Anda di halaman 1dari 22

BAGIAN ILMU KESEHATAN REFERAT

KULIT DAN KELAMIN MARET 2021


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PATTIMURA

Diagnosis Banding Sifilis Sekender

Disusun Oleh :

Meilisa M Kusdianto

NIM. 202084048

Pembimbing :

dr. Amanda G. Manuputty, Sp.DV

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS PATTIMURA

AMBON

2021

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa

karena atas rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan referat ini guna

penyelesaian tugas kepaniteraan klinik pada bagian kulit dan kelamin dengan

judul referat “Diagnosis Banding Sifilis Sekender”. Dalam penulisan referat ini,

banyak pihak yang turut terlibat untuk penyelesaiannya. Untuk itu penulis ingin

berterima kasih kepada:

1. dr. Amanda G. Manuputty, Sp.DV, selaku Dokter spesialis sekaligus

pembimbing yang telah membimbing penulis dalam penyelesaian referat

ini.

2. Orang tua dan semua pihak yang telah membantu serta memberi motivasi

penulis dalam menyelesaikan penulisan referat ini.

Penulis menyadari bahwa sesungguhnya referat ini masih jauh dari

kesempurnaan, oleh sebab itu penulis mengharapkan banyak masukkan berupa

kritik dan saran yang bersifat membangun untuk perkembangan penulisan referat

dalam waktu yang akan datang.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih, semoga referat ini dapat

bermanfaat bagi semua pihak.

Ambon, Maret 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................i

KATA PENGANTAR.............................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................iv

I.1 Latar Belakang...............................................................................................iv

BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................1

II.1 Definisi..........................................................................................................1

II.2 Etiologi..........................................................................................................1

II.3 Etiopatogenesis..............................................................................................3

II.4 Manifestasi Klinis..........................................................................................4

II.5 Diagnosis.......................................................................................................6

II.6 Diagnosis Banding.......................................................................................11

II.7 Tatalaksana..................................................................................................15

II.8 Prognosis......................................................................................................19

BAB III PENUTUP...............................................................................................20

III.1 Kesimpulan.................................................................................................20

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................21

iii
BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Sifilis merupakan salah satu IMS (infeksi menular seksual) yang

disebabkan oleh Treponema pallidum, bersifat kronis, sejak awal merupakan

infeksi sistemik, dalam perjalanan penyakitnya dapat mengenai hampir seluruh

bagian tubuh dan dapat menimbulkan kondisi cukup parah misalnya infeksi otak

(neurosifilis), kecacatan tubuh (gumma)1,2 Sifilis dapat bermanifestasi lokal dan

sistemik berbetuk bermacam-macam dan dapat menyerupai banyak penyakit

sehingga sering disebut sebagai “the great imitator” atau “the great impostor”.

Dalam perjalanannya, sifilis kadang dapat dikenali karena pada sebagain besar

infeksi berlangsung silent, dapat diselingi dengan periode laten tanpa gejala, dan

dapat disembuhkan. Bila dibiarkan tanpa diobati, penyakit akan berkembang ke

dalam berbagai stadium, menyebabkan penyakit yang berpotensi serius dan

mengancam jiwa.3,4,5

Treponema pallidum adalah bakteri penyebab infeksi sifillis yang

memiliki panjang sekitar 6-15 µm, lebar 0,15 µm dan tubuh yang berlekuk –

lekuk mencapai 8 – 24 lekukan. Bakteri ini berkembang biak dengan cara

pembelahan melintang. Kualitas imunitas memiliki peranan dalam infeksi sifilis

sekunder.6,7 Sifillis sekunder adalah tahap lanjutan dari sifillis primer yang terjadi

dengan karakteristik berupa ruam pada jaringan cutaneous, demam, gatal,

iv
limfadenopati dan malaise. Lesi pada penderita sifillis sekunder berbentuk

makulopapul, papul, pustular atau anular.6,8,9

WHO menemukan prevalensi kasus sifillis setiap tahun terjadi sebanyak

12 juta kasus baru. Angka kejadian sifillis di negeri cina lebih besar pada daerah

dengan tingkat ekonomi rendah. Adanya T. pallidum pada pemeriksaan lapangan

gelap merupakan tanda untuk mendiagnosis sifillis. Pemeriksaan venereal Disease

Research Laboratory test (VDRL), treponema pallidum haemaglutination test

(TPHA) dan treponemal enzyme immunoassay (EIA) untuk menemukan antibodi

yang terbentuk akibat infeksi T. pallidum. Sifillis sekunder yang tidak tertangani

dengan baik dapat mengakibatkan komplikasi yang buruk bagi penderitanya

seperti kelainan kardiovaskuler, lesi nodul di area kulit dan tulang dan sifillis pada

sistem saraf pusat.8,9

v
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Definisi

Sifilis merupakan suatu infeksi menular seksual yang disebabkan oleh

Treponema pallidum, suatu spesies bakteri gram negatif, berbentuk spiral yang

dapat menginfeksi hampir seluruh organ tubuh. Organisme ini sangat tipis,

lembut, dan sulit ditumbuhkan secara in vitro. Penularan sifilis terutama melalui

hubungan seksual, tetapi penyakit ini dapat pula ditularkan secara vertikal dari ibu

ke janin melalui jalur transplacental, melalui transfusi darah, atau perlukaan dari

instrumen yang terkontaminasi.10,11

II.2 Etiologi

Treponema pallidum subspecies pallidum termasuk dalam family bakteria

berbentuk spiral, spirochaetaceae dan berkaitan dengan treponema pathogen lain

yang menyebabkan penyakit yang tergolong treponematosis endemic. Treponema

pallidum subsp.endemicum (bejel), Treponema pallidum subsp.pertenue,

Treponema pallidum subsp.carateum dapat dibedakan dari Treponema pallidum

subsp.pallidum berdasarkan manifestasi klinis penyakit yang ditimbulkan,

distribusi geografis, spesifitas jaringan penjamu, pathogenesis, dan yang terbaru

oleh perbedaan genetiknya. Dari keempat subspeciesTreponema di atas, hanya

sifilis yang merupakan peyakit kelamin.3,12,13

1
T.pallidum subspecies pallidum berbentuk spiral tipis, mempunyai sel

yang dibungkus membrane trilaminarcytoplasmi, yang terdiri dari lapisan

peptidoglikan serta lipid rich outer membrane yang hanya memiliki sedikit protein

sehingga berguna untuk menghindari deteksi sistem imun. Untuk mobilisasi

organisme ini memiliki endoflagella. 3,12,13

T.pallidum tidak dapat dikultur secara invitro. T.pallidum memiliki

beberapa gen yang bertanggung jawab pada transport asam amino, karbohidrat

dan elektrolit. Organisme ini memiliki single circular genome yang stabil tanpa

elemen yang mudah berpindah-pindah seperti bakteri lain. Hal ini menyebabkan

organisme ini sulit bermutasi dan mungkin dapat menjelaskan rendahnya kejadian

resistensi antibiotika pada sifilis. 3,12,13

Gambar 1. Gambaran mikroskop electron T. Pallidum

Gambar 2. Gambaran mikroskop electron T. Pallidum dengan pengecatan Steiner silver

2
II.3 Penularan Dan Perjalanan Penyakit

Penularan dan perjalanan penyakit Treponema palidum masuk melalui

selaput lendir yang utuh, atau kulit yang mengalami abrasi, menuju kelenjar limfe,

kemudian masuk ke dalam pembuluh darah, dan diedarkan ke seluruh tubuh.

Setelah beredar beberapa jam, infeksi menjadi sistemik walaupun tanda-tanda

klinis dan serolois belum jelas. Kisaran satu minggu setelah terinfeksi Treponema

palidum, ditempat masuk timbul lesi primer berupa ulkus. Ulkus akan muncul

selama satu hingga lima minggu, kemudian menghilang.15,16

Uji serologis masih akan negatif ketika ulkus pertama kali muncul dan

baru akan reaktif setelah satu sampai empat minggu berikutnya. Enam minggu

kemudian, timbul erupsi seluruh tubuh pada sebagian kasus sifilis sekunder. Ruam

ini akan hilang kisaran dua sampai enam minggu, karena terjadi penyembuhan

spontan. Perjalanan penyakit menuju ke tingkat laten, dimana tidak ditemukan

tanda-tanda klinis, kecuali hasil pemeriksaan serologis yang reaktif. Masa laten

dapat berlangsung bertahuntahun atau seumur hidup.14

II.4 Klasifikasi

Sifilis dibagi menjadi sifilis kongenital dan sifilis akuisita (didapat). Sifilis

kongenital dibagi menjadi: dini (sebelum 2 tahun), lanjut (sesudah 2 tahun ), dan

stigmata. Sifilis akuisita dapat dibagi menurut 2 cara, yaitu secara klinis dan

epidemiologic. Menurut cara pertama sifilis, siflis dibagi menjadi 3 stadium :

stadium 1 (S1), stadium 2 (S2) dan stadium 3 (S3). Secara epidemiologic menurut

WHO dibagi menjadi :

3
1. Stadium dini menular ( dalam 1 tahun sejak infeksi ), terdiri atas S I, S II,

Stadium rekuren dan stadium laten dini.

2. Stadium lanjut tak menular (setelah 1 tahun sejak infeksi). Terdiri atas

stadium laten lanjut dan S III.

II.4 Manifestasi Klinis

Berdasarkan gejala klinisnya sifilis dibagi menjadi beberapa stadium yaitu

sifilis primer dengan gejala khas berupa ulkus pada daerah inokulasi, sifilis

sekunder dengan manifestasi pada kulit berupa ruam kulit, mukokutaneus, dan

limfadenopati, sifilis laten yang terbagi menjadi sifilis laten dini dan laten lanjut,

biasanya tanpa manifestasi klinis namun terdeteksi dengan pemeriksaan serologis,

sifilis tersier yang biasanya ditandai dengan gumma, sifilis kardiovaskuler atau

neurosifilis.11

II.4 .1 Sifilis Primer

Infeksi Treponema pallidum pada sifilis primer terjadi oleh karena

perlekatan bakteri pada sel-sel epitel dan komponen matriks ekstraseluler dari

kulit atau mukosa. Treponema pallidum melakukan replikasi pada tempat

terjadinya inokulasi.13 Tanda klinis yang pertama muncul ialah tukak, dapat terjadi

dimana saja di daerah genitalia eksterna, 3 minggu setelah kontak. Lesi dapat

khas, akan tetapi dapat juga tidak khas. Jumlah tukak biasanya hanya satu,

meskipun dapat juga multipel. Lesi awal biasanya berupa papul yang mengalami

erosi, teraba keras karena terdapat indurasi. Permukaan dapat tertulup krusta dan

terjadi ulserasi. Ukurannya bervariasi dari bcbcrapa mm sampai dengan 1-2 cm.

Bagian yang mcngelilingi lesi meninggi dan keras. Bila tidak disertai infeksi

4
bakteri lain, maka akan berbentuk khas dan hampir tidak ada rasa nyeri. Pada pria

selalu disertai pembcsaran kelenjar limfe inguinal medial unilateral/bilateral.24,26

Dengan menggunakan spekulum akan terlihat lesi di serviks berupa erosi

atau ulserasi yang dalam. lesi primer tidak selalu ditemukan pada genitalia

ekstema. akan letapi juga dapat di luar genitalia seperti pada bibir, lidah, tonsil,

puting susu, jari dan anus. Tanpa diberi pcngobatan lesi primer akan sembuh

spontan dalam waktu 4 sampai 6 minggu.24,26

II.4 .2 Sifilis Sekunder

Lesi sifilis sekunder timbul akibat penyebaran T.pallidum secara limfatik

dan hematogen dari lesi primer yang kemudian terdeposisi di berbagai jaringan.

Lesi pada sifilis sekunder umumnya muncul dalam waktu 3 hingga 12 minggu

setelah munculnya chancre namun pada 15% kasus dapat muncul beberapa bulan

setelahnya.17 Gejala sistemik berupa sakit tenggorokan, demam, myalgia,

kelemahan badan dan nafsu makan yang menurun dapat terjadi. Manifestasi sifilis

sekunder yang paling sering ditemukan adalah roseola sifilitika yaitu lesi erupsi

makular yang diskret, bentuk bulat-oval, berukuran Ø 0,5-2 cm, terdistribusi pada

badan, fleksor ekstremitas atas, dan telapak tangan dan kaki. Pada 75% kasus

ruam ditemukan pada telapak tangan dan kaki.18 Lesi biasanya berwarna merah

tembaga dan memiliki distribusi simetris bilateral. Lesi umumnya tidak gatal,

meskipun pada suatu penelitian dapat ditemukan rasa gatal pada 40% pasien.

Keterlibatan organ selain kulit dapat terjadi, yaitu pada mukosa, kuku, rambut,

mata, pendengaran, muskuloskeletal, hematologik, renal, hepar dan gaster.11,19

5
Pada sifilis sekunder yang mengalami relaps lesi sering unilateral dan

berbentuk arsiner. Pada kulit kepala dijumpai alopesia yang disebut moth-eaten

alopecia yang dimulai pada daerah oksipital. Papul basal yang dijumpai di daerah

lembab disebut kondilo-mala lata. Lesi pada selaput lendir mulut, kerongkongan

dan serviks berupa plakat. Lesi sifilis sekunder dapat muncul pada waklu lesi

sifilis primer masih ada. Pada umumnya dijumpai pembesaran kclenjar limfe

multipel superfisial pada tubuh dan sering terjadi pembesaran limpa

(splenomegali).24,25

Gambar 3. Lesi sifilis sekunder pada telapak tangan dan gambaran moth eaten alopecia
pada sifilis sekunder

Gambar 4. Papul pada penis sifilis sekunder

6
II.5 Diagnosis

Diagnosis sifilis ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan

penunjang untuk mendeteksi infeksi oleh T. pallidum secara langsung maupun

tidak langsung. Untuk diagnosis sifilis langsung dari spesimen klinis dapat

dilakukan pemeriksaan Dark Field Microscope (DFM). Pada pemeriksaan

mikroskop lapangan gelap, T. pallidum dapat diidentifikasikan melalui

karakteristik morfologi yang berbentuk spiral dan pergerakannya berupa rotasi,

fleksi, dan gerakan seperti membuka tutup botol.20 Identifikasi T. pallidum dengan

DFM atau DFA merupakan diagnosis pasti untuk sifilis, namun pemeriksaan ini

memerlukan tenaga laboratorium yang terlatih dan tidak tersedia secara luas.

Pemeriksaan DFM memungkinkan untuk dilakukan apabila terdapat lesi yang

lembab dan spesimen juga harus segera diperiksa. Kegagalan dalam menemukan

organisme pada suatu spesimen tidak langsung menyingkirkan diagnosis sifilis

karena pemeriksaan DFM memiliki sensitivitas yang rendah, terutama untuk lesi

yang kurang lembab.10,20 Metode pemeriksaan diagnosis utama sifilis dapat

menggunakan pemeriksaan serologis, yang mampu mendiagnosis sifilis pada

semua stadium. Pemeriksaan serologis dibagi menjadi dua yaitu tes treponemal

dan tes non treponemal. Tes non treponemal memiliki harga yang terjangkau

sehingga digunakan secara luas sebagai skrining. Salah satu tes non treponemal

yang sering dilakukan yaitu venereal disease research laboratory (VDRL) atau

rapid plasma reagen (RPR) dengan menggunakan antigen atau reagen kombinasi

kardiolipin, kolesterol dan lesitin. Tes ini mendeteksi keberadaan antibodi anti

kardiolipin, suatu komponen membran sel mamalia yang mengalami modifikasi

oleh Treponema pallidum. Tes akan reaktif pada 4-5 minggu setelah infeksi.

7
VDRL memiliki sensitivitas sebesar 70-80% pada sifilis primer dan 99-100%

pada sifilis sekunder namun spesifisitas terbatas. Titer VDRL yang tinggi (≥32)

mengindikasikan keaktifan penyakit. Tes VDRL ini berguna sebagai monitoring

hasil pengobatan.21 Pada koinfeksi sifilis dan HIV dapat terjadi beberapa hal

seperti, titer yang terlalu tinggi, hasil negatif palsu dan seropositivitas yang

terlambat.20

Gambar 5. Darkfield mikroskopy yang memperlihatkan T. Pallidum

II.6 Diagnosis Banding22

II.6.1 Sifilis Primer

Dasar diagnosis sifilis primer sebagai berikut. Pada anamesis dapat

diketahui masa inkubasi, gejala konstitusi tidak terdapat, demikian pula gejala

setempat yaitu tidak ada rasa nyeri. Pada afek primer yang penting ialah terdapat

erosi/ulkus yang bersih, soliter, bulat/lonjong, teratur, indolen dengan indurasi, T.

Pallidum positif. Kelainan dapat nyeri bila disertai infeksi sekunder. Kelenjar

regional dapat membesar, indolen, tidak berkelompok, tidak ada periadenitis,

tanpa supurasi. Tes serologic setelah beberapa minggu bereaksi positif lemah.

Sebagai diagnosis banding dapat dikemukakan beberapa penyakit antara lain,

herpes simpleks, ulkus piogenik, scabies, balanitis, limfogranuloma venerum,

karsinoma sel skuamosa, penyakit behcet dan ulkus mole.22

8
II.6.2 Sifilis Sekunder

Dasar diagnosis sifilis sekunder sebagai berikut, sifilis sekunder timbul 6-8

minggu setelah sifilis primer. Sifilis sekunder dapat menyerupai berbagai penyakit

kulit. Untuk membedakanya dengan penyakit lain ada beberapa pegangan

diantaranya, pada anamesis ditanyakan apakah pernah menderita luka di area

genitalia (S I) yang tidak nyeri.22

Klinis yang penting umumnya berupa kelainan tidak gatal. Pada sifilis

sekunder dini kelainan generalisata, hamper simetrik, telapak tangan/kaki juga

dikenai. Pada sifilis sekunder lambat terdapat kelainan setempat-setempat,

berkelompok dan tersusun menurut susunan tertentu misalnya, asinar, polisiklik

dan korimbiformis. Biasanya terdapat limfadenitis generalisata. Tes serologic

positif kuat pada sifilis sekunder dini dan lebih kuat lagi pada sifilis sekunder

lanjut.

Sifilis dapat menyerupai berbagai penyakit sehingga erupsi obat alergik, morbilli,

pitriasis rosea, psoriasis, dermatitis seboroik, kondiloma akuiminata, dan alopesia

areata merupakan diagnosis banding dari sifilis sekunder.22

II.6.2.1 Erupsi Obat Alergi

Alergi pada kulit atau mukokutan karena penggunaan obat terutama secara

sistemik. Pada anamesis dapat diketahui timbulnya alergi karena obat yang dapat

disertai demam. Kelainan kulit bermacam-macam diantaranya berbentuk eritema

sehingga mirip rosella pada sifilis sekunder. Keluhanya gatal sedankan pada sifilis

biasanya tidak gatal.22,23

9
II.6.2.2 Morbili

Kelainan kulit berupa eritema seperti pada sifilis sekunder. Perbedaanya,

pada morbilli disertai gejala konstitusi (tampak sakit dan demam), kelenjar getah

bening tidak membesar.22

II.6.2.3 Pitriasis Rosea

Dominan terjadi pada anak-anak dan dewasa usia 10-40 tahun. Gejala

klinis yang muncul berupa demam, sakit kepala, nyeri sendi, malaise, hilang nafsu

makan dan lesi pada kulit pada region lengan, leher, dada dan perut. Lesi disertai

gatal dan berbentuk seperti pohon cemara terbalik. Terdiri atas banyak bercak

eritematosa terutama di pinggir dengan skuama halus, berbentuk lonjong,

lenticular, susunanya sejajar dengan lipatan kulit. Penyakit ini tidak disertai

limfadenitis generalisata seperti pada sifilis sekunder.22

II.6.2.4 Psoriasis

penyakit non–infeksius dengan gejala berupa bintik putih yang sering

muncul pertama kali di kuku. Area predileksi lain yaitu kulit kepala, siku, lutut,

wajah dan genital. Area yang terlibat mengalami penebalan. Persamaanya dengan

sifilis sekunder yaitu terdapat eritema dan skuama. Pada psoriasis tidak didapati

limfadenitis generalisata, skuama berlapis-lapis serta terdapat tanda tetesan lilin

dan Auspiz. Penyebab psoriasi antara lain karena penggunaan obat, emosi yang

tidak stabil, infeksi saluran nafas atas, garukan, gesekan, alkoholisme dan

konsumsi kalori yang berlebihan.22

II.6.2.5 Dermatitis Seboroik

10
Persamaanya dengan sifilis sekunder adalah terdapatnya eritema dan

skuama. Perbedaanya pada dermatitis seboroik tempat predileksinya pada tempat

seboroik, skuama berminyak dan kekuning-kuningan, tidak disertai limfadenitis

generalisata.22

II.6.2.6 Kondiloma Akuiminatum

Penyakit ini mirip dengan kondiloma lata keduanya berbentuk papul.

Perbedaanya pada kondiloma akuimanata biasanya permukaanya runcing-runcing

sedankan papul pada kondiloma lata permukaanya datar secara eksudatif.22

II.6.2.7 Alopesia Areata

Kebotakan setempat. Penyakit ini mirip dengan areola areolaris pada sifilis

sekunder. Perbedaanya pada alopesia areata lebih besar (numular) dan hanya

beberapa, sedankan alopesia areolaris lebih kecil (lenticular) dan banyak serta

seperti digigit ngengat22

II.6.3 Sifilis Tersier

Kelainan kulit yang utama pada sifilis tertier adalag guma. Guma juga

didapat pada penyakit lain seperti, tuberculosis, frambusia, dan mikosis

profunda.22

II.7 Tatalaksana
Hingga saat ini obat pilihan utama untuk sifilis ialah penisilin, bila

ternyata alergi terhadap penisilin, diberikan antibiotika lain. Pengobatan yang

direkomendasikan oleh center for disease control and prevention (CDC) untuk

sifilis dini (sifilis primer, sekunder dan laten dini) adalah benzatin penisilin

dengan dosis 2,4 juta unit secara intramuskular dosis tunggal atau penisilin G

prokain 0,6 juta unit intramuskular setiap 24 jam selama 10 hari. Bila pasien

11
mengalami alergi terhadap penisilin, dapat diberikan tetrasiklin hidroklorida 500

mg per oral setiap 6 jam selama 14 hari, atau doksisiklin 100 mg per oral setiap 12

jam selama 14 hari, atau eritromisin stearat 500 mg per oral setiap 6 jam selama

14 hari.11,17

Observasi dan evaluasi risiko terjadinya reaksi Jarish-Herxheimer harus

dilakukan setelah pasien mendapat pengobatan penisilin. Reaksi ini disebabkan

oleh pelepasan endotoksin Treponema pallidum dalam jumlah besar. Reaksi dapat

terjadi dalam beberapa jam setelah pengobatan dan akan menghilang dalam waktu

24-36 jam. Gejalanya dapat berupa demam, mengigil, nyeri kepala, athralgia,

malese, lesi bertambah jelas (misalnya lesi sifilis menjadi lebih merah).10

II.8 Prognosis
Pengobatan pada sifilis primer dan sekunder memberikan hasil yang

sangat baik. Kegagalan terapi hanya masih ditemukan pada penderita HIV.

Penderita tabes dorsalis tidak akan membaik tetapi progresivitas penyakit akan

berkurang dengan pengobatan sifilis. Sifilis kardiovaskular juga memberikan

respon yang baik dengan pengobatan sifilis walaupun infark iskemik masih dapat

ditemukan.3

12
BAB III

PENUTUP

III.1 Kesimpulan

Sifilis merupakan suatu infeksi menular seksual yang disebabkan oleh

Treponema pallidum, suatu spesies bakteri gram negatif, berbentuk spiral yang

dapat menginfeksi hampir seluruh organ tubuh. Organisme ini sangat tipis,

lembut, dan sulit ditumbuhkan secara in vitro. Sifilis menular melalui kontak

seksual baik melalui vaginal, anal, atau oral. Sifilis terbagi dalam beberapa

stadium yaitu, sifilis primer, sifilis sekunder dan sifilis tersier. Diagnosis sifilis

ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisisk, pemeriksaan laboratorium

dan kadang-kadang radiologi. diagnosis banding sifilis primer adalah herpes

simpleks, ulkus piogenik, scabies, balanitis, limfogranuloma venerum, karsinoma

sel skuamosa, penyakit behcet dan ulkus mole. erupsi oobat alergik, morbilli,

pitriasis rosea, psoriasis, dermatitis seboroik, kondiloma akuiminata, dan alopesia

areata merupakan diagnosis banding dari sifilis sekunder.

Pengobatan yang direkomendasikan oleh center for disease control and

prevention (CDC) untuk sifilis dini (sifilis primer, sekunder dan laten dini) adalah

benzatin penisilin. Pengobatan pada sifilis primer dan sekunder memberikan hasil

yang sangat baik. Kegagalan terapi hanya masih ditemukan pada penderita HIV.

Penderita tabes dorsalis tidak akan membaik tetapi progresivitas penyakit akan

berkurang dengan pengobatan sifilis. Sifilis kardiovaskular juga memberikan

respon yang baik dengan pengobatan sifilis walaupun infark iskemik masih dapat

ditemukan.

13
DAFTAR PUSTAKA

1. Stokes JH, Beerman H, Ingraham NR. Modern Clinical Syphilology. 3 rd

Edition ed. Philadelphia : WB Saunders; 1945

2. Daili SF, Ed All. Pedoman Tata Laksana Sifilis Untuk Pengendalian Sifilis

Di Layanan Kesehatan Dasar. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.

2013

3. Wicaksana R. Setiati S (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi VI.

Internal Publishing. Jakarta 2014. 803-811

4. Eccleston K, Collins L, Higgins SP. Primary Syphilis. Int J STD & AIDS.

2008;19:145-51

5. Sparling PF, Swartz MN, Musher DM, Healy BP. Clinical Manifestations

Of Syphilis. In : Holmes KK, Sparling PF, et al., eds. Sexually transmitted

disease. 4th ed. New York: The McGraw-Hill Companies, Inc. 2008;661-

88

6. A Cruz, L Ramirez. Analysis of Systemic and Cutaneuos Immune

Responses Helps Explain The Duality of Immune Evasion and

Recognition in Secondary Syphilis. 2011. Volume 87.

7. Craig Tipple, Mariam O. F. Hanna, Samantha Hill, Jessica Daniel, David

Goldmeier, Myra O. McClure, Graham P. Taylor. Getting The Measure of

Syphilis : PCR to Better Understand Early Infection. 2011. 87:479-485.

14
8. Luis Alvarez, Laura Sanchez, Maria Dolores Albero, Ramon Lopez-

Menchero, Carlos Del Pozo. Secondary syphilis in a patient with renal

transplant. 2010

9. F Yin, Z Feng, X Li. Spatial analysis of primaryand secondary syphilis

incidence in China, 2004 – 2010. International Journal of STD and AIDS.

2012. 23:870

10. Katz K.A. Syphilis. In: Goldsmith L.A., Katz S.I., Gilchrest B.A., Paller

A.S., Leffell D.J. eds. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. 8th

ed. New York: McGraw-Hill; 2012.p.2367-82.

11. Sparling P.F., Swartz M.N., Musher D.M., Healy B.P. Clinical

Manifestations of Syphilis. In: Holmes K.K., Sparling P.F., Stamm W.E.,

Piot P., Wasserheit J.N., Corey L., Cohen M.S., Watts D.H. eds. Sexually

Transmitted Disease. 4th ed. New York: MacGraw-Hill; 2008.p. 661-84.

12. LaFond RE, Lukehart SA. Biological Basis For Syphilis. Clin Microbiol

Rev.2006;19:29-49

13. Antal GM, Lukehart SA, Meheus AZ. The Endemic Treponemes.Microbes

Infect.2002;4:83-94

14. Klausner JD, Hook EW. Current Diagnosis & Treatment Sexually

Transmitted Disease. New York:McGraw Hill Companies, 2007

15. Department of Health and Human services Centers for Disease Control

and Prevention. Sexually Transmitted Disease Treatment Guidelines,

2010. MMWR 2010;59(No. RR-12): 26-39

15
16. Sokolovskiy E, Frigo N, Rotanov S, Savicheva A, Dolia O, Kitajeva N, et

al. Guidelines fot the laboratory diagnosis of syphilis in East European

countries. J EADV. 2009;23(1):623-32.

17. Cherneskie T. Key steps in the diagnosis and management of syphilis. In:

An Update and Review of the diagnosis and management of syphilis.

Region II STD/HIV Prevention Training Center; New York City

Department of Health and Mental Hygiene, New York, NY: 2006. p 8-27.

18. Goh B.T. Syphilis in Adult. In: Sexually Transmitted Infection. STI

online. 2005; 81: 448-52.

19. Ho E.L., Lukehart S.A. Syphilis: using modern approaches to understand

an old disease. The Journal of Clinical Investigation. 2011; 121 (12):

4584-4592.

20. Hicks, C.B., Hynes, N.A., Mitty, J. Diagnostic testing for syphilis.

Available at: www.update.com/contents/diagnostic-testing-for-syphilis.

Last update: Oct 16 2014

21. Lukehart S.A. Biology of Treponemes. In: Holmes K.K., Sparling P.F.,

Stamm W.E., Piot P., Wasserheit J.N., Corey L., Cohen M.S., Watts D.H.

eds. Sexually Transmitted Disease. 4th ed. New York: MacGraw-Hill;

2008.p. 647-660.

22. Adhi Djuanda. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke – 6. Jakarta.

Balai Penerbit FK UI. 2011. H; 469-73.

23. Imam Budi Putra. Erupsi Obat Alergik. FK Universitas Sumatera Utara/

RSUP H. Adam Malik. Medan. 2008.

16
24. Robertson DHI I, McMillan A, Young II. Clinical-Practice in Sexually

Transmitted Diseases. 2nd Ed, Edinburgh: Churchill Livingstone, 1989:

108-9.

25. Csonka GW, Oates JK. Sexually Transmitted Diseases. A textbook of

genitourinary medicine. London: Balliere Tindall, 1990: 128-9.

26. Adaora AA, Holi II, Kmg KH, Fredrick PS. Sexually Transmitted Disease.

Companion Handbook, 2nd Ed. New York: Mc draw-Hill Inc. 1994: 71-84

17

Anda mungkin juga menyukai