Anda di halaman 1dari 18

REFERAT

RINITIS MEDIKAMENTOSA

PEMBIMBING:

dr. MARKUS RAMBU, Sp.THT-KL


OLEH:
ANAK AGUNG GDE AGUNG ADISTAYA
H1A011001

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK


MADYA BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT THT-KL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
RUMAH SAKIT UMUM PROPINSI NTB
2016
0

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.. 1
BAB I: PENDAHULUAN. 2
BAB II: ANATOMI DAN FISIOLOFI HIDUNG.. 3
BAB III: RINITIS MEDIKAMENTOSA 11
BAB IV: PENUTUP.. 16
DAFTAR PUSTAKA 17

BAB I
PENDAHULUAN
Rinitis adalah kondisi terjadinya inflamasi pada mukosa hidung yang
menimbulkan gejala seperti hidung tersumbat, gatal, dan berair. Rinitis dapat
dibedakan berdasarkan penyebabnya menjadi kondisi alergi dan non-alergi.
Rinitis non-alergi merupakan rinitis yang disebabkan oleh faktor pemicu tertentu
yang bukan merupakan alergen. Rinitis non-alergi dapat dibagi menjadi rinitis
infeksi dan non-infeksi. Rinitis infeksi dapat disebabkan virus, bakteri, maupun
jamur. Sedangkan rinitis non-infeksi terdiri dari rinitis idiopatik, okupasi,
hormonal, drug-induced, makanan, emosional, atrofi, dan refluks gastroesofageal
(GERD).1,2
Rinitis drug-induced merupakan rinitis yang dapat diakibatkan pemakaian
obat oral ataupun topikal. Namun karena patofisiologinya berbeda, penggunaan
istilah untuk rinitis drug-induced lebih tepat untuk rinitis yang disebabkan
penggunaan obat secara oral. Sedangkan pemakaian obat topikal dikatakan rinitis
medikamentosa.3
Rinitis medikamentosa dikenal juga dengan rebound rhinitis atau rinitis
kimia karena menggambarkan kongesti mukosa hidung yang diakibatkan
penggunaan vasokontriksi topikal yang berlebihan.3
Mukosa hidung merupakan organ yang sangat peka terhadap rangsangan
sehingga

dalam

penggunaan

vasokontriktor

topikal

harus

berhati-hati.

Vasokontriktor hidung diisolasi pertama kali pada tahun 1887 dari ma-huang yaitu
tanaman yang mengandung efedrin dan digunakan sebagai vasokontriktor topikal
pada mukosa hidung dalam bentuk inhalasi, minyak, semprot dan tetes.3,4
Rinitis medikamentosa merupakan salah satu kelainan hidung non alergi
yang dapat mengganggu dan membuat penderita datang berobat ke dokter. Oleh
karena itu pada makalah ini akan dibahas tentang definisi, etiologi, patofisiologi,
gejala, diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi, serta prognosis dari rinitis
medikamentosa.1,2,3,4

BAB II
ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG
2.1.

Anatomi Hidung
Hidung terdiri dari hidung bagian luar atau piramid hidung dan rongga

hidung dengan perdarahan dan persarafannya, serta fisiologi hidung. Hidung luar
berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah:5,6
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Pangkal hidung (bridge)


Dorsum nasi
Puncak hidung
Ala nasi
Kolumela
Lubang hidung

Gambar 2.1 Hidung bagian luar 8

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi
oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan
dan menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari:5,6
1. Tulang hidung (os nasalis)
2. Prosesus frontalis os maksilla
3. Prosesus nasalis os frontalis
Sementara itu, kerangka tulang rawan terdiri atas beberapa pasang tulang
rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu:5,6
1. Sepasang kartilago nasalis lateralis superior
3

2. Sepasang kartilago nasalis lateralis inferior (kartilago alar mayor)


3. Kartilago alar minor
4. Tepi anterior kartilago septum
Prosesus
nasalis
os
frontalis

Gambar 2.2. Kerangka hidung8

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan


kebelakang, dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya menjadi kavum nasi
kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares
anterior

dan

lubang

belakang

disebut

nares

posterior

(koana)

yang

menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring. Bagian dari kavum nasi yang
letaknya sesuai ala nasi, tepat dibelakang nares anterior, disebut dengan
vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang banyak kelenjar sebasea dan
rambut-rambut panjang yang disebut dengan vibrise.5,6
Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding medial, lateral,
inferior dan superior.3,4,5 Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum nasi ini
dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah lamina
perpendikularis os ethmoid, vomer, krista nasalis os maksilla, krista nasalis os
palatina. Bagian tulang rawan adalah kartilago septum (lamina kuadrangularis)
dan kolumela. Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan
periostium pada bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi pula oleh mukosa
hidung.5,6

Gambar 2.3 Dinding medial hidung8

Bagian depan hidung sisi lateral memiliki permukaan licin, yang disebut
agar nasi dan dibelakangnya terdapat konka-konka yang mengisi sebagian besar
dinding lateral hidung. Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Konka
superior, konka media, konka inferior dan konka suprema. Yang terbesar dan
letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil adalah
konka media, yang lebih kecil lagi konka superior, sedangkan yang terkecil ialah
konka suprema dan konka suprema biasanya rudimenter.5,6

Gambar 2.4 Dinding lateral rongga hidung8

Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila


dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan
bagian dari labirin etmoid.5 Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung
terdapat rongga sempit yang disebut meatus. Berdasarkan letaknya, ada 3 meatus
5

yaitu meatus inferior, medius dan superior. Meatus inferior terletak di anatara
konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada
meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis.5,6
Meatus medius terletak diantara konka media dan dinding lateral rongga
hidung. Pada meatus medius terdapat bula etmoid, prosesus usinatus, hiatus
semilunaris dan infundibulum etmoid. Hiatus semilunaris merupakan suatu celah
sempit melengkung dimana terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus
etmoid anterior.5
Pada meatus superior yang merupakan ruang di antara konka superior dan
konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid. Dinding
inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksilla dan os
palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh
lamina kribriformis yang memisahkan rongga tengkorak dan rongga hidung.5
Bagian atas rongga hidung mendapat perdarahan dari a. etmoid anterior
dan posterior yg merupakan cabang a. oftalmika (cabang dari a. karotid interna).
Bagian bawah rongga hidung mendapat perdarahan dari cabang a. maksilaris
interna, yaitu a. palatina mayor dan a. sfenopalatina yang keluar dari foramen
sfenopalatina bersama n. sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang
ujung posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat perdarahan dari
cabang-cabang arteri fasialis.5

Gambar 2.5 Perdarahan hidung8

Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.


sfenopalatina, a. etmoid anterior, a. labialis superior, a. palatina mayor, yang
disebut Pleksus Kiesselbach (Littles area). Pleksus Kiesselbach letaknya
superfisial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber
epitaksis, terutama anak-anak.5
Vena-vena hidung berjalan berdampingan dengan arteri. Vena di
vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v. oftalmika yg berhubungan
dengan sinus kavernosus. Vena-vena dihidung tidak memiliki katup, sehingga
merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai
intrakranial.5
Mukosa hidung
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional
dibagi atas mukosa pernapasan (mukosa respiratorius). Mukosa pernapasan
terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan permukaaannya dilapisi oleh
epitel torak berlapis semu yang mempunyai silia (ciliated peudostratified
collumner epithelium) dan di antaranya terdapat sel-sel goblet. Mukosa penghidu
terdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga hidung bagaian
atas tersusun atas epitel berlapis semu tidak bersilia (pseudostratified collumner
non ciliated epithelium) yang dibentuk oleh tiga macam sel, yaitu sel, penunjang,
sel basal dan sel reseptor penghidu. Daerah mukosa penghidu berwarna coklat
kekuningan. Pada bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih tebal
dan kadang-kadang terjadi metaplasia, menjadi sel epitel skuamosa. Dalam
keadaan normal mukosa respiratori berwarna merah muda dan selalu basah karena
diliputi oleh palut lendir (mucous blanket) pada permukaannya. Di bawah epitel
terdapat tunika propria yang banyak mengandung pembuluh darah, kelenjar
mukosa dan jaringan limfoid. Pembuluh darah pada mukosa hidung mempunyai
susunan yang khas. Arteriol terletak pada bagian yang lebih dalam dari tunika
propria dan tersusun secara paralel dan longitudinal. Arteriol ini memberikan
pendarahan pada anyaman kapiler perglanduler dan sub epitel. Pembuluh eferen
dari anyaman kapiler ini membuka ke rongga sinusoid vena yang besar yang
7

dindingnya dilapisi oleh jaringan elastik dan otot polos. Pada bagian ujungnya
sinusoid mempunyai otot sfingter. Selanjutnya sinusoid akan mengalirkan
darahnya ke pleksus vena yang lebih dalam lalu ke venula. Dengan susunan
demikian mukosa hidung menyerupai jaringan kavernosa yang erektil, yang
mudah mengembangkan dan mengerut. Vasodilatasi dan vasosonstriksi pembuluh
darah ini dipengaruhi oleh saraf otonom.5,7,8
Sistem transpor mukosilier
Sistem transpor mukosilier merupakan sistem pertahanan aktif rongga
hidung terhadap virus, bakteri, jamur atau partikel berbahaya lain yang terhirup
bersama udara. Efektivitas sistem transpor mukosilier dipengaruhi oleh kualitas
silia dan palut lendir. Palut lendir ini dihasilkan oleh sel-sel goblet pada epitel dan
kelenjar seromusinosa submukosa. Bagian bawah dari palut lendir terdiri dari
cairan serosa sedangkan bagian permukaan banyak mengandung protein plasma
seperti albumin, IgG, IgM dan faktor komplemen. Sedangkan cairan serosa
mengandung laktoferin, lisozim, inhibitor lekoprotease sekretorik, dan IgA
sekretorik (s-IgA).5
Glikoprotein yang dihasilkan oleh sel mukus penting untuk pertahanan
lokal

yang

bersifat

antimikrobial.

IgA berfungsi

untuk

mengeluarkan

mikroorganisme dari jaringan dengan mengikat antigen tersebut pada lumen


saluran napas, sedangkan IgG beraksi didalam mukosa dengan memicu reaksi
inflamasi jika terpajang dengan antigen bakteri. Pada sinus maksila, sistem
transpor mukosilier menggerakkan sekret sepanjang dinding anterior, medial,
posterior dan lateral serta atap rongga sinus membentuk gambaran halo atau
bintang yang mengarah ke ostium alamiah. Setinggi ostium, sekret akan lebih
kental tetapi drainasenya lebih cepat untuk mencegah tekanan negatif dan
berkembangnya infeksi. Kerusakan mukosa yang ringan tidak akan menghentikan
atau mengubah transpor, dan sekret akan melewati mukosa yang rusak terebut.
Tetapi jika sekret lebih kental, sekret akan terhenti pada mukosa yang mengalami
defek.5
Gerakan sistem transpor mukosilier pada sinus frontal mengikuti gerakan
spiral. Sekret akan berjalan menuju septum interfrontal, kemudian keatap, dinding
8

lateral dan bagian inferior dari dinding anterior dan posteror menuju area frontal.
Gerakan spiral menuju ke ostiumnya terjadi pada sinus sphenoid, sedangkan pada
sinus etmoid terjadi gerakan rektilinear jika ostiumnya terletak di dasar sinus atau
gerakan spiral jika ostium terdapat pada salah satu dindingnya.5
Pada dinding lateral terdapat 2 rute besar transpror mukosilier. Rute
pertama merupakan gabungan sekresi sinus frontal, maksila dan etmoid anterior.
Sekret ini biasanya bergabung di dekat infundibulum etmoid selanjutnya
berjalalan menuju tepi bebas prosesus unsinatus, dan sepanjang dinding medial
konka inferior menuju nasofaring melewati bagian antero inferior orifisium tuba
Eustachius. Transpor aktif berlanjut ke batas epitel bersilia dan epitel skuamosa
pada nasofaring, selanjutnya jatuh ke bawah dibantu dengan gaya gravitasi dan
proses menelan.5
Rute kedua merupakan gabungan sekresi sinus etmoid posterior dan
sphenoid yang bertemu di resesus sfenoetmoid dan menuju nasofaring pada bagian
posterosuperior orifisium tuba Eustachius. Sekret yang berasal dari meatus
superior dan septum akan bergabung dengan sekret rute pertama, yaitu di inferior
dari tuba Eustachius. Sekret pada septum akan berjalan vertikal ke arah bawah
terlebih dahulu kemudian ke belakang dan menyatu di bagian inferior tuba
Eustachius.5
2.2.

Fisiologi Hidung
Fungsi hidung adalah:5

1.

Fungsi respirasi
Udara inspirasi masuk ke hidung menuju sistem respirasi melalui nares
anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke
bawah kearah nasofaring. Aliran udara di hidung ini berbentuk lengkungan
atau arkus.5
Udara yang dihirup akan mengalami humidifikasi oleh palut lendir.
Pada musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, sehingga terjadi
sedikit penguapan udara inspirasi oleh palut lendir, sedangkan pada musim
dingin akan terjadi sebaliknya.5

Suhu udara yang melalui hidung diatur sehingga berkisar 37 derajat


Celcius. Fungsi pengatur suhu ini dimungkinkan oleh banyaknya
pembuluh darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum
yang luas.5
Partikel debu, virus, bakteri dan jamur yang terhirup bersama udara
akan disaring di hidung oleh a) rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi, b)
silia, c) palut lendir. Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir dan
partikel-partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin.5
2. Funsi Penghidu
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dan pengecap dengan
adanya mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan
sepertiga bagian atas septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini
dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik nafas dengan
kuat.5
Fungsi hidung untuk membantu indra pengecap adalah untuk
membedakan rasa manis yang berasal dari berbagai macam bahan seperti
perbedaan rasa manis strawberi, jeruk, pisang, atau coklat. Juga untuk
membedakan rasa asam yang berasal dari cuka dan asam jawa.5
3. Fungsi fonetik
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara
dan menyanyi. Sumbatan hidung akan menebabkan resonansi berkurang
atau hilang sehinga terdengar suara sengau (rinolalia).5
Hidung membantu proses pembentukan kata-kata. Kata dibentuk oleh
lidah, bibir, dan palatum mole. Pada pembentukan konsonan nasal (m, n,
ng) rongga mulut tertutup dan hidung terbuka, palatum mole turun untuk
aliran udara.5
4. Refleks Nasal
Mukosa hidung merpakan reseptor refleks yang berhubungan dengan
saluran cerna, kardiovaskular dan pernapasan. Misalnya, iritasi mukosa
hidung menyebabkan refleks bersin dan napas terhenti. Rangsang bau
tertentu menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung, dan pankreas.5
BAB III
RINITIS MEDIKAMENTOSA
10

3.1.

Definisi
Rinitis medikamentosa adalah suatu kelainan hidung berupa gangguan

respon normal vasomotor yang diakibatkan oleh pemakaian vasokonstriktor


topikal (tetes hidung atau semprot hidung) dalam waktu lama dan berlebihan,
sehingga menyebabkan sumbatan hidung yang menetap. Dapat dikatakan bahwa
hal ini disebabkan oleh pemakaian obat yang berlebihan (drug abuse).9,10
3.2.

Epidemiologi
Angka kejadian pada kasus ini sama antara pria dan wanita tetapi lebih

sering pada usia dewasa muda dan pertengahan. Insidensi penyakit ini dilaporkan
sekitar 1-7%.3
3.3.

Etiologi
Penyakit rinitis medikamentosa disebabkan oleh pemakaian obat

vasokonstriktor topikal. Obat ini sebaiknya isotonik dengan sekret hidung yang
normal, dengan pH antara 6,3 dan 6,5, serta pemakaiannya tidak lebih dari satu
minggu. Jika tidak, akan terjadi kerusakan pada mukosa hidung berupa:2,5,9,10
1. Silia rusak
2. Sel goblet berubah ukurannya
3. Membran basal menebal
4. Pembuluh darah melebar
5. Stroma tampak edema
6. Hipersekresi kelenjar mukus
7. Lapisan submukosa dan periostium menebal
Tabel 3.1. Dekongestan yang menyebabkan rinitis medikamentosa

Simpatomimetik Amin
Amfetamin

Imidazolines
Klonidin

Benzedrine

Naphazolin

Kafein

Oxymetazolin

Ephedrin

Xylometazolin

11

Mescalin

Phenylephrin

Phenylpropanolamin

Pseudoephedrin

3.4.

Faktor predisposisi
Pasien dengan riwayat rinitis alergika, rinitis non-alergi, sinusitis akut,

sinusitis kronis, poliposis hidung, rinitis sekunder akibat kehamilan, rinitis akibat
septum deviasi dan obstruksi, dan otitis media.
3.5.

Patofisiologi
Kongesti mukosa cavum nasi diakibatkan rangsangan dari saraf simpatis,

parasimpatis, serabut saraf C, dan saraf nonadrenergik nonkolinergik (NANC).


Saraf simpatis melepaskan norepinefrin yang akan mengikat prejunctional dan
postjunctional 1 dan 2. Saraf parasimpatis melepaskan asetilkolin dan vasoactive
intestinal peptide (VIP) yang masing-masing mengakibatkan peningkatan sekresi
dan vasodilatasi. Serabut saraf C mengandung substansi P, neurokinin A, dan
kalsitonin yang mengakibatkan vasokonstriksi. Saraf NANC menyebabkan
rinorea, bersin, dan kongesti.3
Selain perangsangan saraf diatas, kongesti nasi bisa diakibatkan agen
inflamator lokal. Inflamator lokal yang dimaksud antara lain sel mast, eosinophil
dan basophil dengan mengeluarkan histamine, triptase, kinin, prostaglandin, dan
leukotriene.3
Mukosa hidung merupakan organ yang sangat peka terhadap rangsangan
atau iritan, sehingga harus berhati-hati memakai topikal vasokonstriktor. Obat
topikal vasokonstriktor dari golongan simpatomimetik akan menyebabkan siklus
nasi terganggu dan akan berfungsi normal kembali apabila pemakaian obat itu
dihentikan.9
Pemakaian topikal vasokonstriktor yang berulang dan dalam waktu lama
akan menyebabkan terjadinya fase dilatasi berulang (rebound dilatation) setelah
vasokonstriksi, sehingga timbul gejala obstruksi. Adanya gejala obstruksi ini
menyebabkan pasien lebih sering dan lebih banyak lagi memakai obat tersebut.

12

Pada keadaan ini ditemukan kadar agonis alfa-adrenergik yang tinggi di mukosa
hidung. Hal ini akan diikuti dengan penurunan sensitivitas reseptor alfaadrenergik di pembuluh darah sehingga terjadi suatu toleransi. Aktivitas dari tonus
simpatis yang menyebabkan vasokonstriksi (dekongesti mukosa hidung)
menghilang. Akan terjadi dilatasi dan kongesti jaringan mukosa hidung. Keadaan
ini disebut juga sebagai rebound congestion.9
Kerusakan yang terjadi pada mukosa hidung pada pemakaian obat tetes
hidung dalam waktu lama ialah: 1) silia rusak, 2) sel goblet berubah ukurannya, 3)
membran basal menebal, 4) pembuluh darah melebar, 5) stroma tampak edema, 6)
hipersekresi kelenjar mukus dan perubahan pH sekret hidung, 7) lapisan
submukosa menebal, dan 8) lapisan periosteum menebal.9
3.6.

Gejala klinis
Keluhan utama pasien adalah hidung tersumbat secara terus menerus tanpa

mengeluarkan sekret. Penampakan pada pemeriksaan fisik bagi rinitis


medikamentosa tidak jauh bedanya dengan infeksi atau rinitis alergi. Mukosa
hidung kelihatan kemerahan (beefy-red) dengan area bercak pendarahan dan
sekret yang minimal atau edema. Selain itu juga, mukosanya bisa tampak pucat
dan edema, juga bisa menjadi atrofi dan berkrusta disebabkan penggunaan
dekongestan hidung dalan jangka waktu yang lama seperti pada pasien rinitis
alergi, asma, dan sinusitis kronis. Gejala lainnya pasien mendengkur, bernafas
lewat mulut, insomnia, dan sakit tenggorokan.3,4,5,9,10
3.7.

Diagnosis
Kriteria bagi diagnosis rinitis medikamentosa adalah:1,2 3,4,5

Riwayat pemakaian vasokontriktor topikal seperti obat tetes hidung atau


obat semprot hidung dalam waktu lama dan berlebihan.

Obstruksi hidung yang berkelanjutan (kronik) tanpa pengeluaran sekret


atau bersin.

Ditemukan mukosa hidung yang menebal pada pemeriksaan fisik.


Rinitis medikamentosa sering terjadi disebabkan oleh kondisi medis

lainnya yang menyebabkan penggunaan dekongestan. Jadi, penting untuk


menjalankan beberapa pemeriksaan lainnya untuk mengidentifikasi kondisi medis
13

lainnya yang berpotensi untuk diobati. Di antara pemeriksaannya adalah uji tusuk
bagi pasien yang mempunyai riwayat rinitis alergi, uji aspirin bagi pasien yang
mempunyai trias ASA (rinosinusitis kronis, polip nasi, asma bronkial derajat
berat) dan pemeriksaan rinoskopi untuk mengidentifikasi deviasi septum,
abnormalitas struktur anatomi dan juga polip hidung.1,2 3,4,5
3.8.

Penatalaksanaan
Untuk mengobati rinitis medikamentosa dapat dilakukan hal-hal berikut

ini:9
-

Dinasihatkan agar segera dihentikan penggunaan obat tetes atau semprot


vasokonstriktor hidung. Pasien juga harus diberi edukasi mengenai
keluhan yang dialami dan diberikan pengobatan alternatif lainnya untuk
menggantikan obat yang menyebabkan terjadinya sumbatan hidung pada
pasien.9

Untuk mengatasi sumbatan berulang (rebound congestion), dapat


diberikan kortikosteroid topikal selama minimal 2 minggu untuk
mengembalikan proses fisiologik mukosa hidung. Dapat juga dengan
pemberian kortikosteroid oral dosis tinggi jangka pendek dan dosis
diturunkan secara bertahap (tapering off) dengan menurunkan dosis
sebanyak 5 mg setiap hari, (misalnya hari 1: 40 mg, hari 2: 35 mg dan
seterusnya).9

Obat dekongestan oral (biasanya mengandung pseudoefedrin).9


Apabila dengan cara ini tidak ada perbaikan setelah 3 minggu, pasien

sebaiknya ditindaklajuti dengan terapi kauterisasi (kyroterapi) dan pembedahan


(reseksi dan laser).9
3.9.

Komplikasi
. Komplikasi yang dapat terjadi adalah hiperplasia menetap, perforasi

septum, rinitis atropi dan infeksi sinus.3


3.10.

Prognosis
Penelitian menunjukkan bahwa hampir semua pasien bisa menghentikan

penggunaan obat tetes hidung dan akhirnya menunjukkan penyembuhan yang


14

sempurna. Bagi yang tetap menggunakan obat tersebut, fenomena rebound


congestion ini akan tetap berlangsung selagi pasien tidak menghentikan
pengobatan tersebut.3

15

BAB IV
PENUTUP

Rinitis medikamentosa merupakan suatu kelainan hidung berupa gangguan


respons normal vasomotor yang diakibatkan oleh pemakaian vasokonstriktor
topikal (tetes hidung atau semprot hidung) dalam waktu lama dan berlebihan,
sehingga menyebabkan sumbatan hidung yang menetap. Hal ini sering disebut
sebagai rebound congestion. Penggunaan vasokonstriktor topikal sebaiknya paling
lama selama 1 minggu karena dapat menimbulkan silia rusak, sel goblet berubah
ukurannya, membran basal menebal, pembuluh darah melebar, stroma tampak
edema, hipersekresi kelenjar mukus, dan lapisan submukosa dan periostium
menebal.
Gejala dari penyakit ini mirip dengan rinitis lainnya seperti mukosa
hiperemis, edema, atau pucat, hidung tersumbat secara terus menerus tetapi tanpa
mengeluarkan sekret.
Sesuai dengan definisinya, pada penegakan rinitis medikamentosa harus
ditemukan riwayat penggunaan obat vasokonstriktor topikal (dekongestan) jangka
panjang yang biasanya terjadi pada pasien rinitis alergi, asma, dan sinusitis kronis.
Selain itu, dapat ditemukan mukosa hidung yang menebal dan obstruksi hidung
tanpa pengeluaran sekret.
Penatalaksanaan pada pasien ini antara lain dengan menghentikan
penggunaan obat penyebab dari gejala yang dialami, kemudian dapat diganti
dengan obat golongan lainnya atau dengan sediaan yang berbeda. Dapat diberikan
kortikosteroid dosis tinggi jangka pendek serta dekongestan oral. Penggunaan
yang terus menerus ini dapat merusak struktur hidung yang lebih dalam sehingga
mengakibatkan hyperplasia menetap, perforasi septum, rinitis atrofi serta infeksi
sinus. Pada pasien yang dapat menjalani terapi dengan baik, angka kesembuhan
pada kasus ini sangat baik, namun jika penggunaan obat vasokonstriktor tetap
berlangsung maka akan tetap terjadi rebound congestion.

16

DAFTAR PUSTAKA
1. Lund, V. J. Acute and Chronic Nasal Disorders. Dalam: Snow Jr, J. B.,
Ballenger, J. J. Ballengers Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery.
Sixteenth edition. William & Wilkins. 2003. p 741-750.
2. Lalwani, A. K. Nonallergic & Allergic Rhinitis: Introduction. Dalam:
Lalwani, A. K. Current Diagnosis & Treatment Otolaryngology Head and
Neck Surgery. Second edition. New York: Mc Graw Hill. 2003.
3. Ramey, J. T., Bailen, E., Lockey, R. F. Rhinitis Medicamentosa. Allergy
Clinical Immunology Journal, Volume 16 (3), 2006: 148-155.
4. Kushnir N. M., Kaliner M. A, eds. Rhinitis Medicamentosa [online]. 2015.
[cited 2016 January 20]. Available from URL: http://www.medscape.com.
5. Soetjipto, D., Mangunkusumo, E., Wardani, R. S. Sumbatan Hidung.
Dalam: Soepardi, E. A., Iskandar N., Bashiruddin, J., Rastuti, R. D
[Editor]. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala &
Leher. Edisi keenam. Jakarta: FKUI. 2010. p 118-122
6. Hilger, P. A. Hidung: Anatomi dan Fisiologi Terapan. Dalam: BOIES Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta: EGC, 1997. p 173-189
7. Dhingra P. L., Dhingra S., eds. Diseases of Ear, Nose & Throat. Fifth
Edition. New Delhi: Elsevier, 2011. p. 180-184
8. Netter F.H, ed. Atlas of Human Anatomy, 4t Edition. New York: Elsevier;
2006. p. 32-36
9. Irawati, N., Poerbonegoro, N. L., Kasakeyan, E. Rinitis vasomotor. Dalam:
Soepardi, E. A., Iskandar N., Bashiruddin, J., Rastuti, R. D [Editor]. Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi
keenam. Jakarta: FKUI, 2010. p 135-138
10. Hilger, P. A. Penyakit Hidung. Dalam: BOIES - Buku Ajar Penyakit THT.
Edisi 6. Jakarta: EGC, 1997. p 200-239

17

Anda mungkin juga menyukai