Anda di halaman 1dari 24

Referat

MENINGITIS TUBERKULOSA

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior
Pada Bagian/KSM Neurologi Fakultas Kedokteran Unsyiah/
RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh

Disusun oleh:
Chairini Fikry
1907101030113

Pembimbing:
Dr. dr. Suherman, Sp.S(K)

BAGIAN/ KSM NEUROLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
RSUD Dr. ZAINOEL ABIDIN
BANDA ACEH
2020
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, kasih sayang,
dan karunia kepada Penulis sehingga dapat menyelesaikan referat yang berjudul
“Meningitis Tuberkulosa”. Referat ini disusun sebagai salah satu tugas menjalani
kepaniteraan klinik senior pada Bagian/KSM Neurologi, Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala/ RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.
Selama penyelesaian referat ini penulis mendapatkan bimbingan, pengarahan,
dan bantuan dari banyak pihak. Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan
terimakasih kepada Dr. dr. Suherman, Sp. S(K) dan dr. Ade Silvana Danial yang telah
banyak meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis
dalam menyelesaikan referat ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada
keluarga, sahabat, dan rekan-rekan yang telah memberikan motivasi dan doa dalam
menyelesaikan referat ini. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam
referat ini. Untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif
dari pembaca sekalian demi kesempurnaan referat ini. Harapan penulis semoga referat
ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan umumnya dan profesi
kedokteran khususnya. Semoga Allah selalu memberikan Rahmat dan Hikmah-Nya
kepada kita semua.

Banda Aceh,01 Juli 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................... i


DAFTAR ISI.................................................................................................................ii
BAB I. PENDAHULUAN ............................................................................................ 1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................ 3
2.1. Definisi............................................................................................................... 3
2.2. Epidemiologi ...................................................................................................... 3
2.3. Anatomi.............................................................................................................. 4
2.4. Etiologi dan Patofisiologi .................................................................................. 6
2.5. Faktor Risiko ...................................................................................................... 8
2.6. Manifestasi Klinis .............................................................................................. 8
2.7. Diagnosis............................................................................................................ 9
2.8. Penatalaksanaan ............................................................................................... 14
2.9. Komplikasi ....................................................................................................... 17
2.10. Pencegahan ...................................................................................................... 18
2.11. Prognosis .......................................................................................................... 18
BAB III. KESIMPULAN........................................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 20

ii
BAB I
PENDAHULUAN

Tuberkulosis (TB) masih merupakan salah satu masalah kesehatan yang utama
di dunia dan merupakan penyakit kedua setelah HIV/AIDS sebagai pembunuh
terbesar di seluruh dunia. Pada tahun 1993, World Health Organization (WHO) telah
menetapkan TB sebagai “Global Public Health Emergency”. Terdapat 9 juta kasus
baru TB manakala 1,5 juta kematian yang disebabkan oleh TB dan hampir satu per
tiga penduduk dari seluruh penduduk dunia telah terinfeksi dengan Mycobacterium
tuberculosis.1

Pasien-pasien TB yang tidak diobati 1% hingga 2% akan berkembang menjadi


meningitis tuberkulosa. Meningitis TB merupakan penyakit inflamasi non supuratif
dari meninges duramater dan sumsum tulang belakang yang disebabkan oleh basil
tuberkel. Insidensi meningitis TB masih tinggi di negara-negara berkembang
termasuk Indonesia, sekitar 5% sampai 15% tuberkulosis ekstrapulmoner melibatkan
susunan saraf pusat (SSP). Meningitis TB merupakan salah satu TB ekstrapulmoner
terbanyak dengan keterlibatan SSP dan 70% dari tuberkulosis SSP.2 Menurut WHO
(2009), meningitis TB terjadi 3,2% dari kasus komplikasi infeksi primer TB dan 83%
disebabkan karena komplikasi infeksi primer paru setelah HIV. Penyakit meningitis
TB pada penderita tanpa HIV adalah 2% dan 14% pada penderita yang terinfeksi HIV
yang meningkatkan resiko terjadinya meningitis TB.3

Penegakan diagnosis meningitis TB masih cukup sulit. Cara utamanya adalah


isolasi organisme melalui hasil kultur Cairan SerebroSpinal (CSS) atau dijumpainya
Mycobacterium tuberculosis pada pewarnaan. Pewarnaan positif terjadi pada kurang
dari 10% kasus meningitis TB, sementara kultur membutuhkan waktu yang cukup
lama sekitar delapan minggu dan hasilnya lebih sering negatif. Hal ini menyebabkan
terlambatnya penegakan diagnosis meningitis TB. Penegakan diagnosis umumnya
dilakukan berdasarkan kriteria klinis, laboratorium dan radiologis.4

Stadium meningitis TB pada saat awal pasien datang ke rumah sakit


merupakan faktor pentingpenentu keluaran klinis pasien. The British Medical
Research Council (BMRC) telah membagi derajat beratnya meningitis TB menjadi 3

1
2

stadium, yaitu stadium I, II, dan III. Pasien dengan stadium I, jika saat awal datang
dalam keadaan sadar penuh dan menunjukkan gejala yang tidak spesifik. Pasien
dengan stadium II, jika saat awal datang letargi atau didapatkan defisit saraf kranial.
Pasien dengan stadium III, jika saat awal datang stupor-koma dan mengalami
paresis/paralisis yang jelas. Stadium penyakit tersebutmenentukan mortalitas pasien.
Pada pasien tanpa koinfeksi HIV, stadium I memiliki mortalitas 20%, stadium II
memiliki mortalitas 30%, dan stadium III memilikimortalitas 55%. Pada pasien
dengan koinfeksi HIV, stadium I memiliki mortalitas 40%, stadium II memiliki
mortalitas 52%, dan stadium III memiliki mortalitas 75%.5

Banyak sekali faktor-faktor yang mempengaruhi luaran pasien-pasien dengan


meningitis tuberkulosa, seperti usia, stadium, dijumpainya hidrosefalus dari
pencitraan, hasil analisa CSS yang mendukung dan adanya komorbiditas dengan
penyakit lain terutama infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV). Penelitian di
China pada tahun 2015 melaporkan bahwa usia yang lebih tua, dijumpainya TB
milier, penurunan kesadaran, skor Glasgow Coma Scale (GCS) yang rendah saat
masuk dan hidrosefalus berhubungan dengan prognosis yang buruk, sehingga perlu
diketahui faktor-faktor prognostik apa saja baik dari klinis, laboratorium maupun
pencitraan yang dapat mempengaruhi luaran tersebut. Pengetahuan dan pemahaman
yang lebih baik tentang faktor-faktor risiko yang dapat mempengaruhi luaran, dapat
menjadi acuan untuk melakukan intervensi segera yang pada akhirnya dapat
mengurangi risiko morbiditas dan mortalitas, serta dapat memberikan gambaran dan
ekspektasi yang lebih realistis untuk pasien maupun keluarganya, dan dapat menjadi
data yang sangat berguna dalam meneliti modalitas diagnostik dan pengobatan yang
baru.6,7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Meningitis tuberkulosa merupakan peradangan pada selaput otak yang


disebabkan oleh bakteri mycobacterium tuberkulosis. Penyakit ini merupakan salah
satu bentuk komplikasi yang sering muncul pada penyakit tuberkulosis paru. Infeksi
primer muncul di paru-paru dan dapat menyebar secara limfogen dan hematogen ke
berbagai daerah tubuh di luar paru, seperti perikardium, usus, kulit, tulang, sendi, dan
selaput otak.8 Mycobacterium tuberkulosis merupakan bakteri berbentuk batang
pleomorfik gram positif, berukuran 0,4-3µ, mempunyai sifat tahan asam, dapat hidup
selama berminggu-minggu dalam keadaan kering, serta lambat bermultiplikasi (setiap
15 sampai 20 jam). Bakteri ini merupakan salah satu jenis bakteri yang bersifat
intraselular patogen pada hewan dan manusia. Selain mycobacterium tuberkulosis,
spesies lainnya yang juga dapat menimbulkan tuberkulosis adalah Mycobacterium
bovis, Mycobacterium africanum, dan Mycobacterium microti.9

2.2. Epidemiologi

Meningitis tuberkulosa (MTB) merupakan TB yang terjadi pada susunan saraf


pusat (SSP) yang paling sering dan paling berat dengan tingkat kematian yang
tinggi.Penderita MTB tercatat sebanyak 1,5% ditemukan pada pasien-pasien TB.
Tingkat mortalitas dari MTB tergolong tinggi dengan persentase 20-41%. Beberapa
faktor yang diketahui berhubungan dengan risiko kematian yang tinggi adalah Human
Immunodeficiency Virus (HIV) (40-58%), tingkat keparahan penyakit, level kesadaran
pasien, serta usia. MTB adalah salah satu dari lima penyakit TB ekstraparu yang
paling sering terjadi dengan persentase 0.7% dari seluruh kasus TB.10

Kasus TB ekstraparu di Indonesia adalah sejumlah 6,05% dari total kasus TB


yang tercatat. Suatu studi epidemiologi TB ekstraparu di Amerika Serikat
menunjukkan bahwa 5–10% dari total kasus TB ekstraparu merupakan MTB. Centers
for disease control and prevention (CDC) tahun 2005 menunjukkan persentase MTB
sebesar 6,3% dari kasus TB ekstraparu (1–3% dari keseluruhan kasus TB).11

3
4

Menurut Profil kesehatan Indonesia tahun 2013 menyatakan sebanyak 195.310


kasus tuberkulosis ditemukan dan prevalansinya menurun bila dibandingkan dengan
tahun 2012 yang sebanyak 202.301 kasus. Prevalansi lakil-aki penderita TB lebih
banyak daripada wanita. Kelompok umur anak yang merupakan mederita penyakit
tersebutnya dengan proporsi yang paling rendah yaitu 0.72% .12

2.3. Anatomi
Meningen adalah selaput yang membungkus otak dan sumsum tulang
belakang, merupakan struktur halus yang melindungi pembuluh darah dan cairan
serebrospinal, dan memperkecil benturan atau getaran. Meningen terdiri dari 3
lapisan, yaitu dura mater, araknoid, dan pia mater.8

Lapisan Luar (Dura mater)


Dura mater adalah lapisan meninges luar, terdiri atas jaringan ikat padat yang
berhubungan langsung dengan periosteum tengkorak. Dura mater yang membungkus
medulla spinalis dipisahkan dari periosteum vertebra oleh ruang epidural, yang
mengandung vena berdinding tipis, jaringan ikat longgar, dan jaringan lemak. Dura
mater selalu dipisahkan dari arachnoid oleh celah sempit, ruang subdural. Permukaan
dalam dura mater, juga permukaan luarnya pada medulla spinalis, dilapisi epitel
selapis gepeng yang asalnya dari mesenkim.13

Lapisan Tengah (Araknoid)


Araknoid mempunyai 2 komponen yaitu lapisan yang berkontak dengan dura
mater dan sebuah sistem trabekel yang menghubungkan lapisan itu dengan piamater.
Rongga diantara trabekel membentuk ruang subaraknoid, yang berisi cairan
5

serebrospinal dan terpisah sempurna dari ruang subdural. Ruang ini membentuk
bantalan hidrolik yang melindungi syaraf pusat dari trauma. Ruang subaraknoid
berhubungan dengan ventrikel otak. Araknoid terdiri atas jaringan ikat tanpa
pembuluh darah. Permukaannya dilapisi oleh epitel selapis gepeng seperti dura mater
karena medulla spinalis araknoid itu lebih sedikit trabekelnya, maka lebih mudah
dibedakan dari piamater. Pada beberapa daerah, araknoid menembus dura mater
membentuk juluran-juluran yang berakhir pada sinus venosus dalam dura mater.
Juluran ini, yang dilapisi oleh sel-sel endotel dari vena disebut Vili Araknoid.
Fungsinya ialah untuk menyerap cairan serebrospinal ke dalam darah dari sinus
venosus.13

Lapisan Dalam (Pia mater)


Pia mater terdiri atas jaringan ikat longgar yang mengandung banyak
pembuluh darah. Meskipun letaknya cukup dekat dengan jaringan saraf, ia tidak
berkontak dengan sel atau serat saraf. Di antara pia mater dan elemen neural terdapat
lapisan tipis cabang-cabang neuroglia, melekat erat pada pia mater dan membentuk
barier fisik pada bagian tepi dari susunan saraf pusat yang memisahkan sistem saraf
pusat dari cairan serebrospinal. Pia mater menyusuri seluruh lekuk permukaan
susunan saraf pusaf dan menyusup kedalamnya untuk jarak tertentu bersama
pembuluh darah. Pia mater di lapisi oleh sel-sel gepeng yang berasal dari mesenkim.
Pembuluh darah menembus susunan saraf pusat melalui torowongan yang dilapisi
oleh piamater ruang perivaskuler. Pia mater lenyap sebelum pembuluh darah
ditransportasi menjadi kapiler. Dalam susunan saraf pusat, kapiler darah seluruhnya
dibungkus oleh perluasan cabang neuroglia.13

Plexus Koroid dan Cairan Serebrospinal


Pleksus koroid terdiri atas lipatan-lipatan ke dalam dari pia mater yang
menyusup ke bagian dalam ventrikel. Dapat ditemukan pada atap ventrikel ketiga dan
keempat dan sebagian pada dinding ventrikel lateral. Plexus koroid merupakan
struktur vaskular yang terbuat dari kapiler fenestra yang berdilatasi. Pleksus koroid
terdiri atas jaringan ikat longgar dari pia mater, dibungkus oleh epitel selapis kuboid
atau silindris, yang memiliki karakteristik sitologi dari sel pengangkut ion. Fungsi
utama pleksus koroid adalah membentuk cairan serebrospinal, yang hanya
mengandung sedikit bahan padat dan mengisi penuh ventrikel, kanal sentral dari
6

medula spinalis, ruang subaraknoid, dan ruang perivasikular. Hal ini penting untuk
metabolisme susunan saraf pusat dan merupakan alat pelindung, berupa bantalan
cairan dalam ruang subaraknoid. Cairan itu jernih, memiliki densitas rendah (1.004-
1.008 gr/ml), dan kandungan proteinnya sangat rendah. Juga terdapat beberapa sel
deskuamasi dan dua sampai lima limfosit per milliliter. CSS mengalir melalui
ventrikel, dari sana ia memasuki ruang subaraknoid. Disini vili araknoid merupakan
jalur utama untuk absorbsi CSS ke dalam sirkulasi vena. Menurunnya proses absorsi
cairan serebrospinal atau penghambatan aliran keluar cairan dari ventrikel
menimbulkan keadaan yang disebut hidrosefalus, yang mengakibatkan pembesaran
progresif dari kepala dan disertai dengan gangguan mental dan kelemahan otot.14

2.4. Etiologi dan Patofisiologi

Meningitis tuberkulosa (MTB) disebabkan oleh bakteri Mycobacterium


tuberculosis complex yang menyebar secara hematogen ke meningen. Dalam
perjalanannya meningitis tuberkulosis melalui 2 tahap yaitu mula-mula terbentuk lesi
di otak atau meningen akibat penyebaran basil secara hematogen selama infeksi
primer. Infeksi bakteri tahan asam masuk ke dalam tubuh inang melalui droplet
inhalasi. Infeksi lokal di paru menjadi luas dan menyebar secara hematogen ke
ekstraparu termasuk sistem saraf pusat (SSP). Orang yang terinfeksi MTB, bakteri
basil tersebut berdiam di meningen atau parenkim otak sebagai hasil dari
pembentukan fokus subpial atau subependimal kecil dari lesi kaseosa metastatik yang
dikenal sebagai fokus Rich, biasanya terjadi 3-6 bulan setelah infeksi primer. Fokus
Rich semakin membesar sehingga ruptur atau pecah dan masuk ke dalam ruang
subarakhnoid dan menyebabkan meningitis.11

Kebanyakan bakteri masuk ke cairan serebrospinal dalam bentuk kolonisasi


dari nasofaring atau secara hematogen menyebar ke pleksus koroid parenkim otak,
atau selaput meningen. Vena-vena yang mengalami penyumbatan dapat menyebabkan
aliran retrograde transmisi dari infeksi. Kerusakan lapisan dura dapat disebabkan oleh
fraktur, paska bedah saraf, infeksi steroid secara epidural, tindakan anestesi, adanya
benda asing seperti implan koklear, VP shunt, dan lain-lain. Sering juga kolonisasi
organisme pada kulit dapat menyebabkan meningitis. Meskipun meningitis dikatakan
sebagai peradangan selaput meningen, kerusakan meningen dapat berasal dari infeksi
yang dapat berakibat edema otak, peyumbatan vena dan menghalang aliran cairan
7

serebospinal yang dapat berakhir dengan hidrosefalus, peningkatan tekanan


intrakranial dan herniasi. Terjadi peningkatan inflamasi granulomatus di
leptomeningen (pia mater dan araknoid) dan korteks serebri di sekitarnya
menyebabkan eksudat cenderung terkumpul di daerah basal otak .15 Secara patologis,
ada tiga keadaaan yang terjadi pada meningitis tuberkulosa:

1. Araknoiditis Proliferatif
Proses ini terutama terjadi di basal otak, berupa pembentukan massa fibrotik
yang melibatkan saraf kranialis dan kemudian menembus pembuluh darah. Reaksi
radang akut di leptomeningen ini ditandai dengan adanya eksudat gelatin, berwarna
kuning kehijauan di basis otak. Secara mikroskopik, eksudat terdiri dari limfosit dan
sel plasma dengan nekrosis perkijuan. Pada stadium lebih lanjut, eksudat akan
mengalami organisasi dan mungkin mengeras serta mengalami kalsifikasi. Adapun
saraf kranialis yang terkena akan mengalami paralisis. Saraf yang paling sering
terkena adalah saraf kranial VI, kemudian III dan IV, sehingga akan timbul gejala
diplopia dan strabismus. Bila mengenai saraf kranial II, maka kiasma optikum
menjadi iskemik dan timbul gejala penglihatan kabur bahkan bisa buta bila terjadi
atrofi papil saraf kranial II. Bila mengenai saraf kranial VIII akan menyebabkan
gangguan pendengaran yang sifatnya permanen.16

2. Vaskulitis
Vaskulitis dengan trombosis dan infark pembuluh darah kortikomeningeal
yang melintasi membran basalis atau berada di dalam parenkim otak. Hal ini
menyebabkan timbulnya radang obstruksi dan selanjutnya infark serebri. Kelainan
inilah yang meninggalkan sekuele neurologis bila pasien selamat. Apabila infark
terjadi di daerah sekitar arteri cerebri media atau arteri karotis interna, maka akan
timbul hemiparesis dan apabila infarknya bilateral akan terjadi quadriparesis. Pada
pemeriksaan histologis arteri yang terkena, ditemukan adanya perdarahan, proliferasi,
dan degenerasi. Pada tunika adventisia ditemukan adanya infiltrasi sel dengan atau
tanpa pembentukan tuberkel dan nekrosis perkijuan. Pada tunika media tidak tampak
kelainan, hanya infiltrasi sel yang ringan dan kadang perubahan fibrinoid. Kelainan
pada tunika intima berupa infiltrasi subendotel, proliferasi tunika intima, degenerasi,
dan perkijuan. Yang sering terkena adalah arteri cerebri media dan anterior serta
cabangcabangnya, dan arteri karotis interna. Vena selaput otak dapat mengalami
8

flebitis dengan derajat yang bervariasi dan menyebabkan trombosis serta oklusi
sebagian atau total. Mekanisme terjadinya flebitis tidak jelas, diduga hipersensitivitas
tipe lambat menyebabkan infiltrasi sel mononuklear dan perubahan fibrin.15
3. Hidrosefalus
Hidrosefalus komunikans akibat perluasan inflamasi ke sisterna basalis yang
akan mengganggu sirkulasi dan resorpsi cairan serebrospinalis.15

2.5. Faktor Risiko

Faktor risiko untuk TB SSP termasuk usia (anak-anak> dewasa) koinfeksi


HIV, kekurangan gizi, campak baru pada anak-anak, alkoholisme, keganasan,
penggunaan agen imunosupresif pada orang dewasa dan prevalensi penyakit di
masyarakat.18

Penyebaran langsung dari fokus tuberkulosis seperti otitis media atau


spondylitis jarang terjadi. Meningitis TB dikaitkan dengan imunitas yang rusak,
termasuk malnutrisi dan infeksi human immunodeficiency virus (HIV). Interaksi
antara inang dan genotipe bakteri telah dibuktikan dapat mempengaruhi
kecenderungan untuk mengembangkan meningitis TB, tetapi tidak ada hubungan
yang pasti antara genotipe mikobakteri dan hasil klinis yang dapat ditunjukkan pada
orang dewasa atau anak-anak. Faktor-faktor seperti beban antigen dan faktor genetik
inang dapat menentukan perjalanan penyakit. Kadar sitokin menurun pada pengobatan
tetapi signifikansi klinisnya tidak jelas.17

2.6. Manifestasi Klinis

Keluhan pertama biasanya nyeri kepala yang menjalar ke tengkuk dan


punggung. Tengkuk menjadi kaku disebut dengan Kaku kuduk yang disebabkan oleh
mengejangnya otot-otot ekstensor tengkuk. Bila hebat, terjadi opistotonus, yaitu
tengkuk kaku dalam sikap kepala tertengadah dan punggung dalam sikap
hiperekstensi. Kesadaran menurun, tanda Kernig’s dan Brudzinsky positif. Gejala
pada bayi yang terkena meningitis, biasanya menjadi sangat rewel muncul bercak
pada kulit tangisan lebih keras dan nadanya tinggi, demam ringan, badan terasa kaku,
dan terjadi gangguan kesadaran seperti tangannya membuat gerakan tidak beraturan.
Gejala klinis meningitis tuberkulosis dapat dibagi dalam 3 (tiga) stadium:19
9

1. Stadium I : Prodormal
Selama 2-3 minggu dengan gejala ringan dan nampak seperti gejala infeksi
biasa. Pada anak-anak, permulaan penyakit bersifat subakut, sering tanpa demam,
muntah-muntah, nafsu makan berkurang, murung, berat badan menurun, mudah
tersinggung, cengeng, opstipasi, pola tidur terganggu dan gangguan keadaran berupa
apatis. Pada orang dewasa terdapat panas yang hilang timbul, nyeri kepala, konstipasi,
kurang nafsu makan, fotofobia, nyeri punggung, halusinasi, dan sangat gelisah.

2. Stadium II : Transisi
Berlangsung selama 1-3 minggu dengan gejala penyakit lebih berat dimana
penderita mengalami nyeri kepala yang hebat dan kadangkadang disertai kejang
terutama pada bayi dan anak-anak. Tandatanda rangsangan meningeal mulai nyata,
seluruh tubuh dapat menjadi kaku, terdapat tanda-tanda peningkatan intrakranial,
ubunubun menonjol dan muntah yang lebih hebat.

3. Stadium III : Terminal


Ditandai dengan kelumpuhan dan gangguan kesadaran sampai koma. Pada
stadium ini penderita dapat meninggal dunia dalam waktu tiga minggu.

2.7. Diagnosis
Diagnosis meningitis TB seringkali sulit, karena gejala klinis biasanya subakut
dan tidak spesifik. Dibandingkan dengan meningitis bakteri, pasien dengan meningitis
TB biasanya melaporkan durasi gejala yang lebih lama hingga 1 bulan dalam
penelitian terbaru. Orang dewasa dengan meningitis TB biasanya menderita sakit
leher, sakit kepala, demam, dan muntah gejala umumnya terlihat dengan bentuk lain
dari meningitis bakteri. Namun, meningitis TB ditandai oleh kemungkinan lebih
tinggi dari gejala neurologis, dengan kesadaran yang berubah, perubahan kepribadian,
dan koma terlihat pada 59, 28, dan 21% pasien meningitis TB, masing-masing. Selain
itu, kelumpuhan saraf kranial, paling sering melibatkan saraf kranial VI, adalah fitur
umum lainnya, terjadi pada hampir sepertiga pasien. Sayangnya, pada saat gejala
neurologis yang lebih lanjut sudah jelas (kelumpuhan saraf kranial, peningkatan
tekanan intrakranial, tingkat kesadaran yang berubah), pasien mungkin telah
menderita gejala sisa jangka panjang yang ireversibel.20
10

Diagnosa pada meningitis TB dapat dilakukan dengan beberapa cara :


1) Anamnesa
Pada anamnesa dapat diketahui adanya trias meningitis seperti demam, nyeri
kepala dan kaku kuduk. Gejala lain seperti mual muntah, penurunan nafsu makan,
mudah mengantuk, fotofobia, gelisah, kejang, penurunan kesadaran adanya riwayat
kontak dengan pasien tuberkulosis. Anamnesa dapat dilakukan pada keluarga pasien
yang dapat dipercaya jika tidak memungkinkan untuk autoanamnesa.

2) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dapat mendukung diagnosis meningitis biasanya
adalah pemeriksaan rangsang meningeal ,yaitu sebagai berikut :21
1. Kaku Kuduk
Pasien berbaring terlentang dan dilakukan pergerakan pasif berupa fleksi kepala.
Tanda kaku kuduk positif (+) bila didapatkan kekakuan dan tahanan pada
pergerakan fleksi kepala disertai rasa nyeri dan spasme otot.

2. Kernig`s sign
Pasien berbaring terlentang, dilakukan fleksi padas sendi panggul kemudian
ekstensi tungkai bawah pada sendi lutut sejauh mungkin tanpa rasa nyeri. Tanda
Kernig positif (+) bila ekstensi sendi lutut tidak mencapai sudut 135° (kaki tidak
dapat di ekstensikan sempurna) disertai spasme otot paha biasanya diikuti rasa
nyeri.

3. Brudzinski I (Brudzinski leher)


Pasien berbaring dalam sikap terlentang, tangan kanan ditempatkan dibawah
kepala pasien yang sedang berbaring, tangan pemeriksa yang satu lagi ditempatkan
didada pasien untuk mencegah diangkatnya badan kemudian kepala pasien
difleksikan sehingga dagu menyentuh dada. BrudzinskiI positif (+) bila gerakan
fleksi kepala disusul dengan gerakan fleksi disendi lutut dan panggul kedua tungkai
secara reflektorik.

4. Brudzinski II (Brudzinski Kontralateral tungkai)


Pasien berbaring terlentang dan dilakukan fleksi pasif paha pada sendi panggul
(seperti pada pemeriksaan Kernig). Tanda Brudzinski II positif (+) bila pada
pemeriksaan terjadi fleksi involunter padasendi panggul dan lutut kontralateral.
11

5. Brudzinski III (Brudzinski Pipi)


Pasien tidur terlentang tekan pipi kiri kanan dengan kedua ibu jari pemeriksa tepat
dibawah os ozygomaticum. Tanda Brudzinski III positif (+) jika terdapat flexi
involunter extremitas superior.

6. Brudzinski IV (Brudzinski Simfisis)


Pasien tidur terlentang tekan simpisis pubis dengan kedua ibu jari tangan
pemeriksaan. Pemeriksaan Budzinski IV positif (+) bila terjadi flexi involunter
extremitas inferior.

7. Lasegue`s Sign
Pasien tidur terlentang, kemudian diextensikan kedua tungkainya. Salah satu
tungkai diangkat lurus. Tungkai satunya lagi dalam keadaan lurus. Tanda lasegue
positif (+) jika terdapat tahanan sebelum mencapai sudut 70° pada dewasa dan
kurang dari 60° pada lansia.

3) Pemeriksaan Penunjang
1.Evaluasi Cairan Serebrospinal
Beberapa algoritma telah diusulkan untuk membedakan meningitis TB dari
penyebab meningitis lain yang lebih umum. Fitur umum dalam analisis cairan
serebrospinal (CSS). Dibandingkan dengan meningitis bakteri, pasien dengan
meningitis TB memiliki limfositosis relatif lebih tinggi di CSS.20,22
Tabel 1. Karakter CSS pada berbagai jenis meningitis 20,22
Normal Bakteri Virus Fungi Tuberkulosis
Jernih/ Jernih/
Makroskopis Jernih, Keruh Jernih
opalescent opalescent
Sangat
Sedikit Sedikit
Normal meningkat Variabel
Sel darah putih 3
meningkat meningkat
(0-5/mm ) (100-60.000/ (20-500/mm3)
(5-100/mm3) (5-1000/mm3)
mm3)
Predominan Predominan Predominan Predominan
Perbedaan sel Normal
Neutrofilik Limposit Limposit Limposit
Protein <0,4 g/L 1-5 g/L <0,4-0,9 g/L 0,5-5 g/L 1-5g/L
<80%
75% <40%
Glukosa <50% glukosa
Glukosa Glukosa Glukosa Normal
darah darah
darah darah

Sedikit Sangat Sedikt


Tekanan Normal Normal
meningkat meningkat meningkat
12

2.Pewarnaan dan Mikroskopi


Isolasi basil tahan asam dalam CSS oleh kultur adalah standar emas untuk
mendiagnosis meningitis TB. Noda Ziehl Neelsen, juga dikenal sebagai pewarna
asam-cepat, memiliki sensitivitas yang buruk untuk diagnosis meningitis TB,
dilaporkan serendah 30% dan umumnya tidak melebihi 60% . Sensitivitas dapat
ditingkatkan melalui pengambilan sampel serial dan evaluasi mikroskopis yang teliti.
Melakukan cytospin dengan Triton X-100 sebelum pewarnaan cepat asam, pewarnaan
Ziehl-Neelsen yang dimodifikasi, serta pewarnaan dari Early Secretory Antigen
Target (ESAT), memiliki kinerja yang jauh lebih baik daripada pewarna asam-cepat
konvensional.20
Kultur mikobakteri CSS memberikan diagnosis definitif meningitis TB dan
memungkinkan dilakukannya tes kerentanan obat fenotipik. Namun, kultur
memerlukan masa inkubasi hingga 2 bulan dan memiliki sensitivitas yang tidak
sempurna. Uji microscopic observation drug susceptibility (MODS) memberikan
hasil yang lebih cepat daripada kultur standar dan didasarkan pada evaluasi
mikroskopis M. tuberculosis tumbuh dalam kultur cair. Namun, MODS tidak tersedia
secara rutin.20

3. Nucleic acid amplification tests


Nucleic acid amplification tests (NAATs) adalah tes berbasis PCR yang sangat
spesifik tetapi tidak sensitif untuk diagnosis meningitis TB, menjadikannya lebih
berguna sebagai konfirmasi daripada tes skrining diagnostik. Sementara sensitivitas
yang lebih tinggi telah dilaporkan dengan tes PCR real-time baru, mereka masih tidak
cukup untuk mengecualikan diagnosis meningitis TB. Xpert MTB / Rif assay
(Cepheid, Sunnyvale, CA, USA) semakin banyak digunakan untuk diagnosis
molekuler tuberkulosis paru. Dengan waktu penyelesaian 2 jam, NAAT komersial ini
menyediakan metode cepat, sangat sensitif untuk mendeteksi TB dan resistansi
rifampisin pada penyakit paru. Sementara NAAT sangat spesifik untuk tuberkulosis
pada pasien dengan penyakit luar paru, termasuk meningitis TB, sensitivitas NAAT
dalam kondisi ini sangat bervariasi. Pada 2013, WHO merekomendasikan untuk
menggunakannya lebih disukai daripada mikroskop konvensional dan biakan untuk
tes meningitis TB awal di rangkaian terbatas sumber daya. Namun, kualitas tes Xpert
MTB / Rif sangat tergantung pada volume CSS dan pemrosesan sampel. Selain itu,
Xpert MTB / Rif memiliki nilai prediktif positif yang rendah di negara-negara dengan
13

prevalensi TB yang rendah, yang dapat menghasilkan hasil positif palsu.Untuk


mengatasi sensitivitas Xpert MTB / Rif yang tidak sempurna, uji generasi berikutnya -
Xpert MTB / Rif Ultra - telah dikembangkan oleh Cepheid. Laporan WHO baru-baru
ini menemukan bahwa Ultra tidak kalah dengan Xpert MTB / Rif dalam diagnosis
TB, dengan peningkatan sensitivitas tes baru dalam spesimen kultur-negatif BTA-
negatif, dan dalam spesimen yang diperoleh dari PLWH. Karenanya, WHO berencana
untuk memperbarui kebijakan mereka pada tahun 2018, merekomendasikan
penggunaan Ultra.20

4. Interferon Gamma Release Assays


Interferon Gamma Release Assays (IGRA) mendeteksi respons imun terhadap
peptida mikobakteri sintetik yang ada di MTB, melalui pengukuran jumlah interferon
gamma yang dirilis, dan memberikan hasil yang tidak dipengaruhi oleh vaksinasi basil
Calmette-Guérin (BCG) sebelumnya, IGRA tidak dapat membedakan antara laten M.
TBC infeksi dan penyakit TB aktif. Peran mereka dalam diagnosis meningitis TB
telah dievaluasi dalam beberapa penelitian. Tinjauan sistematis terbaru mengevaluasi
penggunaan IGRA pada darah (8 penelitian) dan sampel CSS (6 penelitian) untuk
diagnosis meningitis TB. Sensitivitas untuk tes IGRA darah dan CSS adalah 77 dan
78%, masing-masing, sedangkan spesifisitas lebih rendah untuk darah daripada CSS
(61 vs 88%). Kinerja tes meningkat secara signifikan ketika dikombinasikan dengan
alat diagnostik lainnya. Dikombinasikan dengan CSS ADA rendah (<5, 8 U / L), CSS
IGRA memiliki sensitivitas 94% dan nilai prediksi negatif yang tinggi. Ketika
dikombinasikan dengan pewarnaan Gram bakteri CSS negatif dan tes lateks antigen
cryptococcal negatif, spesifisitasnya hampir 100% menghasilkan nilai prediksi positif
yang tinggi.20

5. Radiografi
Walaupun tidak ada temuan radiografi definitif yang patognomonik untuk
meningitis TB, pencitraan otak umumnya menunjukkan peningkatan meningeal
basilar, hidrosefalus, peningkatan ganglion basal, dan infark. Sementara beberapa
temuan ini dapat dideteksi pada computerized tomography (CT), magnetic resonance
imaging (MRI) adalah modalitas pencitraan yang unggul untuk meningitis TB. MRI
juga memungkinkan deteksi yang lebih baik dari infark dini, identifikasi peningkatan
14

basal ganglion, meningkatkan eksudat dalam tangki basal, serta keterlibatan


pembuluh darah karotis dan serebral.20

2.8. Penatalaksanaan

1) Antituberkulosis
Pengobatan meningitis TB didasarkan pada rejimen antituberkulosis standar
dari fase induksi 2 bulan isoniazid, rifampin, pirazinamid, dan etambutol, diikuti oleh
fase lanjutan dengan isoniazid dan rifampin. Pedoman merekomendasikan fase
lanjutan yang lebih lama untuk meningitis TB daripada TB paru, dengan total durasi
pengobatan 9-12 bulan untuk meningitis TB. Meja 2 merangkum dosis yang
merangkum dosis yang merangkum dosis yang merangkum dosis yang merangkum
dosis yang merangkum dosis yang merangkum dosis yang direkomendasikan dan
penetrasi CSS yang diharapkan untuk obat anti-TB umum.20 Terapi farmakologis
yang dapat diberikan pada meningitis tuberkulosis berupa :
1. Rifampisin (R)
Rifampisin bersifat bakterisid pada intrasel dan ekstrasel, dapat memasuki
semua jaringan dan dapat membunuh kuman semidorman yang tidak dapat dibunuh
oleh isoniazid. Rifampisin diabsorbsi dengan baik melalui sistem gastrointestinal pada
saat perut kosong (1jam sebelum makan) dan kadar serum puncak dicapai dalam 2
jam. Rifampisin umumya tersedia dalam bentuk kapsul 150 mg, 300 mg, dan 450 mg.
Rifampisin diberikan dalam bentuk oral, dengan dosis 10-20 mg / kgBB / hari, dosis
maksimalmya 600 mg per hari dengan dosis satu kali pemberian per hari. Jika
diberikan bersamaan dengan isoniazid, dosis rifampisin tidak boleh melebihi 15 mg /
kgBB / hari dan dosis isoniazid 10 mg/ kgBB / hari. Rifampisin didistribusikan secara
luas ke jaringan dan cairan tubuh, termasuk cairan serebrospinal. Distribusi rifampisin
ke dalam cairan serebrospinal lebih baik pada keadaan selaput otak yang sedang
mengalami peradangan daripada keadaan normal. Efek samping rifampisin adalah
perubahan warna urin, ludah, keringat, sputum, dan air mata menjadi warna oranye
kemerahan. Efek samping lainnya adalah mual dan muntah, hepatotoksik, dan
trombositopenia.23

2. Isoniazid ( H )
Bersifat bakterisid dan bakteriostatik. Obat ini efektif pada kuman intrasel dan
ekstrasel, dapat berdifusi ke dalam seluruh jaringan dan cairan tubuh, termasuk cairan
15

serebrospinal, cairan pleura, cairan asites, jaringan kaseosa, dan memiliki adverse
reaction yang rendah. Isoniazid yang tersedia umumnya dalam bentuk tablet 100 mg
dan 300 mg, dan dalam bentuk sirup 100 mg / 5 ml. Isoniazid diberikan secara oral,
dengan dosis harian yang biasa diberikan adalah 5-15 mg / kgBB / hari, dosis
maksimal 300 mg / hari dan diberikan dalam satu kali pemberian. Konsentrasi puncak
di darah, sputum, cairan serebrospinal dapat dicapai dalam waktu 1-2 jam dan
menetap paling sedikit selama 6-8 jam. Isoniazid terdapat dalam air susu ibu yang
mendapat isoniazid dan dapat menembus sawar darah plasenta. Isoniazid mempunyai
dua efek toksik utama, yakni hepatotoksik dan neuritis perifer. Keduanya jarang
terjadi pada anak, biasanya lebih banyak terjadi pada pasien dewasa dengan frekuensi
yang meningkat dengan bertambahnya usia. Bagi mencegah timbulnya neuritis
perifer, dapat diberikan piridoksin dengan dosis 25-50 mg satu kali sehari, atau 10 mg
piridoksin setiap 100 mg isoniazid.23

3. Pirazinamid (Z)
Pirazinamid merupakan derivat dari nikotinamid, berpenetrasi baik pada
jaringan dan cairan tubuh, termasuk cairan serebrospinal. Obat ini bersifat bakterisid
hanya pada intrasel dan suasana asam dan diabsorbsibaik pada saluran cerna.
Pirazinamid tersedia dalam bentuk tablet 500mg dengan dosis 15-30 mg / kgBB / hari
dengan dosis maksimal 2 gram / hari. Kadar serum puncak 45 µg / ml tercapai dalam
waktu 2 jam. Pirazinamid diberikan pada fase intensif karena pirazinamid sangat baik
diberikan pada saat suasana asam yang timbul akibat jumlah kuman yang masih
sangat banyak. Efek samping pirazinamid adalah hepatotoksis, anoreksia, iritasi
saluran cerna, dan hiperurisemia (jarang pada anak-anak).23

4. Etambutol (E)
Etambutol memiliki aktivitas bakteriostatik, tetapi dapat bersifat bakterisid
jika diberikan dengan dosis tinggi dengan terapi intermiten. Selain itu, berdasarkan
pengalaman, obat ini dapat mencegah timbulnya resistensi terhadap obat-obat lain.
Dosis etambutol adalah 15-20 mg / kgBB/ hari, maksimal 1,25 gram / hari dengan
dosis tunggal. Kadar serum puncak 5 µg dalam waktu 24 jam. Etambutol tersedia
dalam bentuk tablet 250 mg dan 500 mg. Etambutol ditoleransi dengan baik oleh
dewasa dan anak-anak pada pemberian oral dengan dosis satu atau dua kali sehari,
tetapi tidak berpenetrasi baik pada SSP, demikian juga pada keadaan meningitis.
16

Kemungkinan toksisitas utama etambutol adalah neuritis optik dan buta warna merah-
hijau, sehingga seringkali penggunaannya dihindari pada anak yang belum dapat
diperiksa tajam penglihatannya.23
5. Streptomisin ( S )
Streptomisin bersifat bakterisid dan bakteriostatik terhadap kuman
ekstraselular pada keadaan basal atau netral, sehingga tidak efektif untuk membunuh
kuman intraselular. Saat ini streptomisin jarang digunakan dalam pengobatan
tuberkulosis, tetapi penggunaannya penting pada pengobatan fase intensif meningitis
tuberkulosis dan MDR-TB (multi drug resistent-tuberculosis). Streptomisin diberikan
secara intramuskular dengan dosis 15-40 mg / kgBB / hari, maksimal 1 gram / hari,
dan kadar puncak 45-50 µg / ml dalam waktu 1-2 jam. Streptomisin sangat baik
melewati selaput otak yang meradang, tetapi tidak dapat melewati selaput otak yang
tidak meradang. Streptomisin berdifusi dengan baik pada jaringan dan cairan pleura
dan diekskresi melalui ginjal. Penggunaan utamanya saat ini adalah jika terdapat
kecurigaan resistensi awal terhadap isoniazid atau jika anak menderita tuberkulosis
berat. Toksisitas utama streptomisin terjadi pada nervus kranial VIII yang
mengganggu keseimbangan dan pendengaran, dengan gejala berupa telinga
berdengung (tinitus) dan pusing. Streptomisin dapat menembus plasenta, sehingga
perlu berhati-hati dalam menentukan dosis pada wanita hamil karena dapat merudak
saraf pendengaran janin, yaitu 30% bayi akan menderita tuli berat. Efek samping yang
mungkin juga terjadi adalah gangguan pendengaran dan vestibuler.23

2) Steroid
Ulasan Cochrane tahun 2016 tentang sembilan percobaan acak, termasuk
1.337 pasien dengan meningitis TB, mengevaluasi efek penambahan kortikosteroid
pada obat anti-tuberkulosis. Mortalitas meningitis TB pada pasien yang diobati
dengan rejimen anti-TB saja adalah 40%; penambahan kortikosteroid mengurangi
risiko kematian hingga seperempat. Manfaat hidup kortikosteroid sebagian besar
terlihat pada pasien dengan penyakit ringan; tidak ada keuntungan signifikan pada
pasien dengan gejala neurologis lanjut. Selain itu, peningkatan dalam kelangsungan
hidup tidak terkait dengan penurunan defisit neurologis. Namun, tidak ada
peningkatan risiko efek samping pada pasien yang menerima steroid. Hasil serupa
ditemukan dalam tinjauan sistematis 2013 yang mengevaluasi peran steroid pada
semua pasien dengan tuberkulosis, dengan hasil yang dikumpulkan dari uji coba yang
17

mengevaluasi peran steroid dalam meningitis TB yang menunjukkan angka kematian


yang lebih rendah dan tidak ada peningkatan risiko efek samping.20

3) Operasi
Manajemen bedah jarang diperlukan dalam pengobatan meningitis TB.
Indikasi untuk pembedahan termasuk hidrosefalus persisten, di mana pirau
ventrikuloperitoneal ditempatkan untuk mengurangi tekanan intrakranial yang
meningkat; intervensi ini telah dikaitkan dengan peningkatan hasil klinis. Abses
serebral dan lesi ekstradural dengan kompresi serebral atau vertebral yang dihasilkan
dan defisit neurologis adalah indikasi lain untuk intervensi bedah.20

4) Aspirin
Pasien dengan meningitis TB berisiko stroke iskemik sekunder akibat oklusi
vaskular, dan stroke hemoragik yang berhubungan dengan trombosis sinus vena. Dua
uji coba terkontrol secara acak mengevaluasi peran aspirin dalam mengurangi risiko
stroke pada orang dewasa dan anak-anak dengan meningitis TB. Kedua percobaan
gagal menunjukkan hubungan yang signifikan antara aspirin dan pencegahan stroke.20

2.9. Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi pada meningitis tuberkulosis :24


1. Hidrosefalus
Pasien dengan meningitis TB dengan hidrosefalus akan memiliki prognosis
yang lebih buruk dan mortalitas yang lebih besar. Faktor-faktor yang berhubungan
dengan hidrosefalus adalah stadium tiga penyakit, lamanya penyakit (lebih dari dua
bulan), dan adanya defisit neurologis seperti, kelemahan dengan kecacatan. Kehadiran
fitur klinis, seperti, penglihatan ganda, kejang, penglihatan kabur, papilloedema, dan
kelumpuhan saraf kranial juga berhubungan positif dengan hidrosefalus. Jumlah sel
total CSS (lebih dari 100 / cu.mm), dan protein CSS> 2,5 g / l juga terkait dengan
keberadaan hidrosefalus. Pasien dengan meningitis TB dengan hidrosefalus yang
membutuhkan pengalihan serebrospinal memiliki risiko lebih tinggi untuk kematian
jangka pendek yang signifikan.24
2.Stroke
Kultur TB positif dan reaksi berantai polimerase CSS adalah faktor yang
terkait dengan prognosis buruk. Pemindaian CT seri pada tiga dan enam bulan tidak
18

normal pada sebagian besar pasien meningitis TB. Pada enam bulan, hidrosefalus,
TBC dan eksudat akan hilang tetapi perubahan stroke tetap sama. Sepertiga pasien
dengan meningitis TB dapat memburuk dalam waktu enam minggu setelah mulai
pengobatan. Memburuknya pengobatan terkait dengan kelemahan motorik dan GCS
saat masuk. Usia kurang dari satu tahun dan adanya TB yang parah adalah faktor
risiko untuk kegagalan terapi antituberkosa.24

2.10. Pencegahan

Pencegahan juga dapat dilakukan dengan cara mengurangi kontak langsung


dengan penderita dan mengurangi tingkat kepadatan dilingkungan perumahan dan di
lingkungan seperti barak, sekolah, tenda dan kapal. Meningitis juga dapat dicegah
dengan cara meningkatkan personal hygiene seperti mencuci tangan dengan bersih
sebelum makan dan setelah dari toilet. Meningitis TB dapat dicegah dengan
meningkatkan sistem kekebalan tubuh dengan cara memenuhi kebutuhan gizi dan
pemberian imunisasi Bacillus Calmet-Guerin (BCG). Aktifitas klinik yang mencegah
kerusakan lanjut atau mengurangi komplikasi setelah penyakit berhenti. Pada tingkat
pencegahan ini bertujuan untuk menurunkan ke lemahan dan kecacatan akibat
meningitis, dan membantu penderita untuk melakukan penyesuaian terhadap kondisi-
kondisi yang tidak diobati lagi, dan mengurangi kemungkinan untuk mengalami
dampak neurologis jangka panjang misalnya tuli atau ketidak mampuan untuk belajar.
Fisioterapi dan rehabilitasi juga diberikan untuk mencegah dan mengurangi cacat. 25

2.11. Prognosis

Hasil terkait erat dengan usia dan stadium penyakit saat didiagnosis.
Pengobatan modern telah mengurangi angka kematian pada meningitis TB hingga di
bawah 15%, tetapi kecacatan neurologis tetap sangat tinggi. Sebuah penelitian baru-
baru ini melaporkan cacat neurologis ringan pada 52% dan cacat parah pada 18% dari
412 penderita TB meningitis. Keterlambatan kognitif (80%), perilaku bermasalah
(40%), dan gangguan motorik (25%) adalah gejala sisa neurologis jangka panjang
yang paling umum dari meningitis TB masa kanak-kanak. Kebutaan dan ketulian
adalah komplikasi yang jarang dari rejimen pengobatan modern. Hasilnya jauh lebih
buruk pada pasien koinfeksi dengan HIV yang tidak menggunakan terapi
antiretroviral .17
BAB III
KESIMPULAN

Meningitis tuberkulosa (TB) merupakan komplikasi hasil dari penyebaran


hematogen dan limfogen bakteri Mycobacterium tuberculosis dari infeksi primer pada
paru ke meningen. Insidensi meningitis TB di Indonesia masih banyak sehingga
diperlukan diagnosis dan penatalaksanaan yang tepat. Meningitis TB merupakan
penyakit yang mengancam jiwa dan memerlukan penanganan tepat karena mortalitas
yang rendah dari pasien bebas meningitis TB memiliki gangguan neurologis
walaupun telah di berikan antituberkulosis yang tepat. Diagnosis awal dan
penatalaksanaan yang tepat sangat diperlukan untuk mengurangi resiko gangguan
neurologis yang mungkin dapat bertambah parah jika tidak ditangani. Diagnosis
meningitis TB membutuhkan kecurigaan klinis tingkat tinggi, didukung oleh tes
diagnostik yang tersedia seperti, pewarnaan cepat asam, pengujian amplifikasi asam
nukleat, dan kultur. Pengobatan melibatkan fase ion induksi 2 bulan isoniazid, ri
fampin, pyrazinamide, dan etambutol dengan steroid tambahan diikuti oleh 10 bulan
isoniazid dan rifampisin.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization. World Health Statistics-Monitoring Health for The


SDGs. World Heal Organ. 2016;

2. Kartasasmita CB. Epidemiologi Tuberkulosis. Sari Pediatr. 2016;

3. International Society of Pediatric Neurosurgery. Tuberculosis of the Central


Nervous System in Children Homepage. 2015;

4. Güneş A, Uluca Ü, Aktar F, Konca Ç, Şen V, Ece A, et al. Clinical,


radiological and laboratory findings in 185 children with tuberculous
meningitis at a single centre and relationship with the stage of the disease. Ital J
Pediatr. 2015;

5. Harahap Badrul HSM. Profil Penegakan Diagnosis dan Stadium Penyakit


Pasien Meningitis Tuberkulosis yang Dirawat di Rumah Sakit Dr. Saiful
Anwar Malang. J Kedokt [Internet]. 2016;5:15. Available from:
http://jku.unram.ac.id/article/view/189

6. Ramzan A, Nayil K, Asimi R, Wani A, Makhdoomi R, Jain A. Childhood


Tubercular Meningitis: An Institutional Experience and Analysis of Predictors
of Outcome. Pediatr Neurol. 2013;

7. Gu J, Xiao H, Wu F, Ge Y, Ma J, Sun W. Prognostic Factors of Tuberculous


Meningitis: A Single-Center Study. Int J Clin Exp Med. 2015;

8. Scheld WM, Whitley RJ, Marra CM. Infections of the Central Nervous System:
Fourth Edition. Infections of the Central Nervous System: Fourth Edition.
2014.

9. Chan VL, Sherman PM, Bourke B. Bacterial genomes and Infectious Diseases.
Bacterial Genomes and Infectious Diseases. 2006.

10. Kuswanto RA, Rizal A, Koesoemadinata RRC. Association between Fever


during Admission and Outcome of Treatment in Tuberculous Meningitis
Patients in Hasan Sadikin General Hospital Bandung. J Med Heal. 2019;2:885–
93.

11. Sulistyowati T, Kusumaningrum D, Koendhori EB, Mertaniasih NM.


Tuberculous Meningitis: The Microbiological Laboratory Diagnosis and Its
Drug Sensitivity Patterns. J Respirasi. 2019;3:35.

12. Kementrian Kesehatan. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013. Jakarta:


Kementerian Kesehatan RI. 2014.

13. Drake RL, Vogl AW, Mitchell AW. Gray’s Anatomy for Students, 4th Edition.
Gray’s Anatomy for Students. 2019.

14. Scanlon VC, Sanders T. Essentials of Anatomy and Physiology. F.A. DAVIS

20
COMPANY. 2007.

15. Schlossberg D. Acute Tuberculosis. Infectious Disease Clinics of North


America. 2010.

16. Frontera WR. Essential of Physical Medicine. 2nd ed. Elsevier. 2008.

17. Schoeman JF, Donald PR. Tuberculous Meningitis [Internet]. 1st ed. Vol. 112,
Handbook of Clinical Neurology. Elsevier B.V.; 2013. 1135–1138 p. Available
from: http://dx.doi.org/10.1016/B978-0-444-52910-7.00033-7

18. Cherian A, Thomas S. Central nervous system tuberculosis. Glob Virol II -


HIV NeuroAIDS. 2011;11:659–74.

19. Anderson NE, Somaratne J, Mason DF, Holland D, Thomas MG. Neurological
and Systemic Complications of Tuberculous Meningitis and its Treatment at
Auckland City Hospital, New Zealand. J Clin Neurosci. 2010;

20. Bourgi K, Fiske C, Sterling TR. Tuberculosis Meningitis. Curr Infect Dis Rep.
2017;19:4–12.

21. Mardjono M, Priguna S. Neurologi Klinis Dasar. Dian Rakyat. 2014.

22. Meisadona G, Soebroto AD, Estiasari R. Diagnosis dan Tatalaksana Meningitis


Bakterialis. 2015;42:15–9.

23. Heemskerk D, Day J, Chau TTH, Dung NH, Yen NTB, Bang ND, et al.
Intensified Treatment with High Dose Rifampicin and Levofloxacin Compared
to Standard Treatment for Adult Patients with Tuberculous Meningitis (TBM-
IT): Protocol for a Randomized Controlled Trial. Trials [Internet]. 2011;12:25.
Available from: http://www.trialsjournal.com/content/12/1/25

24. Tai MS. Tuberculous Meningitis : Diagnostic and Radiological. Neurosci Med.
2013;2013:101–7.

25. Patients MT, Adherence I. Self-Study Modules on Tuberculosis , 6-9 Managing


Tuberculosis Patients and Improving Adherence Module 6. Centers Dis Control
Prev. 2014;6–9.

21

Anda mungkin juga menyukai