MENINGITIS TUBERKULOSA
Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior
Pada Bagian/KSM Neurologi Fakultas Kedokteran Unsyiah/
RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh
Disusun oleh:
Chairini Fikry
1907101030113
Pembimbing:
Dr. dr. Suherman, Sp.S(K)
Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, kasih sayang,
dan karunia kepada Penulis sehingga dapat menyelesaikan referat yang berjudul
“Meningitis Tuberkulosa”. Referat ini disusun sebagai salah satu tugas menjalani
kepaniteraan klinik senior pada Bagian/KSM Neurologi, Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala/ RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.
Selama penyelesaian referat ini penulis mendapatkan bimbingan, pengarahan,
dan bantuan dari banyak pihak. Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan
terimakasih kepada Dr. dr. Suherman, Sp. S(K) dan dr. Ade Silvana Danial yang telah
banyak meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis
dalam menyelesaikan referat ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada
keluarga, sahabat, dan rekan-rekan yang telah memberikan motivasi dan doa dalam
menyelesaikan referat ini. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam
referat ini. Untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif
dari pembaca sekalian demi kesempurnaan referat ini. Harapan penulis semoga referat
ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan umumnya dan profesi
kedokteran khususnya. Semoga Allah selalu memberikan Rahmat dan Hikmah-Nya
kepada kita semua.
Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Tuberkulosis (TB) masih merupakan salah satu masalah kesehatan yang utama
di dunia dan merupakan penyakit kedua setelah HIV/AIDS sebagai pembunuh
terbesar di seluruh dunia. Pada tahun 1993, World Health Organization (WHO) telah
menetapkan TB sebagai “Global Public Health Emergency”. Terdapat 9 juta kasus
baru TB manakala 1,5 juta kematian yang disebabkan oleh TB dan hampir satu per
tiga penduduk dari seluruh penduduk dunia telah terinfeksi dengan Mycobacterium
tuberculosis.1
1
2
stadium, yaitu stadium I, II, dan III. Pasien dengan stadium I, jika saat awal datang
dalam keadaan sadar penuh dan menunjukkan gejala yang tidak spesifik. Pasien
dengan stadium II, jika saat awal datang letargi atau didapatkan defisit saraf kranial.
Pasien dengan stadium III, jika saat awal datang stupor-koma dan mengalami
paresis/paralisis yang jelas. Stadium penyakit tersebutmenentukan mortalitas pasien.
Pada pasien tanpa koinfeksi HIV, stadium I memiliki mortalitas 20%, stadium II
memiliki mortalitas 30%, dan stadium III memilikimortalitas 55%. Pada pasien
dengan koinfeksi HIV, stadium I memiliki mortalitas 40%, stadium II memiliki
mortalitas 52%, dan stadium III memiliki mortalitas 75%.5
2.1. Definisi
2.2. Epidemiologi
3
4
2.3. Anatomi
Meningen adalah selaput yang membungkus otak dan sumsum tulang
belakang, merupakan struktur halus yang melindungi pembuluh darah dan cairan
serebrospinal, dan memperkecil benturan atau getaran. Meningen terdiri dari 3
lapisan, yaitu dura mater, araknoid, dan pia mater.8
serebrospinal dan terpisah sempurna dari ruang subdural. Ruang ini membentuk
bantalan hidrolik yang melindungi syaraf pusat dari trauma. Ruang subaraknoid
berhubungan dengan ventrikel otak. Araknoid terdiri atas jaringan ikat tanpa
pembuluh darah. Permukaannya dilapisi oleh epitel selapis gepeng seperti dura mater
karena medulla spinalis araknoid itu lebih sedikit trabekelnya, maka lebih mudah
dibedakan dari piamater. Pada beberapa daerah, araknoid menembus dura mater
membentuk juluran-juluran yang berakhir pada sinus venosus dalam dura mater.
Juluran ini, yang dilapisi oleh sel-sel endotel dari vena disebut Vili Araknoid.
Fungsinya ialah untuk menyerap cairan serebrospinal ke dalam darah dari sinus
venosus.13
medula spinalis, ruang subaraknoid, dan ruang perivasikular. Hal ini penting untuk
metabolisme susunan saraf pusat dan merupakan alat pelindung, berupa bantalan
cairan dalam ruang subaraknoid. Cairan itu jernih, memiliki densitas rendah (1.004-
1.008 gr/ml), dan kandungan proteinnya sangat rendah. Juga terdapat beberapa sel
deskuamasi dan dua sampai lima limfosit per milliliter. CSS mengalir melalui
ventrikel, dari sana ia memasuki ruang subaraknoid. Disini vili araknoid merupakan
jalur utama untuk absorbsi CSS ke dalam sirkulasi vena. Menurunnya proses absorsi
cairan serebrospinal atau penghambatan aliran keluar cairan dari ventrikel
menimbulkan keadaan yang disebut hidrosefalus, yang mengakibatkan pembesaran
progresif dari kepala dan disertai dengan gangguan mental dan kelemahan otot.14
1. Araknoiditis Proliferatif
Proses ini terutama terjadi di basal otak, berupa pembentukan massa fibrotik
yang melibatkan saraf kranialis dan kemudian menembus pembuluh darah. Reaksi
radang akut di leptomeningen ini ditandai dengan adanya eksudat gelatin, berwarna
kuning kehijauan di basis otak. Secara mikroskopik, eksudat terdiri dari limfosit dan
sel plasma dengan nekrosis perkijuan. Pada stadium lebih lanjut, eksudat akan
mengalami organisasi dan mungkin mengeras serta mengalami kalsifikasi. Adapun
saraf kranialis yang terkena akan mengalami paralisis. Saraf yang paling sering
terkena adalah saraf kranial VI, kemudian III dan IV, sehingga akan timbul gejala
diplopia dan strabismus. Bila mengenai saraf kranial II, maka kiasma optikum
menjadi iskemik dan timbul gejala penglihatan kabur bahkan bisa buta bila terjadi
atrofi papil saraf kranial II. Bila mengenai saraf kranial VIII akan menyebabkan
gangguan pendengaran yang sifatnya permanen.16
2. Vaskulitis
Vaskulitis dengan trombosis dan infark pembuluh darah kortikomeningeal
yang melintasi membran basalis atau berada di dalam parenkim otak. Hal ini
menyebabkan timbulnya radang obstruksi dan selanjutnya infark serebri. Kelainan
inilah yang meninggalkan sekuele neurologis bila pasien selamat. Apabila infark
terjadi di daerah sekitar arteri cerebri media atau arteri karotis interna, maka akan
timbul hemiparesis dan apabila infarknya bilateral akan terjadi quadriparesis. Pada
pemeriksaan histologis arteri yang terkena, ditemukan adanya perdarahan, proliferasi,
dan degenerasi. Pada tunika adventisia ditemukan adanya infiltrasi sel dengan atau
tanpa pembentukan tuberkel dan nekrosis perkijuan. Pada tunika media tidak tampak
kelainan, hanya infiltrasi sel yang ringan dan kadang perubahan fibrinoid. Kelainan
pada tunika intima berupa infiltrasi subendotel, proliferasi tunika intima, degenerasi,
dan perkijuan. Yang sering terkena adalah arteri cerebri media dan anterior serta
cabangcabangnya, dan arteri karotis interna. Vena selaput otak dapat mengalami
8
flebitis dengan derajat yang bervariasi dan menyebabkan trombosis serta oklusi
sebagian atau total. Mekanisme terjadinya flebitis tidak jelas, diduga hipersensitivitas
tipe lambat menyebabkan infiltrasi sel mononuklear dan perubahan fibrin.15
3. Hidrosefalus
Hidrosefalus komunikans akibat perluasan inflamasi ke sisterna basalis yang
akan mengganggu sirkulasi dan resorpsi cairan serebrospinalis.15
1. Stadium I : Prodormal
Selama 2-3 minggu dengan gejala ringan dan nampak seperti gejala infeksi
biasa. Pada anak-anak, permulaan penyakit bersifat subakut, sering tanpa demam,
muntah-muntah, nafsu makan berkurang, murung, berat badan menurun, mudah
tersinggung, cengeng, opstipasi, pola tidur terganggu dan gangguan keadaran berupa
apatis. Pada orang dewasa terdapat panas yang hilang timbul, nyeri kepala, konstipasi,
kurang nafsu makan, fotofobia, nyeri punggung, halusinasi, dan sangat gelisah.
2. Stadium II : Transisi
Berlangsung selama 1-3 minggu dengan gejala penyakit lebih berat dimana
penderita mengalami nyeri kepala yang hebat dan kadangkadang disertai kejang
terutama pada bayi dan anak-anak. Tandatanda rangsangan meningeal mulai nyata,
seluruh tubuh dapat menjadi kaku, terdapat tanda-tanda peningkatan intrakranial,
ubunubun menonjol dan muntah yang lebih hebat.
2.7. Diagnosis
Diagnosis meningitis TB seringkali sulit, karena gejala klinis biasanya subakut
dan tidak spesifik. Dibandingkan dengan meningitis bakteri, pasien dengan meningitis
TB biasanya melaporkan durasi gejala yang lebih lama hingga 1 bulan dalam
penelitian terbaru. Orang dewasa dengan meningitis TB biasanya menderita sakit
leher, sakit kepala, demam, dan muntah gejala umumnya terlihat dengan bentuk lain
dari meningitis bakteri. Namun, meningitis TB ditandai oleh kemungkinan lebih
tinggi dari gejala neurologis, dengan kesadaran yang berubah, perubahan kepribadian,
dan koma terlihat pada 59, 28, dan 21% pasien meningitis TB, masing-masing. Selain
itu, kelumpuhan saraf kranial, paling sering melibatkan saraf kranial VI, adalah fitur
umum lainnya, terjadi pada hampir sepertiga pasien. Sayangnya, pada saat gejala
neurologis yang lebih lanjut sudah jelas (kelumpuhan saraf kranial, peningkatan
tekanan intrakranial, tingkat kesadaran yang berubah), pasien mungkin telah
menderita gejala sisa jangka panjang yang ireversibel.20
10
2) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dapat mendukung diagnosis meningitis biasanya
adalah pemeriksaan rangsang meningeal ,yaitu sebagai berikut :21
1. Kaku Kuduk
Pasien berbaring terlentang dan dilakukan pergerakan pasif berupa fleksi kepala.
Tanda kaku kuduk positif (+) bila didapatkan kekakuan dan tahanan pada
pergerakan fleksi kepala disertai rasa nyeri dan spasme otot.
2. Kernig`s sign
Pasien berbaring terlentang, dilakukan fleksi padas sendi panggul kemudian
ekstensi tungkai bawah pada sendi lutut sejauh mungkin tanpa rasa nyeri. Tanda
Kernig positif (+) bila ekstensi sendi lutut tidak mencapai sudut 135° (kaki tidak
dapat di ekstensikan sempurna) disertai spasme otot paha biasanya diikuti rasa
nyeri.
7. Lasegue`s Sign
Pasien tidur terlentang, kemudian diextensikan kedua tungkainya. Salah satu
tungkai diangkat lurus. Tungkai satunya lagi dalam keadaan lurus. Tanda lasegue
positif (+) jika terdapat tahanan sebelum mencapai sudut 70° pada dewasa dan
kurang dari 60° pada lansia.
3) Pemeriksaan Penunjang
1.Evaluasi Cairan Serebrospinal
Beberapa algoritma telah diusulkan untuk membedakan meningitis TB dari
penyebab meningitis lain yang lebih umum. Fitur umum dalam analisis cairan
serebrospinal (CSS). Dibandingkan dengan meningitis bakteri, pasien dengan
meningitis TB memiliki limfositosis relatif lebih tinggi di CSS.20,22
Tabel 1. Karakter CSS pada berbagai jenis meningitis 20,22
Normal Bakteri Virus Fungi Tuberkulosis
Jernih/ Jernih/
Makroskopis Jernih, Keruh Jernih
opalescent opalescent
Sangat
Sedikit Sedikit
Normal meningkat Variabel
Sel darah putih 3
meningkat meningkat
(0-5/mm ) (100-60.000/ (20-500/mm3)
(5-100/mm3) (5-1000/mm3)
mm3)
Predominan Predominan Predominan Predominan
Perbedaan sel Normal
Neutrofilik Limposit Limposit Limposit
Protein <0,4 g/L 1-5 g/L <0,4-0,9 g/L 0,5-5 g/L 1-5g/L
<80%
75% <40%
Glukosa <50% glukosa
Glukosa Glukosa Glukosa Normal
darah darah
darah darah
5. Radiografi
Walaupun tidak ada temuan radiografi definitif yang patognomonik untuk
meningitis TB, pencitraan otak umumnya menunjukkan peningkatan meningeal
basilar, hidrosefalus, peningkatan ganglion basal, dan infark. Sementara beberapa
temuan ini dapat dideteksi pada computerized tomography (CT), magnetic resonance
imaging (MRI) adalah modalitas pencitraan yang unggul untuk meningitis TB. MRI
juga memungkinkan deteksi yang lebih baik dari infark dini, identifikasi peningkatan
14
2.8. Penatalaksanaan
1) Antituberkulosis
Pengobatan meningitis TB didasarkan pada rejimen antituberkulosis standar
dari fase induksi 2 bulan isoniazid, rifampin, pirazinamid, dan etambutol, diikuti oleh
fase lanjutan dengan isoniazid dan rifampin. Pedoman merekomendasikan fase
lanjutan yang lebih lama untuk meningitis TB daripada TB paru, dengan total durasi
pengobatan 9-12 bulan untuk meningitis TB. Meja 2 merangkum dosis yang
merangkum dosis yang merangkum dosis yang merangkum dosis yang merangkum
dosis yang merangkum dosis yang merangkum dosis yang direkomendasikan dan
penetrasi CSS yang diharapkan untuk obat anti-TB umum.20 Terapi farmakologis
yang dapat diberikan pada meningitis tuberkulosis berupa :
1. Rifampisin (R)
Rifampisin bersifat bakterisid pada intrasel dan ekstrasel, dapat memasuki
semua jaringan dan dapat membunuh kuman semidorman yang tidak dapat dibunuh
oleh isoniazid. Rifampisin diabsorbsi dengan baik melalui sistem gastrointestinal pada
saat perut kosong (1jam sebelum makan) dan kadar serum puncak dicapai dalam 2
jam. Rifampisin umumya tersedia dalam bentuk kapsul 150 mg, 300 mg, dan 450 mg.
Rifampisin diberikan dalam bentuk oral, dengan dosis 10-20 mg / kgBB / hari, dosis
maksimalmya 600 mg per hari dengan dosis satu kali pemberian per hari. Jika
diberikan bersamaan dengan isoniazid, dosis rifampisin tidak boleh melebihi 15 mg /
kgBB / hari dan dosis isoniazid 10 mg/ kgBB / hari. Rifampisin didistribusikan secara
luas ke jaringan dan cairan tubuh, termasuk cairan serebrospinal. Distribusi rifampisin
ke dalam cairan serebrospinal lebih baik pada keadaan selaput otak yang sedang
mengalami peradangan daripada keadaan normal. Efek samping rifampisin adalah
perubahan warna urin, ludah, keringat, sputum, dan air mata menjadi warna oranye
kemerahan. Efek samping lainnya adalah mual dan muntah, hepatotoksik, dan
trombositopenia.23
2. Isoniazid ( H )
Bersifat bakterisid dan bakteriostatik. Obat ini efektif pada kuman intrasel dan
ekstrasel, dapat berdifusi ke dalam seluruh jaringan dan cairan tubuh, termasuk cairan
15
serebrospinal, cairan pleura, cairan asites, jaringan kaseosa, dan memiliki adverse
reaction yang rendah. Isoniazid yang tersedia umumnya dalam bentuk tablet 100 mg
dan 300 mg, dan dalam bentuk sirup 100 mg / 5 ml. Isoniazid diberikan secara oral,
dengan dosis harian yang biasa diberikan adalah 5-15 mg / kgBB / hari, dosis
maksimal 300 mg / hari dan diberikan dalam satu kali pemberian. Konsentrasi puncak
di darah, sputum, cairan serebrospinal dapat dicapai dalam waktu 1-2 jam dan
menetap paling sedikit selama 6-8 jam. Isoniazid terdapat dalam air susu ibu yang
mendapat isoniazid dan dapat menembus sawar darah plasenta. Isoniazid mempunyai
dua efek toksik utama, yakni hepatotoksik dan neuritis perifer. Keduanya jarang
terjadi pada anak, biasanya lebih banyak terjadi pada pasien dewasa dengan frekuensi
yang meningkat dengan bertambahnya usia. Bagi mencegah timbulnya neuritis
perifer, dapat diberikan piridoksin dengan dosis 25-50 mg satu kali sehari, atau 10 mg
piridoksin setiap 100 mg isoniazid.23
3. Pirazinamid (Z)
Pirazinamid merupakan derivat dari nikotinamid, berpenetrasi baik pada
jaringan dan cairan tubuh, termasuk cairan serebrospinal. Obat ini bersifat bakterisid
hanya pada intrasel dan suasana asam dan diabsorbsibaik pada saluran cerna.
Pirazinamid tersedia dalam bentuk tablet 500mg dengan dosis 15-30 mg / kgBB / hari
dengan dosis maksimal 2 gram / hari. Kadar serum puncak 45 µg / ml tercapai dalam
waktu 2 jam. Pirazinamid diberikan pada fase intensif karena pirazinamid sangat baik
diberikan pada saat suasana asam yang timbul akibat jumlah kuman yang masih
sangat banyak. Efek samping pirazinamid adalah hepatotoksis, anoreksia, iritasi
saluran cerna, dan hiperurisemia (jarang pada anak-anak).23
4. Etambutol (E)
Etambutol memiliki aktivitas bakteriostatik, tetapi dapat bersifat bakterisid
jika diberikan dengan dosis tinggi dengan terapi intermiten. Selain itu, berdasarkan
pengalaman, obat ini dapat mencegah timbulnya resistensi terhadap obat-obat lain.
Dosis etambutol adalah 15-20 mg / kgBB/ hari, maksimal 1,25 gram / hari dengan
dosis tunggal. Kadar serum puncak 5 µg dalam waktu 24 jam. Etambutol tersedia
dalam bentuk tablet 250 mg dan 500 mg. Etambutol ditoleransi dengan baik oleh
dewasa dan anak-anak pada pemberian oral dengan dosis satu atau dua kali sehari,
tetapi tidak berpenetrasi baik pada SSP, demikian juga pada keadaan meningitis.
16
Kemungkinan toksisitas utama etambutol adalah neuritis optik dan buta warna merah-
hijau, sehingga seringkali penggunaannya dihindari pada anak yang belum dapat
diperiksa tajam penglihatannya.23
5. Streptomisin ( S )
Streptomisin bersifat bakterisid dan bakteriostatik terhadap kuman
ekstraselular pada keadaan basal atau netral, sehingga tidak efektif untuk membunuh
kuman intraselular. Saat ini streptomisin jarang digunakan dalam pengobatan
tuberkulosis, tetapi penggunaannya penting pada pengobatan fase intensif meningitis
tuberkulosis dan MDR-TB (multi drug resistent-tuberculosis). Streptomisin diberikan
secara intramuskular dengan dosis 15-40 mg / kgBB / hari, maksimal 1 gram / hari,
dan kadar puncak 45-50 µg / ml dalam waktu 1-2 jam. Streptomisin sangat baik
melewati selaput otak yang meradang, tetapi tidak dapat melewati selaput otak yang
tidak meradang. Streptomisin berdifusi dengan baik pada jaringan dan cairan pleura
dan diekskresi melalui ginjal. Penggunaan utamanya saat ini adalah jika terdapat
kecurigaan resistensi awal terhadap isoniazid atau jika anak menderita tuberkulosis
berat. Toksisitas utama streptomisin terjadi pada nervus kranial VIII yang
mengganggu keseimbangan dan pendengaran, dengan gejala berupa telinga
berdengung (tinitus) dan pusing. Streptomisin dapat menembus plasenta, sehingga
perlu berhati-hati dalam menentukan dosis pada wanita hamil karena dapat merudak
saraf pendengaran janin, yaitu 30% bayi akan menderita tuli berat. Efek samping yang
mungkin juga terjadi adalah gangguan pendengaran dan vestibuler.23
2) Steroid
Ulasan Cochrane tahun 2016 tentang sembilan percobaan acak, termasuk
1.337 pasien dengan meningitis TB, mengevaluasi efek penambahan kortikosteroid
pada obat anti-tuberkulosis. Mortalitas meningitis TB pada pasien yang diobati
dengan rejimen anti-TB saja adalah 40%; penambahan kortikosteroid mengurangi
risiko kematian hingga seperempat. Manfaat hidup kortikosteroid sebagian besar
terlihat pada pasien dengan penyakit ringan; tidak ada keuntungan signifikan pada
pasien dengan gejala neurologis lanjut. Selain itu, peningkatan dalam kelangsungan
hidup tidak terkait dengan penurunan defisit neurologis. Namun, tidak ada
peningkatan risiko efek samping pada pasien yang menerima steroid. Hasil serupa
ditemukan dalam tinjauan sistematis 2013 yang mengevaluasi peran steroid pada
semua pasien dengan tuberkulosis, dengan hasil yang dikumpulkan dari uji coba yang
17
3) Operasi
Manajemen bedah jarang diperlukan dalam pengobatan meningitis TB.
Indikasi untuk pembedahan termasuk hidrosefalus persisten, di mana pirau
ventrikuloperitoneal ditempatkan untuk mengurangi tekanan intrakranial yang
meningkat; intervensi ini telah dikaitkan dengan peningkatan hasil klinis. Abses
serebral dan lesi ekstradural dengan kompresi serebral atau vertebral yang dihasilkan
dan defisit neurologis adalah indikasi lain untuk intervensi bedah.20
4) Aspirin
Pasien dengan meningitis TB berisiko stroke iskemik sekunder akibat oklusi
vaskular, dan stroke hemoragik yang berhubungan dengan trombosis sinus vena. Dua
uji coba terkontrol secara acak mengevaluasi peran aspirin dalam mengurangi risiko
stroke pada orang dewasa dan anak-anak dengan meningitis TB. Kedua percobaan
gagal menunjukkan hubungan yang signifikan antara aspirin dan pencegahan stroke.20
2.9. Komplikasi
normal pada sebagian besar pasien meningitis TB. Pada enam bulan, hidrosefalus,
TBC dan eksudat akan hilang tetapi perubahan stroke tetap sama. Sepertiga pasien
dengan meningitis TB dapat memburuk dalam waktu enam minggu setelah mulai
pengobatan. Memburuknya pengobatan terkait dengan kelemahan motorik dan GCS
saat masuk. Usia kurang dari satu tahun dan adanya TB yang parah adalah faktor
risiko untuk kegagalan terapi antituberkosa.24
2.10. Pencegahan
2.11. Prognosis
Hasil terkait erat dengan usia dan stadium penyakit saat didiagnosis.
Pengobatan modern telah mengurangi angka kematian pada meningitis TB hingga di
bawah 15%, tetapi kecacatan neurologis tetap sangat tinggi. Sebuah penelitian baru-
baru ini melaporkan cacat neurologis ringan pada 52% dan cacat parah pada 18% dari
412 penderita TB meningitis. Keterlambatan kognitif (80%), perilaku bermasalah
(40%), dan gangguan motorik (25%) adalah gejala sisa neurologis jangka panjang
yang paling umum dari meningitis TB masa kanak-kanak. Kebutaan dan ketulian
adalah komplikasi yang jarang dari rejimen pengobatan modern. Hasilnya jauh lebih
buruk pada pasien koinfeksi dengan HIV yang tidak menggunakan terapi
antiretroviral .17
BAB III
KESIMPULAN
19
DAFTAR PUSTAKA
8. Scheld WM, Whitley RJ, Marra CM. Infections of the Central Nervous System:
Fourth Edition. Infections of the Central Nervous System: Fourth Edition.
2014.
9. Chan VL, Sherman PM, Bourke B. Bacterial genomes and Infectious Diseases.
Bacterial Genomes and Infectious Diseases. 2006.
13. Drake RL, Vogl AW, Mitchell AW. Gray’s Anatomy for Students, 4th Edition.
Gray’s Anatomy for Students. 2019.
14. Scanlon VC, Sanders T. Essentials of Anatomy and Physiology. F.A. DAVIS
20
COMPANY. 2007.
16. Frontera WR. Essential of Physical Medicine. 2nd ed. Elsevier. 2008.
17. Schoeman JF, Donald PR. Tuberculous Meningitis [Internet]. 1st ed. Vol. 112,
Handbook of Clinical Neurology. Elsevier B.V.; 2013. 1135–1138 p. Available
from: http://dx.doi.org/10.1016/B978-0-444-52910-7.00033-7
19. Anderson NE, Somaratne J, Mason DF, Holland D, Thomas MG. Neurological
and Systemic Complications of Tuberculous Meningitis and its Treatment at
Auckland City Hospital, New Zealand. J Clin Neurosci. 2010;
20. Bourgi K, Fiske C, Sterling TR. Tuberculosis Meningitis. Curr Infect Dis Rep.
2017;19:4–12.
23. Heemskerk D, Day J, Chau TTH, Dung NH, Yen NTB, Bang ND, et al.
Intensified Treatment with High Dose Rifampicin and Levofloxacin Compared
to Standard Treatment for Adult Patients with Tuberculous Meningitis (TBM-
IT): Protocol for a Randomized Controlled Trial. Trials [Internet]. 2011;12:25.
Available from: http://www.trialsjournal.com/content/12/1/25
24. Tai MS. Tuberculous Meningitis : Diagnostic and Radiological. Neurosci Med.
2013;2013:101–7.
21