Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN KASUS

TINEA CORPORIS ET TINEA CRURIS

Pembimbing :
Dr. Bowo Wahyudi Sp. KK
Oleh :
Cendy Andestria
2015730020

KEPANITERAAN KLINIK STASE KULIT DAN KELAMIN

RSUD RUMAH SAKIT UMUM KOTA BANJAR

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

2019
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas laporan kasus dengan judul “Tinea Corporis et
Tinea Cruris” ini tepat pada waktunya. Shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi
Muhammad SAW, keluarga, serta para pengikutnya hingga akhir zaman.
Laporan kasus ini dibuat dengan tujuan memenuhi tugas pada kepaniteraan klinik ilmu
penyakit Kulit dan Kelamin dan juga untuk memperdalam pemahaman tinjauan pustaka yang
telah dipelajari sebelumnya.
Terimakasih penulis ucapkan kepada Dr. Bowo Wahyudi, Sp. KK, selaku dokter
pembimbing atas ilmu dan pengalamannya yang telah diberikan di stase Kulit dan Kelamin
ini. Terima kasih juga pada semua pihak yang telah membantu dalam tahap pengumpulan
referensi dan penyusunan laporan kasus ini.
Penulis menyadari ketidaksempurnaan tugas laporan kasus ini. Untuk itu penulis sangat
mengharapkan saran dan kritik untuk perbaikan penyusunan laporan selanjutnya. Semoga
laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembacanya.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb

Banjar, Desember 2019

Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................................ i


DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii
BAB I ......................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 1
BAB II........................................................................................................................................ 3
LAPORAN KASUS................................................................................................................... 3
2.1. Identitas Pasien ................................................................................................................... 3
2.2. Anamnesis ........................................................................................................................... 3
2.3. Pemeriksaan Fisik ............................................................................................................... 5
2.4. Pemeriksaan Penunjang ...................................................................................................... 7
2.5. Resume................................................................................................................................ 8
2.6. Diagnosis Banding .............................................................................................................. 9
2.7. Diagnosis Kerja ................................................................................................................... 9
2.8. Rencana Pemeriksaan Penunjang ....................................................................................... 9
2.9. Penatalaksanaan .................................................................................................................. 9
2.9. Prognosis ........................................................................................................................... 10
BAB III .................................................................................................................................... 11
ANALISA KASUS .................................................................................................................. 11
3.1. Analisa Diagnosis Kasus................................................................................................... 11
3.2. Analisa Diagnosis Penatalaksanaan .................................................................................. 16
3.3. Analisa Prognosis.............................................................................................................. 18
BAB IV .................................................................................................................................... 19
KESIMPULAN ........................................................................................................................ 19
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 20

1
BAB I
PENDAHULUAN

Dermatofitosis adalah penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk,


misalnya stratu korneum pada epidermis, rambut dan kuku, yang disebabkan oleh
golongan jamur dermatofita. Golongan jamur ini mempunyai sifat mencerna keratin yang
terbagi dalam genus yaitu : Microsporum, Trycophyton, dan Epidermophyton.1 Indonesia
merupakan wilayah yang baik untuk pertumbuhan jamur, sehingga dapat ditemukan
hampir di semua tempat. Insidensi penyakit jamur yang terjadi di berbagai rumah sakit
pendidikan di Indonesia bervariasi antara 2,93%-27,6%. Meskipun angka ini tidak
menggambarkan populasi umum.2,4
Ada beberapa klasifikasi yang dibuat untuk membagi dermatofitosis, namun
pembagiannya yang lebih praktis dan dianut oleh para spesialis kulit adalah yang
berdasarkan teori lokasi, yaitu.1 :
1. Tinea Kapitis : dermatofitosis pada kulit dan rambut kepala
2. Tinea Barbae : dermatofitosis pada dagu dan jenggot
3. Tinea Cruris : dermatofitosis pada daerah genitokrural, sekitar anus, bokong
dan kadang-kadang sampai perut bagian bawah
4. Tinea Pedis et manum : dermatofitosis pada kaki dan tangan
5. Tinea unguium : dermatofitosis pada kuku jari tangan dan kaki
6. Tinea corporis : dermatofitosis pada kulit glabrosa pada bagian kulit yang
tidak termasuk bentuk 5 tinea di atas.
Tinea corporis merupakan istilah untuk menunjukkan adanya infeksi jamur golongan
dermatofita pada badan, tungkai, dan lengan, tetapi tidak termasuk lipat paha, tangan dan
kaki. Sedangkan istilah tinea cruris digunakan untuk infeksi jamur dermatofita pada
daerah kulit lipat paha, daerah pubis, perineum dan perianal. Tinea corporis dan tinea
cruris dapat digolongkan menjadi tinea glabrosa karena keduanya terdapat pada kulit
yang tidak berambut. Walaupun secara klinis terdapat murni tinea cruris atau corporis,
namun bisa ditemukan tinea corporis et cruris bersamaan.1,2
Walaupun demikian tidak terdapat perbedaan secara khusus gambaran klinis tinea
corporis dan tinea cruris baik pada remaja, anak maupun orang dewasa. Secara umum

1
gambaran klasik lesi tinea cruris dan corporis berupa lesi anular dengan central clearing
dan tepi eritema aktif. Lesi yang berdekatan dapat bergabung membentuk polisiklik.1,2
Semua dermatofita dapat menyebabkan tinea corporis, tetapi yang merupakan
penyebab tersering adalah Trichophyton rubrum, Trichophyton mentagrophytes,
Microsporum canis dan Trichophyton tonsurans, sedangkan tinea cruris kebanyakan
disebabkan oleh Trichophyton rubrum dan Epidermophyton floccosum. Trichophyton
tonsurans merupakan jamur antropofilik dan tersebar diseluruh dunia dengan distribusi
yang luas. Spesies ini sering menimbulkan lesi yang bersifat kronis. Jamur dermatofita
dapat ditularkan secara langsung maupun secara tidak langsung, dan untuk dapat
menimbulkan suatu penyakit, jamur dermatofita harus memiliki kemampuan untuk
melekat pada kulit host (pejamu), mampu menembus jaringan pejamu dan selanjutnya
mampu bertahan dan menyesuaikan dengan suhu dan lingkungan biokimia pejamu.
Sedangkan variabilitas host, seperti umur, jenis kelamin, ras, budaya dan imunitas dapat
mempengaruhi manifestasi klinis dan perjalanan penyakit infeksi dermatofita ini. Ini
menunjukkan bahwa penyakit ini bersifat multifaktorial.1,3
Sebagian besar kasus tinea corporis dan tinea cruris berespon baik dengan preparat
anti jamur topikal. Preparat topikal yang dapat digunakan diantaranya alilamin (naftitin,
terbinafin), imidazol, tolnaftat, siklopiroks dan salep whietfield sulfur presipitatum 4-100
% dan asidum salisilikum 2-3% yang merupakan obat topikal konvensional. Akan tetapi
pada lesi yang luas, tidak dapat mentoleransi obat topikal, gagal dengan pengobatan
topikal dan penderita dengan infeksi kronis maka diperlukan pemberian preparat
antijamur sistemik yaitu griseofulvin, terbinafin, flukonazol atau itrakonazol.1 Tidak ada
satu pustakapun yang menyebutkan batasan waktu untuk dapat mengkategorikan tinea
corporis akut maupun kronis, walaupun istilah tersebut banyak digunakan pada beberapa
kepustakaan. Secara umum, berdasarkan kamus kedokteran, istilah kronis menunjukkan
lamanya perjalanan suatu penyakit, dan istilah kronisitas umumnya digunakan pada
penyakit yang telah berlangsung selama lebih dari 3 bulan.8 Kronisitas dalam
dermatofitosis merupakan hal yang sering dijumpai klinisi, mengingat dermatofitosis
merupakan penyakit yang bersifat multifaktorial dan semua faktor yang terlibat
merupakan suatu keadaan yang dapat berubah.1,4

2
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1. Identitas Pasien
 Nama : Ny. E
 Jenis Kelamin : Perempuan
 Usia : 58 tahun
 Alamat : Kertaharja, RW/RT 25/07, Kertahayu, Pamarican, Banjar
 Agama : Islam
 Pekerjaan : IRT
 Tanggal Pemeriksaan : 23 Desember 2019

2.2. Anamnesis
Autoanamnesis dilakukan dengan pasien tanggal 23 Desember 2019 pukul 10.30
di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Kota Banjar.

Keluhan Utama
Bercak merah kehitaman disertai sisik halus yang bertambah luas dan terasa
semakin gatal terutama saat berkeringat di selangkangan, bokong dan perut bagian atas
sejak 6 hari SMRS.

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien perempuan usia 58 tahun datang ke Poli Klinik Kulit dan Kelamin dengan
keluhan terdapat bercak merah kehitaman disertai sisik halus yang bertambah luas dan
terasa semakin gatal terutama bila berkeringat di selangkangan, bokong dan perut bagian
atas (dibawah lipatan payudara) sejak 6 hari SMRS. Keluhan bercak merah kehitaman
dirasakan semakin lama semakin meluas. Bercak disertai sisik halus, berbatas tegas,
sebagian berbentuk lingkaran dan sebagian tidak teratur, sebagian bercak meyatu serta
pada pinggiran bercak teraba kasar seperti menimbul. Pasien juga merasakan gatal.
Keluhan gatal dirasakan terus-menerus dan tidak dipengaruhi waktu pagi, siang, maupun
malam. Pasien mengaku gatal akan semakin terasa bila pasien berkeringat maupun dalam
keadaan tubuhnya basah. Pasien mengaku bercaknya hanya terasa gatal, tanpa disertai
nyeri, baal, dan rasa panas seperti terbakar. Pasien mengaku sering menggaruk bercaknya
bila terasa sangat gatal.

3
Keluhan pertama kali dirasakan satu setengah bulan yang lalu, awalnya timbul
bercak kemerahan dengan ukuran sebesar koin 100 rupiah pada daerah selangkangan.
Bercak berbatas tegas, berbentuk seperti lingkaran dengan pinggirannya terdapat bintik
bintik teraba kasar agak menimbul dan disertai rasa gatal. Pasien mengatakan bercaknya
semakin lama semakin menyebar ke bokong dan perut bagian atas dan beberapa bercak
merah disertai warna kehitaman. Pasien mengaku bercaknya dirasakan sangat gatal,
sehingga pasien sering menggaruknya. Rasa gatal dirasakan setiap waktu tidak
memandang pagi, siang, maupun malam. Rasa gatal bertambah bila pasien sedang
berkeringat maupun dalam keadaan tubuhnya basah seperti setelah mandi dan sering
menggaruk bercaknya.
Pasien tidak mengeluhkan gatal dibagian tubuh lainnya, seperti kepala, punggung,
punggung tangan, telapak tangan, punggung kaki, telapak kaki, dan sela-sela jari tangan
maupun kaki. Pasien menyangkal adanya demam. Pasien tidak sedang menggunakan
obat-obatan jangka panjang atau terpapar bahan kimia sebelumnya. Pasien mengaku
pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya pada tahun 2017 (2 tahun yang lalu).
Pasien menyangkal memelihara hewan peliharaan seperti kucing, anjing, dan hewan
ternak lainnya dan tidak memiliki alergi terhadap makanan, ataupun
obat – obatan tertentu. Selain pasien, suami pasien terlebih dahulu mengeluhkan hal
yang serupa dengan pasien yaitu merasakan gatal di selangkangan, bokong, bagian perut
dan punggung sejak 2 bulan yang lalu.
Pasien merupakan seorang ibu rumah tangga. Pasien sehari-harinya berada
dirumah. Pasien mengatakan bahwa ia sering berkeringat dan jarang mengganti
pakaiannya jika basah akibat keringkat. Sehabis buang air, biasanya pasien jarang
mengeringkan tubuh yang basah terlebih dahulu sehingga pakaian dalamnya menjadi
lembap. Pasien hanya tinggal berdua dengan suaminya. Pasien berkontak langsung
dengan suaminya sehari-hari seperti tidur bersama dalam satu kasur, berpegangan
tangan, dan bersentuhan tubuh. Pasien mengaku mandi tiap 2 – 3 kali dalam sehari.
Pasien mengaku jarang menjemur handuk diluar dan jarang menjemur kasur maupun
bantalnya. Pasien mengatakan handuk mandi yang dipakai, dimiliki tiap orang dan
dicuci 1 minggu sekali, begitupun sprei yang di ganti dan dicuci tiap 1 minggu sekali.
Pasien tinggal di perkampungan, dimana jarak antar rumah cukup berdekatan.
Pasien saat ini hanya tinggal bersama suaminya. Rumah pasien memiliki jendela yang
terletak di bagian depan dan kamar tidur, namun jendela tersebut jarang dibuka. Lantai
beralaskan semen, dan menggunakan 1 kipas angin di rumahnya yang terletak dikamar.
4
Pasien mengaku bahwa belakangan ini cuaca sangat panas sehingga suhu rumahnya
terasa panas dan membuat pasien sering berkeringat.
Pasien mengatakan sebelumnya pernah berobat ke Puskesmas dan diberi obat salep
Hidrokortisone dan obat minum (lupa nama obatnya). Pasien mengaku diberikan obat
salep bermerek Hidrocortisone yang harus digunakan sebanyak 2 kali dalam sehari pada
tempat bercak dan obat tablet berwarna kuning, kecil, bulat yang diminum tiga tablet per
hari. Pasien mengaku hanyak memakai salep sebanyak 2 kali setelah itu tidak
dilanjutkan, hanya konsumsi obat minum saja. Pasien telah berobat sebanyak 2 kali ke
Puskesmas dan diberikan obat yang sama. Pasien mengaku gatalnya berkurang bila
mengonsumsi obat namun bercaknya tidak menghilang dan makin meluas. Oleh karena
itu, pasien memutuskan untuk berobat ke poli klinik kulit dan kelamin RSUD Kota
Banjar.

2.3. Pemeriksaan Fisik


Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Composmentis
Tanda vital
TD : 130/80
Nadi : 82 x/menit, irama nadi teratur
RR : 18 x/menit
Suhu : 36,6 0C

Status Generalis
Kepala Normocephal, rambut bewarna hitam distribusi merata, tidak mudah
dicabut
Mata Konjungtiva anemis (-/-), konjungtiva hiperemis (-/-), sklera ikterik
(-/-), refleks pupil (+/+) isokor
Hidung Deviasi septum (-), sekret (-/-), nyeri tekan (-/-)

Telinga Normotia, otore (-/-), nyeri tekan (-/-)

Mulut Mukosa bibir kering (-), stomatitis (-), faring tidak hiperemis,
pembesaran tonsil (-)
Leher Pembesaran KGB (-)

5
Thoraks Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris, retraksi -/-
Palpasi : Vokal Fremitus kanan dan kiri simetris
Perkusi : Sonor pada ke 2 lapang paru
Auskultasi : Vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-), BJ I dan
II reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen Inspeksi : Perut datar, soepel, scar (-), lesi kulit (+) (status
dermatologis)
Auskultasi : Bising usus (+)
Palpasi : Hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : Timpani pada keempat kuadran
Ekstremitas Akral hangat, udem (-/-), pucat (-), CRT < 2 detik

Status Dermatologikus
Distribusi Regional
A/R Selangkangan, bokong, dan perut bagian atas (dibawah lipatan payudara)
Lesi Multiple, sirkumskrip, sebagian anular sebagian ireguler dengan tepi
aktif, sebagian diskret, sebagian konfluens, sebagian menimbul di
permukaan kulit dengan ukuran miliar (ukuran terkecil 0,1 x 0,1 x 0,1 cm
dan ukuran terbesar 0,1 x 0,2 x 0,1 cm) dan sebagian tidak menimbul di
permukaan kulit dengan ukuran paling kecil 20 x 30 cm dan ukuran
terbesar 20 x 40 cm, lesi kering
Efloresensi Makula eritematosa, makula hiperpigmentasi, papul eritematosa, papul
hiperpigmentasi, skuama halus

Gambar 1. Predileksi keluhan pada pasien

6
2.4. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan kerokan kulit diambil pada lesi, ditetesi dengan KOH 10%

PERBESARAN 10X PERBESARAN 40X

Hasil : Hifa panjang bercabang, bersepta dan double contour pada pemeriksaan kerokan kulit
KOH 10%

7
2.5. Resume
Pasien perempuan usia 58 tahun datang ke Poli Klinik Kulit dan Kelamin dengan
keluhan terdapat bercak merah kehitamana disertai sisi halus yang bertambah luas dan
terasa semakin gatal terutama bila berkeringat di selangkangan, bokong, dan perut bagian
atas sejak 6 hari SMRS. Bercak dirasakan semakin meluas, disertai sisik halus, berbatas
tegas, sebagian berbentuk lingkaran dan sebagian tidak teratur, sebagian menyatu, serta
pada pinggiran bercak teraba kasar seperti menimbul. Pasien juga merasakan gatal,
dimana dirasakan terus-menerus tidak dipengaruhi waktu, dan semakin terasa gatal bila
berkeringat dan dalam keadaan tubuh basah. Pasien mengaku sering menggaruk
bercaknya, bila dirasakan sangat gatal.
Keluhan pertama kali dirasakan satu setengah bulan yang lalu, awalnya timbul
bercak kemerahan dengan ukuran sebesar 100 rupiah pada daerah selangkangan. Bercak
berbatas tegas, berbentuk lingkaran dengan pinggirannya terdapat bintik-bintik teraba
kasar agak menimbul dan disertai rasa gatal. Pasien mengaku bercaknya semakin lama
semakin menyebar dan meluas ke bokong dan perut bagian atas dan beberapa bercak
merah disertai warna kehitaman. Pasien mengaku gatalnya lebih dirasa bila berkeringat
dan pasien mengaku sering menggaruk gatalnya.
Pasien pernah mengalami hal yang sama 2 tahun lalu. Suami pasien juga
mengeluhkan hal yang sama dengan pasien yaitu merasakan gatal di selangkangan,
bokong, bagian perut dan punggung sejak 2 bulan yang lalu.
Pasien merupakan seorang ibu rumah tangga. Pasien mengatakan sering
berkeringat dan jarang mengganti pakaiannya jika basah. Pasien jarang mengeringkan
tubuh yang basah sehabis buang air. Pasien tinggal bersama dan kontak langsung dengan
suaminya. Pasien jarang menjemur handuk diluar dan jarang menjemur kasur maupun
bantalnya. Pasien tinggal di perkampungan, jarak antar rumah berdekatan. Pasien
mengaku cuaca saat ini sangat panas sehingga suhu rumahya terasa panas dan membuat
pasien sering berkeringat.
Pasien mengatakan sebelumnya telah berobat ke Puskesmas sebanyak 2 kali dan
diberikan obat salep Hidrokortisone dan obat minum (lupa nama obatnya). Pasien hanya
menggunakan obat salep sebanyak 2 kali dan tidak dilanjutkan tetapi pasien
menghabiskan obat minumnya. Pasien mengatakan gatalnya berkurang bila meminum
obat tetapi bercaknya tidak menghilang dan makin meluas.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan status dermatologikus: distribusi regional pada
daerah selangkangan, bokong, dan perut bagian atas (dibawah lipatan payudara) dengan
8
lesi multipel, sirkumskrip, sebagian anular sebagian ireguler dengan tepi aktif, sebagian
diskret, sebagian konfluens, sebagian menimbul di permukaan kulit dengan ukuran miliar
(ukuran terkecil 0,1 x 0,1 x 0,1 cm dan ukuran terbesar 0,1 x 0,2 x 0,1 cm) dan sebagian
tidak menimbul di permukaan kulit dengan ukuran paling kecil 20 x 30 cm dan ukuran
terbesar 20 x 40 cm, lesi kering. Pada efloresensi diperoleh makula eritematosa, makula
hiperpigmentasi, papul eritematosa, papul hiperpigmentasi, skuama halus. Pada
pemeriksaan penunjang dengan menggunakan kerokan kulit KOH : Hasil (+) ditemukan
hifa.

2.6. Diagnosis Banding


 Tinea Corporis et Tinea Cruris e.c Trichopyton
 Tinea Corporis et Tinea Cruris e.c Epidermophyton
 Tinea Corporis et Tinea Cruris e.c Microsporum

2.7. Diagnosis Kerja


Tinea Corporis et Cruris e.c Trichopyton

2.8. Rencana Pemeriksaan Penunjang


 Pemeriksaan SGOT dan SGPT
 Biakan pada Medium Agar Dekstrosa Sabouraud

2.9. Penatalaksanaan
Non-Medikamentosa
• Menerangkan kepada pasien bahwa penyakit yang diderita pasien adalah infeksi
jamur dan mudah menular.
• Memberikan edukasi untuk tidak menggunakan handuk atau barang secara bersamaan
karena akan menularkan jika mempunyai penyakit, mengedukasi untuk mengganti
baju jika berkeringat, dan lebih rajin untuk membersihkan badan.
• Mencuci dan menjemur handuk diluar ruangan agar terkena sinar matahari sesering
mungkin.
• Hindari menggaruk lesi, meskipun terasa sangat gatal.
• Memberikan informasi untuk minum obat secara teratur sesuai anjuran dan kembali
kontrol sesuai waktu yang ditentukan.

9
Medikamentosa
 Sistemik
Ketokonazole tablet 1 x 200 mg selama 10-14 hari.
 Topikal
Ketokonazol cream 2% dioleskan pada bagian yang gatal, sehari digunakan 2 kali
selama 14 hari.

2.9. Prognosis
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad functionam : ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam

10
BAB III
ANALISA KASUS

3.1. Analisa Diagnosis Kasus


Diagnosis kerja pada kasus ini ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan berikut:
A. Berdasarkan anamnesis didapatkan:
1. Perempuan 58 tahun, IRT
2. Gatal bertambah saat berkeringat pada selangkangan, bokong, bagian atas perut
(dibawah lipatan payudara)
3. Suami pasien memiliki keluhan yang sama dan kontak langsung dengan pasien
4. Pakaian jarang diganti bila basah akibat berkeringat dan pakaian dalam terkadang
lembab
5. Handuk jarang dijemur di luar
6. Tinggal pada daerah padat penduduk, lembab dan beriklim panas

Berdasarkan Teori :
Tinea cruris dapat menyerang semua umur tetapi lebih sering pada orang dewasa
dan menyerang pria dan perempuan. Tinea cruris adalah penyakit infeksi jamur
dermatofita didaerah lipat paha, genitalia, dan sekitar anus yang dapat meluas ke
bokong, paha dan perut bagian bawah.1,2,4,6
Insidensi dermatomikosis di Indonesia masih cukup tinggi. Faktor predisposisi
atau pencetus dapat berupa pekerjaan basah, banyak keringat, selain pajanan
terhadap jamur lebih lama. Penderita dermatofitosis merasa gatal dan kelainan
berbatas tegas, terdiri atas macam-macam efloresensi kulit. Bagian tepi lesi lebih
aktif12.
Cara penularan jamur dapat secara langsung maupun tidak langsung. Penularan
langsung dapat secara fomitis, epitel, rambut yang mengandung jamur baik dari
manusia, binatang, atau tanah. Penularan tidak langsung dapat melalui tanaman, kayu
yang dihinggapi jamur, pakaian, debu. Agen penyebab juga dapat ditularkan melalui
kontaminasi dengan pakaian, handuk atau sprei penderita atau autoinokulasi dari
tinea pedis, tinea inguium, dan tinea manum.7
Lebih sering terjadi pada daerah dengan iklim tropis dimana orang banyak
berkeringat serta kondisi lingkungan kotor dan lembab.1,2,9

11
Faktor-faktor risiko timbulnya infeksi jamur:
1. Kontak dengan pakaian, handuk, atau apapun yang sudah berkontak dengan
penderita2,6
2. Kontak kulit ke kulit dengan penderita atau hewan peliharaan2,6
3. Lebih sering menghabiskan waktu di tempat tertutup, kotor dan lembab2,6
4. Penggunaan obat-obatan glukokortikoid topical dalam jangka waktu lama2,6
5. Pengeluaran keringat berlebihan2,6
6. Hygiene dan sanitasi yang buruk2,6

B. Berdasarkan Pemeriksaan Fisik Dermatologi


 Pada kasus:
Pada pemeriksaan fisik didapatkan efloresensi berupa makula eritematosa,
makula hiperpigmentasi, papul eritematosa, papul hiperpigmentasi, skuama halus
pada selangkangan, bokong dan perut bagian atas (dibawah lipatan payudara)
 Pada teori :
 Sesuai dengan gambaran klinis tinea cruris memiliki predileksi di daerah lipat
paha, genitalia, dan sekitar anus yang dapat meluas ke bokong dan perut
bagian bawah. Lesi berupa makula eritematosa berbatas tegas dengan tepi
lebih aktif. Jika kronis atau menahun maka efloresensi yang tampak hanya
makula hiperpigmentasi dengan skuama diatasnya dan disertai likenifikasi.
Garukan kronis dapat menimbulkan likenifikasi.1,2,7,8
 Pada tinea corporis, kelainan yang dilihat dalam klinik merupakan lesi bulat
atau lonjong, berbatas tegas terdiri atas eritema, skuama, kadang-kadang
dengan vesikel dan papul di tepi. Daerah tengahnya biasa lebih tenang.
Kadang-kadang terlihat erosi dan krusta akibat garukan. Lesi-lesi pada
umumnya merupakan bercak-bercak terpisah satu dengan yang lain6.
 Manifestasi tinea corporis dan cruris : 1,2,7,8
1. Makula eritematosa dengan central healing dibagian badan dan sekitarnya
(tinea corporis) di lipatan inguinal distal lipat paha, dan proksimal dari
abdomen bawah dan pubis.
2. Daerah bersisik
3. Pada infeksi akut, bercak mungkin basah dan eksudatif.

12
4. Pada infeksi kronis makula hiperpigmentasi dengan skuama diatasnya dan
disertai likenifikasi.
5. Area sentral biasanya hiperpigmentasi dan terdiri atas papula eritematosa
yang tersebar dan sedikit skuama
6. Penis atau skrotum jarang terkena
7. Perubahan sekunder dari ekskoriasi, likenifikasi dan impetiginasi
mungkin muncul karena garukan.

C. Berdasarkan Pemeriksaan Penunjang


 Untuk menegakkan tinea koporis dan tinea cruris, dibutuhkan penilaian asosiasi
gambaran klinis dengan uji diagnostik untuk mengisolasi dan mengidentifikasi
jamur. Bahan yang diperiksa berupa kerokan kulit. Pemeriksaan mikroskopik
secara langsung menunjukkan hifa, yang nampak sebagai dua garis sejajar
dengan sekat dan cabang, atau spora berderet (artospora) pada kelainan kulit
yang lama dan atau sudah diobati.1,4
 Pada kasus :
Pemeriksaan kerokan kulit dengan KOH 10%.
Kerokan kulit diambil pada lesi kulit bagian selangkangan, bokong, dan perut
bagian atas (dibawah lipatan payudara) kemudian hasil kerokan ditetesi
dengan KOH 10% pada preparat kaca objek, lalu ditutup cover glass.
Ditunggu sekitar 15 menit, kemudian preparat dilihat dibawah mikroskop
pada pembesaran 10x dan 40x. Ditemukan hifa panjang, bercabang dan
bersepta, serta double contour.

13
 Pada teori :
- Trichophyton adalah jenis jamur yang menyerang kulit, kuku, dan rambut.
Penularannya paling sering melalui perantara manusia ke manusia.
Namun juga ditemukan pada hewan seperti Trichophyton verrucosum.
Trichophyton merupakan penyebab paling umum dari tinea cruris dan
tinea pedis. Sekitar 47% kasus Tinea disebabkan oleh T. rubrum.1
Mikrokonidia pada Trichophyton berdinding tipis. Beberapa gambaran
yang dapat ditunjukkan oleh jenis Trichophyton pada mikroskopik dapat
berupa hifa spiral, makrokonidia dapat berbentuk seperti pensil dan dapat
berupa gambaran anggur di sekitar mikrokonidia10.

Trichophyton
- Epidermophyton adalah genus jamur yang menyerang kulit, dimana
penularannya melalui tanah atau tumbuhan kepada manusia. Termasuk E.
floccosum, merupakan penyebab dari tinea corporis, tinea cruris, dan tinea
pedis. Pada pemeriksaan mikroskopik dapat ditemukan dinding hifa yang
tipis maupun tebal, dan makrokonidia yang berbentuk club-shaped10

Epidermophyton
- Microsporum adalah genus jamur yang menyebabkan tinea corporis dan
kapitis, menyerang kulit dan rambut. Cara penularannya dapat melalui
14
perantara hewan kepada manusia. Makrokonidia pada Microsporum
memiliki dinding yang lebih kasar. Beberapa gambaran yang dapat
ditemukan pemeriksaan mikroskopik Microsporum, yaitu hifa yang
seperti sisir atau terdapat dinding hifa yang tebal dan tipis.10

Microsporum

Gambaran elemen jamur dermatofita yang dijumpai pada pemeriksaan


langsung dengan KOH tampak sebagai dua garis lurus sejajar yang
trasnparan (double contour) tersusun atas hifa di antara sel-sel epitel,
bersepta dan bercabang dua. Anyaman hifa atau hifa yang banyak sekali
dalam lapangan pandang mikrospkop disebut miselium.4,8

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, diagnosis


kerja yang dapat ditegakkan yaitu Tinea Corporis et Tinea Cruris e.c Trichophyton.

Rencana pemeriksaan penunjang :


 Pada kasus:
Pemeriksaan penunjang yang dianjurkan adalah pemeriksaan fungsi hati SGOT
SGPT untuk melihat fungsi hati pasien sebelum pemberian ketoconazole dan
kultur kerokan kulit dengan medium Agar Dekstrosa Sabouraud untuk mengetahui
golongan ataupun spesies jamur yang terlibat
 Pada teori:
 Pemeriksaan SGOT/SGPT
Ketokonazol merupakan kontra indikasi untuk penderita kelainan hepar,
karena ketokonazol mempunyai sifat hepatotoksik terutama bila diberikan
lebih dari sepuluh hari.10

15
Pemeriksaan ini dilakukan supaya penatalaksanaan yang diberikan kepada
pasien tidak memberatkan fungsi hati pasien. 8,10
 Sabouraud Dextrose Agar
Untuk mengetahui golongan ataupun spesies dari jamur dilakukan pembiakan
dengan media yang standar yaitu Sabouraud Dextrose Agar (SDA).
Pemeriksaan ini dilakukan dengan menanamkan bahan klinis pada media
buatan. 8

3.2. Analisa Diagnosis Penatalaksanaan


 Pada kasus :
1. Non Medikamentosa
a. Menerangkan kepada pasien bahwa penyakit yang diderita pasien adalah
infeksi jamur dan mudah menular
b. Memberikan edukasi untuk tidak menggunakan handuk atau barang
secara bersamaan karena akan menularkan jika sesorang memiliki
penyakit menular, dan memberitahu pasien agar selalu mengganti seprei
dan sarung bantal secara berkala.
c. Hindari menggaruk lesi
d. Memberikan saran agar kebersihan lebih diperhatikan, seperti mengganti
baju bila basah karena keringat, mengeringkan daerah tubuh yang basah
sebelum berpakaian, mengganti pakaian dalam sehabis pakai.
e. Memberikan informasi untuk minum obat secara teratur sesuai anjuran
dan kembali kontrol bila obat sudah mau habis.
2. Medikamentosa
Pengobatan medikamentosa pada tinea dapat berupa topical dan sistemik
yaitu:
- Terapi topikal direkomendasikan untuk infeksi lokal karena dermatofit
yang hidup pada jaringan kulit dan ketokonazol krim yang digunakan
untuk infeksi jamur dengan dosis dan lamanya pengobatan tergantung
dari kondisi pasien1,2
- Terapi sistemik dipilih ketokonazol yang merupakan obat anti fungi
sistemik pertama yang berspektrum luas dan juga merupakan turunan
imidazole sintetik yang bersifat lipofilik dan larut dalam air pada PH

16
asam. Obat ini bekerja dengan cara menghambat C-14-dimetilase (enzim
P-450 sitokrom) pembentukan ergosterol membrane jamur.
Penghambatan ini mengganggu fungsi membrane dan meningkatkan
permeabilitas.1,2
Pada kasus :
- Ketokonazol cream 2% dioleskan pada bagian yang gatal, sehari 2
kali selama 14 hari
- Ketokonazole tablet 1 x 200 mg selama 10 – 14 hari
Ketokonazol mempunyai ikatan yang kuat dengan keratin dan
mencapai keratin dalam waktu 2 jam melalui kelenjar keringat ekrin.
Penghantaran akan menjadi lebih lambat ketika mencapai lapisan basal
epidermis dalam waktu 3-4 minggu
Konsentrasi ketokonazol masih teteap dijumpai, sekurangnya 10 hari
setelah obat dihentikan. Pemakaian ketokonazol belum ditemukan adanya
resistensi selama diobservasi sehingga obat ini sangat efektif dalam
pengobatan jamur.8
Indikasi ketokonazol: 10
- Infeksi pada kulit, rambut, kuku (kecuali kuku kaki) yang disebabkan oleh
dermatofit dan atau ragi (dermatofitosis, onikomikosis, candida perionixis,
pitiriasis versikolor, pitiriasis kapitis, infeksi pitirosporum, folikulitis,
kandidiosis kronik mukokutan), bila infeksi ini tidak dapat diobati secara
topical karena tempat lesi tidak dipermukaan kulit atau kegagalan pada
terapi topical
- Infeksi jamur pada rongga pencernaan
- Kandidiosis vaginalis kronik dan kandidiosis rekuren
- Infeksi mikosis sistemik seperti kandidiosis sistemik,
parakokidiodomikosis, histoplasmosis, kokidiodomikosis, blastomikosis13
- Pengobatan profilaksis pada pasien yang mekanisme pertahanan tubuhnya
menurun (keturunan, disebabkan penyakit, atau obat) yang berhubungan
dengan meningkatnya risiko infeksi jamur.
Kontraindikasi ketokonazol: 10
- Penderita penyakit hati atau kronik
- Hipersensitif terhadap ketokonazol

17
- Pada pemberian perioral, ketokonazol tidak boleh diberikan bersama-
sama dengan terfenadine, astemizole, cisapride dan triazolam
- Wanita hamil10
Ketokonazol sistemik tersedia dalam sediaan tablet 200 mg dosis
yang dianjurkan pada dewasa adalah 200-400 mg perhari. Lama
pengobatan untuk tinea corporis selama 2-4 minggu. Karena keunggulan
ketokonazol sebagai obat berspektrum luas, tidak resisten, efek samping
minimal, dan harga yang terjangkau maka obat ini banyak digunakan
dalam pengobatan antifungi.

3.3. Analisa Prognosis


Berdasarkan kasus :
1. Quo ad vitam : ad bonam
2. Quo ad functionam : ad bonam
3. Quo ad sanationam : dubia ad bonam
Berdasarkan teori :
Dengan memperhatikan pemilihan dan cara pemakaian obat, serta syarat pengobatan
dan menghilangkan faktor predisposisi (antara lain hygiene), maka penyakit ini dapat
diberantas dan memberikan prognosis yang baik. Prognosis penyakit ini baik dengan
diagnosis dan terapi yang tepat asalkan kelembapan dan kebersihan kulit selalu dijaga
1,2,3,4

18
BAB IV
KESIMPULAN

Dermatofitisis adalah Kolonisasi jamur dermatofit yang menyerang jaringan yang


mengandung keratin seperti stratum korneum kulit, rambut dan kuku pada manusia dan
hewan.
Patogenesis dermatofitosis tergantung pada faktor lingkungan, antara lain iklim yang
panas, hygiene perorangan, sumber penularan, penggunaan obat-obat steroid, antibiotik dan
sitostatika, immunogenitas dan kemampuan invasi organisme, lokasi infeksi serta reson imun
dari pasien.
Terdapat tiga genus penyebab dermatofitosis, yaitu Trichophyton, Microsporum, dan
Epidermophyton, yang dikelompokkan dalam kelas Deuteromycetes. Dari ketiga genus
tersebut telah ditemukan 41 spesies, terdiri dari 17 spesies Microsporum, 22 spesies
Trichophyton, 2 spesies Epidermophyton. Dari 41 spesies yang telah dikenal, 17 spesies
diisolasi dari infeksi jamur pada manusia, 5 spesies Microsporum menginfeksi kulit dan
rambut, 11 spesies Trichophyton meninfeksi kulit, rambut dan kuku, 1 spesies
Epidermophyton menginfeksi hanya pada kulit dan jarang pada kuku.
Spesies terbanyak yang menjadi penyebab dermatofitosis di Indonesia adalah:
Trichophyton rubrum (T. rubrum), berdasarkan penelitian di RS Dr. Cipto Mangun Kusumo
Jakarta tahun 1980.
Penegakan diagnosis dermatofitosis pada umumnya dilakukan secara klinis, dapat
diperkuat dengan pemeriksaan mikroskopis, kultur, dan pemeriksaan dengan lampu wood
pada spesies tertentu. menunjukkan karakteristik dermatofit penyebab tinea kapitis
Tinea corporis dan tinea cruris merupakan dermatofitosis yang mengenai kulit tidak
berambut (glabrosa), kecuali telapak tangan, telapak kaki, dan sela paha. Keluhan yang sering
ditemukan pada pasien tinea cruris dan/atau corporis adalah rasa gatal hingga kadang-kadang
disertai nyeri akibat iritasi karena garukan. Rasa gatal terutama dirasakan ketika berkeringat,
saat cuaca panas, atau lembap.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Budimulja, Unandar. 2016. Dermatomikosis In: Ilmu Penyakit Kulit dan


Kelamin.Edisi Ketujuh. Jakarta: Badan Penerbit FKUI. Hal : 109-116
2. Wolff K, Goldsmith LA, Gilchrest BA. et al. 2008. Dermatology in General
Medicine. 7th Ed. New York: McGraw-Hill. Hal : 1807-1821
3. Kartowigno S. 2013. Atlas Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 2. Surabaya: Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga. Hal : 63-75
4. Richardson, Warnock DW. 1997. Dermatophytosis in fungal infection: Diagnosis and
Management. Oxford: Blackwell. Hal : 59-61
5. Perdoski. 2011. Tinea In: Panduan Pelayanan Medis Dokter Spesialis Kulit dan
Kelamin Indonesia. Jakarta: Sekretariat Perdoksi. Hal : 96-98
6. Djuanda A, Hamzah. 2010. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Keenam. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI . Hal : 92-99
7. Gerd P, Thomas J. 2003. Dermatophyte In: Fitzpatrick's Dermatology In General
Medicine. Sixth Edition. New York: McGraw-Hill. Hal : 205-208
8. Siregar RS. 2016. Penyakit Jamur: Tinea In: Altas Berwarna Saripati Penyakit Kulit.
Edisi 3. Jakarta: EGC. Hal : 29-31.
9. Moriarity B, Hay R & Morris-Jones. 2012. The Diagnosis and Management of Tinea.
England: BMJ. Hal : 1-10.
10. Kuswadji, Widaty KS. 2004. Obat Anti Jamur In: Dermatomikosis Superfisialis
Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Hal : 108-116.

20

Anda mungkin juga menyukai