Anda di halaman 1dari 38

REFERAT MEI 2018

SIFILIS

Disusun Oleh:

NAMA : WIDYA NURUL FATIMAH


NIM : N 111 17 030

PEMBIMBING KLINIK
dr. Diany Nurdin, Sp. KK, M.Kes.

KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH UNDATA PALU
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2018

1
HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Widya Nurul Fatimah


No. Stambuk : N 111 17 030
Fakultas : Kedokteran
Program Studi : Profesi Dokter
Universitas : Tadulako
Judul Referat : Sifilis
Bagian : Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin


RSUD Undata Palu
Fakultas Kedokteran
Universitas Tadulako
Palu, Mei 2018

Pembimbing Klinik Mahasiswa

dr. Diany Nurdin, Sp.KK,M.Kes Widya Nurul Fatimah

2
BAB I

PENDAHULUAN

Infeksi Menular Seksual (IMS) sampai saat ini masih merupakan masalah
kesehatan yang cukup serius di dunia, baik di negara berkembang maupun negara
maju. Infeksi Menular Seksual (IMS) adalah infeksi yang penularannya terutama
melalui hubungan seksual. Penularan juga dapat terjadi dari ibu ke janin dalam
kandungan atau saat ibu inpartu, melalui produk darah atau transfer jaringan yang
tercemar, dan kontak langsung dengan alat-alat yang tercemar. (1)
Sifilis merupakan salah satu penyakit infeksi menular seksual yang
disebabkan oleh infeksi bakteri Treponema Pallidum. Schaudinn dan Hoffmann
pertama kali mengidentifikasi Treponema pallidum sebagai penyebab sifilis pada
tahun 1905. Schaudin memberi nama organisme ini dari bahasa Yunani trepo dan
nema, dengan kata pallida dari bahasa Latin. (2)
Asal mula sifilis belum diketahui secara pasti. Sifilis pertama kali dikenal di
Eropa pada abad ke-15, ketika penyakit ini muncul pertama kalinya di daerah
Meditarian dan secara cepat menjadi endemik pada saat itu. Awalnya sifilis
disebut dengan Italian disease (penyakit Italia), French disease (penyakit
Perancis), dan great fox membedakannya dengan Smallpox. Sampai abad ke- 18
baru diketahui bahwa penyakit ini merupakan penyakit menular seksual. (2)
Angka sifilis di Amerika terus menurun sejak tahun 1990, jumlahnya
dibawah 40.000 kasus per tahun. Center for Disease Control (CDC) melaporkan
hanya 11,2 kasus sifilis per 100.000 populasi pada tahun 2000 dan kasus ini
terpusat di kota besar dan wilayah tertentu. Penyebaran sifilis di dunia telah
menjadi masalah kesehatan yang besar dan umum, dengan jumlah kasus 12 juta
per-tahun. Hasil penelitian Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian
Hukum dan HAM, dari 24 lapas dan rutan di Indonesia didapatkan prevalensi
sifilis 8,5% pada responden perempuan dan 5,1% pada responden laki-laki. (2)
Meskipun kejadian sifilis sudah menurun, penyakit ini harus mendapat
perhatian. Hampir semua system dalam tubuh dapat diserang termasuk system
kardiovaskuler dan saraf. Selain itu wanita hamil dapat menularkan pada janinnya

3
sehingga menyebabkan sifilis kongenital yang dapat mengakibatkan kelainan
bawaan dan kematian. (3)
Berdasarkan uraian di atas, penulisan referat ini bertujuan untuk mengetahui
prinsip diagnosis dan penatalaksanaan penyakit sifilis.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.DEFINISI
Sifilis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Treponema
pallidum, merupakan penyakit kronis dan bersifat sistemik, selama perjalanan
penyakit dapat menyerang seluruh organ tubuh, ada masa laten tanpa
manifestasi lesi di tubuh, dan dapat ditularkan kepada bayi di dalam
kandungan.(3)

2.2. EPIDEMIOLOGI
Insidensi sifilis di berbagai negeri di seluruh dunia pada tahun 1996
berkisar antara 0,04% -0,52%. Insidens yang terendah di Cina, sedangkan
yang tertinggi di Amerika Selatan. Di Indonesia insidensnya 0,61%. Di bagian
kami penderita yang terbanyak ialah stadium laten, disusul sifilis stadium I
yang jarang, dan yang langka ialah sifilis stadium II. (3)
WHO memperkirakan bahwa 5,6 juta kasus baru sifilis terjadi di
kalangan remaja dan dewasa berusia 15–49 tahun di seluruh dunia pada tahun
2012 dengan tingkat insidensi global 1,5 kasus per 1000 perempuan dan 1,5
per 1000 laki-laki. Diperkirakan 18 juta kasus umum dari sifilis pada tahun
2012 diterjemahkan ke prevalensi global 0,5% pada wanita dan 0,5% pada
laki-laki berusia 15-49 tahun, dengan prevalensi tertinggi di Wilayah Afrika.(4)

2.3. ETIOLOGI
Pada tahun 1905 penyebab sifilis ditemukan oleh Schaudinn dan
Hoffman ialah Treponema pallidum, yang termasuk ordo Spirochaetales,
familia Spirochaetaceae, dan genus Treponema. (3)
Treponema pallidum merupakan bakteri gram negatif, berbentuk spiral
yang ramping dengan lebar kira-kira 0,2 μm dan panjang 5-15 μm. Lengkung
spiralnya/gelombang secara teratur terpisah satu dengan lainnya dengan jarak
1 μm, dan rata-rata setiap kuman terdiri dari 8-14 gelombang. Organisme ini

5
aktif bergerak, berotasi hingga 900 dengan cepat di sekitar endoflagelnya
bahkan setelah menempel pada sel melalui ujungnya yang lancip. Spiralnya
sangat tipis sehingga tidak dapat dilihat secara langsung kecuali menggunakan
pewarnaan imunofluoresensi atau iluminasi lapangan gelap dan mikroskop
elektron. (2)

Gambar 1. Treponema pallidum Menggunakan Mikroskop Elektron(2)


Bakteri ini berkembang biak dengan pembelahan melintang dan
menjadi sangat invasif, patogen persisten dengan aktivitas toksigenik yang
kecil dan tidak mampu bertahan hidup diluar tubuh host mamalia.Pembiakan
pada umumya tidak dapat dilakukan diluar badan. Diluar badan kuman
tersebut cepat mati, sedangkan dalam darah untuk transfusi dapat hidup tujuh
puluh dua jam. Organisme ini juga tergantung pada sel host untuk
melindunginya dari radikal oksigen, karena Treponema pallidum
membutuhkan oksigen untuk metabolisme tetapi sangat sensitif terhadap efek
toksik oksigen. Treponema pallidum akan mati dalam 4 jam bila terpapar
oksigen dengan tekanan atmosfer 21%. Kuman ini dapat mati jika terpapar
dengan oksigen, antiseptik, sabun, pemanasan, pengeringan sinar matahari dan
penyimpanan di refrigerator. (2,3)
Treponema pallidum merupakan bakteri patogen pada manusia.
Kebanyakan kasus infeksi didapat dari kontak seksual langsung dengan orang
yang menderita sifilis aktif baik primer ataupun sekunder. Biasanya hanya
sedikit penularan melalui kontak non genital (contohnya bibir), pemakaian
jarum suntik intravena, atau penularan melalui transplasenta dari ibu yang

6
mengidap sifilis tiga tahun pertama ke janinnya. Treponema pallidum tidak
dapat menular melalui benda mati seperti bangku, tempat duduk toilet,
handuk, gelas, atau benda-benda lain yang bekas digunakan/dipakai oleh
pengindap, karena pengaruh suhu dan rentang pH. Suhu yang cocok untuk
organisme ini adalah 30-370C dan rentang pH adalah 7,2-7,4. (2)

2.4. KLASIFIKASI
Sifilis terbagi menjadi: (3)
1. Sifilis kongenital, yang terbagi menjadi :
a. Sifilis kongenital dini : sebelum 2 tahun
b. Sifilis kongenital lanjut : setelah 2 tahun
c. Stigmata
2. Sifilis Akuisita (didapat). Sifilis akuisita dapat dibagi menurut dua cara
yaitu sebagai berikut.
a. Secara klinis, dibagi menjadi tiga stadium:
- Stadium I (SI)
- Stadium II (SII)
- Stadium III (SIII)
b. Secara epidemiologik, menurut WHO dibagi menjadi:
- Stadium dini menular (dalam satu tahun sejak infeksi): terdiri atas SI,
SII, stadium rekuren dan stadium laten dini.
- Stadium lanjut tak menular (setelah satu tahun sejak infeksi): terdiri
atas stadium laten lanjut dan SIII.

2.5. PATOGENESIS
1. Stadium Dini
Treponema pallidum masuk ke dalam kulit melalui mikrolesi atau
selaput lendir, biasanya melalui sanggama. Kuman tersebut membiak
jaringan bereaksi dengan membentuk infiltrat yang terdiri atas sel-sel
limfosit dan sel-sel plasma, terutama di perivaskular, pembuluh- pembuluh

7
darah kecil berproliferasi dikelilingi oleh T. pallidum dan sel-sel radang.
Treponema tersebut terletak di antara endotelium kapiler dan jaringan
perivaskular disekitarnya. Kehilangan pendarahan akan menyebabkan
erosi, pada pemeriksaan klinis tampak sebagai SI. Sebelum SI terlihat,
kuman telah mencapai kelenjar getah bening regional secara limfogen dan
membiak. Pada saat itu terjadi pula penjalaran hematogen dan menyebar
ke semua jaringan di badan, tetapi manifestasinya akan tampak
kemudian.(3)
Multiplikasi ini diikuti oleh reaksi jaringan sebagai SII, yang terjadi
enam sampai delapan minggu sesudah SI. SI akan sembuh perlahan-lahan
karena kuman di tempat tersebut jumlahnya berkurang, kemudian
terbentuklah fibroblas-fibroblas dan akhirnya sembuh berupa sikatriks. SII
juga mengalami regresi perlahan-lahan dan lalu menghilang. Tibalah
stadium laten yang tidak disertai gejala, meskipun infeksi yang aktif masih
terdapat. Sebagai contoh pada stadium ini seorang ibu dapat melahirkan
bayi dengan sifilis kongenital. Kadang-kadang proses imunitas gagal
mengontrol infeksi sehingga T. pallidum membiak lagi pada tempat S I
dan menimbulkan lesi rekuren atau kuman tersebut menyebar melalui
jaringan menyebabkan reaksi serupa dengan lesi rekuren SII, yang terakhir
ini lebih sering terjadi daripada yang terdahulu. Lesi menular tersebut
dapat timbul berulang-ulang, tetapi pada umumnya tidak melebihi 2
tahun.(3)
2. Stadium Lanjut
Stadium laten dapat berlangsung bertahun-tahun dan keadaan
treponema dalam keadaan dorman. Meskipun demikian antibodi tetap ada
dalam serum penderita. Keseimbangan antara treponema dan jaringan
dapat berubah karena sebabnya belum jelas, kemungkinan trauma
merupakan salah satu faktor presipitasi. Pada saat itu munculah SIII
berbentuk guma. Meskipun pada guma tersebut tidak dapat ditemukan T.
pallidum namun reaksinya hebat karena bersifat destruktif dan

8
berlangsung bertahun-tahun. Setelah mengalami masa laten yang
bervariasi guma tersebut timbul di tempat-tempat lain. (3)
Treponema mencapai sistem kardiovaskular dan sistem saraf pada
waktu dini, tetapi kerusakan menjadi perlahan-lahan sehingga memerlukan
waktu bertahun-tahun untuk menimbulkan gejala klinis. Penderita dengan
guma biasanya tidak mendapat gangguan saraf dan kardiovaskular,
demikian pula sebaliknya. Kira-kira dua pertiga kasus dengan stadium
laten tidak memberi gejala. (3)

2.6. GAMBARAN KLINIS


1. Sifilis Akuisita
a. Sifilis Primer
Fase awal penyakit ini ditandai dengan munculnya luka sifilis
(chancre) tunggal. Luka sifilis juga bisa saja muncul lebih dari satu.
Bentuknya seperti sariawan; bulat, berbatas tegas, dan tidak terasa nyeri.
Lokasi luka sifilis merupakan pertanda tempat masuknya infeksi sifilis ke
dalam tubuh. (5)
Sifilis primer bermula dari T. pallidum menyerang dermis. Tanda
klasik yang mungkin ada yaitu lesi ulserasi yang disebut chancre.
Biasanya muncul antara 9 dan 90 hari setelah terpapar, dengan rata-rata
21 hari. (6)
Sifilis primer mulai tampak setelah terpapar dengan chancre di
lokasi inokulasi dan limfadenopati regional yang tidak nyeri. Lesi
dimulai sebagai papul dan dengan cepat membentuk ulkus yang biasanya
tidak eksudatif dengan dasar yang bersih. Lesi primer paling sering
ditemukan pada genitalia eksterna, tetapi dapat berkembang pada setiap
tempat paparan termasuk perineum, serviks, anus, rektum, bibir,
orofaring, dan tangan. Beberapa chancre dapat terjadi dan lebih sering
terjadi pada pasien dengan infeksi HIV. Tanpa pengobatan, chancre
biasanya sembuh dengan sendirinya dalam 1 sampai 3 minggu. (7)

9
Gambar 2. (A dan B) Chancre pada penis (7)

Gambar 3. Chancre pada bibir (7)

b. Sifilis Sekunder
Waktu onset tahap sekunder sifilis sangat bervariasi. Biasanya
terjadi 2 hingga 8 minggu setelah menghilangnya chancre, tetapi dalam
beberapa kasus, chancre utama mungkin masih ada. Banyak pasien yang
tidak mengingat riwayat lesi primer. Sifilis sekunder biasanya muncul
dengan ruam, demam, sakit kepala, faringitis, dan limfadenopati, tetapi
memiliki berbagai kemungkinan manifestasi sistemik termasuk hepatitis,
glomerulonefritis, periostitis, dan komplikasi neurologis dini, seperti
uveitis dan meningitis. (7)
Tahap ini ditandai dengan ruam makulopapular (terlihat pada 50-
70% pasien) yang mengenai telapak tangan dan telapak kaki. Ruam dan
terutama lesi sifilis sekunder bersifat infeksius. (8)
Eksantema klasik pada sifilis sekunder paling sering adalah ruam
makulopapular difus, namun tidak selalu, melibatkan telapak tangan,
telapak kaki dan skrotum. Ruam juga bisa berbentuk papular, annular,

10
atau pustular, dan dapat memiliki skala di atasnya. Manifestasi
mukokutan lainnya termasuk (1) kondilomata lata (plak luas yang basah
ditemukan di daerah intertriginosa, seperti daerah perianal, vulva, dan
paha bagian dalam); (2) plak mukosa (erosi abu-abu, superfisial atau plak
pada mukosa pipi dan lidah, di bawah preputium, dan pada labia bagian
dalam); (3) split papule (lesi nodular pada sudut bibir dan lipatan
nasolabial); dan (4) patchy alopecia (penipisan rambut, alis, dan jenggot
disebabkan oleh keterlibatan sifilis dari folikel rambut). Lesi kulit pada
sifilis, terutama lesi mukokutan non keratinisasi (kondilomata lata dan
bercak mukosa), mengandung konsentrasi spirochetes yang besar dan
sangat menular. (7)

Gambar 4. Papul keratosis psoriasiformis multipel pada palmar, Sifilis sekunder(7)

Gambar 5. Kondiloma lata pada perianal(7)

11
Gambar 6. Plak mukosa pada lidah(7)

Gambar 7. Papule split pada sudut bibir(7)


c. Sifilis Laten Dini
Laten berarti tidak ada gejala klinis dan kelainan, termasuk alat-
alat dalam, tetapi infeksi masih ada dan aktif. Tes serologik darah positif,
sedangkan tes likuorserebrospinal negatif. Tes yang dianjurkan ialah
VDRL dan TPHA. Sifilis laten merupakan stadium sifilis tanpa gejala
klinis, akan tetapi pemeriksaan serologis reaktif. (3)
Tanpa pengobatan, manifestasi sifilis sekunder umumnya sembuh
dalam beberapa minggu. Penyakit ini kemudian memasuki fase laten,
ditandai dengan kurangnya tanda-tanda klinis sifilis tetapi tes serologi
positif. Studi observasional telah menunjukkan bahwa gejala sifilis
sekunder rekuren dapat terjadi pada pasien yang tidak diobati hingga 5
tahun setelah presentasi awal mereka, tetapi umumnya kekambuhan ini
terjadi dalam tahun pertama. Oleh karena itu, latensi dini didefinisikan
sebagai periode asimtomatik selama tahun pertama setelah infeksi sifilis

12
awal. Seorang pasien yang ditemukan memiliki tes serologis reaktif
untuk sifilis dapat didiagnosis memiliki sifilis laten dini jika selama
tahun sebelumnya mereka memiliki (1) tes serologi non reaktif yang
didokumentasikan atau peningkatan titer empat kali lipat atau lebih besar
dari tes nontreponemal; (2) gejala sifilis primer atau sekunder yang tidak
jelas; atau (3) pasangan seks yang memiliki sifilis primer, sekunder, atau
sifilis laten dini. (7)
d. Sifilis Laten Lanjut
Sifilis laten lanjut adalah fase asimtomatik sifilis lebih dari 1 tahun
setelah infeksi sifilis. Sifilis laten lanjut, dianggap tidak menular (kecuali
pada wanita hamil yang mungkin terjadi penularan), dan membutuhkan
durasi pengobatan yang lebih lama dibandingkan dengan sifilis laten
dini.(7)
Sifilis laten lanjut biasanya tidak menular, diagnosis ditegakkan
dengan pemeriksaan tes serologik. Lama masa laten beberapa tahun
hingga bertahun-tahun, bahkan dapat seumur hidup. Likuor
serebrospinalis hendaknya diperiksa untuk menyingkirkan neurosifilis
asimtomatik. Demikian pula sinar-X aorta untuk melihat, apakah ada
orititis. (3)
e. Sifilis Tersier
Sifilis tersier dapat muncul sekitar 3-15 tahun setelah infeksi awal
dan dapat dibagi dalam tiga bentuk yaitu; sifilis gumatous sebanyak 15%,
neurosifilis lanjut (6,5%) dan sifilis kardiovaskular sebanyak 10%.
Sepertiga pasien berkembang menjadi sifilis tersier tanpa pengobatan.
Kelainan yang khas ialah guma, yakni infiltrat sirkumskrip, kronis,
biasanya melunak, dan destruktif. Besar guma bervariasi dari lentikular
sampai sebesar telur ayam.. Pasien dengan sifilis tersier tidak menular.
Sifilis gumatous atau sifilis benigna lanjut biasanya muncul 1-46 tahun
setelah infeksi awal, dengan rerata 15 tahun. Karakteristik pada stadium
ini ditandai dengan adanya guma kronik, lembut, seperti tumor yang

13
inflamasi dengan ukuran yang berbeda-beda. Guma ini biasanya
mengenai kulit, tulang dan hati tetapi dapat juga muncul di bagian lain. (2)
Guma merupakan lesi yang granulomatous, nodular dengan
nekrosis sentral, muncul paling cepat setelah dua tahun infeksi awal,
meskipun guma bisa juga muncul lebih lambat. Lesi ini bersifat merusak
biasanya mengenai kulit dan tulang, meskipun bisa juga muncul di hati,
jantung, otak, lambung dan traktus respiratorius atas. Lesi jarang yang
sembuh spontan tetapi dapat sembuh secara cepat dengan terapi
antibiotik yang tepat. Guma biasanya tidak menyebab-kan komplikasi
yang serius, disebut dengan sifilis benigna lanjut (late benign syphilis). (2)
Sifilis benigna lanjut atau gumma merupakan proses inflamasi
proliferasi granulomatosa yang dapat menyebabkan destruksi pada
jaringan yang terkena. Disebut benigna sebab jarang menyebabkan
kematian kecuali bila menyerang jaringan otak. Gumma mungkin terjadi
akibat reaksi hipersensitivitas infeksi Treponema palidum. Lesi sebagian
besar terjadi di kulit dan tulang. Lesi pada kulit biasanya soliter atau
multipel, membentuk lingkaran atau setengah lingkaran, destruktif dan
bersifat kronis, penyembuhan di bagian sentral dan meluas ke perifer.
Lesi pada tulang biasanya berupa periostitis disertai pembentukan tulang
atau osteitis gummatosa disertai kerusakan tulang. Gejala khas ialah
pembengkakan dan sakit. Lokasi terutama pada tulang kepala, tibia, dan
klavikula. Pemeriksaan serologis biasanya reaktif dengan titer tinggi. (9)

Gambar 8. Guma sifilis yang ulser dan soliter(13)

14
Neurosifilis merupakan infeksi yang melibatkan sistem saraf
sentral, dapat muncul lebih awal, asimtomatik atau dalam bentuk sifilis
meningitis, lebih lanjut sifilis meningovaskular, general paresis, atau
tabes dorsalis. Sifilis meningovaskular muncul 5-10 tahun setelah infeksi
awal. Sifilis meningovaskular ditandai dengan apati, seizure dan general
paresis dengan dimensia dan tabes dorsalis. General paresis biasanya
muncul 15-20 tahun setelah infeksi awal, sedangkan tabes dorsalis 25-30
tahun. Komplikasi yang paling sering adalah aortitis sifilis yang dapat
menyebabkan aneurisma. (2)
Sifilis kardiovaskular disebabkan terutama karena nekrosis aorta
yang berlanjut ke katup. Tanda-tanda sifilis kardiovaskuler adalah
insufisiensi aorta atau aneurisma, berbentuk kantong pada aorta torakal.
Bila komplikasi ini telah lanjut, akan sangat mudah dikenal. Secara teliti
harus diperiksa kemungkinan adanya hipertensi, arteriosklerosis,
penyakit jantung rematik sebelumnya. Aneurisme aorta torakales
merupakan tanda sifilis kardiovaskuler. Bila ada insufisiensi aorta tanpa
kelainan katup pada seseorang yang setengah umur disertai pemeriksaan
serologis darah reaktif, pada tahap pertama harus diduga sifilis
kardiovaskuler, sampai dapat dibuktikan lebih lanjut. Pemeriksaan
serologis umumnya menunjukkan reaktif. (3,9)
2. Sifilis Kongenital
Sifilis kongenital dibagi menjadi dua tahap: dini dan lanjut. Pada
sifilis kongenital dini, bayi mengalami gejala sebelum berusia 2 tahun.
Jika infeksi terjadi pada awal kehamilan, bayi menunjukkan ruam
eksematous di mulut, leher, alat kelamin, dan anus. Fissuring umum terjadi
pada ruam dan dapat menyebabkan jaringan parut di sekitar mulut. Bayi
baru lahir dapat menunjukkan lepuhan kecil di telapak tangan dan telapak
kaki, yang kemudian berubah menjadi lesi “copper penny”. Tanda-tanda
lain mungkin termasuk pembengkakan hati dan limpa, gagal tumbuh,
demam, iritabilitas, radang tulang, anemia, lymphedema, ikterus, hidung
sadel (tidak ada jembatan), dan rinorea. (10)

15
Gambar 9. Ruam eksematous di mulut (10)
Sifilis kongenital lanjut, dengan gejala yang muncul setelah usia 2
tahun, termasuk gejala yang mirip dengan stadium tersier yang terlihat
pada orang dewasa. Bayi yang lebih tua/anak-anak muda tidak hadir
dengan tanda-tanda dermatologis banyak tetapi mungkin menunjukkan
abu-abu, mucous-like patch dan/atau jaringan parut pada anus dan vagina
luar. Tanda-tanda non dermatologis adalah gigi depan permanen
berkepanjangan dan lebar (gigi Hutchinson); nyeri tulang; kebutaan;
kornea berkabut; gangguan pendengaran atau tuli; dan pembengkakan
sendi.(10)
Lesi sifilis kongenital dini dan lanjut dapat sembuh serta
meninggalkan parut dan kelainan yang khas. Parut dan kelainan demikian
merupakan stigmata sifilis kongenital, akan tetapi hanya sebagian
penderita yang menunjukkan gambaran tersebut. Stigmata lesi dini dapat
menunjukkan:
a. gambaran muka yang menunjukkan saddlenose dan bulldog jaw
b. gigi menunjukkan gambaran gigi insisor Hutchinson dan gigi
Mullberry
c. ragades
d. koroidoretinitis, membentuk daerah parut putih dikelilingi pigmentasi
pada retina (jaringan parut koroid)
e. pada kuku dapat terjadi onikia yang merusak dasar kuku dan

16
permanen.
Sedangkan pada stigmata lesi lanjut dapat menunjukkan:
a. keratitis interstitial dapat meninggalkan kekeruhan pada lapisan
kornea
b. sikatriks gumatosa, yaitu guma pada kulit yang meniggalkan sikatriks
yang hipotrofi seperti kertas perkamen. Pada palatum dan septum nasi
sering meninggalkan perforasi
c. lesi tulang dapat terjadi sabre tibia, akibat osteoporosis gumatosa
d. atrofi optikus, tersendiri tanpa iridoplegia
e. Trias Hutchinson, ialah sindrom yang terdiri dari keratitis
interstisialis, gigi Hutchinson, dan ketulian nervus VIII.(3)

2.7. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan penunjang untuk mendiagnosis sifilis yaitu :
1. Pemeriksaan T. Pallidum
Cara pemeriksaan adalah dengan mengambil serum dari lesi kulit
dan dilihat bentuk dan pergerakannya dengan mikroskop lapangan
gelap. Pemeriksaan dilakukan tiga hari berturut-turut. Jika hasil pada
hari I dan II negatif. Sementara itu lesi dikompres dengan larutan garam
faal. Bila negatif bukan selalu berarti diagnosisnya bukan sifilis,
mungkin kumannya terlalu sedikit. Treponema tampak berwarna putih
pada latar belakang gelap. Pergerakannya memutar terhadap sumbunya,
bergerak perlahan-lahan melintasi lapangan pada pandangan, jika tidak
bergerak cepat seperti Borrelia vincentii penyebab stomatitis.
Pemeriksaan lain dengan pewarna menurut Buri, tidak dapat dilihat
pergerakannya karena treponema tersebut telah mati, jadi hanya tampak
bentuknya saja. Sementara itu lesi dikompres dengan larutan garam faal
setiap hari. (3)
2. Tes Serologik Sifilis (TSS)
Tes Serologik Sifilis atau Serologic Tests for Sypilis (STS)
merupakan pembantu diagnosis yang penting bagi sifilis. SI pada

17
mulanya memberi hasil TSS negatif (seronegatif), kemudian menjadi
positif (seropositif) dengan titer rendah, jadi positif lemah. Pada SII
yang masih dini reaksi menjadi positif agak kuat, yang akan menjadi
sangat kuat pada SII lanjut. Pada SIII reaksi menurut lagi menjadi
positif lemah atau negatif. TSS dibagi menjadi dua berdasarkan antigen
yang dipakai, yaitu : (2)
a) Tes Nontreponemal
Uji nontreponemal yang paling sering dilakukan adalah uji
VDRL dan RPR. Pemeriksaan ini digunakan untuk mendeteksi
antibodi terhadap antigen yang terdiri dari kardiolipin, kolesterol,
dan lesitin yang sudah terstandardisasi. Uji serologi nontreponemal
ini merupakan uji yang dianjurkan untuk memonitor perjalanan
penyakit selama dan setelah pengobatan, karena pemeriksaannya
mudah, cepat dan tidak mahal. (2)
Pemeriksaan sifilis dengan metode VDRL mudah dilakukan,
cepat dan sangat baik untuk skrining. Uji VDRL dilakukan untuk
mengukur antibodi IgM dan IgG terhadap materi lipoidal (bahan
yang dihasilkan dari sel host yang rusak) sama halnya seperti
lipoprotein, dan mungkin kardiolipin berasal dari treponema.
Antibodi antilipoidal adalah antibodi yang tidak hanya berasal dari
sifilis atau penyakit yang disebabkan oleh treponema lainnya, tetapi
dapat juga berasal dari hasil respons terhadap penyakit
nontreponemal, baik akut ataupun kronik yang menimbulkan
kerusakan jaringan. (2)
Uji venereal disease research laboratory (VDRL) merupakan
pemeriksaan slide microflocculation untuk sifilis yang menggunakan
antigen yang terdiri dari kardiolipin, lesitin, dan kolesterol. Antigen
tersebut disuspensikan dalam cairan bufer salin, membentuk flokulan
ketika digabungkan dengan antibodi lipoidal pada serum atau cairan
serebrospinal pasien sifilis. Laporan hasil pemeriksaan VDRL
kualitatif dengan menggunakan serum yaitu: (11)

18
- gumpalan medium atau besar: reaktif (R)
- gumpalan kecil: reaktif lemah (W)
- tidak ada gumpalan/sedikit butiran: tidak reaktif (N).
Sedangkan, laporan hasil pemeriksaan VDRL kualitatif dengan
menggunakan cairan serebrospinal yaitu:
- gumpalan jelas dari berbagai tingkatan : reaktif (R)
- tidak ada gumpalan atau sangat sedikit butiran: tidak reaktif (N).
Laporan hasil pemeriksaan VDRL kuantitatif dengan menggunakan
serum yaitu: (11)
Pengenceran Serum Laporan
1:1 1:2 1:4 1:8 1:16 1:32
R W N N N N Reaktif, tidak diencerkan, 1
pengenceran
R R W N N N Reaktif, 1:2 pengenceran, 2
pengenceran
R R R W N N Reaktif, 1:4 pengenceran, 4
pengenceran
W W R R W N Reaktif, 1:8 pengenceran, 8
pengenceran
N W R R R N Reaktif, 1:16 pengenceran,
16 pengenceran
W N N N N N Reaktif lemah, tidak
diencerkan, 1 pengenceran
Tabel 1. Laporan hasil pemeriksaan VDRL kuantitatif
(11)
dengan serum

19
Laporan hasil pemeriksaan VDRL kuantitaif dengan menggunakan
cairan serebrospinal yaitu:(11)
Pengenceran Serum Laporan
1:1 1:2 1:4 1:8 1:16 1:32
R N N N N N Reaktif, tidak diencerkan, 1
pengenceran
R R N N N N Reaktif, 1:2 pengenceran, 2
pengenceran
R R R N N N Reaktif, 1:4 pengenceran, 4
pengenceran
R R R R N N Reaktif, 1:8 pengenceran, 8
pengenceran
N R R R R N Reaktif, 1:16 pengenceran,
16 pengenceran
Tabel 2. Laporan hasil pemeriksaan VDRL kuantitatif
dengan cairan serebrospinal (11)
Interpretasi hasil pemeriksaan VDRL dengan menggunakan
serum yaitu sebagai berikut: (11)
- Tes VDRL membantu dalam diagnosis sifilis. Untuk
mendiagnosis sifilis, dokter menggabungkan hasil tes VDRL
dengan hasil tes serologi lainnya, pemeriksaan darkfield, tanda
dan gejala klinis, dan faktor risiko. Tanpa bukti pendukung lain
untuk diagnosis sifilis, VDRL reaktif mungkin tidak terkait
dengan infeksi T. pallidum. Nilai prediktif dari VDRL reaktif
dalam diagnosis serologis sifilis meningkat ketika
dikombinasikan dengan tes treponemal reaktif, seperti tes
fluorescent treponemal antibody absorption (FTA-ABS) atau tes
the microhemagglutination assay for antibodies to T. pallidum
(MHA-TP).
- Hasil VDRL reaktif dapat bermakna infeksi baru atau lama
dengan treponema patogen, namun hasilnya juga dapat menjadi
reaksi positif palsu. Hasil reaksi positif palsu dapat disebabkan
oleh kesalahan laboratorium dan serum antibodi yang tidak ada
hubungannya dengan sifilis. Uji VDRL positif palsu yang

20
dihasilkan dari infeksi dengan penyakit non treponemal atau
penyakit lainnya diidentifikasi dengan tes treponemal non
reaktive yang menyertainya.
- Hasil VDRL non reaktif tanpa gejala klinik sifilis dapat berarti
tidak terinfeksi sifilis dan pengobatan yang efektif. Apabila hasil
VDRL non reaktif disertai dengan gejala klinik sifilis, dapat
berarti sifilis primer dini, reaksi prozone pada sifilis sekunder,
tes harus diulang dengan pengenceran serum pasien 1:16
sebelumnya.
- Jika tes VDRL kuantitatif yang dilakukan pada pasien dengan
sifilis mengalami peningkatan titer empat kali lipat, misalnya 1:
4 hingga 1:16, pada spesimen ulang dapat menunjukkan infeksi,
infeksi berulang, atau kegagalan pengobatan. Jika peningkatan
titer terjadi selama periode waktu yang singkat, misalnya dua
minggu, respon imunologi kemungkinan besar karena respon
treponemal daripada respon lipoprotein positif-palsu biologis.
Penurunan empat kali lipat titer, mis. 1: 8 hingga 1: 2, 6 hingga
12 bulan setelah pengobatan untuk sifilis awal biasanya
menunjukkan bahwa terapi itu adekuat.
- Semua tes kualitatif VDRL reaktif harus dikuantifikasi ke titik
akhir, dan titer titik akhir harus dilaporkan. Titer VDRL yang
sangat tinggi dapat terlihat bersamaan dengan infeksi HIV-1.
Titer positif palsu yang tidak normal dapat terlihat dalam serum
dari beberapa pasien dengan limfoma.
Interpretasi hasil pemeriksaan VDRL dengan menggunakan
cairan serebrospinal yaitu sebagai berikut:(11)
- Tes VDRL reaktif pada CSF, biasanya menunjukkan infeksi
sifilis baru atau lama pada sistem saraf pusat. Hasil uji VDRL
positif palsu untuk sifilis jarang terjadi pada cairan
serebrospinal.

21
- Tes VDRL non reaktif pada CSF dapat menunjukkan bahwa
pasien tidak memiliki neurosifilis. Tes VDRL nonreaktif pada
CSF dapat menunjukkan bahwa pasien tidak memiliki
neurosifilis. Namun, hasil negatif dapat terjadi pada beberapa
serum dari pasien neurosifilis. Perubahan spesifik pada CSF
pasien neurosifilis termasuk peningkatan total protein dan
peningkatan jumlah sel. Namun, pleocytosis juga merupakan
karakteristik infeksi HIV.
Uji rapid plasma reagin (RPR) 18-mm circle card merupakan
pemeriksaan makroskopis, menggunakan kartu flocculation
nontreponemal. Antigen dibuat dari modifikasi suspensi antigen
VDRL yang terdiri dari choline chloride, EDTA dan partikel
charcoal. Antigen RPR dicampur dengan serum yang dipanaskan
atau tidak dipanaskan atau plasma yang tidak dipanaskan diatas kartu
yang dilapisi plastik. (2)
Pemeriksaan RPR mengukur antibodi IgM dan IgG terhadap
materi lipoidal, dihasilkan dari kerusakan sel host sama seperti
lipoprotein, dan mungkin kardiolipin dihasilkan dari treponema.
Antibodi antilipoidal merupakan antibodi yang diproduksi tidak
hanya dari pasien sifilis dan penyakit treponemal lainya, tetapi juga
sebagai respons terhadap penyakit nontreponemal akut dan kronik
yang menyebabkan kehancuran jaringan. Jika di dalam sampel
ditemukan antibodi, maka akan berikatan dengan partikel lipid dari
antigen membentuk gumpalan. Partikel charcoal beraglutinasi
dengan antibodi dan kelihatan seperti gumpalan di atas kartu putih.
Apabila antibodi tidak ditemukan didalam sampel, maka akan
kelihatan campuran berwarna abu-abu. (2)
Hasil tes non-treponemal (RPR) masih bisa negatif sampai 4
minggu sejak pertama kali muncul lesi primer. Tes diulang 1-3 bulan
kemudian pada pasien yang dicurigai sifilis namun hasil RPR nya
negatif. (13)

22
(12)
Tabel 3. Interpretasi hasil tes serologis untuk sifilis

Tabel 4. Interpretasi hasil tes serologis Sifilis dan tindakan(13)


b) Tes Treponemal
Uji serologi treponemal mendeteksi antibodi terhadap antigen
treponemal dan memiliki sensitivitas yang lebih tinggi dibandingkan
dengan uji nontreponemal, terutama sifilis lanjut. (2)
Pemeriksaan FTA-ABS menggunakan teknik antibodi
flouresens secara tidak langsung, sebagai pemeriksaan konfirmasi
terhadap sifilis. Pemeriksaan ini menggunakan antigen Treponema
pallidum subsp. Pallidum (strain Nichols). Serum pasien yang telah

23
diencerkan 1:5 dengan sorbent (ekstrak dari kultur Treponema
phagedenis, Reiter treponema), untuk menghilangkan beberapa
antibodi treponema yang ditemukan pada sebahagian pasien, dalam
hal merespons treponema nonpatogenik. Selanjutnya ditempelkan di
atas slide yang sebelumnya telah difiksasi dengan Treponema
pallidum. Jika serum pasien mengandung antibodi, maka antibodi
tersebut akan melapisi treponema. Fluorescein isothiocyanate
(FITC)-labeled antihuman immunoglobulin ditambahkan, kemudian
akan terbentuk ikatan dengan antibodi IgG dan IgM pasien yang
melekat pada Treponema pallidum. Ikatan ini akan terlihat dan
diperiksa dibawah mikroskop fluoresens. (2)
Pemeriksaan TP-PA merupakan pemeriksaan serologi,
mendeteksi antibodi beberapa spesies dan subspesies treponema
patogenik penyebab sifilis, yaws, pinta, bejel. Pemeriksaan dengan
metode ini digunakan sebagai pemeriksaan konfirmasi, pengganti
pemeriksaan dengan microhemagglutination assay for antibodies to
Treponema pallidum (MHA-TP). (2)
Treponema pallidum Hemagglutination Assay (TPHA)
merupakan suatu pemeriksaan serologi untuk sifilis. Untuk skirining
penyakit sipilis biasanya menggunakan pemeriksaan VDRL atau
RPR apabila hasil reaktif kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan
TPHA sebagai konfirmasi. Adanya antibody Treponema pallidum
akan bereaksi dengan antigen treponema yang menempel pada
eritrosit unggas sehingga terbentuk aglutinasi dari eritrosit-eritrosit
tersebut. Interpretasi hasil pemeriksaan secara kualitatif yaitu reaksi
positif ditandai dengan adanya bulatan berwarna merah dipermukaan
sumur, hasil negatif terlihat seperti titik berwarna merah di tengah
dasar sumur Interpretasi pada pemeriksaan secara kuantitatif yaitu
dengan melihat pengenceran tertinggi yang menunjukkan aglutinasi
pada titer 1/80, 1/160, 1/1320, 1/640, 1/1280, 1/2560. (14)

24
2.8. DIAGNOSIS BANDING
1. Diagnosis banding SI
a. Herpes simpleks
Infeksi akut yang disebabkan oleh virus herpes simpleks tipe I atau
tipe II yang ditandai oleh adanya vesikel yang berkelompok di atas
kulit yang sembab dan eritematosa pada daerah dekat mukokutan,
sedangkan infeksi dapat berlanagsung baik primer maupun rekurens.
Tempat predileksi VHS tipe I di daerah pinggang ke atas terutama
daerah mulut dan hidung, sedangakan tempat predileksi VHS tipe II
yaitu daerah pinggang ke bawah terutama di daerah genital. Penyakit
ini residif dapat disertai rasa gatal, nyeri, lesi berupa vesikel di atas
kulit yang eritematosa, berkelompok. Jika telah pecah tampak
kelompok erosi, sering berkonfluensi dan polisiklik, tidak terdapat
indurasi. (3)

Gambar 11. Infeksi Virus Herpes Simplex, Gingivostomatitis primer (15)


b. Limfogranuloma venereum (L.G.V.)
Limfogranuloma venereum adalah penyakit venerik yang disebabkan
oleh Chlamydia trachomatis, afek primer biasanya cepat hilang dan
tidak khas, dapat berupa papul, vesikel, pustul, ulkus, dan biasanya
cepat hilang. Yang khas ialah limfadenitis regional, disertai tanda-
tanda radang akut, supurasi tidak serentak, terdapat periadenitis.
L.G.V. disertai gejala konstitusi: demam, malese, dan artralgia. (3)

25
Gambar 12. Papul ekstragenital lokal pada sudut bibir(16)
c. Ulkus mole
Ulkus mole (chancroid) adalah penyakit infeksi pada alat kelamin
akut, setempat, disebabkan oleh Streptobacillus ducrey (Haemophilus
ducrey) dengan gejala khas berupa ulkus nekrotik yang nyeri pada
tempat inokulasi, dan sering disertai pernanahan kelenjar getah bening
regional. Masa inkubasi antara 1-14 hari. Awalnya kelainan kulit
berupa papul, kemudian menjadi vesikopustul pada tempat inokulasi,
kemudian pecah menjadi ulkus. Ulkus berukuran kecil, lunak saat
diraba, tidak terdapat indurasi, berbentuk cawan, pinggiran tidak rata,
dan dikelilingi halo yang eritematosa. Tempat predileksi pada laki-laki
ialah permukaan mukosa preputium, sulcus koronarius, frenulum
penis dan batang penis, serta pada wanita ialah labia, klitoris,
fourchette, vestibuli, anus, dan serviks. (3)

Gambar 13. Ulkus pada penis yang ditandai dengan eritema dan
edema di sekitarnya(15)

26
2. Diagnosis banding SII
Pada anamnesis hendaknya ditanyakan, apakah pernah menderita
luka di genital (SI) yang tidak nyeri. Klinis yang penting umumnya berupa
kelainan tidak gatal. Pada SII dini kelainan generalisata, hampir simetrik,
telapak tangan/kaki jugs dikenai. Pada SII lambat terdapat kelainan
setempatsetempat, berkelompok, dapat tersusun menurut susunan tertentu,
misalnya: arsinar, polisiklik, korimbiformis. Biasanya terdapat
limfadenitis generalisata. Tes serologik positif kuat pada SII dini, lebih
kuat lagi pada S II lanjut. (3)
a. Erupsi obat alergik
Pada anamnesis dapat diketahui timbulnya alergi karena obat yang
dapat disertai demam. Kelainan kulit bermacam-macam, di antaranya
berbentuk eritema sehingga mirip roseala pada SII. Keluhannya gatal,
sedangkan pada sifilis biasanya tidak gatal.(3)

Gambar 14. Erupsi obat alergi pada dorsum penis:


trimethoprim-sulfamethoxazole(15)

b. Pitiriasis rosea
Terdiri atas banyak bercak eritematosa terutama di pinggir dengan
skuama halus, berbentuk lonjong, lentikular, susunannya sejajar
dengan lipatan kulit. Penyakit ini tidak disertai limfadenitis
(3)
generalisata seperti pada SII.

27
Gambar 15. Eksantema pada pitiriasis rosea(15)
c. Kondiloma akuminatum
Penyakit ini mirip kondiloma lata, Kedua-duanya berbentuk papul.
Perbedaannya: pada kondiloma akuminata biasanya permukaannya
runcing-runcing, sedangkan papul pada kondiloma lata permukaannya
datar serta eksudatif. (3)

Gambar 15. Kondiloma akuminata pada mukosa bibir(15)


3. Diagnosis banding SIII
Kelainan kulit yang utama pada SIII ialah guma. Guma juga terdapat
pada penyakit lain: tuberkulosis, frambusia, dan mikosis profunda. Tes
serologik pada SIII dapat negatif atau positif lemah, karena itu yang
penting ialah anamnesis, apakah penderita tersangka menderita S I atau S
II dan pemeriksaan histopatologik.(3)
Mikosis dalam yang dapat menyerupai SIII ialah sporotrikosis.
Perbedaannya pada sporotrikosis berbentuk nodus yang terletak sesuai
dengan perjalanan pembuluh getah bening, dan pada pembiakan akan

28
ditemukan jamur penyebabnya. Aktinomikosis sangat jarang di Indonesia.
Penyakit ini juga terdiri atas infiltrat yang melunak seperti guma SIII.
Lokalisasinya khas yakni di leher, dada, dan abdomen. Kelainan kulitnya
berbeda, yakni terdapat fistel multipel; pada pusnya tampak butir-butir
kekuningan yang disebut sulfur granules. Pada biakan akan tumbuh
Actinomyces. (3)

Gambar 15. Sporotrikosis tipe limfangitis akut(15)

2.9.TATALAKSANA
Penisilin G, diberikan secara parenteral, adalah obat pilihan untuk
mengobati orang di semua tahap sifilis. Sediaan yang digunakan (yaitu,
benzathine, aqueous procaine, atau aqueous crystalline), dosis, dan lama
pengobatan tergantung pada tahap dan manifestasi klinis penyakit.
Pengobatan untuk sifilis laten dan sifilis tersier membutuhkan durasi terapi
yang lebih lama, karena organisme secara teoritis mungkin membelah lebih
lambat. Durasi pengobatan yang lebih lama diperlukan untuk orang dengan
sifilis laten dengan durasi yang tidak diketahui untuk memastikan bahwa
mereka yang tidak mendapatkan sifilis pada tahun sebelumnya mendapat
pengobatan yang memadai. (17)
Pemilihan penisilin yang tepat sangat penting karena T. pallidum dapat
berada di area yang sulit diakses oleh beberapa bentuk penicillin (misalnya,
CNS dan aqueous humor). Kombinasi penisilin benzatin, prokain penisilin,
dan penisilin oral dianggap tidak tepat untuk pengobatan sifilis. (17)

29
1. Sifilis primer dan sekunder
Penisilin G parenteral digunakan secara efektif untuk mencapai
resolusi klinis (misalnya, penyembuhan lesi dan pencegahan penularan
seksual) dan untuk mencegah akhir gejala sisa. Regimen yang
direkomendasikan untuk: (17)
- Orang dewasa yaitu Benzathine penicillin G 2,4 juta unit
intramuskular (IM) dalam dosis tunggal
- Bayi dan anak-anak yaitu Benzathine penicillin G 50.000 unit / kg
IM, hingga dosis dewasa 2,4 juta unit dalam dosis tunggal.

Orang yang menderita sifilis disertai gejala atau tanda yang


menunjukkan penyakit neurologis (misalnya disfungsi saraf kranial,
meningitis, stroke, dan gangguan pendengaran) atau penyakit mata
(misalnya, uveitis, iritis, neuroretinitis, dan neuritis optik) harus
memiliki evaluasi yang mencakup analisis CSF, pemeriksaan mata
ocular slit-lamp, dan pemeriksaan otologik. (17)
Beberapa orang dengan sifilis primer maupun sekunder
mengalami alergi terhadap penisilin. Regimen doksisiklin 100 mg per
oral dua kali sehari selama 14 hari dan tetrasiklin (500 mg empat kali
sehari selama 14 hari) telah digunakan selama bertahun-tahun.
Kepatuhan cenderung lebih baik dengan doksisiklin daripada
tetrasiklin, karena tetrasiklin dapat menyebabkan efek samping
gastrointestinal dan memerlukan dosis yang lebih sering. Meskipun
studi klinis terbatas, bersama dengan bukti biologis dan farmakologis,
menunjukkan bahwa seftriakson (1-2 g setiap hari baik IM atau IV
selama 10-14 hari) efektif untuk mengobati sifilis primer dan
sekunder, dosis optimal dan durasi terapi ceftriaxone belum
didefinisikan. Azitromisin sebagai dosis oral 2 g tunggal telah efektif
untuk mengobati sifilis primer dan sekunder pada beberapa populasi.
Namun, mutasi kromosom T. pallidum terkait dengan azitromisin,
ketahanan macrolide lainnya dan kegagalan pengobatan telah

30
didokumentasikan di beberapa wilayah geografis di Amerika Serikat.
Dengan demikian, azitromisin tidak boleh digunakan sebagai
pengobatan lini pertama untuk sifilis dan harus digunakan hanya jika
pengobatan dengan penisilin atau doksisiklin tidak layak. Azitromisin
tidak boleh digunakan pada orang dengan HIV, atau wanita hamil. (17)
2. Sifilis Laten
Pada sifilis laten dini, regimen yang direkomendasikan untuk
orang dewasa yaitu Benzathine penicillin G 2.4 juta unit IM dalam
dosis tunggal dan untuk bayi dan anak-anak Benzathine penicillin G
50.000 unit / kg IM, hingga dosis dewasa 2,4 juta unit dalam dosis
tunggal. (17)
Pada sifilis laten lanjut atau sifilis laten pada durasi tidak
diketahui, regimen yang direkomendasikan yaitu: (17)
- Dewasa : Benzathine penicillin G 7,2 juta unit total, diberikan
dalam 3 dosis masing-masing 2,4 juta unit IM tiap interval 1
minggu
- Bayi dan anak-anak : Benzathine penicillin G 50.000 unit/kg IM,
hingga dosis dewasa 2,4 juta unit, diberikan sebagai 3 dosis tiap
interval 1 minggu (total 150.000 unit/kg hingga total dosis dewasa
7,2 juta unit)
Semua orang yang memiliki sifilis laten harus diuji untuk infeksi
HIV. Orang yang menerima diagnosis sifilis laten dan memiliki tanda-
tanda neurologis dan gejala (misalnya, disfungsi kognitif, defisit
motorik atau sensorik, gejala oftalmik atau pendengaran, palsi syaraf
kranial, dan gejala atau tanda meningitis atau stroke) harus dievaluasi
untuk neurosifilis.(17)
3. Sifilis tersier
Regimen yang direkomendasikan pada sifilis tersier dengan
pemeriksaan CSF normal yaitu Benzathine penicillin G 7,2 juta unit
total, diberikan sebagai 3 dosis masing-masing 2,4 juta unit IM dalam
interval 1 minggu.(17)

31
Pada neurosifilis dan sifilis mata, regimen yang
direkomendasikan yaitu Penicillin kristal aqua G 18-24 juta unit per
hari, diberikan sebagai 3-4 juta unit IV setiap 4 jam atau infus
berkelanjutan, selama 10-14 hari. Jika kepatuhan dengan terapi dapat
dipastikan, rejimen alternatif dapat dipertimbangkan yaitu Procaine
penicillin G 2,4 juta unit IM sekali sehari ditambah Probenecid 500 mg
per oral empat kali sehari, keduanya selama 10-14 hari.(17)

Selain penisilin, masih ada beberapa antibiotik yang dapat digunakan


sebagai pengobatan sifilis, meskipun tidak seefektif penisilin. Bagi yang
alergi terhadap penisilin diberikan tetrasiklin 4 x 500 mg/hari, atau
eritromisin 4 x 500 mg/hri, atau doksisiklin 2 x 100 mg/hari. Lama
pengobatan15 hari bagi SI dan SII dan 30 hari bagi stadium laten. Eritromisin
bagi yang hamil, efektivitasnya meragukan. Doksisiklin absorbsinya lebih
baik dari pada tetrasiklin,yakni 90-100%, sedangkan tetrasiklin hanya 60-
80%. Pada penelitian terbaru didapatkan bahwa doksisiklin atau eritromisin
yang diberikan sebagai terapi sifilis primer selama 14 hari, menunjukkan
perbaikan. Obat yang lain ialah golongan sefalosporin, misalnya sefaleksin 4
x 500 mgsehari selama 15 hari. Juga seftriakson setiap hari 2 gr, dosis tunggal
i.m. atau i.v.selama 15 hari. Azitromisin juga dapat digunakan untuk S I dan
S 11, terutama di negara yang sedang berkembang untuk menggantikan
penisilin. Dosisnya 500 mg sehari sebagai dosis tunggal. Lama pengobatan 10
hari. (3)

32
Tabel 5. Terapi Sifilis (13)

2.10. EVALUASI TERAPI


Pasien dengan sifilis dini dan telah diterapi dengan adekuat harus di
evaluasi secara klinis dan serologis tiap 3 bulan selama satu tahun pertama
(bulan ke 3, 6, 9, 12) dan setiap 6 bulan di tahun kedua (bulan ke 18, dan 24).
Tes TPHA dan titer RPR harus dilakukan pada: (13)
- Tiga bulan setelah terapi untuk sifilis primer dan sekunder, titer RPR
diperlukan untuk mengevaluasi keberhasilan terapi dan mendeteksi infeksi
ulang (reinfeksi). Terapi dianggap berhasil jika titer RPR turun. Jika titer
tidak turun atau malah naik, kemungkinan terjadi reinfekdan ulangi terapi.
- 3, 6, 9, 12, 18 dan 24 bulan setelah terapi: Jika titer RPR tetap sama atau
bahkan turun, terapi dianggap berhasil dan pasien cukup diobservasi. Jika
titer RPR meningkat, obati pasien sebagai infeksi baru dan ulangi terapi.
- Jika RPR non reaktif atau reaktif lemah(serofast) maka pasien dianggap
sembuh.
Pada semua stadium, ulangi terapi jika terdapat gejala klinis sifilis dan
terdapat peningkatan titer RPR (misal dari 1:4 menjadi 1:8).(13)

2.11. PROGNOSIS
Pasien yang didiagnosis dengan sifilis primer atau sekunder (tanpa
keterlibatan auditori/neurologik/okular), prognosis baik setelah pengobatan

33
yang tepat. T pallidum tetap sangat responsif terhadap penisilin, dan
kemungkinan penyembuhannya besar. Di antara pasien yang didiagnosis
dengan sifilis tersier, prognosisnya kurang optimis. Dua puluh persen pasien
yang tidak diobati dengan sifilis tersier meninggal karena penyakit ini,
membuat sifilis salah satu dari beberapa penyakit menular seksual (PMS)
mampu membunuh inangnya. Namun, dengan perawatan yang memadai, 90%
pasien dengan neurosifilis memiliki respons klinis. (18)
Secara keseluruhan prognosis untuk sifilis tersier tergantung pada
luasnya jaringan parut dan kerusakan jaringan, karena perawatan mencegah
kerusakan dan peradangan lebih lanjut tetapi tidak dapat membalikkan
kerusakan jaringan sebelumnya. Misalnya, prognosis pada sifilis
kardiovaskular buruk. Sebaliknya, gumma sifilis biasanya segera sembuh
dengan penisilin dosis tinggi. (18)
Sifilis kongenital adalah hasil yang paling serius dari sifilis pada wanita.
Telah ditunjukkan bahwa proporsi yang lebih tinggi dari bayi dipengaruhi jika
ibu memiliki sifilis sekunder yang tidak diobati, dibandingkan dengan sifilis
laten dini yang tidak diobati. Karena T pallidum tidak menyerang jaringan
plasenta atau janin sampai bulan kelima kehamilan, sifilis menyebabkan
aborsi telat, kelahiran mati, atau kematian segera setelah melahirkan di lebih
dari 40% infeksi maternal yang tidak diobati. Kematian neonatal biasanya
hasil dari perdarahan paru, superinfeksi bakteri, atau hepatitis fulminan. (18)

34
BAB III
KESIMPULAN

Sifilis adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh Treponema


pallidum dan bersifat sistemik, selama perjalanan penyakit dapat menyerang
seluruh organ tubuh, ada masa laten tanpa manifestasi lesi di tubuh, dan dapat
ditularkan kepada bayi di dalam kandungan. Penularannya terutama melalui
hubungan seksual. Penularan juga dapat terjadi dari ibu ke janin dalam kandungan
atau saat ibu inpartu, melalui produk darah atau transfer jaringan yang tercemar,
dan kontak langsung dengan alat-alat yang tercemar. Diagnosis dapat ditegakkan
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang seperti
Serologi Tes Sifilis (STS) sehingga dapat menentukan jenis sifilis dan pengobatan
yang tepat. Obat pilihan utama dalam penatalaksanaan Sifilis ialah Penisilin G.
Pasien yang didiagnosis dengan sifilis primer atau sekunder (tanpa keterlibatan
auditori/neurologik/okular), prognosis baik setelah pengobatan yang tepat

35
DAFTAR PUSTAKA

1. Masni, Lante N, Arsin, AA. Faktor Risiko Kejadian Infeksi Menular Seksual
Di Puskesmas Kalumata Kota Ternate. Jurnal MKMI, Vol. 12. No. 4; 2016.
Diakses tanggal 15 Mei 2018 pada
https://media.neliti.com/media/publications/212721-faktor-risiko-kejadian-
infeksi-menular-s.pdf
2. Elfrida, Elvinawati. Imunopatogenesis Treponema pallidum dan Pemeriksaan
Serologi. Jurnal Kesehatan Andalas, Vol. 3 No. 3; 2014. Diakses tanggal 15
Mei 2018 pada http://jurnal.fk.unand.ac.id/index.php/jka/article/view/203
3. Natahusada, EC, Djuanda A. Sifilis dalam: Djuanda A, Hamzah M, Aisyah S.
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Balai Penerbit FKUI, Jakarta; 2016.
4. WHO. Guidelines for The Treatment of Treponema pallidum (Syphilis).
World Health Organization; 2016. Diakses tanggal 16 Mei 2018 pada
http://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/249572/9789241549806-
eng.pdf;jsessionid=9638D54730DF42976D0E926204ED27DA?sequence=1
5. Anindyajati G. The Silent Syphilis. Diakses tanggal 16 Mei 2018 pada
http://angsamerah.com/pdf/Angsamerah%20The%20Silent%20Syphilis.pdf
6. Banniste J. Diagnosis and Treatment Regimes for Syphilis. Goodfellow Unit.
Diakses tanggal 16 Mei 2018 pada
https://www.goodfellowunit.org/sites/default/files/syphilis_quiz/Syphilis_Intr
oduction.pdf
7. Cohen SE, Klausner JD, Engelman J, Philip S. Update in Sexually
Transmitted Infections. Infectious Disease Clinics of North America 27, 705-
722; 2013. Diakses tanggal 16 Mei 2018 pada
http://citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/download?doi=10.1.1.657.571&rep=rep1
&type=pdf
8. Nyatsanza F, Tipple C. Syphilis: Presentations in General Medicine. Clinical
Medicine Vol. 16 No.2; 2016. Diakses tanggal 16 Mei 2018 pada
http://www.clinmed.rcpjournal.org/content/16/2/184.full.pdf

36
9. Suryani DPA, Sibero HT. Syphilis. J Majority Vol 3 No 7; 2014. Diakses
tanggal 16 Mei 2018 pada
http://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/majority/article/viewFile/470/573
10. Ingram B. The Many Presentation of Syphilis. Journal of the Dermatology
Nurse Association Vol 8 Issue 5 page 318-324; 2016. Diakses tanggal 20 Mei
2018 pada
https://journals.lww.com/jdnaonline/Fulltext/2016/09000/The_Many_Present
ations_of_Syphilis.5.aspx
11.Kennedy EJ, Creighton ET. Veneral Disease Resesarch Laboratory (VDRL)
Slide Test. Center for Disease Control and Prevention; 1998. Diakses tanggal
23 Mei 2018 pada https://www.cdc.gov/std/syphilis/manual-1998/chapt8.pdf
12. Ratnam S. The Laboratory Diagnosis of Syphilis. Canadian STI Best Practice
Laboratory Guidelines. Can J Infect Dis Med Microbiol Vol. 16 No. 1; 2005.
Diakses tanggal 20 Mei 2018 pada
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2095002/pdf/JIDMM16045.
pdf
13. Kemenkes RI. Pedoman Tatalaksana Sifilis untuk Pengendalian Sifilis di
Layanan Kesehatan Dasar. Kementerian kesehatan RI; 2013. Diakses tanggal
20 Mei 2018 pada
http://siha.depkes.go.id/portal/files_upload/PEDOMAN_TATALAKSANA_
SIFILIS_PUSKESMAS___merah_ok.pdf
14. Oxoid. TPHA Test. Oxoid Limited. Diakses tanggal 20 Mei 2018 pada
www.oxoid.com/ifu
15. Wolff K, Johnson RA. Fitzpattrick’s Color Atlas & Synopsis of Clinical
Dermatology Sixth edition. Mc Graw Hill Medical, Newyork; 2009.
16. Tchernev G, Costa MC, Nenoff P, Salaro C, Patterson JW.
Lymphogranuloma Venereum “a clinical and hystopathological chameleon?”.
An Bras Dermatol 85(4):525-53-; 2010. Diakses tanggal 20 Mei 2018 pada
https://pdfs.semanticscholar.org/918c/0860e337740d21b0bd8ce3d41e68aebb
8fb0.pdf

37
17. Center for Disease Control and Prevention. Syphilis. STD Treatment
Guidlines; 2015. Diakses tanggal 23 Mei 2018 pada
https://www.cdc.gov/std/tg2015/syphilis.htm
18. Chandrasekar PH. Syphilis. Medscape; 2017. Diakses tanggal 19 Mei 2018
pada https://emedicine.medscape.com/article/229461-overview

38

Anda mungkin juga menyukai