edema)
Aktifitas neurohormonal Ya Ya
(e.g brain natriuretic

peptide)
Struktur dan fungsi

ventrikel kiri
Fraksi ejeksi Normal Berkurang
Massa ventrikel kiri Bertambah Bertambah
Ketebalan dindingrelatif Bertambah Berkurang

End diastolic volume Normal Bertambah


End diastolic pressure Bertambah Bertambah
Ukuran atrium kiri Bertambah Bertambah

Latihan fisik
Kapasitas latihan Berkurang Berkurang
Penambahan cardiac Berkurang Berkurang
output
End diastolic pressure Bertambah Bertambah

2.1.2.4. Berdasarkan letak


1) Gagal jantung kanan
Gagal jantung kanan terjadi Jika abnormalitas yang mendasari
mengenai ventrikel kanan secara primer seperti stenosis katup paru
atau hipertensi paru sekunder terhadap tromboembolisme paru
sehingga terjadi kongesti vena sistemik17

2) Gagal jantung kiri


Pada gagal jantung kiri, ventrikel kiri secara mekanis
mengalami kelebihan beban atau melemah, mengalami dispnea dan
ortopnea akibat dari kongesti paru. 17

2.3 KELAINAN JANTUNG KARENA ELEKTROLIT


1) Hiponatremia Definisi
Hiponatremia didefinisikan sebagai serum Na ≤ 3 5 mmol/l.
Hiponatremia dilaporkan memiliki insiden dalam praktek klinis antara
15 dan 30%. (The College of Emergency Medicine & Doctors.net.uk,
2008)

Penyebab dan klasifikasi


Penyebab hiponatremia (lihat Tabel 2.1) diklasifikasikan
menurut status cairan pasien (euvolemik,hipovolemik, atau
hypervolaemic). Pseudohiponatremia ditemukan ketika ada
pengukuran natrium rendah karena lipid yang berlebihan atau
protein dalam plasma, atau karena hiperglikemia (dimana
pergerakan air bebas terjadi ke dalam ruang ekstraselular dalam
menanggapi akumulasi glukosa ekstraseluler) (Biswas & Davies,
2007).

Sistem klasifikasi menyoroti pentingnya menilai status


cairan. Sebagai contoh, pasien dengan Syndrome of Inappropriate
Antidiuretic Hormone Secretion (SIADH) harus euvolemik,
sedangkan pasien dengan cerebral salt wasting dapat memiliki
gambaran yang identik dengan SIADH (natrium serum rendah,
natrium urin tinggi dengan konsentrasi urin yang tidak tepat)
kecuali pasien akan menjadi hipovolemik. Penyebab SIADH
tercantum dalam Tabel 2.2. (Biswas & Davies, 2007)

Hiponatremia hipovolemik yang mungkin paling sering


terlihat di UGD, hasil dari hilangnya air dan natrium, tetapi relatif
lebih banyak natrium. Ada tiga penyebab utama hypervolaemic
hiponatremia: congestive cardiac failure (CCF), gagal ginjal dan
sirosis hati. Dalam kasus ini jumlah natrium tubuh meningkat
tetapi jumlah total air dalam tubuh tidak proporsional lebih besar
mengarah ke hiponatremia dan edema. Penurunan curah jantung
di CCF menyebabkan penurunan aliran darah ginjal, merangsang
produksi ADH dan resorpsi air di collecting ducts. Penurunan
aliran darah ginjal juga merangsang sistem renin- angiotensin,
menyebabkan retensi natrium dan air. Hiponatremia di CCF juga
dapat diperburuk oleh penggunaan diuretik. Ini telah ditunjukkan
dalam beberapa penelitian bahwa hiponatremia di CCF adalah
faktor prognosis yang buruk (Clayton et al, 2006).

Sirosis hati merupakan salah satu faktor menyebabkan


hiponatremia. Ini termasuk pengurangan volume sirkulasi,
hipertensi portal menyebabkan ascites, dan kegagalan hati untuk
metabolisme zat vasodilatasi. Perubahan ini mengakibatkan
stimulasi sistem renin-angiotensin dan retensi natrium dan air.
Hiponatremia terjadi karena konsumsi berlebihan air dan ekskresi
natrium yang relatif lebih rendah (seperti pada pelari maraton),
tetapi mekanisme lain yang dijelaskan dalam literature lain
meliputi peningkatan ADH, dan menurunnya motilitas usus
(Barsaum & levine, 2002).

Table 2.1. Klasifikasi hiponatremia

Euvolaemic Hypovolaemic Hypervolaemic Other


SIADH GIT loss: CCF Hyperglycaemia
Diarrhoea and Mannitol
Psychogenic Liver cirrhosis
vomiting administration
polydipsia Nephrotic
Bowel
syndrome
obstruction
GI sepsis

Renal loss:
Addison’s
disease
Renal tubular
acidosis
Salt wasting
nephropathy
Diuretic use
cerebral salt

wasting
(The College of Emergency Medicine & Doctors.net.uk, 2008)

Table 2.2 Penyebab SIADH

(The College of Emergency Medicine & Doctors.net.uk, 2008)


CNS Malignancy Pulmonary Drugs (not Miscellaneous

disease exhaustive)
Stroke Lung (oat Infection Carbamazepine SLE
Meningitis cell) Pancreas TB Tricyclic
Encephalitis Prostate Abscess antidepressants
Neurosurgery Urological Cystic Phenothiazines
Trauma Leukaemia fibrosis Omeprazole
Malignancy Lymphoma Pulmonary Vincristine
vasculitis Opiates

Gejala klinis

Gejala-gejala dan tanda-tanda hiponatremia dapat sangat


halus dan non spesifik (lihat Tabel 2.3). Hal ini penting untuk
menentukan apakah hiponatremia ini akut (memburuk dalam≤ 48
jam) atau kronis (memburuk dalam ≥ 48 jam). Tingkat toleransi
natrium jauh lebih rendah jika hiponatremia berkembang menjadi
kronis (The College of Emergency Medicine & Doctors.net.uk,
2008).

Etiologi hiponatremia harus dipertimbangkan ketika


melakukan anamnesa dan melakukan pemeriksaan pasien,
misalnya cedera kepala, bedah saraf, abdominal symptoms and
signs , pigmentasi kulit (terkait dengan penyakit Addison),
riwayat obat, dll. Status cairan pasien sangat penting untuk
diagnosis dan pengelolaan selanjutnya. (The College of
Emergency Medicine & Doctors.net.uk, 2008)

Tabel 2.3 Gambaran klinis dari hiponatremia


Severity Expected plasma Clinical features

sodium
Mild 130 – 135 mmol/ l Often no features, or,
anorexia, headache,
nausea, vomiting, lethargy
Moderate 120 – 129 mmol/ l Muscle cramps, muscle
weakness, confusion,
ataxia, personality change
Severe ≤ 120 mmol /l Drowsiness, reduced
reflexes, convulsions,
coma, death
(The College of Emergency Medicine & Doctors.net.uk, 2008)

Pemeriksaan

Pertama, pastikan bahwa hiponatremia cocok dengan


gambaran klinis. Pemeriksaan laboratorium awal harus mencakup
glukosa, natrium plasma, osmolalitas plasma, fungsi ginjal dan
hati, ditambah natrium urin dan osmolalitas urin. Berbagai
kombinasi dari status volume klinis dinilai dan konsentrasi
natrium urin pada pasien dengan hiponatremia disajikan pada
Tabel 2.4. Tes-tes lain untuk mendiagnosa penyebabnya mungkin
diperlukan seperti fungsi tiroid, lipid, dan fungsi adrenal. (The
College of Emergency Medicine & Doctors.net.uk, 2008)

Tabel 2.4 Kombinasi khas hasil

Volume status Urinary sodium Likely diagnosis


Hypovolaemia Low ≤ 10 mmol/ l Extrarenal sodium loss e.g. GIT
loss, burns, fluid sequestration
(peritonitis,
pancreatitis)
Hypovolaemia High ≥ 20 mmol/ l Renal salt wasting e.g. salt
losing nephropathy,
hypothyroidism, adrenal
insufficiency
Hypervolaemia Low ≤ 10 mmol/ l CCF, liver cirrhosis, nephrotic
syndrome (sodium retention
due to poor renal perfusion –
see text)
Euvolaemia High ≥ 40 mmol/ l SIADH

(The College of Emergency Medicine & Doctors.net.uk, 2008)

Pengobatan

Pengobatan hiponatremia harus dipertimbangkan dari


kronisitasnya, keseimbangan cairan pasien, dan potensi
etiologinya. Dalam hiponatremia akut (durasi ≤ 48 jam '),
pengobatan yang cepat dan koreksi natrium disarankan untuk
mencegah edema serebral. Hal ini berbeda dengan hiponatremia
kronis, di mana koreksi harus lambat untuk mencegah central
pontine myelinolysis yang dapat menyebabkan kerusakan saraf
permanen. Target yang harus dicapai untuk meningkatkan
natrium ke tingkat yang aman≥ (120 mmol / l). Natrium tidak
harus mencapai level normal dalam 48 jam pertama. (The
College of Emergency Medicine & Doctors.net.uk, 2008)

Central pontine myelinolysis adalah suatu kondisi dimana


terjadi demielinasi fokus di daerah pons dan extrapontine. Hal ini
menyebabkan dampak serius dan ireversibel gejala sisa
neurologis yang cenderung dilihat satu sampai tiga hari setelah
natrium telah diperbaiki. (The College of Emergency Medicine &
Doctors.net.uk, 2008)

Pada pasien dengan hiponatremia akut dan gejala sisa


neurologis (kejang atau koma) pengobatan dapat dimulai dengan
3% saline (Androgue dan Madias,

2000). Tidak ada konsensus universal untuk penggunaan atau


dengan rezim yang harus diberikan: bisa dimulai pada 1-2 ml / kg
/ jam dengan pengukuran rutin natrium serum, urin dan status
kardiovaskular. Disarankan agar natrium dikoreksi tidak lebih
dari 8 mmol dalam 24 jam. Furosemide juga dapat digunakan
untuk mengeluarkan air yang berlebihan. (Androgue & Madias,
2000)

Ada berbagai formula yang digunakan untuk menghitung


volume cairan dan natrium yang akan diberikan. Salah satu contoh
adalah rumus Madias Androgue, tetapi ada beberapa variasi yang
juga dapat digunakan (Barsaum & Levine, 2002).

Hiponatremia hipovolemik terkait penyakit Addison harus


ditangani dengan saline isotonik dan menggunakan hormon
pengganti dengan hidrokortison. Pasien-pasien ini dapat
memerlukan sejumlah besar penggantian cairan ketika mereka
berada dalam keadaan krisis. Hiponatremia kronis dapat diobati
dengan menghilangkan penyebab (misalnya diuretik) dan
pembatasan cairan menjadi sekitar 500-800 ml / hari. Vasopresin
antagonis reseptor adalah kelompok baru obat untuk pengobatan
hiponatremia. Mereka bekerja dengan menghalangi pengikatan
ADH (AVP - arginin vasopressin) di nefron distal, sehingga
mempromosikan ekskresi air bebas. Tolvaptan adalah salah satu
obat tersebut dan telah terbukti efektif meningkatkan natrium
serum pada euvolemik atau hypervolaemic hiponatremia kronis
(Schrier et al, 2006).

2.1.1. Hipernatremia
Definisi

Hipernatremia didefinisikan sebagai natrium serum lebih


besar dari 145 mmol / l dan selalu dikaitkan dengan keadaan
hiperosmolar. Ada morbiditas dan mortalitas yang signifikan
terkait dengan hipernatremia yang sulit untuk dihitung karena
hubungannya dengan komorbiditas serius lainnya. Beberapa studi
telah mengutip angka kematian setinggi 75% akibat
hipernatremia. (Semenovskaya Z, 2007).

Hipernatremia menyebabkan dehidrasi sel yang


menyebabkan sel-sel menyusut. Sel-sel merespon dengan
mengangkut elektrolit melintasi membran sel dan mengubah
potensial membran menjadi istirahat. Sekitar satu jam kemudian
jika masih ada hipernatremia, larutan organik intraseluler
dibentuk untuk mengembalikan volume sel dan mencegah
kerusakan struktural. Oleh karena itu ketika mengganti air harus
dilakukan dengan sangat perlahan untuk memungkinkan
akumulasi zat terlarut untuk menghindari edema serebral.
(Semenovskaya Z, 2007)

Jika hipernatremia berlanjut dan sel-sel mulai menyusut,


perdarahan otak dapat terjadi karena peregangan dan pecahnya
pembuluh darah menjembatani (subdural, subarachnoid atau
intraserebral). (The College of Emergency Medicine &
Doctors.net.uk, 2008)
Penyebab dan klasifikasi

Penyebab hipernatremia dapat dibagi menjadi tiga


kategori besar seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2.5. Ini sering
memiliki penyebab iatrogenik dan yang paling berisiko pada
pasien yang diintubasi , bayi yang hanya meminum susu formula,
atau orang tua dan orang-orang dalam perawatan yang tidak
memiliki cairan yang tersedia bagi mereka atau mereka yang
memiliki penurunan reseptor kehausan. (The College of
Emergency Medicine & Doctors.net.uk, 2008)

Tabel 2.5 Penyebab hipernatremia

Reduced water intake Loss of free water Sodium gain


Unwell infants e.g. with 1. Extra-renal: Primary
diarrhoea and vomiting Dehydration hyperaldosteronism
Intubated patients Burns (Conns)
Institutionalised elderly Exposure Secondary
Gastrointestinal losses hyperaldosteronism e.g.

2. Renal: CCF, liver cirrhosis, renal


Osmotic diuretics e.g. failure, nephrotic

Glucose, urea, mannitol syndrome


Diabetes Insipidus (see Iatrogenic – Sodium
table 6) bicarbonate
administration; hypertonic
saline administration
(The College of Emergency Medicine & Doctors.net.uk, 2008)
Presentasi klinis

Gambaran klinis hipernatremia non spesifik seperti anoreksia, mual,


muntah, kelelahan dan mudah tersinggung. Seperti natrium meningkat akan ada
perubahan dalam fungsi neurologis yang lebih menonjol jika natrium telah
meningkat pesat dan tingkat tinggi. Bayi cenderung menunjukkan takipnea,
kelemahan otot, gelisah, tangisan bernada tinggi, dan kelesuan menyebabkan
koma. Diagnosis diferensial utama untuk gejala-gejala tersebut pada populasi ini
adalah sepsis yang bisa diperparah oleh hipernatremia. (The College of
Emergency Medicine & Doctors.net.uk, 2008)

Investigasi

Investigasi harus mengikuti pendekatan yang sama untuk hiponatremia


dengan perhitungan kesenjangan osmolar, natrium urin dan osmolalitas bersama
dengan penyelidikan lebih lanjut untuk mengidentifikasi penyebab yang
mendasari. (The College of Emergency Medicine & Doctors.net.uk, 2008)

Dengan ginjal penyebab kehilangan air, osmolalitas urin akan sangat


rendah, sedangkan pada penyebab ekstra-ginjal, osmolalitas urin akan sangat
tinggi (≥ 400 mosm / l), ginjal mencoba untuk menghemat air. (The College of
Emergency Medicine & Doctors.net.uk, 2008)

Pengobatan

Manajemen terdiri dari mengobati penyebab yang mendasari dan


memperbaiki hipertonisitas tersebut. Seperti dengan hiponatremia, aturan umum
adalah untuk memperbaiki tingkat natrium pada tingkat di mana ia naik. Jika
natrium tersebut diperbaiki terlalu cepat ada risiko mengakibatkan edema
serebral. Saran yang baik adalah bertujuan untuk 0,5 mmol / l / jam dan maksimal
10 mmol

/ l / hari dalam semua kasus kecuali onsets sangat akut. Dalam hipernatremia akut
(≤ 48 jam) natrium dapat diperbaiki dengan cepat tanpa menimbulkan masalah.
Namun, jika ada keraguan untuk tingkat onset, natrium harus diperbaiki perlahan
selama setidaknya 48 jam. (The College of Emergency Medicine &
Doctors.net.uk, 2008)

2.1.2. Hipokalemia
Definisi

Hipokalemia (kadar kalium yang rendah dalam darah) adalah suatu


keadaan dimana konsentrasi kalium dalam darah kurang dari 3.8 mEq/L darah.
(The College of Emergency Medicine & Doctors.net.uk, 2008)

Penyebab
Ginjal yang normal dapat menahan kalium dengan baik. Jika konsentrasi
kalium darah terlalu rendah, biasanya disebabkan oleh ginjal yang tidak berfungsi
secara normal atau terlalu banyak kalium yang hilang melalui saluran pencernaan
(karena diare, muntah, penggunaan obat pencahar dalam waktu yang lama atau
polip usus besar). Hipokalemia jarang disebabkan oleh asupan yang kurang
karena kalium banyak ditemukan dalam makanan sehari-hari. Kalium bisa hilang
lewat air kemih karena beberapa alasan. Yang paling sering adalah akibat
penggunaan obat diuretik tertentu yang menyebabkan ginjal membuang natrium,
air dan kalium dalam jumlah yang berlebihan. (Dawodu S, 2004)

Pada sindroma Cushing, kelenjar adrenal menghasilkan sejumlah besar


hormon kostikosteroid termasuk aldosteron. Aldosteron adalah hormon yang
menyebabkan ginjal mengeluarkan kalium dalam jumlah besar. Ginjal juga
mengeluarkan kalium dalam jumlah yang banyak pada orang-orang yang
mengkonsumsi sejumlah besar kayu manis atau mengunyah tembakau tertentu.

Penderita sindroma Liddle, sindroma Bartter dan sindroma Fanconi terlahir


dengan penyakit ginjal bawaan dimana mekanisme ginjal untuk menahan kalium
terganggu. Obat-obatan tertentu seperti insulin dan obat-obatan asma (albuterol,
terbutalin dan teofilin), meningkatkan perpindahan kalium ke dalam sel dan
mengakibatkan hipokalemia. Tetapi pemakaian obat-obatan ini jarang menjadi
penyebab tunggal terjadinya hipokalemia. (Dawodu S, 2004)

Gejala Klinis
Hipokalemia ringan biasanya tidak menyebabkan gejala sama sekali.
Hipokalemia yang lebih berat (kurang dari 3 mEq/L darah) bisa menyebabkan
kelemahan otot, kejang otot dan bahkan kelumpuhan. Irama jantung menjadi
tidak normal, terutama pada penderita penyakit jantung. (Dawodu S, 2004)

Pengobatan
Tingkat-tingkat serum kalium diatas 3.0 mEq/liter tidak
dipertimbangkan bahaya atau sangat mengkhawatirkan; mereka dapat dirawat
dengan penggantian potassium melalui mulut. Tingkat-tingkat yang lebih rendah
dari 3.0 mEq/liter mungkin memerlukan penggantian intravena. Keputusan-
keputusan adalah spesifik pasien dan tergantung pada diagnosis, keadaan-
keadaan dari penyakit, dan kemampuan pasien untuk mentolerir cairan dan obat
melalui mulut. (Dawodu S, 2004)

Melalui waktu yang singkat, dengan penyakit-penyakit yang membatasi


sendiri seperti gastroenteritis dengan muntah dan diare, tubuh mampu untuk
mengatur dan memulihkan tingkat-tingakt potassium dengan sendirinya.
Bagaimanapun, jika hypokalemia adalah parah, atau kehilangan-kehilangan
potassium diperkirakan berjalan terus, penggantian atau suplementasi potassium
mungkin diperlukan. (Dawodu S, 2004).

Pada pasien-pasien yang meminum diuretiks, seringkali jumlah yang kecil


dari potassium oral mungkin diresepkan karena kehilangan akan berlanjut selama
obat diresepkan. Suplemen-suplemen oral mungkin dalam bentuk pil atau cairan,
dan dosis-dosisnya diukur dalam mEq. Dosis-dosis yang umum adalah 10-20mEq
per hari. Secara alternatif, konsumsi dari makanan-makanan yang tinggi dalam
potassium mungkin disarankan untuk penggantian. Pisang-pisang, apricot-
aprocit, jeruk-jeruk, dan tomat-tomat adalah tinggi dalam kandungan
potassiumnya. Karena potassium diekskresikan (dikeluarkan) di ginjal, tes-tes
darah yang memonitor fungsi ginjal mungkin diperintahkan untuk memprediksi
dan mencegah naiknya tingkat-tingkat potassium yang terlalu tinggi. (Dawodu S,
2004)

Ketika potassium perlu diberikan secara intravena, ia harus diberikan


secara perlahan-lahan. Potassium mengiritasi vena dan harus diberikan pada
kecepatan dari kira-kira 10 mEq per jam. Begitu juga, menginfus potassium
terlalu cepat dapat menyebabkan iritasi jantung dan memajukan irama-irama
yang berpotensi berbahaya seperti ventricular tachycardia. (Dawodu S, 2004.

2.1.3. Hiperkalemia

Definisi Hiperkalemia
Secara teknis, hiperkalemia berarti tingkat potassium dalam darah yang
naiknya secara abnormal. Tingkat potassium dalam darah yang normal adalah
3.5-

5.0 milliequivalents per liter (mEq/L). Tingkat-tingkat potassium antara 5.1


mEq/L sampai 6.0 mEq/L mencerminkan hyperkalemia yang ringan. Tingkat-
tingkat potassium dari 6.1 mEq/L sampai 7.0 mEq/L adalah hyperkalemia yang
sedang, dan tingkat-tingkat potassium diatas 7 mEq/L adalah hyperkalemia yang
berat/parah. (Dawodu, S 2004)

Gejala-Gejala Hiperkalemia

Hiperkalemia dapat menjadi asymptomatic, yang berarti bahwa ia tidak


menyebabkan gejala-gejala. Adakalanya, pasien-pasien dengan hyperkalemia
melaporkan gejala-gejala yang samar-samar termasuk:

 mual,
 lelah,
 kelemahan otot, atau
 perasaan-perasaan kesemutan.
Gejala-gejala hyperkalemia yang lebih serius termasuk denyut jantung
yang perlahan dan nadi yang lemah. Hyperkalemia yang parah dapat berakibat
pada berhentinya jantung yang fatal. Umumnya, tingkat potassium yang naiknya
secara perlahan (seperti dengan gagal ginjal kronis) ditolerir lebih baik daripada
tigkat-tingkat potassium yang naiknya tiba-tiba. Kecuali naiknya potassium
adalah sangat cepat, gejala-gejala dari hyperkalemia adalah biasanya tidak jelas
hingga tingkat-tingkat potassium yang sangat tinggi (secara khas 7.0 mEq/l atau
lebih tinggi). (Dawodu S, 2004)

Penyebab Hyperkalemia
Penyebab-penyebab utama dari hyperkalemia adalah disfungsi ginjal,
penyakit-penyakit dari kelenjar adrenal, penyaringan potassium yang keluar dari
sel-sel kedalam sirkulasi darah, dan obat-obat. (Dawodu S, 2004)

Disfungsi ginjal
Potassium nornmalnya disekresikan (dikeluarkan) oleh ginjal-ginjal, jadi
penyakit-penyakit yang mengurangi fungsi ginjal-ginjal dapat berakibat pada
hyperkalemia. Ini termasuk:

 gagal ginjal akut dan kronis,


 glomerulonephritis,
 lupus nephritis,
 penolakan transplant, dan
 penyakit-penyakit yang menghalangi saluran urin (kencing),
seperti urolithiasis (batu-batu dalam saluran kencing).
Lebih jauh, pasien-pasien dengan disfungsi-disfungsi ginjal terutama
adalah sensitif pada obat-obat yang dapat meningkatkan tingkat-tingkat
potassium darah. Contohnya, pasien-pasien dengan disfungsi-disfungsi ginjal
dapat mengembangkan perburukan hyperkalemia jika diberikan pengganti-
pengganti garam yang mengandung potassium, jika diberikan suplemen-
suplemen potassium (secara oral atau intravena), atau obat-obat yang dapat
meningkatkan tingkat- tingkat potassium darah. Contoh-contoh dari obat-obat
yang dapat meningkatkan tingkat-tingkat potassium darah termasuk:

 ACE inhibitors,
 Nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs),
 Angiotensin II Receptor Blockers (ARBs), dan

 Diuretics hemat potassium (lihat dibawah).


trauma, penyebab lain:
 Luka-luka bakar,
 Operasi,
 Hemolysis (disintegrasi atau kehancuran sel-sel darah merah),
 Massive lysis dari sel-sel tumor, dan
 Rhabdomyolysis (kondisi yang melibatkan kehancuran sel-sel otot
yang adakalanya dihubungkan dengan luka otot, alkoholisme, atau
penyalahgunaan obat).
Obat-Obat

Suplemen-suplemen potassium, pengganti-pengganti garam yang


mengandung potassium dan obat-obat lain dapat menyebabkan hyperkalemia
Pada individu-individu yang normal, ginjal-ginjal yang sehat dapat
beradaptasi pada pemasukan potassium oral yang berlebihan dengan
meningkatkan ekskresi potassium urin, jadi mencegah perkembangan dari
hyperkalemia. Bagaimanapun, memasukan terlalu banyak potassium (melalui
makanan-makanan, suplemen- suplemen, atau pengganti-pengganti garam yang
mengandung potassium) dapat menyebabkan hyperkalemia jika ada disfungsi
ginjal atau jika pasien meminum obat-obat yang mengurangi ekskresi potassium
urin seperti ACE inhibitors dan diuretics hemat potassium. (Dawodu S, 2004)

Contoh-contoh dari obat-obat yang mengurangi ekskresi potassium urin termasuk:

 ACE inhibitors,
 ARBs,
 NSAIDs,
 Diuretics hemat potassium seperti:
o Spironolactone (Aldactone),
o Triamterene (Dyrenium), dan
o Trimethoprim-sulfamethoxazole (Bactrim).
Meskipun hyperkalemia yang ringan adalah umum dengan obat-obat ini, hyperkalemia yang
parah biasanya tidak terjadi kecuali obat-obat ini diberikan pada pasien-pasien dengan
disfungsi ginjal. (Dawodu S, 2004)
BAB III
ANALISIS KASUS

Pasien datang dengan keluhan dada berdebar yang dirasakan sejak 3 hari SMRS dan sesak
napas. Dada berdebar dan sesak napas memberat dengan aktivitas dan sedikit membaik dengan
istirahat. Pasien mengeluhkan berdebar – debar. Terdapat perbedaan kecepatan heart rate dan nadi
(disebut Pulsus defisit) merupakan tanda yang khas pada pasien dengan fibrilasi atrium. Fibrilasi
Atrium merupakan takiaritmia supraventrikuler yang ditandai dengan aktivasi atrium yang tidak
terkoordinasi. Pada elektrokardiogram FA menunjukkan gelombang P yang digantikan oleh
gelombang getar (fibrilasi) yang bervariasi bentuk, durasi dan amplitudo yang dapat diikuti dengan
respon ventrikel yang ireguler (PERKI, 2014).
Pasien juga mengeluhkan sesak. Sesak nafas merupakan gejala yang sering ditemukan pada
pasien dengan gangguan sirkulasi dan respirasi. Sesak nafas karena gangguan sirkulasi, disebabkan
oleh adanya edema paru (seperti pada pasien dengan gagal jantung kongestif), dimana pasien
biasanya mengeluhkan sesak memberat saat berbaring. Hal ini sesuai bahwa pasien menggunakan
1 bantal ketika tidur (Schwartzstein, 2015).
Pasien memiliki riwayat penyakit jantung dengan MS Severe dan MR Moderate TR Mild
Thrombus (+) di LAA EF 53-77%. Terapi rutin pasien furosemide 1x40 mg, bisoprolol 1x5 mg,
spironolakton 1x 25 mg, simarc 2 mg 0-0-1, candersatan 1x16mg.
Pada pemeriksaan tanda vital, ditemukan tekanan darah pasien 98/74 mmHg, heart rate
sebesar 80 kpm dan denyut nadi sebesar 73 kpm. Terjadinya perbedaan heart rate dan nadi
berkaitan dengan berkurangnya preload akibat tidak efektifnya kontraksi atrium pada fibrilasi
atrium. Kontraksi fibril pada atrium hanya mampu menyebabkan kontraksi ventrikel namun kurang
untuk mencapai cardiac output yang dibutuhkan. Palpitasi merupakan manifestasi klinis yang
umum dijumpai pada fibrilasi atrium, dan terjadi akibat berkurangnya volume darah yang dialirkan
atrium ke ventrikel, sehingga terjadi mekanisme kompensasi oleh ventrikel berupa peningkatan
heart rate untuk mempertahankan stroke volume (Mawatari K et al., 1998; PERKI, 2014). Pada
pemeriksaan leher, ditemukan peningkatan JVP, yang menunjukan adanya akumulasi volume
darah berlebih di atrium kanan (Bickley, 2013). Pada perkusi jantung didapatkan batas jantung
kesan melebar. Hal ini dapat menunjukan adanya cardiomegaly, namun perlu dikonfirmasi dengan
pemeriksaan rongent dada. Pada auskultasi jantung, ditemukan S1 dan S2 dengan intensitas
bervariasi, irregular, menunjukan adanya kelainan pada kontraksi ventrikel. Adanya bising pada
fase sistolik di SIC V linea midclaviculae dan linea parastrenalis sisnistra menunjukan kelainan
pada penutupan (regurgitasi) katup atrioventrikularis (mitral dan trikuspid) (Dimattia, 2003;
Bickley 2013).
Regurgitasi katup mitral sering ditemukan pada pasien dengan LVH, baik sebagai sebab,
maupun akibat. Adanya regurgitasi mitral menjadikan tekanan dalam ventrikel kiri berkurang,
sehingga cardiac output berkurang. Ventrikel kiri mengompensasi hal tersebut dengan
meningkatkan kontraktilitas, yang jika berlangsung terus menerus dapat menyebabkan hipertrofi.
(Symons, et al., 2001) Sebaliknya, adanya hipertrofi ventrikel kiri dapat juga mengakibatkan
gangguan penutupan katup mitral. Hal ini berkaitan dengan pelebaran anulus mitral (Ennezat et al.,
2013). Pada auskultasi paru, terdengar RBH di 1/3 lapang paru yang menunjukan adanya akumulasi
cairan di parenkim paru (Bohandara A, 2017). Regurgitasi katup trikuspid biasanya dikaitkan
dengan hipertrofi ventrikel kanan yang mengakibatkan pelebaran valve’s ring-like base. Keadaan
ini dipat terjadi akibat peningkatan tekanan darah pulmonal, dan kelain pada jantung kiri (Harris
C, 2017).
Pasien menderita kelainan katup akibat penyakit jantung rematik yang dideritanya, yaitu
antara lain MS Severe, MR Moderate, dan TR mild. Mitral Stenosis severe merupakan kondisi
dimana terjadi hambatan aliran darah dari atrium kiri ke ventrikel kiri pada fase diastolik akibat
penyempitan katup mitral dengan derajat berat. Diklasifikasikan MS berat karena Mitral Valve
Area (MVA) < 1 cm2. Gejala yang muncul akibat MS ini adalah dispneu, kelelahan, palpitasi.
Sesuai dengan yang dikeluhkan pasien. Mitral regurgitasi moderate memungkikan aliran darah
berbalik dari ventrikel kiri ke atrium kiri akibat penutup katup yang tidak sempurna selama sistolik
ventrikel dengan derajat sedang. Sehingga kerja ventrikel kiri harus ditambahkan untuk
mempertahankan curah jantung. Pasien dengan NYHA II yang berarti bahwa pasien merasakan
sakit apabila melakukan aktifitas yang berat. Merasa nyaman saat istirahat. Hasil aktivitas normal
fisik kelelahan
Pada EKG ditemukan kelainan berupa irama Atrial Fibrilasi Normo VR, HR 82x dan
normoaxis. Pada hasil rontgent thoraks PA, ditemukan:
1. Cardiomegaly dengan konfigurasi RVH RAH LAH disertai dengan hipertensi pulmonal 
mengonfirmasi pembesaran jantung pada perkusi batas jantung.
2. Efusi pleura bilateral minimal  mengkonfirmasi ronki basah halus pada auskultasi.
Hasil pemeriksaan laboratorium darah ditemukan hipontremia dan hipokalemia. Adanya
hipokalemia dapat menjadi factor pencetus munculnya fibrilasi atrium. Pemberian furosemid
bertujuan mengurangi sesak akibat edema paru. Pasien mendapat terapi Spironolakton 1x25 mg,
PMP 2x250 mg untuk penyakit jantung rematik, Ramipril 1x10 mg, Furosemid 1x40 mg,
Bisoprolol 1x10 mg.
Daftar Pustaka
ACCF/AHA Pocket Guidelne. 2011. Management of Patients With Atrial
Fibrillation. American: American College of Cardiology Foundation
and American Heart Association. www.heart.org

Anderson, S., & Anderson, K. (2015). Heart Failure. Dalam Lippincott Illustrated
Reviews Pharmacology (hlm. 255–267). Philadelphia: Lippincott
Williams and Wilkins.

Anderson, S., & Hendrickson, A. (2015). Antiarrhythmics. Philadelphia: Lippincott


Williams and Wilkins.

Benowitz, N. (2018). Antihypertensive Agents. Philadelphia: McGraw Hill.

Böhm, M., & Maack, C. (2000). Treatment of heart failure with beta-blockers.
Mechanisms and results. Basic Research in Cardiology, 95 Suppl 1,
I15-24.

Camm AJ, Lip G.Y.H, Caterina D.R, et al. 2012 focused update of the ESC
Guidelines for the management of atrial fibrillation. European Heart
Journal (2012) 33, 2719–2747 doi:10.1093/eurheartj/ehs253

Chuchum S. 2010. Cara Praktis Membaca Elektrokardiogram EKG. Jakarta: Surya


Gemilang

Crouch MA, Didomenico RJ, Rodgers JE. 2007. Applying consensus guidelines in
the management of acute decompensated heart failure. ACPE Program
#204-000-06-407-H01. Bethesda, MD: ASHP Advantage.

ECC Committee. (2005). Part 10.1: Life-Threatening Electrolyte Abnormalities.


Circulation, 112(24), IV-121-IV–125.
https://doi.org/10.1161/CIRCULATIONAHA.105.166563

Felker, G. M., & Mentz, R. J. (2012). Diuretics and Ultrafiltration in Acute


Decompensated Heart Failure. Journal of the American College of
Cardiology, 59(24), 2145–2153.
https://doi.org/10.1016/j.jacc.2011.10.910

Felker, G. M., O’Connor, C. M., & Braunwald, E. (2009). Loop Diuretics in Acute
Decompensated Heart Failure: Necessary? Evil? A Necessary Evil?
Circulation. Heart failure, 2(1), 56–62.
https://doi.org/10.1161/CIRCHEARTFAILURE.108.821785

Galdo AJ, Riggs AR, Morris AL. 2013. Acute Decompensated Heart Failure.
https://www.medscape.com/viewarticle/780685_1 diakses pada 12
Juni 2019
Gheorghiade, M., Colucci, W. S., & Swedberg, K. (2003). β-Blockers in Chronic
Heart Failure. Circulation, 107(12), 1570–1575.
https://doi.org/10.1161/01.CIR.0000065187.80707.18

Guyton & Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta: EGC.

Herdman, Heather. 2010. NANDA Internasional Diagnosis Keperawatan: Definisi


dan Klasifikasi 2009-2011. Jakarta: EGC.

Joseph SM, Cedars AM, Ewald GA, et al. 2009. Acute decompensated heart failure:
contemporary medical management. Tex Heart Inst J.36:510–520.

Katzung, B. (2018). Drugs Used in Heart Failure. Dalam Basic and Clinical
Pharmacology (hlm. 212–227). Philadelphia: McGraw Hill.

Kirchhof, P., Benussi, S., Kotecha, D., Ahlsson, A., Atar, D., Casadei, B., …
Zeppenfeld, K. (2016). 2016 ESC Guidelines for the management of
atrial fibrillation developed in collaboration with EACTS. European
Heart Journal, 37(38), 2893–2962.
https://doi.org/10.1093/eurheartj/ehw210

Ladage, D., Schwinger, R. H. G., & Brixius, K. (2013). Cardio-Selective Beta-


Blocker: Pharmacological Evidence and Their Influence on Exercise
Capacity. Cardiovascular Therapeutics, 31(2), 76–83.
https://doi.org/10.1111/j.1755-5922.2011.00306.x

Lilly, LS. 2011. Pathophisiology of Heart Disease, 5th:China 287-288

McMurray, J. J. V., Adamopoulos, S., Anker, S. D., Auricchio, A., Bohm, M.,
Dickstein, K., … Ponikowski, P. (2012). ESC Guidelines for the
diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure 2012.
European Heart Journal, 33(14), 1787–1847.
https://doi.org/10.1093/eurheartj/ehs104

Morady F, Zipes D. 2012. Atrial Fibrillation : Clinical Features, Mechanism, and


Management. In: Braunwald’s Heart Disease. 9th ed. Philadelphia;
Saunders.p.825-36.

Muttaqin, Arif. 2009. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem


Kardiovaskular dan Hematologi. Jakarta: EGC.

Palazzuoli, A., Pellegrini, M., Ruocco, G., Martini, G., Franci, B., Campagna, M.
S., … Ronco, C. (2014). Continuous versus bolus intermittent loop
diuretic infusion in acutely decompensated heart failure: a prospective
randomized trial. Critical Care, 18(3), 2–10.
https://doi.org/10.1186/cc13952

Page, RL. 2004. Newli diagnosed Atrial Fibrillation, The new England Journal of
Medicine;351:2408-16
Palmer, B. F. (2015). Regulation of Potassium Homeostasis. Clinical
Journal of the American Society of Nephrology, 10(6),
1050–1060. https://doi.org/10.2215/CJN.08580813

PERKI. (2014). Pedoman Tata Laksana Fibrilasi Atrium. Jakarta:


Centra Communications.

Pinto DS, Lewis S. 2012. Evaluation of acute decompensated heart


failure. In: Basow DS, ed. UpToDate. Waltham, MA:
UpToDate.
Pinto DS, Lewis S. 2012. Pathophysiology of acute
decompensated heart failure.In: Basow DS, ed.
UpToDate. Waltham, MA: UpToDate.

Robertson, D., & Biaggioni, I. (2018). Adrenoceptor Antagonist Drugs.


Philadelphia: McGraw Hill.

Sam, R., Ives, H., & Pearce, D. (2018). Diuretic Agents.


Philadelphia: McGraw Hill.

Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal


Bedah Brunner & Suddarth Vol 2.Edisi 8. Jakarta:
EGC.

Sudoyo Aru W, Setiyohadi B, Alwi I, et al . 2006. Buku Ajar Ilmu


Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi V. FKUI. Jakarta, Hal
1583-1679

Syarifuddin.2006. Anatomi Fisiologi untuk Mahasiswa Keperawatan.Edisi


3. Jakarta: EGC.

Van Meyel, J. J., Smits, P., Dormans, T., Gerlag, P. G., Russel, F.
G., & Gribnau, F. W. (1994). Continuous infusion of
furosemide in the treatment of patients with congestive
heart failure and diuretic resistance. Journal of Internal
Medicine, 235(4), 329–334.

Wahab, Samik A. 2009. Kardiologi Anak: Penyakit Jantung


Kongenital yang Tidak Sianotik. Jakarta: EGC.

Wilkinson, Judith M. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan


denga Intervensi NIC dan Kriteria Hasil NOC. Jakarta:
EGC.

Zehnder, J. (2018). Drugs Used in Disorders of Coagulation.


Philadelphia: McGraw Hill.

Anda mungkin juga menyukai