Disusun oleh
Khairani Auliyya
Kurniawan Hidayat
Pembimbing
dhidayat241@gmail.com Desyzahwan@gmail.com
085333502488 082359019597
azwarandi23@gmail.com aullyak78.ka@gmail.com
085338789791 081907823846
Case Base Discussion
Meningitis TB
Pembimbing:
dr. Ni Made Yuli Artini, M.Biomed. Sp. S
Di susun oleh:
Desi Asi Suk’ara (015.06.0014)
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
rahmat dan hidayah-Nya laporan Case Base Discussion ini dapat diselesaikan dengan
sebagaimana mestinya.
Penyusun
2
BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Meningitis adalah suatu inflamasi pada membran araknoid, piamater, dan cairan
serebrospinal. Proses inflamasi terjadi dan menyebar melalui ruangan subaraknoid di
sekeliling otak dan medula spinalis serta ventrikel. Meningitis tuberkulosis merupakan
bentuk tuberkulosis ekstra paru dengan adanya kelainan neurologis yang mencapai 70- 80%
dari seluruh kasus tuberkulosis neurologis, 5,2% dari seluruh tuberkulosis ekstrapulmoner
dan 0,7% dari seluruh kasus tuberkulosis. Walaupun telah diberikan terapi yang adekuat,
penyakit ini masih memiliki tingkat mortalitas yang tinggi hingga mencapai 50%, bahkan di
negara maju seperti Amerika Serikat sekalipun. Umumnya meningitis tuberkulosis
berhubungan erat dengan koinfeksi HIV (Chin JH, 2014).
Pasien dengan meningitis tuberkulosis akan mengalami tanda dan gejala meningitis
yang khas, seperti nyeri kepala, demam dan kaku kuduk, walaupun tanda rangsang
meningeal mungkin tidak ditemukan pada tahap awal penyakit. Durasi gejala sebelum
ditemukannya tanda meningeal bervariasi dari beberapa hari hingga beberapa bulan. Namun
pada beberapa kondisi, meningitis tuberkulosis dapat muncul sebagai penyakit yang berat,
dengan penurunan kesadaran, palsi nervus kranial, parese dan kejang. Beratnya gejala dan
risiko kematian yang tinggi akibat meningitis tuberkulosis mendorong perlunya
pengetahuan mengenai tatalaksana yang adekuat. Oleh karena itu, dalam artikel ini kami
akan memaparkan penanganan meningitis tuberkulosis yang tepat (Chin JH, 2014).
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. DEFINISI
Meningitis tuberkulosis merupakan peradangan pada selaput otak (meningen) yang
disebabkan oleh bakteri mycobacterium tuberkulosis. Penyakit ini merupakan salah satu
bentuk komplikasi yang sering muncul pada penyakit tuberkulosis paru. Infeksi primer
muncul di paru-paru dan dapat menyebar secara limfogen dan hematogen ke berbagai daerah
tubuh di luar paru, seperti perikardium, usus, kulit, tulang, sendi, dan selaput otak (Whiteley,
2014).
2. EPIDEMIOLOGI
Meningitis TB merupakan salah satu komplikasi TB primer. Morbiditas dan mortalitas
penyakit ini tinggi dan prognosisnya buruk. Komplikasi meningitis TB terjadi pada setiap
300 penderita TB primer yang tidak diobati. Meningitis TB menghasilkan tingkat tertinggi
morbiditas dan mortalitas dari semua bentuk tuberkulosis (WHO, 2012). Hal ini menjadi
perhatian khusus pada anak-anak, persentasenya hingga 33% dari semua kasus TB. Dari
keselamatan kasus meningitis tuberkulosis, 50% mengalami kematian, dan penderita yang
selamat bisa mengalami gejala sisa neurologis substansial termasuk keterlambatan
perkembangan pada anak-anak, kejang, hidrosefalus, dan kelumpuhan saraf kranial
(Ruslami, 2013).
3. ETIOLOGI
Pada laporan kasus meningitis tuberkulosis, Mycobacterium tuberculosis merupakan
faktor penyebab paling utama dalam terjadinya penyakit meningitis. Pada kasus meningitis
secara umum disebabkan oleh mikroorganisme, seperti virus, bakteri, jamur, atau parasit
yang menyebar dalam darah ke cairan otak
Kategori Agen
Bakteri • Pneumococcus
• Meningococcus
• Haemophilus Influenza
• Staphylococcus
• Escherichia Coli
• Salmonella
• Mycobacterium Tuberculosis
Virus Enterovirus
4
Jamur • Cryptococcus Neoformans
• Coccidioides Immitris
4. KLASIFIKASI
Menurut British Medical Research Council, meningitis tuberkulosis dapat diklasifikasikan
menjadi tiga stage yang terdiri atas :
5. MANIFESTASI KLINIS
Gejala klinis meningitis TB berbeda untuk masing-masing penderita. Faktor-faktor
yang bertanggung jawab terhadap gejala klinis erat kaitannya dengan perubahan patologi
yang ditemukan. Tanda dan gejala klinis meningitis TB muncul perlahan-lahan dalam waktu
beberapa minggu. Keluhan pertama biasanya nyeri kepala. Rasa ini dapat menjalar ke
tengkuk dan punggung. Tengkuk menjadi kaku dan Kaku kuduk disebabkan oleh
mengejangnya otot-otot ekstensor tengkuk. Bila hebat, terjadi opistotonus, yaitu tengkuk
kaku dalam sikap kepala tertengadah dan punggung dalam sikap hiperekstensi. Kesadaran
menurun, tanda Kernig’s dan Brudzinsky positif. Gejala pada bayi yang terkena meningitis,
biasanya menjadi sangat rewel muncul bercak pada kulit tangisan lebih keras dan nadanya
tinggi, demam ringan, badan terasa kaku, dan terjadi gangguan kesadaran seperti tangannya
membuat gerakan tidak beraturan (Anderson, 2010).
Gejala klinis meningitis tuberkulosis dapat dibagi dalam 3 (tiga) stadium (Anderson, 2010)
:
5
Stadium I Prodormal Selama 2-3 minggu dengan gejala ringan dan nampak
seperti gejala infeksi biasa. Pada anak-anak, permulaan penyakit
bersifat subakut, sering tanpa demam, muntah-muntah, nafsu makan
berkurang, murung, berat badan menurun, mudah tersinggung,
cengeng, opstipasi, pola tidur terganggu dan gangguan keadaran
berupa apatis.
Pada orang dewasa terdapat panas yang hilang timbul, nyeri kepala,
konstipasi, kurang nafsu makan, fotofobia, nyeri punggung, halusinasi,
dan sangat gelisah.
Stadium II Transisi Berlangsung selama 1-3 minggu dengan gejala penyakit lebih
berat dimana penderita mengalami nyeri kepala yang hebat dan
kadangkadang disertai kejang terutama pada bayi dan anak-anak.
Tandatanda rangsangan meningeal mulai nyata, seluruh tubuh dapat
menjadi kaku, terdapat tanda-tanda peningkatan intrakranial,
ubunubun menonjol dan muntah yang lebih hebat.
Stadium III Terminal Ditandai dengan kelumpuhan dan gangguan kesadaran
sampai koma. Pada stadium ini penderita dapat meninggal dunia dalam
waktu tiga minggu.
6. DIAGNOSIS
Anamnesis
Berdasarkan anamnesis, terdapat defisit neurologis berupa penurunan kesadaran
mendadak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Sebelumnya pasien mengeluhkan sakit kepala
dan demam. Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran somnolen dan temperatur tubuh
38,9 o C, serta ditemukan kaku kuduk, refleks patologis (Babinsky) di kedua tungkai dan
peningkatan refleks fisiologis. Data dari anamnesis dan pemeriksaan fisik di atas telah
memenuhi trias meningitis, yaitu nyeri kepala, demam dan kaku kuduk. Selain itu, pasien
memiliki riwayat batuk 1 tahun, demam, penurunan berat badan dan keringat malam.
Pemeriksaan tanda vital dan pemeriksaan fisik menyeluruh
Pemeriksaan fisik
6
.Suspek tuberkulosis atau presumtif tuberkulosis adalah orang dengan gejala atau tanda
sugestif tuberkulosis, yaitu batuk produktif lebih dari dua minggu yang disertai gejala
pernapasan seperti sesak napas, nyeri dada, batuk darah dan/atau gejala tambahan seperti
menurunnya nafsu makan, menurun berat badan, keringat malam dan mudah lelah. Sebagian
besar pasien meningitis tuberkulosis memiliki riwayat sakit kepala dengan keluhan tidak
khas selama 2-8 minggu sebelum timbulnya gejala iritasi meningeal. Gejala nonspesifik ini
meliputi malaise, anoreksia, rasa lelah, demam, mialgia dan sakit kepala. Pada dewasa
biasanya terdapat gejala klasik meningitis, yaitu demam, sakit kepala dan kaku kuduk yang
disertai defisit neurologis fokal, perubahan perilaku dan penurunan kesadaran. Riwayat
tuberkulosis hanya didapatkan pada sekitar 10% pasien. Foto toraks yang menunjukkan
tuberkulosis paru ditemukan pada 30-50% dari seluruh pasien.
Pemeriksaan Penunjang
1. Foto toraks
menunjukkan tuberkulosis paru ditemukan pada 30-50% dari seluruh pasien.
Pemeriksaan rontgen juga mendukung kecurigaan ini dengan kesan tuberkulosis paru
lesi luas. Definisi kasus tuberkulosis diagnosis klinis adalah kasus tuberkulosis yang
tidak dapat memenuhi kriteria konfirmasi bakteriologis walau telah diupayakan
maksimal tetapi ditegakkan diagnosis tuberkulosis aktif oleh klinisi yang memutuskan
untuk memberikan pengobatan tuberkulosis berdasarkan foto toraks abnormal, histologi
sugestif dan kasus ekstraparu.
2. CT Scan
Pemeriksaan radiologi berupa CT Scan tidak selalu spesifik menggambarkan adanya
kelainan pada meningitis tuberkulosis. Gambaran obliterasi sisterna basalis oleh eksudat
isodens atau hiperdens ringan sebagai temuan yang paling umum ditemukan.
3. MRI
Gambaran yang lebih baik dapat ditemukan dari pemeriksaan MRI, khususnya MRI
dengan kontras yang menunjukkan penebalan leptomeningeal dan eksudat sisterna.
Manifestasi lainnya yang dapat ditemukan pada gambaran radiologi meningitis
tuberkulosis adalah komplikasi yang mungkin terjadi, yaitu hidrosefalus, vaskulitis,
infark dan neuropati kranial.
4. pewarnaan dan kultur cairan serebrospinal (CSS)
Diagnosis pasti meningitis ditegakkan melalui analisis, pewarnaan dan kultur cairan
serebrospinal (CSS). Pada prinsipnya, prosedur pengambilan sampel cairan
serebrospinal melalui pungsi lumbal sebaiknya dikerjakan pada setiap kecurigaan
meningitis dan/atau ensefalitis.
7
Kelainan CSS klasik pada meningitis tuberkulosis adalah sebagai berikut:
o peningkatan tekanan lumbal;
o peningkatan jumlah hitung leukosit antara 10- 500 sel/mm3 dengan dominan
limfosit;
o peningkatan konsentrasi protein berkisar 100- 500 mg/dl;
o penurunan konsentrasi glukosa (konsentrasi glukosa rata-rata sekitar 40 mg/dl);
o kultur positif Mycobacterium tuberculosis pada 75% pasien setelah 3-6 minggu
biakan. Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan dengan teknik
PCR dan diagnostik molekular lainnya. Sensitivitas teknik PCR untuk deteksi DNA
Mycobacterium tuberculosis dalam CSS sekitar 54%, namun hasil positif-palsu
juga dapat terjadi sekitar 3-20% kasus.
7. PENATALAKSANAAN
Tuberkulosis paru dan ekstraparu ditatalaksana dengan regimen antituberkulosis yang
sama, yaitu rifampisin, isoniazid, pirazinamid, etambutol selama 2 bulan fase intensif dan
rifampisin, isoniazid selama 4 bulan fase lanjutan (2RHZE/4RH). Para ahli
merekomendasikan pemberian terapi obat anti tuberkulosis pada meningitis tuberkulosis
selama minimal 9 hingga 12 bulan. WHO dan PDPI mengklasifikasikan meningitis
tuberkulosis (tuberkulosis ekstra paru, kasus berat) ke dalam kategori I terapi tuberkulosis.
Pemberian rifampisin dan isoniazid pada fase lanjutan dalam kasus meningitis tuberkulosis
umumnya diperpanjang hingga 7 atau 10 bulan. Namun, pada pasien ini diberikan terapi
OAT awal berupa RHZES. Penambahan streptomisin merupakan tatalaksana tepat karena
tuberkulosis dengan kondisi berat atau mengancam nyawa dapat diberikan streptomisin.
Pada dewasa, dosis obat harian OAT adalah isoniazid 5 (4-6) mg/kgBB, maksimum
300 mg/hari; rifampisin 10 (8–12) mg/kgBB, maksimum 600 mg/hari; pirazinamid 25 (20–
30) mg/kgBB, maksimum 2.000 mg/hari; etambutol 15 (15–20) mg/kgBB, maksimum 1.600
mg/hari; streptomisin 12-18 mg/kgBB. Dosis kortikosteroid antara lain deksametason 0,4
mg/kgBB atau prednison 2,5 mg/kgBB.
Pada anak, dosis obat harian OAT adalah isoniazid 10 (7–15) mg/kgBB, maksimum
300 mg/hari; rifampisin 15 (10–20) mg/kgBB, maksimum 600 mg/hari; pirazinamid 35 (30–
40) mg/kgBB, maksimum 2.000 mg/hari; etambutol 20 (15–25) mg/kgBB, maksimum 1.000
mg/hari.
Di samping tuberkulostatik dapat diberikan rangkaian pengobatan dengan
deksametason untuk menghambat edema serebri dan timbulnya perlekatan antara araknoid
dan otak (Levin, 2009).
8
Steroid diberikan untuk:
o Menghambat reaksi inflamasi
o Mencegah komplikasi infeksi
o Menurunkan edema serebri
o Mencegah perlekatan
o Mencegah arteritis/infark otak
Indikasi Steroid :
o Kesadaran menurun
o Defisit neurologist fokal
.PENCEGAHAN
9
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Meningitis tuberkulosis merupakan bentuk tuberkulosis ekstraparu neurologis
tersering yang mengancam jiwa. Penegakkan diagnosis dapat dilakukan dengan adanya trias
meningitis dan kecurigaan tuberkulosis secara klinis. Pemberian terapi harus segera dan
tepat untuk mengurangi tingkat mortalitas. Terapi berupa obat anti tuberkulosis, dan
kortikosteroid untuk mengurangi inflamasi dalam subaraknoid.
10
DAFTAR PUSTAKA
11
Case Base Discussion
Guillian Barre Syndrome
Pembimbing:
dr. Luh Kadek Trisna Lestari, M.Biomed, Sp.S
Di susun oleh:
Moch. Azwar Andi Pawata 12.06.0009
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah Case
Based Disscussion pada stase neurologi. Dimana dalam penyusunan makalah ini bertujuan
agar Dokter Muda FK Unizar dapat memahami isi dari makalah ini sehingga dapat
bermanfaat.
Tidak lupa juga kami mengucapakan terima kasih kepada dokter yang menjadi
pembimbing saya juga teman-teman dan semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan makalah ini sehingga saya dapat menyelesaikannya dengan hasil yang
memuaskan.
Penyusun
2
BAB I
PENDAHULUAN
Guillain Barré Syndrome (GBS) atau bisa juga disebut sebagai Acute
Inflammatory Demyelinating Polyneuropathy (AIDP) adalah suatu penyakit pada susunan
saraf yang terjadi secara akut dan menyeluruh, terutama mengenai radiks dan saraf tepi,
yang didahului oleh suatu infeksi (Bahrudin, 2013). Penyakit ini merupakan autoimun
dimana sistem imunitas tubuh menyerang sel sarafnya sendiri sehingga menimbulkan
peradangan dan kerusakan pada sel-sel saraf tepi (mielin dan akson) yang dapat
menyebabkan kelumpuhan motorik dan gangguan sensorik (Lanello, 2005).
GBS termasuk penyakit langka dan jarang terjadi hanya 1 atau 2 kasus per
100.000 populasi di dunia tiap tahunnya dan penyakit ini terjadi sepanjang tahun serta
dapat menyerang hampir semua usia dan genetik (Nyati & Nyati, 2013; Rosen, 2016) serta
insidensi pada tiap negara sangat bervariasi (van den Berg et al., 2014). Insiden
keseluruhan telah diperkirakan berkisar 0,4-2,4 kasus per
100.000 per tahun, dengan 3.500 kasus baru per tahun terjadi di Amerika Serikat (Rosen,
2016). Sementara insiden terjadinya GBS di Indonesia, pada akhir tahun 2010-2011
tercatat ada 48 kasus GBS dalam satu tahun dengan berbagai variannya. Dibandingkan
tahun sebelumnya memang terjadi peningkatan sekitar 10% (Pdpersi, 2012; Hakim, 2011).
Angka kematian dari GBS dapat meningkat sebesar 1,3 kali pada laki-laki dibandingkan
dengan perempuan. Angka morbiditas menunjukkan bahwa sekitar 15-20% dari pasien
mengalami penurunan fungsi neurologis dan sekitar 1-10% mengalami cacat permanen
(Andary et al., 2016).
Penyebab GBS masih belum diketahui pasti, tetapi diperkirakan terjadi akibat respons
autoimun terhadap sel saraf perifer yang dapat dicetuskan oleh infeksi bakteri atau virus
(Nyati & Nyati, 2013). Sebanyak 2/3 dari pasien GBS dilaporkan mengalami saluran
infeksi pernafasan atas atau saluran cerna yang selanjutnya dapat berkembang menjadi
GBS. Sebanyak 30% pasien mengalami GBS yang didahului oleh infeksi Compylobacter
jejuni dan sebanyak 10% terinfeksi Cylomegalovirus (Yuki & Hartung, 2012)
3
BAB II
LAPORAN KASUS
1
• Riwayat penyakit dahulu : sekitar 2 minggu sebelum kelemahan, kesemutan dan baal
timbul pasien mengaku demam, batuk, pilek dan sakit tenggorokan.
• Riwayat keluhan serupa : disangkal
• Riwayat DM : disangkal
• Riwayat stroke ` : disangkal
• Riwayat tekana darah tinggi : disangkal
• Riwayat batuk lama : disangkal
• Riwayat trauma : disangkal
• Riwayat operasi : disangkal
• Riwayat alergi : disangkal
• Riwayat penyakit jantung : disangkal
• Riwayat penyakit ginjal : disangkal
• Riwayat Penyakit Keluarga : Dari keluarga tidak ada yang memiliki keluhan serupa.
▪ Riwayat keluhan serupa : disangkal
▪ Riwayat DM : disangkal
▪ Riwayat stroke ` : disangkal
▪ Riwayat tekana darah tinggi : disangkal
▪ Riwayat batuk lama : disangkal
▪ Riwayat trauma : disangkal
▪ Riwayat operasi : disangkal
▪ Riwayat alergi : disangkal
▪ Riwayat penyakit jantung : disangkal
▪ Riwayat penyakit ginjal : disangkal
• Riwayat Pribadi dan Sosial :
• Pasien merupakan seorang ibu rumah tangga.
• Pasien menyangkal meminum minuman keras atau rokok secara rutin.
• Pasien menyangkal memakai obat obatan terlarang secara rutin.
• Riwayat pengobatan :
• Pasien belum mengkonsumsi obat apapun untuk keluhan saat ini.
2
2.3 Pemeriksaan Fisik
• Status internus
Kesadaran : GCS 15 (E:4, M:5, V:6)
Gizi : Baik
Tekanan darah :110/80 mmHg
Nadi : 78 x/menit
Suhu : 36,5ºC
Respirasi : 20 x/menit
Berat badaan : 45 kg
Tinggi badan : 145 cm
Saturasi O2 : 98%
• Status Psikiatrikus
Sikap : kooperatif
Perhatian : ada
Ekspresi muka : wajar
Kontak psikis : ada
• Status Generalis dan Lokalis
Kepala : Normosefali, rambut berwarna hitam distribusi merata.
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor
3mm/3mm.
Hidung : Deformitas (-), nyeri tekan (-), krepitasi (-), deviasi septum (-),
sekret (-/-).
Telinga : Normotia (+/+), nyeri tekan (-/-), nyeri tarik (-/-), sekret (-/-).
Mulut : simetris, kering (-), sianosis (-).
Tenggorokan : Trismus (-), arkus faring simetris, hiperemis (-), uvula di tengah.
Leher
Inspeksi : Tidak terdapat tanda trauma maupun massa
Palpasi : Tidak terdapat pembesaran KGB maupun kelenjar tiroid, tidak
terdapat deviasi trachea. JVP 5+2 mmH2O.
3
Toraks
➢ Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi :
Batas atas kiri : ICS II garis parasternal sinsitra dengan bunyi redup.
Batas atas kanan : ICS II garis parasternal dekstra dengan bunyi redup.
Batas bawah kiri : ICS V ± 1cm medial garis midklavikula sinistra dengan
bunyi redup.
Batas bawah kanan : ICS IV garis parasternal dekstra dengan bunyi redup.
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II regular, murmur (-), gallop (-).
➢ Paru
Inspeksi : Dinding toraks simetris pada saat statis maupun dinamis, retraksi
otot-otot pernapasan (-).
Palpasi : Vocal fremitus sama kuat kanan dan kiri.
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru.
Auskultasi : Suara napas vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-) .
Abdomen
Inspeksi : Perut datar, massa (-), pulsasi abnormal (-).
Palpasi : Supel, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (-).
Perkusi : Timpani pada seluruh lapang abdomen.
Auskultasi : Bising usus (+) normal.
Ekstremitas
Superior : Tidak terdapat jejas, bekas trauma, massa, dan sianosis (-/-) akral
hangat (+/+), oedem (-/-), CRT < 2 detik.
Inferior : Tidak terdapat jejas, bekas trauma, massa, dan sianosis (-/-) akral
hangat (+/+), odem (-/-), CRT < 2 detik.
4
• Status Neurologis
a. Tanda Rangsang Meningeal
Kanan Kiri
Kaku kuduk (-)
Kerniq (-) (-)
Lasseque (-) (-)
Brudzinsky
Neck (-)
Cheek (-)
Symphisis (-)
Leg I (-)
Leg II (-)
b. Nervus Kranialis
normal normal
l l
Kanan Kiri
Anopsia (-) (-)
Hemianopsia (-) (-)
Melihat warna : Normal Normal
5
Scotoma : (-) (-)
Fundus Oculi :
Papil edema : Tidak ada Tidak ada
Papil atrofi : Tidak ada Tidak ada
Perdarahan retina : Tidak ada Tidak ada
N. Occulomotorius, Trochlearis dan Abducens
Kanan Kiri
Diplopia (-) (-)
Celah mata Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
Ptosis (-) (-)
6
N.Trigeminus
Kanan Kiri
Motorik
• Menggigit tidak ada kelainan tidak ada kelainan
• Trismus tidak ada kelainan tidak ada kelainan
• Refleks kornea tidak ada kelainan tidak ada kelainan
Sensorik
• Dahi tidak ada kelainan tidak ada kelainan
• Pipi tidak ada kelainan tidak ada kelainan
• Dagu tidak ada kelainan tidak ada kelainan
N.Facialis
Kanan Kiri
Motorik
• Mengerutkan dahi tidak ada kelainan tidak ada kelainan
• Menutup mata tidak ada kelainan tidak ada kelainan
• Menunjukkan gigi tidak ada kelainan tidak ada kelainan
• Lipatan nasolabialis tidak ada kelainan tidak ada kelainan
Bentuk Muka
• Istirahat tidak ada kelainan
• Berbicara/bersiul tidak ada kelainan
Sensorik
• 2/3 depan lidah tidak ada kelainan
Otonom
• Salivasi tidak ada kelainan
• Lakrimasi tidak ada kelainan
• Chvostek’s sign (-) (-)
N. Cochlearis Kanan Kiri
• Suara bisikan tidak ada kelainan
• Detik arloji tidak ada kelainan
• Tes Weber tidak ada kelainan
7
• Tes Rinne tidak ada kelainan
N. Vestibularis
• Nistagmus (-) (-)
• Vertigo (-) (-)
N. Glossopharingeus dan N. Vagus
kanan kiri
• Arcus pharingeus tidak ada kelainan
• Uvula tidak ada kelainan
• Gangguan menelan tidak ada kelainan
• Suara serak/sengau tidak ada kelainan
• Denyut jantung tidak ada kelainan
Refleks
• Muntah +
• Batuk +
• Okulokardiak +
• Sinus karotikus +
Sensorik
• 1/3 belakang lidah tidak ada kelainan
N. Accessorius
Kanan Kiri
• Mengangkat bahu tidak ada kelainan tidak ada kelainan
• Memutar kepala tidak ada kelainan tidak ada kelainan
N. Hypoglossus
Kanan Kiri
• Mengulur lidah tidak ada kelainan
• Fasikulasi (-)
• Atrofi papil (-)
• Disartria (-)
8
c. Pemeriksaan Motorik Anggota Gerak Atas
9
Gordon (-) (-)
Schaeffer (-) (-)
Stransky (-) (-)
Gondo (-) (-)
Bing (-) (-)
Rossolimo (-) (-)
Mendel Bechterew (-) (-)
Refleks kulit perut
Atas tidak ada kelainan
Tengah tidak ada kelainan
Bawah tidak ada kelainan
Refleks cremaster tidak ada kelainan
Trofik tidak ada kelainan
e. Sensorik
• Ekstermitas atas
Kanan Kiri
Perasa raba normal menurun
Perasa nyeri normal menurun
Perasa suhu normal menurun
Perasa proprioseptif normal menurun
Perasa vibrasi normal menurun
Stereognosis normal menurun
Grafestesia normal menurun
Topognosis normal menurun
Parastesia + +
• Ekstremitas bawah
Kanan Kiri
Perasa raba menurun menurun
Perasa nyeri menurun menurun
Perasa suhu menurun menurun
10
Perasa proprioseptif menurun menurun
Perasa vibrasi menurun menurun
Stereognosis menurun menurun
Grafestesia menurun menurun
Topognosis menurun menurun
Parastesia + +
f. Fungsi vegetatif
Miksi : tidak ada kelainan
Defekasi : tidak ada kelainan
Ereksi : tidak ada kelainan
g. Kolumna vertebralis
Kyphosis : (-)
Lordosis : (-)
Gibbus : (-)
Deformitas : (-)
Tumor : (-)
Meningocele : (-)
Hematoma : (-)
Nyeri ketok : (-)
h. Gait dan keseimbangan
Gait
Ataxia : Belum dapat dinilai
Hemiplegic : Belum dapat dinilai
Scissor : Belum dapat dinilai
Staggering : Belum dapat dinilai
Clumsy : belum dapat dinilai
Propulsion : Belum dapat dinilai
Histeric : Belum dapat dinilai
Limping : Belum dapat dinilai
Steppage : Belum dapat dinilai
11
Keseimbangan dan Koordinasi
Romberg : belum dapat dinilai
Berjalan lurus : belum dapat dinilai
Berjalan memutar : belum dapat dinilai
Berjalan mundur : belum dapat dinilai
Lari ditempat :-
Tes jari-jari :-
Tes jari-hidung :-
Tes tumit-tumit :-
i. GERAKAN ABNORMAL
Tremor : (-)
Chorea : (-)
Athetosis : (-)
Ballismus : (-)
Dystoni : (-)
Myocloni : (-)
j. FUNGSI LUHUR
Afasia motorik : (-)
Afasia sensorik : (-)
Apraksia : (-)
Agrafia : (-)
Alexia : (-)
2.4 Pemeriksaan Penunjang
• Pemeriksaan laboratorium
• Pemeriksaan darah rutin
12
MID 0.4 0.1 – 1.5 g/dl Normal
13
- F wave medianus kiri : abnormal
- N. perenous kanan : neuropati aksonal
- N. perenous kiri : normal
- N. tibialis kanan : normal
- N. tibialis kiri : neuropati aksonal
- H reflex tibialis posterior kanan : abnormal
- H reflex tibialis posterior kiri : abnormal
Kesimpulan :
Poliradikulerneuropati tipe aksonal ekstremitas atas dan bawah (mild to
moderate)
2.5 Diagnosis
Compos mentis
Ascending paralysis
Tetraparesis
Poliradikulerneuropati
2.6 Planning
a. Terapi
• Airway, breathing, circulation
• Inject Ceftriaxon 2 X 1 gr
• Inject Piracetam 2 X 3 gr
• Inject Ranitidin 2 X 1 amp
• ALA 600 1x1 ( alpha lipoic acid )
• Plasma exchange therapy (TEP)
• Intravenous inffusion of human Immunoglobulin ( IVIg )
14
b. Usulan pemeriksaan penunjang
• Pemeriksaan LCS/CSS
• MRI
• Pemeriksaan antibodi
2.7 Prognosis
Ad Vitam : Dubia ad bonam
Ad Fungsionam : Dubia ad bonam
Ad Sanationam : Dubia ad bonam
15
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
16
3.3 Klasifikasi
Menurut Lewis (2009) klasifikasi dari Guillain – Barre Syndrome (GBS) adalah
sebagai berikut :
➢ Acute Motor-Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN)
Sering muncul cepat dan mengalami paralisis yang berat dengan perbaikan yang
lambat dan buruk. Seperti tipe AMAN yang berhubungan dengan infeksi saluran cerna C
jejuni. Patologi yang ditemukan adalah degenerasi akson dari serabut saraf sensorik dan
motorik yang berat dengan sedikir demielinisasi.
➢ Acute pandysautonomia
Tanpa sensorik dan motorik merupakan tipe SGB yang jarang terjadi. Disfungsi
dari sistem simpatis dan parasimparis yang berat mengakibatkan terjadinya hipotensi
17
postural, retensi saluran kemih dan saluran cerna, anhidrosis, penurunan salvias dan
lakrimasi dan abnormalitas dari pupil.
3.4 Etiologi
Etiologi Guillain – Barre Syndrome sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan
pasti dan masih menjadi bahan perdebatan. Teori yang dianut sekarang ialah suatu kelainan
imunobiologik, baik secara primary immune response maupun immune mediated process.
Periode laten antara infeksi dan gejala polineuritis memberi dugaan bahwa kemungkinan
kelainan yang terdapat disebabkan oleh suatu respons terhadap reaksi alergi saraf perifer. Pada
banyak kasus, infeksi sebelumnya tidak ditemukan namun terdapat gangguan di medula
spinalis dan medula oblongata (Japardi, 2002).
Beberapa keadaan/ penyakit yang mendahului dan mungkin ada hubungannya dengan
terjadinya GBS, antara lain (Japardi, 2002) :
18
➢ Vaksinasi
➢ Pembedahan, anestesi
➢ Penyakit sistematik, seperti keganasan, Systemic Lupus Erythematosus, tiroiditis, dan
penyakit Addison
➢ Kehamilan atau dalam masa nifas
➢ Gangguan endokrin
3.5. Manifestasi klinis
GBS merouakan penyebab paralisa akut yang dimulai dengan rasa baal, dengan ciri khas
paresthesia pada bagian distal dan diikuti secafa cepat oleh paralisa ke empat ekstremitasnya
yang besifat asenden. Paresthesia biasanya bersifa bilateral. Refleksfisiologis akan menurun
dan kemudian menghilang sama sekali. Gejala klinis yang dapat ditimbulkan pada GBS adalah:
➢ Kelumpuhan
Manifestasi klinis utama adalah kelumpuhan otot-otot ekstremitas tipe lower motor
neurone dari otot-otot ekstremitas, badan dan kadang-kadang juga muka. Pada
sebagian besar penderita, kelumpuhan dimulai dari kedua ekstremitas bawah
kemudian menyebar secara asenderen ke badan, anggota gerak atas dan saraf kranialis.
Kadang-kadang juga bisa keempat anggota gerak dikenai secara serentak, kemudian
menyebar ke badan dan saraf kranialis. Kelumpuhan otot-otot ini simetris dan diikuti
oleh hiporefleksia atau arefleksia. Biasanya derajat kelumpuhan otot-otot bagian
proksimal lebih berat dari bagian distal, tetapi dapat juga sama beratnya, atau bagian
distal lebih berat dari bagian proksimal.
➢ Gangguan sensibilitas
Parestesi biasanya lebih jelas pada bagian distal ekstremitas, muka juga bisa dikenai
dengan distribusi sirkumoral. Defisit sensoris objektif biasanya minimal dan sering
dengan distribusi seperti pola kaus kaki dan sarung tangan. Sensibilitas ekstroseptif
lebih sering dikenal dari pada sensibilitas proprioseptif. Rasa nyeri otot sering ditemui
seperti rasa nyeri setelah suatu aktifitas fisik.
➢ Saraf Kranialis
Saraf kranialis yang paling sering dikenal adalah N.VII. Kelumpuhan otot-otot
muka sering dimulai pada satu sisi tapi kemudian segera menjadi bilateral, sehingga
19
bisa ditemukan berat antara kedua sisi. Semua saraf kranialis bisa dikenai kecuali N.I
dan N.VIII. Diplopia bisa terjadi akibat terkenanya N.IV atau N.III. Bila N.IX dan N.X
terkena akan menyebabkan gangguan berupa sukar menelan, disfonia dan pada kasus
yang berat menyebabkan kegagalan pernafasan karena paralisis nervus laringeus.
➢ Gangguan fungsi otonom
Gangguan fungsi otonom dijumpai pada 25 % penderita GBS. Gangguan tersebut
berupa sinus takikardi atau lebih jarang sinus bradikardi, muka jadi merah (facial
flushing), hipertensi atau hipotensi yang berfluktuasi, hilangnya keringat atau episodic
profuse diaphoresis. Retensi urin atau inkontinensia urin jarang dijumpai. Gangguan
otonom ini jarang yang menetap lebih dari satu atau dua minggu.
➢ Kegagalan pernafasan
Kegagalan pernafasan merupakan komplikasi utama yang dapat berakibat fatal bila
tidak ditangani dengan baik. Kegagalan pernafasan ini disebabkan oleh paralisis
diafragma dan kelumpuhan otot-otot pernafasan, yang dijumpai pada 10-33 persen
penderita.
➢ Papiledema
Kadang-kadang dijumpai papiledema, penyebabnya belum diketahui dengan pasti.
Diduga karena peninggian kadar protein dalam cairan otot yang menyebabkan
penyumbatan villi arachoidales sehingga absorbsi cairan otak berkurang.
3.6. Patofisiologi
Tidak ada yang mengetahui dengan pasti bagaimana GBS terjadi dan dapat
menyerang sejumlah orang. Yang diketahui ilmuwan sampai saat ini adalah bahwa sistem
imun menyerang tubuhnya sendiri, dan menyebabkan suatu penyakit yang disebut sebagai
penyakit autoimun. Umumnya sel-sel imunitas ini menyerang benda asing dan organisme
pengganggu; namun pada GBS, sistem imun mulai menghancurkan selubung myelin yang
mengelilingi akson saraf perifer, atau bahkan akson itu sendiri.
Terdapat sejumlah teori mengenai bagaimana sistem imun ini tiba-tiba menyerang
saraf, namun teori yang dikenal adalah suatu teori yang menyebutkan bahwa organisme
(misalnya infeksi virus ataupun bakteri) telah mengubah keadaan alamiah sel-sel sistem
20
saraf, sehingga sistem imun mengenalinya sebagai sel-sel asing. Organisme tersebut
kemudian menyebabkan sel-sel imun, seperti halnya limfosit dan makrofag, untuk
menyerang myelin. Limfosit T yang tersensitisasi bersama dengan limfosit B akan
memproduksi antibodi melawan komponen-komponen selubung myelin dan menyebabkan
destruksi dari myelin.
Akson adalah suatu perpanjangan sel-sel saraf, berbentuk panjang dan tipis;
berfungsi sebagai pembawa sinyal saraf. Beberapa akson dikelilingi oleh suatu selubung
yang dikenal sebagai myelin, yang mirip dengan kabel listrik yang terbungkus
plastik. Selubung myelin bersifat insulator dan melindungi sel-sel saraf. Selubung ini akan
meningkatkan baik kecepatan maupun jarak sinyal saraf yang ditransmisikan. Sebagai
contoh, sinyal dari otak ke otot dapat ditransmisikan pada kecepatan lebih dari 50 km/jam.
Myelin tidak membungkus akson secara utuh, namun terdapat suatu jarak
diantaranya, yang dikenal sebagai Nodus Ranvier; dimana daerah ini merupakan daerah
yang rentan diserang. Transmisi sinyal saraf juga akan diperlambat pada daerah ini,
sehingga semakin banyak terdapat nodus ini, transmisi sinyal akan semakin lambat.
Pada GBS, terbentuk antibodi atau immunoglobulin (Ig) sebagai reaksi terhadap
adanya antigen atau partikel asing dalam tubuh, seperti bakteri ataupun virus. Antibodi
yang bersirkulasi dalam darah ini akan mencapai myelin serta merusaknya, dengan bantuan
sel-sel leukosit, sehingga terjadi inflamasi pada saraf. Sel-sel inflamasi ini akan
mengeluarkan sekret kimiawi yang akan mempengaruhi sel Schwan, yang seharusnya
membentuk materi lemak penghasil myelin. Dengan merusaknya, produksi myelin akan
berkurang, sementara pada waktu bersamaan, myelin yang ada telah dirusak oleh antibodi
tubuh. Seiring dengan serangan yang berlanjut, jaringan saraf perifer akan hancur secara
bertahap. Saraf motorik, sensorik, dan otonom akan diserang; transmisi sinyal melambat,
terblok, atau terganggu; sehingga mempengaruhi tubuh penderita.
Hal ini akan menyebabkan kelemahan otot, kesemutan, kebas, serta kesulitan
melakukan aktivitas sehari-hari, termasuk berjalan. Untungnya, fase ini bersifat sementara,
21
sehingga apabila sistem imun telah kembali normal, serangan itu akan berhenti dan pasien
akan kembali pulih.
Seluruh saraf pada tubuh manusia, dengan pengecualian pada otak dan medulla
spinalis, merupakan bagian dari sistem saraf perifer, yakni terdiri dari saraf kranialis dan
saraf spinal. Saraf-saraf perifer mentransmisikan sinyal dari otak dan medulla spinalis,
menuju dan dari otot, organ, serta kulit. Tergantung fungsinya, saraf dapat diklasifikasikan
sebagai saraf perifer motorik, sensorik, dan otonom (involunter).
Pada GBS, terjadi malfungsi pada sistem imunitas sehingga muncul kerusakan
sementara pada saraf perifer, dan timbullah gangguan sensorik, kelemahan yang bersifat
progresif, ataupun paralisis akut. Karena itulah GBS dikenal sebagai neuropati perifer.
GBS dapat dibedakan berbagai jenis tergantung dari kerusakan yang terjadi. Bila
selubung myelin yang menyelubungi akson rusak atau hancur , transmisi sinyal saraf yang
melaluinya akan terganggu atau melambat, sehingga timbul sensasi abnormal ataupun
kelemahan. Ini adalah tipe demyelinasi; dan prosesnya sendiri dinamai demyelinasi primer.
Akson merupakan bagian dari sel saraf 1, yang terentang menuju sel saraf 2.
Selubung myelin berbentuk bungkus, yang melapisi sekitar akson dalam beberapa lapis.
Pada tipe aksonal, akson saraf itu sendiri akan rusak dalam proses demyelinasi sekunder;
hal ini terjadi pada pasien dengan fase inflamasi yang berat. Apabila akson ini putus, sinyal
saraf akan diblok, dan tidak dapat ditransmisikan lebih lanjut, sehingga timbul kelemahan
dan paralisis pada area tubuh yang dikontrol oleh saraf tersebut. Tipe ini terjadi paling
sering setelah gejala diare, dan memiliki prognosis yang kurang baik, karena regenerasi
akson membutuhkan waktu yang panjang dibandingkan selubung myelin, yang sembuh
lebih cepat.
Tipe campuran merusak baik akson dan myelin. Paralisis jangka panjang pada
penderita diduga akibat kerusakan permanen baik pada akson serta selubung saraf. Saraf-
saraf perifer dan saraf spinal merupakan lokasi utama demyelinasi, namun, saraf-saraf
kranialis dapat juga ikut terlibat.
Perjalanan penyakit GBS dapat dibagi menjadi 3 fase:
22
➢ Fase progresif
Umumnya berlangsung 2-3 minggu, sejak timbulnya gejala awal sampai
gejala menetap, dikenal sebagai ‘titik nadir’. Pada fase ini akan timbul nyeri,
kelemahan progresif dan gangguan sensorik; derajat keparahan gejala bervariasi
tergantung seberapa berat serangan pada penderita. Kasus GBS yang ringan
mencapai nadir klinis pada waktu yang sama dengan GBS yang lebih berat. Terapi
secepatnya akan mempersingkat transisi menuju fase penyembuhan, dan
mengurangi resiko kerusakan fisik yang permanen. Terapi berfokus pada
pengurangan nyeri serta gejala.
➢ Fase plateau
Fase infeksi akan diikuti oleh fase plateau yang stabil, dimana tidak didapati
baik perburukan ataupun perbaikan gejala. Serangan telah berhenti, namun derajat
kelemahan tetap ada sampai dimulai fase penyembuhan. Terapi ditujukan terutama
dalam memperbaiki fungsi yang hilang atau mempertahankan fungsi yang masih
ada. Perlu dilakukan monitoring tekanan darah, irama jantung, pernafasan, nutrisi,
keseimbangan cairan, serta status generalis. Imunoterapi dapat dimulai di fase ini.
Penderita umumnya sangat lemah dan membutuhkan istirahat, perawatan khusus,
serta fisioterapi. Pada pasien biasanya didapati nyeri hebat akibat saraf yang
meradang serta kekakuan otot dan sendi; namun nyeri ini akan hilang begitu proses
penyembuhan dimulai. Lama fase ini tidak dapat diprediksikan; beberapa pasien
langsung mencapai fase penyembuhan setelah fase infeksi, sementara pasien lain
mungkin bertahan di fase plateau selama beberapa bulan, sebelum dimulainya fase
penyembuhan.
➢ Fase penyembuhan
Akhirnya, fase penyembuhan yang ditunggu terjadi, dengan perbaikan dan
penyembuhan spontan. Sistem imun berhenti memproduksi antibody yang
menghancurkan myelin, dan gejala berangsur-angsur menghilang, penyembuhan
saraf mulai terjadi. Terapi pada fase ini ditujukan terutama pada terapi fisik, untuk
membentuk otot pasien dan mendapatkan kekuatan dan pergerakan otot yang
normal, serta mengajarkan penderita untuk menggunakan otot-ototnya secara
optimal. Kadang masih didapati nyeri, yang berasal dari sel-sel saraf yang
23
beregenerasi. Lama fase ini juga bervariasi, dan dapat muncul relaps. Kebanyakan
penderita mampu bekerja kembali dalam 3-6 bulan, namun pasien lainnya tetap
menunjukkan gejala ringan samapi waktu yang lama setelah penyembuhan.
Derajat penyembuhan tergantung dari derajat kerusakan saraf yang terjadi pada
fase infeksi.
3.7 Pemeriksaan penunjang
➢ Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan neurologis ditemukan adanya kelemahan otot yang
bersifat difus dan paralisis. Refleks tendon akan menurun atau bahkan menghilang.
Batuk yang lemah dan aspirasi mengindikasikan adanya kelemahan pada otot-otot
intercostal. Tanda rangsang meningeal seperti perasat kernig dan kaku kuduk
mungkin ditemukan. Refleks patologis seperti refleks Babinsky tidak ditemukan.
➢ Pemeriksaan laboratorium
Gambaran laboratorium yang menonjol adalah peninggian kadar protein
dalam cairan otak (> 0,5 mg%) tanpa diikuti oleh peninggian jumlah sel dalam
cairan otak, hal ini disebut disosiasi sito-albuminik. Peninggian kadar protein
dalam cairan otak ini dimulai pada minggu 1-2 dari onset penyakit dan mencapai
puncaknya setelah 3-6 minggu. Jumlah sel mononuklear < 10 sel/mm3. Walaupun
demikian pada sebagian kecil penderita tidak ditemukan peninggian kadar protein
dalam cairan otak. Imunoglobulin serum bisa meningkat. Bisa timbul hiponatremia
pada beberapa penderita yang disebabkan oleh SIADH (Sindroma Inapproriate
Antidiuretik Hormone).
➢ Pemeriksaan elektrofisiologi (EMG)
Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosis GBS adalah
kecepatan hantaran saraf motorik dan sensorik melambat. Distal motor retensi
memanjang kecepatan hantaran gelombang-f melambat, menunjukkan
perlambatan pada segmen proksimal dan radiks saraf. Di samping itu untuk
mendukung diagnosis pemeriksaan elektrofisiologis juga berguna untuk
menentukan prognosis penyakit : bila ditemukan potensial denervasi menunjukkan
bahwa penyembuhan penyakit lebih lama dan tidak sembuh sempurna.
24
➢ Pemeriksaan LCS
Dari pemeriksaan LCS didapatkan adanya kenaikan kadar protein ( 1 – 1,5
g/dl ) tanpa diikuti kenaikan jumlah sel. Keadaan ini oleh Guillain (1961) disebut
sebagai disosiasi albumin sitologis. Pemeriksaan cairan cerebrospinal pada 48 jam
pertama penyakit tidak memberikan hasil apapun juga. Kenaikan kadar protein
biasanya terjadi pada minggu pertama atau kedua. Kebanyakan pemeriksaan LCS
pada pasien akan menunjukkan jumlah sel yang kurang dari 10/mm3
(albuminocytologic dissociation).
➢ Pemeriksaan MRI
Pemeriksaan MRI akan memberikan hasil yang bermakna jika dilakukan
kira-kira pada hari ke-13 setelah timbulnya gejala. MRI akan memperlihatkan
gambaran cauda equina yang bertambah besar. Hal ini dapat terlihat pada 95%
kasus SGB.
a) Pemeriksaan serum CK biasanya normal atau meningkat sedikit.
b) Biopsi otot tidak diperlukan dan biasanya normal pada stadium awal.
Pada stadium lanjut terlihat adanya denervation atrophy.
Kriteria diagnostik GBS menurut The National Institute of Neurological and
Communicative Disorders and Stroke ( NINCDS)
• Gejala utama :
1. Kelemahan yang bersifat progresif pada satu atau lebih ekstremitas dengan atau tanpa
disertai ataxia
2. Arefleksia atau hiporefleksia yang bersifat general
• Gejala tambahan :
25
• Pemeriksaan LCS :
1. Peningkatan protein
2. Sel MN < 10 /ul
• Pemeriksaan elektrodiagnostik :
26
2) Pemantauan EKG dan tekanan darah
Monitoring yang ketat terhadap tekanan darah dan EKG sangat penting karena
gangguan fungsi otonom dapat mengakibatkan timbulnya hipotensi atau hipertensi
yang mendadak serta gangguan irama jantung. Untuk mencegah takikardia dan
hipertensi, sebaiknya diobati dengan obat-obatan yang waktu kerjanya pendek (short-
acting), seperti : penghambat beta atau nitroprusid, propanolol. Hipotensi yang
disebabkan disotonomi biasanya membaik dengan pemberian cairan iv dan posisi
terlentang (supine). Atropin dapat diberikan untuk menghindari episode brakikardia
selama pengisapan endotrakeal dan terapi fisik. Kadang diperlukan pacemaker
sementara pada pasien dengan blok jantung derajat 2 atau 3.
3) Plasmaparesis
Pertukaran plasma (plasma exchange) yang menyebabkan reduksi antibiotik ke
dalam sirkulasi sementara, dapat digunakan pada serangan berat dan dapat
membatasi keadaan yang memburuk pada pasien demielinasi. Bermanfaat bila
dikerjakan dalam waktu 3 minggu pertama dari onset penyakit. Jumlah plasma yang
dikeluarkan per exchange adalah 40-50 ml/kg. Dalam waktu 7-14 hari dilakukan tiga
sampai lima kali exchange. Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk
mengeluarkan faktor autoantibodi yang beredar. Albumin : dipakai pada
plasmaferesis, karena Plasma pasien harus diganti dengan suatu substitusi plasma.
4) Perlu diperhatikan pemberian cairan dan elektrolit terutama natrium karena penderita
sering mengalami retensi airan dan hiponatremi disebabkan sekresi hormone ADH
berlebihan.
5) Ileus paralitik terkadang ditemukan terutama pada fase akut sehingga parenteral
nutrisi perlu diberikan pada keadaan ini.
b. Perawatan umum
1) Mencegah timbulnya luka baring/bed sores dengan perubahan posisi tidur.
2) Fisioterapi yang teratur dan baik juga penting. Fisioterapi dada secara teratur untuk
mencegah retensi sputum dan kolaps aru. Segera setelah penyembuhan mulai fase
rekonvalesen) maka fisioterapi aktif dimulai untuk melatih dan meningkatkan
kekuatan otot.
27
3) Spint mungkin diperlukan untuk mempertahakan posisi anggota gerak yang lumpuh,
4) Kekakuan sendi dicegah dengan gerakan pasif. Gerakan pasti pada kaki yang lumpuh
mencegah deep voin thrombosis.
5) Perawatan kulit, kandung kemih, saluran pencernaan, mulut, faring dan trakhea.
6) Infeksi paru dan saluran kencing harus segera diobati.
7) Bila ada nyeri otot dapat dapat diberikan analgetik.
c. Pengobatan
1) Kortikosteroid
Seperti : azathioprine, cyclophosphamid
3) Pengobatan imunosupresan:
c) Imunoglobulin IV
Beberapa peneliti pada tahun 1988 melaporkan pemberian immunoglobulin atau
gamaglobulin pada penderita GBS yang parah ternyata dapat mempercepat
penyembuhannya seperti halnya plasmapharesis. Gamaglobulin (Veinoglobulin)
diberikan perintravena dosis tinggi. Pengobatan dengan gamma globulin
intervena lebih menguntungkan dibandingkan plasmaparesis karena efek
28
samping/komplikasi lebih ringan tetapi harganya mahal. Dosis maintenance 0.4
gr/kg BB/hari selama 3 hari dilanjutkan dengan dosis maintenance 0.4 gr/kg
BB/hari tiap 15 hari sampai sembuh. imunoglobulin intravena (IVIG 7s) :
dipakai untuk memperbaiki aspek klinis dan imunologis dari GBS dan Dosis
dewasa adalah 0,4 g/kg/hari selama 5 hari (total 2 g selama 5 hari) dan bila perlu
diulang setelah 4 minggu. Kontraindikasi IVIg : adalah hipersensitivitas
terhadap regimen ini dan defisiensi IgA, antibodi anti IgE/ IgG. Tidak ada
interaksi dng obat ini dan sebaiknya tidak diberikan pd kehamilan.
d) Obat sitotoksik
Pemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah 6 merkaptopurin (6-MP).
3.9. Komplikasi
29
BAB IV
PENUTUP
1.1 Kesimpulan
Guillaine Barre Syndrom (GBS) adalah penyakit autoimun yang menimbulkan
peradangan dan kerusakan mielin (material lemak, terdiri dari lemak dan protein yang
membentuk selubung pelindung di sekitar beberapa jenis serat saraf perifer). Gejala dari
penyakit ini mula-mula adalah kelemahan dan mati rasa di kaki yang dengan cepat
menyebar menimbulkan kelumpuhan.
Penyebab pasti dari Gullaine Barre Syndrom (GBS) sampai saat ini masih belum
dapat diketahui dan masih menjadi bahan perdebatan. Tetapi pada banyak kasus, penyakit
ini sering dihubungkan dengan penyakit infeksi viral, seperti infeksi saluran pernafasan
dan saluran pencernaan.
Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang
mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada SGB masih belum diketahui dengan
pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi pada sindroma
ini adalah melalui mekanisme imunlogi.
Tidak ada yang mengetahui dengan pasti bagaimana GBS terjadi dan dapat
menyerang sejumlah orang. Yang diketahui ilmuwan sampai saat ini adalah bahwa sistem
imun menyerang tubuhnya sendiri, dan menyebabkan suatu penyakit yang disebut sebagai
penyakit autoimun. Umumnya sel-sel imunitas ini menyerang benda asing dan organisme
pengganggu; namun pada GBS, sistem imun mulai menghancurkan selubung myelin yang
mengelilingi akson saraf perifer, atau bahkan akson itu sendiri.
30
DAFTAR PUSTAKA
1. Andary, M.T., Oleszek, J.L., Maureleus, K., and Mc-Crimmon, R.Y., 2016. Guillain Barre Syndrome.
http://emedicine.medscape.com/article/315632-.
2. Japardi I. 2002. Sindroma Guillan-Barre. (http://library.usu.ac.id/download/fk/ bedah-
iskandar%20japardi46.pdf), diakses pada 31 Mei 2016.
3. Judarwanto, W. 2009. Sindroma Guillain-Barre (GBS) : Patofisiologi dan Diagnosis,
(https://koranindonesiasehat.wordpress.com/2009/12/14/guillain-barre-syndrome-gbs-
patofisiologi-manifestasi-klinis-dan-diagnosis/ )
4. Lanello, Silvia. 2005.Guillain-Barre Syndrome: Pathological, Clinical, and Therapeutical
Aspects. Nova Biomedical Book. New York.
5. Price, A. Sylvia. 2006. Patofisiologi Konsep Vol 2. Jakarta : EGC.
31
Case Base Discussion
Intracerebral Hemorage
Pembimbing:
dr. Ni Made Yuli Artini, M.Biomed. Sp. S
Di susun oleh:
Khairani Auliya (012.06.0044)
1
BAB I
PENDAHULUAN
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
3
Gambar 2 : Perdarahan intraserebarl2
4
(AVMs) dan tumor juga bisa menyebabkan perdarahan ke dalam jaringan otak
(kanan)3.
2.2. EPIDEMIOLOGI
Analisis pada 3 tahun dari data mortalitas nasional untuk pasien stroke
intracerebtral oleh ayala dan teman-temannya mengungkapkan eksiden terbesar
dari ICH pada Africa Amerika , Alaska Natives, Asian pacific Islander (API)
dan kumpulan Hispanic ethnic. Juga mengunkap bahwa porporsi yang tinggi
dari kematian akibat stroke terjadi pada orang dewasa. Berdasarkan jenis
kelamin, kes fatality rate untuk strokehemoragik adalah sama untuk perempuan
5
dan laki-laki.walaupun begitu, sercara keseluruhan mortalitas stroke lebih tinggi
dari lelaki6.
Gambar 5 : Otak terdiri dari tiga bagian: batang otak, cerebrum, dan cerebelum.
Cerebrum dibagi menjadi empat lobus: frontal, parietal, temporal dan oksipital8.
6
Cerebrum adalah bagian terbesar dari otak dan terdiri dari belahan kanan
dan kiri.Ini melakukan fungsi yang lebih tinggi seperti menafsirkan sentuhan,
penglihatan dan pendengaran, serta pidato, penalaran, emosi, belajar, dan kontrol
baik dari gerakan.Cerebellum terletak di bawah otak besar.Fungsinya adalah
untuk mengkoordinasikan gerakan otot, menjaga postur tubuh, dan
keseimbangan.Batang otak termasuk otak tengah, pons, dan medula. Ini
bertindak sebagai pusat estafet menghubungkan otak dan cerebellum ke sumsum
tulang belakang.Ia melakukan banyak fungsi otomatis seperti bernapas, denyut
jantung, suhu tubuh, bangun dan tidur siklus, pencernaan, bersin, batuk, muntah,
dan menelan. Sepuluh dari dua belas saraf kranial berasal di batang otak8.
Gambar6 : common carotid arteries sampai leher dan membagi kepada arteri karotid
internal dan eksternal. Sirkulasi anterior otak diberikan oleh arteri karotis interna (ICA)
dan sirkulasi posterior diberi makan oleh arteri vertebralis (VA). Kedua sistem
terhubung di Lingkaran Willis (lingkaran hijau)8
2.4. ETIOLOGI3
7
• Blood thinner therapy : obat-obatan seperti coumadin, heparin, dan warfarin
digunakan untuk mengobati jantung dan kondisi stroke.
• AVM: jalinan arteri dan vena yang abnormal tanpa kapiler
• Aneurisma: tonjolan atau melemahnya dinding arteri.
• Trauma kepala : Patah tulang pada tengkorak dan luka tembus (tembak) dapat
merusak arteri dan menyebabkan perdarahan.
• Gangguan perdarahan: hemofilia, anemia sel sabit, DIC, trombositopenia.
• Tumor : Tumor yang sangat vaskular seperti angioma dan tumor metastasis
dapat menyebabkan terjadinya perdarahan ke dalam jaringan otak.
• Amyloid angiopathy 80% 9: penyakit degeneratif arteri.
• Penggunaan obat: kokain dan obat terlarang lainnya dapat menyebabkan
perdarahan intraserebral.
• Spontan: ICH oleh penyebab yang tidak diketahui.
2.5. KLASIFIKASI
1. Putaminal Hemorrhage
8
dan disfasia bila yang terkena hemisfer dominan. Progresi menjadi perdarahan
masif berakibat stupor dan lalukoma, variasi respirasi, pupil tak bereaksi yang
berdilatasi, hilangnya gerak ekstra-okuler, postur motor abnormal, dan respons
babinski bilateral. Gejala muntah terjadi hampir setengah dari pada penderita.
Sakit kepala adalah gejala tersering tetapi tidak seharusnya ada. Dengan jumlah
perdarahan yang banyak, penderita dapat segera masuk kepada kondisi stupor
dengan hemiplegi dan kondisi penderita akan tampak memburuk dengan
berjalannya masa.(3)
2. Thalamic Hemorrhage
9
Anisokoria, hilangnya konvergensi, pupil tak bereaksi, deviasi serong, defisit
lapang pandang, dan nistagmus retraksi juga tampak. Anosognosia yang berkaitan
dengan perdarahan sisi kanan dan gangguan bicara yang berhubungan dengan lesi
sisi kiri tidak jarang terjadi. Nyeri kepala terjadi pada 20-40 % pasien. Hidrosefalus
dapat terjadi akibat penekanan jalur CSS. (3)
3. Perdarahan Pons
4. Perdarahan Serebelum
10
neurologis terjadi. Hipertensi adalah faktor etiologi pada kebanyakan kasus.
Duapertiga dari pasien dengan perdarahan serebeler spontan mengalami
gangguan tingkat kesadaran dan tetap responsif saat datang; hanya 14% koma
saat masuk. 50% menjadi koma dalam 24 jam, dan 75% dalam seminggu sejak
onset. Mual dan muntah tampil pada 95%, nyeri kepala (umumnya bioksipital)
pada 73%, dan pusing (dizziness) pada 55 %. Ketidakmampuan berjalan atau
berdiri pada 94 %. Dari pasien non koma, tanda-tanda serebeler umum terjadi
termasuk ataksia langkah (78 %), ataksia trunkal (65 %), dan ataksia apendikuler
ipsilateral (65 %). Temuan lain adalah palsi saraf fasial perifer (61%), palsi gaze
ipsilateral (54 %), nistagmus horizontal (51 %), dan miosis (30%).(3)
5. Perdarahan Lober
11
nyeri kepala temporal anterior serta defisit hemisensori, terkadang mengenai
tubuh ke garis tengah. Evolusi gejala yang lebih cepat, dalam beberapa menit,
namun tidak seketika bersama dengan satu dari sindroma tersebut membantu
membedakan perdarahan lober dari stroke jenis lain. Kebanyakan AVM dan
tumor memiliki lokasi lober.(3)
2.6. PATOFISIOLOGI
12
intracranial sekunder dimana merosakkan neurologis sekunder dan memerlukan
pengobatan yang lebih.1
Efek Patologis
II.7. DIAGNOSA
13
Tabel 1 : Faktor risiko ICH11
Sering Jarang
Ras Neoplasma
Kokain
Riwayat
Semua percaya Pasien dengan ICH mempunyai gejala yang berat mirip
acute ischemic stroke (AIS) dan perdarahan subarachnoid (SAH), beberapa
penelitian menunjukkan kebanyakan dari pasien memiliki gejala yang progresif
dari mula. Penyelidikan konsisten dari tahun 1990s, dimana menunjukkan
perdarahan bertambah kira kira 40% dari pasien dalam masa 3 jam dari
onset.Permulaan gejala ICH termasuk bekurangnya kesadaran (medekati 50%),
sakit kepala (40%), muntah (40-50%) dan hipertensi (80-90%).Pasien ICH di
rekomendasi pemeriksaan neuroimaging untuk membezakan iskemik atau stroke
perdarahan11.
Gejala Klinis10
14
b) Penurunan kesadarn yang berat sampai koma disertai hemiplegia/hemiparase
dan dapat disertai kejang fokal/umum
c) Tanda-tanda penekanan batang otak,gejala pupil unilateral,reflex pergerakan
bola mata menghialang dan deserebrasi
d) Dapat dijumpai tanda-tanda tekanan tinggi intracranial (TTIK), misalnya
papilledema dan perdarahan subhialoid.
Pemeriksaan Fisik
Laboratorium
Neuroimaging
15
Gambar 8 :CT-scan adalah X-ray non-invasif untuk melihat struktur anatomi dalam otak
untuk melihat apakah ada darah di otak. Sebuah teknologi baru yang disebut CT
angiography melibatkan injeksi kontras ke dalam aliran darah untuk melihat arteri otak3.
16
penyebab sekunder seperti AVM dan aneurysma atau vaskulitis9.Pemeriksaan
imaging lain seperti MRI atau cerebral angiography diperlukan untuk
mengetahui lebih lanjut perdarahan pada kasus tidak khas11.
SKOR ICH
Skor GCS
3-4 2
5-12 1
13-15 0
Volume ICH,cm3
≥ 30 1
<30 0
IVH
Ya 1
Tidak 0
17
Ya 1
Tidak 2
Umur
≥ 80 1
< 80 0
Skor ICH adalah dikembangkan dari model regresi logistik untuk semua pasien
ICH. 5 karakteristik prediktor mortalitas 30 hari (dan karena itu termasuk dalam model
regresi logistik) yang masing-masing diberi titik pada dasar kekuatan hubungan dengan
hasilnya. Jumlah Skor ICH adalah jumlah poin dari berbagai karakteristik. Tabel
menunjukkan point tertentu yang digunakan dalam menghitung Skor ICH.
Skor GCS palingsangat terkait dengan hasil, itu diberikan palingberat dalam
skala. GCS dibagi menjadi 3 subkelompok (GCS skor dari 3 sampai 4, 5 sampai 12, dan
13 sampai 15) lebih akurat mencerminkan pengaruh yang sangat kuat dari skor GCS
pada hasil. Dari catatan, di UCSF (University of California, SanFrancisco) ICH kohort,
hanya 1 dari 35 pasien dengan skor GCS menunjukkan 3- 4 selamat sampai 30 hari,
dan hanya 5 dari 60 pasien dengan skor GCS menunjukkan dari 13-15 meninggal,
sedangkan 29 dari 57 pasien dengan skor GCS dari 5-12 meninggal dalam waktu 30
hari.
Umur lebih atau lebih 80 tahun juga sangat sangat terkait dengan mortalitas 30
hari. Karena usia di model prediksi yang pendikotomian sekitar titik potong dari 80
tahun dan tidak terkait dengan hasil di Kelompok infratentorial pasien, hanya 1 poin
ditugaskan untuk pasien berusia lebih sama dengan 80 tahun.
IVH, infratentorial asal ICH, dan Volume ICH semua memiliki kekuatan yang
relatif sama hasil asosiasi dan karena itu ditimbang sama di Skor ICH. IVH dan
infratentorial asal ICH yang dikotomis variabel dengan poin yang ada. Volume ICH
18
adalah pendikotomian untuk, < 30 dan ≥ 30 cm3.Tiga puluh sentimeter kubik dipilih
karena merupakan titik potong untuk meningkat kematian di kohort UCSF ICH, mudah
diingat, dan mirip dengan volume ICH titik potong yang digunakan dalam sebelum
models. Selanjutnya, tidak ada pasien dengan ICH infratentorial di UCSF ICH kohort
memiliki volume hematoma ≥ 30 cm3. Poin tambahan tidak ditugaskan untuk
hematoma lebih besar (misalnya, >60 cm3) karena, ketika diuji, ini tidak meningkatkan
akurasi Skor ICH dan akan diwakili sama dengan skor GCS, yang tidak dibenarkan
pada dasar kekuatan asosiasi hasil dalam logistic model regresi.
Skor ICH adalah dari 0-5 dari kohort yang dari berbagai kategori. Semakin
bertambah Skor ICH semakin bertambah kematian dalam masa 30 hari.Pasien dengan
Skor ICH 0 biasanya tidak ada yang mati, dan Skor ICH 5 kebanyakan semua pasien
meninggal. Tingkat kematian tiga puluh hari untuk pasien dengan Skor ICH dari 1, 2,
3, dan 4 adalah 13%, 26%, 72%, dan 97%, masing-masing. Tidak pasien di UCSF ICH
kohort memiliki Skor ICH dari 6 karena tidak ada pasien dengan ICH infratentorial
memiliki hematoma Volume ≥ 30 cm3. Namun, mengingat bahwa tidak ada pasien
dengan ICH Skor dari 5 selamat, Skor ICH dari 6 akan diharapkan untuk dikaitkan
dengan risiko mortalitas yang sangat tinggi13.
19
Gambar10 :Lokasi perdarahan Intraserebral14
2.8. Penanganan
Step 1
Pasien harus dirawat dan distabilisasi menurut ATLS
20
• Pasien dengan GCS dibawah 9 dilakukan pemasangan ETT
Step 2
Riwayat Penyakit- Pertanyaan sebaiknya mencakup riwayat
trauma, riwayat hipertensi, riwayat stroke sebelumnya,
diabetes, merokok, alcohol, riwayat pengobatan (khususnya
kokain, warfarin, aspirin, antikoagulan yang lain), penyakit
hematologi, penyakit hati, neoplasma, dan infeksi, atau AVM
Step 3
Penilaian gejala dengan menggunakan skala ROSIER (skor >
0,90 % berpotensi untuk stroke) untuk diagnose, dan ICH
(skor yang lebih besar, hasil yang lebih jelek) dan skor FUNC
(skor yang lebih besar,berpeluang mempengaruhi kualitas
hidup) untuk prognosis.
Step 4
Tes laboratorium dilakukan untuk pemeriksaan penunjang,
menilai faktor resiko ICH dan penyebab lain yang dapat
menyebabkan ICH, pemeriksaannya meliputi darah rutin,
elektrolit, INR, PT, tes kehamilan, tes toksikologi, matrix
metalloproteinase, foto thorax dan ECG.
Step 5
Pemeriksaan Radiologi- CT-scan dan MRI merupakan pilihan
pertama untuk pemeriksaan radiologi. Dengan menggunakan
CTA “spot sign” dapat diindikasi dimana merupakan faktor
risiko terhadap perluasan hematom dan sebagai peringatan
terhadap prognosis yang jelek jika tidak segera ditangani.
Step 6
Terapi 2
• Terapi potensial untuk ICH: menghentikan atau
memperlambat perdarahan dini pada awal kejadian
setelah onset (farmakoterapi, pembedahan, coiling
endovaskular)
• Penatalaksanaan terhadap gejala,tanda,dan komplikasi
seperti peningkatan intra cranial,penurunan perfusi otak,
dan terapi suportif untuk pasien dengan trauma kepala
berat.
21
Penanganan
1. Non operatif
2. Operatif
Non Operatif
22
untuk profilaksis tromboemboli lebih lanjut saat tidak ada peningkatan risiko
perdarahan berulang pada pasien.Reversibel warfarin antikoagulan dilakukan
untuk mengendalikan pendarahan dan ICH.Ini harus diselesaikan secepat
mungkin untuk menghentikan perluasan hematoma lanjut. Agen untuk Terapi
reversibel termasuk intravena vitamin K (VAK), segarbeku plasma (FFP),
protrombin kompleks konsentrat (PCC) dan rFVIIa.Vitamin K harus diberikan
dengan baikFFP atau PCC karena membutuhkan lebih dari enam jam untuk
menormalkanINR. Tekanan darah harus dikontrol untuk mencegah perdarahan
kembali dan expansi hematoma .Beta-blocker, seperti Labetalol, dan ACE
inhibitor, seperti enalapril, sering digunakan untuk mencapai kontrol tekanan
darah. Nitroprusside dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan harus
dihindari, kecuali bila diperlukan pada pasien dengan asma atau gagal jantung di
mana betablocker kontraindikasi.Kontrol hipertensi tergantung pada tekanan
sistolik, berarti tekanan arteri (MAP) dan ada tidaknya tekanan intrakranial pada
masuk dan berada di luar lingkup makalah ini, terdapat pada 2010 AHA / ASA
guidelines. Tekanan Intrakranial( ICP ) manajemen bergantung pada elevasi dari
kepala tempat tidur untuk 40 derajat untuk meningkatkan jugularis vena keluar .
Terapi yang lebih agresif, seperti terapai osmotic ( manitol , hipertonik salin )
membutuhkan tekanan intrakranial dan BP pemantauan untuk mempertahankan
otak yang memadai tekanan perfusi lebih besar dari 70 mmHg.Berikut adalah
rutin digunakan selama transfer pasien dari pusat perifer . Perhatian khusus
harus diberikan kepada risiko iatrogenic hipotensi yang disebabkan oleh
hipertensi yang cepat dan agresif , yang dapat menyebabkan ischemia serebral
Untuk control kejang, pedoman 2010 AHA / ASA merekomendasikan bahwa
pasien dengan kejang disertai dengan perubahan status mental harus
diperlakukan dengan benzodiazepin untuk kejang control yang cepat dan
Phenytoin untuk manajemen jangka panjang.
Operatif
23
yang mendasari ICH, seperti malformasi arteri, dan mencegah komplikasi ICH
seperti efek hidrosefalus dan massa dari bekuan darah. Kraniotomi telah menjadi
pendekatan standar untuk ICH.Keuntungan utamanya adalah eksposur yang
memadai untuk membuang darah yang menggumpal.Menghilangkan bekuan
lebih lengkap dapat menurunkan ICP dan efek tekanan lokal dari bekuan darah
di sekitarnya otak.Kerugian utama dari bedah lebih luasPendekatan adalah
bahwa hal itu dapat menyebabkan kerusakan otak lebih lanjut, khususnyapada
pasien dengan perdarahan yang dalam.Selain itu,efektivitas menghilangkan
bekuan oleh kraniotomi jauh dari Ideal.
Kandidat bedah
ALGORITHME16
24
pasien dengan defisit neurologis akut yang
disurigai menderita ICH harus menjalani
pemeriksaan CT-Scan tanpa kontras untuk
mendeteksi lokasi hematom dan
mengetahui ada tidaknya perdarahan
intraventrikular dan hidrocephalus
pasien
dapatdiekstubasi jika terapi jangka panjang
terdapat perbaikan dengan antikonvulsan
klinis dalam waktu 14 setelah 3 hari dapat
terapi lebih lanjut diberikan jika terjadi
hari selanjutnya dapat diberikan obat
memerlukan evaluasi kejang lebih dari dua
dilakukan trakeostomi antihipertensi oral jika
dari neurosurgical minggu setelah onset
kondisi pasien stabil.
perdarahan.
Daftar Pustaka
25
2.Hemorrhagic stroke,ppt,file3151p79
8.anatomy of the brain.Mayfield Certified Health Info materials are written and
developed by the Mayfield Clinic & Spine Institute.
26
12.Intracerebral Hemorrhage: Pathophysiology, Diagnosis and
Management.Fabio Magistris, BMSc,Stephanie Bazak, BScH,Jason
Martin.Volume 10 No. 1, 2013
13. The ICH Score: A Simple, Reliable Grading Scale for Intracerebral
Hemorrhage. J. Claude Hemphill III, David C. Bonovich, Lavrentios Besmertis,
Geoffrey T. Manley and S. Stroke. 2001;32:891-897
14.http://www.netterimages.com/image/6907.htm
16.Intracerebral Haemorrhage,ferne_acep_dc_0905_dorfman_ich_path
27
CASE BASED DISCUSSION
MIASTENIA GRAVIS
Oleh :
Kurniawan Hidayat
015.06.0012
Pembimbing :
dr. Luh Kadek Trisna Lestari, M.Biomed, Sp. S
RSU BANGLI
TAHUN 2020
Puji syukur saya panjatkan kehadiran Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan
penyusunan laporan kasus ini dengan judul “MIASTENIA GRAVIS”. Dimana
dalam penyusunan laporan kasus ini merupakan salah satu syarat dalam mengikuti
kepaniteraan klinik di bagian SMF Bagian Penyakit Saraf RSU Bangli.
Tidak lupa juga saya mengucapkan terima kasih kepada para dosen yang
menjadi tutor atau fasilitator yang membimbing saya selama melaksanakan tugas
ini, dan juga semua pihak yang telah membantu sehingga saya dapat
menyelesaikannya laporan ini.
Dalam penyusunan laporan kasus ini saya menyadari bahwa masih banyak
kekurangannya sehingga saya menginginkan saran dan kritik yang membangun
dalam menyempurnakan laporan kasus.
Bangli, 17 Juni 2020
Penyusun
1.2 Tujuan
1.2.1 Mahasiswa mampu menjelaskan definisi miastenia gravis
1.2.2 Mahasiswa mampu menjelaskan etiologi miastenia gravis
1.2.3 Mahasiswa mampu menjelaskan patofisiologi miastenia gravis
1.2.4 Mahasiswa mampu menjelaskan kalsifikasi miastenia gravis
1.2.5 Mahasiswa mampu menjelaskan gejala klinis miastenia gravis
1.2.6 Mahasiswa mampu diagnosis miastenia gravis
1.2.7 Mahasiswa mampu menjelaskan penatalaksanaan miastenia gravis
1.2.8 Mahasiswa mampu menjelaskan komplikasi miastenia gravis
1.2.9 Mahasiswa mampu menjelaskan prognosis miastenia gravis
2.2 ANAMNESIS
a. Keluhan Utama : Susah menelan
b. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien Ny. A 46 tahun datang ke IGD RSU Bangli dengan keluhan sulit
menelan makanan sejak 6 bulan sebelum masuk rumah sakit. Kesulitan
menelan makanan yang dialami semakin lama semakin memburuk, dan
mengakibatkan proses makan menjadi lambat. Berat badan pasien terlihat
menurun diakibatkan berkurangnya asupan makanan. Selain itu, pasien sering
tersedak, sukar mengunyah makanan, kedua kelopak mata menjadi turun,
lemah pada kedua tungkai dan suara pasien menjadi parau kemudian, suaranya
menjadi lemah dan menghilang ketika banyak bicara. Keluhan-keluhan
tersebut timbul saat pasien sedang beraktivitas dan membaik ketika pasien
istirahat. Buang air besar dan buang air kecil tidak ada keluhan.
Pasien mengakui kejadian seperti ini sudah dua kali terjadi pada dirinya.
Kejadian pertama kali dialami pada 2 tahun yang lalu, pasien merasa kedua
kelopak mata menjadi turun, keluhan tersebut muncul ketika pasien
beraktivitas dan membaik ketika istirahat. Keluhan seperti mual, muntah, sakit
kepala, bicara pelo,demam dan kejang disangkal. Riwayat trauma, pingsan,
keganasan, di bantah oleh pasien dan keluarganya.
b. Nervus Kranialis
1. Nervus I (Olfaktorius) : O.D. O.S.
Subjektif (+), objektif (+).
2. Nervus II (Optikus) : O.D. O.S.
Visus : 5/5 5/5
Lapang pandang : Normal Normal
Tes warna : Normal Normal
Fundus : Normal Normal
Skotoma : Normal Normal
8. Nervus XI (Aksesorius) :
Kekuatan M. Sternokleidomastoideus : +/+
Kekuatan M. Trapezius : +/+
9. N XII (Hipoglosus) :
Saat Istirahat
Ujung Lidah : Simetris
Tremor lidah : Tidak ditemukan
Atrofi lidah : Tidak ditemukan
Fasikulasi : Tidak ditemukan
Saat Dijulurkan
Ujung Lidah : Simetris
Tremor lidah : Tidak ditemukan
Atrofi lidah : Tidak ditemukan
Fasikulasi : Tidak ditemukan
Disartria : Tidak ditemukan
Kanan Kiri
Tenaga:
M. Deltoid (Abduksi) 5 5
M. bisep (Fleksi) 5 5
M. Trisep (Ekstensi) 5 5
Refleks fisiologis :
Bisep Normal Normal
Reflex patologis :
Hoffman-Tromner Normal Normal
Sensibilitas :
Perasa raba Normal Normal
Koordinasi :
Uji telunjuk-hidung Normal Normal
Vegetative :
Vasomotorik Normal Normal
Gerakan involunter :
Tremor Negatif Negatif
d. Pemeriksaan Badan
Keadaan tulang punggung : Normal
Keadaan otot-otot : Normal
Refleks :
Abdominal atas : Normal
Abdominal bawah : Normal
Kremaster : Normal
Anus : Normal
Sensibilitas :
Perasa raba : Normal
Perasa nyeri : Normal
Perasa suhu : Normal
Koordinasi :
Asinergia serebelar : Dalam batas normal
Kanan Kiri
Tenaga :
Gerakan fleksi sendi panggul 2 2
Reflex fisiologis :
KPR Normal Normal
Reflex patologis :
Babinski Negatif Negatif
Mendelbecterew
Rossolimo
Klonus :
Sensibilitas :
Perasa raba Normal Normal
Koordinasi :
Uji tumit-lutut Normal Normal
Vegetatif :
Vasomotorik Normal Normal
Gerakan involunter :
Tremor Negatif Negatif
2.4 RESUME
Pasien perempuan NY. A barumur 46 tahun datang ke RSU Bangli dengan
keluhan sulit menelan makanan sejak 6 bulan sebelum masuk rumah sakit.
Kesulitan menelan makanan yang dialami semakin lama semakin memburuk,
dan mengakibatkan proses makan menjadi lambat. Berat badan pasien terlihat
menurun diakibatkan berkurangnya asupan makanan. Selain itu, pasien sering
tersedak, sukar mengunyah makanan, kedua kelopak mata menjadi turun,
lemah pada kedua tungkai dan suara pasien menjadi parau kemudian, suaranya
menjadi lemah dan menghilang ketika banyak bicara. Keluhan-keluhan
tersebut timbul saat pasien sedang beraktivitas dan membaik ketika pasien
istirahat. Buang air besar dan buang air kecil tidak ada keluhan. Pasien
mengakui kejadian seperti ini sudah dua kali terjadi pada dirinya. Kejadian
pertama kali dialami pada 2 tahun yang lalu. Keluhan seperti mual, muntah,
sakit kepala, bicara pelo,demam dan kejang disangkal. Riwayat trauma,
pingsan, keganasan, di bantah oleh pasien dan keluarganya.
2.5 DIAGNOSIS
Diagnosis klinis :
GCS E4M6V5
Paraparese inferior
Parese nervus III, IX, X
Diagnosis topis : Neuromuscular Junction(motor end plate)
Diagnosis banding
GBS
Sindrom Eaton-Lambert (Lambert-Eaton Myasthenic Syndrome)
Meningitis basalis (tuberkulosa atau luetika)
Paralisis pasca difteri
Bagian terminal dari saraf motorik melebar pada bagian akhirnya yang disebut
terminal bulb, yang terbentang diantara celah-celah yang terdapat di sepanjang
serat saraf. Membran presinaptik (membran saraf), membran post sinaptik
(membran otot), dan celah sinaps merupakan bagian-bagian pembentuk
neuromuscular junction.1
Enzim yang penting ini terdapat dengan jumlah yang besar dalam
lamina basalis rongga sinaps.
6. Kolin didaur ulang ke dalam terminal saraf melalui mekanisme
transport aktif di mana protein tersebut dapat digunakan kembali bagi
sintesis asetilkolin.
Kata miastenia gravis, menurut Bahasa latin dan Yunani berarti “grave
muscle weakness”. Tetapi jika diberikan terapi secara tepat, penderita
miastenia gravis tidak berakhir dengan kematian sesuai dengan implikasi
namanya yaitu “kuburan”.5 Jolly (1895) adalah orang yang pertama kali
menggunakan istilah miastenia gravis dan ia juga yang mengusulkan
pemakaian fisostigmin sebagai obatnya namun tidak berlanjut. Kemudian
Remen (1932) dan Walker (1934) menyatakan bahwa fisostigmin
merupakan obat yang baik untuk miastenia gravis. 4
2.3.2 Klasifikasi Miastenia Gravis
Miastenia Gravis Foundation of America Clinical mengklasifikasikan
miastenia gravis menjadi 5 yaitu:6
2.3.3 Epidemiologi
Di Amerika serikat, miastenia gravis jarang ditemukan. Kejadiannya
sekitar 2 dari 1.000.000 penduduk per tahun. Prevalensinya berkisar antara
0,5 – 14,2 kasus per 100.000 penduduk. Angka kejadian miastenia gravis
meningkat sejak 2 dekade terakhir. Hal ini disebabkan oleh peningkatan
umur pasien miastenia gravis dan karena diagnosis miastenia gravis yang
dilakukan lebih awal.6,7
2.3.4 Etiologi
Miastenia gravis adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh
autoimun. Penyakit ini berhubungan dengan penyakit lain yaitu
tirotoksikosis, miksedema, rheumatoid artritis dan lupus eritematosus
sistemik. Dulu, IgG merangsang pelepasan thymin, suatu hormone dari
kelenjar timus yang mempunyai kemampuan mengurangi jumlah
asetilkolin. Sekarang, penyebab miastenia gravis adalah kerusakan reseptor
asetilkolin neuromuscular junction akibat penyakit autoimun. 4
Antibodi yang menyebabkan terjadinya miastenia gravis dikenal
sebagai antiacetylcholine reseptor antibodi. Antibodi ini diproduksi oleh
kelenjar timus. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya perbaikan pada
pasien miastenia gravis yang dilakukan pengangkatan kelenjar timus
(timektomi). Selain itu, 80% pasien miastenia gravis didapatkan
mengalami pembesaran timus dan 10% diantaranya memperlihatkan
gambaran timoma. Sedangkan sisanya ditemukan adanya infiltrat limfosit
pada pusat germinativa kelenjar timus seperti halnya pada penderita lupus
eritematosus sistemik, tirotoksikosis, miksedema, penyakit Addison dan
anemia hemolitik eksperimental pada tikus.8
Beberapa obat yang dapat menimbulkan kekambuhan gejala pada
miastenia gravis antara lain:6
1. Antibiotik, missal: golongan aminoglikosida, polimiksin,
ciprofloxacin, eritromisin dan ampisilin.
2.3.5 Patofisiologi
Kelemahan otot pada miastenia gravis dan meningkatnya kelemahan otot
pada saat melakukan kegiatan fisik disebabkan oleh penurunan jumlah
reseptor asetilkolin pada neuromuscular junction. Pada orang normal
waktu untuk kegiatan fisik lebih lama dibandingkan waktu yang
dibutuhkan untuk pemulihan kekuatan otot atau istirahat, sebaliknya pada
miastenia gravis justru waktu yang dibutuhkan untuk istirahat adalah lebih
lama dibandingkan dengan waktu yang dibutuhkan untuk kegiatan fisik. 4
4. Pemeriksaan Laboratorium
a. Anti-asetilkolin reseptor antibodi
Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis
suatu miastenia gravis, dimana terdapat hasil yang postitif pada
74% pasien. 80% dari penderita miastenia gravis generalisata dan
50% dari penderita dengan miastenia okular murni menunjukkan
hasil tes anti-asetilkolinreseptor antibodi yang positif. Pada pasien
thymoma tanpa miastenia gravis sering kali terjadi false positive
anti-AChR antibodi. Rata-rata titer antibodi pada pemeriksaan anti-
asetilkolin reseptor antibodi, yang dilakukan oleh Tidall, di
sampaikan pada tabel berikut: 6
Gambar 4 Alur
penatalaksanaan
Miastenia
Gravis.10
2. Azathioprine
Azathioprine digunakan pada pasien miastenia gravis yang secara
relatif terkontrol tetapi menggunakan kortikosteroid dengan dosis
tinggi. Azathioprine dapat dikonversi menjadi merkaptopurin, suatu
analog dari purin yang memiliki efek terhadap penghambatan sintesis
nukleotida pada DNA dan RNA. Azathioprine diberikan secara oral
dengan dosis pemeliharaan 2-3 mg/kgbb/hari. Pasien diberikan dosis
awal sebesar 25-50 mg/hari hingga dosis optimal tercapai.
Miastenia gravis (MG) adalah penyakit yang disebabkan oleh defek pada
transmisi neuromuscular yang dimediasi oleh antibodi (autoimun) pada reseptor
nikotinik asetilkolin (Ach) di neuromuscular junction. Penyakit ini berhubungan
dengan penyakit lain yaitu tirotoksikosis, miksedema, rheumatoid artritis dan
lupus eritematosus sistemi. Gambaran klinis miastenia gravis sangat jelas yaitu
dari kelemahan lokal yang ringan sampai pada kelemahan tubuh secara
menyeluruh yang fatal. 33% kasus hanya terdapat gejala kelainan otot ocular
disertai dengan kelemahan otot lainnya. Kelemahan ekstremitas tanpa disertai
dengan kelemahan otot ocular jarang terjadi, hanya sekitar 15%.selebihnya
(sekitar 20% kasus) didapatkan mengalami kesulitan menelan dan mengunyah
Pemeriksaan farmakologi yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis
miastenia gravis yaitu uji tensilon (edrophonium chloride) dan uji prostigmin
(neostigmin). Dasar pengobatan adalah dengan menggunakan obat-obat
antikolinesterase misalnya neostigmin dan piridostigmin. Obat-obat ini berperan
menghambat kolinesterase yang kerjanya menghancurkan asetilkolin.
1. Snell, Richard S., 2007. Neuro Anatomi Klinik ed. 5. EGC. Jakarta.
2. Murray, R.K, Granner, D.K, Mayes, P.A.2008. Biokimia Harper: Dasar
Biokimia Beberapa Kelainan Neuropsikiatri. Edisi 29. EGC. Jakarta.
3. Audrey S.P dan Lewis P.R. Disorder of neuromuscular junction. Dalam
Rowland L.P. Merrit’s Neurology Edisi 10. Philladelphia:Lippincott;
2000.
4. Harsono. Buku Ajar Neurologi Klinis. Yogyakarta: Gajah mada university
press; 2005.
5. Public Health Service National Institutes of Health. Miastenia Gravis.
United States: Department of health and human service; 2016.
6. Aashit K.S dan Nicholas L. Myasthenia Gravis. Tersedia dalam
< http://emedicine.medscape.com/article/1171206-overview> [diakses
pada 26 Maret 2016].
7. Kaminski.J.K. Myasthenia gravis and related disorders edisi 2. New York:
Humana Press; 2009.
8. Sidharta P dan Mahar M. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat;
2006.
9. Burmester, Color atlas of immunology. New York: Thieme; 2003.
10. Drachman DB. Myasthenia Gravis and Other Diseases of The
Neuromuscular Junction Kasper. Dalam Braunwald, Fauci, Hauser,
Longo, Jameson. Harrison’s. Principle of Internal Medicine edisi 16.
McGraw Hill; 2005.
11. Sanders D.B., Generalized myasthenia gravis: clinical presentation and
diagnosis. 56th Annual Meeting. San Francisco, CA: American Academy of
Neurology, 2004.
12. Bromberg M.B. Myasthenia gravis and myasthenia syndromes. Dalam
Lippincott Williams & Wilkins. Motor disorders. Philadelphia:
Pennsylvania; 2005.
13. Howard, J.F. Myasthenia Gravis. Tersedia dalam
<http://www.ninds.nih.gov
/disorders/myasthenia_gravis/detail_myasthenia_gravis.htm> [diakses
pada: 26 Maret 2016].
14. Ngoerah Gd. Ng. Gst. I, Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Saraf. Airlangga
University Press. 1991.
Abstract
Benign paroxysmal positional vertigo (BPPV) is the most common peripheral vestibular disorder, accounting for 20%
of all vertigo cases. Idiopathic BPPV is most common between the ages of 50 and 70, although the condition is found
in all age groups. This study was conducted in our institute on 90 patients who presented to the outpatient department
with history of vertigo and were diagnosed with BPPV via a positive Dix Hallpike test. Patients were randomnly placed
in three groups of 30 each. Patients in Group A were treated with Epleys manoeuvre alone, in Group B were treated
with Epleys Manouvre followed by oral Betahistine and patients in Group C were treated with Betahistine alone. All the
patients were followed up after 1 week and 4 weeks following treatment. In our study we found that patients responded
better when they were treated with Epleys Manouvre with Betahistine with less relapse and recurrence. Treatment
with Epleys manouvre resulted in early improvement of symptoms. It was found in our study that Betahistine as a sole
modality of treatment of vertigo in BPPV can be preferred in patients who are unfit to undergo canal repositioning
manouvres.
Keywords: benign paroxysmal positional vertigo, betahistine, dizziness.
1
Senior Resident, Department of Otolaryngology, GGS Medical College, Faridkot
2
Associate Professor, Department of Otolaryngology, Bangalore Medical College and Research Institute
Institution: Bangalore Medical College and Research Institute
Send correspondence to:
Japneet Kaur MD
H.I.G 202 Sector 71, Mohali, Punjab 160071, India E-mail: drjapneetkaur@gmail.com
Paper submitted to the ITJ-EM (Editorial Manager System) on February 01, 2017; and accepted on March 29, 2017.
3. Subjects with known cerebral vascular disease like All the patients had DHI score in the range of 32-56,
carotid stenosis suggestive of moderate vertigo (Graph 2). It was observed
that at the end of four weeks, there was significant change
4. Subjects with a known history of Meniere’s disease. in the pretreatment and post treatment DHI scores in the
5. Subjects with h/o cardiac complaints three groups (p < 0.001). There was no worsening of the
vertigo observed in the groups during the study period. In
6. Subjects with vertigo due to central causes. the Epleys with Betahistine group 1 patient did not improve
RESULTS with treatment at the end of 1 week. In the Betahistine only
group 2 patients did not respond to treatment at 1 week
The age of the patients included in this study and 1 patient did respond at 4 weeks and was termed
ranged from 20 to 60 years. The sample population as non-responder. 1 patient had recurrence of symptoms
was gender matched. All the 90 patients had sudden at 4 weeks after initial improvement and was termed as
onset of the symptoms of vertigo. Amongst the study relapse. In the Epleys only group 1 patient was a non-
population 47 were males and 43 were females. In the responder and 1 patient had relapse of vertigo at the end
Epleys manoeuvre with Betahistine group, 23 (76.7%) of 4 weeks.
patients had duration of vertigo less than 10 days, while
7 (23.2%) patients, had vertigo for more than 10 days. In
the Betahistine alone group, 26 (86.7%) patients had less
than 10 days of vertigo, while 3 (10%) patients had more
than 10 days of vertigo. In the Epleys alone group, 24
(80%) patients had vertigo of less than 10 days, while 6
(20%) patients had vertigo of more than 10 days. Overall,
majority of patients in both the groups had less than 10
days history of vertigo
On analysing the results from the Visual Analogue
Scale, in the Epleys alone group, the Mean pretreatment
VAS score was 7.8 ± 0.942, the mean post treatment VAS
score was 2.40 ± 1.28 at the end of 1 week and 2.17±1.28
at end of 4 weeks. This difference was statistically Graph 1. Showing comparison of means based on the VAS.
significant with a P value of 0.001. In the Epleys with
Betahistine group, the Mean pretreatment VAS score was
7.77 ± 0.90, the mean post treatment VAS score was 2.33
± 1.35 at the end of 1 week and 1.5 ± 0.63 at end of 4
weeks. This difference was statistically significant with a P
Table 1. Showing Duration of vertigo and Mean age of patients
in the study.
Duration of vertigo Epleys with Epleys alone
betahistine (n = 30) (n = 30)
< 10 days 23 24
> 10 days 7 6
Mean age of the patients ± SD 42.13 ± 13.00 41.29 ± 11.40
Graph 2. Showing comparison if means based on DHI score.
DESIGN, SETTING, AND PARTICIPANTS This is a retrospective, observational case series. Data
were collected from January 16, 2020, to February 19, 2020, at 3 designated special care
centers for COVID-19 (Main District, West Branch, and Tumor Center) of the Union Hospital of
Huazhong University of Science and Technology in Wuhan, China. The study included 214
consecutive hospitalized patients with laboratory-confirmed diagnosis of severe acute
respiratory syndrome coronavirus 2 infection.
MAIN OUTCOMES AND MEASURES Clinical data were extracted from electronic medical
records, and data of all neurologic symptoms were checked by 2 trained neurologists.
Neurologic manifestations fell into 3 categories: central nervous system manifestations
(dizziness, headache, impaired consciousness, acute cerebrovascular disease, ataxia, and
seizure), peripheral nervous system manifestations (taste impairment, smell impairment,
vision impairment, and nerve pain), and skeletal muscular injury manifestations.
RESULTS Of 214 patients (mean [SD] age, 52.7 [15.5] years; 87 men [40.7%]) with COVID-19,
126 patients (58.9%) had nonsevere infection and 88 patients (41.1%) had severe infection
according to their respiratory status. Overall, 78 patients (36.4%) had neurologic
manifestations. Compared with patients with nonsevere infection, patients with severe
infection were older, had more underlying disorders, especially hypertension, and showed
fewer typical symptoms of COVID-19, such as fever and cough. Patients with more severe
infection had neurologic manifestations, such as acute cerebrovascular diseases (5 [5.7%]
vs 1 [0.8%]), impaired consciousness (13 [14.8%] vs 3 [2.4%]), and skeletal muscle injury
(17 [19.3%] vs 6 [4.8%]).
(Reprinted) 683
© 2020 American Medical Association. All rights reserved.
I
n December 2019, many unexplained pneumonia cases oc-
curred in Wuhan, China, and rapidly spread to other parts Key Points
of China, then to Europe, North America, and Asia. This out-
Question What are neurologic manifestations of patients with
break was confirmed to be caused by a novel coronavirus coronavirus disease 2019?
(CoV).1 The novel CoV was reported to have symptoms resem-
Findings In a case series of 214 patients with coronavirus disease
bling that of severe acute respiratory syndrome CoV (SARS-
2019, neurologic symptoms were seen in 36.4% of patients and
CoV) in 2003.2 Both shared the same receptor, angiotensin-
were more common in patients with severe infection (45.5%)
converting enzyme 2 (ACE2).3 Therefore, this virus was named according to their respiratory status, which included acute
SARS-CoV-2, and in February 2020, the World Health Organi- cerebrovascular events, impaired consciousness, and muscle
zation (WHO) named the disease coronavirus disease 2019 injury.
(COVID-19). As of March 5, 2020, there were 95 333 con-
Meaning Neurologic symptoms manifest in a notable proportion
firmed cases of COVID-19 and 3282 deaths globally.4 of patients with coronavirus disease 2019.
Coronaviruses can cause multiple systemic infections or
injuries in various animals.5 The CoVs can adapt quickly and
cross the species barrier, such as with SARS-CoV and Middle was obtained from patients or an accompanying relative for
East respiratory syndrome CoV (MERS-CoV), causing epidem- patients who could not give consent. The study was per-
ics or pandemics. Infection in humans often leads to severe formed in accordance with the principles of the Declaration
clinical symptoms and high mortality.6 As for COVID-19, sev- of Helsinki. This study was approved and written informed con-
eral studies have described typical clinical manifestations in- sent was waived by the Ethics Committee of Union Hospital,
cluding fever, cough, diarrhea, and fatigue. Coronavirus dis- Tongji Medical College, Huazhong University of Science and
ease 2019 also has characteristic laboratory findings and lung Technology, Wuhan, China, on February 20, 2020, owing to
computed tomography (CT) abnormalities.7 However, to our the rapid emergence of the disease and the urgent need to
knowledge, it has not been reported that patients with collect data.
COVID-19 had any neurologic manifestations. Here, we re-
port the characteristic neurologic manifestations of SARS- Data Collection
CoV-2 infection in 78 of 214 patients with laboratory- We reviewed electronic medical records, nursing records, labo-
confirmed diagnosis of COVID-19 and treated at our hospitals, ratory findings, and radiologic examinations for all patients
which are located in the epicenter of Wuhan. with laboratory-confirmed SARS-CoV-2 infection and col-
lected data on age, sex, comorbidities (hypertension, diabe-
tes, cardiac or cerebrovascular disease, malignancy, and chronic
kidney disease), typical symptoms from onset to hospital ad-
Methods mission (fever, cough, anorexia, diarrhea, throat pain, abdomi-
Study Design and Participants nal pain), nervous system symptoms, laboratory findings, and
This retrospective, observational study was done at 3 centers CT scan (chest and head if available). Subjective symptoms
(Main District, West Branch, and Tumor Center) of Union Hos- were provided by patients who were conscious, cognitively and
pital of Huazhong University of Science and Technology mentally normal, and linguistically competent to respond to
(Wuhan, China). These 3 centers are designated hospitals as- interview. Any missing or uncertain records were collected and
signed by the government to treat patients with COVID-19. We clarified through direct communication with involved pa-
retrospectively analyzed consecutive patients from January tients, health care clinicians, and their families. We defined the
16, 2020, to February 19, 2020, who had been diagnosed degree of severity of COVID-19 (severe vs nonsevere) at the time
as having COVID-19, according to WHO interim guidance.8 A of admission using the American Thoracic Society guidelines
confirmed case of COVID-19 was defined as a positive result for community-acquired pneumonia.10
on high-throughput sequencing or real-time reverse- All neurologic manifestations were reviewed and con-
transcription polymerase chain reaction analysis of throat swab firmed by 2 trained neurologists. Major disagreement be-
specimens. Throat swab samples were collected and placed into tween 2 reviewers was resolved by consultation with a third
a collection tube containing preservation solution for the reviewer. Neurologic manifestations were categorized into 3
virus.9 A SARS-CoV-2 infection was confirmed by real-time categories: central nervous system (CNS) manifestations (diz-
reverse-transcription polymerase chain reaction assay using ziness, headache, impaired consciousness, acute cerebrovas-
a SARS-CoV-2 nucleic acid detection kit according to the manu- cular disease, ataxia, and seizure), peripheral nervous sys-
facturer’s protocol (Shanghai bio-germ Medical Technology Co). tem (PNS) manifestations (taste impairment, smell impairment,
Radiologic assessments included chest and head CT, and all vision impairment, and nerve pain), and skeletal muscular in-
laboratory testing (a complete blood cell count, blood chemi- jury manifestations. Impaired consciousness includes the
cal analysis, coagulation testing, assessment of liver and re- change of consciousness level (somnolence, stupor, and coma)
nal function testing, C-reactive protein, creatine kinase, and and consciousness content (confusion and delirium). To avoid
lactate dehydrogenase) was performed according to the clini- cross-infection during the outbreak, we had to minimize pa-
cal care needs of the patient. Two hundred fourteen hospital- tients going out for examination. Therefore, the diagnosis of
ized patients with laboratory confirmation of SARS-CoV-2 were nervous system manifestations mainly depended on the sub-
included in the analysis.9 Before enrollment, verbal consent jective symptoms of patients and the examinations available.
684 JAMA Neurology June 2020 Volume 77, Number 6 (Reprinted) jamaneurology.com
Acute cerebrovascular disease includes ischemic stroke and ce- injury (17 [19.3%] vs 6 [4.8%]; P < .001). In the severe group, 1
rebral hemorrhage diagnosed by clinical symptoms and head patient had a seizure characterized by a sudden onset of limb
CT. Seizure is based on the clinical symptoms at the time of twitching, foaming in the mouth, and loss of consciousness,
presentation. Skeletal muscle injury was defined as when a which lasted for 3 minutes.
patient had skeletal muscle pain and elevated serum creatine Apart from cerebrovascular disease and impaired con-
kinase level greater than 200 U/L (to convert to microkatals sciousness, most neurologic manifestations occurred early in
per liter, multiply by 0.0167).7 the illness (median time, 1-2 days). Of 6 patients with acute
cerebrovascular disease, 2 arrived at the emergency depart-
Statistical Analysis ment owing to sudden onset of hemiplegia but without any
For baseline data, mean and standard deviations (SD) were used typical symptoms (fever, cough, anorexia, and diarrhea) of
for normally distributed data and median and range for data COVID-19. Their lung lesions were found by an emergent lung
that were not normally distributed. Categorical variables were CT and were diagnosed as having COVID-19 by a positive SARS-
expressed as counts and percentages. Continuous variables CoV-2 nucleic acid detection in the later stage. Some patients
were compared by using the Wilcoxon rank sum test. Propor- with fever and headache were admitted to the neurology ward
tions for categorical variables were compared using the χ2 test. after initially being ruled out of COVID-19 by routine blood test
All statistical analyses were performed using R, version 3.3.0, results and a screening lung CT in the clinic. However, sev-
software (the R Foundation). The significance threshold was eral days later, they had typical COVID-19 symptoms such as
set at a 2-sided P value less than .05. cough, throat pain, lower lymphocyte count, and ground-
glass opacity appearance on lung CT. Their diagnosis of
COVID-19 was confirmed by a positive nucleic acid test and then
they were transferred to the isolation ward.
Results
Demographic and Clinical Characteristics Laboratory Findings in Patients and With Severe
A total of 214 hospitalized patients with confirmed SARS- and Nonsevere Infection
CoV-2 infection were included in the analysis. Their demo- Table 2 showed the laboratory findings in severe and nonse-
graphic and clinical characteristics were shown in Table 1. Their vere subgroups. Patients with severe infection had more in-
mean (SD) age was 52.7 (15.5) years, and 87 were men (40.7%). creased inflammatory response, including higher white blood
Of these patients, 83 (38.8%) had at least 1 of the following un- cell counts, neutrophil counts, lower lymphocyte counts, and
derlying disorders: hypertension (51 [23.8%]), diabetes (30 increased C-reactive protein levels compared with those pa-
[14.0%]), cardiac or cerebrovascular disease (15 [7.0%]), and tients with nonsevere infection (white blood cell count:
malignancy (13 [6.1%]). The most common symptoms at on- median, 5.4 × 109/L [range, 0.1-20.4] vs 4.5 × 109/L [range, 1.8-
set of illness were fever (132 [61.7%]), cough (107 [50.0%]), and 14.0]; P < .001; neutrophil: median, 3.8 × 109/L [range, 0.0-
anorexia (68 [31.8%]). Seventy-eight patients (36.4%) had ner- 18.7] vs 2.6 × 109/L [range, 0.7-11.8]; P < .001; lymphocyte
vous system manifestations: CNS (53 [24.8%]), PNS (19 [8.9%]), count: median, 0.9 × 109/L [range, 0.1-2.6] vs 1.3 × 109/L [range,
and skeletal muscle injury (23 [10.7%]). In patients with CNS 0.4-2.6]; P < .001; C-reactive protein: median, 37.1 mg/L [range,
manifestations, the most common reported symptoms were 0.1-212.0] vs 9.4 mg/L [range, 0.2-126.0]; P < .001). The pa-
dizziness (36 [16.8%]) and headache (28 [13.1%]). In patients tients with severe infection had higher D-dimer levels than
with PNS symptoms, the most common reported symptoms patients with nonsevere infection (median, 0.9 mg/L [range,
were taste impairment (12 [5.6%]) and smell impairment (11 0.1-20.0] vs 0.4 mg/L [range, 0.2-8.7]; P < .001), which was in-
[5.1%]). dicative of consumptive coagulation system. In addition, pa-
According to the American Thoracic Society guidelines tients with severe infection had multiple organ involvement,
for community-acquired pneumonia,10 88 patients (41.1%) such as serious liver (increased lactate dehydrogenase, ala-
had severe infection and 126 patients (58.9%) had nonsevere nine aminotransferase, and aspartate aminotransferase lev-
infection. The patients with severe infection were signifi- els), kidney (increased blood urea nitrogen and creatinine lev-
cantly older (mean [SD] age, 58.2 [15.0] years vs 48.9 [14.7] els), and skeletal muscle damage (increased creatinine kinase
years; P < .001) and more likely to have other underlying dis- levels).
orders (42 [47.7%] vs 41 [32.5%]; P = .03), especially hyper-
tension (32 [36.4%] vs 19 [15.1%]; P < .001), and had fewer Laboratory Findings in Patients With and Without
typical symptoms of COVID-19 such as fever (40 [45.5%] vs CNS Symptoms
92 [73%]; P < .001) and dry cough (30 [34.1%] vs 77 [61.1%]; Table 3 showed the laboratory findings of patients with and
P < .001). Moreover, nervous system manifestations were sig- without CNS symptoms. We found that patients with CNS
nificantly more common in severe infections compared with symptoms had lower lymphocyte levels, platelet counts, and
nonsevere infections (40 [45.5%] vs 38 [30.2%], P = .02). higher blood urea nitrogen levels compared with those with-
They included acute cerebrovascular disease (5 [5.7%]; 4 out CNS symptoms (lymphocyte count: median, 1.0 × 109/L
patients with ischemic stroke and 1 with cerebral hemorrhage [range, 0.1-2.3] vs 1.2 × 109/L [range, 0.2-2.6], P = .049; plate-
who died later of respiratory failure; vs 1 [0.8%]; 1 patient let count: median, 180.0 × 109/L [range, 18.0-564.0] vs 227.0
with ischemic stroke; P = .03, Figure), impaired conscious- × 109/L [range, 42.0-583.0], P = .005; blood urea nitrogen:
ness (13 [14.8%] vs 3 [2.4%]; P < .001), and skeletal muscle median, 4.5 mmol/L [range, 1.6-48.1] vs 4.1 mmol/L [range,
jamaneurology.com (Reprinted) JAMA Neurology June 2020 Volume 77, Number 6 685
No. (%)
Total Severe Nonsevere
Characteristic (N = 214) (n = 88) (n = 126) P valuea
Age, mean (SD), y 52.7 (15.5) 58.2 (15.0) 48.9 (14.7)
Age, y
<50 90 (42.1) 24 (27.3) 66 (52.4)
<.001
≥50 124 (57.9) 64 (72.7) 60 (47.6)
Sex
Female 127 (59.3) 44 (50.0) 83 (65.9)
.02
Male 87 (40.7) 44 (50.0) 43 (34.1)
Comorbidities
Any 83 (38.8) 42 (47.7) 41 (32.5) .03
Hypertension 51 (23.8) 32 (36.4) 19 (15.1) <.001
Diabetes 30 (14.0) 15 (17.0) 15 (11.9) .29
Cardiac or cerebrovascular disease 15 (7.0) 7 (8.0) 8 (6.3) .65
Malignancy 13 (6.1) 5 (5.7) 8 (6.3) .84
Chronic kidney disease 6 (2.8) 2 (2.3) 4 (3.2) .69
Typical symptoms
Fever 132 (61.7) 40 (45.5) 92 (73.0) <.001
Cough 107 (50.0) 30 (34.1) 77 (61.1) <.001
Anorexia 68 (31.8) 21 (23.9) 47 (37.3) .04
Diarrhea 41 (19.2) 13 (14.8) 28 (22.2) .17
Throat pain 31 (14.5) 10 (11.4) 21 (16.7) .28
Abdominal pain 10 (4.7) 6 (6.8) 4 (3.2) .21
Nervous system symptoms
Any 78 (36.4) 40 (45.5) 38 (30.2) .02
CNS 53 (24.8) 27 (30.7) 26 (20.6) .09
Dizziness 36 (16.8) 17 (19.3) 19 (15.1) .42
Headache 28 (13.1) 15 (17.0) 13 (10.3) .15
Impaired consciousness 16 (7.5) 13 (14.8) 3 (2.4) <.001
Acute cerebrovascular disease 6 (2.8) 5 (5.7) 1 (0.8) .03
Ataxia 1 (0.5) 1 (1.1) 0 NA
Seizure 1 (0.5) 1 (1.1) 0 NA
PNS 19 (8.9) 7 (8.0) 12 (9.5) .69
Impairment
Taste 12 (5.6) 3 (3.4) 9 (7.1) .24
Smell 11 (5.1) 3 (3.4) 8 (6.3) .34
Vision 3 (1.4) 2 (2.3) 1 (0.8) .37
Nerve pain 5 (2.3) 4 (4.5) 1 (0.8) .07
Skeletal muscle injury 23 (10.7) 17 (19.3) 6 (4.8) <.001
Onset of symptoms to hospital admission, median (range), d
CNS
Dizziness 1 (1-30) 1 (1-30) 1 (1-14) NA
Headache 1 (1-14) 1 (1-3) 3 (1-14) NA
Impaired consciousness 8 (1-25) 10 (1-25) 1 (1-3) NA
Acute cerebrovascular disease 9 (1-18) 10 (1-18) 1 (1) NA
Ataxia 2 (2) 2 (2) NA NA
Seizure 2 (2) 2 (2) NA NA
Abbreviations: CNS, central nervous
PNS
system; COVID-19, coronavirus
Impairment disease 2019; NA, not applicable;
Taste 2 (1-5) 3 (1-3) 2 (1-5) NA PNS, peripheral nervous system.
Smell 2 (1-5) 1 (1-4) 2 (1-5) NA a
P values indicate differences
Vision 2 (1-3) 3 (2-3) 1 (1) NA between patients with severe and
Nerve pain 1 (1-1) 1 (1-1) 1 (1) NA nonsevere infection, and P less than
.05 was considered statistically
Skeletal muscle injury 1 (1-11) 1 (1-11) 1 (1-6) NA
significant.
1.5-19.1], P = .04). For the severe subgroup, patients with CNS those without CNS symptoms (lymphocyte count: median, 0.7
symptoms also had lower lymphocyte levels and platelet × 109/L [range, 0.1-1.6] vs 0.9 × 109/L [range, 0.2-2.6], P = .007;
counts and higher blood urea nitrogen levels compared with platelet count: median, 169.0 × 109/L [range, 18.0-564.0] vs
686 JAMA Neurology June 2020 Volume 77, Number 6 (Reprinted) jamaneurology.com
Figure. Representative Computed Tomography (CT) Images of a Patient With Coronavirus Disease 2019
With New Onset of Ischemic Stroke
Median (range)
Total Severe Nonsevere
Laboratory finding (N = 214) (n = 88) (n = 126) P valuea
Count, ×109/L
White blood cell 4.9 (0.1-20.4) 5.4 (0.1-20.4) 4.5 (1.8-14.0) .008
Neutrophil 3.0 (0.0-18.7) 3.8 (0.0-18.7) 2.6 (0.7-11.8) <.001
Lymphocyte 1.1 (0.1-2.6) 0.9 (0.1-2.6) 1.3 (0.4-2.6) <.001 Abbreviation: COVID-19, coronavirus
Platelet 209.0 (18.0-583.0) 204.5 (18.0-576.0) 219.0 (42.0-583.0) .25 disease 2019.
C-reactive protein, mg/L 12.2 (0.1-212.0) 37.1 (0.1-212.0) 9.4 (0.4-126.0) <.001 SI conversion factor: To convert
aminotransferase levels to
D-dimer, mg/L 0.5 (0.1-20.0) 0.9 (0.1-20.0) 0.4 (0.2-8.7) <.001
microkatals per liter, multiply by
Creatine kinase, U/L 64.0 (8.8-12216.0) 83.0 (8.8-12216.0) 59.0 (19.0-1260.0) .004 0.0167; creatine kinase to microkatals
Lactate dehydrogenase, U/L 241.5 (2.2-908.0) 302.0 (2.2-880.0) 215.0 (2.5-908.0) <.001 per liter, multiply by 0.0167; lactate
dehydrogenase to microkatals per
Aminotransferase, U/L
liter, multiply by 0.0167.
Alanine 26.0 (5.0-1933.0) 32.5 (5.0-1933.0) 23.0 (6.0-261.0) .04 a
P values indicate differences
Aspartate 26.0 (8.0-8191.0) 34.0 (8.0-8191.0) 23.0 (9.0-244.0) <.001 between patients with severe and
Blood urea nitrogen, mmol/L 4.1 (1.5-48.1) 4.6 (1.5-48.1) 3.8 (1.6-13.7) <.001 nonsevere infection, and P less than
.05 was considered statistically
Creatinine, μmol/L 68.2 (35.9-9435.0) 71.6 (35.9-9435.0) 65.6 (39.4-229.1) .03
significant.
220.0 × 109/L [range, 109.0-576.0], P = .04; blood urea nitro- pared with the patients without muscle injury, patients with
gen: median, 5.0 mmol/L [range, 2.3-48.1] vs 4.4 mmol/L muscle injury had significantly higher levels of creatine ki-
[range, 1.5-19.1], P = .04). For the nonsevere subgroup, there nase (median, 400.0 U/L [range 203.0-12216.0] vs median,
were no significant differences in laboratory findings of pa- 58.5 U/L [range 8.8-212.0]; P < .001), regardless of their sever-
tients with and without CNS symptoms. ity. Meanwhile, patients with muscle injury had higher neu-
trophil counts, lower lymphocyte counts, higher C-reactive pro-
Laboratory Findings in Patients With and Without tein levels, and higher D-dimer levels. The abnormalities were
PNS Symptoms manifestations of increased inflammatory response and blood
Table 4 showed the laboratory findings of patients with and coagulation function. In addition, we found that patients with
without PNS symptoms. We found that there were no sig- muscle injury had multiorgan damage, including more seri-
nificant differences in laboratory findings of patients with ous liver (increased lactate dehydrogenase, alanine amino-
PNS and those without PNS. Similar results were also found transferase, and aspartate aminotransferase levels) and kid-
in the severe subgroup and nonsevere subgroup, respec- ney (increased blood urea nitrogen and creatinine levels)
tively. abnormalities.
For the severe group, patients with skeletal muscle injury
Laboratory Findings in Patients With and Without had decreased lymphocyte counts and more serious liver in-
Skeletal Muscle Injury jury (increased lactate dehydrogenase, alanine aminotrans-
The eTable in the Supplement shows the laboratory findings ferase, and aspartate aminotransferase levels) and kidney
of patients with and without skeletal muscle injury. Com- injury (increased creatinine levels).
jamaneurology.com (Reprinted) JAMA Neurology June 2020 Volume 77, Number 6 687
Median (range)
Total Severe Nonsevere
With CNS Without CNS With CNS Without CNS With CNS Without CNS
symptoms symptoms symptoms symptoms symptoms symptoms
Laboratory finding (n = 53) (n = 161) P value (n = 27) (n = 61) P value (n = 26) (n = 100) P value
Count, ×109/L
White blood cell 4.6 4.9 .58 5.3 5.5 .77 4.1 4.6 .40
(0.1-12.5) (1.8-20.4) (0.1-12.5) (1.9-20.4) (2.4-11.0) (1.8-14.0)
Neutrophil 2.6 3.1 .41 3.8 3.6 >.99 2.2 2.8 .11
(0.0-10.9) (0.7-18.7) (0.0-10.9) (0.7-18.7) (0.9-7.4) (0.7-11.8)
Lymphocyte 1.0 1.2 .049 0.7 0.9 .007 1.3 1.3 .49
(0.1-2.3) (0.2-2.6) (0.1-1.6) (0.2-2.6) (0.7-2.3) (0.4-2.6)
Platelet 180.0 227.0 .005 169.0 220.0 .04 188.5 232.0 .09
(18.0-564.0) (42.0-583.0) (18.0-564.0) (109.0-576.0) (110.0-548.0) (42.0-583.0)
C-reactive protein, mg/L 14.1 11.4 .31 48.6 26.1 .68 7.4 9.8 .82
(0.1-212.0) (0.1-204.5) (0.1-212.0) (0.1-204.5) (3.1-111.0) (0.4-126.0)
D-dimer, mg/L 0.5 0.5 .75 1.2 0.9 .42 0.4 0.4 .46
(0.2-9.7) (0.1-20.0) (0.2-9.7) (0.1-20.0) (0.2-6.4) (0.2-8.7)
Creatine kinase, U/L 79.0 60.5 .17 104.0 64.0 .08 52.5 59.0 .56
(8.8-12216.0) (19.0-1260.0) (8.8-12 216.0) (19.0-1214.0) (28.0-206.0) (19.0-1260.0)
Lactate dehydrogenase, 243.0 241.0 .77 334.0 299.0 .32 198.0 226.0 .14
U/L (2.2-880.0) (3.5-908.0) (2.2-880.0) (3.5-743.0) (2.5-417.0) (121.0-908.0)
Aminotransferase, U/L
Alanine 27.0 26.0 .21 35.0 31.0 .32 25.5 23.0 .68
(5.0-261.0) (6.0-1933.0) (5.0-259.0) (7.0-1933.0) (13.0-261.0) (6.0-135.0)
Aspartate 29.5 26.0 .10 35.5 34.0 .32 23.0 23.5 .56
(13.0-213.0) (8.0-8191.0) (14.0-213.0) (8.0-8191.0) (13.0-198.0) (9.0-244.0)
Blood urea nitrogen, 4.5 4.1 .04 5.0 4.4 .04 3.9 3.8 .57
mmol/L (1.6-48.1) (1.5-19.1) (2.3-48.1) (1.5-19.1) (1.6-9.4) (1.7-13.7)
Creatinine, μmol/L 71.7 66.3 .06 71.7 68.4 .25 72.0 63.4 .27
(37.1-1299.2) (35.9-9435.0) (37.1-1299.2) (35.9-9435.0) (40.3-133.6) (39.4-229.1)
Abbreviations: CNS, central nervous system; COVID-19, coronavirus disease lactate dehydrogenase to microkatals per liter, multiply by 0.0167.
2019. a
P values indicate differences between patients with and without CNS
SI conversion factor: To convert aminotransferase levels to microkatals per liter, symptoms, and P less than .05 was considered statistically significant.
multiply by 0.0167; creatine kinase to microkatals per liter, multiply by 0.0167;
688 JAMA Neurology June 2020 Volume 77, Number 6 (Reprinted) jamaneurology.com
Median (range)
Total Severe Nonsevere
With PNS Without PNS With PNS Without PNS With PNS Without PNS
symptoms symptoms symptoms symptoms symptoms symptoms
Laboratory finding (n = 19) (n = 195) P value (n = 7) (n = 81) P value (n = 12) (n = 114) P value
Count, ×109/L
White blood cell 4.8 4.9 .74 4.5 5.6 .11 4.9 4.4 .27
(2.8-7.5) (0.1-20.4) (3.1-6.8) (0.1-20.4) (2.8-7.5) (1.8-14.0)
Neutrophil 2.8 3.0 .74 2.6 4.1 .10 2.9 2.5 .21
(1.5-5.4) (0.0-18.7) (1.5-5.3) (0.0-18.7) (1.9-5.4) (0.7-11.8)
Lymphocyte 1.2 1.1 .43 1.2 0.9 .26 1.2 1.3 .92
(0.6-2.6) (0.1-2.6) (0.6-1.6) (0.1-2.6) (0.7-2.6) (0.4-2.4)
Platelet 204.0 213.0 .56 204.0 205.0 .56 214.5 219.0 .81
(111.0-305.0) (18.0-583.0) (111.0-245.0) (18.0-576.0) (155.0-305.0) (42.0-583.0)
C-reactive protein, 12.0 12.3 .45 7.5 43.7 .13 13.0 8.8 .60
mg/L (3.1-81.0) (0.1-212.0) (3.1-76.4) (0.1-212.0) (3.1-81.0) (0.4-126.0)
D-dimer, mg/L 0.4 0.5 .40 0.5 1.3 .27 0.4 0.4 .99
(0.2-9.5) (0.1-20.0) (0.2-9.5) (0.1-20.0) (0.2-4.5) (0.2-8.7)
Creatine kinase, U/L 67.0 64.0 .41 105.0 83.0 .76 66.0 57.5 .29
(32.0-1214.0) (8.8-12216.0) (32.0-1214.0) (8.8-12216.0) (42.0-171.0) (19.0-1260.0)
Lactate dehydrogenase, 205.0 242.0 .28 170.0 309.0 .05 254.0 215.0 .67
U/L (2.5-517.0) (2.2-908.0) (46.0-517.0) (2.2-880.0) (2.5-481.0) (2.9-908.0)
Aminotransferase, U/L
Alanine 26.0 27.0 .70 19.0 35.0 .23 26.0 23.0 .56
(5.0-116.0) (6.0-1933.0) (5.0-80.0) (8.0-1933.0) (8.0-116.0) (6.0-261.0)
Aspartate 22.0 27.0 .29 22.0 35.5 .13 22.0 23.5 >.99
(8.0-115.0) (9.0-8191.0) (8.0-53.0) (12.0-8191.0) (14.0-115.0) (9.0-244.0)
Blood urea nitrogen, 4.1 4.1 .76 4.2 4.7 .96 3.7 3.9 .66
mmol/L (1.6-8.8) (1.5-48.1) (3.5-8.8) (1.5-48.1) (1.6-5.3) (1.7-13.7)
Creatinine, μmol/L 62.5 68.3 .46 71.4 71.7 .72 59.9 66.6 .24
(48.1-121.4) (35.9-9435.0) (58.3-121.4) (35.9-9435.0) (48.1-77.3) (39.4-229.1)
Abbreviations: COVID-19, coronavirus disease 2019; PNS, peripheral nervous lactate dehydrogenase to microkatals per liter, multiply by 0.0167.
system. a
P values indicate differences between patients with and without PNS
SI conversion factor: To convert aminotransferase levels to microkatals per liter, symptoms, and P less than .05 was considered statistically significant.
multiply by 0.0167; creatine kinase to microkatals per liter, multiply by 0.0167;
patients with severe infection had higher D-dimer levels than cities in China, and even other countries. Second, all data were
that of patients with nonsevere infection. This may be the rea- abstracted from the electronic medical records; certain pa-
son why patients with severe infection are more likely to de- tients with neurologic symptoms might not be captured if their
velop cerebrovascular disease. neurologic manifestations were too mild, such as with taste
Consistent with the previous studies,7 muscle symptoms impairment and smell impairment. Third, because most pa-
were also common in our study. We speculate that the symp- tients were still hospitalized and information regarding clini-
tom was owing to skeletal muscle injury, as confirmed by el- cal outcomes was unavailable at the time of analysis, it was
evated creatine kinase levels. We found that patients with difficult to assess the effect of these neurologic manifesta-
muscle symptoms had higher creatine kinase and lactate de- tions on their outcome, and continued observations of the
hydrogenase levels than those without muscle symptoms. Fur- natural history of disease are needed. Fourth, during the out-
thermore, creatine kinase and lactate dehydrogenase levels in break period of COVID-19, because of the influx of many pa-
patients with severe infection were much higher than those tients infected with SARS-CoV-2, advanced neuroimaging, such
of patients with nonsevere infection. This injury could be as- as magnetic resonance imaging and diagnostic procedures such
sociated with ACE2 in skeletal muscle.15 However, SARS-CoV, as lumbar puncture and electromyography/nerve conduc-
using the same receptor, was not detected in skeletal muscle tion velocity, was purposefully avoided to reduce the risk of
by postmortem examination.16 Therefore, whether SARS- cross infection. Therefore, in our study, most of the symp-
CoV-2 infects skeletal muscle cells by binding with ACE2 needs toms were a patient’s subjective descriptions. We could not dis-
to be further studied. One other reason was the infection- tinguish whether these neurologic manifestations are caused
mediated harmful immune response that caused the nervous by the virus directly or by the pulmonary disease or other or-
system abnormalities. Significantly elevated proinflamma- gan damage indirectly.
tory cytokines in serum may cause skeletal muscle damage.
Limitations
This study has several limitations. First, only 214 patients were
Conclusions
studied, which could cause biases in clinical observation. It In conclusion, SARS-CoV-2 may infect nervous system and skel-
would be better to include more patients from Wuhan, other etal muscle as well as the respiratory tract. In those with
jamaneurology.com (Reprinted) JAMA Neurology June 2020 Volume 77, Number 6 689
severe infection, neurologic involvement is greater, which in- severe COVID-19, rapid clinical deterioration or worsening could
cludes acute cerebrovascular diseases, impaired conscious- be associated with a neurologic event such as stroke, which
ness, and skeletal muscle injury. Their clinical conditions may would contribute to its high mortality rate. Moreover, during the
worsen, and patients may die sooner. This study may offer im- epidemic period of COVID-19, when seeing patients with these
portant new clinical information on COVID-19 that would help neurologic manifestations, clinicians should consider SARS-
clinicians raise awareness of its involvement of neurologic mani- CoV-2 infection as a differential diagnosis to avoid delayed di-
festations. It is especially meaningful to learn that for those with agnosis or misdiagnosis and prevention of transmission.
ARTICLE INFORMATION Diseases Pilot Project of Clinical Collaboration with guidance. January 2020. Accessed February 5,
Accepted for Publication: March 26, 2020. Chinese and Western Medicine 2020. https://www.who.int/internal-publications-
(SATCM-20180339). detail/clinical-management-of-severe-acute-
Published Online: April 10, 2020. respiratory-infection-when-novel-coronavirus-
doi:10.1001/jamaneurol.2020.1127 Role of the Funder/Sponsor: The funding
sourceshad no role in the design and conduct of the (ncov)-infection-is-suspected
Author Affiliations: Department of Neurology, study; collection, management, analysis, and 9. Huang C, Wang Y, Li X, et al. Clinical features of
Union Hospital, Tongji Medical College, Huazhong interpretation of the data; preparation, review, or patients infected with 2019 novel coronavirus in
University of Science and Technology, Wuhan, approval of the manuscript; and decision to submit Wuhan, China. Lancet. 2020;395(10223):497-506.
China (Mao, Jin, M. Wang, Chen, He, Hong, Zhou, Li, the manuscript for publication. doi:10.1016/S0140-6736(20)30183-5
B. Hu); Department of Hematology, Union Hospital,
Tongji Medical College, Huazhong University of 10. Metlay JP, Waterer GW, Long AC, et al.
REFERENCES Diagnosis and treatment of adults with
Science and Technology, Wuhan, China (Y. Hu);
Department of Epidemiology and Biostatistics, Key 1. Zhu N, Zhang D, Wang W, et al; China Novel community-acquired pneumonia: an official clinical
Laboratory for Environment and Health, School of Coronavirus Investigating and Research Team. practice guideline of the American Thoracic Society
Public Health, Tongji Medical College, Huazhong A novel coronavirus from patients with pneumonia and Infectious Disease Society of America. Am J
University of Science and Technology, Wuhan, in China. N Engl J Med. 2020;382(8):727-733. doi: Respir Crit Care Med. 2019;200(7):e45-e67.
China (Chang, Miao); Neurovascular Division, 10.1056/NEJMoa2001017 doi:10.1164/rccm.201908-1581ST
Department of Neurology, Barrow Neurological 2. Zhou P, Yang XL, Wang XG, et al. A pneumonia 11. Hamming I, Timens W, Bulthuis ML, Lely AT,
Institute, Saint Joseph’s Hospital and Medical outbreak associated with a new coronavirus of Navis G, van Goor H. Tissue distribution of ACE2
Center, Phoenix, Arizona (D. Wang). probable bat origin. Nature. 2020;579(7798):270- protein, the functional receptor for SARS
Author Contributions: Dr B. Hu had full access to 273. doi:10.1038/s41586-020-2012-7 coronavirus: a first step in understanding SARS
all of the data in the study and takes responsibility 3. Zhao Y, Zhao Z, Wang Y, Zhou Y, Ma Y, Zuo W. pathogenesis. J Pathol. 2004;203(2):631-637.
for the integrity of the data and the accuracy of the Single-cell RNA expression profiling of ACE2, the doi:10.1002/path.1570
data analysis. Drs Mao, Jin, M. Wang, Y. Hu, Chen, putative receptor of Wuhan 2019-nCov. bioRxiv. 12. National Health Commission of the People′s
He, and Chang contributed equally and share first 2020. doi:10.1101/2020.01.26.919985 Republic of China. Diagnosis and treatment of the
authorship. 4. World Health Organization. Coronavirus disease novel coronavirus pneumonia (Trial version 7) [D].
Concept and design: Mao, Jin, Y. Hu, He, Miao, 2019 (COVID-19) situation report-45. Accessed Published 2020. Accessed March 3, 2020. http://
B. Hu. March 5, 2020. https://www.who.int/docs/default- www.nhc.gov.cn/yzygj/s7653p/202003/
Acquisition, analysis, or interpretation of data: source/coronaviruse/situation-reports/ 46c9294a7dfe4cef80dc7f5912eb1989/files/
Mao, Jin, M. Wang, Chen, Chang, Hong, Zhou, 20200305-sitrep-45-covid-19.pdf?sfvrsn= ce3e6945832a438eaae415350a8ce964.pdf
D. Wang, Li. ed2ba78b_2 13. Marc D, Dominique JF, Élodie B, et al. Human
Drafting of the manuscript: Mao, Jin, M. Wang, Coronavirus: Respiratory Pathogens Revisited as
Chen, Chang, Zhou, D. Wang, B. Hu. 5. Su S, Wong G, Shi W, et al. Epidemiology, genetic
recombination, and pathogenesis of coronaviruses. Infectious Neuroinvasive, Neurotropic, and
Critical revision of the manuscript for important Neurovirulent Agents. CRC Press; 2013:93-122.
intellectual content: Y. Hu, He, Hong, D. Wang, Miao, Trends Microbiol. 2016;24(6):490-502. doi:10.1016/
Li, B. Hu. j.tim.2016.03.003 14. Arabi YM, Balkhy HH, Hayden FG, et al. Middle
Statistical analysis: Chang. 6. World Health Organization. Middle East East Respiratory Syndrome. N Engl J Med. 2017;376
Obtained funding: Mao, B. Hu. respiratory syndrome coronavirus (MERS-CoV). (6):584-594. doi:10.1056/NEJMsr1408795
Administrative, technical, or material support: Mao, Published November 2019. Accessed January 19, 15. Cabello-Verrugio C, Morales MG, Rivera JC,
Jin, M. Wang, Chen, He, Zhou, D. Wang, Miao, 2020. https://www.who.int/emergencies/mers- Cabrera D, Simon F. Renin-angiotensin system: an
Li, B. Hu. cov/en/ old player with novel functions in skeletal muscle.
Supervision: Y. Hu, B. Hu. 7. Guan WJ, Ni ZY, Hu Y, et al; China Medical Med Res Rev. 2015;35(3):437-463. doi:10.1002/
Conflict of Interest Disclosures: None reported. Treatment Expert Group for Covid-19. Clinical med.21343
Funding/Support: This work was supported by the characteristics of coronavirus disease 2019 in 16. Ding Y, He L, Zhang Q, et al. Organ distribution
National Key Research and Development Program China. N Engl J Med. 2020. doi:10.1056/ of severe acute respiratory syndrome (SARS)
of China (2018YFC1312200 to Dr B. Hu), the NEJMoa2002032 associated coronavirus (SARS-CoV) in SARS
National Natural Science Foundation of China 8. World Health Organization. Clinical management patients: implications for pathogenesis and virus
(81820108010 to Dr B. Hu, No.81974182 to Dr Mao of severe acute respiratory infection when Novel transmission pathways. J Pathol. 2004;203(2):622-
and 81671147 to Dr Jin) and Major Refractory coronavirus (nCoV) infection is suspected: interim 630. doi:10.1002/path.1560
690 JAMA Neurology June 2020 Volume 77, Number 6 (Reprinted) jamaneurology.com
RABIES
RABIES?
G Rabies atau penyakit anjing gila adalah suatu
penyakit fatal yang menyerang sistem saraf dari Masa tunas rabies pada
semua jenis hewan berdarah panas dan manusia. hewan timbul sekitar 3 – 6
Bersifat zoonosa artinya menular dari hewan ke
manusia minggu
Manusia masa tunas umumnya
HEWAN YANG 2 – 8 minggu.
MENYEBABKAN
Masa tunas juga
RABIES ?
bervariasidapat lebih singkat
Rabies disebabkan oleh virus yang umumnya atau lebih
ditularkan melalui air liur hewan pemakan
Khairani Aulia
penyakit ini.
Penyakit yang disebabkan oleh
Kurniawan Hidayat BAGAIMANA CARA PENULARAN virus tidak ada obatnya. Oleh
Desi Asi Sukara RABIES?
karena itu hewan atau manusia
Terdapat pada air liur hewan penderita yang terserang penyakit ini pada
rabies, sehingga penularan rabies pada umumnya selalu diakhiri dengan
manusia atau hewan lain juga melalui gigitan
kematian
hewan penderita rabies atau luka yang
terkena air liur manusia atau hewan
KEPANITERAAN KLINIK penderita rabies.
BAGIAN NEUROLOGI
RSU BANGLI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR
TAHUN 2020
APA TANDA DAN GEJALA APA TANDA DAN GEJALA Untuk hewan yang menggigit harus
RABIES PADA HEWAN? RABIES PADA MANUSIA? segera ditangkap hidup-hidup, bila
mungkin kemudian dilaporkan ke
a. Permulaan tampak perubahan tabiat, Pada manusia stadium permulaan Dinas Peternakan Setempat untuk
b. Bersembunyidi tempat gelap dan diketahui biasanya didahului sakit, mual, dilakukan observasi selama 14 hari.