TUBERKULOSIS CEREBRAL
Oleh :
Dosen Pembimbing:
Fakultas Kedokteran
2021
Ketua Kelompok : Firda Nur Laila 6120020008
Anggota :
ii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala
nikmat, rahmat, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas
referat mengenai “Tuberkulosis Cerebral” dengan baik.
Tugas ini disusun dalam rangka memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik di
bagian Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Nahdlatul
Ulama Surabaya. Di samping itu, melalui kesempatan ini, penulis mengucapkan
terima kasih yang sebesar–besarnya kepada Utami Ambarsari., dr., Sp. Rad selaku
pembimbing dalam penyusunan tugas ini.
Penulis menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari sempurna dan tidak
luput dari kesalahan. Oleh karena itu, penulis sangat berharap adanya masukan,
kritik maupun saran yang membangun. Akhir kata penulis ucapkan terimakasih
yang sebesar–besarnya, semoga tugas ini dapat memberikan tambahan informasi
bagi kita semua.
Penulis
iii
iv
BAB 1
PENDAHULUAN
Kemajuan teknologi di bidang keshatan yang ada pada saat ini memberi kemudahan
bagi para praktisi kesehatan untuk mendiagnosa penyakit serta menentukan jenis pengobatan
bagi pasien. Salah satu bentuk kemajuan tersebut adalah penggunaan Magnetik Resonance
Imaging (MRI) untuk melakukan pencitraan diagnose penyakit pasien. MRI merupakan
salah satu pemeriksaan diagnostic yang dapat menghasilkan irisan anatomi secara
multiplanar. MRI dapat mendeteksi perbedaan kontras dan jaringan lebih baik dibandingkan
CT Scan. MRI sangat baik digunakan untuk mendeteksi suatu lesi pada jaringan lunak,
dengan mengtur parameter MRI maka akan dihasilkan sekuen yang baik dalam menilai
patologi tertentu (Brian, 2015).
Tuberkulosis saat ini masih merupakan masalah kesehatan global. WHO melaporkan
bahwa di seluruh dunia sejak tahun 1990-1999 sekitar 30 juta orang meninggal karena
tuberkulosis. Sepertiga populasi dunia terinfeksi oleh kuman TB dan setiap tahun
dijumpai 8 juta kasus baru dengan angka kematian 3 juta. Pada tahun 1993, WHO
mencanangkan kedaruratan global penyakit TB, karena pada sebagian besar di dunia,
penyakit TB tidak terkendali. Ini disebabkan banyaknya penderita yang tidak berhasil
disembuhkan, terutama penderita menular (BTA positif). Pada saat yang sama multidrug
resistance yang diakibatkan tatalaksana pengobatan yang buruk, berkembang menjadi
masalah yang sangat serius di beberapa negara (Gunawan, 2014). Sekitar 1% dari kasus TB
akan bermanifestasi menjadi TB Sistem Saraf Pusat (SSP).
Tuberkuloma otak merupakan bentuk serius dan langka dari infeksi TB SSP
disamping meningitis atau abses otak TB yang disebabkan oleh penyebaran secara
hematogen oleh Mycobacterium tuberculosis (MT), system imun berperan penting dalam
perkembangan infeksi TB ekstra paru, beberapa factor predisposisi yang berperan meliputi
usia muda terutama anak-anak dan keadaan imunosupresif seperti pada AIDS atau kanker.
Tuberkuloma cerebri merupakan penyakit yang jarang didapatkan tetapi menyebabkan
morbiditas dan mortalitas yang tinggi walaupun metode diagnostic dan pengobatan sudah
modern. Tuberkuloma menyebabkan masa lesi intracerebral. Diagnosis cepat berdasarkan
penemuan tanda patologi dapat meningkatkan prognosis. Oleh karena itu pemeriksaan MRI
dapat membantu penegakan diagnosis pasti pada pasien tuberkuloma.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Tanda Klinis
Kaku Kuduk 40 – 80%
Kebingungan 10 – 30%
Koma 30 – 60%
Kelumpuhan Nervus Kranial 30 – 50%
VI 30 – 40 %
III 5 – 15%
VII 10 – 20%
Hemiparesis 10 – 20%
Paraparesis 5 – 10%
Kejang
Anak-Anak 50%
Dewasa 5%
Cairan Serebrospinal
Kejernihan 80 – 90%
Tekanan > 25 cm H2O 50%
Hitung Leukosit (x 103/ml) 5 – 1000
Netrofil 10 – 70%
Limfosit 30 – 90%
Protein (g/l) 0,45 – 3,0*
Laktat (mmol/l) 5,0 – 10,0
Glukosa CSS ; Glukosa darah < 0,5 95%
2. Pemeriksaan Laboratorium
Laju endap darah yang meningkat lebih dari 80% pada kasus meningitis
tuberkulosis, tapi ini bukan nilai diagnostik. Sebagian besar anak dengan meningitis
tuberkulosis memiliki nilai hitung darah lengkap yang normal, sementara anemia
lebih umum, leukopenia dan trombositopenia jarang dengan tidak adanya penyebaran
menigitis tuberkulosis.
3. Tes Tuberkulin
Penempelan tes kulit intradermal Mantoux, meskipun cukup sederhana dan
rutin pada orang dewasa yang kooperatif, dapat lebih sulitdilakukan pada anak-anak.
Tes ini dinilai setelah 48-72 jam penempelan dengan pengukuran dan pencatatan
jumlah indurasi (bukaneritma). Jumlah indurasi dianggap sebagai tes kulit positif
tergantung pada risiko infeksi tuberkulosis dan risiko infeksi tuberkulosis berkembang
menjadi penyakit tuberkulosis.Secara umum, indurasi yang lebih dari 5 mm dianggap
positif untuk orang dengan tanda klinis atau radiografi dengan tanda-tanda penyakit
tuberkulosis (Starke, 2010)
4. Pemeriksaan Cairan Serebrospinalis
Pungsi lumbal pada meningitis tuberkulosis biasanya menunjukkan
peningkatan opening pressure dan jernih, serta tidak berwarna. Kebanyakan pasien
memiliki tingkat pleositosis moderat, biasanya kurang dari 500 sel/mm3. Leukosit
CSS lebih besar dari 1000 sel/mm3 jarang pada meningitis tuberkulosis. Walaupun sel
PMN lebih banyak pada awal perjalanan penyakit. Namun pada saat dilakukan pungsi
lumbal tampak limfositosis (Thwaites et.al, 2000).
Rentang tingkat protein CSS biasanya berada pada 100 sampai 500 mg/dl,
protein meningkat selama perjalanan penyakit dan sangat meningkat bila terjadi
obstruksi CSS, kadar glukosa jarang turun di bawah 20 mg/dl sehingga kadar glukosa
yang rendah ini dapat membedakan meningitis tuberkulosis dengan penyebab lain,
kecuali penyebab bakteri (Kemenkes, Pedoman nasional pengendalian tuberkulosis,
2011).
Kortikosteroid
Kortikosteroid dapat digunakan untuk TB dengan komplikasi seperti; meningitis TB,
sumbatan jalan napas akibat TB kelenjar, dan perikarditis TB. Pada kondisi meningitis TB
berat kortikosteroid meningkatkan survival dan menurunkan morbiditas, sehingga
kortiosteroid dianjurkan pada kasus meningitis TB. Steroid dapat pula diberikan pada TB
milier dengan gangguan napas yang berat, efusi pleura dan TB abdomen dengan asites. Obat
yang sering digunakan adalah prednison dengan dosis 2 mg/kg/ hari, sampai 4 mg/kg/hari
pada kasus sakit berat, dengan dosis maksimal 60 mg/hari selama 4 minggu, kemudian
tappering-off bertahap 1-2 minggu sebelum dilepas (Kemenkes RI, 2016).
Immune reconstitution
Disebut juga reaksi paradoksal, perburukan klinis (gejala baru atau perburukan gejala,
tanda, atau manifestasi radiologis) biasa terjadi setelah terapi anti TB akibat peningkatan
kapasitas respons imun yang akan merangsang perburukan penyakit, demam dan peningkatan
ukuran kelenjar limfe atau tuberkuloma. Imun rekonstitusi terjadi akibat peningkatan status
gizi atau akibat terapi anti TB sendiri. Pada pasien TB dengan HIV imun rekonstitusi dapat
terjadi setelah pengobatan dengan antiretroviral (ARV) dan disebut immune reconstitution
inlammatory syndrome (IRIS). Untuk mencegah IRIS, maka ARV diberikan 2-6 minggu
setelah OAT dimulai. Untuk mengurangi risiko hepatotoksisitas, dipertimbangkan mengganti
nevirapin dengan sediaan yang lain. Jika terjadi IRIS, terapi TB tetap diteruskan, sebagian
kasus bisa ditambahkan kortikosteroid, namun jika terjadi keraguan hendaknya anak dirujuk
ke level yang lebih tinggi (Kemenkes RI, 2016).
Nutrisi
Status gizi pasien sangat penting untuk bertahan terhadap penyakit TB, dan malnutrisi
berat berhubungan dengan mortalitas TB. Penilaian yang terus menerus dan cermat pada
pertumbuhan anak perlu dilakukan. Penilaian dilakukan dengan mengukur berat, tinggi,
lingkar lengan atas atau pengamatan gejala dan tanda malnutrisi seperti edema atau muscle
wasting. Pemberian air susu ibu tetap diberikan, jika masih dalam periode
menyusui.Pemberian makanan tambahan sebaiknya diberikan dengan makanan yang mudah
diterima anak dan bervariasi. Jika tidak memungkinkan dapat diberikan suplementasi nutrisi
sampai anak stabil dan TB dapat di atasi (Kemenkes RI, 2016).
Piridoksin
Isoniazid dapat menyebabkan defisiensi piridoksin simptomatik, terutama pada anak
dengan malnutrisi berat dan anak dengan HIV yang mendapatkan ARV. Suplementasi
piridoksin (5-10 mg/hari) direkomendasikan pada bayi yang mendapat ASI ekslusif, HIV
positif atau malnutrisi berat (Kemenkes RI, 2016).
Alur tatalaksana pasien TB anak dapat dilihat pada skema di bawah ini.
Pada sebagian besar kasus TB anak pengobatan selama 6 bulan cukup adekuat.
Setelah pemberian obat 6 bulan, lakukan evaluasi baik klinis maupun pemeriksaan
penunjang. Evaluasi klinis pada TB anak merupakan parameter terbaik untuk menilai
keberhasilan pengobatan. Bila dijumpai perbaikan klinis yang nyata walaupun gambaran
radiologik tidak menunjukkan perubahan yang berarti, OAT tetap dihentikan (Kemenkes RI,
2011)
2.7 Prognosis
Prognosis meningitis tuberkulosis ditentukan oleh stadiumnya, makin lanjut
stadiumnya prognosanya makin jelek.
Beberapa indikator prognosis yang buruk seperti – usia yang terlalu tua, stadium
lanjut penyakit, TB ekstrameningeal yang terjadi bersamaan, dan peningkatan tekanan
intrakranial. Penelitian menunjukkan bahwa variabel yang signifikan untuk memprediksi
hasil meningitis tuberkulosis adalah usia, stadium penyakit, kelemahan fokal, kelumpuhan
nervus kranial, dan hidrosefalus (Mezochow, Thakur, & Vinnard, 2018).
Prognosis meningitis tuberkulosis secara langsung berhubungan dengan derajat
penyakit yang muncul dan awal pengobatan. Sebagian besar pasien yang diterapi pada derajat
I memiliki hasilluaran (outcome) yang baik. Sebaliknya, sebagian besar pasien yang
didiagnosis pada derajat III akan meninggal atau cacat. Beberapa pasien yang didiagnosis
pada derajat II memiliki hasil yang baik, sedangkan yang lain memiliki defisit neurologi yang
persisten. Angka kematian pada meningitis tuberkulosis dengan terapi yang adekuat adalah
10 – 20% di negara maju, tapi dapat lebih tinggi sebesar 30 – 40% di negara berkembang.
Secara umum prognosis yang buruk terjadi pada bayi, lanjut usia, pasien malnutrisi, dan
pasien dengan penyakit yang menular atau dengan peningkatan tekanan intrakranial
(Anderson, 2010).
Kerusakan penglihatan dan pendengaran merupakan perjalanan yang secara umum
lambat. Kerusakan penglihatan biasanya karena tekanan edema pada nervus optik atau
kiasma, tapi kadang secara sekunderakibat peningkatan tekanan intrakranial. Kehilangan
pendengaran dihasilkan dari kerusakan nervus yang disebabkan oleh eksudat basalis (Frida,
2011).
Defisit motorik setelah meningitis tuberkulosis lebih umum terjadi pada anak-anak
dari pada orang dewasa, telah dilaporkan pada 10 – 25% orang yang selamat hidup.
Endokrinopati dapat menjadi jelas setelah beberapa bulan atau tahun membaik dari
meningitis tuberkulosis (Starke, 2010).
2.8 Komplikasi
Beberapa komplikasi yang akan terjadi pada meningitis tuberkulosis dijelaskan pada
tabel di bawah ini.
Gambar Lobus di otak yang terbagi menjadi 4 Lobus Frontalis, Lobus Oksipitalis, Lobus
Parietalis dan Lobus Temporalis
CT Scan Kepala dengan Kontras Sebelum Pengobatan dengan OAT, Tampak Multipel
Rim Enhancement di Lobus Frontoparietal Kiri Disertai Perifokal Edema yang Luas di
Sekitarnya.
MRI Kepala dengan Kontras Sebelum Pengobatan OAT, Tampak Heterogenous Enhancing
Mass di White Matter Lobus Frontoparietooccipital Kiri Disertai Perifokal Tentakel Edema
yang Luas.
CT scan Kepala dengan Kontras Setelah Pengobatan OAT Selama 3 Bulan, Tampak
Ukuran Tuberkuloma Berkurang dari Sebelumnya.
CT scan kepala non kontras (a) tuberkuloma serebri (b) edema serebri vasogenik (c)
hidrosefalus komunikan
BAB 4
KESIMPULAN