Anda di halaman 1dari 128

Kumpulan File Ujian Stase Neurologi

Periode 15 Juni-27 Juni 2020

Disusun oleh

Desi Asi Su’ara

Khairani Auliyya

Moch Azwar Andipawata

Kurniawan Hidayat

Pembimbing

dr. Ni Made Yuli Artini, M.Biomed. Sp. S


dr. Luh Kadek Trisna Lestari, M.Biomed, Sp.S

Dalam Rangka Menjalani Kepaniteraan Klinik


SMF Neurologi Rumah Sakit Umum Daerah Bangli
Universitas Islam Al-Azhar Mataram
Fakultas Kedokteran
2020
Daftar Isi

Daftar Isi ......................................................................................................... i


Identitas ........................................................................................................... ii
CBD Meningitis TB ......................................................................................... 4
CBD Guillian Barre Syndrome ........................................................................ 15
CBD Intracerebral Hemorage .......................................................................... 50
CBD Miastenia Gravis ..................................................................................... 76
JR Management of Benign Paroxysmal Positional Vertigo:
A Comparative Study between Epleys Manouvre and
Betahistine
......................................................................................................................... 114
JR Neurologic Manifestations of Hospitalized Patients
With Coronavirus Disease 2019 in Wuhan, China
.......................................................................................................................... 119

Leaflet Rabies .................................................................................................. 127


Kurniawan Hidayat Desi asi suk'ara.

Tolouwi, 13 Juni 1996 Bima, 09 Desember 1996

Tolouwi-Monta-Bima-NTB Kek. Melayu kec. Asa kota Bima.

dhidayat241@gmail.com Desyzahwan@gmail.com

085333502488 082359019597

moch. azwar andi pawata Khairani Auliya

Bima, 23 april, 1994 Aikmel, 21 Agustus 1994

Salam, Bima, jalan gajah mada Aikmel, Lombok timur, NTB

azwarandi23@gmail.com aullyak78.ka@gmail.com

085338789791 081907823846
Case Base Discussion
Meningitis TB

Pembimbing:
dr. Ni Made Yuli Artini, M.Biomed. Sp. S

Di susun oleh:
Desi Asi Suk’ara (015.06.0014)

Dalam Rangka Menjalani Kepaniteraan Klinik


SMF Neurologi Rumah Sakit Umum Daerah Bangli
Universitas Islam Al-Azhar Mataram
Fakultas Kedokteran
2020

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
rahmat dan hidayah-Nya laporan Case Base Discussion ini dapat diselesaikan dengan
sebagaimana mestinya.

Di dalam laporan ini penulis memaparkan materi melalui daring (online)


berkaitan dengan dengan diagnosis pasien tersebut yaitu “Meningitis TB”

Kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah memberikan


dukungan serta bantuan hingga terselesaikannya laporan ini. Kami mohon maaf jika
dalam laporan ini terdapat banyak kekurangan dalam menggali semua aspek yang
menyangkut segala hal yang berhubungan dengan laporan kasus ini. Oleh karena itu
kami mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun sehingga dapat
membantu kami untuk dapat lebih baik lagi kedepannya.

Mataram, Juni 2020

Penyusun

2
BAB I

PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

Tuberkulosis (TB) merupakan infeksi global dengan prevalensi tinggi yang


disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Sepertiga dari populasi dunia
terinfeksi dengan tuberkulosis laten, dengan risiko 10% mengalami bentuk aktif dari
tuberkulosis sepanjang hidupnya. Diperkirakan 9,6 juta kasus tuberkulosis terjadi di seluruh
dunia sepanjang tahun 2014, dengan angka kematian mencapai 1,5 juta jiwa. Indonesia
merupakan negara dengan jumlah kasus tuberkulosis tertinggi kedua setelah India dengan
jumlah kasus 10% dari total kasus di seluruh dunia. 2 Data dari World Health Organization
(WHO) menunjukkan angka insidensi tuberkulosis di Indonesia pada tahun 2015 mencapai
395 kasus per 100.000 jiwa. Dari jumlah tersebut, sebanyak 10% kasus merupakan infeksi
oportunistik dari infeksi HIV. Tingkat kematian akibat penyakit ini sekitar 40 dari 100.000
jiwa (WHO, 2016)

Meningitis adalah suatu inflamasi pada membran araknoid, piamater, dan cairan
serebrospinal. Proses inflamasi terjadi dan menyebar melalui ruangan subaraknoid di
sekeliling otak dan medula spinalis serta ventrikel. Meningitis tuberkulosis merupakan
bentuk tuberkulosis ekstra paru dengan adanya kelainan neurologis yang mencapai 70- 80%
dari seluruh kasus tuberkulosis neurologis, 5,2% dari seluruh tuberkulosis ekstrapulmoner
dan 0,7% dari seluruh kasus tuberkulosis. Walaupun telah diberikan terapi yang adekuat,
penyakit ini masih memiliki tingkat mortalitas yang tinggi hingga mencapai 50%, bahkan di
negara maju seperti Amerika Serikat sekalipun. Umumnya meningitis tuberkulosis
berhubungan erat dengan koinfeksi HIV (Chin JH, 2014).

Pasien dengan meningitis tuberkulosis akan mengalami tanda dan gejala meningitis
yang khas, seperti nyeri kepala, demam dan kaku kuduk, walaupun tanda rangsang
meningeal mungkin tidak ditemukan pada tahap awal penyakit. Durasi gejala sebelum
ditemukannya tanda meningeal bervariasi dari beberapa hari hingga beberapa bulan. Namun
pada beberapa kondisi, meningitis tuberkulosis dapat muncul sebagai penyakit yang berat,
dengan penurunan kesadaran, palsi nervus kranial, parese dan kejang. Beratnya gejala dan
risiko kematian yang tinggi akibat meningitis tuberkulosis mendorong perlunya
pengetahuan mengenai tatalaksana yang adekuat. Oleh karena itu, dalam artikel ini kami
akan memaparkan penanganan meningitis tuberkulosis yang tepat (Chin JH, 2014).

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. DEFINISI
Meningitis tuberkulosis merupakan peradangan pada selaput otak (meningen) yang
disebabkan oleh bakteri mycobacterium tuberkulosis. Penyakit ini merupakan salah satu
bentuk komplikasi yang sering muncul pada penyakit tuberkulosis paru. Infeksi primer
muncul di paru-paru dan dapat menyebar secara limfogen dan hematogen ke berbagai daerah
tubuh di luar paru, seperti perikardium, usus, kulit, tulang, sendi, dan selaput otak (Whiteley,
2014).

2. EPIDEMIOLOGI
Meningitis TB merupakan salah satu komplikasi TB primer. Morbiditas dan mortalitas
penyakit ini tinggi dan prognosisnya buruk. Komplikasi meningitis TB terjadi pada setiap
300 penderita TB primer yang tidak diobati. Meningitis TB menghasilkan tingkat tertinggi
morbiditas dan mortalitas dari semua bentuk tuberkulosis (WHO, 2012). Hal ini menjadi
perhatian khusus pada anak-anak, persentasenya hingga 33% dari semua kasus TB. Dari
keselamatan kasus meningitis tuberkulosis, 50% mengalami kematian, dan penderita yang
selamat bisa mengalami gejala sisa neurologis substansial termasuk keterlambatan
perkembangan pada anak-anak, kejang, hidrosefalus, dan kelumpuhan saraf kranial
(Ruslami, 2013).
3. ETIOLOGI
Pada laporan kasus meningitis tuberkulosis, Mycobacterium tuberculosis merupakan
faktor penyebab paling utama dalam terjadinya penyakit meningitis. Pada kasus meningitis
secara umum disebabkan oleh mikroorganisme, seperti virus, bakteri, jamur, atau parasit
yang menyebar dalam darah ke cairan otak
Kategori Agen
Bakteri • Pneumococcus
• Meningococcus
• Haemophilus Influenza
• Staphylococcus
• Escherichia Coli
• Salmonella
• Mycobacterium Tuberculosis
Virus Enterovirus

4
Jamur • Cryptococcus Neoformans
• Coccidioides Immitris

4. KLASIFIKASI
Menurut British Medical Research Council, meningitis tuberkulosis dapat diklasifikasikan
menjadi tiga stage yang terdiri atas :

Stage I Pasien sadar penuh, rasional dan tidak memiliki defisit


neurologis.
Stage II Pasien confused atau memiliki defisit neurologis seperti
kelumpuhan saraf kranialis atau hemiparesis.
Stage III Pasien koma atau stupor dengan defisit neurologis yang berat
Sumber : emedicine.medscpae.com

5. MANIFESTASI KLINIS
Gejala klinis meningitis TB berbeda untuk masing-masing penderita. Faktor-faktor
yang bertanggung jawab terhadap gejala klinis erat kaitannya dengan perubahan patologi
yang ditemukan. Tanda dan gejala klinis meningitis TB muncul perlahan-lahan dalam waktu
beberapa minggu. Keluhan pertama biasanya nyeri kepala. Rasa ini dapat menjalar ke
tengkuk dan punggung. Tengkuk menjadi kaku dan Kaku kuduk disebabkan oleh
mengejangnya otot-otot ekstensor tengkuk. Bila hebat, terjadi opistotonus, yaitu tengkuk
kaku dalam sikap kepala tertengadah dan punggung dalam sikap hiperekstensi. Kesadaran
menurun, tanda Kernig’s dan Brudzinsky positif. Gejala pada bayi yang terkena meningitis,
biasanya menjadi sangat rewel muncul bercak pada kulit tangisan lebih keras dan nadanya
tinggi, demam ringan, badan terasa kaku, dan terjadi gangguan kesadaran seperti tangannya
membuat gerakan tidak beraturan (Anderson, 2010).

Gejala klinis meningitis tuberkulosis dapat dibagi dalam 3 (tiga) stadium (Anderson, 2010)
:

5
Stadium I Prodormal Selama 2-3 minggu dengan gejala ringan dan nampak
seperti gejala infeksi biasa. Pada anak-anak, permulaan penyakit
bersifat subakut, sering tanpa demam, muntah-muntah, nafsu makan
berkurang, murung, berat badan menurun, mudah tersinggung,
cengeng, opstipasi, pola tidur terganggu dan gangguan keadaran
berupa apatis.
Pada orang dewasa terdapat panas yang hilang timbul, nyeri kepala,
konstipasi, kurang nafsu makan, fotofobia, nyeri punggung, halusinasi,
dan sangat gelisah.
Stadium II Transisi Berlangsung selama 1-3 minggu dengan gejala penyakit lebih
berat dimana penderita mengalami nyeri kepala yang hebat dan
kadangkadang disertai kejang terutama pada bayi dan anak-anak.
Tandatanda rangsangan meningeal mulai nyata, seluruh tubuh dapat
menjadi kaku, terdapat tanda-tanda peningkatan intrakranial,
ubunubun menonjol dan muntah yang lebih hebat.
Stadium III Terminal Ditandai dengan kelumpuhan dan gangguan kesadaran
sampai koma. Pada stadium ini penderita dapat meninggal dunia dalam
waktu tiga minggu.

6. DIAGNOSIS
Anamnesis
Berdasarkan anamnesis, terdapat defisit neurologis berupa penurunan kesadaran
mendadak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Sebelumnya pasien mengeluhkan sakit kepala
dan demam. Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran somnolen dan temperatur tubuh
38,9 o C, serta ditemukan kaku kuduk, refleks patologis (Babinsky) di kedua tungkai dan
peningkatan refleks fisiologis. Data dari anamnesis dan pemeriksaan fisik di atas telah
memenuhi trias meningitis, yaitu nyeri kepala, demam dan kaku kuduk. Selain itu, pasien
memiliki riwayat batuk 1 tahun, demam, penurunan berat badan dan keringat malam.
Pemeriksaan tanda vital dan pemeriksaan fisik menyeluruh

Pemeriksaan fisik

1. Pemeriksaan tanda vital dan pemeriksaan fisik menyeluruh


2. Pemeriksaan neurologis: pemeriksaan GCS, pemeriksaan kaku kuduk
3. pemeriksaan saraf kranialis (kelumpuhan saraf kranialis II, III, IV, VI, VII,VIII),
kekuatan motorik (hemiparesis), pemeriksaan funduskopi (tuberkel pada khoroid
dan papil edema sebagai tanda peningkatan tekanan intrakranial).

6
.Suspek tuberkulosis atau presumtif tuberkulosis adalah orang dengan gejala atau tanda
sugestif tuberkulosis, yaitu batuk produktif lebih dari dua minggu yang disertai gejala
pernapasan seperti sesak napas, nyeri dada, batuk darah dan/atau gejala tambahan seperti
menurunnya nafsu makan, menurun berat badan, keringat malam dan mudah lelah. Sebagian
besar pasien meningitis tuberkulosis memiliki riwayat sakit kepala dengan keluhan tidak
khas selama 2-8 minggu sebelum timbulnya gejala iritasi meningeal. Gejala nonspesifik ini
meliputi malaise, anoreksia, rasa lelah, demam, mialgia dan sakit kepala. Pada dewasa
biasanya terdapat gejala klasik meningitis, yaitu demam, sakit kepala dan kaku kuduk yang
disertai defisit neurologis fokal, perubahan perilaku dan penurunan kesadaran. Riwayat
tuberkulosis hanya didapatkan pada sekitar 10% pasien. Foto toraks yang menunjukkan
tuberkulosis paru ditemukan pada 30-50% dari seluruh pasien.
Pemeriksaan Penunjang
1. Foto toraks
menunjukkan tuberkulosis paru ditemukan pada 30-50% dari seluruh pasien.
Pemeriksaan rontgen juga mendukung kecurigaan ini dengan kesan tuberkulosis paru
lesi luas. Definisi kasus tuberkulosis diagnosis klinis adalah kasus tuberkulosis yang
tidak dapat memenuhi kriteria konfirmasi bakteriologis walau telah diupayakan
maksimal tetapi ditegakkan diagnosis tuberkulosis aktif oleh klinisi yang memutuskan
untuk memberikan pengobatan tuberkulosis berdasarkan foto toraks abnormal, histologi
sugestif dan kasus ekstraparu.
2. CT Scan
Pemeriksaan radiologi berupa CT Scan tidak selalu spesifik menggambarkan adanya
kelainan pada meningitis tuberkulosis. Gambaran obliterasi sisterna basalis oleh eksudat
isodens atau hiperdens ringan sebagai temuan yang paling umum ditemukan.
3. MRI
Gambaran yang lebih baik dapat ditemukan dari pemeriksaan MRI, khususnya MRI
dengan kontras yang menunjukkan penebalan leptomeningeal dan eksudat sisterna.
Manifestasi lainnya yang dapat ditemukan pada gambaran radiologi meningitis
tuberkulosis adalah komplikasi yang mungkin terjadi, yaitu hidrosefalus, vaskulitis,
infark dan neuropati kranial.
4. pewarnaan dan kultur cairan serebrospinal (CSS)
Diagnosis pasti meningitis ditegakkan melalui analisis, pewarnaan dan kultur cairan
serebrospinal (CSS). Pada prinsipnya, prosedur pengambilan sampel cairan
serebrospinal melalui pungsi lumbal sebaiknya dikerjakan pada setiap kecurigaan
meningitis dan/atau ensefalitis.

7
Kelainan CSS klasik pada meningitis tuberkulosis adalah sebagai berikut:
o peningkatan tekanan lumbal;
o peningkatan jumlah hitung leukosit antara 10- 500 sel/mm3 dengan dominan
limfosit;
o peningkatan konsentrasi protein berkisar 100- 500 mg/dl;
o penurunan konsentrasi glukosa (konsentrasi glukosa rata-rata sekitar 40 mg/dl);
o kultur positif Mycobacterium tuberculosis pada 75% pasien setelah 3-6 minggu
biakan. Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan dengan teknik
PCR dan diagnostik molekular lainnya. Sensitivitas teknik PCR untuk deteksi DNA
Mycobacterium tuberculosis dalam CSS sekitar 54%, namun hasil positif-palsu
juga dapat terjadi sekitar 3-20% kasus.
7. PENATALAKSANAAN
Tuberkulosis paru dan ekstraparu ditatalaksana dengan regimen antituberkulosis yang
sama, yaitu rifampisin, isoniazid, pirazinamid, etambutol selama 2 bulan fase intensif dan
rifampisin, isoniazid selama 4 bulan fase lanjutan (2RHZE/4RH). Para ahli
merekomendasikan pemberian terapi obat anti tuberkulosis pada meningitis tuberkulosis
selama minimal 9 hingga 12 bulan. WHO dan PDPI mengklasifikasikan meningitis
tuberkulosis (tuberkulosis ekstra paru, kasus berat) ke dalam kategori I terapi tuberkulosis.
Pemberian rifampisin dan isoniazid pada fase lanjutan dalam kasus meningitis tuberkulosis
umumnya diperpanjang hingga 7 atau 10 bulan. Namun, pada pasien ini diberikan terapi
OAT awal berupa RHZES. Penambahan streptomisin merupakan tatalaksana tepat karena
tuberkulosis dengan kondisi berat atau mengancam nyawa dapat diberikan streptomisin.
Pada dewasa, dosis obat harian OAT adalah isoniazid 5 (4-6) mg/kgBB, maksimum
300 mg/hari; rifampisin 10 (8–12) mg/kgBB, maksimum 600 mg/hari; pirazinamid 25 (20–
30) mg/kgBB, maksimum 2.000 mg/hari; etambutol 15 (15–20) mg/kgBB, maksimum 1.600
mg/hari; streptomisin 12-18 mg/kgBB. Dosis kortikosteroid antara lain deksametason 0,4
mg/kgBB atau prednison 2,5 mg/kgBB.
Pada anak, dosis obat harian OAT adalah isoniazid 10 (7–15) mg/kgBB, maksimum
300 mg/hari; rifampisin 15 (10–20) mg/kgBB, maksimum 600 mg/hari; pirazinamid 35 (30–
40) mg/kgBB, maksimum 2.000 mg/hari; etambutol 20 (15–25) mg/kgBB, maksimum 1.000
mg/hari.
Di samping tuberkulostatik dapat diberikan rangkaian pengobatan dengan
deksametason untuk menghambat edema serebri dan timbulnya perlekatan antara araknoid
dan otak (Levin, 2009).
8
Steroid diberikan untuk:
o Menghambat reaksi inflamasi
o Mencegah komplikasi infeksi
o Menurunkan edema serebri
o Mencegah perlekatan
o Mencegah arteritis/infark otak

Indikasi Steroid :

o Kesadaran menurun
o Defisit neurologist fokal

Dosis steroid : prednisone 2-3 mg/KgBB/hari (dosis normal), 20 mg/hari dibagi


dalam 3 dosis selama 2-4 minggu kemudian diteruskan dengan dosis 1
mg/KgBB/hari selama 1-2 minggu. Deksametason IV (terutama bila ada edema
otak) dengan dosis 10 mg setiap 4-6 jam, bila membaik dapat diturunkan sampai
4 mg setiap 6 jam

.PENCEGAHAN

Pencegahan Pencegahan juga dapat dilakukan dengan cara mengurangi kontak


langsung dengan penderita dan mengurangi tingkat kepadatan dilingkungan perumahan dan
di lingkungan seperti barak, sekolah, tenda dan kapal. Meningitis juga dapat dicegah dengan
cara meningkatkan personal hygiene seperti mencuci tangan dengan bersih sebelum makan
dan setelah dari toilet. Meningitis TB dapat dicegah dengan meningkatkan sistem kekebalan
tubuh dengan cara memenuhi kebutuhan gizi dan pemberian imunisasi Bacillus Calmet-
Guerin (BCG). Aktifitas klinik yang mencegah kerusakan lanjut atau mengurangi
komplikasi setelah penyakit berhenti. Pada tingkat pencegahan ini bertujuan untuk
menurunkan ke lemahan dan kecacatan akibat meningitis, dan membantu penderita untuk
melakukan penyesuaian terhadap kondisi-kondisi yang tidak diobati lagi, dan mengurangi
kemungkinan untuk mengalami dampak neurologis jangka panjang misalnya tuli atau
ketidak mampuan untuk belajar. Fisioterapi dan rehabilitasi juga diberikan untuk mencegah
dan mengurangi cacat (Thomas, 2011).
8. PROGNOSIS
Prognosis yang buruk terjadi pada bayi, lanjut usia, pasien malnutrisi, dan pasien
dengan penyakit yang menular atau dengan peningkatan tekanan intrakranial (Thomas,
2011).

9
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Meningitis tuberkulosis merupakan bentuk tuberkulosis ekstraparu neurologis
tersering yang mengancam jiwa. Penegakkan diagnosis dapat dilakukan dengan adanya trias
meningitis dan kecurigaan tuberkulosis secara klinis. Pemberian terapi harus segera dan
tepat untuk mengurangi tingkat mortalitas. Terapi berupa obat anti tuberkulosis, dan
kortikosteroid untuk mengurangi inflamasi dalam subaraknoid.

10
DAFTAR PUSTAKA

Anderson, N.E., 2010. Neurological and systemic complications of tuberculous


meningitis and its treatment at Auckland City Hospital. New Zealand.Journal
of Clinical Neuroscience, [Online]. 17, 1114-1118. Available
at:http://www.jocn-journal.com/article/S0967-5868%2810%2900136-0/pdf
Chin JH. Tuberculous Meningitis: Diagnostic and theurapeutic challenges. Neurol
Clin Prac. 2014; 4(3):199-205.
Cherian A, Thomas. 2011. Central nervous system tuberculosis. African health
science. 2011:11 (1): 116-127
Giok Pemula, Roezwir Azhary, Ety Apriliana, Paulus Dwi Mahdi. 2016.
Penatalaksanaan yang Tepat pada Meningitis Tuberkulosis. J Medula
Unila.Volume 6 Nomor 1.
World Health Organization. Global tuberculosis report 2016. USA: World Health
Organization; 2016 [disitasi tanggal 21 Oktober 2016. Tersedia dari:
http://www.who.int/tb/publications/glob al_report/en/index.html.

11
Case Base Discussion
Guillian Barre Syndrome

Pembimbing:
dr. Luh Kadek Trisna Lestari, M.Biomed, Sp.S

Di susun oleh:
Moch. Azwar Andi Pawata 12.06.0009

Dalam Rangka Menjalani Kepaniteraan Klinik Madya


SMF Neurologi Rumah Sakit Umum Daerah Bangli
Universitas Islam Al-Azhar Mataram
Fakultas Kedokteran
2020

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah Case
Based Disscussion pada stase neurologi. Dimana dalam penyusunan makalah ini bertujuan
agar Dokter Muda FK Unizar dapat memahami isi dari makalah ini sehingga dapat
bermanfaat.

Tidak lupa juga kami mengucapakan terima kasih kepada dokter yang menjadi
pembimbing saya juga teman-teman dan semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan makalah ini sehingga saya dapat menyelesaikannya dengan hasil yang
memuaskan.

Dalam penyusunan makalah ini saya menyadari bahwa masih banyak


kekurangannya sehingga saya menginginkan saran dan kritik yang membangun dalam
menyempurnakan makalah ini.

Mataram, Juni 2020

Penyusun

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Guillain Barré Syndrome (GBS) atau bisa juga disebut sebagai Acute
Inflammatory Demyelinating Polyneuropathy (AIDP) adalah suatu penyakit pada susunan
saraf yang terjadi secara akut dan menyeluruh, terutama mengenai radiks dan saraf tepi,
yang didahului oleh suatu infeksi (Bahrudin, 2013). Penyakit ini merupakan autoimun
dimana sistem imunitas tubuh menyerang sel sarafnya sendiri sehingga menimbulkan
peradangan dan kerusakan pada sel-sel saraf tepi (mielin dan akson) yang dapat
menyebabkan kelumpuhan motorik dan gangguan sensorik (Lanello, 2005).

GBS termasuk penyakit langka dan jarang terjadi hanya 1 atau 2 kasus per
100.000 populasi di dunia tiap tahunnya dan penyakit ini terjadi sepanjang tahun serta
dapat menyerang hampir semua usia dan genetik (Nyati & Nyati, 2013; Rosen, 2016) serta
insidensi pada tiap negara sangat bervariasi (van den Berg et al., 2014). Insiden
keseluruhan telah diperkirakan berkisar 0,4-2,4 kasus per

100.000 per tahun, dengan 3.500 kasus baru per tahun terjadi di Amerika Serikat (Rosen,
2016). Sementara insiden terjadinya GBS di Indonesia, pada akhir tahun 2010-2011
tercatat ada 48 kasus GBS dalam satu tahun dengan berbagai variannya. Dibandingkan
tahun sebelumnya memang terjadi peningkatan sekitar 10% (Pdpersi, 2012; Hakim, 2011).
Angka kematian dari GBS dapat meningkat sebesar 1,3 kali pada laki-laki dibandingkan
dengan perempuan. Angka morbiditas menunjukkan bahwa sekitar 15-20% dari pasien
mengalami penurunan fungsi neurologis dan sekitar 1-10% mengalami cacat permanen
(Andary et al., 2016).

Penyebab GBS masih belum diketahui pasti, tetapi diperkirakan terjadi akibat respons
autoimun terhadap sel saraf perifer yang dapat dicetuskan oleh infeksi bakteri atau virus
(Nyati & Nyati, 2013). Sebanyak 2/3 dari pasien GBS dilaporkan mengalami saluran
infeksi pernafasan atas atau saluran cerna yang selanjutnya dapat berkembang menjadi
GBS. Sebanyak 30% pasien mengalami GBS yang didahului oleh infeksi Compylobacter
jejuni dan sebanyak 10% terinfeksi Cylomegalovirus (Yuki & Hartung, 2012)

3
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


• Nama : HR
• Umur : 26 tahun
• Jenis Kelamin : Perempuan
• Status Perkawinan : Sudah menikah
• Pekerjaan : IRT
• Agama : Hindu
• Suku Bangsa : Bali
• Alamat : Br. Jehem Kaja
2.2 Anamnesis
• Keluahan utama : kedua tungkai lemah bila degerakan.
• Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke IGD RSUD Bangli diantar keluarga dengan keluhan lemah pada kedua
tungkai bawah sejak 1 hari yang lalu. Pasien mengatakan 4 hari sebelum masuk rumah
sakit rasa lemah pada kedua tungkai diawali dengan rasa kesemutan kemudian perlahan
lahan timbul rasa baal menjalar dari ujung kaki ke pangkal paha dan menjalar ke
ekstremitas atas, kesemutan yang dirasakan seperti ditusuk tusuk jarum. Kesemutan dan
baal tersebut dirasakan terus menerus, tidak membaik dengan istrahat dan saat dipijat
dengan balsam. Pasien juga mengaku 2 minggu sebelum muncul keluhan lemah pada
kedua tungkai mengalami demam, batuk, pilek dan sakit pada tenggorokan dan sekarang
keluhan membaik. Pasien saat ini tidak bisa beraktivitas dan hanya berbaring akibat rasa
lemah pada kedua tungkainya. Pasien tidak merasakan nyeri kepala, pusing berputar
putar atau kejang. Bengkak dan kemerahan pada ekstremitas disangkal pasien. Wajah
perot (-), lateralisasi (-), penurunan kesadaran (-), sesak napas (-), mual (-), muntah (-),
BAB dan BAK normal.

1
• Riwayat penyakit dahulu : sekitar 2 minggu sebelum kelemahan, kesemutan dan baal
timbul pasien mengaku demam, batuk, pilek dan sakit tenggorokan.
• Riwayat keluhan serupa : disangkal
• Riwayat DM : disangkal
• Riwayat stroke ` : disangkal
• Riwayat tekana darah tinggi : disangkal
• Riwayat batuk lama : disangkal
• Riwayat trauma : disangkal
• Riwayat operasi : disangkal
• Riwayat alergi : disangkal
• Riwayat penyakit jantung : disangkal
• Riwayat penyakit ginjal : disangkal
• Riwayat Penyakit Keluarga : Dari keluarga tidak ada yang memiliki keluhan serupa.
▪ Riwayat keluhan serupa : disangkal
▪ Riwayat DM : disangkal
▪ Riwayat stroke ` : disangkal
▪ Riwayat tekana darah tinggi : disangkal
▪ Riwayat batuk lama : disangkal
▪ Riwayat trauma : disangkal
▪ Riwayat operasi : disangkal
▪ Riwayat alergi : disangkal
▪ Riwayat penyakit jantung : disangkal
▪ Riwayat penyakit ginjal : disangkal
• Riwayat Pribadi dan Sosial :
• Pasien merupakan seorang ibu rumah tangga.
• Pasien menyangkal meminum minuman keras atau rokok secara rutin.
• Pasien menyangkal memakai obat obatan terlarang secara rutin.
• Riwayat pengobatan :
• Pasien belum mengkonsumsi obat apapun untuk keluhan saat ini.

2
2.3 Pemeriksaan Fisik
• Status internus
Kesadaran : GCS 15 (E:4, M:5, V:6)
Gizi : Baik
Tekanan darah :110/80 mmHg
Nadi : 78 x/menit
Suhu : 36,5ºC
Respirasi : 20 x/menit
Berat badaan : 45 kg
Tinggi badan : 145 cm
Saturasi O2 : 98%
• Status Psikiatrikus
Sikap : kooperatif
Perhatian : ada
Ekspresi muka : wajar
Kontak psikis : ada
• Status Generalis dan Lokalis
Kepala : Normosefali, rambut berwarna hitam distribusi merata.
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor
3mm/3mm.
Hidung : Deformitas (-), nyeri tekan (-), krepitasi (-), deviasi septum (-),
sekret (-/-).
Telinga : Normotia (+/+), nyeri tekan (-/-), nyeri tarik (-/-), sekret (-/-).
Mulut : simetris, kering (-), sianosis (-).
Tenggorokan : Trismus (-), arkus faring simetris, hiperemis (-), uvula di tengah.
Leher
Inspeksi : Tidak terdapat tanda trauma maupun massa
Palpasi : Tidak terdapat pembesaran KGB maupun kelenjar tiroid, tidak
terdapat deviasi trachea. JVP 5+2 mmH2O.

3
Toraks
➢ Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi :
Batas atas kiri : ICS II garis parasternal sinsitra dengan bunyi redup.
Batas atas kanan : ICS II garis parasternal dekstra dengan bunyi redup.
Batas bawah kiri : ICS V ± 1cm medial garis midklavikula sinistra dengan
bunyi redup.
Batas bawah kanan : ICS IV garis parasternal dekstra dengan bunyi redup.
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II regular, murmur (-), gallop (-).
➢ Paru
Inspeksi : Dinding toraks simetris pada saat statis maupun dinamis, retraksi
otot-otot pernapasan (-).
Palpasi : Vocal fremitus sama kuat kanan dan kiri.
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru.
Auskultasi : Suara napas vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-) .
Abdomen
Inspeksi : Perut datar, massa (-), pulsasi abnormal (-).
Palpasi : Supel, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (-).
Perkusi : Timpani pada seluruh lapang abdomen.
Auskultasi : Bising usus (+) normal.
Ekstremitas
Superior : Tidak terdapat jejas, bekas trauma, massa, dan sianosis (-/-) akral
hangat (+/+), oedem (-/-), CRT < 2 detik.
Inferior : Tidak terdapat jejas, bekas trauma, massa, dan sianosis (-/-) akral
hangat (+/+), odem (-/-), CRT < 2 detik.

4
• Status Neurologis
a. Tanda Rangsang Meningeal
Kanan Kiri
Kaku kuduk (-)
Kerniq (-) (-)
Lasseque (-) (-)
Brudzinsky
Neck (-)
Cheek (-)
Symphisis (-)
Leg I (-)
Leg II (-)
b. Nervus Kranialis

N. Olfaktorius Kanan Kiri


Penciuman tidak ada kelainan tidak ada kelainan
Anosmia (-) (-)
Hyposmia (-) (-)
Parosmia (-) (-)

N.Opticus Kanan Kiri


Visus 6/6 6/6
Campus visi V.O.D V.O.S

normal normal
l l

Kanan Kiri
Anopsia (-) (-)
Hemianopsia (-) (-)
Melihat warna : Normal Normal

5
Scotoma : (-) (-)
Fundus Oculi :
Papil edema : Tidak ada Tidak ada
Papil atrofi : Tidak ada Tidak ada
Perdarahan retina : Tidak ada Tidak ada
N. Occulomotorius, Trochlearis dan Abducens
Kanan Kiri
Diplopia (-) (-)
Celah mata Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
Ptosis (-) (-)

Sikap bola mata


▪ Strabismus (-) (-)
▪ Exophtalmus (-) (-)
▪ Enophtalmus (-) (-)
▪ Deviation conjugae (-) (-)
▪ Gerakan bola mata baik ke segala arah baik ke segala arah
Pupil
▪ Bentuknya bulat bulat
▪ Besarnya Ø 3 mm Ø 3 mm
▪ Isokori/anisokor isokor
▪ Midriasis/miosis (-) (-)
Refleks cahaya
• Langsung (+) (+)
• Konsensuil (+) (+)
• Akomodasi (+) (+)

6
N.Trigeminus
Kanan Kiri
Motorik
• Menggigit tidak ada kelainan tidak ada kelainan
• Trismus tidak ada kelainan tidak ada kelainan
• Refleks kornea tidak ada kelainan tidak ada kelainan
Sensorik
• Dahi tidak ada kelainan tidak ada kelainan
• Pipi tidak ada kelainan tidak ada kelainan
• Dagu tidak ada kelainan tidak ada kelainan
N.Facialis
Kanan Kiri
Motorik
• Mengerutkan dahi tidak ada kelainan tidak ada kelainan
• Menutup mata tidak ada kelainan tidak ada kelainan
• Menunjukkan gigi tidak ada kelainan tidak ada kelainan
• Lipatan nasolabialis tidak ada kelainan tidak ada kelainan
Bentuk Muka
• Istirahat tidak ada kelainan
• Berbicara/bersiul tidak ada kelainan
Sensorik
• 2/3 depan lidah tidak ada kelainan
Otonom
• Salivasi tidak ada kelainan
• Lakrimasi tidak ada kelainan
• Chvostek’s sign (-) (-)
N. Cochlearis Kanan Kiri
• Suara bisikan tidak ada kelainan
• Detik arloji tidak ada kelainan
• Tes Weber tidak ada kelainan

7
• Tes Rinne tidak ada kelainan
N. Vestibularis
• Nistagmus (-) (-)
• Vertigo (-) (-)
N. Glossopharingeus dan N. Vagus
kanan kiri
• Arcus pharingeus tidak ada kelainan
• Uvula tidak ada kelainan
• Gangguan menelan tidak ada kelainan
• Suara serak/sengau tidak ada kelainan
• Denyut jantung tidak ada kelainan
Refleks
• Muntah +
• Batuk +
• Okulokardiak +
• Sinus karotikus +
Sensorik
• 1/3 belakang lidah tidak ada kelainan
N. Accessorius
Kanan Kiri
• Mengangkat bahu tidak ada kelainan tidak ada kelainan
• Memutar kepala tidak ada kelainan tidak ada kelainan
N. Hypoglossus
Kanan Kiri
• Mengulur lidah tidak ada kelainan
• Fasikulasi (-)
• Atrofi papil (-)
• Disartria (-)

8
c. Pemeriksaan Motorik Anggota Gerak Atas

LENGAN Kanan Kiri


Gerakan Kurang Kurang
Kekuatan 4 4
Tonus Menurun Menurun
Refleks fisiologis
Biceps + +
Triceps + +
Radius + +
Ulna + +
Refleks patologis
Hoffman Ttromner (-) (-)
Leri (-) (-)
Meyer (-) (-)
Trofik eutrofik eutrofik
d. Pemeriksaan ekstremitas bawah

TUNGKAI Kanan Kiri


Gerakan Kurang Kurang
Kekuatan 3 3
Tonus Menurun Menurun
Klonus
Paha (-) (-)
Kaki (-) (-)
Refleks fisiologis
KPR - -
APR - -
Refleks patologis
Babinsky (-) (-)
Chaddock (-) (-)
Oppenheim (-) (-)

9
Gordon (-) (-)
Schaeffer (-) (-)
Stransky (-) (-)
Gondo (-) (-)
Bing (-) (-)
Rossolimo (-) (-)
Mendel Bechterew (-) (-)
Refleks kulit perut
Atas tidak ada kelainan
Tengah tidak ada kelainan
Bawah tidak ada kelainan
Refleks cremaster tidak ada kelainan
Trofik tidak ada kelainan
e. Sensorik
• Ekstermitas atas
Kanan Kiri
Perasa raba normal menurun
Perasa nyeri normal menurun
Perasa suhu normal menurun
Perasa proprioseptif normal menurun
Perasa vibrasi normal menurun
Stereognosis normal menurun
Grafestesia normal menurun
Topognosis normal menurun
Parastesia + +

• Ekstremitas bawah
Kanan Kiri
Perasa raba menurun menurun
Perasa nyeri menurun menurun
Perasa suhu menurun menurun

10
Perasa proprioseptif menurun menurun
Perasa vibrasi menurun menurun
Stereognosis menurun menurun
Grafestesia menurun menurun
Topognosis menurun menurun
Parastesia + +
f. Fungsi vegetatif
Miksi : tidak ada kelainan
Defekasi : tidak ada kelainan
Ereksi : tidak ada kelainan
g. Kolumna vertebralis
Kyphosis : (-)
Lordosis : (-)
Gibbus : (-)
Deformitas : (-)
Tumor : (-)
Meningocele : (-)
Hematoma : (-)
Nyeri ketok : (-)
h. Gait dan keseimbangan
Gait
Ataxia : Belum dapat dinilai
Hemiplegic : Belum dapat dinilai
Scissor : Belum dapat dinilai
Staggering : Belum dapat dinilai
Clumsy : belum dapat dinilai
Propulsion : Belum dapat dinilai
Histeric : Belum dapat dinilai
Limping : Belum dapat dinilai
Steppage : Belum dapat dinilai

11
Keseimbangan dan Koordinasi
Romberg : belum dapat dinilai
Berjalan lurus : belum dapat dinilai
Berjalan memutar : belum dapat dinilai
Berjalan mundur : belum dapat dinilai
Lari ditempat :-
Tes jari-jari :-
Tes jari-hidung :-
Tes tumit-tumit :-
i. GERAKAN ABNORMAL
Tremor : (-)
Chorea : (-)
Athetosis : (-)
Ballismus : (-)
Dystoni : (-)
Myocloni : (-)
j. FUNGSI LUHUR
Afasia motorik : (-)
Afasia sensorik : (-)
Apraksia : (-)
Agrafia : (-)
Alexia : (-)
2.4 Pemeriksaan Penunjang
• Pemeriksaan laboratorium
• Pemeriksaan darah rutin

Test Value Referance range Remarks


WBC 8.8 3.5 - 10.0 g/dl Normal

LYM 2.7 0.5 – 5.0 g/dl Normal

LYM% 32.2 20.0 - 50.0 g/dl Normal

12
MID 0.4 0.1 – 1.5 g/dl Normal

MID% 5.7 2.0 – 15.0 g/dl Normal

GRA 5.3 1.2 - 8.0 g/dl Normal

GRA% 62.1 35.0 – 80.0 g/dl Normal

HGB 13.9 11.5 - 16.5 g/dl Normal

MCH 27.9 25.0 – 35.0 Normal

MCHC 33.6 31.0 - 38.0 Normal

RBC 5.30 3.50 - 5.50 gdl Normal

MCV 83.0 75.0 – 100.0g/dl Normal

HCT 44.0 35.0 - 55.0 g/dl Normal

RDWa 55.9 30.0 – 150.0 Normal

RDW% 13.0 11.0 - 16.0 Normal

PLT 224 150 – 400 Normal

MPV 9.2 8.0 - 11.0 Normal

PDWa 12.6 0.1- 99.9 Normal

PCT 0.20 0.01 - 9.99 Normal

P-LCR 22.2 0.1 – 99.9 Normal

• Pemeriksaan Elektromiografi (EMG)


- N. medianus kanan : normal
- N. medianus kiri : neuropati aksonal
- N. ulnaris kanan : normal
- N. ulnaris kiri : normal
- F wave medianus kanan : normal

13
- F wave medianus kiri : abnormal
- N. perenous kanan : neuropati aksonal
- N. perenous kiri : normal
- N. tibialis kanan : normal
- N. tibialis kiri : neuropati aksonal
- H reflex tibialis posterior kanan : abnormal
- H reflex tibialis posterior kiri : abnormal
Kesimpulan :
Poliradikulerneuropati tipe aksonal ekstremitas atas dan bawah (mild to
moderate)
2.5 Diagnosis

Diagnosis klinis : GCS 15 (E:4, M:5, V:6)

Compos mentis

Ascending paralysis

Tetraparesis

Poliradikulerneuropati

Diagnosis topik : saraf perifer ekstremitas inferior, superior

Diagnosis etiologi : Susp. Guillian Barre Syndrom

2.6 Planning
a. Terapi
• Airway, breathing, circulation
• Inject Ceftriaxon 2 X 1 gr
• Inject Piracetam 2 X 3 gr
• Inject Ranitidin 2 X 1 amp
• ALA 600 1x1 ( alpha lipoic acid )
• Plasma exchange therapy (TEP)
• Intravenous inffusion of human Immunoglobulin ( IVIg )

14
b. Usulan pemeriksaan penunjang
• Pemeriksaan LCS/CSS
• MRI
• Pemeriksaan antibodi
2.7 Prognosis
Ad Vitam : Dubia ad bonam
Ad Fungsionam : Dubia ad bonam
Ad Sanationam : Dubia ad bonam

15
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

➢ Guillain Barre Syndrome


3.1 Definisi
Guillain – Barre Syndrome adalah suatu kelainan sistem saraf akut dan difus yang biasanya
timbul setelah suatu infeksi atau diakibatkan oleh autoimun,di mana proses imunologis
tersebut langsung mengenai radiks spinalis dan saraf perifer, dan kadang-kadang juga saraf
kranialis. Saraf yang diserang bukan hanya yang mempersarafi otot, tetapi bisa juga indera
peraba sehingga penderita mengalami baal atau mati rasa. Fase awal dimulai dengan
munculnya tanda – tanda kelemahan dan biasanya tampak secara lengkap dalam 2 – 3 minggu.
Ketika tidak terlihat penurunan lanjut, kondisi ini tenang. Fase kedua berakhir beberapa hari
sampai 2 minggu. Fase penyembuhan ungkin berakhir 4 – 6 bulan dan mungkin bisa sampai
2 tahun. Penyembuhan adalah spontan dan komplit pada kebanyakan pasien, meskipun ada
beberapa gejala neurologis, sisa dapat menetap (Japardi, 2002).
3.2 Epidemiologi
Angka kejadian Guillain – Barre Syndrome, di seluruh dunia berkisar antara 1-1,5 kasus
per 100.000 penduduk per tahun. Di Indonesia, kasus GBS masih belum begitu banyak.
Penelitian Chandra menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di Indonesia adalah dekade I, II,
III (di bawah usia 35 tahun) dengan jumlah penderita laki-laki dan wanita hampir sama.
Insidensi lebih tinggi pada perempuan dari pada laki-laki dengan perbandingan 2 : 1.
Sedangkan penelitian di Bandung menyebutkan bahwa perbandingan laki-laki dan wanita 3 :
1 dengan usia rata-rata 23,5 tahun. Penyakit ini menyerang semua umur, dan lebih banyak
terjadi pada usia dewasa muda yaitu antara 15 sampai dengan 35 tahun. Namun tidak jarang
juga menyerang pada usia 50 sampai dengan 74 tahun. Jarang sekali GBS menyerang pada
usia di bawah 2 tahun. Umur termuda yang dilaporkan adalah 3 bulan dan tertua adalah 95
tahun, dan tidak ada hubungan antara frekuensi penyakit ini dengan suatu musim tertentu.
Insiden tertinggi pada bulan April s/d Mei di mana terjadi pergantian musim hujan dan
kemarau (Japardi, 2002)

16
3.3 Klasifikasi
Menurut Lewis (2009) klasifikasi dari Guillain – Barre Syndrome (GBS) adalah
sebagai berikut :
➢ Acute Motor-Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN)
Sering muncul cepat dan mengalami paralisis yang berat dengan perbaikan yang
lambat dan buruk. Seperti tipe AMAN yang berhubungan dengan infeksi saluran cerna C
jejuni. Patologi yang ditemukan adalah degenerasi akson dari serabut saraf sensorik dan
motorik yang berat dengan sedikir demielinisasi.

➢ Acute Motor-Axonal Neuropathy (AMAN)


Berhubungan dengan infeksi saluran cerna C jejuni dan titer antibody gangliosid
meningkat (seperti, GM1, GD1a, GD1b). Penderita tipe ini memiliki gejala klinis motorik
dan secara klinis khas untuk tipe demielinisasi dengan asending dan paralysis simetris.
AMAN dibedakan dengan hasil studi elektrodiagnostik dimana didapatkan adanya
aksonopati motorik. Pada biopsy menunjukkan degenerasi ‘wallerian like’ tanpa
inflamasi limfositik. Perbaikannya cepat, disabilitas yang dialami penderita selama lebih
kurang 1 tahun.

➢ Miller Fisher Syndrome


Variasi dari SGB yang umum dan merupakan 5 % dari semua kasus GBS. Sindroma
ini terdiri dari ataksia, optalmoplegia dan arefleksia. Ataksia terlihat pada gaya jalan dan
pada batang tubuh dan jarang yang meliputi ekstremitas. Motorik biasanya tidak terkena.
Perbaikan sempurna terjadi dalam hitungan minggu atau bulan.

➢ Chronic Inflammatory Demyelinative Polyneuropathy (CIDP)


CIDP memiliki gambaran klinik seperti AIDP, tetapi perkembangan gejala
neurologinya bersifat kronik. Pada sebagian anak, kelainan motorik lebih dominant dan
kelemahan otot lebih berat pada bagian distal

➢ Acute pandysautonomia
Tanpa sensorik dan motorik merupakan tipe SGB yang jarang terjadi. Disfungsi
dari sistem simpatis dan parasimparis yang berat mengakibatkan terjadinya hipotensi

17
postural, retensi saluran kemih dan saluran cerna, anhidrosis, penurunan salvias dan
lakrimasi dan abnormalitas dari pupil.

3.4 Etiologi

Etiologi Guillain – Barre Syndrome sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan
pasti dan masih menjadi bahan perdebatan. Teori yang dianut sekarang ialah suatu kelainan
imunobiologik, baik secara primary immune response maupun immune mediated process.
Periode laten antara infeksi dan gejala polineuritis memberi dugaan bahwa kemungkinan
kelainan yang terdapat disebabkan oleh suatu respons terhadap reaksi alergi saraf perifer. Pada
banyak kasus, infeksi sebelumnya tidak ditemukan namun terdapat gangguan di medula
spinalis dan medula oblongata (Japardi, 2002).

Beberapa keadaan/ penyakit yang mendahului dan mungkin ada hubungannya dengan
terjadinya GBS, antara lain (Japardi, 2002) :

➢ Infeksi virus atau bakteri


GBS sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi kasus
GBS yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% - 80%, yaitu 1 sampai 4 minggu
sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan atas atau infeksi
gastrointestinal. Infeksi akut yang berhubungan dengan GBS :

18
➢ Vaksinasi
➢ Pembedahan, anestesi
➢ Penyakit sistematik, seperti keganasan, Systemic Lupus Erythematosus, tiroiditis, dan
penyakit Addison
➢ Kehamilan atau dalam masa nifas
➢ Gangguan endokrin
3.5. Manifestasi klinis
GBS merouakan penyebab paralisa akut yang dimulai dengan rasa baal, dengan ciri khas
paresthesia pada bagian distal dan diikuti secafa cepat oleh paralisa ke empat ekstremitasnya
yang besifat asenden. Paresthesia biasanya bersifa bilateral. Refleksfisiologis akan menurun
dan kemudian menghilang sama sekali. Gejala klinis yang dapat ditimbulkan pada GBS adalah:

➢ Kelumpuhan
Manifestasi klinis utama adalah kelumpuhan otot-otot ekstremitas tipe lower motor
neurone dari otot-otot ekstremitas, badan dan kadang-kadang juga muka. Pada
sebagian besar penderita, kelumpuhan dimulai dari kedua ekstremitas bawah
kemudian menyebar secara asenderen ke badan, anggota gerak atas dan saraf kranialis.
Kadang-kadang juga bisa keempat anggota gerak dikenai secara serentak, kemudian
menyebar ke badan dan saraf kranialis. Kelumpuhan otot-otot ini simetris dan diikuti
oleh hiporefleksia atau arefleksia. Biasanya derajat kelumpuhan otot-otot bagian
proksimal lebih berat dari bagian distal, tetapi dapat juga sama beratnya, atau bagian
distal lebih berat dari bagian proksimal.

➢ Gangguan sensibilitas
Parestesi biasanya lebih jelas pada bagian distal ekstremitas, muka juga bisa dikenai
dengan distribusi sirkumoral. Defisit sensoris objektif biasanya minimal dan sering
dengan distribusi seperti pola kaus kaki dan sarung tangan. Sensibilitas ekstroseptif
lebih sering dikenal dari pada sensibilitas proprioseptif. Rasa nyeri otot sering ditemui
seperti rasa nyeri setelah suatu aktifitas fisik.
➢ Saraf Kranialis
Saraf kranialis yang paling sering dikenal adalah N.VII. Kelumpuhan otot-otot
muka sering dimulai pada satu sisi tapi kemudian segera menjadi bilateral, sehingga

19
bisa ditemukan berat antara kedua sisi. Semua saraf kranialis bisa dikenai kecuali N.I
dan N.VIII. Diplopia bisa terjadi akibat terkenanya N.IV atau N.III. Bila N.IX dan N.X
terkena akan menyebabkan gangguan berupa sukar menelan, disfonia dan pada kasus
yang berat menyebabkan kegagalan pernafasan karena paralisis nervus laringeus.
➢ Gangguan fungsi otonom
Gangguan fungsi otonom dijumpai pada 25 % penderita GBS. Gangguan tersebut
berupa sinus takikardi atau lebih jarang sinus bradikardi, muka jadi merah (facial
flushing), hipertensi atau hipotensi yang berfluktuasi, hilangnya keringat atau episodic
profuse diaphoresis. Retensi urin atau inkontinensia urin jarang dijumpai. Gangguan
otonom ini jarang yang menetap lebih dari satu atau dua minggu.
➢ Kegagalan pernafasan
Kegagalan pernafasan merupakan komplikasi utama yang dapat berakibat fatal bila
tidak ditangani dengan baik. Kegagalan pernafasan ini disebabkan oleh paralisis
diafragma dan kelumpuhan otot-otot pernafasan, yang dijumpai pada 10-33 persen
penderita.
➢ Papiledema
Kadang-kadang dijumpai papiledema, penyebabnya belum diketahui dengan pasti.
Diduga karena peninggian kadar protein dalam cairan otot yang menyebabkan
penyumbatan villi arachoidales sehingga absorbsi cairan otak berkurang.

3.6. Patofisiologi

Tidak ada yang mengetahui dengan pasti bagaimana GBS terjadi dan dapat
menyerang sejumlah orang. Yang diketahui ilmuwan sampai saat ini adalah bahwa sistem
imun menyerang tubuhnya sendiri, dan menyebabkan suatu penyakit yang disebut sebagai
penyakit autoimun. Umumnya sel-sel imunitas ini menyerang benda asing dan organisme
pengganggu; namun pada GBS, sistem imun mulai menghancurkan selubung myelin yang
mengelilingi akson saraf perifer, atau bahkan akson itu sendiri.

Terdapat sejumlah teori mengenai bagaimana sistem imun ini tiba-tiba menyerang
saraf, namun teori yang dikenal adalah suatu teori yang menyebutkan bahwa organisme
(misalnya infeksi virus ataupun bakteri) telah mengubah keadaan alamiah sel-sel sistem

20
saraf, sehingga sistem imun mengenalinya sebagai sel-sel asing. Organisme tersebut
kemudian menyebabkan sel-sel imun, seperti halnya limfosit dan makrofag, untuk
menyerang myelin. Limfosit T yang tersensitisasi bersama dengan limfosit B akan
memproduksi antibodi melawan komponen-komponen selubung myelin dan menyebabkan
destruksi dari myelin.

Akson adalah suatu perpanjangan sel-sel saraf, berbentuk panjang dan tipis;
berfungsi sebagai pembawa sinyal saraf. Beberapa akson dikelilingi oleh suatu selubung
yang dikenal sebagai myelin, yang mirip dengan kabel listrik yang terbungkus
plastik. Selubung myelin bersifat insulator dan melindungi sel-sel saraf. Selubung ini akan
meningkatkan baik kecepatan maupun jarak sinyal saraf yang ditransmisikan. Sebagai
contoh, sinyal dari otak ke otot dapat ditransmisikan pada kecepatan lebih dari 50 km/jam.

Myelin tidak membungkus akson secara utuh, namun terdapat suatu jarak
diantaranya, yang dikenal sebagai Nodus Ranvier; dimana daerah ini merupakan daerah
yang rentan diserang. Transmisi sinyal saraf juga akan diperlambat pada daerah ini,
sehingga semakin banyak terdapat nodus ini, transmisi sinyal akan semakin lambat.

Pada GBS, terbentuk antibodi atau immunoglobulin (Ig) sebagai reaksi terhadap
adanya antigen atau partikel asing dalam tubuh, seperti bakteri ataupun virus. Antibodi
yang bersirkulasi dalam darah ini akan mencapai myelin serta merusaknya, dengan bantuan
sel-sel leukosit, sehingga terjadi inflamasi pada saraf. Sel-sel inflamasi ini akan
mengeluarkan sekret kimiawi yang akan mempengaruhi sel Schwan, yang seharusnya
membentuk materi lemak penghasil myelin. Dengan merusaknya, produksi myelin akan
berkurang, sementara pada waktu bersamaan, myelin yang ada telah dirusak oleh antibodi
tubuh. Seiring dengan serangan yang berlanjut, jaringan saraf perifer akan hancur secara
bertahap. Saraf motorik, sensorik, dan otonom akan diserang; transmisi sinyal melambat,
terblok, atau terganggu; sehingga mempengaruhi tubuh penderita.

Hal ini akan menyebabkan kelemahan otot, kesemutan, kebas, serta kesulitan
melakukan aktivitas sehari-hari, termasuk berjalan. Untungnya, fase ini bersifat sementara,

21
sehingga apabila sistem imun telah kembali normal, serangan itu akan berhenti dan pasien
akan kembali pulih.

Seluruh saraf pada tubuh manusia, dengan pengecualian pada otak dan medulla
spinalis, merupakan bagian dari sistem saraf perifer, yakni terdiri dari saraf kranialis dan
saraf spinal. Saraf-saraf perifer mentransmisikan sinyal dari otak dan medulla spinalis,
menuju dan dari otot, organ, serta kulit. Tergantung fungsinya, saraf dapat diklasifikasikan
sebagai saraf perifer motorik, sensorik, dan otonom (involunter).

Pada GBS, terjadi malfungsi pada sistem imunitas sehingga muncul kerusakan
sementara pada saraf perifer, dan timbullah gangguan sensorik, kelemahan yang bersifat
progresif, ataupun paralisis akut. Karena itulah GBS dikenal sebagai neuropati perifer.

GBS dapat dibedakan berbagai jenis tergantung dari kerusakan yang terjadi. Bila
selubung myelin yang menyelubungi akson rusak atau hancur , transmisi sinyal saraf yang
melaluinya akan terganggu atau melambat, sehingga timbul sensasi abnormal ataupun
kelemahan. Ini adalah tipe demyelinasi; dan prosesnya sendiri dinamai demyelinasi primer.

Akson merupakan bagian dari sel saraf 1, yang terentang menuju sel saraf 2.
Selubung myelin berbentuk bungkus, yang melapisi sekitar akson dalam beberapa lapis.
Pada tipe aksonal, akson saraf itu sendiri akan rusak dalam proses demyelinasi sekunder;
hal ini terjadi pada pasien dengan fase inflamasi yang berat. Apabila akson ini putus, sinyal
saraf akan diblok, dan tidak dapat ditransmisikan lebih lanjut, sehingga timbul kelemahan
dan paralisis pada area tubuh yang dikontrol oleh saraf tersebut. Tipe ini terjadi paling
sering setelah gejala diare, dan memiliki prognosis yang kurang baik, karena regenerasi
akson membutuhkan waktu yang panjang dibandingkan selubung myelin, yang sembuh
lebih cepat.

Tipe campuran merusak baik akson dan myelin. Paralisis jangka panjang pada
penderita diduga akibat kerusakan permanen baik pada akson serta selubung saraf. Saraf-
saraf perifer dan saraf spinal merupakan lokasi utama demyelinasi, namun, saraf-saraf
kranialis dapat juga ikut terlibat.
Perjalanan penyakit GBS dapat dibagi menjadi 3 fase:

22
➢ Fase progresif
Umumnya berlangsung 2-3 minggu, sejak timbulnya gejala awal sampai
gejala menetap, dikenal sebagai ‘titik nadir’. Pada fase ini akan timbul nyeri,
kelemahan progresif dan gangguan sensorik; derajat keparahan gejala bervariasi
tergantung seberapa berat serangan pada penderita. Kasus GBS yang ringan
mencapai nadir klinis pada waktu yang sama dengan GBS yang lebih berat. Terapi
secepatnya akan mempersingkat transisi menuju fase penyembuhan, dan
mengurangi resiko kerusakan fisik yang permanen. Terapi berfokus pada
pengurangan nyeri serta gejala.
➢ Fase plateau
Fase infeksi akan diikuti oleh fase plateau yang stabil, dimana tidak didapati
baik perburukan ataupun perbaikan gejala. Serangan telah berhenti, namun derajat
kelemahan tetap ada sampai dimulai fase penyembuhan. Terapi ditujukan terutama
dalam memperbaiki fungsi yang hilang atau mempertahankan fungsi yang masih
ada. Perlu dilakukan monitoring tekanan darah, irama jantung, pernafasan, nutrisi,
keseimbangan cairan, serta status generalis. Imunoterapi dapat dimulai di fase ini.
Penderita umumnya sangat lemah dan membutuhkan istirahat, perawatan khusus,
serta fisioterapi. Pada pasien biasanya didapati nyeri hebat akibat saraf yang
meradang serta kekakuan otot dan sendi; namun nyeri ini akan hilang begitu proses
penyembuhan dimulai. Lama fase ini tidak dapat diprediksikan; beberapa pasien
langsung mencapai fase penyembuhan setelah fase infeksi, sementara pasien lain
mungkin bertahan di fase plateau selama beberapa bulan, sebelum dimulainya fase
penyembuhan.
➢ Fase penyembuhan
Akhirnya, fase penyembuhan yang ditunggu terjadi, dengan perbaikan dan
penyembuhan spontan. Sistem imun berhenti memproduksi antibody yang
menghancurkan myelin, dan gejala berangsur-angsur menghilang, penyembuhan
saraf mulai terjadi. Terapi pada fase ini ditujukan terutama pada terapi fisik, untuk
membentuk otot pasien dan mendapatkan kekuatan dan pergerakan otot yang
normal, serta mengajarkan penderita untuk menggunakan otot-ototnya secara
optimal. Kadang masih didapati nyeri, yang berasal dari sel-sel saraf yang

23
beregenerasi. Lama fase ini juga bervariasi, dan dapat muncul relaps. Kebanyakan
penderita mampu bekerja kembali dalam 3-6 bulan, namun pasien lainnya tetap
menunjukkan gejala ringan samapi waktu yang lama setelah penyembuhan.
Derajat penyembuhan tergantung dari derajat kerusakan saraf yang terjadi pada
fase infeksi.
3.7 Pemeriksaan penunjang
➢ Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan neurologis ditemukan adanya kelemahan otot yang
bersifat difus dan paralisis. Refleks tendon akan menurun atau bahkan menghilang.
Batuk yang lemah dan aspirasi mengindikasikan adanya kelemahan pada otot-otot
intercostal. Tanda rangsang meningeal seperti perasat kernig dan kaku kuduk
mungkin ditemukan. Refleks patologis seperti refleks Babinsky tidak ditemukan.
➢ Pemeriksaan laboratorium
Gambaran laboratorium yang menonjol adalah peninggian kadar protein
dalam cairan otak (> 0,5 mg%) tanpa diikuti oleh peninggian jumlah sel dalam
cairan otak, hal ini disebut disosiasi sito-albuminik. Peninggian kadar protein
dalam cairan otak ini dimulai pada minggu 1-2 dari onset penyakit dan mencapai
puncaknya setelah 3-6 minggu. Jumlah sel mononuklear < 10 sel/mm3. Walaupun
demikian pada sebagian kecil penderita tidak ditemukan peninggian kadar protein
dalam cairan otak. Imunoglobulin serum bisa meningkat. Bisa timbul hiponatremia
pada beberapa penderita yang disebabkan oleh SIADH (Sindroma Inapproriate
Antidiuretik Hormone).
➢ Pemeriksaan elektrofisiologi (EMG)
Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosis GBS adalah
kecepatan hantaran saraf motorik dan sensorik melambat. Distal motor retensi
memanjang kecepatan hantaran gelombang-f melambat, menunjukkan
perlambatan pada segmen proksimal dan radiks saraf. Di samping itu untuk
mendukung diagnosis pemeriksaan elektrofisiologis juga berguna untuk
menentukan prognosis penyakit : bila ditemukan potensial denervasi menunjukkan
bahwa penyembuhan penyakit lebih lama dan tidak sembuh sempurna.

24
➢ Pemeriksaan LCS
Dari pemeriksaan LCS didapatkan adanya kenaikan kadar protein ( 1 – 1,5
g/dl ) tanpa diikuti kenaikan jumlah sel. Keadaan ini oleh Guillain (1961) disebut
sebagai disosiasi albumin sitologis. Pemeriksaan cairan cerebrospinal pada 48 jam
pertama penyakit tidak memberikan hasil apapun juga. Kenaikan kadar protein
biasanya terjadi pada minggu pertama atau kedua. Kebanyakan pemeriksaan LCS
pada pasien akan menunjukkan jumlah sel yang kurang dari 10/mm3
(albuminocytologic dissociation).
➢ Pemeriksaan MRI
Pemeriksaan MRI akan memberikan hasil yang bermakna jika dilakukan
kira-kira pada hari ke-13 setelah timbulnya gejala. MRI akan memperlihatkan
gambaran cauda equina yang bertambah besar. Hal ini dapat terlihat pada 95%
kasus SGB.
a) Pemeriksaan serum CK biasanya normal atau meningkat sedikit.
b) Biopsi otot tidak diperlukan dan biasanya normal pada stadium awal.
Pada stadium lanjut terlihat adanya denervation atrophy.
Kriteria diagnostik GBS menurut The National Institute of Neurological and
Communicative Disorders and Stroke ( NINCDS)

• Gejala utama :

1. Kelemahan yang bersifat progresif pada satu atau lebih ekstremitas dengan atau tanpa
disertai ataxia
2. Arefleksia atau hiporefleksia yang bersifat general
• Gejala tambahan :

1. Progresivitas dalam waktu sekitar 4 minggu


2. Biasanya simetris
3. Adanya gejala sensoris yang ringan
4. Terkenanya SSP, biasanya berupa kelemahan saraf facialis bilateral
5. Disfungsi saraf otonom
6. Tidak disertai demam
7. Penyembuhan dimulai antara minggu ke 2 sampai ke 4

25
• Pemeriksaan LCS :

1. Peningkatan protein
2. Sel MN < 10 /ul
• Pemeriksaan elektrodiagnostik :

1. Terlihat adanya perlambatan atau blok pada konduksi impuls saraf


• Gejala yang menyingkirkan diagnosis :

1. Kelemahan yang sifatnya asimetri


2. Disfungsi vesica urinaria yang sifatnya persisten
3. Sel PMN atau MN di dalam LCS > 50/ul
4. Gejala sensoris yang nyata
3.8. Penatalaksanaan
Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendiri. Pengobatan secara umum
bersifat simtomik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat sembuh sendiri, perlu
dipikirkan waktu perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan (gejala sisa) cukup
tinggi sehingga pengobatan tetap harus diberikan. Tujuan terapi khusus adalah mengurangi
beratnya penyakit dan mempercepat penyembuhan melalui sistem imunitas (imunoterapi)
(Japardi, 2002).
a. Sindrom, Guillain Barre dipertimbangkan sebagai kedaruratan medis dan pasien diatasi
di unit perawatan intensif (Japardi, 2002)
1) Pengaturan jalan napas
Respirasi diawasi secara ketat terhadap perubahan kapasitas vital dan gas darah yang
menunjukkan permulaan kegagalan pernafasan. Setiap ada tanda kegagalan
pernafasan maka penderita harus segera dibantu dengan oksigenasi dan pernafasan
buatan. Trakheotomi harus dikerjakan atau intubasi penggunaan ventilator jika
pernafasan buatan diperlukan untuk waktu yang lama atau resiko terjadinya aspirasi.
Walaupun pasien masih bernafas spontan, monitoring fungsi respirasi dengan
mengukur kapasitas vital secara regular sangat penting untuk mengetahui
progresivitas penyakit.

26
2) Pemantauan EKG dan tekanan darah
Monitoring yang ketat terhadap tekanan darah dan EKG sangat penting karena
gangguan fungsi otonom dapat mengakibatkan timbulnya hipotensi atau hipertensi
yang mendadak serta gangguan irama jantung. Untuk mencegah takikardia dan
hipertensi, sebaiknya diobati dengan obat-obatan yang waktu kerjanya pendek (short-
acting), seperti : penghambat beta atau nitroprusid, propanolol. Hipotensi yang
disebabkan disotonomi biasanya membaik dengan pemberian cairan iv dan posisi
terlentang (supine). Atropin dapat diberikan untuk menghindari episode brakikardia
selama pengisapan endotrakeal dan terapi fisik. Kadang diperlukan pacemaker
sementara pada pasien dengan blok jantung derajat 2 atau 3.

3) Plasmaparesis
Pertukaran plasma (plasma exchange) yang menyebabkan reduksi antibiotik ke
dalam sirkulasi sementara, dapat digunakan pada serangan berat dan dapat
membatasi keadaan yang memburuk pada pasien demielinasi. Bermanfaat bila
dikerjakan dalam waktu 3 minggu pertama dari onset penyakit. Jumlah plasma yang
dikeluarkan per exchange adalah 40-50 ml/kg. Dalam waktu 7-14 hari dilakukan tiga
sampai lima kali exchange. Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk
mengeluarkan faktor autoantibodi yang beredar. Albumin : dipakai pada
plasmaferesis, karena Plasma pasien harus diganti dengan suatu substitusi plasma.

4) Perlu diperhatikan pemberian cairan dan elektrolit terutama natrium karena penderita
sering mengalami retensi airan dan hiponatremi disebabkan sekresi hormone ADH
berlebihan.
5) Ileus paralitik terkadang ditemukan terutama pada fase akut sehingga parenteral
nutrisi perlu diberikan pada keadaan ini.
b. Perawatan umum
1) Mencegah timbulnya luka baring/bed sores dengan perubahan posisi tidur.
2) Fisioterapi yang teratur dan baik juga penting. Fisioterapi dada secara teratur untuk
mencegah retensi sputum dan kolaps aru. Segera setelah penyembuhan mulai fase
rekonvalesen) maka fisioterapi aktif dimulai untuk melatih dan meningkatkan
kekuatan otot.

27
3) Spint mungkin diperlukan untuk mempertahakan posisi anggota gerak yang lumpuh,
4) Kekakuan sendi dicegah dengan gerakan pasif. Gerakan pasti pada kaki yang lumpuh
mencegah deep voin thrombosis.
5) Perawatan kulit, kandung kemih, saluran pencernaan, mulut, faring dan trakhea.
6) Infeksi paru dan saluran kencing harus segera diobati.
7) Bila ada nyeri otot dapat dapat diberikan analgetik.
c. Pengobatan
1) Kortikosteroid
Seperti : azathioprine, cyclophosphamid

Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat steroid tidak


mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi GBS. Peter melaporkan
kemungkinan efek steroid dosis tinggi intravenous menguntungkan. Dilaporkan 3
dari 5 penderita memberi respon dengan methyl prednisolon sodium succinate
intravenous dan diulang tiap 6 jam diikuti pemberian prednisone oral 30 mg setiap 6
jam setelah 48 jam pengobatan intravenous. Efek samping dari obat-obat ini adalah:
alopecia, muntah, mual dan sakit kepala.

2) Profilaksis terhadap DVT (deep vein thrombosis)


Pemberian heparin dengan berat molekuler yang rendah secara subkutan (fractioned
Low Molecular Weight Heparin/ fractioned LMWH) seperti : enoxaparin, lovenox
dapat mengurangi insidens terjadinya tromboembolisme vena secara dramatik, yang
merupakan salah satu keluhan utama dari paralisis ekstremitas. DVT juga dapat
dicegah dengan pemakaian kaus kaki tertentu (true gradient compression hose/ anti
embolic stockings/ anti-thromboembolic disease (TED) hose).

3) Pengobatan imunosupresan:
c) Imunoglobulin IV
Beberapa peneliti pada tahun 1988 melaporkan pemberian immunoglobulin atau
gamaglobulin pada penderita GBS yang parah ternyata dapat mempercepat
penyembuhannya seperti halnya plasmapharesis. Gamaglobulin (Veinoglobulin)
diberikan perintravena dosis tinggi. Pengobatan dengan gamma globulin
intervena lebih menguntungkan dibandingkan plasmaparesis karena efek

28
samping/komplikasi lebih ringan tetapi harganya mahal. Dosis maintenance 0.4
gr/kg BB/hari selama 3 hari dilanjutkan dengan dosis maintenance 0.4 gr/kg
BB/hari tiap 15 hari sampai sembuh. imunoglobulin intravena (IVIG 7s) :
dipakai untuk memperbaiki aspek klinis dan imunologis dari GBS dan Dosis
dewasa adalah 0,4 g/kg/hari selama 5 hari (total 2 g selama 5 hari) dan bila perlu
diulang setelah 4 minggu. Kontraindikasi IVIg : adalah hipersensitivitas
terhadap regimen ini dan defisiensi IgA, antibodi anti IgE/ IgG. Tidak ada
interaksi dng obat ini dan sebaiknya tidak diberikan pd kehamilan.
d) Obat sitotoksik
Pemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah 6 merkaptopurin (6-MP).

3.9. Komplikasi

a. Paralysis yang persisten


b. Kegagalan pernafasan
c. Hipotensi atau hipertensi
d. Tromboembolisme
e. Pneumonia
f. Aritmia kardial
g. Aspirasi
h. Retensi urinae
i. Problem psikiatrik (seperti : depresi dan ansietas).
3.10. Prognosis
• 95 % pasien dengan GBS dapat bertahan hidup dengan 75 % diantaranya sembuh total.
Kelemahan ringan atau gejala sisa seperti dropfoot dan postural tremor masih mungkin terjadi
pada sebagian pasien.
• Kelainan ini juga dapat menyebabkan kematian , pada 5 % pasien, yang disebabkan oleh gagal
napas dan aritmia.

29
BAB IV

PENUTUP

1.1 Kesimpulan
Guillaine Barre Syndrom (GBS) adalah penyakit autoimun yang menimbulkan
peradangan dan kerusakan mielin (material lemak, terdiri dari lemak dan protein yang
membentuk selubung pelindung di sekitar beberapa jenis serat saraf perifer). Gejala dari
penyakit ini mula-mula adalah kelemahan dan mati rasa di kaki yang dengan cepat
menyebar menimbulkan kelumpuhan.
Penyebab pasti dari Gullaine Barre Syndrom (GBS) sampai saat ini masih belum
dapat diketahui dan masih menjadi bahan perdebatan. Tetapi pada banyak kasus, penyakit
ini sering dihubungkan dengan penyakit infeksi viral, seperti infeksi saluran pernafasan
dan saluran pencernaan.
Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang
mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada SGB masih belum diketahui dengan
pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi pada sindroma
ini adalah melalui mekanisme imunlogi.
Tidak ada yang mengetahui dengan pasti bagaimana GBS terjadi dan dapat
menyerang sejumlah orang. Yang diketahui ilmuwan sampai saat ini adalah bahwa sistem
imun menyerang tubuhnya sendiri, dan menyebabkan suatu penyakit yang disebut sebagai
penyakit autoimun. Umumnya sel-sel imunitas ini menyerang benda asing dan organisme
pengganggu; namun pada GBS, sistem imun mulai menghancurkan selubung myelin yang
mengelilingi akson saraf perifer, atau bahkan akson itu sendiri.

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Andary, M.T., Oleszek, J.L., Maureleus, K., and Mc-Crimmon, R.Y., 2016. Guillain Barre Syndrome.
http://emedicine.medscape.com/article/315632-.
2. Japardi I. 2002. Sindroma Guillan-Barre. (http://library.usu.ac.id/download/fk/ bedah-
iskandar%20japardi46.pdf), diakses pada 31 Mei 2016.
3. Judarwanto, W. 2009. Sindroma Guillain-Barre (GBS) : Patofisiologi dan Diagnosis,
(https://koranindonesiasehat.wordpress.com/2009/12/14/guillain-barre-syndrome-gbs-
patofisiologi-manifestasi-klinis-dan-diagnosis/ )
4. Lanello, Silvia. 2005.Guillain-Barre Syndrome: Pathological, Clinical, and Therapeutical
Aspects. Nova Biomedical Book. New York.
5. Price, A. Sylvia. 2006. Patofisiologi Konsep Vol 2. Jakarta : EGC.

31
Case Base Discussion
Intracerebral Hemorage

Pembimbing:
dr. Ni Made Yuli Artini, M.Biomed. Sp. S

Di susun oleh:
Khairani Auliya (012.06.0044)

Dalam Rangka Menjalani Kepaniteraan Klinik


SMF Neurologi Rumah Sakit Umum Daerah Bangli
Universitas Islam Al-Azhar Mataram
Fakultas Kedokteran

1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pendarahan intrakranial merupakan pendarahan yang terjadi didalam kubah
tengkorak meliputi pendarahan intraserebral (PIS) dan pendarahan sekitar ruang
meningeal.1 Berdasarkan etiologi pendarahan intrasereblar dibagi atas pendarahan
intraserebral non-traumatic (spontan) dan pendarahan intrasereblar traumatic.
Pendarahan intraserebral juga dikenal juga stroke hemoragik dengan ditemukan sindrom
defisit neurologi.2
Angka kematian dan disabiliti pada populasi dewasa yang disebabkan oleh
pendarahan intrasereblar cukup meningkat, walapun jumlah pasien dengan yang datang
ke pelayanan kesehatan dengan pendarahan intraserebal.3 Keseluruhan insiden
pendarahan intraserebral spontan diseluruh dunia sekita 24.6 per 100.000 populasi per
tahun.1 Di Amerika serikat insiden pendarahan intraserebral sekitar 40.000- 67.000
kasus pertahun. Sekitar 35-52% mortalitas akibat pendarahan intaserebal terjadi dalam
24 jam pertama dan hanya 20 % pasien PIS dengan recovery penuh setelah 6 bulan.4
Pendarahan intraserebral ini tersering disebabkan oleh hipertensi.5
Pendarahan intraserebral merupakan keagwatandaruratan medis.1 Pada pasien
PIS terjadi peningkatan volume intracranial sekitar 75% akibat perihematom edema
dalam 24 jam pertama.6 Maka dari itu diagnosis dini serta tatalaksana cepat dan tepat
pada pasien pendarahan intraserebal akan sangat mempengaruhi angka mortalitas dan
morbiditas.3

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Perdarahan intracerebral atau Intracerebral haemorrhage (ICH) adalah


penyakit yang sering dengn insiden dari 11-23 kasus dari 100,000
pertahun.walaupun ia termasuk 10-15% dari semua strokes,tetapi ia adalah
paling fatal subtype stroke yang bisa mengakibatkan kematian lebih dari
40%.Perdarahan intracranial dapat diklasifikasikan dari aspek anatomi dan aspek
etiologi.Berdasarkan dari anatomi terdapat beberapa perdarahan seperti
perdarahan parenkim,subarachnoid,subdural,epidural,perdarahan supra dan
infratentorial.Berdasarkan aspek etilogi perdarahan primer atau spontan boleh
dibedakan dengan perdarahan sekunder.Perdarahan primer merupakan
perdarahan spontan yang mana disebabkan oleh penyakit hipertensi
arteri.Perdarahan sekunder terjadi akibat trauma,tumor, dan akibat pengunaan
obat1.

Gambar 1 :Perdarahan intrserebral2

3
Gambar 2 : Perdarahan intraserebarl2

Perdarahan intracerebral adalah tipe stroke yang disebabkan oleh


perdarahan yang disebabkan oleh perdaharahan dari jaringan otak itu
sendiri.Stroke terjadi apabila jaringan otak kekurangan oksigen kerana adanya
gangguan pada suplai darah3.ICH paling senang terjadi disebabkan oleh
Hipertensi,arterivenous Malformasi (AVM)4, atau trauma kepala. Pengobatan
harus di fokuskan pada penghentian pendarahan ,membersihkan hematom dan
menurunkan tekanan pada otak3.

Gambar 3 : Perdarahan intraserebral (ICH) biasanya disebabkan oleh pecahnya


arteri kecil di dalam jaringan otak (kiri).Darah yang terkumpul, hematoma atau
darah bekuan menyebabkan peningkatan tekanan pada otak. Malformasi arteri

4
(AVMs) dan tumor juga bisa menyebabkan perdarahan ke dalam jaringan otak
(kanan)3.

Spontan (adalah non-traumatik) perdarahan intracerebral adalah


penyebab semakin sering dan perdarahan subarachnoid adalah 15% dari semua
jenis stroke dengan insiden 15-30/1000004.

Gambar 4 : Intrakranial Hematoma5

2.2. EPIDEMIOLOGI

Analisis pada 3 tahun dari data mortalitas nasional untuk pasien stroke
intracerebtral oleh ayala dan teman-temannya mengungkapkan eksiden terbesar
dari ICH pada Africa Amerika , Alaska Natives, Asian pacific Islander (API)
dan kumpulan Hispanic ethnic. Juga mengunkap bahwa porporsi yang tinggi
dari kematian akibat stroke terjadi pada orang dewasa. Berdasarkan jenis
kelamin, kes fatality rate untuk strokehemoragik adalah sama untuk perempuan

5
dan laki-laki.walaupun begitu, sercara keseluruhan mortalitas stroke lebih tinggi
dari lelaki6.

Insidensi di seluruh dunia dari perdarahan intracerebral menunjukan 10-


20 kasus dari 100,000 populasi dan termasuk peningkatan umur.Perdarahan
intracerebral lebih banyak terjadi pada lelaki berbanding perempuan terutama
umur lebih 55 tahun dan juga termasuk populasi termasuk orang kulit hitam dan
japan. Pada penelitian selama 20 tahun oleh National Health dan Nutrition
examination survei epidemiologi insiden perdarahan intracerebral diantara orang
kulit Hitam 50/100,000 dua kali lipat insiden pada pada orang kulit
putih.Insiden populasi di Japan 55/100,000 sama dengan orang kulit hitam.
Prevelansi Hipertensi dan pengunaan alcohol yang tinggi pada populasi Japan
meningkatkan insidensi.Hipertensi adalah faktor risiko spontan perdarahan
intraserebral terutama pada pasien yang tidak menggunakan obat
hipertensi,pasien umur 55 tahun,anak muda dan perokok7.

2.3. ANATOMI DAN FISIOLOGI

Gambar 5 : Otak terdiri dari tiga bagian: batang otak, cerebrum, dan cerebelum.
Cerebrum dibagi menjadi empat lobus: frontal, parietal, temporal dan oksipital8.

6
Cerebrum adalah bagian terbesar dari otak dan terdiri dari belahan kanan
dan kiri.Ini melakukan fungsi yang lebih tinggi seperti menafsirkan sentuhan,
penglihatan dan pendengaran, serta pidato, penalaran, emosi, belajar, dan kontrol
baik dari gerakan.Cerebellum terletak di bawah otak besar.Fungsinya adalah
untuk mengkoordinasikan gerakan otot, menjaga postur tubuh, dan
keseimbangan.Batang otak termasuk otak tengah, pons, dan medula. Ini
bertindak sebagai pusat estafet menghubungkan otak dan cerebellum ke sumsum
tulang belakang.Ia melakukan banyak fungsi otomatis seperti bernapas, denyut
jantung, suhu tubuh, bangun dan tidur siklus, pencernaan, bersin, batuk, muntah,
dan menelan. Sepuluh dari dua belas saraf kranial berasal di batang otak8.

Gambar6 : common carotid arteries sampai leher dan membagi kepada arteri karotid
internal dan eksternal. Sirkulasi anterior otak diberikan oleh arteri karotis interna (ICA)
dan sirkulasi posterior diberi makan oleh arteri vertebralis (VA). Kedua sistem
terhubung di Lingkaran Willis (lingkaran hijau)8

2.4. ETIOLOGI3

Hipertensi 80% 9: Meningkatnya tekanan darah yang dapat menyebabkan


pembuluh darah kecil pecah di dalam otak.

7
• Blood thinner therapy : obat-obatan seperti coumadin, heparin, dan warfarin
digunakan untuk mengobati jantung dan kondisi stroke.
• AVM: jalinan arteri dan vena yang abnormal tanpa kapiler
• Aneurisma: tonjolan atau melemahnya dinding arteri.
• Trauma kepala : Patah tulang pada tengkorak dan luka tembus (tembak) dapat
merusak arteri dan menyebabkan perdarahan.
• Gangguan perdarahan: hemofilia, anemia sel sabit, DIC, trombositopenia.
• Tumor : Tumor yang sangat vaskular seperti angioma dan tumor metastasis
dapat menyebabkan terjadinya perdarahan ke dalam jaringan otak.
• Amyloid angiopathy 80% 9: penyakit degeneratif arteri.
• Penggunaan obat: kokain dan obat terlarang lainnya dapat menyebabkan
perdarahan intraserebral.
• Spontan: ICH oleh penyebab yang tidak diketahui.

2.5. KLASIFIKASI

1. Putaminal Hemorrhage

Antara sindroma klinis perdarahan yang tersering adalah disebabkan oleh


perdarahan putaminal dengan terjadinya penekanan pada daerah berdekatan
dengan kapsula interna. Gejala dan kelainan neurologis hampir bervariasi
berdasarkan kedudukan dan ukuran penekanan. Perdarahan putaminal khas
dengan onset progresif pada hampir duapertigapasien, dan kurang dari sepertiga
mempunyai gejala mendadak dan hampir maksimal saat onset. Nyeri kepala
tampil saat onset gejala hanya pada 14% kasus dan pada setiap waktu hanya
28%; semua pasien menunjukkan berbagai bentuk defisit motorik dan sekitar
65% mengalami perubahan reaksi terhadap pin-prick. Perdarahan putaminal
kecil menyebabkan defisit sedang motorik dan sensori kontralateral. Perdarahan
berukuran sedang mula-mula mungkin tampil dengan hemiplegia flaksid, defisit
hemisensori, deviasi konjugasi mata pada sisi perdarahan, hemianopia homonim,

8
dan disfasia bila yang terkena hemisfer dominan. Progresi menjadi perdarahan
masif berakibat stupor dan lalukoma, variasi respirasi, pupil tak bereaksi yang
berdilatasi, hilangnya gerak ekstra-okuler, postur motor abnormal, dan respons
babinski bilateral. Gejala muntah terjadi hampir setengah dari pada penderita.
Sakit kepala adalah gejala tersering tetapi tidak seharusnya ada. Dengan jumlah
perdarahan yang banyak, penderita dapat segera masuk kepada kondisi stupor
dengan hemiplegi dan kondisi penderita akan tampak memburuk dengan
berjalannya masa.(3)

Walau bagaimanapun, penderita akan lebih sering mengeluh dengan


sakit kepala atau gangguan kepala yang dirasakan pusing. Dalam waktu
beberapa menit wajah penderita akan terlihat mencong ke satu sisi, bicara cadel
atau aphasia, lemas tangan dan tungkai dan bola mataakan cenderung berdeviasi
menjauhi daripada ekstremitas yang lemah. Hal ini terjadi bertahap mengikuti
waktu dari menit ke jam di mana sangat kuat mengarah kepada perdarahan
intraserebral. Paralisis dapat terjadi semakin memburuk dengan munculnya
refleks babinski yang mana pada awalnya dapat muncul unilateral dan kemudian
bisa bilateral dengan ekstremitas menjadi flaksid, stimulasi nyeri menghilang,
tidak dapat bicara dan memperlihatkan tingkat kesadaran stupor. Karekteristik
tingkat keparahan paling parah adalah dengan tanda kompresi batang otak atas
(koma); tanda babinski bilateral; respirasi dalam, irregular atau intermitten;
pupil dilatasi dengan posisi tetap pada bagian bekuan dan biasanya adanya
kekakuan yang deserebrasi.(3)

2. Thalamic Hemorrhage

Sindroma klinis akibat perdarahan talamus sudah dikenal. Umumnya perdarahan


talamus kecil menyebabkan defisit neurologis lebih berat dari perdarahan
putaminal. Seperti perdarahan putaminal, hemiparesis kontralateral terjadi bila
kapsula internal tertekan. Namun khas dengan hilangnya hemisensori kontralateral
yang nyata yang mengenai kepala, muka, lengan, dan tubuh. Perluasan perdarahan
ke subtalamus dan batang otak berakibat gambaran okuler klasik yaitu terbatasnya
gaze vertikal, deviasi mata kebawah, pupil kecil namun bereaksi baik atau lemah.

9
Anisokoria, hilangnya konvergensi, pupil tak bereaksi, deviasi serong, defisit
lapang pandang, dan nistagmus retraksi juga tampak. Anosognosia yang berkaitan
dengan perdarahan sisi kanan dan gangguan bicara yang berhubungan dengan lesi
sisi kiri tidak jarang terjadi. Nyeri kepala terjadi pada 20-40 % pasien. Hidrosefalus
dapat terjadi akibat penekanan jalur CSS. (3)

3. Perdarahan Pons

Perdarahan pons merupakan hal yang jarang terjadi dibandingkan dengan


perdarahan intraserebral supratentorial, tetapi 50% dari perdarahan infratentorial
terjadi di pons. Gejala klinik yang sangat menonjol pada perdarahan pons ialah
onset yang tiba-tiba dan terjadi koma yang dalam dengan defisit neurologik
bilateral serta progresif dan fatal. Perdarahan ponting paling umum
menyebabkan kematian dari semua perdarahan otak. Bahkan perdarahan kecil
segera menyebabkan koma, pupil pinpoint (1 mm) namun reaktif, gangguan
gerak okuler lateral, kelainan saraf kranial, kuadriplegia, dan postur ekstensor.
Nyeri kepala, mual dan muntah jarang. (3)

4. Perdarahan Serebelum

Lokasi yang pasti dari tempat asal perdarahan di serebelum sulit


diketahui. Tampaknya sering terjadi di daerah nukleus dentatus dengan arteri
serebeli superior sebagai suplai utama. Perluasan perdarahan ke dalam ventrikel
IV sering terjadi pada 50% dari kasus perdarahan di serebelum. Batang otak
sering mengalami kompresi dan distorsi sekunder terhadap tekanan oleh
gumpalan darah. Obstruksi jalan keluar cairan serebrospinal dapat menyebabkan
dilatasi ventrikel III dan kedua ventrikel lateralis sehingga dapat terjadi
hidrosefalus akut dan peningkatan tekanan intrakranial dan memburuknya
keadaan umum penderita. Kematian biasanya disebabkan tekanan dari
hematoma yang menyebabkan herniasi tonsil dan kompresi medula spinalis. (3)

Sindroma klinis perdarahan serebeler pertama dijelaskan secara jelas


oleh Fisher. Yang khas adalah onset mendadak dari mual, muntah, tidak mampu
bejalan atau berdiri. Tergantung dari evolusi perdarahan, derajat gangguan

10
neurologis terjadi. Hipertensi adalah faktor etiologi pada kebanyakan kasus.
Duapertiga dari pasien dengan perdarahan serebeler spontan mengalami
gangguan tingkat kesadaran dan tetap responsif saat datang; hanya 14% koma
saat masuk. 50% menjadi koma dalam 24 jam, dan 75% dalam seminggu sejak
onset. Mual dan muntah tampil pada 95%, nyeri kepala (umumnya bioksipital)
pada 73%, dan pusing (dizziness) pada 55 %. Ketidakmampuan berjalan atau
berdiri pada 94 %. Dari pasien non koma, tanda-tanda serebeler umum terjadi
termasuk ataksia langkah (78 %), ataksia trunkal (65 %), dan ataksia apendikuler
ipsilateral (65 %). Temuan lain adalah palsi saraf fasial perifer (61%), palsi gaze
ipsilateral (54 %), nistagmus horizontal (51 %), dan miosis (30%).(3)

Hemiplegia dan hemiparesis jarang, dan bila ada biasanya disebabkan


oleh stroke oklusif yang terjadi sebelumnya atau bersamaan. Triad klinis ataksia
apendikuler, palsi gaze ipsilateral, dan palsi fasial perifer mengarahkan pada
perdarahan serebeler. Perdarahan serebeler garis tengah menimbulkan dilema
diagnostik atas pemeriksaan klinis. Umumnya perjalanan pasien lebih ganas dan
tampil dengan oftalmoplegia total, arefleksia, dan kuadriplegia flaksid. Pada
pasien koma, diagnosis klinis perdarahan serebeler lebih sulit karena disfungsi
batang otak berat. Dari pasien koma, 83 % dengan oftalmoplegia eksternal yang
lengkap, 53 % dengan irreguleritas pernafasan, 54 % dengan kelemahan fasial
ipsilateral. Pupil umumnya kecil; tak ada reaksi pupil terhadap sinar pada 40 %
pasien.(3)

5. Perdarahan Lober

Sindroma klinis akut perdarahan lober dijelaskan Ropper dan Davis.


Hipertensi kronik tampil hanya pada 31 % kasus, dan 4 % pasien yang koma
saat datang. Perdarahan oksipital khas menyebabkan nyeri berat sekitar mata
ipsilateral dan hemianopsia yang jelas. Perdarahan temporal kiri khas dengan
nyeri ringan pada atau dekat bagian anterior telinga, disfasia fluent dengan
pengertian pendengaran
yang buruk namun repetisi relatif baik. Perdarahan
frontal menyebabkan kelemahan lengan kontralateral berat, kelemahan muka
dantungkai ringan, dan nyeri kepala frontal. Perdarahan parietal mulai dengan

11
nyeri kepala temporal anterior serta defisit hemisensori, terkadang mengenai
tubuh ke garis tengah. Evolusi gejala yang lebih cepat, dalam beberapa menit,
namun tidak seketika bersama dengan satu dari sindroma tersebut membantu
membedakan perdarahan lober dari stroke jenis lain. Kebanyakan AVM dan
tumor memiliki lokasi lober.(3)


6. Perdarahan intraserebral akibat trauma

Adalah perdarahan yang terjadi di dalam jaringan otak. Hematom


intraserebral pasca traumatik merupakan koleksi darah fokal yang biasanya
diakibatkan cedera regangan atau robekan rasional terhadap pembuluh-
pembuluh darah intraparenkimal otak atau kadang-kadang cedera penetrans.
Ukuran hematom ini bervariasi dari beberapa milimeter sampai beberapa
sentimeter dan dapat terjadi pada 2%-16% kasus cedera. Intracerebral hematom
mengacu pada hemorragi / perdarahan lebih dari 5 ml dalam substansi otak
(hemoragi yang lebih kecil dinamakan punctate atau petechial/bercak). (3

2.6. PATOFISIOLOGI

Etiologi dan patofisiologi perdarahan intracerebral primer masih


kontroversi.Perdarahan intraserebral primer adalah disebabkan oleh pecahnya
pembuluh darah arterioles, pada kebanyakan kasus dengan hipertensi
arterial.Pecahnya pembuluh darah spontan adalah disebabkan berkurangnya
elastisiti pembuluh darah dan meningkatnya suseptibiliti. Cerebral amyloid
angiopati adalah penyakit yang tersering pada orang berusia.Perdarahan
intrserebral mengambil jalan yang paling rendah resistensinya dan menyebar
sepanjang neuronal fiber.Perdarahan intrserebral yang belokasi pada
suprtatentorial menyebabkan meningkatnya tekanan intracranial jika volume
lebih dari 60cc atau adanya lebih banyak atrofi pada otak.Akhirnya
meningkatkan tekanan pada jaringan dan hemostasis akhirnya menghentikan
perdarahan. Meningkatnya tekanan pada jaringan seterusnya ICH menyebabkan
bahaya Iskemik pada area tersebut dimana menyebabkan sitotoksik edema otak
dalam waktu 24 sampai 48 jam.Mekanisme ini menyebabkan peningkatan

12
intracranial sekunder dimana merosakkan neurologis sekunder dan memerlukan
pengobatan yang lebih.1

Perdarahan terkumpul dan membeku disebut sebagai hematom,dimana


akan terus membesar dan meningkatkan tekanan pada jaringan sekitar
otak.Peningkatan tekanan intracranial menyebabkan pasien konfius dan letargi.
Pada tempat perdarahan suplai darah berkurang dan menyebabkan stroke.Sel
darah yang mati melepaskan toksin dan menambahkan lagi kerusakan jaringan
di sekitar hematoma.Perdarahan intraserebral bisa terjadi pada superfisial atau
terjadi lebih dalam pada otak.Perdarahan yang dalam boleh menyebar sampai ke
ventrikel3.

Efek Patologis

Gambar 7 : Efek patologis9

1. Efek dari space occupaying – Otak bergeser

2. Hematoma dapat menyebabkan pelebaran untuk beberapa jam pertama jika


perdarahan terus berlanjut. Dalam waktu 48 jam darah dan plasma akan
mengelilingi otak dan menyebabkan gangguan pada sawar darah otak, edema
vasogenik dan sitotoksik, kerusakan neural dan nekrosis. Resolusi hematoma
terjadi dalam 4-8 minggu meninggalkan kavitas kista8.

II.7. DIAGNOSA

Faktor Resiko (Perdarahan Intracerebral Spontan11)

13
Tabel 1 : Faktor risiko ICH11

Sering Jarang

Hipertensi Trombosis vena cerebral

Umur Infeksi (aneurisme mikotik,vaskulitis)

Ras Neoplasma

Pengunaan alcohol yang berlebihan Malformasi vascular

Pengunaan Tembakau Apolipoprotein E

Pengunaan obat antikoagulan/ penyakit


koagulopati

Kokain

Riwayat

Semua percaya Pasien dengan ICH mempunyai gejala yang berat mirip
acute ischemic stroke (AIS) dan perdarahan subarachnoid (SAH), beberapa
penelitian menunjukkan kebanyakan dari pasien memiliki gejala yang progresif
dari mula. Penyelidikan konsisten dari tahun 1990s, dimana menunjukkan
perdarahan bertambah kira kira 40% dari pasien dalam masa 3 jam dari
onset.Permulaan gejala ICH termasuk bekurangnya kesadaran (medekati 50%),
sakit kepala (40%), muntah (40-50%) dan hipertensi (80-90%).Pasien ICH di
rekomendasi pemeriksaan neuroimaging untuk membezakan iskemik atau stroke
perdarahan11.

Gejala Klinis10

a) Onset perdarahan bersifat mendadak,terutama sewaktu melakukan aktivitas dan


dapat didahului oleh gejala prodromal berupa peningkatan tekanan darah yaitu
nyeri kepala,mual muntah,gangguan memori,bingung,perdarahan retina dan
epistaksis.

14
b) Penurunan kesadarn yang berat sampai koma disertai hemiplegia/hemiparase
dan dapat disertai kejang fokal/umum
c) Tanda-tanda penekanan batang otak,gejala pupil unilateral,reflex pergerakan
bola mata menghialang dan deserebrasi
d) Dapat dijumpai tanda-tanda tekanan tinggi intracranial (TTIK), misalnya
papilledema dan perdarahan subhialoid.

Mendiagnosa dengan Cepat ICH sangat penting . Perkembangan klinis yang


cepatselama beberapa jam pertama dengan cepat dapat menyebabkan kerusakan
neurologis dan ketidakstabilan kardio - paru .Presentasi klasik dalam ICH adalah
timbulnya progresif defisit neurologis fokal selama menit ke jam dengan disertai
sakit kepala, mual , muntah, penurunan tingkat kesadaran dan peningkatan tekanan
darah.Relatif ,pada stroke iskemik dan perdarahan subarachnoid , ada biasanya
lebih mendadak fokus deficits.Gejala sakit kepala dan muntah juga diamati lebih
sering pada stroke iskemik dibandingkan dengan ICH. Gejala ICHbiasanya karena
peningkatan ICP . Hal ini sering dibuktikanmelalui kehadiran triad Cushing –
hipertensi , bradikardia dan respirasi tidak teratur - dipicu oleh Cushing refleks.
Dysautonomia juga sering terjadi di ICH ,termasuk juga hiperventilasi , takipnea ,
bradikardia , demam , hipertensi dan hyperglycemia12.

Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisis dicari ada tidaknya tanda-tandanya trauma, yang


bisa menyebabkan terjadinya ICH dan tanda-tanda cedera. Spesifik neurologi
defisit berkolerasi dengan lokasi ICH dan defisit mirip pada AIS berhubung
juga dengan distribusi vaskular11.

Laboratorium

Pemeriksaan Laboratorium harus dilakukan termasuk pemeriksaam


darah lengkap, parameter koagulasi ( fibrinogen,PT,PTT,INR), serum
elektrolit,pemeriksaan fungsi hepar. Pemeriksaan lab tambahan dan diagnostik (
foto rontgen thorax dan EKG)11.

Neuroimaging

15
Gambar 8 :CT-scan adalah X-ray non-invasif untuk melihat struktur anatomi dalam otak
untuk melihat apakah ada darah di otak. Sebuah teknologi baru yang disebut CT
angiography melibatkan injeksi kontras ke dalam aliran darah untuk melihat arteri otak3.

Gambar 9: CT scan pada AVM

Pemeriksaan CT-scan adalah gold standard untuk permulaan


neuroimaging pada suspek ICH dan akankekal beberapa decade kedepan. CT
imaging bukan sahaja memeriksaa saiz dan lokasi pada perdarahan tetapi boleh
memberitahu penyebab lain perdarahan dan komplikasi kedua11

Angiography/ CT angiography dilakuakan secepatnya jika didapatkan


gejala klinis yang memerlukan operasi secepatnya.Untuk mengidentifikasi

16
penyebab sekunder seperti AVM dan aneurysma atau vaskulitis9.Pemeriksaan
imaging lain seperti MRI atau cerebral angiography diperlukan untuk
mengetahui lebih lanjut perdarahan pada kasus tidak khas11.

Metode yang mudah untuk mengetahui volume hematom yang pertama


kali di publisi oleh Kothari dan kawan-kawan adalah, mereka eringkaskan rumus
volume ellipsoid menjadi ABC/2 , dimana A B dan C merupakan diameter
diameter terbesar di setiap aksis ortoganal, dengan C sebagai dasar penomoran
CT slide hematom yang dilihat berdasarkan tingkat ketebalan
potongannnya.Pengukuran sangat berguna dalam perkembangan hemoragik dan
penentuan prognosis awal11.

SKOR ICH

Tabel2 : Penetuan ICH13

Komponen Skor ICH

Skor GCS

3-4 2

5-12 1

13-15 0

Volume ICH,cm3

≥ 30 1

<30 0

IVH

Ya 1

Tidak 0

ICH yang berasal dari infratentorial

17
Ya 1

Tidak 2

Umur

≥ 80 1

< 80 0

Total Skor ICH 0-6

Skor ICH adalah dikembangkan dari model regresi logistik untuk semua pasien
ICH. 5 karakteristik prediktor mortalitas 30 hari (dan karena itu termasuk dalam model
regresi logistik) yang masing-masing diberi titik pada dasar kekuatan hubungan dengan
hasilnya. Jumlah Skor ICH adalah jumlah poin dari berbagai karakteristik. Tabel
menunjukkan point tertentu yang digunakan dalam menghitung Skor ICH.

Skor GCS palingsangat terkait dengan hasil, itu diberikan palingberat dalam
skala. GCS dibagi menjadi 3 subkelompok (GCS skor dari 3 sampai 4, 5 sampai 12, dan
13 sampai 15) lebih akurat mencerminkan pengaruh yang sangat kuat dari skor GCS
pada hasil. Dari catatan, di UCSF (University of California, SanFrancisco) ICH kohort,
hanya 1 dari 35 pasien dengan skor GCS menunjukkan 3- 4 selamat sampai 30 hari,
dan hanya 5 dari 60 pasien dengan skor GCS menunjukkan dari 13-15 meninggal,
sedangkan 29 dari 57 pasien dengan skor GCS dari 5-12 meninggal dalam waktu 30
hari.

Umur lebih atau lebih 80 tahun juga sangat sangat terkait dengan mortalitas 30
hari. Karena usia di model prediksi yang pendikotomian sekitar titik potong dari 80
tahun dan tidak terkait dengan hasil di Kelompok infratentorial pasien, hanya 1 poin
ditugaskan untuk pasien berusia lebih sama dengan 80 tahun.

IVH, infratentorial asal ICH, dan Volume ICH semua memiliki kekuatan yang
relatif sama hasil asosiasi dan karena itu ditimbang sama di Skor ICH. IVH dan
infratentorial asal ICH yang dikotomis variabel dengan poin yang ada. Volume ICH

18
adalah pendikotomian untuk, < 30 dan ≥ 30 cm3.Tiga puluh sentimeter kubik dipilih
karena merupakan titik potong untuk meningkat kematian di kohort UCSF ICH, mudah
diingat, dan mirip dengan volume ICH titik potong yang digunakan dalam sebelum
models. Selanjutnya, tidak ada pasien dengan ICH infratentorial di UCSF ICH kohort
memiliki volume hematoma ≥ 30 cm3. Poin tambahan tidak ditugaskan untuk
hematoma lebih besar (misalnya, >60 cm3) karena, ketika diuji, ini tidak meningkatkan
akurasi Skor ICH dan akan diwakili sama dengan skor GCS, yang tidak dibenarkan
pada dasar kekuatan asosiasi hasil dalam logistic model regresi.

Skor ICH adalah dari 0-5 dari kohort yang dari berbagai kategori. Semakin
bertambah Skor ICH semakin bertambah kematian dalam masa 30 hari.Pasien dengan
Skor ICH 0 biasanya tidak ada yang mati, dan Skor ICH 5 kebanyakan semua pasien
meninggal. Tingkat kematian tiga puluh hari untuk pasien dengan Skor ICH dari 1, 2,
3, dan 4 adalah 13%, 26%, 72%, dan 97%, masing-masing. Tidak pasien di UCSF ICH
kohort memiliki Skor ICH dari 6 karena tidak ada pasien dengan ICH infratentorial
memiliki hematoma Volume ≥ 30 cm3. Namun, mengingat bahwa tidak ada pasien
dengan ICH Skor dari 5 selamat, Skor ICH dari 6 akan diharapkan untuk dikaitkan
dengan risiko mortalitas yang sangat tinggi13.

19
Gambar10 :Lokasi perdarahan Intraserebral14

2.8. Penanganan

Step 1
Pasien harus dirawat dan distabilisasi menurut ATLS
20
• Pasien dengan GCS dibawah 9 dilakukan pemasangan ETT
Step 2
Riwayat Penyakit- Pertanyaan sebaiknya mencakup riwayat
trauma, riwayat hipertensi, riwayat stroke sebelumnya,
diabetes, merokok, alcohol, riwayat pengobatan (khususnya
kokain, warfarin, aspirin, antikoagulan yang lain), penyakit
hematologi, penyakit hati, neoplasma, dan infeksi, atau AVM

Step 3
Penilaian gejala dengan menggunakan skala ROSIER (skor >
0,90 % berpotensi untuk stroke) untuk diagnose, dan ICH
(skor yang lebih besar, hasil yang lebih jelek) dan skor FUNC
(skor yang lebih besar,berpeluang mempengaruhi kualitas
hidup) untuk prognosis.

Step 4
Tes laboratorium dilakukan untuk pemeriksaan penunjang,
menilai faktor resiko ICH dan penyebab lain yang dapat
menyebabkan ICH, pemeriksaannya meliputi darah rutin,
elektrolit, INR, PT, tes kehamilan, tes toksikologi, matrix
metalloproteinase, foto thorax dan ECG.

Step 5
Pemeriksaan Radiologi- CT-scan dan MRI merupakan pilihan
pertama untuk pemeriksaan radiologi. Dengan menggunakan
CTA “spot sign” dapat diindikasi dimana merupakan faktor
risiko terhadap perluasan hematom dan sebagai peringatan
terhadap prognosis yang jelek jika tidak segera ditangani.

Step 6
Terapi 2
• Terapi potensial untuk ICH: menghentikan atau
memperlambat perdarahan dini pada awal kejadian
setelah onset (farmakoterapi, pembedahan, coiling
endovaskular)
• Penatalaksanaan terhadap gejala,tanda,dan komplikasi
seperti peningkatan intra cranial,penurunan perfusi otak,
dan terapi suportif untuk pasien dengan trauma kepala
berat.

21
Penanganan

1. Non operatif
2. Operatif

Non Operatif

Tanda-tanda vital pasien harus segera distabilkan menurut ATLS


guidelines.Pasien dengan ICH sering mempunayi masalah pada jalan napas dan
mungkin perlu intubasi endotrakeal (kriteria intubasi, GCS <8). urutan cepat
intubasi adalah pendekatan yang lebih disukai dengan administrasishort-acting
IV thiopental (1-5 mg / kg) atau lidocaine (1 mg / kg) untuk mencegah
peningkatan ICP yang mungkin timbul dari trakea stimulation. X-rayfoto dan
EKG harus dilalukan untuk menilai fungsi kardiopulmoner.CT scan kemudian
harus diperoleh untuk menentukan lanjut manajemen dan membuat
diagnosis.Pasien ICH sering kali ada kebutuhan untuk mentransfer pasien ke
unit perawatan intensif untuk pemantauan ICP dan intervensi bedah saraf .
Dokter harus menentukan apakah tingkat perawatan yang dibutuhkanmelebihi
kapasitas fasilitas mereka dan jika pasien mereka perlu ditransfer ke terdekat
tersier centre Stroke. Pendarahan , kejang , tekanan darah , dan tekanan
intracranial harus dipantau dan dikendalikan secara aktif . Terbaru pedoman dari
AHA / ASA menyatakan bahwa glukosa harus dipantau dan
normoglycemiadianjurkan ( Kelas I : Tingkat Bukti : C ). Perhatian khusus harus
diberikan kepada risiko iatrogenic hipoglikemia dikaitkan dengan peningkatan
risiko mortality. Antasida diberikan untuk mencegah ulkus lambung yang
berkaitan .Demam harus dikontrol dan profilaksis tromboemboli dilakukan
dengan stoking kompresi . Normothermia direkomendasikan sebagai hipertermia
ringan bahkan dapat menyebabkan kerusakan sel di daerah iskemik penumbra
pasca stroke .Setelah 1-2 hari pengobatan , terapi heparin dapat dipertimbangkan

22
untuk profilaksis tromboemboli lebih lanjut saat tidak ada peningkatan risiko
perdarahan berulang pada pasien.Reversibel warfarin antikoagulan dilakukan
untuk mengendalikan pendarahan dan ICH.Ini harus diselesaikan secepat
mungkin untuk menghentikan perluasan hematoma lanjut. Agen untuk Terapi
reversibel termasuk intravena vitamin K (VAK), segarbeku plasma (FFP),
protrombin kompleks konsentrat (PCC) dan rFVIIa.Vitamin K harus diberikan
dengan baikFFP atau PCC karena membutuhkan lebih dari enam jam untuk
menormalkanINR. Tekanan darah harus dikontrol untuk mencegah perdarahan
kembali dan expansi hematoma .Beta-blocker, seperti Labetalol, dan ACE
inhibitor, seperti enalapril, sering digunakan untuk mencapai kontrol tekanan
darah. Nitroprusside dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan harus
dihindari, kecuali bila diperlukan pada pasien dengan asma atau gagal jantung di
mana betablocker kontraindikasi.Kontrol hipertensi tergantung pada tekanan
sistolik, berarti tekanan arteri (MAP) dan ada tidaknya tekanan intrakranial pada
masuk dan berada di luar lingkup makalah ini, terdapat pada 2010 AHA / ASA
guidelines. Tekanan Intrakranial( ICP ) manajemen bergantung pada elevasi dari
kepala tempat tidur untuk 40 derajat untuk meningkatkan jugularis vena keluar .
Terapi yang lebih agresif, seperti terapai osmotic ( manitol , hipertonik salin )
membutuhkan tekanan intrakranial dan BP pemantauan untuk mempertahankan
otak yang memadai tekanan perfusi lebih besar dari 70 mmHg.Berikut adalah
rutin digunakan selama transfer pasien dari pusat perifer . Perhatian khusus
harus diberikan kepada risiko iatrogenic hipotensi yang disebabkan oleh
hipertensi yang cepat dan agresif , yang dapat menyebabkan ischemia serebral
Untuk control kejang, pedoman 2010 AHA / ASA merekomendasikan bahwa
pasien dengan kejang disertai dengan perubahan status mental harus
diperlakukan dengan benzodiazepin untuk kejang control yang cepat dan
Phenytoin untuk manajemen jangka panjang.

Operatif

Tujuan ideal pengobatan bedah ICH seharusnya membuang sebanyak


bekuan darah secepat mungkin dengan sedikitnya jumlah trauma otak dari
operasi itu sendiri.Jika memungkinkan, operasi juga harus menghapus penyebab

23
yang mendasari ICH, seperti malformasi arteri, dan mencegah komplikasi ICH
seperti efek hidrosefalus dan massa dari bekuan darah. Kraniotomi telah menjadi
pendekatan standar untuk ICH.Keuntungan utamanya adalah eksposur yang
memadai untuk membuang darah yang menggumpal.Menghilangkan bekuan
lebih lengkap dapat menurunkan ICP dan efek tekanan lokal dari bekuan darah
di sekitarnya otak.Kerugian utama dari bedah lebih luasPendekatan adalah
bahwa hal itu dapat menyebabkan kerusakan otak lebih lanjut, khususnyapada
pasien dengan perdarahan yang dalam.Selain itu,efektivitas menghilangkan
bekuan oleh kraniotomi jauh dari Ideal.

Kandidat non bedah

1. Pasien dengan perdarahan yang kecil (<10cm3) atau dengan defisit


neurologis minimal (tingkat bukti II melalui V, rekomendasi kelas B)
2. Pasien dengan GCS ≤ 4 (tingkat bukti II melalui V , rekomendasi kelas B).
Bagaimanapun, pasien dengan GCS yang mempunyai perdarahan cerebelar
dengan depresi batang otak masih bisa menjadi kandidat untuk pembedahan
dengan situasi klinis tertentu.

Kandidat bedah

1. Pasien dengan perdarahan cerebelar > 3 cm dengan defisit neurologis yang


memburuk atau terdapat kompresi batang otak dan hidrosefalus dari
obstruksi ventrikel harus dilakukan operasi untuk mengangkat bekuan darah
sesegara mngkin (tingkat bukti II melalui V, rekomendasi kelas C).
2. ICH terkait dengan lesi struktural seperti aneurisma, malformasi arterivena,
atau angioma kavernosa bisa di angkat jika pasien memiliki keluaran yang
baik dan akses yang mudah untuk dilakukan pembedahan pada lesi vaskular,
(tingkat bukti II melalui V, rekomendasi kelas C)
3. Pasien muda dengan perdarahan sedang atau besar yang memiliki keadaan
klinis yang buruk (tingkat bukti II melalui V, rekomendasi kelas B)

ALGORITHME16

24
pasien dengan defisit neurologis akut yang
disurigai menderita ICH harus menjalani
pemeriksaan CT-Scan tanpa kontras untuk
mendeteksi lokasi hematom dan
mengetahui ada tidaknya perdarahan
intraventrikular dan hidrocephalus

dilakukan pemilihan pasien yang akan menjalani operasi.


pasien yang direkomendasikan untuk operasi yaitu pasien dengan
diameter perdarahan > 3 cm, GCS < 14 semua pasien harus
dimonitor di dalam ICU
pasien umur muda dengan dengan perdarahn yang sedang atau
perdarahan lobaris yang besar dan gejala klinis yang memburuk atau
pasien dengan perdarahan gangglion basalis jika volume perdarahan
lebih dari 30 ml, perluasan hematom atau perburukan kondisi
neurologis yang progresif.

pasien dengan herniasi pasien yang mengalami pasien dengan


pasien dengan GCS < 8 trantentorial, kompresi pasien dengan MAP > kejang selama perdarahan hidrocephalus harus
dengan kesulitan batang otak, atau efek 130 mmHg diberikan harus diberikan diberikan kateter intra
menjaga air way atau terapi anti hipertensi antikonvulsan intravena ventrikular
massa yang berat,
disfungsi batang otak harus diberikan IV.
harus di lakukan hiperventilasi dan
pemasangan ETT dan mannitol intarvea
setelah 30 hari terapi lebih lanjut
ventilasi mekanik (terapi ini tidak
antikonvulsan memerlukan evaluasi
anjurkan untuk
dihentikan jika tidak neurosurgical
dilakukan lebih sering)
kejang

pasien
dapatdiekstubasi jika terapi jangka panjang
terdapat perbaikan dengan antikonvulsan
klinis dalam waktu 14 setelah 3 hari dapat
terapi lebih lanjut diberikan jika terjadi
hari selanjutnya dapat diberikan obat
memerlukan evaluasi kejang lebih dari dua
dilakukan trakeostomi antihipertensi oral jika
dari neurosurgical minggu setelah onset
kondisi pasien stabil.
perdarahan.

Daftar Pustaka

1.Intracerebral Hemorrhage,Indication for surgical treatment and surgical


treatment and Surgical Techniques.R.Raichart and S.Frank.Department of
surgery,Jena University Hospital,Friedrich-schiller-University,Erlanger Alle
101,D-07747 Jena Germany.

25
2.Hemorrhagic stroke,ppt,file3151p79

3.Intracerebral Hemorrhage (ICH).Mayfield clinic and Spine Institute. www.


mayfieldclini.com

4.Intracerebral haemorrhage.J M MacKenzie.Department of pathology,


Aberdeen Royal Infirmary Foresterhill,Aberdeen AB9 2ZD.Accepted for
publication 21 November 1995.

5.Head Injury,SM Tabatabei1, AM Seddighi1, A Seddighi2* Department of


Neurosurgery, Shahid Beheshti University of Medical Sciences, Neurofunctional
Reseach Center of Shohada Tajrissh Hospital, Tehran, 2Department of
Neurosurgery, Shahid Rajaee Hospital, Qazvin University of Medical Sciences,
Qazvin, Iran. WWW.ircmj.384 com Vol 13 June 2011.pg 382-91

6.Itracerebral Hemorrhage annotated Biobliography, Cristina


Gamboa,University of Illonois at Chicago,college of medicine medical
candidate,2010,Department of emergency medicine University of Illionois at
Chicago,college of medicine.pg 1-26

7.Spntaneous Intracerebral Hemorrhage.Adnan I Qureshi, dll.The New England


Journal of Medicine.N Engl J Med, Vol.344,No. 19. May
10,2001.www.nejm.org

8.anatomy of the brain.Mayfield Certified Health Info materials are written and
developed by the Mayfield Clinic & Spine Institute.

9.Cerebrovascular Disease-Intracerebral Haemorhage.Neurology and


Neurosurgery illustrated,Kennerh w.Lindsay.Ian Bone.Churchill Livingstone.4th
edition.pg 270-1

10.Stroke, Yayan,Fakulti of ,medicine –University of Riau Arifin Achmad


General Hospital of Peanbaru, Pekanbaru, Riau 2008.

11.Intracerebral Hemorrhage, Edward C. Jauch, Md,Ms.Assistant professor


department of emergency Medicine, University of Cincinnati,FERNE,
Foundation for education and research in neurological Emergencies.pg 1-10

26
12.Intracerebral Hemorrhage: Pathophysiology, Diagnosis and
Management.Fabio Magistris, BMSc,Stephanie Bazak, BScH,Jason
Martin.Volume 10 No. 1, 2013

13. The ICH Score: A Simple, Reliable Grading Scale for Intracerebral
Hemorrhage. J. Claude Hemphill III, David C. Bonovich, Lavrentios Besmertis,
Geoffrey T. Manley and S. Stroke. 2001;32:891-897

14.http://www.netterimages.com/image/6907.htm

15.Guidelines for the Management of Spontaneous Intracerebral Hemorrhage: A


Statementfor Healthcare Professionals From a Special Writing Group of the
Stroke CouncilAmerican Heart Association.Stroke. 1999;30:905-915.

16.Intracerebral Haemorrhage,ferne_acep_dc_0905_dorfman_ich_path

27
CASE BASED DISCUSSION
MIASTENIA GRAVIS

Oleh :
Kurniawan Hidayat
015.06.0012

Pembimbing :
dr. Luh Kadek Trisna Lestari, M.Biomed, Sp. S

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA

BAGIAN PENYAKIT SARAF

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR

RSU BANGLI

TAHUN 2020

Case Based Discussion Miastenia Gravis 1


KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadiran Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan
penyusunan laporan kasus ini dengan judul “MIASTENIA GRAVIS”. Dimana
dalam penyusunan laporan kasus ini merupakan salah satu syarat dalam mengikuti
kepaniteraan klinik di bagian SMF Bagian Penyakit Saraf RSU Bangli.
Tidak lupa juga saya mengucapkan terima kasih kepada para dosen yang
menjadi tutor atau fasilitator yang membimbing saya selama melaksanakan tugas
ini, dan juga semua pihak yang telah membantu sehingga saya dapat
menyelesaikannya laporan ini.
Dalam penyusunan laporan kasus ini saya menyadari bahwa masih banyak
kekurangannya sehingga saya menginginkan saran dan kritik yang membangun
dalam menyempurnakan laporan kasus.
Bangli, 17 Juni 2020

Penyusun

Case Based Discussion Miastenia Gravis 2


BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Myasthenia gravis (MG) merupakan kelainan pada neuromuscular


junction yang paling sering terjadi. Sebagian besar MG disebabkan oleh
proses autoimun terhadap reseptor asetilkolin. Penyakit autoimun lain yang
berasosiasi dengan MG adalah hypothyroidism, lupus, rheumatoid arthritis,
dan vitiligo. Antibodi terhadap asetilkolin ditermukan pada lebih dari 90%
pasien dengan MG. Asetilkolin merupakan transmiter yang sangat berperan
dalam proses eksitasi otot sehingga gangguan pada reseptor asetilkolin akan
menyebabkan gangguan eksitasi otot yang berujung pada kelemahan otot.
Prevalensi MG adalah 1 kasus diantara 10.000-20.000 orang. Onset
penyakit ini dapat terjadi pada berbagai usia, namun onset pada dekade
pertama kehidupan dilaporkan jarang terjadi. Puncak onset adalah usia 20-30
tahun pada wanita dan usia 50-60 tahun pada pria. Onset dibawah 40 tahun
lebih didominasi oleh wanita sedangan diatas 40 tahun pria lebih
mendominasi. Sebanyak 5% pasien MG berhubungan dengan penyakit
autoimun. Selain itu penyakit tiroid juga menjadi komorbid pada lebih dari
10% penderita.
Manifestasi klinis yang paling sering ditemukan pada penderita MG
adalah kelemahan otot yang utamanya memiliki motor nuclei di batang otak,
seperti otot okular, mastikasi, fasial, dan lingual. Kelemahan otot terjadi pada
aktivitas yang berkelanjutan, membaik dengan istirahat dan pemberian obat
anticholinesterase seperti prostigmin dan neostigmin. Kelemahan otot levator
palpebra atau otot ekstraokular merupakan manifestasi awal dari MG dan
terjadi pada lebih dari 90% kasus. Kelemahan pada otot yang berperan dalam
pembentukan ekspresi wajah, proses menelan, berbicara dan otot mastikasi
juga terjadi pada 80% kasus. Namun hanya sekitar 5-10% dari kasus yang
menunjukkan kelemahan pada otot tersebut tanpa melibatkan otot lainnya.
Faktor presipitasi terjadinya MG masih belum diketahui dengan pasti.
Namun diduga bahwa kemunculan gejala MG berasosiasi dengan perubahan
emosi, infeksi, kehamilan, masa nifas, dan abnormalitas yang terjadi pada
Case Based Discussion Miastenia Gravis 3
thymus. Peningkatan gejala juga terjadi setelah vaksinasi, menstruasi, atau
paparan terhadap suhu yang ekstrim.
Terdapat beberapa klasifikasi MG seperti klasifikasi yang diperkenalkan
oleh Osserman. Dalam klasifikasinya, Osserman menggolongkan MG ke
dalam beberapa kelas berdasarkan gejala yang muncul serta responnya
terhadap terapi antikolinesterase. Tujuan dari klasifikasi ini adalah untuk
mempermudah klinisi dalam menentukan prognosis pasien. Selain itu
terdapat klasifikasi yang dipublikasikan oleh Compston, et al yang
menggolongkan MG menjadi beberapa kelompok berdasarkan onset penyakit,
ada atau tidaknya thymoma, level antigen terhadap reseptor asetilkolin, serta
asosiasinya dengan HLA (human lympocyte antigen).

1.2 Tujuan
1.2.1 Mahasiswa mampu menjelaskan definisi miastenia gravis
1.2.2 Mahasiswa mampu menjelaskan etiologi miastenia gravis
1.2.3 Mahasiswa mampu menjelaskan patofisiologi miastenia gravis
1.2.4 Mahasiswa mampu menjelaskan kalsifikasi miastenia gravis
1.2.5 Mahasiswa mampu menjelaskan gejala klinis miastenia gravis
1.2.6 Mahasiswa mampu diagnosis miastenia gravis
1.2.7 Mahasiswa mampu menjelaskan penatalaksanaan miastenia gravis
1.2.8 Mahasiswa mampu menjelaskan komplikasi miastenia gravis
1.2.9 Mahasiswa mampu menjelaskan prognosis miastenia gravis

Case Based Discussion Miastenia Gravis 4


BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : Ny. A
Umur : 46 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Status perkawinan : menikah
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Agama : Hindu
Suku Bangsa : Bali - Indonesia
Alamat : Bangli
Tanggal MRS : 17 Juni 2020

2.2 ANAMNESIS
a. Keluhan Utama : Susah menelan
b. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien Ny. A 46 tahun datang ke IGD RSU Bangli dengan keluhan sulit
menelan makanan sejak 6 bulan sebelum masuk rumah sakit. Kesulitan
menelan makanan yang dialami semakin lama semakin memburuk, dan
mengakibatkan proses makan menjadi lambat. Berat badan pasien terlihat
menurun diakibatkan berkurangnya asupan makanan. Selain itu, pasien sering
tersedak, sukar mengunyah makanan, kedua kelopak mata menjadi turun,
lemah pada kedua tungkai dan suara pasien menjadi parau kemudian, suaranya
menjadi lemah dan menghilang ketika banyak bicara. Keluhan-keluhan
tersebut timbul saat pasien sedang beraktivitas dan membaik ketika pasien
istirahat. Buang air besar dan buang air kecil tidak ada keluhan.

Pasien mengakui kejadian seperti ini sudah dua kali terjadi pada dirinya.
Kejadian pertama kali dialami pada 2 tahun yang lalu, pasien merasa kedua
kelopak mata menjadi turun, keluhan tersebut muncul ketika pasien
beraktivitas dan membaik ketika istirahat. Keluhan seperti mual, muntah, sakit
kepala, bicara pelo,demam dan kejang disangkal. Riwayat trauma, pingsan,
keganasan, di bantah oleh pasien dan keluarganya.

Case Based Discussion Miastenia Gravis 5


c. Riwayat Penyakit Dahulu :
Keluhan ini sudah dirasakan sejak 3 tahun yang lalu. Awalnya
pasien merasa kesulitan menelan, kemudian suaranya menjadi
semakin kecil jika pasien kelelahan. Keluhan membaik bila pasien
beristirahat, namun muncul lagi jika pasien beraktivitas berat.
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat diabetes mellitus : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat stroke : disangkal
Riwayat Trauma : disangkal
Sakit kepala sebelumnya : disangkal
Kegemukan : disangkal

d. Riwayat Penyakit Keluarga :


Tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan seperti ini
sebelumnya.

e. Riwayat Pekerjaan, Sosial, Ekonomi, Kejiwaan, dan Kebiasaan


Pasien adalah seorang ibu rumah tangga, aktifitas fisik ringan-
sedang, tidak merokok, tidak minum kopi.

2.3 PEMERIKSAAN FISIK


a. Status generalis:
Keadaan Umum : Sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis cooperative
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Nadi : Teraba kuat, frekuensi 78 kali/menit, regular.
Nafas : Abdomino thorakal, frekuensi 22 kali/menit.
Suhu : 36,8 oC
Keadaan gizi : baik
Tinggi Badan : 158 cm
Berat Badan : 54 kg

Case Based Discussion Miastenia Gravis 6


b. Status Internus:
Rambut : hitam, lurus, tidak mudah dicabut.
Kulit dan kuku : tidak ada kelainan
Kelenjer Getah Bening :
- Leher : tidak ditemukan pembesaran KGB.
- Aksila : tidak ditemukan pembesaran KGB.
- Inguinal : tidak ditemukan pembesaran KGB.
Kepala : tidak ditemukan kelainan.
Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Hidung : tidak ditemukan kelainan.
Telinga : tidak ditemukan kelainan.
Leher : JVP 5-2 cmH2O
Paru
Inspeksi : simetris, kiri = kanan saat statis dan dinamis.
Palpasi : fremitus normal, kiri = kanan.
Perkusi : sonor.
Auskultasi : vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-.
Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat.
Palpasi : iktus kordis teraba 1 jari medial linea mid clavicula
sinistra RIC VI.
Perkusi : batas jantung dalam batas normal.
Auskultasi : irama teratur, HR: 61kali/menit, regular, bising tidak
ada.
Abdomen
Inspeksi : distensi tidak ada.
Palpasi : supel, hepar dan lien tidak teraba membesar.
Perkusi : timpani.
Auskultasi : bising usus (+) normal.

Case Based Discussion Miastenia Gravis 7


c. Status Neurologis
Kesadaran : GCS 15 (E4 V5 M6).
a. Tanda Rangsang Meningeal
Kaku Kuduk : Negatif
Tanda Kernig : Negatif
Tanda Brudzinski I : Negatif
Tanda Brudzinski II : Negatif

b. Nervus Kranialis
1. Nervus I (Olfaktorius) : O.D. O.S.
Subjektif (+), objektif (+).
2. Nervus II (Optikus) : O.D. O.S.
Visus : 5/5 5/5
Lapang pandang : Normal Normal
Tes warna : Normal Normal
Fundus : Normal Normal
Skotoma : Normal Normal

3. Nervus III, IV, VI (Okulomotorius, Trochlearis, Abducens)


O.D O.S
Kedudukan bola mata : Simetris Simetris
Nistagmus : Tidak ada Tidak ada
Ptosis : ada ada
Pupil : Isokor, bulat, Isokor, bulat,
3mm/3mm. 3mm/3mm.
Refleksi cahaya : + +
Refleks konsensuil : + +
Refleks konvergensi : + +
Gerakan bola mata : (Normal bisa ke semua arah kiri
dan kanan )

Case Based Discussion Miastenia Gravis 8


4. Nervus V (Trigeminus) :
Kanan Kiri
Sensorik :
N-V1 (ophtalmicus) : Normal Normal
N-V2 (maksilaris) : Normal Normal
N-V3 (mandibularis): Normal Normal
(pasien dapat menunjukkan tempat rangsang
raba)
Motorik : Pasien dapat membuka mulut (+) menggerakan
rahang (+) menggigit (+) mengunyah(+)
O.D O.S
Refleks kornea : Normal Normal
Refleks maseter : Normal Normal
Trismus : Tidak ada Tidak ada
Nyeri tekan : Tidak ada Tidak ada

5. Nervus VII (Fasialis) : Kanan Kiri


Otot-otot wajah dalam istirahat : Simetris Simetris
Mengerutkan dahi : Simetris Simetris
Menutup mata : Simetris Ptosis Simetris Ptosis
Meringis : Simetris Simetris
Bersiul : Simetris Simetris
Gerakan involunter (Tic) : Tidak Ada Tidak Ada
Indera Pengecap Kanan Kiri
Asam : + +
Asin : + +
Pahit : + +
Manis : + +

Hiperakusis : Tidak ada Tidak ada


Lakrimasi : Tidak ada Tidak ada
Chovstex sign : Tidak ada Tidak ada
Refleks Glabela : Tidak ada Tidak ada

Case Based Discussion Miastenia Gravis 9


6. Nervus VIII (Vestibulokoklearis) :
Mendengar suara bisik : (+) jarak 5 m
Uji garpu tala : Rinne : Normal kiri dan kanan
Schwabach: Normal kiri dan kanan
Weber : Normal kiri dan kanan
Bing : Normal kiri dan kanan
Tinitus : Tidak ditemukan
Vertigo : Tidak ditemukan

7. Nervus IX, X (Glosofaringeus, Vagus) :


Langit-langit lunak : (Normal)
Disfoni : Ada
Reflex menelan : menurun
Reflex muntah :+
Posisi uvula : Normal, deviasi (-)
Posisi arkus faring : Simetris

8. Nervus XI (Aksesorius) :
Kekuatan M. Sternokleidomastoideus : +/+
Kekuatan M. Trapezius : +/+

9. N XII (Hipoglosus) :
Saat Istirahat
Ujung Lidah : Simetris
Tremor lidah : Tidak ditemukan
Atrofi lidah : Tidak ditemukan
Fasikulasi : Tidak ditemukan
Saat Dijulurkan
Ujung Lidah : Simetris
Tremor lidah : Tidak ditemukan
Atrofi lidah : Tidak ditemukan
Fasikulasi : Tidak ditemukan
Disartria : Tidak ditemukan

Case Based Discussion Miastenia Gravis 10


c. Pemeriksaan Motorik Anggota Gerak Atas

Kanan Kiri

Anggota gerak atas Simetris Simetris

Tenaga:
 M. Deltoid (Abduksi) 5 5

 M. bisep (Fleksi) 5 5

 M. Trisep (Ekstensi) 5 5

 Fleksi pergelangan tangan 5 5


 Ekstensi pergelangan 5
5
tangan
 Abduksi jari-jari tangan 5 5

 Adduksi jari jari tangan 5 5

Tonus Normal Normal

Trofik Normal Normal

Refleks fisiologis :
 Bisep Normal Normal

 Trisep Normal Normal

 Radius Normal Normal

 Ulna Normal Normal

Reflex patologis :
 Hoffman-Tromner Normal Normal

 Menggenggam Normal Normal

Sensibilitas :
 Perasa raba Normal Normal

 Perasa nyeri Normal Normal

 Perasa suhu Normal Normal

 Perasa proprioseptif Normal Normal

 Perasa vibrasi Normal Normal

 Stereognosis Normal Normal

 Grafestesia Normal Normal

 Topognosis Normal Normal

Case Based Discussion Miastenia Gravis 11


 Paresthesia Normal Normal

Koordinasi :
 Uji telunjuk-hidung Normal Normal

 Uji hidung-telunjuk-hidung Normal Normal

 Uji diadokhokinesis Normal Normal

 Uji tepuk lutut Normal Normal

 Dismetri Tidak ada Tidak ada

 Stewart-Holmes Tidak ada Tidak ada

Vegetative :
 Vasomotorik Normal Normal

 Sudomotorik Normal Normal

 Pilo-arektor Normal Normal

Gerakan involunter :
 Tremor Negatif Negatif

 Khorea Negatif Negatif

 Ballismus Negatif Negatif

 Mioklonus Negatif Negatif

d. Pemeriksaan Badan
Keadaan tulang punggung : Normal
Keadaan otot-otot : Normal
Refleks :
Abdominal atas : Normal
Abdominal bawah : Normal
Kremaster : Normal
Anus : Normal
Sensibilitas :
Perasa raba : Normal
Perasa nyeri : Normal
Perasa suhu : Normal
Koordinasi :
Asinergia serebelar : Dalam batas normal

Case Based Discussion Miastenia Gravis 12


Vegetatif :
Kandung kencing : Dalam batas normal
Rectum : Dalam batas normal
Genitalia : Dalam batas normal
Gerakan involunter : Dalam batas normal

e. Pemeriksaan Motorik Anggota Gerak Bawah

Kanan Kiri

Anggota gerak bawah Simetris Simetris

Tenaga :
 Gerakan fleksi sendi panggul 2 2

 Gerakan ekstensi sendi panggul 2 2

 Gerakan fleksi sendi lutut 2 2

 Gerakan ekstensi sendi lutut 2 2

 Gerakan dorsofleksi sendi kaki 2 2

 Gerakan plantarfleksi sendi kaki 2 2

Tonus Hipotonus Hipotonus

Trofik Normal Normal

Reflex fisiologis :
 KPR Normal Normal

 APR Normal Normal

 Plantar Normal Normal

Reflex patologis :
 Babinski Negatif Negatif

 Oppenheim Negatif Negatif

 Chaddock Negatif Negatif

 Gordon Negatif Negatif

 Scaeffer Negatif Negatif

 Mendelbecterew
 Rossolimo
 Klonus :

Case Based Discussion Miastenia Gravis 13


- Paha Negatif Negatif

- Kaki Negatif Negatif

Sensibilitas :
 Perasa raba Normal Normal

 Perasa nyeri Normal Normal

 Perasa suhu Normal Normal

 Perasa proprioseptif Normal Normal

 Perasa vibrasi Normal Normal

 Stereognosis Normal Normal

 Grafestesia Normal Normal

 Topognosis Normal Normal

 Paresthesia Normal Normal

Koordinasi :
 Uji tumit-lutut Normal Normal

 Jalan menurut garis Normal Normal

 Romberg Normal Normal

 Tanden gait Normal Normal

Langkah/gaya jalan Tidak dapat dievaluasi

Vegetatif :
 Vasomotorik Normal Normal

 Sudomotorik Normal Normal

 Pilo-arektor Normal Normal

Gerakan involunter :
 Tremor Negatif Negatif

 Khorea Negatif Negatif

 Ballismus Negatif Negatif

 Mioklonus Negatif Negatif

 Atetosis Negatif Negatif

 Distonia Negatif Negatif

 Spasmus Negatif Negatif

Lasegue Negatif Negatif

Case Based Discussion Miastenia Gravis 14


 Tes Wartenberg : (+)
 Tes Tensilon : (+)
 Tes Prostigmin : (+)

2.4 RESUME
Pasien perempuan NY. A barumur 46 tahun datang ke RSU Bangli dengan
keluhan sulit menelan makanan sejak 6 bulan sebelum masuk rumah sakit.
Kesulitan menelan makanan yang dialami semakin lama semakin memburuk,
dan mengakibatkan proses makan menjadi lambat. Berat badan pasien terlihat
menurun diakibatkan berkurangnya asupan makanan. Selain itu, pasien sering
tersedak, sukar mengunyah makanan, kedua kelopak mata menjadi turun,
lemah pada kedua tungkai dan suara pasien menjadi parau kemudian, suaranya
menjadi lemah dan menghilang ketika banyak bicara. Keluhan-keluhan
tersebut timbul saat pasien sedang beraktivitas dan membaik ketika pasien
istirahat. Buang air besar dan buang air kecil tidak ada keluhan. Pasien
mengakui kejadian seperti ini sudah dua kali terjadi pada dirinya. Kejadian
pertama kali dialami pada 2 tahun yang lalu. Keluhan seperti mual, muntah,
sakit kepala, bicara pelo,demam dan kejang disangkal. Riwayat trauma,
pingsan, keganasan, di bantah oleh pasien dan keluarganya.

2.5 DIAGNOSIS
Diagnosis klinis :
 GCS E4M6V5
 Paraparese inferior
 Parese nervus III, IX, X
Diagnosis topis : Neuromuscular Junction(motor end plate)
Diagnosis banding
 GBS
 Sindrom Eaton-Lambert (Lambert-Eaton Myasthenic Syndrome)
 Meningitis basalis (tuberkulosa atau luetika)
 Paralisis pasca difteri

Case Based Discussion Miastenia Gravis 15


2.6 PEMERIKSAAN LABORATORIUM :
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
HEMATOLOGI RUTIN
Hemoglobin 13.6 12-16 g/dL
Hematokrit 38 37-47%
Eritrosit 4.4 4,3-6,0 juta/µL
Leukosit 12800 4800-10800/µL
Trombosit 153000 150000-400000/µL
MCV 78 80-96 fl
MCH 26 27-32 pg
MCHC 33 32-36 g/dL
KOAGULASI
D-dimer 1040 <500 mg/mL

Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan


KIMIA KLINIK
Kolesterol total 168 <200 mg/dL
Trigliserida 123 <160 mg/dL
Kolesterol HDL 43 >36 mg/dL
Kolesterol LDL 90 <100 mEq/L
Glukosa Sewaktu 103 < 140 mg/dL
Analisa Gas Darah
PH 7.42 7.35-7.45
PO2 103 71-104
PCO2 42 33-44
HCO3 23.3 22-29
Kelebihan Basa -1 -2 -- +3
O2 saturasi 97.8 94-98
Elektrolt
Natrium 140 135-147
Kalium 3.6 3.5-5
Chlorida 102.8 96-111
Calsium 10 8.1-10.4

2.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG :


a. EKG
b. EMG
c. CT Scan
d. Foto Thorax
2.6 DIAGNOSIS
Diagnosa Kerja : Miastenia Gravis grade IIb
Case Based Discussion Miastenia Gravis 16
2.7 PENATALAKSANAAN :
a. Terapi umum:
- IVFD Ringer Laktat 12 jam/kolf.
b. Terapi khusus:
- Mestinon 4x60 mg (p.o)
- Metil prednisolone 4x125 mg (i.v)  tap off.
- Ranitidin 2x50 mg (i.v)
2.8 PROGNOSIS
- Quo ad vitam: bonam.
- Quo ad sanationam: dubia ad bonam
- Quo ad functionam: dubia ad bonam.

Case Based Discussion Miastenia Gravis 17


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Neuromuscular Junction


Sebelum memahami tentang miastenia gravis, pengetahuan tentang anatomi
dan fungsi normal dari neuromuscular junction sangatlah penting. Tiap-tiap
serat saraf secara normal bercabang beberapa kali dan merangsang tiga hingga
beberapa ratus serat otot rangka. Ujung-ujung saraf membuat suatu
sambungan yang disebut neuromuscular junction atau sambungan
neuromuskular.1

Bagian terminal dari saraf motorik melebar pada bagian akhirnya yang disebut
terminal bulb, yang terbentang diantara celah-celah yang terdapat di sepanjang
serat saraf. Membran presinaptik (membran saraf), membran post sinaptik
(membran otot), dan celah sinaps merupakan bagian-bagian pembentuk
neuromuscular junction.1

Gambar 1 neuromuscular junction normal Gambar 2 Reseptor asetilkolin 66

2.2 Fisiologi dan Biokimia Neuromuscular Junction


Celah sinaps merupakan jarak antara membran presinaptik dan
membran post sinaptik. Lebarnya berkisar antara 20-30 nanometer dan terisi
oleh suatu lamina basalis, yang merupakan lapisan tipis dengan serat retikular
seperti busa yang dapat dilalui oleh cairan ekstraselular secara difusi. 1,2

Case Based Discussion Miastenia Gravis 18


Terminal presinaptik mengandung vesikel yang didalamnya berisi
asetilkolin (ACh). Asetilkolin disintesis dalam sitoplasma bagian terminal
namun dengan cepat diabsorpsi ke dalam sejumlah vesikel sinaps yang kecil,
yang dalam keadaan normal terdapat di bagian terminal suatu lempeng akhir
motorik (motor end plate).1,2
Bila suatu impuls saraf tiba di neuromuscular junction, kira-kira 125
kantong asetilkolin dilepaskan dari terminal masuk ke dalam celah sinaps. Bila
potensial aksi menyebar ke seluruh terminal, maka akan terjadi difusi dari ion-
ion kalsium ke bagian dalam terminal. Ion-ion kalsium ini kemudian diduga
mempunyai pengaruh tarikan terhadap vesikel asetilkolin. Beberapa vesikel
akan bersatu ke membran saraf dan mengeluarkan asetilkolinnya ke dalam
celah sinaps. Asetilkolin yang dilepaskan berdifusi sepanjang sinaps dan
berikatan dengan reseptor asetilkolin (AChRs) pada membran post sinaptik. 1,2
Secara biokimiawi keseluruhan proses pada neuromuscular junction
dianggap berlangsung dalam 6 tahap, yaitu:2
1. Sintesis asetil kolin terjadi dalam sitosol terminal saraf dengan
menggunakan enzim kolin asetiltransferase yang mengkatalisasi
reaksi berikut ini:

Asetil-KoA + Kolin à Asetilkolin + KoA

2. Asetilkolin kemudian disatukan ke dalam partikel kecil terikat-


membran yang disebut vesikel sinap dan disimpan di dalam vesikel ini.
3. Pelepasan asetilkolin dari vesikel ke dalam celah sinaps merupakan
tahap berikutnya. Peristiwa ini terjadi melalui eksositosis yang
melibatkan fusi vesikel dengan membran presinaptik. Dalam keadaan
istirahat, kuanta tunggal (sekitar 10.000 molekul transmitter yang
mungkin sesuai dengan isi satu vesikel sinaps) akan dilepaskan secara
spontan sehingga menghasilkan potensial endplate miniature yang
kecil. Kalau sebuah akhir saraf mengalami depolarisasi akibat
transmisi sebuah impuls saraf, proses ini akan membuka saluran Ca 2+
yang sensitif terhadap voltase listrik sehingga memungkinkan aliran
masuk Ca2+ dari ruang sinaps ke terminal saraf. Ion Ca2+ ini
memerankan peranan yang esensial dalam eksositosis yang

Case Based Discussion Miastenia Gravis 19


melepaskan asetilkolin (isi kurang lebih 125 vesikel) ke dalam rongga
sinaps.
4. Asetilkolin yang dilepaskan akan berdifusi dengan cepat melintasi
celah sinaps ke dalam reseptor di dalam lipatan taut (junctional fold),
merupakan bagian yang menonjol dari motor end plate yang
mengandung reseptor asetilkolin (AChR) dengan kerapatan yang
tinggi dan sangat rapat dengan terminal saraf. Kalau 2 molekul
asetilkolin terikat pada sebuah reseptor, maka reseptor ini akan
mengalami perubahan bentuk dengan membuka saluran dalam reseptor
yang memungkinkan aliran kation melintasi membran. Masuknya ion
Na+ akan menimbulkan depolarisasi membran otot sehingga terbentuk
potensial end plate. Keadaan ini selanjutnya akan menimbulkan
depolarisasi membran otot di dekatnya dan terjadi potensial aksi yang
ditransmisikan disepanjang serabut saraf sehingga timbul kontraksi
otot.
5. Kalau saluran tersebut menutup, asetilkolin akan terurai dan
dihidrolisis oleh enzim asetilkolinesterase yang mengkatalisasi reaksi
berikut:

Asetilkolin + H2O à Asetat + Kolin

Enzim yang penting ini terdapat dengan jumlah yang besar dalam
lamina basalis rongga sinaps.
6. Kolin didaur ulang ke dalam terminal saraf melalui mekanisme
transport aktif di mana protein tersebut dapat digunakan kembali bagi
sintesis asetilkolin.

Setiap reseptor asetilkolin merupakan kompleks protein besar dengan


saluran yang akan segera terbuka setelah melekatnya asetilkolin. Kompleks
ini terdiri dari 5 protein subunit, yatiu 2 protein alfa, dan masing-masing satu
protein beta, delta, dan gamma. Melekatnya asetilkolin memungkinkan
natrium dapat bergerak secara mudah melewati saluran tersebut, sehingga
akan terjadi depolarisasi parsial dari membran post sinaptik. Peristiwa ini
akan menyebabkan suatu perubahan potensial setempat pada membran serat

Case Based Discussion Miastenia Gravis 20


otot yang disebut excitatory postsynaptic potential (potensial lempeng akhir).
Apabila pembukaan gerbang natrium telah mencukupi, maka akan terjadi
suatu potensial aksi pada membran otot yang selanjutnya menyebabkan
kontraksi otot.2

2.3 Miastenia Gravis


2.3.1 Definisi Miastenia Gravis
Miastenia gravis (MG) adalah penyakit yang disebabkan oleh defek pada
transmisi neuromuscular yang dimediasi oleh antibodi (autoimun) pada
reseptor nikotinik asetilkolin (Ach) di neuromuscular junction. Penyakit
ini ditandai dengan kelemahan yang fluktuatif. Penyakit ini ditandai
dengan kelemahan atau kelumpuhan otot-otot lurik setelah melakukan
aktivitas, dan akan pulih kekuatannya setelah beberapa saat yaitu dari
beberapa menit sampai beberapa jam.4

Kata miastenia gravis, menurut Bahasa latin dan Yunani berarti “grave
muscle weakness”. Tetapi jika diberikan terapi secara tepat, penderita
miastenia gravis tidak berakhir dengan kematian sesuai dengan implikasi
namanya yaitu “kuburan”.5 Jolly (1895) adalah orang yang pertama kali
menggunakan istilah miastenia gravis dan ia juga yang mengusulkan
pemakaian fisostigmin sebagai obatnya namun tidak berlanjut. Kemudian
Remen (1932) dan Walker (1934) menyatakan bahwa fisostigmin
merupakan obat yang baik untuk miastenia gravis. 4
2.3.2 Klasifikasi Miastenia Gravis
Miastenia Gravis Foundation of America Clinical mengklasifikasikan
miastenia gravis menjadi 5 yaitu:6

Tabel 1 Klasifikasi miastenia gravis menurut Miastenia Gravis Foundation


of America Clinical.6
Derajat Gejala
I Adanya kelemahan otot-otot okular, kelemahan pada saat
menutup mata, dan kekuatan otot-otot lain normal
II Terdapat kelemahan otot okular yang semakin parah, serta
adanya kelemahan ringan pada otot-otot lain selain otot
okular

Case Based Discussion Miastenia Gravis 21


IIa Mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau
keduanya. Juga terdapat kelemahan otot-otot orofaringeal
yang ringan
IIb Mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau
keduanya. Kelemahan pada otot-otot anggota tubuh dan otot-
otot aksial lebih ringan dibandingkan klas IIa
III Terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot okular.
Sedangkan otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami
kelemahan tingkat sedang
IIIa Mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau
keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot
orofaringeal yang ringan
IIIb Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan, atau
keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot-otot
anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya dalam derajat
ringan
IV Otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan
dalam derajat yang berat, sedangkan otot-otot okular
mengalami kelemahan dalam berbagai derajat
IVa Secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh
dan atau otot-otot aksial. Otot orofaringeal mengalami
kelemahan dalam derajat ringan
IVb Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan atau
keduanya secara predominan. Selain itu juga terdapat
kelemahan pada otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial,
atau keduanya dengan derajat ringan. Penderita
menggunakan feeding tube tanpa dilakukan intubasi
V Penderita terintubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik

Untuk menentukan prognosis dan pengobatannya, penderita miastenia


gravis dibagi atas 4 golongan yaitu antara lain :4
Golongan I : Miastenia Okular
Pada kelompok ini terdapat gangguan pada satu atau beberapa otot okular
yang menyebabkan timbulnya gejala ptosis dan diplopia, seringkali ptosis
unilateral. Bentuk ini biasanya ringan akan tetapi seringkali resisten
terhadap pengobatan.4

Golongan II : Miastenia bentuk umum yang ringan


Timbulnya gejala perlahan-lahan dimulai dengan gejala okular yang
kemudian menyebar mengenai wajah, anggota badan dan otot-otot bulbar.
Otot- otot respirasi biasanya tidak terkena. Perkembangan ke arah
golongan III dapat terjadi dalam dua tahun pertama dari timbulnya
penyakit miastenia gravis.4
Case Based Discussion Miastenia Gravis 22
Golongan III : Miastenia bentuk umum yang berat
Pada kasus ini timbulnya gejala biasanya cepat, dimulai dari gangguan otot
okular, anggota badan dan kemudian otot pernafasan. Kasus-kasus yang
mempunyai reaksi yang buruk terhadap terapi antikolinesterase berada
dalam keadaan bahaya dan akan berkembang menjadi krisis miastenia. 4

Golongan IV : Krisis miastenia


Kadang-kadang terdapat keadaan yang berkembang menjadi kelemahan
otot yang menyeluruh disertai dengan paralisis otot pernafasan. Hal ini
merupakan keadaan darurat medik. Krisis miastenia dapat terjadi pada
penderita golongan III yang kebal terhadap obat-obat antikolinesterase
yang pada saat yang sama menderita infeksi lain.

Keadaan lain yang berkembang menjadi kelumpuhan otot-otot pernafasan


adalah disebabkan oleh banyaknya dosis pengobatan dengan
antikolinesterase yang disebut krisis kolinergik. Ada beberapa faktor yang
mempengaruhi perjalanan penyakit ini, penderita akan bertambah lemah
pada waktu menderita demam, pada golongan III biasanya akan terjadi
krisis miastenia pada waktu adanya infeksi saluran nafas bagian atas, pada
kebanyakan wanita akan terjadi peningkatan kelemahan pada saat
menstruasi.4

2.3.3 Epidemiologi
Di Amerika serikat, miastenia gravis jarang ditemukan. Kejadiannya
sekitar 2 dari 1.000.000 penduduk per tahun. Prevalensinya berkisar antara
0,5 – 14,2 kasus per 100.000 penduduk. Angka kejadian miastenia gravis
meningkat sejak 2 dekade terakhir. Hal ini disebabkan oleh peningkatan
umur pasien miastenia gravis dan karena diagnosis miastenia gravis yang
dilakukan lebih awal.6,7

Case Based Discussion Miastenia Gravis 23


Tingkat keparahan penyakit miastenia gravis dikelompokkan menjadi dua
yaitu miastenia gravis umum dan ocular. 20 – 25% pasien hanya
mengalami kelemahan pada otot ocular. Pada pasien miastenia gravis
umum, 84,8% ditemukan antibody terhadap reseptor asetilkolin (AchR)
dan hanya 14,3% pada pasien yang hanya terkena otot ocular.7 Miastenia
gravis dapat mengenai segala umur. Puncak kejadian pada perempuan
pada usia dekade ke 3 kehidupan, sedangkan pada laki-laki pada usia 6 – 7
dekade kehidupan. Usia rata-rata adalah 28 tahun pada perempuan dan 42
tahun pada laki-laki.6

2.3.4 Etiologi
Miastenia gravis adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh
autoimun. Penyakit ini berhubungan dengan penyakit lain yaitu
tirotoksikosis, miksedema, rheumatoid artritis dan lupus eritematosus
sistemik. Dulu, IgG merangsang pelepasan thymin, suatu hormone dari
kelenjar timus yang mempunyai kemampuan mengurangi jumlah
asetilkolin. Sekarang, penyebab miastenia gravis adalah kerusakan reseptor
asetilkolin neuromuscular junction akibat penyakit autoimun. 4
Antibodi yang menyebabkan terjadinya miastenia gravis dikenal
sebagai antiacetylcholine reseptor antibodi. Antibodi ini diproduksi oleh
kelenjar timus. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya perbaikan pada
pasien miastenia gravis yang dilakukan pengangkatan kelenjar timus
(timektomi). Selain itu, 80% pasien miastenia gravis didapatkan
mengalami pembesaran timus dan 10% diantaranya memperlihatkan
gambaran timoma. Sedangkan sisanya ditemukan adanya infiltrat limfosit
pada pusat germinativa kelenjar timus seperti halnya pada penderita lupus
eritematosus sistemik, tirotoksikosis, miksedema, penyakit Addison dan
anemia hemolitik eksperimental pada tikus.8
Beberapa obat yang dapat menimbulkan kekambuhan gejala pada
miastenia gravis antara lain:6
1. Antibiotik, missal: golongan aminoglikosida, polimiksin,
ciprofloxacin, eritromisin dan ampisilin.

Case Based Discussion Miastenia Gravis 24


2. Penisilamin. Obat ini dapat menginduksi terjadinya miastenia gravis
dengan meningkatkan titer antibodi terhadap AChR pada 90% kasus.
Bagaimanapun, kelemahannya ringan. Gejalanya akan hilang setelah
penghentian pemakaian obat selama beberapa minggu hingga
beberapa bulan.

2.3.5 Patofisiologi
Kelemahan otot pada miastenia gravis dan meningkatnya kelemahan otot
pada saat melakukan kegiatan fisik disebabkan oleh penurunan jumlah
reseptor asetilkolin pada neuromuscular junction. Pada orang normal
waktu untuk kegiatan fisik lebih lama dibandingkan waktu yang
dibutuhkan untuk pemulihan kekuatan otot atau istirahat, sebaliknya pada
miastenia gravis justru waktu yang dibutuhkan untuk istirahat adalah lebih
lama dibandingkan dengan waktu yang dibutuhkan untuk kegiatan fisik. 4

Gambar 3 Patofisiologi terjadinya Miastenia Gravis karena terjadi


penghancuran autoantibodi terhadap AChR 9
Ketika sebuah potensial aksi bergerak ke motor neuron dan
mencapai motor end plate, molekul asetilkolin (Ach) dilepaskan dari
vesikel presinaptik, melalui neuromuscular junction dan kemudian akan
berinteraksi dengan reseptor Ach (AchRs) di membran postsinaptik.
Kanal-kanal di AchRs terbuka, memungkinkan Na+ dan kation lain untuk
Case Based Discussion Miastenia Gravis 25
masuk ke dalam serat otot dan menimbulkan depolarisasi. Depolarisasi
yang terus menerus terjadi akan berkumpul menjadi satu, dan jika
depolarisasi yang terkumpul cukup besar, maka akan memicu timbulnya
potensial aksi, yang bergerak sepanjang serat otot untuk menghasilkan
kontraksi.10
Pada miastenia gravis, ada pengurangan jumlah AchRs yang
tersedia di motor end plate atau mendatarnya lipatan pada membran
postsinaptik yang menyebabkan pengurangan jumlah reseptor pada motor
end plates, sehingga depolarisasi yang terjadi pada motor end plate lebih
sedikit dan tidak terkumpul menjadi potensial aksi. Hasilnya adalah
sebuah transmisi neuromuskuler yang tidak efisien. Tiga mekanisme yang
didapatkan dari penelitian antara lain: auto antibodies terhadap reseptor
AchR dan menginduksi endositosis, sehingga terjadi deplesi AChR pada
membran postsinaptik, autoantibodi sendiri menyebabkan gangguan fungsi
AChR dengan memblokir situs-situs tempat terikatnya asetilkolin dan auto
antibodi menyebabkan kerusakan pada motor endplates sehingga
menyebabkan hilangnya sejumlah AChR.10
Konsentrasi antibodi AChR tidak berkolerasi terhadap tingkat
keparahan MG. Miopati inflammatory dapat terjadi pada pasien miastenia
gravis dan diassumsi disebabkan oleh polimiositis. 11 Antibodi poliklonal
IgG terhadap AChR diproduksi oleh sel plasma di organ limfoid perifer,
sum-sum tulang dan timus.611,12 Sel ini berasal dari sel B yang telah
diaktivasi oleh sel T yang antigen spesifik. Sel T juga telah diaktivasikan,
pada kasus ini dengan berikatan dengan urutan peptide antigen AChR
(epitop) yang terdapat di dalam histocompatibility antigen pada
permukaan sel antigen-presenting.12

Case Based Discussion Miastenia Gravis 26


2.3.6 Manifestasi Klinis
Gambaran klinis miastenia gravis sangat jelas yaitu dari kelemahan lokal
yang ringan sampai pada kelemahan tubuh secara menyeluruh yang fatal.
33% kasus hanya terdapat gejala kelainan otot ocular disertai dengan
kelemahan otot lainnya. Kelemahan ekstremitas tanpa disertai dengan
kelemahan otot ocular jarang terjadi, hanya sekitar 15%.selebihnya (sekitar
20% kasus) didapatkan mengalami kesulitan menelan dan mengunyah. 4

Gejala kelemahan miastenia gravis sangat khas dimana kelemahan tersebut


bersifat fluktuatif. Kelemahan akan meningkat apabila sedang beraktivitas.
Penderita akan merasa ototnya sangat lemah pada siang hari dan
kelemahan ini akan berkurang apabila penderita beristirahat. 13

Anamnesis yang klasik pada penderita miastenia gravis tipe ocular


adalah adanya gejala diplopia yang timbul pada sore hari atau pada waktu
magrib dan menghilang pada waktu pagi harinya. Dapat pula timbul ptosis
pada otot kelopak mata. Bila otot-otot bulbar terkena, suaranya menjadi
suara basal yang cenderung berfluktuasi dan suara akan memburuk bila
percakapan berlangsung terus. Pada kasus yang berat akan terjadi afoni
temporer. Adanya kelemahan rahang yang progresif pada waktu
mengunyah dan penderita sering kali menunjang rahangnya dengan tangan
saat mengunyah. Keluhan lain adalah adanya disfagia dan regurgitasi
makanan sewaktu makan.4

Gambar pasien miastenia gravis yang mengalami ptosis13

Case Based Discussion Miastenia Gravis 27


2.3.7 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis yang seksama dan
pemeriksaan fisik sederhana untuk menilai berkurangnya kekuatan otot
setelah aktivitas ringan tertentu, kemudian dilanjutkan dengan
pemeriksaan farmakologik yaitu tes endrofonium atau tes neostigmin.
dapat juga dilakukan pemeriksaan penunjang lain seperti
electromyography (EMG) dan rontgen thoraks. 4
1. Anamnesis
Perlu ditanyakan adanya gejala yang khas pada penderita miastenia
gravis yaitu berupa kelemahan otot yang bersifat fluktuatif.
Kelemahan akan terasa pada saat beraktivitas dan membaik setelah
istirahat.11 Pada pasien dengan miastenia gravis ocular penting
ditanyakan mengenai gejala klasik pada pasien miastenia gravis tipe
ocular yaitu gejala diplopia saat sore hari dan menghilang pada pagi
hari. Serta ptosis dan suara yang semakin lama semakin mengecil jika
pasien berbicara dalam waktu yang cukup lama. 4
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan berdasarkan pada kelelahan otot-otot
yang terkena. Caranya antara lain:4
a. Meminta pasien untuk melihat objek di atas level bola mata akan
timbul ptosis pada miastenia ocular.
b. Mengangkat lengan akan mengakibatkan jatuhnya lengan bila otot-
otot bahu terkena.
c. Pada kasus-kasus bulbar, pasien diminta untuk menghitung dari
angka 1 sampai 100, maka volume suara akan menghilang atau
timbul disartria.
d. Sulit menelan barium bila terdapat gejala disfagia.
3. Pemeriksaan farmakologi
Pemeriksaan farmakologi yang dapat dilakukan untuk menegakkan
diagnosis miastenia gravis yaitu:
a. Uji Tensilon (edrophonium chloride),
Tes ini dilakukan dengan cara menyuntikkan 2 mg tensilon secara
intravena, bila tidak terdapat reaksi maka disuntikkan lagi

Case Based Discussion Miastenia Gravis 28


sebanyak 8 mg tensilon secara intravena. Segera sesudah tensilon
disuntikkan hendaknya diperhatikan otot-otot yang lemah seperti
misalnya kelopak mata yang memperlihatkan ptosis. Bila
kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis, maka ptosis
itu akan segera lenyap. Pada uji ini kelopak mata yang lemah harus
diperhatikan dengan sangat seksama, karena efektivitas tensilon
sangat singkat.4
b. Uji Prostigmin (neostigmin)
Pada tes ini, disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin methylsulfat
secara intramuskular (bila perlu, diberikan pula atropin ¼ atau ½
mg). Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis
maka gejala-gejala seperti misalnya ptosis, strabismus atau
kelemahan lain tidak lama kemudian akan lenyap. 4

4. Pemeriksaan Laboratorium
a. Anti-asetilkolin reseptor antibodi
Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis
suatu miastenia gravis, dimana terdapat hasil yang postitif pada
74% pasien. 80% dari penderita miastenia gravis generalisata dan
50% dari penderita dengan miastenia okular murni menunjukkan
hasil tes anti-asetilkolinreseptor antibodi yang positif. Pada pasien
thymoma tanpa miastenia gravis sering kali terjadi false positive
anti-AChR antibodi. Rata-rata titer antibodi pada pemeriksaan anti-
asetilkolin reseptor antibodi, yang dilakukan oleh Tidall, di
sampaikan pada tabel berikut: 6

Tabel 2. Prevalensi dan Titer Anti-AChR Ab pada Pasien


Miastenia Gravis.6
Osserman Class Mean antibodi Titer Percent Positive
R 0.79 24
I 2.17 55
IIA 49.8 80
IIB 57.9 100
III 78.5 100
IV 205.3 89

Case Based Discussion Miastenia Gravis 29


Keterangan: R = remission, I = ocular only, IIA = mild
generalized, IIB = moderate generalized,III = acute
severe, IV = chronic severe
Pada tabel 2 dapat dilihat bahwa titer antibodi lebih tinggi
pada penderita miastenia gravis dalam kondisi yang parah,
walaupun titer tersebut tidak dapat digunakan untuk
6
memprediksikan derajat penyakit miastenia gravis.

b. Anti striated muscle (anti-SM) antibodi


Merupakan salah satu tes yang penting pada penderita miastenia
gravis. Tes ini menunjukkanhasil positif pada sekitar 84% pasien
yang menderita thymoma dalam usia kurang dari 40 tahun.Pada
pasien tanpa thymoma dengan usia lebih dari 40 tahun, anti-SM Ab
dapat menunjukkanhasil positif.6
c. Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies.
Hampir 50% penderita miastenia gravis yang menunjukkan hasil
anti-AChR Ab negatif (miastenia gravis seronegarif), menunjukkan
hasil yang positif untuk anti-MuSK Ab.6
d. Anti striational antibodies
Dalam serum beberapa pasien dengan miastenia gravis
menunjukkan adanya antibodi yang berikatan dalam pola cross-
striational pada notot rangka dan otot jantung penderita. Antibodi
ini bereaksi dengan epitop pada reseptor protein titin dan ryanodine
(RyR). Antibodi ini selalu dikaitkan dengan pasien thymoma
dengan miastenia gravis pada usia muda. Terdeteksinya titin/RyR
antibodi merupakan suatu kecurigaaan yang kuat akan adanya
thymoma pada pasienmuda dengan miastenia gravis.6

Case Based Discussion Miastenia Gravis 30


2.3.8 Penatalaksanaan

Gambar 4 Alur
penatalaksanaan
Miastenia
Gravis.10

Dasar pengobatan adalah dengan menggunakan obat-obat


antikolinesterase misalnya neostigmin dan piridostigmin. Obat-obat ini
berperan menghambat kolinesterase yang kerjanya menghancurkan
asetilkolin. Biasanya dimulai dengan 1 tablet neostigmin atau
piridostigmin 3 kali perhari, kemudian dosisnya ditingkatkan bergantung
pada reaksi penderita. Obat-obat antikolinesterase ini mempunyai aktivitas
muskarinik dan nikotinik. Efek muskarinik yaitu mempengaruhi otot polos
dan kelenjar, sedangkan efek nikotinik yaitu mempengaruhi ganglion
autonom dan myoneural junction. Efek muskarinik seperti koli abdomen,
diare dan hiperhidrosis dapat diatasi dengan pemberian atropin.
Pada penderita usia tua atau penderita dengan kontraindikasi untuk
dilakukan timektomi. Karena terapi steroid dapat menimbulkan efek
samping selam 2 minggu pengobatan, maka perlu perawatan di rumah
sakit, terutama bila timbul gejala-gejala bulbar. Obat antikolinesterase
harus diteruskan dan prednison diberikan serta ditingkatkan perlahan-
lahan dari dosis inisial 25 mg sampai 100 mg perhari dan diberikan selang
satu hari, tergantung pada reaksi penderita. Setelah ada perbaikan, dosis
neostigmin dan piridostigmin dapat diturunkan perlahan-lahan. Kombinasi

Case Based Discussion Miastenia Gravis 31


baik piridostigmin dan prednison yang diberikan selang 1 hari merupakan
terapi inisial pilihan untuk penderita dengan timoma1.
Dalam penatalaksanaan pada miastenia gravis dapat diberikan
terapi sebagai berikut :
1. Neostigmin bromide (prostigmin) 15 mg per tab.(per os). Biasanya
diberikan 3x1 tab sehari ) dapat ditingkatkan menjadi 3x2 tab).
Untuk menghindari timbulnya nyeri perut sebaiknya diberikan pula
atropin atau ext. Belladonnae.
2. Neostigmin methylsulfat (prostigmin) 0,5 mgr/amp (i.m / i.v). Bila
perlu diberikan 0,5 mgr prostigmin secara i.m (dapat ditingkatkan
sampai 1,5 mgr. Prostigmin secara i.m).
3. Endrophonium chloride (tensilon) 10 mg per amp. (i.v).
4. Pyridostigmin bromide (mestinon) 60 mg per tab (per os).
5. Pyridostigmin bromide (mestinon time span) 180 mg per tab (per os).

Walaupun belum ada penelitian tentang strategi pengobatan yang


pasti, tetapi miastenia gravis merupakan kelainan neurologik yang paling
dapat diobati. Antikolinesterase inhibitor dan terapi imunomudulasi
merupakan penatalaksanaan utama pada miastenia gravis.
Antikolinesterase biasanya digunakan pada miastenia gravis yang ringan.
Sedangkan pada psien dengan miastenia gravis generalisata, perlu
dilakukan terapi imunomudulasi yang rutin.
Terapi imunosupresif dan imunomodulasi yang dikombinasikan
dengan pemberian antibiotik dan penunjang ventilasi, mampu
menghambat terjadinya mortalitas dan menurunkan morbiditas pada
penderita miastenia gravis. Pengobatan ini dapat digolongkan menjadi
terapi yang dapat memulihkan kekuatan otot secara cepat dan terapi yang
memiliki onset lebih lambat tetapi memiliki efek yang lebih lama sehingga
dapat mencegah terjadinya kekambuhan.5

Terapi Jangka Pendek untuk Intervensi Keadaan Akut


1. Intravenous Immunoglobulin (IVIG)

Case Based Discussion Miastenia Gravis 32


Mekanisme kerja dari IVIG belum diketahui secara pasti, tetapi IVIG
diperkirakan mampu memodulasi respon imun. Reduksi dari titer
antibodi tidak dapat dibuktikan secara klinis, karena pada sebagian
besar pasien tidak terdapat penurunan dari titer antibodi. Efek dari
terapi dengan IVIG dapat muncul sekitar 3-4 hari setelah memulai
terapi. IVIG diindikasikan pada pasien yang juga menggunakan terapi
PE, karena kedua terapi ini memiliki onset yang cepat dengan durasi
yang hanya beberapa minggu.

Dosis standar IVIG adalah 400 mg/kgbb/hari pada 5 hari pertama,


dilanjutkan 1 gram/kgbb/hari selama 2 hari. IVIG dilaporkan memiliki
keuntungan klinis berupa penurunan level anti-asetilkolin reseptor
yang dimulai sejak 10 hingga 15 hari sejak dilakukan pemasangan
infus. Efek samping dari terapi dengan menggunakan IVIG adalah
nyeri kepala yang hebat, serta rasa mual selama pemasangan infus,
sehingga tetesan infus menjadi lebih lambat. Flulike symdrome seperti
demam, menggigil, mual, muntah, sakit kepala, dan malaise dapat
terjadi pada 24 jam pertama.

Pengobatan Farmakologi Jangka Panjang


1. Kortikosteroid
Respon terhadap pengobatan kortikosteroid mulai tampak dalam waktu
2-3 minggu setelah inisiasi terapi. Durasi kerja kortikosteroid dapat
berlangsung hingga 18 bulan, dengan rata-rata selama 3 bulan.
Kortikosteroid memiliki efek yang kompleks terhadap sistem imun dan
efek terapi yang pasti terhadap miastenia gravis masih belum
diketahui. Kortikosteroid diperkirakan memiliki efek pada aktivasi sel
T helper dan pada fase proliferasi dari sel B.

Sel T serta antigen-presenting cell yang teraktivasi diperkirakan


memiliki peran yang menguntungkan dalam memposisikan
kortikosteroid di tempat kelainan imun pada miastenia gravis. Pasien

Case Based Discussion Miastenia Gravis 33


yang berespon terhadap kortikosteroid akan mengalami penurunan dari
titer antibodinya.

Kortikosteroid diindikasikan pada penderita dengan gejala klinis yang


sangat mengganggu, yang tidak dapat dikontrol dengan
antikolinesterase. Dosis maksimal penggunaan kortikosteroid adalah
60 mg/hari kemudian dilakukan tapering off pada pemberiannya. Pada
penggunaan dengan dosis diatas 30 mg setiap harinya, akan timbul
efek samping berupa osteoporosis, diabetes, dan komplikasi obesitas
serta hipertensi.

2. Azathioprine
Azathioprine digunakan pada pasien miastenia gravis yang secara
relatif terkontrol tetapi menggunakan kortikosteroid dengan dosis
tinggi. Azathioprine dapat dikonversi menjadi merkaptopurin, suatu
analog dari purin yang memiliki efek terhadap penghambatan sintesis
nukleotida pada DNA dan RNA. Azathioprine diberikan secara oral
dengan dosis pemeliharaan 2-3 mg/kgbb/hari. Pasien diberikan dosis
awal sebesar 25-50 mg/hari hingga dosis optimal tercapai.

Azathioprine merupakan obat yang secara relatif dapat ditoleransi


dengan baik oleh tubuh dan secara umum memiliki efek samping yang
lebih sedikit dibandingkan dengan obat imunosupresif lainnya. Respon
Azathioprine sangant lambat, dengan respon maksimal didapatkan
dalam 12-36 bulan. Kekambuhan dilaporkan terjadi pada sekitar 50%
kasus, kecuali penggunaannya juga dikombinasikan dengan obat
imunomodulasi yang lain.
3. Cyclosporine
Cyclosporine berpengaruh pada produksi dan pelepasan interleukin-2
dari sel T-helper. Supresi terhadap aktivasi sel T-helper, menimbulkan
efek pada produksi antibodi. Dosis awal pemberian Cyclosporine
sekitar 5 mg/kgbb/hari terbagi dalam dua atau tiga dosis. Respon
terhadap Cyclosporine lebih cepat dibandingkan azathioprine.

Case Based Discussion Miastenia Gravis 34


Cyclosporine dapat menimbulkan efek samping berupa nefrotoksisitas
dan hipertensi.

Terapi pembedahan yang dapat dilakukan pada pasien miastenia gravis


adalah operasi timektomi. Tindakan ini diindikasikan pada penderita-
penderita wanita muda dengan riwayat yang kurang dari 5 tahun
menderita miastenia gravis. Prognosis pada kelompok ini biasanya
jelek. Pada wanita muda tanpa timoma kira-kira 80%-90% penderita
akan membaik atau akan terjadi remisi yang sempurna dalam beberapa
tahun. Persiapan yang harus dilakukan sebelum tindakan timektomi
antara lain:
1. Terapi antikolinesterase dengan neostigmin atau piridostigmin
yang optimal dilanjutkan sampai saat operasi.
2. Harus dilakukan tes fungsi paru, bila kapasitas vital sangat
menurun maka harus dilakuka trakeotomi pada saat dilakukan
timektomi supaya bantuan respirasi dapat diberikan pada saat
pascabedah.
3. Pada pascabedah, terapi antikolinesterase dimulai dengan
memberikan dosis rendah dn disesuaikan dnegan kebutuhan
penderita.
Secara umum, kebanyakan pasien mulai mengalami perbaikan
dalam waktu satu tahun setelah thymektomi dan tidak sedikit yang
menunjukkan remisi yang permanen (tidak ada lagi kelemahan serta obat-
obatan). Beberapa ahli percaya besarnya angka remisi setelah pembedahan
adalah antara 20-40% tergantung dari jenis thymektomi yang dilakukan.
Ahli lainnya percaya bahwa remisi yang tergantung dari semakin
banyaknya prosedur ekstensif adalah antara 40-60% lima hingga sepuluh
tahu setelah pembedahan.

Case Based Discussion Miastenia Gravis 35


2.3.9 Komplikasi dan Prognosis
Tanpa pengobatan angka kematian miastenia gravis adalah 25-31%.
Miastenia gravis yang mendapat pengobatan, angka kematian 4%. Kasus
yang hanya mengalami gejala okuler sebesar 40%. miastenia gravis okuler
>50% berkembang menjadi miastenia gravis umum dalam waktu satu
tahun, remisi spontan <10%. Sekitar 15-17% pasien akan tetap mengalami
gejala okular selama masa tindak lanjut rata-rata hingga 17 tahun. Pasien-
pasien ini disebut sebagai miastenia gravis okular. Sisanya
mengembangkan kelemahan umum dan disebut sebagai miastenia gravis
generalisata. Sebuah studi dari 37 pasien miastenia gravis dengan timoma
memiliki gejala yang lebih buruk.6

Case Based Discussion Miastenia Gravis 36


BAB III
KESIMPULAN

Miastenia gravis (MG) adalah penyakit yang disebabkan oleh defek pada
transmisi neuromuscular yang dimediasi oleh antibodi (autoimun) pada reseptor
nikotinik asetilkolin (Ach) di neuromuscular junction. Penyakit ini berhubungan
dengan penyakit lain yaitu tirotoksikosis, miksedema, rheumatoid artritis dan
lupus eritematosus sistemi. Gambaran klinis miastenia gravis sangat jelas yaitu
dari kelemahan lokal yang ringan sampai pada kelemahan tubuh secara
menyeluruh yang fatal. 33% kasus hanya terdapat gejala kelainan otot ocular
disertai dengan kelemahan otot lainnya. Kelemahan ekstremitas tanpa disertai
dengan kelemahan otot ocular jarang terjadi, hanya sekitar 15%.selebihnya
(sekitar 20% kasus) didapatkan mengalami kesulitan menelan dan mengunyah
Pemeriksaan farmakologi yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis
miastenia gravis yaitu uji tensilon (edrophonium chloride) dan uji prostigmin
(neostigmin). Dasar pengobatan adalah dengan menggunakan obat-obat
antikolinesterase misalnya neostigmin dan piridostigmin. Obat-obat ini berperan
menghambat kolinesterase yang kerjanya menghancurkan asetilkolin.

Case Based Discussion Miastenia Gravis 37


DAFTAR PUSTAKA

1. Snell, Richard S., 2007. Neuro Anatomi Klinik ed. 5. EGC. Jakarta.
2. Murray, R.K, Granner, D.K, Mayes, P.A.2008. Biokimia Harper: Dasar
Biokimia Beberapa Kelainan Neuropsikiatri. Edisi 29. EGC. Jakarta.
3. Audrey S.P dan Lewis P.R. Disorder of neuromuscular junction. Dalam
Rowland L.P. Merrit’s Neurology Edisi 10. Philladelphia:Lippincott;
2000.
4. Harsono. Buku Ajar Neurologi Klinis. Yogyakarta: Gajah mada university
press; 2005.
5. Public Health Service National Institutes of Health. Miastenia Gravis.
United States: Department of health and human service; 2016.
6. Aashit K.S dan Nicholas L. Myasthenia Gravis. Tersedia dalam
< http://emedicine.medscape.com/article/1171206-overview> [diakses
pada 26 Maret 2016].
7. Kaminski.J.K. Myasthenia gravis and related disorders edisi 2. New York:
Humana Press; 2009.
8. Sidharta P dan Mahar M. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat;
2006.
9. Burmester, Color atlas of immunology. New York: Thieme; 2003.
10. Drachman DB. Myasthenia Gravis and Other Diseases of The
Neuromuscular Junction Kasper. Dalam Braunwald, Fauci, Hauser,
Longo, Jameson. Harrison’s. Principle of Internal Medicine edisi 16.
McGraw Hill; 2005.
11. Sanders D.B., Generalized myasthenia gravis: clinical presentation and
diagnosis. 56th Annual Meeting. San Francisco, CA: American Academy of
Neurology, 2004.
12. Bromberg M.B. Myasthenia gravis and myasthenia syndromes. Dalam
Lippincott Williams & Wilkins. Motor disorders. Philadelphia:
Pennsylvania; 2005.
13. Howard, J.F. Myasthenia Gravis. Tersedia dalam
<http://www.ninds.nih.gov
/disorders/myasthenia_gravis/detail_myasthenia_gravis.htm> [diakses
pada: 26 Maret 2016].
14. Ngoerah Gd. Ng. Gst. I, Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Saraf. Airlangga
University Press. 1991.

Case Based Discussion Miastenia Gravis 38


ORIGINAL PAPER DOI: 10.5935/0946-5448.20170007
International Tinnitus Journal. 2017;21(1):30-34.

Management of Benign Paroxysmal Positional Vertigo:


A Comparative Study between Epleys Manouvre and
Betahistine
Japneet Kaur1
Karthik Shamanna2

Abstract
Benign paroxysmal positional vertigo (BPPV) is the most common peripheral vestibular disorder, accounting for 20%
of all vertigo cases. Idiopathic BPPV is most common between the ages of 50 and 70, although the condition is found
in all age groups. This study was conducted in our institute on 90 patients who presented to the outpatient department
with history of vertigo and were diagnosed with BPPV via a positive Dix Hallpike test. Patients were randomnly placed
in three groups of 30 each. Patients in Group A were treated with Epleys manoeuvre alone, in Group B were treated
with Epleys Manouvre followed by oral Betahistine and patients in Group C were treated with Betahistine alone. All the
patients were followed up after 1 week and 4 weeks following treatment. In our study we found that patients responded
better when they were treated with Epleys Manouvre with Betahistine with less relapse and recurrence. Treatment
with Epleys manouvre resulted in early improvement of symptoms. It was found in our study that Betahistine as a sole
modality of treatment of vertigo in BPPV can be preferred in patients who are unfit to undergo canal repositioning
manouvres.
Keywords: benign paroxysmal positional vertigo, betahistine, dizziness.

1
Senior Resident, Department of Otolaryngology, GGS Medical College, Faridkot
2
Associate Professor, Department of Otolaryngology, Bangalore Medical College and Research Institute
Institution: Bangalore Medical College and Research Institute
Send correspondence to:
Japneet Kaur MD
H.I.G 202 Sector 71, Mohali, Punjab 160071, India E-mail: drjapneetkaur@gmail.com
Paper submitted to the ITJ-EM (Editorial Manager System) on February 01, 2017; and accepted on March 29, 2017.

International Tinnitus Journal, Vol. 21, No 1 (2017)


30 www.tinnitusjournal.com
INTRODUCTION responsible for the vertigo. It is a very safe and effective
procedure with good results. However, in patients not fit
Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV) is a
for Canal Repositioning Manouevre, pharmacotherapy
common complaint of emergency department patients.
may be used as a modality of treatment.
Benign paroxysmal positional vertigo (BPPV) is the most
common peripheral vestibular disorder, accounting SOURCE OF DATA
for 20% of all vertigo cases1-3. Idiopathic BPPV is most
A total of 90 Patients who presented to the ENT
common between the ages of 50 and 70, although the
department with history of vertigo and were diagnosed to
condition is found in all age groups. The incidence of
have BPPV via a Positive Dix Hallpike test were included in
idiopathic BPPV ranges from 11 to 64 per 100,000 per year
this study. The patients were randomized in three age and
Gender distribution is about equal for posttraumatic and
gender matched groups of 30 each. Group A received
post vestibular neuritis BPPV4, although in its idiopathic
the Betahistine (16 mg) for 1 week followed by 1 month
form appears to be approximately twice as common in
follow up, for patients in Group B canalith repositioning
females5. BPPV was first described by Barany in 1921,
technique (Epleys manoeuvre) was done along with
and was later described in more detail by Dix and Hall
Betahistine (16 mg) therapy for 1 week, Group C patients
pike in 19526. In Benign Paroxysmal Positional Vertigo
were treated with Epleys manoeuvre alone.
patients typically complain of severe dizziness of sudden
onset, lasting less than a minute on lying down or rising Study period
out of bed, rolling over, suddenly turning head to one side, October 2013 to September 2015
bending forward and straightening, or by throwing head Study sample size
backwards to one side as when reaching for something
90 patients diagnosed with BPPV via positive Dix
or a shelf7. Although BPPV is incapacitating, it is a benign
Hallpike were included in the study and it was carried out
disease which usually has spontaneous remission within
for the above mentioned time period.
4-6 months.
The importance of early diagnosis and treatment
METHODOLOGY FOR DATA COLLECTION
can lead to a much improved quality of life for patients Data collection was started after obtaining
afflicted by this ailment. BPPV can be diagnosed by Dix clearance from the Ethics Committee. Informed consent
Hallpike test which can be performed in outpatient room1. for the study was obtained from all the patients who
In this test certain positions provoke movements of the participated in this study. All the 90 patients in this study
particles within the affected semicircular canal leading to were evaluated before treatment with
nystagmus, resulting nystagmus can indicate the canal
1. Detailed history taking and clinical examination.
affected.
2. Subjective assessment of vertigo using:
In 1992, Epley first published his report on
the canalolith repositioning procedure (CRP)8. a) Dizziness Handicap Inventory Questionnaire (DHI)
Epley manoeuvre is effective in more than 90% of
b) Visual Analogue Scale for Vertigo.
cases in eliminating BPPV9. Epleys manoeuvre is
beneficial for treatment of BPPV by dislodging the 3. Dix Hallpike test
otoconia in semicircular canals commonly posterior The patients were followed up weekly for 4 weeks
semicircular canal and reducing the symptoms. BPPV to assess the efficacy of the treatment. The efficacy of the
is highly amenable to treatment by particle repositioning treatment was assessed using:
manoeuvres and pharmacological therapy. In case of
BPPV not responding to canal repositioning manoeuvres 1. Subjective resolution of symptomatic vertigo on
and pharmacotherap , surgery can be performed but it change in posture
should be reserved for the most intractable or recurrent 2. Conversion of positive to negative Dix Hallpike
cases. Surgical procedures for intractable BPPV include
Singular neurectomy proposed by Gacek and Posterior 3. Frequency and severity of attacks of vertigo
semicircular canal occlusion proposed by Money and 4. Visual Analogue Scale for vertigo
Scott10.
5. DHI score for vertigo
The purpose of this study was to compare
the efficacy of three modalities of treatment, Epleys SPSS v16.0 software was used to analyze the
manoeuvre along with Betahistine, Betahistine alone and data obtained. Student t test (two tailed, independent)
Epleys manoeuvre alone in patients who presented with was used to find the significance of study parameters
vertigo to a tertiary care centre. Several studies have been on continuous scale between two groups (Inter group
conducted to evaluate the efficacy of Epleys manoeuvre analysis on metric parameters). Student t test (two tailed,
in the treatment of BPPV proving the beneficial effects of dependent) was used to find the significance of study
Canal Repositioning Manouevre. It is done as an office parameters on continuous scale within each group. Chi
procedure and includes putting the patient in certain square/ Fisher Exact test was used to find the significance
positions in order to dislodge the otoconial debris of study parameters on categorical scale between two

International Tinnitus Journal, Vol. 21, No 1 (2017)


31 www.tinnitusjournal.com
or more groups. McNemar test was used to find the value of 0.001. In the Betahistine alone group, the Mean
significance of change in each for pre and post treatment. pretreatment VAS score was 7.47 ± 0.973, the mean post
treatment VAS score was at the end of 1 week and 3.47
Inclusion criteria:
± 1.82 at end of 4 weeks. This difference was statistically
1. Subject who was >18 years of age < 60 years. significant with a P value of 0.001. At the end of 1 week,
the mean post treatment VAS score was compared
2. Strong history suggestive of BPPV.
between Epleys with Betahistine group (2.33 ± 1.35) and
3. Subject with positive findings of vertigo and Betahistine alone group (3.73 ± 1.95). This was found to
nystagmus when the DixHallpike manoeuvre was be strongly statistically significant with a P value of 0.002.
performed during examination. A DixHallpike manoeuvre The mean post treatment VAS score was compared
was considered positive when the patient experienced between Epleys with Betahistine group and Epleys alone
nystagmus but resolved or fatigued in less than 60 group was found to be strongly statistically significant
seconds. with a P value of 0.001. At the end of 4 weeks, the mean
Exclusion criteria: post treatment VAS score of Epleys alone group, Epleys
with Betahistine group and that of Betahistine alone group
1. Subjects who were unable to ambulate. was found to be statistically significant with a P value of
2. Subjects with severe cervical spine disease 0.001(Graph 1).

3. Subjects with known cerebral vascular disease like All the patients had DHI score in the range of 32-56,
carotid stenosis suggestive of moderate vertigo (Graph 2). It was observed
that at the end of four weeks, there was significant change
4. Subjects with a known history of Meniere’s disease. in the pretreatment and post treatment DHI scores in the
5. Subjects with h/o cardiac complaints three groups (p < 0.001). There was no worsening of the
vertigo observed in the groups during the study period. In
6. Subjects with vertigo due to central causes. the Epleys with Betahistine group 1 patient did not improve
RESULTS with treatment at the end of 1 week. In the Betahistine only
group 2 patients did not respond to treatment at 1 week
The age of the patients included in this study and 1 patient did respond at 4 weeks and was termed
ranged from 20 to 60 years. The sample population as non-responder. 1 patient had recurrence of symptoms
was gender matched. All the 90 patients had sudden at 4 weeks after initial improvement and was termed as
onset of the symptoms of vertigo. Amongst the study relapse. In the Epleys only group 1 patient was a non-
population 47 were males and 43 were females. In the responder and 1 patient had relapse of vertigo at the end
Epleys manoeuvre with Betahistine group, 23 (76.7%) of 4 weeks.
patients had duration of vertigo less than 10 days, while
7 (23.2%) patients, had vertigo for more than 10 days. In
the Betahistine alone group, 26 (86.7%) patients had less
than 10 days of vertigo, while 3 (10%) patients had more
than 10 days of vertigo. In the Epleys alone group, 24
(80%) patients had vertigo of less than 10 days, while 6
(20%) patients had vertigo of more than 10 days. Overall,
majority of patients in both the groups had less than 10
days history of vertigo
On analysing the results from the Visual Analogue
Scale, in the Epleys alone group, the Mean pretreatment
VAS score was 7.8 ± 0.942, the mean post treatment VAS
score was 2.40 ± 1.28 at the end of 1 week and 2.17±1.28
at end of 4 weeks. This difference was statistically Graph 1. Showing comparison of means based on the VAS.
significant with a P value of 0.001. In the Epleys with
Betahistine group, the Mean pretreatment VAS score was
7.77 ± 0.90, the mean post treatment VAS score was 2.33
± 1.35 at the end of 1 week and 1.5 ± 0.63 at end of 4
weeks. This difference was statistically significant with a P
Table 1. Showing Duration of vertigo and Mean age of patients
in the study.
Duration of vertigo Epleys with Epleys alone
betahistine (n = 30) (n = 30)
< 10 days 23 24
> 10 days 7 6
Mean age of the patients ± SD 42.13 ± 13.00 41.29 ± 11.40
Graph 2. Showing comparison if means based on DHI score.

International Tinnitus Journal, Vol. 21, No 1 (2017)


32 www.tinnitusjournal.com
In our study the patients were assessed by a Hardman et al. found a cure rate of 57%, in a group
Visual Analogue Scale for severity of vertigo. The patients of 30 patients who were treated by Epleys manoeuvre. In
were asked to scale their symptoms of vertigo from this study, 33% patients showed improvement while 10%
0 to 10, where 0 was no vertigo. The grading was 1-4 had no change in the symptoms12. Betahistine dichloride
mild vertigo, 4-8 moderate and 8-10 was severe vertigo. is a histamine analogue used in the treatment of vertigo,
The improvement in post treatment Visual Analogue motion sickness, and various vestibular disorders of
Scale in the Epleys with Betahistine group was better peripheral and central origin. Betahistine acts on H3 and
than the Betahistine group alone, with a significant p H1 receptors. It causes vasodilation of blood vessels in
value of 0.002. In our study, treatment with Epleys and the inner ear leading to improvement of microcirculation
Betahistine showed better improvement in the mean in the labyrinth.
VAS score at 1 and 4 weekly follow-up. There was higher
According to a study done by Katerina Stambolieva
percentage of improvement in mean post treatment
et al., treatment with Betahistine dihydrochloride helped to
VAS score seen in the Epleys with Betahistine group as
restore the postural stability in patients who were treated
compared to the Betahistine alone group. In our study
with Betahistine and canal repositioning manoeuvres.
there was no statistically significant difference in the post
Ten days after treatment with Betahistine it was noted
treatment DHI score between the two groups. However,
that the Sway Velocity was normalized and did not differ
the difference between the pre and post treatment DHI
from that in healthy subjects. In their study, therapy with
score was strongly statistically significant with a p value
Betahistine dihydrochloride used after applying Semont
of < 0.001 in each group. Patients in both the groups
liberatory manoeuvre and Brandt Daroff exercises
showed significant improvement in symptoms like vertigo
showed better results evaluated by Epley criteria 14 days
on looking up, while tying shoes, vertigo on turning in the
after treatment, independently of age of patients with a
bed, vertigo on bending over and other daily activities. The
significant difference (p < 0.01)13.
Epleys with Betahistine group showed higher percentage
of improvement (94.8%) in symptoms as compared to In our study, treatment with Epleys and Betahistine
the Betahistine alone group (87.1%). The patients in the showed better improvement in the mean VAS score at 1
Epleys with Betahistine group showed earlier resolution and 4 weekly follow-up. There was higher percentage of
of vertigo within first 2 days of the treatment. These improvement in mean post treatment VAS score seen in
patients had longer relief of symptoms and no relapse or the Epleys with Betahistine group and Epleys group as
recurrence. The patients in the Betahistine alone group compared to the Betahistine alone group.
showed improvement of symptoms from day 4 or day 5
According to Katherine et al. long presence
of starting the treatment. Patients who were treated with
of otoconias in the lumen or in the cupula of the
Epleys manoeuvre alone showed resolution of vertigo in
semicircular canal permanently damaged the normal
the first 2 days but showed relapse of symptoms. There
function of motion sensitive hairs cells in the inner ear,
was no worsening of the vertigo in both the groups during
because of that the therapy with Epleys Manouvre and
the study period.
with Betahistine dihydrochloride 20 days after Epleys
DISCUSSION Manouevre have a weak effect on the postural stability
of patients with duration of BPPV above 60 days. It was
Current modalities of treatment for BPPV suggested that long lasting abnormality in the peripheral
include various vestibular rehabilitation exercises, vestibular system activates certain adaptation processes
pharmacological drugs and surgery in resistant cases. in central nervous system connected with mechanisms
This study was conducted on 3 groups of patients participating in the maintenance of posture and take a
presenting with BPPV, where one group was treated form of new pattern of postural stability in patients with
with Epleys manoeuvre along with pharmacological duration of BPPV above 60 days, and the treatment with
therapy (Betahistine) and the other group was treated Betahistine dihydrochloride after Epleys Manouevre is
with pharmacological drug (Betahistine) only and the not effective.
third group was treated with Epleys manoeuvre alone
The effectiveness of treatment in all the three groups was For the other group of patients (less than 60
evaluated and compared based on the symptomatologic day duration of BPPV) the treatment with Betahistine
improvement, visual analogue scale and DHI scores. dihydrochloride after Epleys Manouevre was effective and
ten days after treatment postural stability of patients was
In a study conducted by Epley in 1992, he studied normalized. Thus the study concluded that Betahistine
30 patients with BPPV. He conducted Epleys exercise on dihydrochloride accelerates the recovery of function of
the patients with positive Dix hallpike test and followed vestibular system, by improving blood flow in the inner
them after 1 week. There was 90% cure rate seen after ear and normalization of the function of motion sensitive
Epleys manoeuvre11. Similar study was conducted by hair cells is faster. In a study conducted by Cavaliere et
Parnes and Price in 1993 on 38 patients with BPPV based al. comparing two physical manouvres with and without
on positive Dix hallpike test and symptoms of BPPV. They betahisitine, the group treated with betahistine showed
followed up the patients after 3-4 weeks of performing better improvement as compared to physical therapy
Epleys manoeuvre and observed a cure rate of 68.5%3. alone group14.

International Tinnitus Journal, Vol. 21, No 1 (2017)


33 www.tinnitusjournal.com
In our study greater improvement was seen in S, et al. Clinical practice guideline:benign paroxysmal positional
the group receiving Epleys with medication therapy. vertigo. Otolaryngol Head Neck Surg. 2008;139(5):S47-81.
2. Froehling DA, Bowen JM, Mohr DN, Brey RH, Beatty CW, Wollan
Thus, the cumulative effect of particle repositioning and PC, et al. The canalith repositioning procedure for the treatment of
pharmacotherapy was statistically significant. Patients benign paroxysmal positional vertigo: a randomized controlled trial.
had faster recovery, lesser recurrence and longer relief Mayo Clin Proc. 2000;75(7):695-700.
of symptoms. 3. Parnes LS, Agrawal SK, Atlas J. Diagnosis and management of benign
paroxysmal positional vertigo (BPPV). CMAJ. 2013;169(7):681-93.
CONCLUSION 4. Hilton MP, Pinder DK. The Epley (canalith repositioning) manoeuvre
for benign paroxysmal positional vertigo. Cochrane Database Syst
Benign paroxysmal positional vertigo is an Rev. 2004;(2):CD003162.
5. Baloh RW, Honrubia V, Jacobson K. Benign positional vertigo: clinical
incapacitating condition which is self-remitting but can
and oculographic features in 240 cases. Neurology 1987;37(3):371-8.
recur. It is diagnosed by Dix Hallpike test, which is an 6. Sjoback DG, Andersen RH. Pathology of the vestibular system:
easy test performed in outpatient room. Patients should Scott Brown’s Textbook of Otorhinolaryngology and Head and Neck
be reassured about the benign nature of the condition Surgery,7th ed. Great Britain: Hodder Arnold Ltd; 2008. p.367-8.
7. Dix MR, Hallpike CS. Pathology, symptomatology and diagnosis
and the possible treatment options. Amongst the various
of certain disorders of the vestibular system. Proc R Soc Med.
vestibular rehabilatation exercices for the treatment of 1952;45(6):341-54.
Benign Paroxysmal Positional Vertigo, Epleys manouevre 8. Epley JM. The canalith repositioning procedure for treatment of
has been found to be highly safe and effective and benign paroxysmal positional vertigo. Otolaryngol Head Neck
Surg.1992;107(3):399-404.
quick procedure. Our study concludes that, Epleys
9. Benjamin T, Crane DA. Schessel Chapter 165 Peripheral Vestibular
with Betahistine is effective in management of patients DisordersIn: Cummins C W, Flint P W. Cumming’s Otolaryngology,
of BPPV and it is helpful in bringing their symptoms to Head and neck surgery. 5th ed. Volume 1: Philadelphia USA:
tolerable level. Pharmacological therapy with Betahistine Elsevier; 2007. p.23-31.
10. Parnes LS, Aggrawal SK. Peripheral audiovestibular disorders:
when used in conjunction with Epleys is a safe modality
Brackmann neurotology:2nd ed. 2005 by Mosby, Inc:p.652.
of treatment. Betahistine can be used as a sole modality 11. Epley JM (1992) The canalith repositioning procedure: for treatment
of treatment in patients of BPPV who are unfit to undergo of benign paroxysmal positioning vertigo. Otolaryngol Head Neck
canalolith repositioning manoeuvres. It provides short Surg. 1992;10:299-304.
12. Herdman J, Tuss JR. Assessment and treatment of patients with
term relief for acute symptoms associated with BPPV
Benign Paroxysmal Positional Vertigo. In Herdman SJ. Vestibular
by improving the microcirculation in the labyrinth and Rehabilitation 2nd ed. Davis FA Company Philadelphia 2000;451-75.
reducing the symptoms of vertigo. There may be relapse of 13. Stambolieva K, Angov G. Effect of treatment with betahistine
symptoms when used alone without Canal Repositioning dihydrochloride on the postural stability in patients with different
duration of benign paroxysmal positional vertigo. Int Tinnitus J.
Manouvre.
2010;16(1):32-6.
14. Cavaliere M, Mottola G, Iemma M. Benign paroxysmal positional
REFERENCES vertigo: a study of two manoeuvres with and without betahistine.
1. Bhattacharyya N, Baugh RF, Orvidas L, Barrs D, Bronston L, Cass Acta Otorhinolaryngol Ital. 2005; 25(2):107-12.

International Tinnitus Journal, Vol. 21, No 1 (2017)


34 www.tinnitusjournal.com
Research

JAMA Neurology | Original Investigation

Neurologic Manifestations of Hospitalized Patients


With Coronavirus Disease 2019 in Wuhan, China
Ling Mao; Huijuan Jin; Mengdie Wang; Yu Hu; Shengcai Chen; Quanwei He; Jiang Chang; Candong Hong;
Yifan Zhou; David Wang; Xiaoping Miao; Yanan Li, MD, PhD; Bo Hu, MD, PhD

Editorial page 679


IMPORTANCE The outbreak of coronavirus disease 2019 (COVID-19) in Wuhan, China, is Supplemental content
serious and has the potential to become an epidemic worldwide. Several studies have
described typical clinical manifestations including fever, cough, diarrhea, and fatigue.
However, to our knowledge, it has not been reported that patients with COVID-19 had any
neurologic manifestations.

OBJECTIVE To study the neurologic manifestations of patients with COVID-19.

DESIGN, SETTING, AND PARTICIPANTS This is a retrospective, observational case series. Data
were collected from January 16, 2020, to February 19, 2020, at 3 designated special care
centers for COVID-19 (Main District, West Branch, and Tumor Center) of the Union Hospital of
Huazhong University of Science and Technology in Wuhan, China. The study included 214
consecutive hospitalized patients with laboratory-confirmed diagnosis of severe acute
respiratory syndrome coronavirus 2 infection.

MAIN OUTCOMES AND MEASURES Clinical data were extracted from electronic medical
records, and data of all neurologic symptoms were checked by 2 trained neurologists.
Neurologic manifestations fell into 3 categories: central nervous system manifestations
(dizziness, headache, impaired consciousness, acute cerebrovascular disease, ataxia, and
seizure), peripheral nervous system manifestations (taste impairment, smell impairment,
vision impairment, and nerve pain), and skeletal muscular injury manifestations.

RESULTS Of 214 patients (mean [SD] age, 52.7 [15.5] years; 87 men [40.7%]) with COVID-19,
126 patients (58.9%) had nonsevere infection and 88 patients (41.1%) had severe infection
according to their respiratory status. Overall, 78 patients (36.4%) had neurologic
manifestations. Compared with patients with nonsevere infection, patients with severe
infection were older, had more underlying disorders, especially hypertension, and showed
fewer typical symptoms of COVID-19, such as fever and cough. Patients with more severe
infection had neurologic manifestations, such as acute cerebrovascular diseases (5 [5.7%]
vs 1 [0.8%]), impaired consciousness (13 [14.8%] vs 3 [2.4%]), and skeletal muscle injury
(17 [19.3%] vs 6 [4.8%]).

CONCLUSIONS AND RELEVANCE Patients with COVID-19 commonly have neurologic


manifestations. During the epidemic period of COVID-19, when seeing patients with
neurologic manifestations, clinicians should suspect severe acute respiratory syndrome
coronavirus 2 infection as a differential diagnosis to avoid delayed diagnosis or misdiagnosis
and lose the chance to treat and prevent further transmission.

Author Affiliations: Author


affiliations are listed at the end of this
article.
Corresponding Authors: Bo Hu, MD,
PhD (hubo@mail.hust.edu.cn) and
Yanan Li, MD, PhD (liyn@mail.hust.
edu.cn), Department of Neurology,
Union Hospital, Tongji Medical
College, Huazhong University of
JAMA Neurol. 2020;77(6):683-690. doi:10.1001/jamaneurol.2020.1127 Science and Technology, Wuhan,
Published online April 10, 2020. 430022, China.

(Reprinted) 683
© 2020 American Medical Association. All rights reserved.

Downloaded From: https://jamanetwork.com/ on 06/15/2020


Research Original Investigation Neurologic Manifestations of Hospitalized Patients With Coronavirus Disease 2019 in Wuhan, China

I
n December 2019, many unexplained pneumonia cases oc-
curred in Wuhan, China, and rapidly spread to other parts Key Points
of China, then to Europe, North America, and Asia. This out-
Question What are neurologic manifestations of patients with
break was confirmed to be caused by a novel coronavirus coronavirus disease 2019?
(CoV).1 The novel CoV was reported to have symptoms resem-
Findings In a case series of 214 patients with coronavirus disease
bling that of severe acute respiratory syndrome CoV (SARS-
2019, neurologic symptoms were seen in 36.4% of patients and
CoV) in 2003.2 Both shared the same receptor, angiotensin-
were more common in patients with severe infection (45.5%)
converting enzyme 2 (ACE2).3 Therefore, this virus was named according to their respiratory status, which included acute
SARS-CoV-2, and in February 2020, the World Health Organi- cerebrovascular events, impaired consciousness, and muscle
zation (WHO) named the disease coronavirus disease 2019 injury.
(COVID-19). As of March 5, 2020, there were 95 333 con-
Meaning Neurologic symptoms manifest in a notable proportion
firmed cases of COVID-19 and 3282 deaths globally.4 of patients with coronavirus disease 2019.
Coronaviruses can cause multiple systemic infections or
injuries in various animals.5 The CoVs can adapt quickly and
cross the species barrier, such as with SARS-CoV and Middle was obtained from patients or an accompanying relative for
East respiratory syndrome CoV (MERS-CoV), causing epidem- patients who could not give consent. The study was per-
ics or pandemics. Infection in humans often leads to severe formed in accordance with the principles of the Declaration
clinical symptoms and high mortality.6 As for COVID-19, sev- of Helsinki. This study was approved and written informed con-
eral studies have described typical clinical manifestations in- sent was waived by the Ethics Committee of Union Hospital,
cluding fever, cough, diarrhea, and fatigue. Coronavirus dis- Tongji Medical College, Huazhong University of Science and
ease 2019 also has characteristic laboratory findings and lung Technology, Wuhan, China, on February 20, 2020, owing to
computed tomography (CT) abnormalities.7 However, to our the rapid emergence of the disease and the urgent need to
knowledge, it has not been reported that patients with collect data.
COVID-19 had any neurologic manifestations. Here, we re-
port the characteristic neurologic manifestations of SARS- Data Collection
CoV-2 infection in 78 of 214 patients with laboratory- We reviewed electronic medical records, nursing records, labo-
confirmed diagnosis of COVID-19 and treated at our hospitals, ratory findings, and radiologic examinations for all patients
which are located in the epicenter of Wuhan. with laboratory-confirmed SARS-CoV-2 infection and col-
lected data on age, sex, comorbidities (hypertension, diabe-
tes, cardiac or cerebrovascular disease, malignancy, and chronic
kidney disease), typical symptoms from onset to hospital ad-
Methods mission (fever, cough, anorexia, diarrhea, throat pain, abdomi-
Study Design and Participants nal pain), nervous system symptoms, laboratory findings, and
This retrospective, observational study was done at 3 centers CT scan (chest and head if available). Subjective symptoms
(Main District, West Branch, and Tumor Center) of Union Hos- were provided by patients who were conscious, cognitively and
pital of Huazhong University of Science and Technology mentally normal, and linguistically competent to respond to
(Wuhan, China). These 3 centers are designated hospitals as- interview. Any missing or uncertain records were collected and
signed by the government to treat patients with COVID-19. We clarified through direct communication with involved pa-
retrospectively analyzed consecutive patients from January tients, health care clinicians, and their families. We defined the
16, 2020, to February 19, 2020, who had been diagnosed degree of severity of COVID-19 (severe vs nonsevere) at the time
as having COVID-19, according to WHO interim guidance.8 A of admission using the American Thoracic Society guidelines
confirmed case of COVID-19 was defined as a positive result for community-acquired pneumonia.10
on high-throughput sequencing or real-time reverse- All neurologic manifestations were reviewed and con-
transcription polymerase chain reaction analysis of throat swab firmed by 2 trained neurologists. Major disagreement be-
specimens. Throat swab samples were collected and placed into tween 2 reviewers was resolved by consultation with a third
a collection tube containing preservation solution for the reviewer. Neurologic manifestations were categorized into 3
virus.9 A SARS-CoV-2 infection was confirmed by real-time categories: central nervous system (CNS) manifestations (diz-
reverse-transcription polymerase chain reaction assay using ziness, headache, impaired consciousness, acute cerebrovas-
a SARS-CoV-2 nucleic acid detection kit according to the manu- cular disease, ataxia, and seizure), peripheral nervous sys-
facturer’s protocol (Shanghai bio-germ Medical Technology Co). tem (PNS) manifestations (taste impairment, smell impairment,
Radiologic assessments included chest and head CT, and all vision impairment, and nerve pain), and skeletal muscular in-
laboratory testing (a complete blood cell count, blood chemi- jury manifestations. Impaired consciousness includes the
cal analysis, coagulation testing, assessment of liver and re- change of consciousness level (somnolence, stupor, and coma)
nal function testing, C-reactive protein, creatine kinase, and and consciousness content (confusion and delirium). To avoid
lactate dehydrogenase) was performed according to the clini- cross-infection during the outbreak, we had to minimize pa-
cal care needs of the patient. Two hundred fourteen hospital- tients going out for examination. Therefore, the diagnosis of
ized patients with laboratory confirmation of SARS-CoV-2 were nervous system manifestations mainly depended on the sub-
included in the analysis.9 Before enrollment, verbal consent jective symptoms of patients and the examinations available.

684 JAMA Neurology June 2020 Volume 77, Number 6 (Reprinted) jamaneurology.com

© 2020 American Medical Association. All rights reserved.

Downloaded From: https://jamanetwork.com/ on 06/15/2020


Neurologic Manifestations of Hospitalized Patients With Coronavirus Disease 2019 in Wuhan, China Original Investigation Research

Acute cerebrovascular disease includes ischemic stroke and ce- injury (17 [19.3%] vs 6 [4.8%]; P < .001). In the severe group, 1
rebral hemorrhage diagnosed by clinical symptoms and head patient had a seizure characterized by a sudden onset of limb
CT. Seizure is based on the clinical symptoms at the time of twitching, foaming in the mouth, and loss of consciousness,
presentation. Skeletal muscle injury was defined as when a which lasted for 3 minutes.
patient had skeletal muscle pain and elevated serum creatine Apart from cerebrovascular disease and impaired con-
kinase level greater than 200 U/L (to convert to microkatals sciousness, most neurologic manifestations occurred early in
per liter, multiply by 0.0167).7 the illness (median time, 1-2 days). Of 6 patients with acute
cerebrovascular disease, 2 arrived at the emergency depart-
Statistical Analysis ment owing to sudden onset of hemiplegia but without any
For baseline data, mean and standard deviations (SD) were used typical symptoms (fever, cough, anorexia, and diarrhea) of
for normally distributed data and median and range for data COVID-19. Their lung lesions were found by an emergent lung
that were not normally distributed. Categorical variables were CT and were diagnosed as having COVID-19 by a positive SARS-
expressed as counts and percentages. Continuous variables CoV-2 nucleic acid detection in the later stage. Some patients
were compared by using the Wilcoxon rank sum test. Propor- with fever and headache were admitted to the neurology ward
tions for categorical variables were compared using the χ2 test. after initially being ruled out of COVID-19 by routine blood test
All statistical analyses were performed using R, version 3.3.0, results and a screening lung CT in the clinic. However, sev-
software (the R Foundation). The significance threshold was eral days later, they had typical COVID-19 symptoms such as
set at a 2-sided P value less than .05. cough, throat pain, lower lymphocyte count, and ground-
glass opacity appearance on lung CT. Their diagnosis of
COVID-19 was confirmed by a positive nucleic acid test and then
they were transferred to the isolation ward.
Results
Demographic and Clinical Characteristics Laboratory Findings in Patients and With Severe
A total of 214 hospitalized patients with confirmed SARS- and Nonsevere Infection
CoV-2 infection were included in the analysis. Their demo- Table 2 showed the laboratory findings in severe and nonse-
graphic and clinical characteristics were shown in Table 1. Their vere subgroups. Patients with severe infection had more in-
mean (SD) age was 52.7 (15.5) years, and 87 were men (40.7%). creased inflammatory response, including higher white blood
Of these patients, 83 (38.8%) had at least 1 of the following un- cell counts, neutrophil counts, lower lymphocyte counts, and
derlying disorders: hypertension (51 [23.8%]), diabetes (30 increased C-reactive protein levels compared with those pa-
[14.0%]), cardiac or cerebrovascular disease (15 [7.0%]), and tients with nonsevere infection (white blood cell count:
malignancy (13 [6.1%]). The most common symptoms at on- median, 5.4 × 109/L [range, 0.1-20.4] vs 4.5 × 109/L [range, 1.8-
set of illness were fever (132 [61.7%]), cough (107 [50.0%]), and 14.0]; P < .001; neutrophil: median, 3.8 × 109/L [range, 0.0-
anorexia (68 [31.8%]). Seventy-eight patients (36.4%) had ner- 18.7] vs 2.6 × 109/L [range, 0.7-11.8]; P < .001; lymphocyte
vous system manifestations: CNS (53 [24.8%]), PNS (19 [8.9%]), count: median, 0.9 × 109/L [range, 0.1-2.6] vs 1.3 × 109/L [range,
and skeletal muscle injury (23 [10.7%]). In patients with CNS 0.4-2.6]; P < .001; C-reactive protein: median, 37.1 mg/L [range,
manifestations, the most common reported symptoms were 0.1-212.0] vs 9.4 mg/L [range, 0.2-126.0]; P < .001). The pa-
dizziness (36 [16.8%]) and headache (28 [13.1%]). In patients tients with severe infection had higher D-dimer levels than
with PNS symptoms, the most common reported symptoms patients with nonsevere infection (median, 0.9 mg/L [range,
were taste impairment (12 [5.6%]) and smell impairment (11 0.1-20.0] vs 0.4 mg/L [range, 0.2-8.7]; P < .001), which was in-
[5.1%]). dicative of consumptive coagulation system. In addition, pa-
According to the American Thoracic Society guidelines tients with severe infection had multiple organ involvement,
for community-acquired pneumonia,10 88 patients (41.1%) such as serious liver (increased lactate dehydrogenase, ala-
had severe infection and 126 patients (58.9%) had nonsevere nine aminotransferase, and aspartate aminotransferase lev-
infection. The patients with severe infection were signifi- els), kidney (increased blood urea nitrogen and creatinine lev-
cantly older (mean [SD] age, 58.2 [15.0] years vs 48.9 [14.7] els), and skeletal muscle damage (increased creatinine kinase
years; P < .001) and more likely to have other underlying dis- levels).
orders (42 [47.7%] vs 41 [32.5%]; P = .03), especially hyper-
tension (32 [36.4%] vs 19 [15.1%]; P < .001), and had fewer Laboratory Findings in Patients With and Without
typical symptoms of COVID-19 such as fever (40 [45.5%] vs CNS Symptoms
92 [73%]; P < .001) and dry cough (30 [34.1%] vs 77 [61.1%]; Table 3 showed the laboratory findings of patients with and
P < .001). Moreover, nervous system manifestations were sig- without CNS symptoms. We found that patients with CNS
nificantly more common in severe infections compared with symptoms had lower lymphocyte levels, platelet counts, and
nonsevere infections (40 [45.5%] vs 38 [30.2%], P = .02). higher blood urea nitrogen levels compared with those with-
They included acute cerebrovascular disease (5 [5.7%]; 4 out CNS symptoms (lymphocyte count: median, 1.0 × 109/L
patients with ischemic stroke and 1 with cerebral hemorrhage [range, 0.1-2.3] vs 1.2 × 109/L [range, 0.2-2.6], P = .049; plate-
who died later of respiratory failure; vs 1 [0.8%]; 1 patient let count: median, 180.0 × 109/L [range, 18.0-564.0] vs 227.0
with ischemic stroke; P = .03, Figure), impaired conscious- × 109/L [range, 42.0-583.0], P = .005; blood urea nitrogen:
ness (13 [14.8%] vs 3 [2.4%]; P < .001), and skeletal muscle median, 4.5 mmol/L [range, 1.6-48.1] vs 4.1 mmol/L [range,

jamaneurology.com (Reprinted) JAMA Neurology June 2020 Volume 77, Number 6 685

© 2020 American Medical Association. All rights reserved.

Downloaded From: https://jamanetwork.com/ on 06/15/2020


Research Original Investigation Neurologic Manifestations of Hospitalized Patients With Coronavirus Disease 2019 in Wuhan, China

Table 1. Clinical Characteristics of Patients With COVID-19

No. (%)
Total Severe Nonsevere
Characteristic (N = 214) (n = 88) (n = 126) P valuea
Age, mean (SD), y 52.7 (15.5) 58.2 (15.0) 48.9 (14.7)
Age, y
<50 90 (42.1) 24 (27.3) 66 (52.4)
<.001
≥50 124 (57.9) 64 (72.7) 60 (47.6)
Sex
Female 127 (59.3) 44 (50.0) 83 (65.9)
.02
Male 87 (40.7) 44 (50.0) 43 (34.1)
Comorbidities
Any 83 (38.8) 42 (47.7) 41 (32.5) .03
Hypertension 51 (23.8) 32 (36.4) 19 (15.1) <.001
Diabetes 30 (14.0) 15 (17.0) 15 (11.9) .29
Cardiac or cerebrovascular disease 15 (7.0) 7 (8.0) 8 (6.3) .65
Malignancy 13 (6.1) 5 (5.7) 8 (6.3) .84
Chronic kidney disease 6 (2.8) 2 (2.3) 4 (3.2) .69
Typical symptoms
Fever 132 (61.7) 40 (45.5) 92 (73.0) <.001
Cough 107 (50.0) 30 (34.1) 77 (61.1) <.001
Anorexia 68 (31.8) 21 (23.9) 47 (37.3) .04
Diarrhea 41 (19.2) 13 (14.8) 28 (22.2) .17
Throat pain 31 (14.5) 10 (11.4) 21 (16.7) .28
Abdominal pain 10 (4.7) 6 (6.8) 4 (3.2) .21
Nervous system symptoms
Any 78 (36.4) 40 (45.5) 38 (30.2) .02
CNS 53 (24.8) 27 (30.7) 26 (20.6) .09
Dizziness 36 (16.8) 17 (19.3) 19 (15.1) .42
Headache 28 (13.1) 15 (17.0) 13 (10.3) .15
Impaired consciousness 16 (7.5) 13 (14.8) 3 (2.4) <.001
Acute cerebrovascular disease 6 (2.8) 5 (5.7) 1 (0.8) .03
Ataxia 1 (0.5) 1 (1.1) 0 NA
Seizure 1 (0.5) 1 (1.1) 0 NA
PNS 19 (8.9) 7 (8.0) 12 (9.5) .69
Impairment
Taste 12 (5.6) 3 (3.4) 9 (7.1) .24
Smell 11 (5.1) 3 (3.4) 8 (6.3) .34
Vision 3 (1.4) 2 (2.3) 1 (0.8) .37
Nerve pain 5 (2.3) 4 (4.5) 1 (0.8) .07
Skeletal muscle injury 23 (10.7) 17 (19.3) 6 (4.8) <.001
Onset of symptoms to hospital admission, median (range), d
CNS
Dizziness 1 (1-30) 1 (1-30) 1 (1-14) NA
Headache 1 (1-14) 1 (1-3) 3 (1-14) NA
Impaired consciousness 8 (1-25) 10 (1-25) 1 (1-3) NA
Acute cerebrovascular disease 9 (1-18) 10 (1-18) 1 (1) NA
Ataxia 2 (2) 2 (2) NA NA
Seizure 2 (2) 2 (2) NA NA
Abbreviations: CNS, central nervous
PNS
system; COVID-19, coronavirus
Impairment disease 2019; NA, not applicable;
Taste 2 (1-5) 3 (1-3) 2 (1-5) NA PNS, peripheral nervous system.
Smell 2 (1-5) 1 (1-4) 2 (1-5) NA a
P values indicate differences
Vision 2 (1-3) 3 (2-3) 1 (1) NA between patients with severe and
Nerve pain 1 (1-1) 1 (1-1) 1 (1) NA nonsevere infection, and P less than
.05 was considered statistically
Skeletal muscle injury 1 (1-11) 1 (1-11) 1 (1-6) NA
significant.

1.5-19.1], P = .04). For the severe subgroup, patients with CNS those without CNS symptoms (lymphocyte count: median, 0.7
symptoms also had lower lymphocyte levels and platelet × 109/L [range, 0.1-1.6] vs 0.9 × 109/L [range, 0.2-2.6], P = .007;
counts and higher blood urea nitrogen levels compared with platelet count: median, 169.0 × 109/L [range, 18.0-564.0] vs

686 JAMA Neurology June 2020 Volume 77, Number 6 (Reprinted) jamaneurology.com

© 2020 American Medical Association. All rights reserved.

Downloaded From: https://jamanetwork.com/ on 06/15/2020


Neurologic Manifestations of Hospitalized Patients With Coronavirus Disease 2019 in Wuhan, China Original Investigation Research

Figure. Representative Computed Tomography (CT) Images of a Patient With Coronavirus Disease 2019
With New Onset of Ischemic Stroke

A Brain computed tomography B Chest computed tomography

A, Brain CT image 1 day after ischemic


stroke. White arrowhead indicates
the ischemic lesion. B, Chest CT
image 1 day after ischemic stroke.

Table 2. Laboratory Findings of Patients With COVID-19

Median (range)
Total Severe Nonsevere
Laboratory finding (N = 214) (n = 88) (n = 126) P valuea
Count, ×109/L
White blood cell 4.9 (0.1-20.4) 5.4 (0.1-20.4) 4.5 (1.8-14.0) .008
Neutrophil 3.0 (0.0-18.7) 3.8 (0.0-18.7) 2.6 (0.7-11.8) <.001
Lymphocyte 1.1 (0.1-2.6) 0.9 (0.1-2.6) 1.3 (0.4-2.6) <.001 Abbreviation: COVID-19, coronavirus
Platelet 209.0 (18.0-583.0) 204.5 (18.0-576.0) 219.0 (42.0-583.0) .25 disease 2019.
C-reactive protein, mg/L 12.2 (0.1-212.0) 37.1 (0.1-212.0) 9.4 (0.4-126.0) <.001 SI conversion factor: To convert
aminotransferase levels to
D-dimer, mg/L 0.5 (0.1-20.0) 0.9 (0.1-20.0) 0.4 (0.2-8.7) <.001
microkatals per liter, multiply by
Creatine kinase, U/L 64.0 (8.8-12216.0) 83.0 (8.8-12216.0) 59.0 (19.0-1260.0) .004 0.0167; creatine kinase to microkatals
Lactate dehydrogenase, U/L 241.5 (2.2-908.0) 302.0 (2.2-880.0) 215.0 (2.5-908.0) <.001 per liter, multiply by 0.0167; lactate
dehydrogenase to microkatals per
Aminotransferase, U/L
liter, multiply by 0.0167.
Alanine 26.0 (5.0-1933.0) 32.5 (5.0-1933.0) 23.0 (6.0-261.0) .04 a
P values indicate differences
Aspartate 26.0 (8.0-8191.0) 34.0 (8.0-8191.0) 23.0 (9.0-244.0) <.001 between patients with severe and
Blood urea nitrogen, mmol/L 4.1 (1.5-48.1) 4.6 (1.5-48.1) 3.8 (1.6-13.7) <.001 nonsevere infection, and P less than
.05 was considered statistically
Creatinine, μmol/L 68.2 (35.9-9435.0) 71.6 (35.9-9435.0) 65.6 (39.4-229.1) .03
significant.

220.0 × 109/L [range, 109.0-576.0], P = .04; blood urea nitro- pared with the patients without muscle injury, patients with
gen: median, 5.0 mmol/L [range, 2.3-48.1] vs 4.4 mmol/L muscle injury had significantly higher levels of creatine ki-
[range, 1.5-19.1], P = .04). For the nonsevere subgroup, there nase (median, 400.0 U/L [range 203.0-12216.0] vs median,
were no significant differences in laboratory findings of pa- 58.5 U/L [range 8.8-212.0]; P < .001), regardless of their sever-
tients with and without CNS symptoms. ity. Meanwhile, patients with muscle injury had higher neu-
trophil counts, lower lymphocyte counts, higher C-reactive pro-
Laboratory Findings in Patients With and Without tein levels, and higher D-dimer levels. The abnormalities were
PNS Symptoms manifestations of increased inflammatory response and blood
Table 4 showed the laboratory findings of patients with and coagulation function. In addition, we found that patients with
without PNS symptoms. We found that there were no sig- muscle injury had multiorgan damage, including more seri-
nificant differences in laboratory findings of patients with ous liver (increased lactate dehydrogenase, alanine amino-
PNS and those without PNS. Similar results were also found transferase, and aspartate aminotransferase levels) and kid-
in the severe subgroup and nonsevere subgroup, respec- ney (increased blood urea nitrogen and creatinine levels)
tively. abnormalities.
For the severe group, patients with skeletal muscle injury
Laboratory Findings in Patients With and Without had decreased lymphocyte counts and more serious liver in-
Skeletal Muscle Injury jury (increased lactate dehydrogenase, alanine aminotrans-
The eTable in the Supplement shows the laboratory findings ferase, and aspartate aminotransferase levels) and kidney
of patients with and without skeletal muscle injury. Com- injury (increased creatinine levels).

jamaneurology.com (Reprinted) JAMA Neurology June 2020 Volume 77, Number 6 687

© 2020 American Medical Association. All rights reserved.

Downloaded From: https://jamanetwork.com/ on 06/15/2020


Research Original Investigation Neurologic Manifestations of Hospitalized Patients With Coronavirus Disease 2019 in Wuhan, China

Table 3. Laboratory Findings of Patients With COVID-19 With CNS Symptomsa

Median (range)
Total Severe Nonsevere
With CNS Without CNS With CNS Without CNS With CNS Without CNS
symptoms symptoms symptoms symptoms symptoms symptoms
Laboratory finding (n = 53) (n = 161) P value (n = 27) (n = 61) P value (n = 26) (n = 100) P value
Count, ×109/L
White blood cell 4.6 4.9 .58 5.3 5.5 .77 4.1 4.6 .40
(0.1-12.5) (1.8-20.4) (0.1-12.5) (1.9-20.4) (2.4-11.0) (1.8-14.0)
Neutrophil 2.6 3.1 .41 3.8 3.6 >.99 2.2 2.8 .11
(0.0-10.9) (0.7-18.7) (0.0-10.9) (0.7-18.7) (0.9-7.4) (0.7-11.8)
Lymphocyte 1.0 1.2 .049 0.7 0.9 .007 1.3 1.3 .49
(0.1-2.3) (0.2-2.6) (0.1-1.6) (0.2-2.6) (0.7-2.3) (0.4-2.6)
Platelet 180.0 227.0 .005 169.0 220.0 .04 188.5 232.0 .09
(18.0-564.0) (42.0-583.0) (18.0-564.0) (109.0-576.0) (110.0-548.0) (42.0-583.0)
C-reactive protein, mg/L 14.1 11.4 .31 48.6 26.1 .68 7.4 9.8 .82
(0.1-212.0) (0.1-204.5) (0.1-212.0) (0.1-204.5) (3.1-111.0) (0.4-126.0)
D-dimer, mg/L 0.5 0.5 .75 1.2 0.9 .42 0.4 0.4 .46
(0.2-9.7) (0.1-20.0) (0.2-9.7) (0.1-20.0) (0.2-6.4) (0.2-8.7)
Creatine kinase, U/L 79.0 60.5 .17 104.0 64.0 .08 52.5 59.0 .56
(8.8-12216.0) (19.0-1260.0) (8.8-12 216.0) (19.0-1214.0) (28.0-206.0) (19.0-1260.0)
Lactate dehydrogenase, 243.0 241.0 .77 334.0 299.0 .32 198.0 226.0 .14
U/L (2.2-880.0) (3.5-908.0) (2.2-880.0) (3.5-743.0) (2.5-417.0) (121.0-908.0)
Aminotransferase, U/L
Alanine 27.0 26.0 .21 35.0 31.0 .32 25.5 23.0 .68
(5.0-261.0) (6.0-1933.0) (5.0-259.0) (7.0-1933.0) (13.0-261.0) (6.0-135.0)
Aspartate 29.5 26.0 .10 35.5 34.0 .32 23.0 23.5 .56
(13.0-213.0) (8.0-8191.0) (14.0-213.0) (8.0-8191.0) (13.0-198.0) (9.0-244.0)
Blood urea nitrogen, 4.5 4.1 .04 5.0 4.4 .04 3.9 3.8 .57
mmol/L (1.6-48.1) (1.5-19.1) (2.3-48.1) (1.5-19.1) (1.6-9.4) (1.7-13.7)
Creatinine, μmol/L 71.7 66.3 .06 71.7 68.4 .25 72.0 63.4 .27
(37.1-1299.2) (35.9-9435.0) (37.1-1299.2) (35.9-9435.0) (40.3-133.6) (39.4-229.1)
Abbreviations: CNS, central nervous system; COVID-19, coronavirus disease lactate dehydrogenase to microkatals per liter, multiply by 0.0167.
2019. a
P values indicate differences between patients with and without CNS
SI conversion factor: To convert aminotransferase levels to microkatals per liter, symptoms, and P less than .05 was considered statistically significant.
multiply by 0.0167; creatine kinase to microkatals per liter, multiply by 0.0167;

avoid delayed diagnosis or misdiagnosis and prevention of


Discussion transmission.
In January 2020,3 ACE2 was identified as the functional
To our knowledge, this is the first report on detailed neuro- receptor for SARS-CoV-2, which is present in multiple human
logic manifestations of the hospitalized patients with COVID- organs, including nervous system and skeletal muscles.11 The
19. As of February 19, 2020, of 214 patients included in this expression and distribution of ACE2 remind us that the SARS-
study, 88 (41.1%) had severe infection and 126 (58.9%) had non- CoV-2 may cause some neurologic manifestations through di-
severe infection. Of these, 78 (36.4%) had various neurologic rect or indirect mechanisms. Autopsy results of patients with
manifestations that involved CNS, PNS, and skeletal muscles. COVID-19 showed that the brain tissue was hyperemic and
Compared with patients with nonsevere infection, patients edematous and some neurons degenerated.12 Neurologic in-
with severe infection were older and had more hypertension jury has been confirmed in the infection of other CoVs such
but fewer typical symptoms such as fever and cough. Pa- as in SARS-CoV and MERS-CoV. The researchers detected
tients with severe infection were more likely to develop neu- SARS-CoV nucleic acid in the cerebrospinal fluid of those pa-
rologic manifestations, especially acute cerebrovascular dis- tients and also in their brain tissue on autopsy.13,14
ease, conscious disturbance, and skeletal muscle injury. Most Central nervous system symptoms were the main form of
neurologic manifestations occurred early in the illness (the me- neurologic injury in patients with COVID-19 in this study. The
dian time to hospital admission was 1-2 days). Some patients pathologic mechanism may be from the CNS invasion of SARS-
without typical symptoms (fever, cough, anorexia, and diar- CoV-2, similar to SARS and MERS viruses. As with other respi-
rhea) of COVID-19 came to the hospital with only neurologic ratory viruses, SARS-COV-2 may enter the CNS through the he-
manifestation as their presenting symptoms. Therefore, for pa- matogenous or retrograde neuronal route. The latter can be
tients with COVID-19, we need to pay close attention to their supported by the fact that some patients in this study had smell
neurologic manifestations, especially for those with severe in- impairment. We also found that the lymphocyte counts were
fections, which may have contributed to their death. More- lower for patients with CNS symptoms than without CNS symp-
over, during the epidemic period of COVID-19, when seeing pa- toms. This phenomenon may be indicative of the immuno-
tients with these neurologic manifestations, physicians should suppression in patients with COVID-19 with CNS symptoms,
consider SARS-CoV-2 infection as a differential diagnosis to especially in the severe subgroup. Moreover, we found

688 JAMA Neurology June 2020 Volume 77, Number 6 (Reprinted) jamaneurology.com

© 2020 American Medical Association. All rights reserved.

Downloaded From: https://jamanetwork.com/ on 06/15/2020


Neurologic Manifestations of Hospitalized Patients With Coronavirus Disease 2019 in Wuhan, China Original Investigation Research

Table 4. Laboratory Findings of Patients With COVID-19 With PNS Symptoms

Median (range)
Total Severe Nonsevere
With PNS Without PNS With PNS Without PNS With PNS Without PNS
symptoms symptoms symptoms symptoms symptoms symptoms
Laboratory finding (n = 19) (n = 195) P value (n = 7) (n = 81) P value (n = 12) (n = 114) P value
Count, ×109/L
White blood cell 4.8 4.9 .74 4.5 5.6 .11 4.9 4.4 .27
(2.8-7.5) (0.1-20.4) (3.1-6.8) (0.1-20.4) (2.8-7.5) (1.8-14.0)
Neutrophil 2.8 3.0 .74 2.6 4.1 .10 2.9 2.5 .21
(1.5-5.4) (0.0-18.7) (1.5-5.3) (0.0-18.7) (1.9-5.4) (0.7-11.8)
Lymphocyte 1.2 1.1 .43 1.2 0.9 .26 1.2 1.3 .92
(0.6-2.6) (0.1-2.6) (0.6-1.6) (0.1-2.6) (0.7-2.6) (0.4-2.4)
Platelet 204.0 213.0 .56 204.0 205.0 .56 214.5 219.0 .81
(111.0-305.0) (18.0-583.0) (111.0-245.0) (18.0-576.0) (155.0-305.0) (42.0-583.0)
C-reactive protein, 12.0 12.3 .45 7.5 43.7 .13 13.0 8.8 .60
mg/L (3.1-81.0) (0.1-212.0) (3.1-76.4) (0.1-212.0) (3.1-81.0) (0.4-126.0)
D-dimer, mg/L 0.4 0.5 .40 0.5 1.3 .27 0.4 0.4 .99
(0.2-9.5) (0.1-20.0) (0.2-9.5) (0.1-20.0) (0.2-4.5) (0.2-8.7)
Creatine kinase, U/L 67.0 64.0 .41 105.0 83.0 .76 66.0 57.5 .29
(32.0-1214.0) (8.8-12216.0) (32.0-1214.0) (8.8-12216.0) (42.0-171.0) (19.0-1260.0)
Lactate dehydrogenase, 205.0 242.0 .28 170.0 309.0 .05 254.0 215.0 .67
U/L (2.5-517.0) (2.2-908.0) (46.0-517.0) (2.2-880.0) (2.5-481.0) (2.9-908.0)
Aminotransferase, U/L
Alanine 26.0 27.0 .70 19.0 35.0 .23 26.0 23.0 .56
(5.0-116.0) (6.0-1933.0) (5.0-80.0) (8.0-1933.0) (8.0-116.0) (6.0-261.0)
Aspartate 22.0 27.0 .29 22.0 35.5 .13 22.0 23.5 >.99
(8.0-115.0) (9.0-8191.0) (8.0-53.0) (12.0-8191.0) (14.0-115.0) (9.0-244.0)
Blood urea nitrogen, 4.1 4.1 .76 4.2 4.7 .96 3.7 3.9 .66
mmol/L (1.6-8.8) (1.5-48.1) (3.5-8.8) (1.5-48.1) (1.6-5.3) (1.7-13.7)
Creatinine, μmol/L 62.5 68.3 .46 71.4 71.7 .72 59.9 66.6 .24
(48.1-121.4) (35.9-9435.0) (58.3-121.4) (35.9-9435.0) (48.1-77.3) (39.4-229.1)
Abbreviations: COVID-19, coronavirus disease 2019; PNS, peripheral nervous lactate dehydrogenase to microkatals per liter, multiply by 0.0167.
system. a
P values indicate differences between patients with and without PNS
SI conversion factor: To convert aminotransferase levels to microkatals per liter, symptoms, and P less than .05 was considered statistically significant.
multiply by 0.0167; creatine kinase to microkatals per liter, multiply by 0.0167;

patients with severe infection had higher D-dimer levels than cities in China, and even other countries. Second, all data were
that of patients with nonsevere infection. This may be the rea- abstracted from the electronic medical records; certain pa-
son why patients with severe infection are more likely to de- tients with neurologic symptoms might not be captured if their
velop cerebrovascular disease. neurologic manifestations were too mild, such as with taste
Consistent with the previous studies,7 muscle symptoms impairment and smell impairment. Third, because most pa-
were also common in our study. We speculate that the symp- tients were still hospitalized and information regarding clini-
tom was owing to skeletal muscle injury, as confirmed by el- cal outcomes was unavailable at the time of analysis, it was
evated creatine kinase levels. We found that patients with difficult to assess the effect of these neurologic manifesta-
muscle symptoms had higher creatine kinase and lactate de- tions on their outcome, and continued observations of the
hydrogenase levels than those without muscle symptoms. Fur- natural history of disease are needed. Fourth, during the out-
thermore, creatine kinase and lactate dehydrogenase levels in break period of COVID-19, because of the influx of many pa-
patients with severe infection were much higher than those tients infected with SARS-CoV-2, advanced neuroimaging, such
of patients with nonsevere infection. This injury could be as- as magnetic resonance imaging and diagnostic procedures such
sociated with ACE2 in skeletal muscle.15 However, SARS-CoV, as lumbar puncture and electromyography/nerve conduc-
using the same receptor, was not detected in skeletal muscle tion velocity, was purposefully avoided to reduce the risk of
by postmortem examination.16 Therefore, whether SARS- cross infection. Therefore, in our study, most of the symp-
CoV-2 infects skeletal muscle cells by binding with ACE2 needs toms were a patient’s subjective descriptions. We could not dis-
to be further studied. One other reason was the infection- tinguish whether these neurologic manifestations are caused
mediated harmful immune response that caused the nervous by the virus directly or by the pulmonary disease or other or-
system abnormalities. Significantly elevated proinflamma- gan damage indirectly.
tory cytokines in serum may cause skeletal muscle damage.

Limitations
This study has several limitations. First, only 214 patients were
Conclusions
studied, which could cause biases in clinical observation. It In conclusion, SARS-CoV-2 may infect nervous system and skel-
would be better to include more patients from Wuhan, other etal muscle as well as the respiratory tract. In those with

jamaneurology.com (Reprinted) JAMA Neurology June 2020 Volume 77, Number 6 689

© 2020 American Medical Association. All rights reserved.

Downloaded From: https://jamanetwork.com/ on 06/15/2020


Research Original Investigation Neurologic Manifestations of Hospitalized Patients With Coronavirus Disease 2019 in Wuhan, China

severe infection, neurologic involvement is greater, which in- severe COVID-19, rapid clinical deterioration or worsening could
cludes acute cerebrovascular diseases, impaired conscious- be associated with a neurologic event such as stroke, which
ness, and skeletal muscle injury. Their clinical conditions may would contribute to its high mortality rate. Moreover, during the
worsen, and patients may die sooner. This study may offer im- epidemic period of COVID-19, when seeing patients with these
portant new clinical information on COVID-19 that would help neurologic manifestations, clinicians should consider SARS-
clinicians raise awareness of its involvement of neurologic mani- CoV-2 infection as a differential diagnosis to avoid delayed di-
festations. It is especially meaningful to learn that for those with agnosis or misdiagnosis and prevention of transmission.

ARTICLE INFORMATION Diseases Pilot Project of Clinical Collaboration with guidance. January 2020. Accessed February 5,
Accepted for Publication: March 26, 2020. Chinese and Western Medicine 2020. https://www.who.int/internal-publications-
(SATCM-20180339). detail/clinical-management-of-severe-acute-
Published Online: April 10, 2020. respiratory-infection-when-novel-coronavirus-
doi:10.1001/jamaneurol.2020.1127 Role of the Funder/Sponsor: The funding
sourceshad no role in the design and conduct of the (ncov)-infection-is-suspected
Author Affiliations: Department of Neurology, study; collection, management, analysis, and 9. Huang C, Wang Y, Li X, et al. Clinical features of
Union Hospital, Tongji Medical College, Huazhong interpretation of the data; preparation, review, or patients infected with 2019 novel coronavirus in
University of Science and Technology, Wuhan, approval of the manuscript; and decision to submit Wuhan, China. Lancet. 2020;395(10223):497-506.
China (Mao, Jin, M. Wang, Chen, He, Hong, Zhou, Li, the manuscript for publication. doi:10.1016/S0140-6736(20)30183-5
B. Hu); Department of Hematology, Union Hospital,
Tongji Medical College, Huazhong University of 10. Metlay JP, Waterer GW, Long AC, et al.
REFERENCES Diagnosis and treatment of adults with
Science and Technology, Wuhan, China (Y. Hu);
Department of Epidemiology and Biostatistics, Key 1. Zhu N, Zhang D, Wang W, et al; China Novel community-acquired pneumonia: an official clinical
Laboratory for Environment and Health, School of Coronavirus Investigating and Research Team. practice guideline of the American Thoracic Society
Public Health, Tongji Medical College, Huazhong A novel coronavirus from patients with pneumonia and Infectious Disease Society of America. Am J
University of Science and Technology, Wuhan, in China. N Engl J Med. 2020;382(8):727-733. doi: Respir Crit Care Med. 2019;200(7):e45-e67.
China (Chang, Miao); Neurovascular Division, 10.1056/NEJMoa2001017 doi:10.1164/rccm.201908-1581ST
Department of Neurology, Barrow Neurological 2. Zhou P, Yang XL, Wang XG, et al. A pneumonia 11. Hamming I, Timens W, Bulthuis ML, Lely AT,
Institute, Saint Joseph’s Hospital and Medical outbreak associated with a new coronavirus of Navis G, van Goor H. Tissue distribution of ACE2
Center, Phoenix, Arizona (D. Wang). probable bat origin. Nature. 2020;579(7798):270- protein, the functional receptor for SARS
Author Contributions: Dr B. Hu had full access to 273. doi:10.1038/s41586-020-2012-7 coronavirus: a first step in understanding SARS
all of the data in the study and takes responsibility 3. Zhao Y, Zhao Z, Wang Y, Zhou Y, Ma Y, Zuo W. pathogenesis. J Pathol. 2004;203(2):631-637.
for the integrity of the data and the accuracy of the Single-cell RNA expression profiling of ACE2, the doi:10.1002/path.1570
data analysis. Drs Mao, Jin, M. Wang, Y. Hu, Chen, putative receptor of Wuhan 2019-nCov. bioRxiv. 12. National Health Commission of the People′s
He, and Chang contributed equally and share first 2020. doi:10.1101/2020.01.26.919985 Republic of China. Diagnosis and treatment of the
authorship. 4. World Health Organization. Coronavirus disease novel coronavirus pneumonia (Trial version 7) [D].
Concept and design: Mao, Jin, Y. Hu, He, Miao, 2019 (COVID-19) situation report-45. Accessed Published 2020. Accessed March 3, 2020. http://
B. Hu. March 5, 2020. https://www.who.int/docs/default- www.nhc.gov.cn/yzygj/s7653p/202003/
Acquisition, analysis, or interpretation of data: source/coronaviruse/situation-reports/ 46c9294a7dfe4cef80dc7f5912eb1989/files/
Mao, Jin, M. Wang, Chen, Chang, Hong, Zhou, 20200305-sitrep-45-covid-19.pdf?sfvrsn= ce3e6945832a438eaae415350a8ce964.pdf
D. Wang, Li. ed2ba78b_2 13. Marc D, Dominique JF, Élodie B, et al. Human
Drafting of the manuscript: Mao, Jin, M. Wang, Coronavirus: Respiratory Pathogens Revisited as
Chen, Chang, Zhou, D. Wang, B. Hu. 5. Su S, Wong G, Shi W, et al. Epidemiology, genetic
recombination, and pathogenesis of coronaviruses. Infectious Neuroinvasive, Neurotropic, and
Critical revision of the manuscript for important Neurovirulent Agents. CRC Press; 2013:93-122.
intellectual content: Y. Hu, He, Hong, D. Wang, Miao, Trends Microbiol. 2016;24(6):490-502. doi:10.1016/
Li, B. Hu. j.tim.2016.03.003 14. Arabi YM, Balkhy HH, Hayden FG, et al. Middle
Statistical analysis: Chang. 6. World Health Organization. Middle East East Respiratory Syndrome. N Engl J Med. 2017;376
Obtained funding: Mao, B. Hu. respiratory syndrome coronavirus (MERS-CoV). (6):584-594. doi:10.1056/NEJMsr1408795
Administrative, technical, or material support: Mao, Published November 2019. Accessed January 19, 15. Cabello-Verrugio C, Morales MG, Rivera JC,
Jin, M. Wang, Chen, He, Zhou, D. Wang, Miao, 2020. https://www.who.int/emergencies/mers- Cabrera D, Simon F. Renin-angiotensin system: an
Li, B. Hu. cov/en/ old player with novel functions in skeletal muscle.
Supervision: Y. Hu, B. Hu. 7. Guan WJ, Ni ZY, Hu Y, et al; China Medical Med Res Rev. 2015;35(3):437-463. doi:10.1002/
Conflict of Interest Disclosures: None reported. Treatment Expert Group for Covid-19. Clinical med.21343

Funding/Support: This work was supported by the characteristics of coronavirus disease 2019 in 16. Ding Y, He L, Zhang Q, et al. Organ distribution
National Key Research and Development Program China. N Engl J Med. 2020. doi:10.1056/ of severe acute respiratory syndrome (SARS)
of China (2018YFC1312200 to Dr B. Hu), the NEJMoa2002032 associated coronavirus (SARS-CoV) in SARS
National Natural Science Foundation of China 8. World Health Organization. Clinical management patients: implications for pathogenesis and virus
(81820108010 to Dr B. Hu, No.81974182 to Dr Mao of severe acute respiratory infection when Novel transmission pathways. J Pathol. 2004;203(2):622-
and 81671147 to Dr Jin) and Major Refractory coronavirus (nCoV) infection is suspected: interim 630. doi:10.1002/path.1560

690 JAMA Neurology June 2020 Volume 77, Number 6 (Reprinted) jamaneurology.com

© 2020 American Medical Association. All rights reserved.

Downloaded From: https://jamanetwork.com/ on 06/15/2020


APAKAH ITU RABIES ? BERAPA LAMA MASA TUNAS

RABIES
RABIES?
G Rabies atau penyakit anjing gila adalah suatu
penyakit fatal yang menyerang sistem saraf dari  Masa tunas rabies pada
semua jenis hewan berdarah panas dan manusia. hewan timbul sekitar 3 – 6
Bersifat zoonosa artinya menular dari hewan ke
manusia minggu
 Manusia masa tunas umumnya
HEWAN YANG 2 – 8 minggu.
MENYEBABKAN
 Masa tunas juga
RABIES ?
bervariasidapat lebih singkat
 Rabies disebabkan oleh virus yang umumnya atau lebih
ditularkan melalui air liur hewan pemakan

Tim Penyusun Oleh : 


daging
Di Indonesia hanya anjing, kucing, kalelawar
APA RABIES BISA DIOBATI ?
Moch. Azwar Andi Pawata kera yang dikenal sebagai penyebab utama

Khairani Aulia
penyakit ini.
Penyakit yang disebabkan oleh
Kurniawan Hidayat BAGAIMANA CARA PENULARAN virus tidak ada obatnya. Oleh
Desi Asi Sukara RABIES?
karena itu hewan atau manusia
Terdapat pada air liur hewan penderita yang terserang penyakit ini pada
rabies, sehingga penularan rabies pada umumnya selalu diakhiri dengan
manusia atau hewan lain juga melalui gigitan
kematian
hewan penderita rabies atau luka yang
terkena air liur manusia atau hewan
KEPANITERAAN KLINIK penderita rabies.
BAGIAN NEUROLOGI
RSU BANGLI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR
TAHUN 2020
APA TANDA DAN GEJALA APA TANDA DAN GEJALA Untuk hewan yang menggigit harus
RABIES PADA HEWAN? RABIES PADA MANUSIA? segera ditangkap hidup-hidup, bila
mungkin kemudian dilaporkan ke
a. Permulaan tampak perubahan tabiat, Pada manusia stadium permulaan Dinas Peternakan Setempat untuk
b. Bersembunyidi tempat gelap dan diketahui biasanya didahului sakit, mual, dilakukan observasi selama 14 hari.

dingin nafsu makan menurun.


c. Tidak lagi menuruti perintah Pada stadium lebih lanjut seperti : Anjing penderita akan mati selama 2
majikannya  Air liur dan air mata keluar berlebihan minggu
d. Nafsu makan hilang  Kepekaan terhadap air dan sinar
e. Suara menjadi parau semakin meninggi
Anjing yang mati karena rabies akan
f. Memakan benda-benda asing,  Ciri khas dari penderita rabies adalah dikirim specimen atau kepalanya
misalnya batu, paku, kayu, dsb takut pada air yang berlebihan keLaboratorium Kesehatan Hewan
g. Ekor berada di antara kedua paha  Kejang-kejang yang disusul untuk diperiksa
h. Mulut membuka, lidah terjulur dan kelumpuhan
keluar air liur berlebihan  Pada umumnya penderita mati
BAGAIMANA MENCEGAH
i. Menyerang dan menggigit apa saja setelah gejala/tanda pertama timbul
RABIES ?
yang dijumpai
TATALAKANA LUKA
j. Kejang-kejang disusul dengan 1. Hindari gigitan hewan
GIGITAN HEWAN PENULAR
kelumpuhan
RABIES ( HPR ) 2. Vaksinasi rabies pada anjing, kucing dan
k. Biasanya mati setelah 4-7 hari kera piaraan secara teratur setiap tahun
setelah gejala pertama timbul .  Mencuci luka gigitan secepatnya 3. Jangan bawa anjing ke tempat/daerah
dengan sabun atau deterjen selama 5- tertular rabies
10 menit kemudian luka dicuci/dibilas 4. Memberantas, memusnahkan atau
dengan air bersih yang mengalir (air eliminasi anjing liar atau yang berkeliaran
kran/pompa) dengan menggunakan racun oleh petugas
yang berwenang
 Segera dibawa ke Puskesmas/Rumah
5. Dilakukan penangkapan anjing
Sakit terdekat atau ke dokter untuk
liar/berkeliaran di tempat umum.
mendapat perawatan berupa suntikan
Vaksin Anti Rabies (VAR) tergantung
dari hasil pemeriksaan dokter.

Anda mungkin juga menyukai