DISUSUN OLEH
CENDY ANDESTRIA
2015730020
2020
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur kehadiran Allah SWT atas segala limpahan rahmat
dan karunia-Nya kepada penyusun sehingga dapat menyelesaikan Refreshing mengenai
Benign Prostatic Hyperplasia.
Penyusun menyadari bahwa dalam proses penulisan Refreshing ini masih jauh dari
kesempurnaan baik materi maupun cara penulisannya. Namun demikian, penyusun telah
berupaya dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki sehingga dapat selesai
dengan baik dan oleh karenanya, penyusun dengan rendah hati dan dengan tangan terbuka
menerima masukan, saran dan usul guna penyempurnaan Refreshing ini.
Akhirnya penyusun berharap semoga Refreshing ini dapat bermanfaat bagi seluruh
pembaca.
Penulis
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...........................................................................................................................2
DAFTAR ISI.........................................................................................................................................3
BAB I....................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.................................................................................................................................4
BAB II...................................................................................................................................................5
TINJAUAN PUSTAKA........................................................................................................................5
DEFINISI..........................................................................................................................................5
EPIDEMIOLOGI..............................................................................................................................5
PATOGENESIS................................................................................................................................6
PATOFISIOLOGI.............................................................................................................................7
ETIOLOGI........................................................................................................................................8
1. Teori Dihidirotestosteron.......................................................................................................8
2. Ketidakseimbangan antara estrogen dan testosterone............................................................8
3. Interaksi sel epitel dan sel stroma kelenjar prostat.................................................................9
4. Menurunnya apotosis sel........................................................................................................9
5. Teori stem sel.........................................................................................................................9
GAMBARAN KLINIK.....................................................................................................................9
ALUR DIAGNOSIS........................................................................................................................11
1. Anamnesis...........................................................................................................................11
2. Pemeriksaan fisik.................................................................................................................11
3. Pemeriksaan penunjang.......................................................................................................12
TERAPI.........................................................................................................................................144
KOMPLIKASI................................................................................................................................17
PROGNOSIS...................................................................................................................................17
PENCEGAHAN..............................................................................................................................17
BAB III................................................................................................................................................18
KESIMPULAN...................................................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................................20
3
BAB I
PENDAHULUAN
Dahulu sebenarnya menggunakan kata hipertrofi, namun saat ini penggunaan kata
hiperplasia lebih tepat karena bukan terjadi perbesaran ukuran sel melainkan terjadi
pertambahan jumlah sel stroma dan sel epitel prostat sehingga mengakibatkan prostat
bertambah lebih besar.
McNeal membagi kelenjar prostat dalam beberap zona yaitu sona sentral, zona
perifer, zona transisional, zona fibromuskuler anterior, dan zona periurethra. Hiperplasia
dimulai dari zona transisi kelenjar prostat, sehingga dapat mengakibatkan gangguan saat
mengeluarkan urin. Untuk kejadian keganasan prostat lebih banyak terjadi di zona perifer
prostat.
Lambat laun, BPH akan memperburuk keadaan yaitu akan terjadi dekompensasi pada
otot detrusor sehingga kerjanya akan lemah dalam menahan urin. Gangguan mengenai alira
urin ini akan mengakibatkan komplikasi seperti infeksi saluran kemih, obstruksi hingga gagal
ginjal akut.3
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
DEFINISI
BPH juga disebut sebagai pembesaran kelenjar prostat yang mampy mengakibatkan
sumbatan pada saluran urethra pria dan mengakibatkan timbulnya gejala LUTS , hematuri,
infeksi saluran kemih, hingga gangguan pada traktus urinarius bagian atas.3
EPIDEMIOLOGI
Benign prostatic hyperplasia (BPH) menyerang pada pria berusia lanjut dimana BPH
sendiri dapat menyebabkan ketidaknyamanan namun tidak menyebabkan kematian. Pada
tahun 1988 terdapat angka kematian akibat BPH antara 0,5 -1,5/ 100.000 kasus di Amerika
Serikat menurut data yang dimiliki WHO. 3
Ukuran kelenjar prostat umumnya akan meningkat seiring dengan bertambahnya usia.
Pada orang normal usia 20 – 30 tahun, rata-rata berat prostat mencapai 20 gram daan terus
meningkat seiring bertambahnya usia. Prevalensi angka kejadian BPH berdasarkan
pertambahan usia yaitu sebanyak 8% pada pria berusia 31 – 40 tahun, 40 – 50 % pada pria
5
berusia 50 – 60 tahun, dan sebesar 80% pada pria berusia diatas 80 tahun. Faktor risiko
terjadinya BPH sendiri belum diketahui secara pasti. Namun diduga pembesaran prostat
dipengaruhi oleh genetik, ras, dan suku. 3
PATOGENESIS3
BPH terjadi pada pria dengan testis yang utuh. Peningkatan plasma hormon androgen
dan reseptor androgen dalam prostat menjadi penyebab terjadinya pembesaran kelenjar
prostat. Penumpukan jumlah dihidrotestosteron (DHT) pada kelenjar prostat menjadi
pencetus terjadinya pembesaran kelenjar prostat pada pria. Andogen dan testosterone yang
berjumlah besar pada sirkulasi akan menyebar ke seluruh sel prostat yaitu sel epitel dan sel
stroma dan berubah menjadi dihidrotestosteron oleh bantuan 5 alpha reductase. Hormon
testosterone pada kelenjar prostat, 90%nya berasal dari testis dan 10% berasal dari kelenjar
adrenal. DHT dan testosteron akan berikatan dengan reseptor andogen sehingga
menyebabkan peningkatan sintesis biologi protein dan hyperplasia. Secara tidak langsung,
pembesaran kelenjar prostat bergantung pada rangsangan androgen. Penyumbatan prostat
sendiri dipengaruhi secara statis dan dinamis. Pembesaran kelenjar prostat yang didukung
dengan adanya dihidrotestosteron merupakan penyebab statis, sehingga dalam terapinya
membutuhkan antiandrogen dan 5-alfa reduktase inhibitor. Untuk penyebab dinamis itu
dipengaruhi oleh kerja dari system saraf simpatis dan tonus otot polos kelenjar prostat. Gejala
hyperplasia prostat berupa adanya kontraksi dari otot polos prostat, urethra, dan leher vesika
urinaria dan diobati dengan alfa-1 adrenergik antagonis selektif.
6
PATOFISIOLOGI3
Adanya penyumbatan pada saluran keluar dari vesika urinaria akan menyebabkan
hipertrofi pada otot detrusor dan menebalkan dinding vesika urinaria akibat beban terhadap
adanya resistensi jalan keluar. Bila obstruksi berjalan kronis, lama kelamaan otot detrusor
akan tergantikan dengan jaringan fibrosis, sehingga terus mengalami penurunan tonisitas.
Pada akhirnya, terjadi dekompensasi hipertrofi dan kerusakan vesika urinaria menjadi
irreversible akibat penebalan dinding vesika urinaria. Disamping itu juga dapat terjadi
pembentukan saccule, divetikel maupun trabekula pada vesika urinaria. Bila tidak dapat
diperbaiki, maka harus dilakukan tindakan operatif.
ETIOLOGI2,4
Penyebab pasti BPH sendiri sampai saat ini belum diketahui secara pasti. Tetapi terdapat
beberapa hipotesa yang menghubungkan hyperplasia kelenjar prostat disebabkan oleh
7
peningkatan kadar DHT dan proses penambahan usia. Hipotesa tersebut sebagai berikut : 1)
teori DHT, 2) ketidakseimbangan antara estrogen dan testosterone, 3) adanya interaksi sel
epitel dan sel stroma kelenjar prostat, 4) menurunnya apotosis sel, 5) dan teori stem sel.
1. Teori Dihidirotestosteron
DHT merupakan metabolit androgen pada pertumbuhan sel prostat. Reaksi
perubahan testosterone yang dibantu enzim 5 alpha reductase dan koenzim NADPH
menghasilkan DHT. Kompleks DHT-RA yang terdapat di inti sel dibentuk oleh ikatan
antara dihidrotestosteron dengan reseptor androgen (RA) yang selanjutnya akan
terjadi sintesis protein faktor pertumbuhan yang mendorong pertumbuhan sel kelenjar
prostat.
Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa kadar DHT pada penderita BPH
tidak jauh berbeda dengan prang normal, namun aktivitas enzim 5 alpha reductase
dan jumlah reseptor androgen pada penderita BPH lebih tinggi. Sehingga, sel prostat
pada penderita BPH lebih mudah untuk terjadinya replikasi dibandingkan dengan
prostat orang normal.
8
dimana akan mempengaruhi secara intrakrin dan autokrin sel stroma itu sendiri, dan
mempengaruhi secara parakrin sel epitel prostat. Hal ini dapat mengakibatkan
terjadinya proliferasi sel epitel dan sel stroma.
GAMBARAN KLINIK
Biasanya dijumpai dengan gejala gambaran obstruksi aliran kandung kemih, aliran
urin yang buruk, frekuensi berkemih meningkat, urin menetes setelah berkemih, dan nokturia.
Gejala lain yang dapat timbul yaitu inkontinensia overflow dan disuria. Kadang-kadang juga
ditemukan gejala gagal ginjal kronis ataupun retensi urin akut.2
Obstruksi prostat sendiri dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih dan di luar
saluran kemih. 4
9
Keluhan di saluran kemih bagian bawah/Lower urinary tract symptom (LUTS)4
Gejala yang muncul pada gangguan saluran kemih bagian bawah yaitu berupa gejala
storge, voiding, dan pasca miksi. Penilaian LUTS melalui scoring dengan beberapa
pertanyaan yang tyelah di buat oleh WHO yaitu menggunakan IPSS (International Prostatic
Symptom Score). Dimana terdapat tujuh pertanyaan yang harus dijawab. Pertanyaan terdiri
atas dua komponen yaitu mengenai keluhan berkemih pasien (diberi nilai 0 hingga 5) dan
mengenai keluhan yang berhubungan dengan kualitas hidup (diberi nilai 1 hingga 7). Lalu
setelah itu dikelompokkan menjadi 3 derajat yaitu : ringan (skor 0-7), sedang (skor 8 – 19),
dan berat (skor 2- 35).
Gejala LUTS timbul akibat kompensasi dari kerja otot vesika urinaria untuk
mengeluarkan urin. Suatu saat vesika urinaria akan mengalami kelelahan/kelemahan akibat
terus menerus bekerja untuk mengeluarkan urin sehingga masuk ke fase dekompensasi
dengan gambaran kliniknya yaitu gangguan retensi urin akut. Beberapa faktor pencetus
terjadinya fase dekompensasi yaitu: 1) masa prostat tiba tiba membesar, 2) volume kandung
kemih terisi penuh, 3) setelah mengonsumsi obat-obatan yang mampu menurunkan kekuatan
kontraksi otot detrusor (golongan anti kolinergik atau adrenergic alfa)
Terkadang pasien datang dengan keluhan hemoroid maupun hernia inguinalis. Hal ini
terjadi karena efek saat pasien mencoba untuk mengeluarkan urin yang sulit keluar yaitu
dengan mengejan kuat sehingga terjadi peningkatan tekan intrabdomen.
Saat pemeriksaan fisik ditemukan kandung kemih yang berisikan penuh dan kadang
teraba masa kistus didaerah supra simfisis pubis akibat adanya retensi urin. Selain itu juga
ditemukan keluhan miksi lain seperti inkontinensia parodoksa dan urin yang menetes tanpa
disadari. Pada kasus pembesaran prostat jinak saat colok dubur didapatkan konsistensi prostat
kenyal, simetris, permukaan rata dan tidak ada nodul. Sedangkan pada keganasan ditemukan
konsitensi prostat yang keras, terdapat nodul, permukaan berbenjol benjol dan asiemtris.4
10
ALUR DIAGNOSIS1,2,3
1. Anamnesis3
Anamnesis didapatkan dari pasien dengan mewawancara pasien. Hal
terpenting yang harus dilakukan seorang dokter saat wawancara yaitu menilai kualitas
hidup pasien dan kesulitan berkemih pasien dengan system scoring dari WHO IPSS
(International Prostatic Symptom Score).
Selain itu, dokter harus meggali perjalanan riwayat penyakit pasien untuk
mendiagnosis penyakit pasien. Tanyakan kepada pasien mengenai gejala gejala apa
saja yang timbul, sudah berapa lama, apakah menganggu aktivitas sehari-hari, apakah
mengganggu aktivitas seksual, apakah menganggu kualitas hidup, dan apakah sudah
diobati atau belum. Biasanya pasien berobat ke dokter bila sudah timbul gejala seperti
peningkatan frekuensi BAK, hesistency, urgency, BAK tidak tuntas, penurunan
jumlah urin, dll.
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik yang paling utama yaitu pemeriksaan colok dubur. Dokter
akan memasukan jari telunjuknya ke lubang anus yang telah terbungkus sarung
tangan dan diberikan lubricant.3
Pemeriksaan colok dubur memberikan kesan terhadap keadaan kekuatan tonus
sfringter anus, mukosa rectum, kelainan pada mukosa rectum seperti terdapatnya
benjolan, dan menilai kelainan pada prostat seperti ada atau tidaknya benjolan. Saat
perabaan prostat melalui colok dubur harus diperhatikan konsistensi prostat (pada
pembesaran prostat jinak konsistensinya lunak), adakah nodul pada prostat, apakah
batas atas dapat diraba, permukaan rata atau tidak, dan adakah asimetri. Pada
keganasan/karsinoma prostat dapat ditemukan konsistensi yang keras atau ada prostat
yang asimetri bentuknya dengan bagian yang lebih keras. Dapat pula dinilai batu
prostat bila ditemukan adanya krepitasi saat colok dubur.1
11
Derajat beratnya obstruksi dapat dinilai dengan menentukan jumlah sisa urin
setelah pasien berkemih spontan yaitu dengan mengukur urin yang masih dapat keluar
dengan menggunakan katerisasi. Pemeriksaan sisa urin juga dapat diketahui melalui
pemeriksaan USG kandung kemih setelah pasien berkemih. Bila sisa urin lebih 100
cc, maka harus dilakukan intervensi pada BPH tersebut.1
Derajat beratnya obstruksi dapat juga dinilai melalui pemeriksaan
uroflowmetri dengan mengukur pancaran urin saat berkemih. Angka normal pancaran
saat miksi yaitu 10 – 12 mL/detik dengan angka maksimal 20 mL/detik. Bila terjadi
obstruksi ringan, maka ditemukan pancaran berkemihnya yaitu 6 – 8 mL/detik.
Pada pemeriksaan palpasi, kandung kemih dapat teraba. Pemeriksaan colok
dubur (rectal toucher) dapat meraba adanya pembesaran prostat.2
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yaitu dengan pemeriksaan laboratorium berupa
urinalisa, pemeriksaan kadar kreatinin serum dan penentuan kadar antigen spesifik
prostat (prostate-specific antigen/PSA) dimana nilainya akan meningkat bila terdapat
keganasan, pemeriksaan urodinamika, dan pemeriksaan USG.2
Pemeriksaan urinalisis dimana untuk mencari apakah terdapat infeksi atau
tidak yang mendukung komplikasi dari BPH. Selain itu terdapat pemeriksaan
urodinamika yang berfungsi untuk mengukur tekanan dan volume urin di dalam
vesika urinaria dan menilai aliran urin tersebut. Hal ini bertujuan untuk menilai fungsi
sfringter vesika urinaria interna dan menentukan tipe inkontinensianya.3
Pemeriksaan fungsi ginjal dilakukan untuk mengetahui apakah ada komplikasi
dari BPH hingga terjadi gangguan pada fungsi ginjal akibat obstruksi saluran kemih.
Biasanya yang dapat terjadi yaitu hidronefrosis hinga gagal ginjal akut. 3
Pemeriksaan penunjang lainnya yaitu dengan menggunakan PSA (Prostat
Specific Antigen) dan PAP (Prostatic Acid Phosphatase). PSA merupakan antigen
spesifik yang dihasilkan sel kapsul prostat dan kelenjar periurethral. Seiring dengan
meningkatnya jumlah PSA maka dicurigai telah terjadinya prostatitis atau pembesaran
kelenjar prostat. PSA berguna dalam memperkirkan berat dari kelenjar prostat. Orang
normal memiliki kadar PSA < dari 4 ng/ml. Bila ditemukan kadar PSA 4 -10 ng/ml
maka dikatakan pembesaran prostat ringan, kadar PSA 10 – 20 ng/ml pembesaran
prostat ringan, dan bila kadar PSA 20 – 35 ng/ml dikatakan pembesaran prostat berat.
Biasanya bila masuk ke kategori pembesaran prostat sedang – berat maka harus
12
dicurigai adanya keganasan. Karena dari beberapa studi mengatakan bahwa sel ganas
mampu memproduksi banyak PSA yang terikat protein. PSA sendiri ada yang bebas
dan ada yang terikat dengan protein. Bila ditemukan kadar PSA bebasnya sedikit
maka dicurigai keganasan, namun bila kadar PSA bebasnya lebih banyak maka
dicurigai adanya prostatitis atau BPH.3
.Pemeriksaan pencitraan dengan pemeriksaan radiologik seperti foto polos
perut dan pielografi intravena, dapat pula menilai ada atau tidaknya penyakit penyerta
seperti batu saluran kemih, hidronefrosis, adan divertikulum kandung kemih. Pada
pembesaran prostat sendiri ditemukan adanya lesi defek isian kontras pada dasar
kandung kemih. Secara tidak langsung, untuk gambaran pembesaran kelenjar prostat
dapat di tentukan apabila dasar kandung kemih pada gambaran sistogram tampak
terangkat atau ujung distal ureter membelok ke atas berbentuk seperti mata pancing.1
Selain itu dapat pula dilakukan pemeriksan USG secara transabdominal atau
transrektal (transrectal ultrasonography/TRUS). Pemeriksaan USG ini dapat
menentukan ukuran pembesaran prostat, keadaan patologi lain seperti tumor, batu dan
divertikulum, menilai sisa urin serta mampu menilai volume kandung kemih.
Penentuan ukuran pembesaran prostat juga dapat menggunakan USG suprapubik.
Untuk pemeriksaan CT Scan dan MRI jarang dilakukan.1
BPH juga dapat dinilai melalui pemeriksaan sistografi. Namun pemeriksaan
ini dilakukan bila saat wawancara pasien ditemukan adanya hematuri atau pada
pemeriksaan ditemukan mikrohematuri. Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui
adanya gambaran tumor didalam kandung kemih atau untuk mengetahui sumber
perdarahan dari atas bila darah datang dari muara ureter, atau adanya batu radiolusen
di kandung kemih. Selain itu, pemeriksaan ini juga mampu untuk mengukur panjang
uretra pars prostatika untuk mengetahui besaran prostat.1
TERAPI1,3,4
Tujuan dilakukannya terapi pada pasien BPH yaitu 1) untuk memperbaiki keluhan
berkemih, 2) mengurangi penyumbatan didalam kandung kemih, 3) meningkatkan kualitas
hidup pasien, 4) mengurangi volume sisa urin saat berkemih, 5) mencegah penyakit semakin
buruk. Terapi ini dapat melalui farmakologi atau medikamentosa, pembedahan dan tindakan
endourologi.4
13
Terapi yang dapat dilakukan yaitu dengan memberikan terapi farmakologi dan non
farmakologi. WHO mengklasifikasikan derajat beratnya gangguan miksi dengan WHO PSS
(WHO Prostate Symptom Score) yaitu dengan menghitung skor jawaban penderita ata
delapan pertanyaan mengenai gangguan miksi. Terapi farmakologi/non bedah dilakukan bila
skor WHO PSS dibawah 15. Pasien dengan skor ini dianjurkan untuk control rutin ke dokter,
sedangkan pasien dengan skor WHO PSS nya lebih dari 25 maka dianjurkan untuk terapi non
farmakologi yaitu dengan pembedahan.1
Pada pasien dengan skor IPSSnya dibawah 7 dapat dilakukan pilihan tanpa terapi
yang disebut dengan watchful waiting. Dimana skor dibawah 7 ini pasien hanya memiliki
keluhan ringan tanpa menganggu aktivasnya sehari-hari. Pasien hanya diberikan edukasi
mengenai hal-hal apa saja yang dapat memperburuk keadaanya. Edukasi tersebut antara lain
1) pasien diminta untuk mengurangi konsumsi makanan dan minuman yang dapat meiritasi
kandung kemih seperti coklat dan kopi, 2) pasien diminta untuk mengurangi konsumsi
makanan yang asin dan pedas, 3) pasien dilarang untuk menahan kencing terlalu lama, 4)
pasien diminta untuk membatasi penggunaan obat yang mengandung fenilpropanolamin
seperti yang terdapat di obat influenza, dan 5) jangan mengonsumsi alcohol dan kopi setelah
makan malam. Pasien diminta selalu control untuk selalu di pantu penyakitnya. Disamping
itu dokter diharapkan untuk selalu memantau menggunakan scoring IPSS tersebut. Dan
dilakukannya pemeriksaan laboratorium, residu urin, ataupun uroflowmetri. Jika hasil scoring
IPSS semakin meningkat dan hasil pemeriksaan semakin buruk, mungkin dapat dilakukan
terapi lainnya.4
14
Pemberian obat konservatif lain yang dapat diberikan yaitu dengan memberikan obat
antiandrogen yang berfungsi menekan produksi LH. Kesulitan dalam terapi ini yaitu
menentukan efek samping yang akan terjadi dan berapa lama pemberian obat tersebut
seharusnya.1
Untuk penderita derajat II, sudah masuk ke indikasi dalam pembedahan. Terapi non
farmakologi yang dapat dilakukan yaitu dengan melakukan pembedahan untuk memperbaiki
aliran urin dan tindakan reseksi prostat transuretra (transurethral resection of the
prostate/TURP) yang dilakukan dengan cara endoskopi. Biasanya pasien dianjurkan untuk
dilakukannya reseksi endoskopi melalui urethra/TUR. Terkadang unuk penderita derajat II
juga di coba dengan pengobatan konservatif.1,2
Pada pasien derajat III, juga dilakukan reseksi endoskopik. Apabila diperkirakan
prostat sudah cukup besar, maka bisa dilakukan pembedahan terbuka.1
Pada penderita derajat IV, tindakan yang utama dilakukan yaitu dengan membebaskan
penderita dari retensi urin total dengan pemasangan kateter atau dengan sistostomi.
Selanjutnya, dilakukan pemeriksaan lebih lanjut dan dinilai apakah selanjutnya dilakukan
pembedahan secara TUR atau pembedahan terbuka.1
Terapi lain yang dapat dilakukan yaitu dengan melakukan tindakan invasive minimal
dengan pemanasan prostat meggunakan gelombang mikro yang disalurkan ke kelenjar prostat
melalui sebuah antenna yang dipasang di ujung kateter. Terapi ini disebut transurethral
microwave thermotherapy (TUMT). Terapi dengan TUMT ini mampu meberikan efek
positif yaitu perbaikan hingga75% mengurangi gejala objektif.1
15
Atau dengan terapi lain yaitu dengan transurethral ultrasound guided laser induced
prostatectomy (TULIP) yang menggunakan cahaya laser dalam tindakannya. Cara ini juga
memberikan hasil yang memuaskan.1
Terapi lain yang dapat dilakukan yaitu melebarkan saluran urethra dengan
memasukan balon kedalamnya. Tindakan ini disebut transurethral ballonn dilatation/TUBD.
Namun tindakan ini kurang efektif karena bersifat sementara.1
Tabel.1. Derajat berat hyperplasia kelenjar prostat berdasarkan gambaran klinis yang
didapat dari pemeriksaan colok dubur
KOMPLIKASI3
1. Infeksi
2. Ejakulasi retrograde
3. Pneumonia
4. Retensi urin
5. Batu kandun kemih
6. Kerusakan ginjal
7. Terjadi bekuan darah
16
8. Impotensi
9. Perdarahan berlebih
10. Inkontinensia
PROGNOSIS3
Sebanyak 90% pasien mengalami perbaikan atas gejalanya setelah diterapi. Sebanyak
10% - 20 % pasien akan mengalami kekambuhan yaitu kembali terjadi obstruksi saluran
kemih hingga adanya kembali pembesaran prostat tersebut.
PENCEGAHAN3
BPH dapat terjadi seiring dengan pertambahan usia. BPH dapat diprediksi dengan
memeriksakan kadar PSAnya. Bila kadar PSAnya > 30ng/ml maka diprediksi memiliki risiko
progresivitasnya lebih tinggi.
BAB III
KESIMPULAN
17
merupakan proses yang normal seiring dengan betambahnya usia pada pria
dimana hal ini bergantung pada system hormonal pria dalam memproduksi
hormone testosterone dan dihidrotestosteron (DHT).3
Ukuran kelenjar prostat umumnya akan meningkat seiring dengan
bertambahnya usia. Pada orang normal usia 20 – 30 tahun, rata-rata berat
prostat mencapai 20 gram daan terus meningkat seiring bertambahnya usia.
Prevalensi angka kejadian BPH berdasarkan pertambahan usia yaitu sebanyak
8% pada pria berusia 31 – 40 tahun, 40 – 50 % pada pria berusia 50 – 60
tahun, dan sebesar 80% pada pria berusia diatas 80 tahun. Faktor risiko
terjadinya BPH sendiri belum diketahui secara pasti. Namun diduga
pembesaran prostat dipengaruhi oleh genetik, ras, dan suku.3
Terdapat beberapa hipotesa yang menghubungkan hyperplasia kelenjar prostat
disebabkan oleh peningkatan kadar DHT dan proses penambahan usia.
Hipotesa tersebut sebagai berikut : 1) teori DHT, 2) ketidakseimbangan antara
estrogen dan testosterone, 3) adanya interaksi sel epitel dan sel stroma kelenjar
prostat, 4) menurunnya apotosis sel, 5) dan teori stem sel.
Gambaran klinik pasien biasanya dijumpai dengan gejala gambaran obstruksi
aliran kandung kemih, aliran urin yang buruk, frekuensi berkemih meningkat,
urin menetes setelah berkemih, dan nokturia. Gejala lain yang dapat timbul
yaitu inkontinensia overflow dan disuria. Kadang-kadang juga ditemukan
gejala gagal ginjal kronis ataupun retensi urin akut.2
Alur diagnosis meliputi anamnesis, pemeriksan fisik, dan pemeriksaan
penunjang. Anamnesis didapatkan dari pasien dengan mewawancara pasien.
Hal terpenting yang harus dilakukan seorang dokter saat wawancara yaitu
menilai kualitas hidup pasien dan kesulitan berkemih pasien dengan system
scoring dari WHO IPSS (International Prostatic Symptom Score). Selain itu,
dokter harus meggali perjalanan riwayat penyakit pasien untuk mendiagnosis
penyakit pasien. Sedangkan pemeriksaan fisik yang paling utama yaitu
pemeriksaan colok dubur. Dokter akan memasukan jari telunjuknya ke lubang
anus yang telah terbungkus sarung tangan dan diberikan lubricant. Kemudian
dilakukan penilaian terhadap kekuatan tonus sfringter anus, mukosa rectum,
kelainan pada mukosa rectum seperti terdapatnya benjolan, dan menilai
kelainan pada prostat seperti ada atau tidaknya benjolan. Untuk pemeriksaan
18
penunjang dapat dilakukan pemeriksaan laboratorium berupa urinalisa,
pemeriksaan kadar kreatinin serum dan penentuan kadar antigen spesifik
prostat (prostate-specific antigen/PSA) dimana nilainya akan meningkat bila
terdapat keganasan, pemeriksaan urodinamika, dan pemeriksaan USG.2
Tujuan dilakukannya terapi pada pasien BPH yaitu 1) untuk memperbaiki
keluhan berkemih, 2) mengurangi penyumbatan didalam kandung kemih, 3)
meningkatkan kualitas hidup pasien, 4) mengurangi volume sisa urin saat
berkemih, 5) mencegah penyakit semakin buruk. Terapi ini dapat melalui
farmakologi atau medikamentosa, pembedahan dan tindakan endourologi.
Untuk terapi farmakologi dapat diberikan inhibitor alfa adrenoreseptor seperti
alfazosin, prazosin, tamsulosin, dan terazosin. Untuk terapi farmakologi dapat
diberikan blocer alpha adrenergic seperti prazosin (berfungsi merelaksasikan
otot polos prostat dan leher kandung kemih) atau dengan 5 alpha reductase
seperti finasterid (berfungsi untuk menghambat konversi testosteron menjadi
metabolit aktif dihidrotestosteron, sehingga mampu mengurangi hiperplasi
prostat). Tindakan bedah yang dapat dilakukan yaitu dengan TURP, TUMT,
TULIP, dan TUBD.
Untuk prognosisnya, sebanyak 90% pasien mengalami perbaikan atas
gejalanya setelah diterapi. Sebanyak 10% - 20 % pasien akan mengalami
kekambuhan yaitu kembali terjadi obstruksi saluran kemih hingga adanya
kembali pembesaran prostat tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
19
20