Anda di halaman 1dari 23

REFERAT

TUBERKULOSIS CEREBRAL

Diajukan untuk memenuhi sebagian tugas kepaniteraan klinik dan melengkapi


salah satu syarat menempuk Program Pendidikan Profesi Dokter di Bagian Ilmu
Radiologi RS Islam Jemursari Surabaya

Oleh :

KELOMPOK DM A1 BATCH 7 2020

Dosen Pembimbing:

dr. Utami Ambarsari, Sp. Rad

Departemen / SMF Ilmu Radiologi

Fakultas Kedokteran

Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya

2021
Ketua Kelompok : Firda Nur Laila 6120020008

Anggota :

Fajrul Maliki Alhaq 6120020014

Andik Ferdiantoro 6120020022

Sitti Kubangsinawati Serang 6120020023

Iradatus Solihah 6120020019

Siti Diana Ruqqy 6120020027

Habil Yoga 6120019016

Ardita Faradhika 6120019044

ii
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala
nikmat, rahmat, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas
referat mengenai “Tuberkulosis Cerebral” dengan baik.
Tugas ini disusun dalam rangka memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik di
bagian Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Nahdlatul
Ulama Surabaya. Di samping itu, melalui kesempatan ini, penulis mengucapkan
terima kasih yang sebesar–besarnya kepada Utami Ambarsari., dr., Sp. Rad selaku
pembimbing dalam penyusunan tugas ini.
Penulis menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari sempurna dan tidak
luput dari kesalahan. Oleh karena itu, penulis sangat berharap adanya masukan,
kritik maupun saran yang membangun. Akhir kata penulis ucapkan terimakasih
yang sebesar–besarnya, semoga tugas ini dapat memberikan tambahan informasi
bagi kita semua.

Surabaya, 15 September 2021

Penulis

iii
iv
BAB 1

PENDAHULUAN

Kemajuan teknologi di bidang keshatan yang ada pada saat ini memberi kemudahan
bagi para praktisi kesehatan untuk mendiagnosa penyakit serta menentukan jenis pengobatan
bagi pasien. Salah satu bentuk kemajuan tersebut adalah penggunaan Magnetik Resonance
Imaging (MRI) untuk melakukan pencitraan diagnose penyakit pasien. MRI merupakan
salah satu pemeriksaan diagnostic yang dapat menghasilkan irisan anatomi secara
multiplanar. MRI dapat mendeteksi perbedaan kontras dan jaringan lebih baik dibandingkan
CT Scan. MRI sangat baik digunakan untuk mendeteksi suatu lesi pada jaringan lunak,
dengan mengtur parameter MRI maka akan dihasilkan sekuen yang baik dalam menilai
patologi tertentu (Brian, 2015).

Tuberkulosis saat ini masih merupakan masalah kesehatan global. WHO melaporkan
bahwa di seluruh dunia sejak tahun 1990-1999 sekitar 30 juta orang meninggal karena
tuberkulosis. Sepertiga populasi dunia terinfeksi oleh kuman TB dan setiap tahun
dijumpai 8 juta kasus baru dengan angka kematian 3 juta. Pada tahun 1993, WHO
mencanangkan kedaruratan global penyakit TB, karena pada sebagian besar di dunia,
penyakit TB tidak terkendali. Ini disebabkan banyaknya penderita yang tidak berhasil
disembuhkan, terutama penderita menular (BTA positif). Pada saat yang sama multidrug
resistance yang diakibatkan tatalaksana pengobatan yang buruk, berkembang menjadi
masalah yang sangat serius di beberapa negara (Gunawan, 2014). Sekitar 1% dari kasus TB
akan bermanifestasi menjadi TB Sistem Saraf Pusat (SSP).

Tuberkuloma otak merupakan bentuk serius dan langka dari infeksi TB SSP
disamping meningitis atau abses otak TB yang disebabkan oleh penyebaran secara
hematogen oleh Mycobacterium tuberculosis (MT), system imun berperan penting dalam
perkembangan infeksi TB ekstra paru, beberapa factor predisposisi yang berperan meliputi
usia muda terutama anak-anak dan keadaan imunosupresif seperti pada AIDS atau kanker.
Tuberkuloma cerebri merupakan penyakit yang jarang didapatkan tetapi menyebabkan
morbiditas dan mortalitas yang tinggi walaupun metode diagnostic dan pengobatan sudah
modern. Tuberkuloma menyebabkan masa lesi intracerebral. Diagnosis cepat berdasarkan
penemuan tanda patologi dapat meningkatkan prognosis. Oleh karena itu pemeriksaan MRI
dapat membantu penegakan diagnosis pasti pada pasien tuberkuloma.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi dan Epidemologi


Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri
mycobacterium yang dikenal memiliki morbiditas dan mortalitas tinggi terutama pada
negara berkembang salah satunya adalah Indonesia. Tuberkulosis merupakan penyakit
infeksi yang pertama kali diidentifikasi oleh Robert Koch dan hingga kini tetap menjadi
masalah bagi kesehatan. Pada tahun 2017, World Health Organization merilis data dimana
terdapat lebih dari 10 juta kasus TB diseluruh dunia, dan 1,7 juta penderita diantara nya
menimbulkan kematian. Sekitar 1 % dari kasus TB akan bermanifestasi menjadi TB sistem
saraf pusat (SSP) (Ardianto, dony. Dkk. 2020: Tjan, Anastasia. Dkk. 2019).
Data epidemiologi oleh Centers of Disease Control and Prevention (CDC)
mengindikasikan pada 6,3% kasus TB ekstra pulmo (1,3% dari total kasus TB) memiliki
infeksi TB sistem saraf pusat (SSP). Infeksi TB SSP dibagi menjadi intrakranial dan spinal
tergantung lokasinya. TB intrakranial meliputi meningitis TB, ensefalopati TB, vaskulopati
TB, abses otak TB, dan tuberkuloma. TB spinal meliputi penyakit Pott, tuberkuloma spinal,
dan meningitis spinal (Ardianto, dony. Dkk. 2020).
Tuberkuloma otak merupakan bentuk serius dan langka dari infeksi TB SSP
disamping meningitis atau abses otak TB yang disebabkan oleh penyebaran secara
hematogen oleh Mycobacterium tuberculosis (MT). Sistem imun berperan penting dalam
perkembangan infeksi TB ekstraparu, beberapa faktor predisposisi yang berperan meliputi
usia muda terutama anak-anak dan pada keadaan imunosupresif seperti pada AIDS atau
kanker (Ardianto, dony. Dkk. 2020).
Perkembangan penyakit ini berasal dari kompleks primer yang berisi bakteri basil MT
yang menyebar secara hematogen dan menginfiltrasi meninges saat infeksi primer. Fokus ini
tidak selalu ruptur di lapisan dura otak, namun secara lokal menyebar dan membentuk
granuloma di di antara parenkim otak. Jaringan otak disekitar lesi terkompresi dan
meunjukkan edema dan perubahan gliotik.
2.2 Patofisiologi
Perkembangan meningitis tuberkulosis terdiri dari dua tahap. Tahap pertama, basil
Mycobacterium tuberkulosis masuk ke tubuh pejamu melalui inhalasi droplet, dimulai dengan
infeksi di sel makrofag alveolus paru-paru. Infeksi meluas kedalam paru-paru bersama
dengan penyebaran kelimfonodus regional membentuk kompleks primer. Pada tahap ini
terjadi bakteremia singkat tapi signifikan dapat menyebarkan basil tuberkel ke organ lain di
dalam tubuh. Pada penderita yang mengalami meningitis tuberkulosis basil menyebar ke
meninges atau parenkim otak, membentuk fokus subpial atau sub-ependimal kecil. Yang
disebut fokus Rich. Pada sekitar 10% kasus, terutama pada anak-anak, kompleks primer tidak
sembuh tetapi menjadi progresif. Tuberkulosis berkembang lebih berat dan terjadi bakteremia
tuberkulosis yang lebih lama. Penyebaran ke sistem saraf pusat lebih sering terjadi pada
tuberkulosis milier (Starke, 2010).
Tahap kedua perkembangan meningitis tuberkulosis yaitu pecahnya fokus Rich ke
ruang subarakhnoid. Hal ini menyebabkan meningitis yang jika tidak diobati, akan terjadi
kerusakan otak yang parah dan irreversible. Pada 75% anak-anak, onset meningitis
tuberkulosis terjadi kurang dari 12 bulan setelah infeksi primer (Starke, 2010).
Keadaan patologi terjadi melalui tiga proses :pembentukan adhesi, vaskulitis, dan
encefalitis. Adhesi terjadi karena eksudat meningeal di basal otak yang kental yang terjadi
karena inokulasi basil kedalam ruang subarakhnoid. Eksudat berisi limfosit, sel plasma, dan
makrofag, serta fibrin yang banyak. Adhesi yang terjadi pada sisterna basalis menyebabkan
obstruksi saluran CSS dan hidrosefalus. Adhesi di sekitar fossa interpendicular dan struktur
di sekitarnya dapat menyebabkan kelainan nervus kranial, terutama nervus kranial II, IV, dan
VI, dan arteri karotis interna. Vaskulitis pada pembuluh darah yang besar dan kecil sehingga
menyebabkan infark dan sindrom stroke. Biasanya terjadi di daerah karotis interna, arteri
serebri media proksimal dan permbuluh darah yang menuju ke ganglia basalis. Peningkatan
proses inflamasi di basal dapat meluas keparenkim otak menyebabkan ensefalitis. Edema
terjadi sebagai konsekuensi dari ensefalitis yang dapat terjadi pada kedua hemisfer. Ini akan
menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial dan defisit neurologi global (Pasco, 2012).
2.3 Gejala Klinis
Gambaran klinis meningitis tuberkulosis bervariasi dan tidak spesifik. Selama dua
sampai delapan minggu dapat ditemukan malaise, anoreksia, demam, nyeri kepala yang
semakin memburuk, perubahan mental, penurunan kesadaran, kejang, kelumpuhan nervus
kranial (II,III,IV,VI,VII,VIII) dan hemiparese (Thwaites, Chou, Mai, Drobniewski, McAdam,
& Farrar, 2000).
Perjalanan klinis meningitis tuberkulosa dapat dibagi dalam tiga tahapan,
sebagaimana didefinisikan oleh British Medical Research Council. Tahap pertama,
merefleksikan inflamasi meningeal, terdiri dari perubahan kepribadian, iritabilitas, anoreksi,
lesu, dan demam. Gejala non-spesifik ini dapat dianggap disebabkan oleh meningitis
tuberkulosis hanya pada penelitian retrospektif. Setelah 1-2 minggu, penyakit memasuki
tahap kedua. Di sini, tanda dan gejala peningkatan tekanan intrakranial dan kerusakan
serebral muncul, termasuk mengantuk, kaku kuduk, kelumpuhan nervus kranial (terutama
nervus kranial III, VI, dan VII), anisokor, muntah, dan kejang fokal atau umum. Pada anak
yang lebih tua dan orang dewasa, sakit kepala dan muntah merupakan gejala utama tahap
kedua, dan sakit kepala pada pasien dengan tuberkulosis milier sangat berhubungan dengan
keterlibatan meningeal. Kadang-kadang makrosefali dapat diamati pada bayi. Sebanyak 10%
pasien tidak mengalami demam (Thwaites et.al, 2009)
Tahap ketiga dari meningitis tuberkulosis ditandai dengan defisit neurologi yang
berat, termasuk koma, instabilitas otonom, dan demam yang meningkat. Hemiplegia dapat
terjadi selama onset penyakit atau pada tahap selanjutnya, tapi biasanya berhubungan dengan
infark di daerah arteri serebrimedia. Monoplegia, bukan gejala yang umum terjadi, terjadi
akibat lesi vaskuler pada tahap awal dari penyakit. Quadriplegia disebabkan oleh infark
bilateral atau edema yang hebat, terjadi hanya pada kasus yang lebih lanjut (Kemenkes,
Pedoman nasional pengendalian tuberkulosis, 2011).
Terjadinya meningitis tuberkulosa pada anak seringkali bertahap, terjadi selama 1-3
minggu, dan tampaknya di beberapa kasus dipicu oleh infeksi virus, jatuh, atau benturan di
kepala. Kadang timbulnya gejala tiba-tiba dan ditandai dengan kejang atau perkembangan
defisit neurologi yang cepat (Thwaites et.al, 2000)
Berikut adalah tabel ciri-ciri klinis meningitis tuberkulosis pada anak-anak dan orang dewasa.
Tabel 1 Ciri-Ciri Klinis Meningitis Tuberkulosis pada Anak-Anak dan Orang Dewasa
Frekuensi
Gejala
Sakit Kepala 50 – 80 %
Demam 60 – 95 %
Muntah 30 – 60%
Fotofobia 5 – 10 %
Anoreksia / Penurunan Berat Badan 60 – 80%

Tanda Klinis
Kaku Kuduk 40 – 80%
Kebingungan 10 – 30%
Koma 30 – 60%
Kelumpuhan Nervus Kranial 30 – 50%
VI 30 – 40 %
III 5 – 15%
VII 10 – 20%
Hemiparesis 10 – 20%
Paraparesis 5 – 10%
Kejang
Anak-Anak 50%
Dewasa 5%

Cairan Serebrospinal
Kejernihan 80 – 90%
Tekanan > 25 cm H2O 50%
Hitung Leukosit (x 103/ml) 5 – 1000
Netrofil 10 – 70%
Limfosit 30 – 90%
Protein (g/l) 0,45 – 3,0*
Laktat (mmol/l) 5,0 – 10,0
Glukosa CSS ; Glukosa darah < 0,5 95%

2.4 Pemeriksaan Penunjang


1. CT Scan
Pemeriksaan penunjang berupa imaging seperti CT Scan dari intracranial TB
adalah pemeriksaan yang akurat. Intrakranial TB dapat menggambarkan perbedaan di
CT Scan berupa serebritis meningitis, abses serebral, tuberkuloma, tuberculosis milier
dan dapat melibatkan spinal atau kalvaria (Taheri, Karimi, Haghighatkhah,
Pourghorban, Samadian, & Kasmaei, 2015).

2. Pemeriksaan Laboratorium
Laju endap darah yang meningkat lebih dari 80% pada kasus meningitis
tuberkulosis, tapi ini bukan nilai diagnostik. Sebagian besar anak dengan meningitis
tuberkulosis memiliki nilai hitung darah lengkap yang normal, sementara anemia
lebih umum, leukopenia dan trombositopenia jarang dengan tidak adanya penyebaran
menigitis tuberkulosis.
3. Tes Tuberkulin
Penempelan tes kulit intradermal Mantoux, meskipun cukup sederhana dan
rutin pada orang dewasa yang kooperatif, dapat lebih sulitdilakukan pada anak-anak.
Tes ini dinilai setelah 48-72 jam penempelan dengan pengukuran dan pencatatan
jumlah indurasi (bukaneritma). Jumlah indurasi dianggap sebagai tes kulit positif
tergantung pada risiko infeksi tuberkulosis dan risiko infeksi tuberkulosis berkembang
menjadi penyakit tuberkulosis.Secara umum, indurasi yang lebih dari 5 mm dianggap
positif untuk orang dengan tanda klinis atau radiografi dengan tanda-tanda penyakit
tuberkulosis (Starke, 2010)
4. Pemeriksaan Cairan Serebrospinalis
Pungsi lumbal pada meningitis tuberkulosis biasanya menunjukkan
peningkatan opening pressure dan jernih, serta tidak berwarna. Kebanyakan pasien
memiliki tingkat pleositosis moderat, biasanya kurang dari 500 sel/mm3. Leukosit
CSS lebih besar dari 1000 sel/mm3 jarang pada meningitis tuberkulosis. Walaupun sel
PMN lebih banyak pada awal perjalanan penyakit. Namun pada saat dilakukan pungsi
lumbal tampak limfositosis (Thwaites et.al, 2000).
Rentang tingkat protein CSS biasanya berada pada 100 sampai 500 mg/dl,
protein meningkat selama perjalanan penyakit dan sangat meningkat bila terjadi
obstruksi CSS, kadar glukosa jarang turun di bawah 20 mg/dl sehingga kadar glukosa
yang rendah ini dapat membedakan meningitis tuberkulosis dengan penyebab lain,
kecuali penyebab bakteri (Kemenkes, Pedoman nasional pengendalian tuberkulosis,
2011).

2.5 Differential Diagnosis


Space occupying lesion (SOL) atau Tumor otak bisa berasal dari sel yang bervariasi di
sistem saraf pusat seperti neuron dan sel glia contohnya glioma, astrositoma, ependimoma,
oligodendroglioma, germinoma, meduloblastoma atau bagian dari intrakranial lainnya seperti
meningioma, schwannoma, kondroma, osteoma, atau dari kelenjar hipofisis seperti adenoma,
craniofaringioma, atau mungkin merupakan tumor vaskuler seperti angioma,
hemangioblastoma, papiloma dari pleksus koroid atau metastasis (Sajjad, et al., 2018).
Gejala umum dari SOL adalah nyeri kepala dan merupakan gejala terburuk pada
sekitar 50% dari pasien. Nyeri kepala tersebut dirasakan terus menerus, kadang-kadang
berasa berdenyut. Manuver yang meningkatkan tekanan intrakranial seperti batuk, bersin,
manuver Valsava atau perubahan posisi tubuh, seperti membungkuk menyebabkan
memburuknya nyeri kepala. Nyeri kepala yang berat jarang terjadi, kecuali terdapat
hidrosefalus obstruktif atau adanya iritasi meningeal.
2.6 Terapi
Tata laksana medikamentosa TB Anak terdiri atas terapi (pengobatan) dan profilaksis
(pencegahan). Terapi TB diberikan pada anak yang sakit TB, sedangkan profilaksis TB
diberikan pada anak yang kontak TB (proilaksis primer) atau anak yang terinfeksi TB tanpa
sakit TB (profilaksis sekunder). Prinsip pengobatan TB pada anak sama dengan TB dewasa,
dengan tujuan utama dari pemberian obat anti TB sebagai berikut :
1. Menyembuhkan pasien TB
2. Mencegah kematian akibat TB atau efek jangka panjangnya
3. Mencegah TB relaps
4. Mencegah terjadinya dan transmisi resistensi obat
5. Menurunkan transmisi TB
6. Mencapai seluruh tujuan pengobatan dengan toksisitas seminimal mungkin.
7. Mencegah reservasi sumber infeksi di masa yang akan datang Beberapa hal penting
dalam tata laksana TB Anak adalah:
 Obat TB diberikan dalam paduan obat, tidak boleh diberikan sebagai monoterapi.
 Pemberian gizi yang adekuat.
 Mencari penyakit penyerta, jika ada ditata laksana secara bersamaan.
(Kemenkes RI, 2016)
Mengingat tingginya risiko TB disseminata pada anak kurang dari 5 tahun, maka
terapi TB hendaknya diberikan segera setelah diagnosis ditegakkan. Terdapat beberapa
perbedaan penting antara anak dengan dewasa, di antaranya adalah usia muda mempengaruhi
kecepatan metabolisme obat sehingga anak terutama usia kurang dari 5 tahun memerlukan
dosis yang lebih tinggi (mg/kgBB) dibandingkan anak besar atau dewasa (Kemenkes RI,
2016).
Anak yang lebih kecil umumnya memiliki jumlah kuman yang jauh lebih sedikit
(paucibacillary) sehingga transmisi kuman TB dari pasien anak juga lebih rendah. Anak yang
lebih kecil umumnya memiliki jumlah kuman yang jauh lebih sedikit (paucibacillary)
sehingga transmisi kuman TB dari pasien anak juga lebih rendah, serta rekomendasi
pemberian 4 macam OAT pada fase intensif tidak sekuat pada orang dewasa, kecuali pada
BTA positif, TB berat dan adult-type TB (Kemenkes RI,2016).
Terapi TB pada anak dengan BTA negatif menggunakan paduan INH, Rifampisin,
dan Pirazinamid pada fase inisial 2 bulan pertama kemudian diikuti oleh Rifampisin dan INH
pada 4 bulan fase lanjutan. Kombinasi 3 obat tersebut memiliki success rate lebih dari 95%
dan efek samping obat kurang dari 2%. Pada Tabel di bawah disajikan paduan obat anti TB
pada anak (Kemenkes RI, 2016).

Kortikosteroid
Kortikosteroid dapat digunakan untuk TB dengan komplikasi seperti; meningitis TB,
sumbatan jalan napas akibat TB kelenjar, dan perikarditis TB. Pada kondisi meningitis TB
berat kortikosteroid meningkatkan survival dan menurunkan morbiditas, sehingga
kortiosteroid dianjurkan pada kasus meningitis TB. Steroid dapat pula diberikan pada TB
milier dengan gangguan napas yang berat, efusi pleura dan TB abdomen dengan asites. Obat
yang sering digunakan adalah prednison dengan dosis 2 mg/kg/ hari, sampai 4 mg/kg/hari
pada kasus sakit berat, dengan dosis maksimal 60 mg/hari selama 4 minggu, kemudian
tappering-off bertahap 1-2 minggu sebelum dilepas (Kemenkes RI, 2016).

Immune reconstitution
Disebut juga reaksi paradoksal, perburukan klinis (gejala baru atau perburukan gejala,
tanda, atau manifestasi radiologis) biasa terjadi setelah terapi anti TB akibat peningkatan
kapasitas respons imun yang akan merangsang perburukan penyakit, demam dan peningkatan
ukuran kelenjar limfe atau tuberkuloma. Imun rekonstitusi terjadi akibat peningkatan status
gizi atau akibat terapi anti TB sendiri. Pada pasien TB dengan HIV imun rekonstitusi dapat
terjadi setelah pengobatan dengan antiretroviral (ARV) dan disebut immune reconstitution
inlammatory syndrome (IRIS). Untuk mencegah IRIS, maka ARV diberikan 2-6 minggu
setelah OAT dimulai. Untuk mengurangi risiko hepatotoksisitas, dipertimbangkan mengganti
nevirapin dengan sediaan yang lain. Jika terjadi IRIS, terapi TB tetap diteruskan, sebagian
kasus bisa ditambahkan kortikosteroid, namun jika terjadi keraguan hendaknya anak dirujuk
ke level yang lebih tinggi (Kemenkes RI, 2016).

Nutrisi
Status gizi pasien sangat penting untuk bertahan terhadap penyakit TB, dan malnutrisi
berat berhubungan dengan mortalitas TB. Penilaian yang terus menerus dan cermat pada
pertumbuhan anak perlu dilakukan. Penilaian dilakukan dengan mengukur berat, tinggi,
lingkar lengan atas atau pengamatan gejala dan tanda malnutrisi seperti edema atau muscle
wasting. Pemberian air susu ibu tetap diberikan, jika masih dalam periode
menyusui.Pemberian makanan tambahan sebaiknya diberikan dengan makanan yang mudah
diterima anak dan bervariasi. Jika tidak memungkinkan dapat diberikan suplementasi nutrisi
sampai anak stabil dan TB dapat di atasi (Kemenkes RI, 2016).
Piridoksin
Isoniazid dapat menyebabkan defisiensi piridoksin simptomatik, terutama pada anak
dengan malnutrisi berat dan anak dengan HIV yang mendapatkan ARV. Suplementasi
piridoksin (5-10 mg/hari) direkomendasikan pada bayi yang mendapat ASI ekslusif, HIV
positif atau malnutrisi berat (Kemenkes RI, 2016).
Alur tatalaksana pasien TB anak dapat dilihat pada skema di bawah ini.

Pada sebagian besar kasus TB anak pengobatan selama 6 bulan cukup adekuat.
Setelah pemberian obat 6 bulan, lakukan evaluasi baik klinis maupun pemeriksaan
penunjang. Evaluasi klinis pada TB anak merupakan parameter terbaik untuk menilai
keberhasilan pengobatan. Bila dijumpai perbaikan klinis yang nyata walaupun gambaran
radiologik tidak menunjukkan perubahan yang berarti, OAT tetap dihentikan (Kemenkes RI,
2011)

2.7 Prognosis
Prognosis meningitis tuberkulosis ditentukan oleh stadiumnya, makin lanjut
stadiumnya prognosanya makin jelek.

Beberapa indikator prognosis yang buruk seperti – usia yang terlalu tua, stadium
lanjut penyakit, TB ekstrameningeal yang terjadi bersamaan, dan peningkatan tekanan
intrakranial. Penelitian menunjukkan bahwa variabel yang signifikan untuk memprediksi
hasil meningitis tuberkulosis adalah usia, stadium penyakit, kelemahan fokal, kelumpuhan
nervus kranial, dan hidrosefalus (Mezochow, Thakur, & Vinnard, 2018).
Prognosis meningitis tuberkulosis secara langsung berhubungan dengan derajat
penyakit yang muncul dan awal pengobatan. Sebagian besar pasien yang diterapi pada derajat
I memiliki hasilluaran (outcome) yang baik. Sebaliknya, sebagian besar pasien yang
didiagnosis pada derajat III akan meninggal atau cacat. Beberapa pasien yang didiagnosis
pada derajat II memiliki hasil yang baik, sedangkan yang lain memiliki defisit neurologi yang
persisten. Angka kematian pada meningitis tuberkulosis dengan terapi yang adekuat adalah
10 – 20% di negara maju, tapi dapat lebih tinggi sebesar 30 – 40% di negara berkembang.
Secara umum prognosis yang buruk terjadi pada bayi, lanjut usia, pasien malnutrisi, dan
pasien dengan penyakit yang menular atau dengan peningkatan tekanan intrakranial
(Anderson, 2010).
Kerusakan penglihatan dan pendengaran merupakan perjalanan yang secara umum
lambat. Kerusakan penglihatan biasanya karena tekanan edema pada nervus optik atau
kiasma, tapi kadang secara sekunderakibat peningkatan tekanan intrakranial. Kehilangan
pendengaran dihasilkan dari kerusakan nervus yang disebabkan oleh eksudat basalis (Frida,
2011).
Defisit motorik setelah meningitis tuberkulosis lebih umum terjadi pada anak-anak
dari pada orang dewasa, telah dilaporkan pada 10 – 25% orang yang selamat hidup.
Endokrinopati dapat menjadi jelas setelah beberapa bulan atau tahun membaik dari
meningitis tuberkulosis (Starke, 2010).

2.8 Komplikasi
Beberapa komplikasi yang akan terjadi pada meningitis tuberkulosis dijelaskan pada
tabel di bawah ini.

Tabel 3. Frekuensi komplikasi pada 104 pasien meningitis tuberkulosis


N (%)
Hiponatraemia 51 49
Hidrosefalus 44 42
Stroke 34 33
Cranial nerve palsies 30 29
Epileptic seizures 29 28
Diabetes insipidus 6 6
Tuberkuloma 3 3
Myeloradiculopathy 3 3
Hypothalamic syndrome 3 3
Addison’s disease 1 1
Syringomyelia 1 1
Cavernous sinus syndrome 1 1
Acute tubular necrosis 1 1
Asidosis metabolic berat
BAB 3

Gambar A Axial Brain CT scan, Gambar B Axial Brain MRI


GAMBARAN
RADIOLOGIS

Gambar Lobus di otak yang terbagi menjadi 4 Lobus Frontalis, Lobus Oksipitalis, Lobus
Parietalis dan Lobus Temporalis
CT Scan Kepala dengan Kontras Sebelum Pengobatan dengan OAT, Tampak Multipel
Rim Enhancement di Lobus Frontoparietal Kiri Disertai Perifokal Edema yang Luas di
Sekitarnya.

MRI Kepala dengan Kontras Sebelum Pengobatan OAT, Tampak Heterogenous Enhancing
Mass di White Matter Lobus Frontoparietooccipital Kiri Disertai Perifokal Tentakel Edema
yang Luas.

CT scan Kepala dengan Kontras Setelah Pengobatan OAT Selama 3 Bulan, Tampak
Ukuran Tuberkuloma Berkurang dari Sebelumnya.
CT scan kepala non kontras (a) tuberkuloma serebri (b) edema serebri vasogenik (c)
hidrosefalus komunikan

Pasein Perempuan 50 tahun dengan Pneumococcal Meningoencephalitis


CT Scan Bacterial meningitis. Pasien Laki Laki 35 tahun dengan
gejala sakit kepala dan kejang

Pasien Laki Laki 40 tahun dengan Pachymeningitis

Gambar Tuberculose Abscess


Gambar Tuberculose Abscess

BAB 4
KESIMPULAN

Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit

infeksi yang disebabkan oleh bakteri mycobacterium yang dikenal memiliki


morbiditas dan mortalitas tinggi terutama pada negara berkembang salah
satunya adalah Indonesia. Data epidemiologi oleh Centers of Disease Control
and Prevention (CDC) mengindikasikan pada 6,3% kasus TB ekstra pulmo (1,3%
dari total kasus TB) memiliki infeksi TB sistem saraf pusat (SSP). Infeksi TB SSP
dibagi menjadi intrakranial dan spinal tergantung lokasinya. Tuberkuloma otak
merupakan bentuk serius dan langka dari infeksi TB SSP disamping meningitis
atau abses otak TB yang disebabkan oleh penyebaran secara hematogen oleh
Mycobacterium tuberculosis (MT). Perkembangan penyakit ini berasal dari
kompleks primer yang berisi bakteri basil MT yang menyebar secara hematogen
dan menginfiltrasi meninges saat infeksi primer.
Gambaran klinis meningitis tuberkulosis bervariasi dan tidak spesifik.
Selama dua sampai delapan minggu dapat ditemukan malaise, anoreksia, demam,
nyeri kepala yang semakin memburuk, perubahan mental, penurunan kesadaran,
kejang, kelumpuhan nervus kranial (II,III,IV,VI,VII,VIII) dan hemiparese
Pemeriksaan penunjang berupa imaging seperti CT Scan dari intracranial TB
adalah pemeriksaan yang akurat. Laju endap darah yang meningkat lebih dari
80% pada kasus meningitis tuberkulosis, tapi ini bukan nilai diagnostik.
Penempelan tes kulit intradermal Mantoux, meskipun cukup sederhana
dan rutin pada orang dewasa yang kooperatif, dapat lebih sulitdilakukan pada
anak-anak. Pungsi lumbal pada meningitis tuberkulosis biasanya menunjukkan
peningkatan opening pressure dan jernih, serta tidak berwarna.
Space occupying lesion (SOL) atau Tumor otak merupakan diagnosa
banding dari meningitis tuberkulosis Tata laksana medikamentosa TB Anak terdiri
atas terapi (pengobatan) dan profilaksis (pencegahan). Sedangkan untuk prognosis
meningitis tuberkulosis ditentukan oleh stadiumnya, makin lanjut stadiumnya
prognosanya makin jelek.
DAFTAR PUSTAKA

Ardianto, dony. Dkk. 2020. Tuberkuloma serebral pada penderita acquired


immune deficiency syndrome. Neurona Vol. 37 No. 3.
Anderson, N. (2010). Neurological and systemic complications of tuberculous
meningitis and its treatment at Auckland Ciy Hospital. Journal of Clinical
Neuroscience , 1018-1022.
Azhary, Roezwir.2016. Penatalaksanaan yang Tepat pada Meningitis
Tuberkulosis. Lampung : Jurnal Medula Unila Volume 6 Nomor 1
Brian, dkk. 2015. MRI Basic Principles and Applications. India: MeridienLTStd
by SPi Global.
Chaudhary, Vikas, Shahina, Bano, et all. 2017. Central Nervous System
Tuberculosis: An Imaging Perspective. New Delhi : Canadian Association
of Radiologists Journal 68 (2017) 161e170
Frida, M. (2011). Meningitis Tuberkulosis dalam Infeksi Pada Sistem Saraf
Kelompok Studi Neuro Infeksi. Surabaya: Airlangga University Press.
Gunawan, dkk. 2017. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: FKUI.
Ikbal, Muhammad. 2021. Klinis dan Radiologis Tuberkuloma Serebral dengan
Terapi Non Operatif. Jakarta : Jurnal Aksona, Volume 1 Nomor 1, Januari
2021: 18–23
Kartika , Mery. 2021. Massa Multipel Serebri Disertai Hidrosefalus pada Dugaan
Meningitis Tuberkulosis. Jakarta : Universitas Indonesia Volume 6, Nomor
2, halaman 165 – 171, e-ISSN 2541-4275
Kemenkes, R. I. (2011). Pedoman nasional pengendalian tuberkulosis. Jakarta:
Bakti Husada.
Kemenkes, R. I. (2016). Petunjuk Teknis Manajemen dan Tatalaksana TB anak.
Jakarta: Bakti Husada.
Mezochow, A., Thakur, K., & Vinnard, C. (2018). Tuberculous Meningitis in
Children and Adults: New Insights for an Ancient Foe. Curr Neurol
Neurosci Rep , 17 (11), 1-21.
Nadha, Rizka. 2018. Perbedaan Diagnosis Radiologi Antara Meningitis TB dan
Leptomeningeal Karsinomatis. Padang : Universitas Andalas
Pasco, P. (2012). Diagnostic Features of Tuberculous Meningitis. Pasco BMC
Research Notes , 5 (49), 1-6.
Prasad, K., & Singh, M. (2009). Corticosteroid for Managing Tuberkulosis
Meningitis.
Starke, R. (2010). Mycobacterial Infections in Handbook of Clinical Neurology,.
Elsevier B.V.
Thwaites, G., Chou, T. T., Mai, N. T., Drobniewski, F., McAdam, K., & Farrar, J.
(2000). Tuberculous Meningitis. Neurol Neurosurg Psychiatry , 68, 289-
299.
Thwaites, G., Fisher, M., Hemingway, C., Scott, G., Solomon, T., & Innes, J.
(2009). British Infection Society guidelines for the diagnosis and treatment
of tuberkulosis of the central nervous system in adults and children. journal
of infection , 59, 167-187.
Tjan, Anastasia. Dkk. 2019. Penyengatan Meningeal Sisterna Basalis Meningitis
TB pada Computed Tomography Scanning: Sebuah Ulasan Bergambar.
Jurnal Ilmiah Kedokteran Wijaya Kusuma 8(2) : 96-107.
World Health Organization. WHO. 2015. Tuberkulosis: Global tuberkulosis
report 2015. Geneva:WHO Press

Anda mungkin juga menyukai