Anda di halaman 1dari 26

Laporan Kasus dan Telaah Kritisi Jurnal Terapeutik

SIFILIS SEKUNDER

Oleh:

Jody Fajar Hibatullah 1807101030007


Alvin Dzaky Nurhady 1807101030013

Pembimbing:
Arie Hidayati

BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
RSUD dr. ZAINOEL ABIDIN
BANDA ACEH
2019
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini.
Shalawat beserta salam kita haturkan kepada Nabi Muhammad SAW yang
telah membawa kita dari zaman jahiliyah ke zaman islamiyah, serta kepada
sahabat dan keluarga beliau.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada dr. Arie Hidayati, M. Ked
(DV), Sp.DV, yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk membimbing
penulis dalam penyusunan laporan kasus yang berjudul “Sifilis Sekunder serta
para dokter di bagian/ SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin yang telah
memberikan arahan serta bimbingan hingga terselesaikannya laporan kasus ini.
Tidak ada kata sempurna dalam pembuatan sebuah laporan kasus.
Keterbatasan dalam penulisan maupun kajian yang dibahas merupakan beberapa
penyebabnya. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan masukan terhadap
laporan kasus ini demi perbaikan di masa yang akan datang.

Banda Aceh, Juli 2019

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR....................................................................................ii
DAFTAR ISI...................................................................................................iii
DAFTAR TABEL...........................................................................................iv
DAFTAR GAMBAR......................................................................................v
PENDAHULUAN........................................................................................... 1
LAPORAN KASUS........................................................................................3
Identitas Pasien............................................................................................3
Anamnesis………........................................................................................3
Pemeriksaan Fisik........................................................................................4
Diagnosis Banding.......................................................................................6
Pemeriksaan Penunjang...............................................................................6
Resume……………….................................................................................6
Diagnosis Klinis ..........................................................................................6
Tatalaksana...................................................................................................6
Prognosis......................................................................................................7
ANALISA KASUS..........................................................................................8
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................14
RESUME JURNAL........................................................................................15
TELAAH JURNAL........................................................................................24
DAFTAR TABEL

Tabel 1 Diagnosis Banding.............................................................................12


DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Lesi pada regio ekstremitas superior dextra.............................5


PENDAHULUAN

Sifilis adalah infeksi menular seksual yang disebabkan oleh Treponoma


pallidum subspesies pallidum. Banyak dari manifestasinya adalah kulit, terutama
ketika morbiditas dari sifilis meningkat di negara maju dan berlanjut di negara
berkembang, insidensi sifilis yang meningkat menurut ahli epidemiologi akan
diikuti peningkatan infeksi HIV.1
Sifilis merupakan penyakit yang progresif dengan gambaran klinis aktif
(stadium primer, sekunder, dan tersier) serta periode asimtomatik (stadium laten).
Sifilis yang tidak diobati dapat berkembang menjadi sifilis lanjut, yaitu sifilis
tersier, sifilis kardiovaskular, atau neurosifilis.1,2
Secara Epidemiologi, WHO menggolongkan sifilis dalam sifilis dini (<1
tahun) dan sifilis lanjut (>1 tahun). Pada pasien sifilis dengan infeksi HIV, lebih
sering terlihat manisfestasi klinis sifilis sekunder dibandingkan dengan pasien
tanpa infeksi HIV, dan di antara pasien HIV positif dengan manifestasi klinis
sekunder tersebut masih sering disertai adanya chancre.2
Angka kejadian sifilis mencapai 90% di negara-negara berkembang. World
Health Organization (WHO) memperkirakan sekitar 12 juta kasus sifilis baru
terjadi di seluruh dunia setiap tahunnya, terutama di Asia Utara dan Tenggara,
Afrika sub-Sahara, Amerika Latin, dan Karibia. Pada kelompok pria homoseksual
di Amerika Serikat, Irlandia dan Inggris, angka kejadian sifilis diduga kembali
meningkat, sejalan dengan meningkatnya jumlah individu terinfeksi HIV dalam
beberapa tahun terakhir.3
Angka kejadian sifilis di Indonesia berdasarkan laporan Survey Terpadu dan
Biologis Perilaku (STBP) tahun 2011 Kementrian Kesehatan RI terjadi
peningkatan angka kejadian sifilis di tahun 2011 dibandingkan tahun 2007,
sebagian besar terjadi pada kelompok dengan kebiasaan berisiko tinggi seperti
wanita dan pria pekerja seksual dengan kliennya, pria homoseksual, dan pengguna
obat suntik.4
Untuk angka kejadian sifilis di daerah Aceh secara kumulatif sejak Tahun
2004 sampai dengan akhir Tahun 2011 ditemukan sekitar 69 kasus sifilis dan 112
kasus HIV/AIDS yang tersebar di 20 Kabupaten/Kota dan 18 kasus diantaranya
meninggal.5
1
LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. MU
Umur : 23 tahun
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Suku : Aceh
Agama : Islam
Alamat : Sp. Mesra
Tanggal Pemeriksaan : 14 Juli 2019
Jaminan : JKA
Nomor CM : 1-14-66-28

ANAMNESIS
Keluhan Utama
Bercak kemerahan pada lengan tangan kanan

Keluhan Tambahan
Rasa gatal

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke poliklinik kesehatan kulit dan kelamin RSUDZA dengan
keluhan bercak kemerahan pada lengan tangan kanan dan terasa gatal sejak
kurang lebih 3 bulan yang lalu dan masih berlangsung sampai saat ini. pasien
mengatakan bahwa bercak kemerahan pada lengan muncul pertama kali sejak 2
minggu setelah mengkonsumsi obat OAT pada awal bulan Maret 2019. Pasien
mengaku awalnya muncul luka pada bagian genetalia pada ahkir bulan Oktober
2018, luka yang muncul pada bagian genetalia tidak terasa gatal atau pun perih,
pasien juga mengeluhkan demam yang tidak terlalu tinggi, nyeri sendi dan
penurunan berat badan juga dikeluhkan oleh pasien.

Riwayat penyakit dahulu


Pasien mengaku tidak pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya.
Pasien sebelum nya telah di diagnosa dengan Human Immunodeficiency Virus

2
(HIV) sejak bulan Juli 2018 dan pasien juga di diagnosa TB kelenjar pada
pertengahan bulan Febuari 2019,

Riwayat penyakit keluarga


Anggota keluarga tidak memiliki keluhan kulit yang sama dengan pasien.

Riwayat pemakaian obat


Pasien sebelumnya telah mengkonsumsi obat ARV pada bulan November
2018 dan obat OAT pada pertengahan bulan Maret 2019.

Riwayat kebiasaan sosial yang terkait


Pasien dulunya bekerja sebagai Flight attendant (Pramugara), dan pasien
mengaku sering sering berganti-ganti pasangan dan melakukan hubungan sesama
jenis pada saat bekerja sebagai pramugara, riwayat penggunaan jarum suntik di
sangkal oleh pasien.

PEMERIKSAAN FISIK
Vital sign
Kes : Compos mentis
TD : 120/70 mmHg
HR : 84 x/menit
RR : 20 x/menit
T : 36,80C

Status Dermatologis:

Regio: Ekstremitas Superior Dextra

Deskripsi Lesi: Tampak lesi makula eritematosa berbatas tegas, ireguler, gutata-
numular, multipel, diskret, regional.

3
Gambar 1. Lesi pada regio ekstremitas superior dextra

DIAGNOSIS BANDING
1. Erupsi obat alergik
2. Pitiriasis rosea
3. Psoriasis
4. Kondiloma akuminatum

4
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pada pemeriksaan penunjang dapat dilakukan pemeriksaan serologi yang
bertujuan untuk mendeteksi seluruh stadium dari sifilis, pada pasien ini telah di
lakukan pemeriksaan penunjang laboratorium yaitu pemeriksaan titer serologi
Venereal Disease Research Laboratory (VDRL) atau Rapid Plasma Reagin (RPR)
1:256 dan Treponema pallidum Hemagglutination Assay (TPHA) 1:5120.

RESUME
Telah dilakukan pemeriksaan pada pasien laki-laki usia 23 tahun dengan
keluhan muncul bercak kemerahan pada kulit lengan tangan kanan yang terasa
gatal. Keluhan sudah dialami pasien sejak 4 bulan yang lalu. Pada pemeriksaan
status dermatologis didapatkan lesi makula eritematosa berbatas tegas pada
ekstremitas superior dextra dengan tepi yang ireguler. Lesi berukuran gutata
hingga numular, berjumlah multipel, dengan susunan diskret dan distribusi lesi
regional.

DIAGNOSIS KLINIS
Sifilis Sekunder

TATALAKSANA

Farmakoterapi.

- Cetirizine tablet 10 mg (minum 1 tablet perhari)


- Benzatin penisilin inj 2,4 juta
- Tuberculin 1 cc
- Asam salsilat 3% + desoksimetason 0,25% oint
- Dosisiklin kaps 100 mg
Edukasi
- Menjelaskan kepada pasien mengenai pengobatan, penularan, dan resiko
komplikasi yang mungkin akan terjadi.
- Menjelaskan kepada pasien agar menjalani pengobatan secara disiplin
untuk memperoleh terapi yang adekuat

5
PROGNOSIS

 Quo ad vitam : Dubia ad bonam


 Quo ad fungtionam : Dubia ad bonam
 Quo ad sanactionam : Dubia ad bonam

6
ANALISA KASUS

Telah dilakukan pemeriksaan pada pasien laki- laki berusia 23 tahun di


poliklinik kesehatan kulit dan kelamin RSUDZA dengan keluhan bercak
kemerahan pada lengan tangan kanan dan terasa gatal sejak kurang lebih 3 bulan
yang lalu dan masih berlangsung sampai saat ini. pasien mengatakan bahwa
bercak kemerahan pada lengan muncul pertama kali sejak 2 minggu setelah
mengkonsumsi obat OAT pada awal bulan Maret 2019. Pasien mengaku awalnya
muncul luka pada bagian genetalia pada ahkir bulan Oktober 2018, luka yang
muncul pada bagian genetalia tidak terasa gatal atau pun perih, pasien juga
mengeluhkan demam yang tidak terlalu tinggi, nyeri sendi dan penurunan berat
badan juga dikeluhkan oleh pasien. Bedasarkan anamnesis didapatkan gejala yang
mengarah pada diagnosis sifilis sekunder dimana biasanya pada sifilis sekunder
didapatkan gejala klinis yang tidak berat seperti anoreksia, turunnya berat badan,
malaise, nyeri kepala, demam yang tidak tinggi, dan atralgia. Gejala klinis pada
pasien terdapat adanya penurunan berat badan dan demam yang tidak terlalu
tinggi, pasien juga mengeluhkan terkadang sendi terasa nyeri dan pasien juga
mengeluhkan adanya penurunan berat badan selama 4 bulan terahkir. Dari
pemeriksaan fisik didapatkan adanya lesi makula eritematosa berbatas tegas pada
ekstremitas superior dextra dengan tepi yang ireguler. Lesi berukuran gutata
hingga numular, berjumlah multipel, dengan susunan diskret dan distribusi lesi
regional. Bedasarkan teori lesi sekunder pada sifilis berupa makula eritematus
(roseaola syphilitica) atau muncul makulo papul pada badan dan ekstermitas.
Penegakkan diagnosis sifilis selain dari gejala klinis juga dapat ditegakkan
melalui pemeriksaan penunjang seperti uji serologi, histopatologi, dan deteksi
langsung treponema pallidum. Pada pasien ini telah dilakukan tes imuno serologi
berupa uji nontreponema dengan uji VDRL/RPR dengan hasil reaktif 1:256 dan
uji treponema TPHA dengan hasil reaktif 1:5120.
Terapi yang diberikan kepada pasien adalah terapi farmakologis dan non
farmakologis. Terapi farmakologis yang di berikan berupa benzatin penisilin G inj
2,4 juta, hal ini sesuai dengan teori yang mana penisili direkomendasikan sebagai
terapi pada semua stadium sifilis dengan sediaan, dosis, dan lama pengobatan

7
tergantung pada manifestasi klinis dan usia pasien. Untuk pasien yang alergi
dengan penisilin, yang tidak sedang mengandung dan tidak memiliki gejala
neurosifilis, dapat diberikan dosisiklin 100 mg dengan pemberian oral 2 kali
sehari atau dapat diberikan tertrasiklin 500 mg pemberian oral 4 kali sehari selama
14 hari. Pasien juga diberikan antihistamin sistemik berupa cetirizine, cetirizine
adalah antihistamin generasi kedua dan bersifat non sedatif yang berperan untuk
mengurangi gejala pruritus. Cetirizine diberikan sebagai terapi simtomatik atas
keluhan gatal-gatal pada pasien. Antihistamin sistemik bekerja sebagai anatgonis
mediator proinflamasi untuk memblokir reseptor H1 yang terletak pada dermis.
Selain itu pasien juga diberikan asam salisilat 3% dan desoksimetason 0,25%
yang merupakan bahan aktif yang memiliki sifat mempertinggi absorbasi perkutan
zat-zat aktif, dalam hal ini adalah kortikosteroid topical berupa desoksimetason
0,25%. Desoksimetason merupakan kortikosteroid yang berfungsi sebagai anti
inflamasi, anti alergi, anti pluritus potensi tinggi.
Terapi non farmakologis berupa edukasi pada pasien mengenai
pengobatan, penularan, dan resiko komplikasi yang mungkin akan terjadi dan juga
menjelaskan kepada pasien agar menjalani terapi pengobatan secara disiplin untuk
memperoleh terapi yang adekuat.

8
Tabel 1. Diagnosa banding

9
No Diagnosis Definisi Deskripsi lesi Gambar

1 Erupsi Obat Erupsi Obat Gambaran klinis Gambar 2


Alergik Alergik merupakan berupa lesi Erupsi Obat Alergik
reaksi alergi pada berbentuk bulat,
kulit atau daerah oval, berbatas tegas,
mukokutan yang kemerahan, plak
terjadi sebagai yang sedikit
akibat pemberian  terangkat, dengan
obat secara ukuran gutata-
sistemik. numular.10

2 Pitiriasis Rosea Penyakit kulit yang Gambaran klinis Gambar 3


ditandai dengan berupa makula Pitiriasis Rosea
ruam bewarna eritematosa lonjong
merah atau merah dengan diameter
muda, bersisik, dan terpanjang sesuai
sedikit menonjol.6 dengan lipatan kulit
serta ditutupi oleh
skuama halus.7

3 Psoriasis Peradangan pada Lesi yang khas Gambar 4


kulit yang ditandai berupa bercak- Psoriasis
dengan ruam merah, bercak eritema
kulit kering, tebal, berbatas tegas
bersisik, dan mudah ditutupi oleh
terkelupas.8 skuama tebal
berlapis-lapis
berwarna putih
mengkilat.7

4 Kondiloma Merupakan kutil Gambaran klinis lesi Gambar 5


akuminatum yang terdapat pada dengan permukaan Kondiloma
daerah genetalia, berbenjol-benjol Akuminatum
kutil dapat menyerupai
berjumlah satu atau kembang kol, warna
sekumpulan, merah dan
biasanya ditularkan konsistensi lunak, 10
dari orang yang dapat berbentuk
sudah terinfeksi hyperplasia, sesil
HPV.9 atau tidak rata.7
DAFTAR PUSTAKA

1. Simpson EL, Leung DYM, Eichenfield LF, Boguniewicz M, Silverberg JI,


Turrentine JE, et al. Fitzpatrick’s Dermatology 9th Edition. Ninth. Mc-Graw
Hill Education; 2019.
2. Dhaliwal S, Patel M, Menter A. Secondary syphilis and HIV.
Proc (Bayl Univ Med Cent) 2012; 25:87- 9.
3. Suryani DPA, Hendra TS. Syphilis. Lampung. Departemen Ilmu Kesehatan
Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Abdoel Moeloek, Fakultas Kedokteran,
Universitas Lampung; 2014.
4. Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes Volume 10 Nomor 2, April 2019.
Hasil Pemeriksaan Treponema pallidum Haemagglutination Assay dan
Treponema pallidum Rapid pada Penderita Sifilis di Balai Laboratorium
Kesehatan Provinsi Papua. http://forikes- ejournal.com/index.php/SF
5. Renstra SKPA Dinas Kesehatan Aceh 2012-2017. HIV-AIDS dan Penyakit
Menular Seksual lain.
www1-media.acehprov.go.id/uploads/Renstra_Dinkes2012-2017.pdf
6. Mahajan, et al. (2016). Pityriasis Rosea: An Update on Etiopathogenesis and
Management of Difficult Aspects. Indian Journal of Dermatology, 61(4), pp.
375-384.
7. Siregar. R. S. (2014). Atlas berwarna Saripati Penyakit Kulit. Ed. 3. Jakarta-
EGC.
8. Kim, WB. (2017). Diagnosis and Management of Psoriasis. Canadian
Family Physician, 63(4), pp. 278-285.
9. Ghadishah D., et al. Medscape (2017). Condyloma Acuminatum.
10. Pendekatan Diagnosis dan Tatalaksana Alergi Obat. Jurnal Penyakit Dalam
Indonesia. Vol. 4, No. 1, Maret 2017.

11
RESUME JURNAL
Pola Bakteri dan Sensitivitas Antibiotik pada Anak-Anak dan
Remaja dengan Dermatitis Atopik
C T Samosir, R H Ruslie, dan R E Rusli

Abstrak

Latar Belakang: Dermatitis atopik (DA) adalah penyakit pruritus dan


peradangan kronik pada kulit yang diderita sekitar 20% pada anak-anak. Infeksi
bakteri sering terjadi pada pasien DA dan berhubungan dengan tingkat keparahan
DA. Tujuan: Sebuah studi cross-sectional dilakukan untuk menilai prevalensi
infeksi bakteri pada pasien DA dan hubungannya dengan tingkat keparahan DA
juga untuk mempelajari jenis bakteri yang menginfeksi dan sensitivitas
antibiotiknya. Sampel dan Metode: Sampel dari penelitian ini berjumlah 86
anak-anak dan remaja penderita DA di Pusat Kesehatan Masyarakat Helvetia
Medan dari Maret 2016 hingga Februari 2017. Indeks Scoring Dermatitis Atopik
(SCORAD) digunakan untuk menilai tingkat keparahan DA. Kultur kulit
dilakukan pada kulit yang terdapat lesi dan kulit yang normal. Pola bakteri yang
didapat dicatat dan diuji untuk sensitivitas antibiotik. Pengolahan data
menggunakan Chi-Square dan uji Mann Whitney dengan 95% CI dan nilai p
<0,05 dianggap signifikan secara statistik. Hasil: Lima puluh enam pasien DA
(65,1%) terinfeksi bakteri. Terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat
keparahan DA dan infeksi bakteri (p = 0,006). Staphylococcus aureus adalah
bakteri utama yang ditemukan pada semua derajat keparahan DA. Isolat
Staphylococcus aureus sensitif terhadap antibiotik amoksisilin-klavulanat
(93,3%), klindamisin (90%), eritromisin (90%), dan gentamisin (90%), sedangkan
sensitivitas terhadap tetrasiklin rendah (20%).

1. Introduksi
Dermatitis atopik (DA) adalah penyakit peradangan pada kulit yang
bersifat kronis dan ditandai dengan gejala klinis berupa pruritus, DA terjadi
sekitar 20% pada anak-anak dan 3% pada orang dewasa, tetapi prevalensinya
bervariasi di seluruh dunia. Menurut Kelompok Studi Dermatologi Anak
Indonesia dilakukan penelitian di lima kota besar Indonesia, DA merupakan
penyakit kulit yang paling sering terjadi pada anak-anak (23,67%).
Salah satu komorbiditas utama pada DA adalah infeksi kulit. Infeksi
bakteri sering ditemukan pada pasien DA. Staphylococcus aureus adalah bakteri
utama yang sering ditemukan pada penderita DA. Kepadatan bakteri yang terdapat
pada kulit berhubungan dengan tingkat keparahan DA.
Penelitian ini bertujuan untuk menilai prevalensi infeksi bakteri pada
kulit anak-anak dan remaja penderita DA dan hubungannya dengan tingkat
keparahan DA. Penelitian ini juga bertujuan untuk menentukan pola bakteri dan
sensitivitas antibiotiknya.

2. Metode
Penelitian cross-sectional ini dilakukan pada 86 pasien DA, berusia di
bawah 18 tahun yang telah mendapat persetujuan dari Komite Etik Penelitian
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan, Indonesia. Jumlah
sampel dihitung menggunakan rumus one sample proportion, dengan tingkat
kesalahan yang dapat diterima 10% (d = 10%). Semua anak dengan DA yang
datang ke Pusat Kesehatan Masyarakat Helvetia, Medan, Indonesia dari Maret
2016 hingga Februari 2017 masuk ke dalam kriteria inklusi. Orang tua dari
masing-masing anak yang dijadikan sampel dalam penelitian menandatangani
persetujuan tertulis setelah diberi informasi tentang penelitian ini. Diagnosis DA
ditegakkan oleh dua dokter anak jika memenuhi setidaknya tiga kriteria mayor
dan tiga kriteria minor Hanifin Rajka. Penderita dengan gizi buruk, penyakit
kronis, atau yang sedang minum antibiotik selama 14 hari terakhir masuk ke
dalam kriteria eksklusi.
Tingkat keparahan DA dinilai menggunakan Scoring Dermatitis Atopik
(SCORAD), dimana kategori ringan (<15), sedang (15-50), dan parah (> 50).
Kultur kulit dilakukan untuk menilai adanya infeksi bakteri pada penderita DA
menggunakan swab transport steril (Oxoid) dengan cara menggulirkan lidi dua
kali di dua area (kulit yang terdapat lesi dan kulit yang tidak terdapat lesi). Setelah
dilakukan swab pada kulit, lidi steril tersebut segera dibawa ke Laboratorium
Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan, Indonesia
untuk ditumbuhkan pada media Blood agar dan McConkey agar. Sampel
diinkubasi secara aerobik pada suhu 37 oC. Setelah 2x24 jam, koloni bakteri
dilakukan pengujian untuk pewarnaan gram dan diidentifikasi menggunakan
mesin Vitek. Semua isolat bakteri diuji sensitivitas antibiotiknya menggunakan
sembilan antibiotik yaitu ampisilin 10 μg, amoksisilin 25 μg, amoksisilin-
klavulanat 30 μg, kloramfenikol 30 μg, klindamisin 10 μg, kotrimoksazol 25 ug,
eritromisin 5 ug, gentamisin 10 ug, dan tetrasiklin 30 ug.
Data yang telah diperoleh dilakukan analisis univariat dan bivariat
menggunakan perangkat lunak statistik SPSS versi 22. Data kategorikal disajikan
dalam bentuk angka dan persentase. Data numerik (umur) yang disajikan dalam
bentuk median (minimum-maksimum) karena data tidak terdistribusi normal.
Bakteri yang diisolasi dari apusan kulit kemudian dihitung untuk menentukan
etiologinya pada pasien DA. Uji Sensitivitas Antibiotika dilakukan pada setiap
bakteri yang didapat. Uji Chi-Square dilakukan untuk menilai hubungan antara
keparahan DA dan adanya infeksi bakteri. Nilai p <0,05 ditetapkan signifikan
secara statistik dengan tingkat kepercayaan 95%.

3. Hasil
Terdapat 90 pasien DA selama periode penelitian ini namun dua pasien
dikeluarkan karena mengonsumsi antibiotik, satu pasien karena terinfeksi HIV,
dan satu pasien menolak untuk bergabung dengan penelitian ini (Gambar 1).

Dari 86 pasien DA, kami menemukan lebih banyak wanita dengan rasio wanita:
pria 1,46: 1. Usia pasien mulai dari 1 bulan hingga 14 tahun (Tabel 1).
Data jenis kelamin dan usia tidak berbeda secara signifikan pada kelompok DA
yang terinfeksi dan tidak terinfeksi, menunjukkan bahwa populasinya homogen.
Terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat keparahan DA dan infeksi
bakteri (p = 0,006), di mana DA sedang dan berat memiliki risiko 1,62 kali lebih
tinggi terinfeksi bakteri dibandingkan DA ringan (Tabel 2).

Dari penelitian ini, secara signifikan ditemukan jumlah bakteri lebih


tinggi pada lesi daripada di sekitar lesi (p <0,05). Bakteri yang banyak ditemukan
dari isolasi lesi kulit pasien DA adalah Staphylococcus aureus. Bakteri tersebut
juga ditemukan pada semua derajat keparahan DA. Staphylococcus aureus
didapatkan 30 isolasi dari 86 lesi kulit (34,8%), sementara hanya 12 dari 86
(13,9%) kulit yang tidak terdapat lesi pada DA (p = 0,002). Dari 30 bakteri
Staphylococcus aureus, dua (6,67%) adalah Staphylococcus aureus yang resisten
metisilin (MRSA). Empat bakteri yang ditemukan dari isolasi pasien DA adalah
Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, Escherichia coli, dan
Streptococcus haemolyticus (Tabel 2).
Peneliti mendapatkan hasil tes sensitivitas antibiotik pada empat bakteri
yang ditemukan. Pasien DA yang terinfeksi dengan Staphylococcus aureus
sensitif terhadap amoksisilin-klavulanat (93,33%), klindamisin (90%), eritromisin
(90%), dan gentamisin (90%), sementara hanya 20% sensitif terhadap tetrasiklin.
Kloramfenikol adalah antibiotik dengan sensitivitas yang relatif rendah terhadap
bakteri Staphylococcus aureus (Tabel 3).

4. Diskusi

Infeksi bakteri adalah salah satu faktor yang memperburuk lesi kulit pada
DA, hal ini sebanding dengan adanya hubungan signifikan antara tingkat
keparahan DA dan infeksi bakteri pada penelitian ini. Hasil yang sama pada
penelitian lain dilaporkan adanya hubungan antara tingginya densitas bakteri
dengan nilai SCORAD yang tinggi.

Etiologi infeksi bakteri pada DA serupa dengan penelitian lainnya, dengan


bakteri gram positif sebagai bakteri utama yang terisolasi (71,4%). Farajzadeh et
al melaporkan Staphylococcus aureus, Streptococcus beta-hemolytic group A dan
B, Streptococcus viridans, dan Enterobacter menjadi salah satu bakteri yang
paling banyak terisolasi pada DA yang terinfeksi. Penelitian di China oleh Gong
et al melaporkan Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis,
Streptococcus hemolytic, Staphylococcus lugdunensis, Staphylococcus capitis,
Escherichia coli, Micrococcus tetragenus, Enterobacter cloacae, dan Proteus.

Staphylococcus aureus cenderung untuk berkolonisasi pada kulit penderita


DA dibandingkan pada kulit normal. Dari 86 pasien DA, 56 terinfeksi bakteri
(65,1%). Pada penelitian ini, Staphylococcus aureus terisolasi pada sebanyak 30
lesi kulit penderita DA (34,8%), berlawanan dengan 12 (13,9%) dari kulit yang
tidak terdapat lesi. Tingkat isolasi bervariasi, mulai dari 42,5% oleh Pezesk Pour
et al, 48,5% oleh Hon et al, hingga tingkat yang lebih tinggi 86% oleh Gilani et al.
Variasi ini dalam prevalensi Staphylococcus aureus pada pasien DA diduga dari
fakta bahwa Staphylococcus aureus berkoloni secara intermitten. Karena itu tidak
selalu terdeteksi pada saat pemeriksaan. Variasi keparahan klinis DA dalam setiap
penelitian juga menjadi salah satu faktor adanya perbedaan ini.

Berdasarkan penelitian oleh Kelompok Studi Dermatologi Anak


Indonesia, antibiotik lini pertama pada terapi DA dengan infeksi adalah
amoksisilin-klauvanat, cephalexin atau eritromisin jika penderita memiliki alergi
terhadap penicillin. Pada antibiotik lini kedua, dapat digunakan eritromisin atau
sefalosporin (cefuroxime) generasi kedua, azithromcin, clarithromycin, dan
klindamisin.

Tingkat sensitivitas Staphylococcus aureus terhadap amoksisilin-klauvanat


tetap tinggi pada penelitian ini (93,3%). Hal ini sejalan dengan penelitian yang
sudah dilakukan sebelumnya di UK oleh Hoeger et al dan Niebuhr et al di Jerman
dimana didapatkan sensitivitas masing-masing 100% dan 97%. Amoksisilin-
klauvanat sangat aktif tidak hanya terhadap Staphylococcus aureus tetapi juga
Streptococcus sp., yang merupakan etiologi bakteri penyebab kedua terbanyak
yang menginfeksi DA. Sehingga, dapat digunakan sebagai lini pertama
pengobatan pada DA yang terinfeksi bakteri.
Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan terdapat resisten tinggi
terhadap eritromisin. Pada tahun 1990, eritromisin sudah digunakan sebagai lini
pertama untuk mengobati DA terinfeksi bakteri. Kemudian penggunaan obat
menurun setelah dilaporkan banyak terjadi resistensi tinggi terhadap
Staphylococcus aureus. Farajzadeh et al melaporkan tingkat resisten eritromisin
terhadap Staphylococcus aureus sebesar 66,7% sementara Niebuhr et al di Jerman
melaporkan 46%. Tetapi, pada penelitian sebelumnya, tahun 2015 di Korea oleh
Jung et al, kerentanan terhadap eritromisin lebih tinggi (85,7%). Pada penelitian
ini juga menunjukkan terdapat sensitivitas tinggi dari eritromisin (90%).

Klindamisin juga memiliki sensitivitas tinggi hal ini ditunjukkan pada


penelitian oleh Hoeger et al, yaitu sebesar 99%. Pada penelitian ini juga
didapatkan sensitivitas klindamisin (90%). Tetapi tampaknya terdapat tingkat
resistensi Staphylococcus aureus terhadap klindamisin yang semakin meningkat.
Paul-Ehlich Society dan Niebuhr et al menemukan tingkat resistensi masing-
masing 15% dan 21% dan sensitivitasnya pada DA harus dilakukan penilaian uji
klinis lebih lanjut.

Gentamisin adalah aminoglikosida yang paling umum digunakan dan telah


sering digunakan pada infeksi kulit. Penelitian oleh Alenizi menunjukkan tingkat
sensitivitas gentamisin terhadap Staphylococcus aureus sebesar 74,36%. Pada
penelitian ini tingkat sensitivitasnya mencapai 90%. Perbedaan ini mungkin
terjadi akibat variasi dari populasi dan ukuran sampel.

Penelitian ini menemukan bahwa isolat Staphylococcus aureus memiliki


sensitivitas rendah terhadap tetrasiklin (20%) dan kloramfenikol (43,4%). Obat-
obatan yang mengandung tetrasiklin dan kloramfenikol murah dan sangat populer
di Indonesia, obat-obatan tersebut banyak digunakan secara mandiri tanpa resep
dokter. Hal ini menjelaskan alasan resistensi antibiotik. Penelitian lain yang sama
oleh Goh et al melaporkan resistensi tetrasiklin sebesar 67%, sedangkan Niebuhr
et al melaporkan sebesar 83%. Salep kloramfenikol telah disetujui FDA untuk
konjungtivitis dan penggunaanya untuk infeksi kulit tergolong rendah. Tidak
terdapat perbedaan signifikan dalam pencegahan infeksi kulit pada luka jahitan
antara penggunaan kloramfenikol dan tidak.
Dari hasil penelitian, peneliti menyarankan amoksisilin-klauvanat sebagai
lini pertama dan klindamisin atau eritromisin sebagai lini kedua pada pengobatan
DA terinfeksi bakteri, yang merupakan antibiotik spektrum terbatas dengan
tingkat sensitivitas lebih tinggi dibandingkan antibiotik spektrum luas seperti
tetrasiklin atau kloramfenikol. Antibiotik spektrum luas tidak diperlukan pada
DA, karena S.aureus adalah bakteri tersering penyebab infeksi kulit.

Resistensi antibiotik meningkat di seluruh dunia dan telah menjadi isu


penting dalam pengobatan Staphylococcus aureus terutama methicilin-resistan
Staphylococcus aureus (MRSA). Peneliti menemukan 2 MRSA (6,7%) dalam
penelitian ini. Sebuah penelitian di Korea oleh Jung et al melaporkan sebanyak
12,9% MRSA dari 583 isolasi Staphylococcus aures. Berdasarkan penelitian lain
di India, dinyatakan bahwa MRSA berhubungan dengan tingkat keparahan DA.
Peneliti tidak dapat menunjukkan hubungan tersebut karena jumlah isolasi MRSA
pada penelitian yang terbatas, tetapi 2 MRSA pada penelitian ini didapatkan dari
DA berat. Strain MRSA diobati dengan klindamisin, kotrimoksazol, dan
vankomisin. Dua MRSA pada penelitian ini sensitif terhadap klindamisin.

Keterbatasan penelitian ini adalah sensitivitas antibiotik yang umum


digunakan untuk infeksi bakteri, seperti mupirosin dan asam fusidic tidak diuji.
Penelitian lebih lanjut mengenai pemberian antibiotik untuk pasien DA sedang
dan berat dapat dipertimbangkan.

5. Kesimpulan

Infeksi bakteri pada kulit umum terjadi pada anak-anak dan remaja dengan
DA, dengan Staphylococcus aureus sebagai isolat yang paling umum. Ini
berhubungan dengan tingkat keparahan DA, DA berat memiliki risiko 1,62 kali
lebih tinggi untuk terinfeksi bakteri dibandingkan DA ringan. Isolat
Staphylococcus aures sensitif terhadap amoksisilin-klauvanat, klindamisin,
eritromisin, dan gentamicin, dan cenderung efektif sebagai pengobatan DA yang
terinfeksi.
TELAAH KRITIS TERAPETIK

Pola Bakteri dan Sensitivitas Antibiotik pada Anak-Anak dan


Remaja dengan Dermatitis Atopik

No. Pedoman Keterangan


1. Apakah alokasi subyek Penelitian ini menggunakan metode
penelitian ke kelompok terapi cross-sectional, sehingga tidak ada
atau kontrol betul-betul kelompok kontrol dan kelompok
secara acak (random) atau perlakuan
tidak?
- Tidak
2. Apakah semua keluaran Pada hasil penelitian ini dipaparkan
(outcome) dilaporkan? semua hasil analisa univariat dan
- Ya bivariat yang diteliti.
3. Apakah lokasi studi Penelitian dilakukan di Pusat
menyerupai lokasi anda Kesehatan Masyarakat Helvetia
bekerja atau tidak? Medan.
- Ya
4. Apakah kemaknaan statistik Dari penelitian tersebut didapatkan DA
maupun klinis berat 1,62 kali lebih tinggi tingkat
dipertimbangkan atau resiko infeksi bakteri dibandingkan DA
dilaporkan? ringan dan didapatkan sensitivitas
- Ya antibiotik pada kultur bakteri.
5. Apakah tindakan terapi yang Dapat dijadikan referensi dalam
dilakukan di tempat anda pengambilan keputusan terapi di rumah
bekerja atau tidak? sakit.
- Ya
6. Apakah semua subyek Dari 86 pasien DA, 56 terinfeksi
penelitian diperhitungkan bakteri (65,1%). Bakteri
dalam kesimpulan? Staphylococcus aureus umum
- Ya ditemukan pada pasien anak dan
remaja yang menderita DA.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil kritisi jurnal, didapatkan 5 jawaban “Ya” dan 1 jawaban
“Tidak” dari total 6 pertanyaan, sehingga dapat disimpulkan bahwa jurnal dengan
judul “Pola Bakteri dan Sensitivitas Antibiotik pada Anak-Anak dan Remaja
dengan Dermatitis Atopik”, sehingga ini layak untuk dibaca dan diterapkan di
RSUDZA.

Anda mungkin juga menyukai