Anda di halaman 1dari 30

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN Mei 2023


UNIVERSITAS HALU OLEO

MENINGITIS TUBERKULOSIS

Oleh:

M. Rilan Ampurama Ruslan, S.Ked

K1B1 22 144

Pembimbing

dr. Nisrina Syahdu, Sp.A., M.Kes.


KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2023
HALAMAN PENGESAHAN
Yang bertandatangan di bawah ini, menyatakan bahwa :

Nama : M. Rilan Ampurama Ruslan, S.Ked

Stambuk : K1B1 22 144

Judul Refarat : Meningitis Tuberkulosis

Telah menyelesaikan tugas Referat dengan judul Meningitis Tuberkulosis dalam rangka
Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
HaluOleo.

Kendari, 2023

Mengetahui :

Pembimbing,

dr. Nisrina Syahdu, Sp.A., M.Kes.


NIP.
MENINGITIS TUBERKULOSIS
M. Rilan Ampurama Ruslan, Nisrina Syahdu

A. PENDAHULUAN
Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan global yang

menyebabkan 1,4 miliar kematian setiap tahunnya. TB disebabkan oleh kuman

Mycobacterium Tuberkulosis yang menyebabkan infeksi primer di paru juga

dapat menyerang organ lain seperti otak, hepar, ginjal, kelamin, saluran cerna

dan tulang vertebra.1 Tuberkulosis masih merupakan penyakit penting sebagai

penyebab morbiditas, mortalitas, dan tingginya biaya kesehatan. Setiap tahun

diperkirakan 9 juta kasus TB baru dan 2 juta diantaranya meninggal. Dari 9 juta

kasus baru TB di seluruh dunia, 1 juta adalah anak usia <15 tahun. Dari seluruh

kasus anak dengan TB, 75% didapatkan di dua puluh dua negara dengan beban

TB tinggi (high burden countries). Dilaporkan dari berbagai negara presentase

semua kasus TB pada anak berkisar antara 3% sampai >25%.2

Terjadinya penyakit TB tergantung pada sistem imun untuk menekan

multiplikasi kuman. Kemampuan tersebut bervariasi sesuai dengan usia, yang

paling rendah adalah pada usia yang sangat muda. HIV dan gangguan gizi

menurunkan daya tahan tubuh; campak dan batuk rejan secara sementara dapat

mmengganggu sistem imun. Dalam keadaan seperti ini penyakit TB lebih muda

terjadi. Tuberkulosis seringkali menjadi berat apabila lokasinya di paru, selaput

otak, ginjal atau tulang belakang. Bentuk penyakitnya ringan bila lokasinya di
kelenjar limfe leher, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, abdomen, telinga,

mata dan kulit.3

Meningitis tuberkulosis, merupakan salah satu bentuk TB pada sistem

saraf pusat yang sering ditemukan pada anak. Bila tidak diobati dengan jelas

maka akan menyebabkan gejala sisa neurologis permanen, bahkan dapat

menyebabkan kematian.4,5

B. DEFINISI

Tuberkulosis SSP dapat bermanifestasi dalam beberapa bentuk yang

tidak mudah diklasifikasikan. Berdasarkan lokasinya dikelompokkan menjadi 2

yaitu tuberculosis (SSP) intracranial dan tuberculosis (SSP) spinal. Tuberculosis

intracranial, dapat bermanifestasi dalam beberapa bentuk yaitu meningitis

tuberculosis, MTB dengan TB milier, ensefalopati tuberkulosis, vaskulopati

tuberculosis, tuberkuloma SSP, tuberculosis abses serebri. Tuberkulosis spinal,

dapat bermanifestasi dalam beberapa bentuk juga yaitu: Pott’s spine dan

paraplegia, tuberkulosis arakhnoiditis, spinal tuberculosis non-osseus, spinal

meningitis. Meningitis tuberkulosis (MTB) merupakan bentuk infeksi berat yang

disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis yang merupakan bentuk paling

umum dari tuberculosis susunan saraf pusat. Meningitis tuberkulosis adalah

suatu inflamasi pada membran araknoid, piamater, dan cairan serebrospinal.

Proses inflamasi terjadi dan menyebar melalui ruangan subaraknoid di sekeliling

otak dan medula spinalis serta ventrikel.6

C. EPIDEMIOLOGI
Menurut WHO sepertiga penduduk dunia telah tertular TB, pada tahun

2000 lebih dari 8 juta penduduk dunia menderita TB aktif. Penyakit TB

bertanggung jawab terhadap kematian hampir 2 juta penduduk setiap tahun,

sebagian besar terjadi di negara berkembang. WHO memperkirakan bahwa TB

merupakan penyakit infeksi yang paling banyak menyebabkan kematian pada

anak dan orang dewasa. 2

Meningitis tuberkulosis terjadi pada satu dari 300 infeksi tuberkulosis

pada anak yang tidak diobati atau sekitar 0,3%. Meningitis tuberkulosis

menyerang semua usia, namun insisden tertinggi terjadi pada usia 6 bulan-5

tahun. Hampir tidak ada kasus yang ditemukan pada bayi usia <3 bulan karena

perjalanan penyakit ini membutuhkan waktu beberapa bulan sampai

menimbulkan gejala. Insiden antara laki-laki dan perempuan tidak berbeda pada

anak-anak dibawah 20 tahun. Tingkat mortalitas adalah 10-20% sementara

morbiditas berupa gejala sisa neurologi permanen mencapai 82%.4

D. ETIOLOGI

M. Tuberkulosis Adalah basil gram negative, hidup secara obligat aerob,

tidak berspora dan tidak bergerak. Panjangnya 2-4 um, memiliki dinding sel

kaya lipid yang dapat melindungi bakteri dari serngan antibodi dan komplemen.

Tumbuh sangat pelan, butuh sekitar 3-6 minggu untuk dapat mengisolasi bakteri

dari spesimen klinis di agar lowenstein Jensen. Ciri khas bakteri ini adalah

tahan asam, yaitu kemampuan membentuk kompleks mikolat berwarna


kemerahan bila diwarnai dengan pewarna arilmetan dan mempertahankan

warnanya walau dicuci dengan etanol.4

E. PATOFISIOLOGI

Meningitis tuberkulosis pada umumnya sebagai penyebaran infeksi

tuberkulosa primer ditempat lain. Biasanya fokus infeksi primer di paru-paru

dan penyakit ini ditularkan dari orang ke orang terutama melalui partikel droplet

yang dikeluarkan oleh penderita tuberkulosis paru pada saat batuk. Partikel-

partikel yang mengandung Mycobacterium tuberkulosis ini dapat bertahan lama

di udara atau pada debu rumah dan terhirup masuk kedalam paru-paru orang

sehat. Pintu masuk infeksi ini adalah saluran nafas shingga infeksi pertama

biasanya terjadi pada paru-paru.7

Droplet yang terinfeksi mencapai alveoli dan berkembang biak dalam

ruang alveoli, makrofag alveoli maupun makrofag yang berasal dari sirkulasi.

Sejumlah kuman menyebar terutama ke kelenjar getah bening hilus. Lesi primer

pada paru-paru berupa lesi eksudatif parenkimal dan kelenjar limfenya disebut

“Ghon”. Pada fase awal kuman dari kelenjar getah bening masuk kedalam aliran

darah sehingga terjadi penyebaran hematogen.7

Dalam waktu 2-4 minggu setelah terinfeksi, terbentuklah respon

imunitas selular terhadap infeksi tersebut. Limfosit-T distimulasi oleh antigen

basil ini untuk membentuk limfokin, yang kemudian mengaktivasi sel fagosit

monokuler dalam aliran darah. Dalam makrofag yang diaktivasi ini organism

dapat mati, tapi sebaliknya banyak juga makrofag yang mati. Kemudian
terbentuklah tuberkel terdiri dari makrofag, limfosit dan sel-sel lain mengelilingi

jaringan nekrotik dan perkijuan sebagai pusatnya.7

Setelah infeksi pertama dapat terjadi dua kemungkinan, pada orang yang

sehat lesi akan sembuh spontan dengan meninggalkan kalsifikasi dan jaringan

fibrotik. Pada orang dengan daya tahan tubuh yang rendah, penyebaran

hematogen akan menyebabkan infeksi umum yang fatal, yang disebut sebagai

tuberkulosis millier diseminata. Pada keadaan dimana respon host masih cukup

efektif tetapi kurang efisisen akan timbul fokus perkijuan yang besar dan

mengalami enkapsulasi fibrosa tetapi menyimpan basil yang dorman. Klien

dengan infeksi laten memiliki risiko 10% untuk berkembang menjadi

tuberkulosis aktif.7

Reaktivasi dari fokus perkijuan akan terjadi bila daya tahan tubuh host

menurun, maka akan terjadi pembesaran tuberkel, pusat perkijauan akan

melunak dan mengalami peencairan, basil mengalami proliferasi, lesi akan

pecah lalu melepaskan organism dan produk-produk antigen ke jaringan

disekitarnya. Apabila hal-hal yang dijelaskan diatas terjadi pada sususnan saraf

pusat maka akan terjadi infeksi yang disebut meningitis tuberkulosis.7

Fokus tuberkel yang berlokasi di permukaan otak yang berdekatan

dengan ruang subarachnoid dan terletak pada sub ependimal disebut sebagai

“Focus Rich”. Reaktivasi dan ruptur dari fokus rich akan menyebabkan

pelepasan basil Tuberkulosis dan antigennya kedalam ruang subaraknoid atau

sistem ventrikel, sehingga terjadi meningitis tuberkulosis.7


F. GAMBARAN KLINIS

Gejala dan tanda meningitis tuberculosis dibagi menjadi 3 fase yaitu

1. Fase Prodormal

Fase prodormal berlangsung 2-3 minggu. Permulaan penyakit ini

bersifat subakut, demam ringan (sub-febris), malaise, sakit kepala, pusing,

muntah muntah dan/atau delirium, penurunan kesadaran, perubahan

kepribadian yang menetap selama beberapa minggu. Kemudian pasien

dapat menunjukkan gejala sakit kepala yang memberat, penurunan

kesadaran, kejang. Kejang merupakan gejala klinis yang sering terjadi pada

anak anak sampai mencapai 50% kasus. Gejala klinis yang klasik seperti

kaku kuduk dan demam dapat saja tidak muncul. Pemeriksaan neurologis

menunjukkan kaku kuduk dan/atau tanda Kernig positif, Brudzinki I dan II

positif.6

2. Fase meningitik

Gejala-gejala terlihat lebih berat, terdapat kejang umum atau fokal

terutama pada anak kecil dan bayi. Tanda tanda rangsang meningeal mulai

nyata, seluruh tubuh dapat menjadi kaku dan timbul opistotonus, terdapat

peningkatan tekanan intracranial, ubun-ubun menonjol, muntah lebih hebat,

nyeri kepala yang bertambah berat dan progresif yang menyebabkan anak

berteriak dan menangis dengan nada khas yaitu meningeal cry, kesadaran

menurun dan gangguan saraf.6


3. Fase Paralitik

Dalam fase ini suhu tidak teratur dan semakin tinggi yang disebabkan

oleh terganggunya regulasi pada ensefalon. Pernapasan dan nadi juga tidak

teratur dan terdapat gangguan pernapasan dalam bentuk chynestokes atau

kusmaul. Gangguan miksi berupa retensi atau inkontinesia urin dan

didapatkan gangguan kesadaran makin menurun sampai koma yang dalam.

Pada fase ini pasien dapat meninggal dunia dalam waktu 3 minggu bila

tidak memperoleh pengbobatan sebagaimana mestinya.6

MTB diklasifikasikan ke dalam tiga tingkat keparahan berdasar British Medical

Research Council TBM grade :

- Tingkat 1 MTB didefinisikan dengan Glasgow coma score (GCS) 15 dengan

tanpa defisit neurologi fokal.

- Tingkat 2 MTB dengan GCS 15 dan defisit neurologi fokal, atau GCS 11-14.

- Tingkat 3 MTB dengan GCS ≤10.

G. DIAGNOSIS

Meskpun identifikasi yang lebih dini dan cepat pada MTB sangat

penting untuk keberhasilan terapi, tetapi di sebagian besar kasus, diagnosis

seringkali terlambat. Diagnosis MTB dapat sulit ditegakkan dan mungkin hanya

ditegakkan berdasarkan presentasi klinis dan pemeriksaan analisis cairan

serebrospinal (CSS). Beberapa temuan klinis yang khas yang dapat

meningkatkan kemungkinan MTB adalah gejala yang sudah berlangsung lama

lebih dari 6 hari, adanya defisit neurologis fokal. Meningitis TB merupakan


bentuk serius TB pada anak-anak dan ditandai dengan gejala yang muncul

bertahap. Tanda-tanda awal dengan gejala penyakit yang non-spesifik dengan

kecurigaan terhadap MTB biasanya hanya muncul beberapa hari atau minggu

setelah onset penyakit dan tidak pula berbeda pada anak-anak yang telah atau

belum di vaksinasi dengan Bacille Calmette-Guerin. Demam, sakit kepala, tidak

nafsu makan, dan muntah merupakan gejala prodorma penyakit pada anak-anak

yang lebih tua, sedangkan gagal tumbuh dan kurang nafsu makan, muntah, dan

gangguan tidur lebih umum pada anak yang lebih muda. MTB lebih mudah

dicurigai bila terdapat riwayat kontak dengan pederita TB, setelah hari pertama

penyakit, manifestasi neurologis yang relevan dapat terjadi, seperti kelumpuhan

saraf kranial.8

Untuk memungkinkan kita mendiagnosis MTB memerlukan tanda-tanda

dan gejala meningitis yang dihubungankan dengan klinis, CSF, dan gambaran

radiologis yang mengindikasikan infeksi Mycobacterium tuberculosis. Pada TB

extraparu dengan pemeriksaan CNS dapat berkontribusi dalam menentukkan

diagnosis yang mungkin.

Menurut Marais et al pada tabel dibawah ini, diagnosis kemungkinan

meningitis TB (probable) adalah apabila didapatkan skor antara 10 sampai 12

sedangkan diagnosis mungkin bisa meningitis TB (possible) berdasarkan :

1. Anamnesis

Pada anamnesa dapat diketahui adanya trias meningitis seperti

demam, nyeri kepala dan kaku kuduk. Gejala lain seperti mual muntah,
penurunan nafsu makan, mudah mengantuk, fotofobia, gelisah, kejang,

penurunan kesadaran adanya riwayat kontak dengan pasien tuberkulosis.

Pada neonatus, gejalanya mungkin minimalis dan dapat menyerupai

sepsis, berupa bayi malas minum, letargi, distress pernafasan, muntah,

diare, hipotermia. Anamnesa dapat dilakukan pada keluarga pasien yang

dapat dipercaya jika tidak memungkinkan untuk autoanamnesa.

Riwayat dan gejala yang tipikal mencakup :

- Paparan dengan individu terinfeksi TB

- Kurangnya minat bermain atau perubahan perilaku

- Nyeri kepala yang bersifat gradual, terutama bila disertai muntah

- Iritabilitas, kebingungan (confusion), Somnolen, penurunan

kesadaran.

- Kejang

- Penurunan berat badan

2. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik bisa ditemukan :

- Nyeri pada leher dan tahanan saat fleksi leher karena iritasi meningen

(Kernig’s sign)

- Paresis nervus kranial

- Perubahan tingkat kesadaran

Selalu pertimbangkan meningitis TB pada anak yang terdiagnosis

meningitis dan tidak memberikan respon pengobatan.


3. Pemeriksaan Penunjang

a) Gambaran Analisis Cairan Serebrospinal (CSS) pada MTB

Gambaran CSS pada MTB kadang kadang sulit dibedakan

dengan pada meningitis bakteri terutama yang telah mendapat terapi

antibiotika sebelumnya, meningitis aseptic/virus dan infeksi oleh

Cryptococcus. Berikut adalah gambaran analisis CSS pada MTB

yang dapat digunakan sebagai patokan, sedangkan pada tabel 1

ditunjukkan bagaimana membedakan gambaran CSS pada MTB

dengan infeksi lain:

- CSS jernih atau xantokrom, pleositosis dengan predominan sel

limfosit. Jumlah hitung total sel leukosit biasanya antara 100-500

sel/mm3. Pada awal penyakit dapat ditemukan jumlah sel yang

lebih rendah dan predominan netrofil.

- Peningkatan kadar protein dalam CSS, khas diantara 100-

500mg/dL.

- Peningkatan jumlah limfosit (30-300/mm3)

- Kadar glukosa dalam CSS yang rendah, kurang dari 45 mg/dL

atau rasio glukosa CSS: plasma <0,5

- Pengecatan Gram CSS negatif dan pengecatan BTA jarang

positif.

Untuk konfirmasi diagnosis ada beberapa pemeriksaan

penunjang yang bisa dilakukan diantaranya pemeriksaan


mikrobiologi (pengecatan BTA, kultur BTA), uji kulit tuberkulin

(TST), foto thorax, pencitraan (CT scan, MRI). Berikut akan dibahas

satu persatu pemeriksaan penunjang tersebut.

Tabel 1. Perbedaan gambaran analisis CSS antara meningitis

tuberkulosis (MTB) dan infeksi lain

Penyakit WBC (Leukosit) Protein Glukosa Mikroskopis

MTB Meningkat>PMN Meningkat Menurun BTA (+)


Gene Expert
(+)

Meningitis Meningkat PMN>L Meningkat Menurun Bakteri (+)


Bakterial pada
pengecatan
gram

Meningitis Meningkat L>PMN Meningkat Normal Negatif


Virus ringan

Cryptococcus Meningkat L>PMN Meningkat Menurun Indian ink


Yeast (+)

L=limfosit; PMN = polimorfonuklear

b) Pengecatan BTA

Bakteri Tuberculousis bacilli secara mikroskopis dapat terlihat

dengan metode pengecatan khusus Ehrlich-Ziehl Neelsen (EZN) dari

CSS dan isolasi bakteri dari kultur CSS. Pengecatan untuk bakteri

tahan asam (BTA), memiliki sensitivitas rendah (20-40%).

Sensitivitas dapat ditingkatkan apabila cairan CSS yang diperiksa

diambil dari 4 kali punksi lumbal.


c) Kultur

Kultur BTA dapat dikerjakan dalam beberapa minggu dan memiliki

sensitivitas yang rendah 40-80%. Kultur harus dikerjakan

sehubungan dengan penentuan sensitivitas terhadap OAT.

Pemeriksaan ini tergolong mahal dan merupakan teknik diagnostik

yang lambat, tidak terjangkau pada beberapa pasien. Waktu untuk

hasil positif bergantung pada jumlah basiler dan akan menjadi positif

dalam 4 minggu pada sebagian besar kasus, namun kultur hanya

dilaporkan negatif pada akhir minggu ke enam inkubasi. Kultur

penting untuk fenotiping sensitivitas terhadap obat dan untuk

konfirmasi resistensi diperlukan teknik molekuler.

d) Uji Tuberkulin

Pemeriksaan ini menunjukkan hipersensitivitas terhadap protein

Basilus TB, sebagai hasil dari infeksi M. tuberculosis atau induksi

oleh vaksinasi Bacille Calmette Guerin (BCG). Hasil uji tuberkulin

positif tidak mengindikasikan penyakit TB, hanya infeksi. Hasil

negatif tidak menyingkirkan diagnosis penyakit TB karena beberapa

kondisi, termasuk HIV yang dapat menekan reaksi pada pemeriksaan

ini. Uji tuberkulin memiliki sensitivitas 61% pada penelitian kohort

retrospektif anak dengan MTB. Sensitivitas menurun 34% jika

terdapat ko-infeksi HIV dapat menyebabkan hasil negative palsu.


Pada anak <6 bulan dengan BCG vaksinasi, spesifisitasnya menurun

karena tingginya positif palsu. Hasil Uji tuberculin positif berarti

kemungkinan terinfeksi M. tuberculosis namun tidak dapat

memastikan penyakit TB aktif.

Tabel 2. Interpretasi Uji Kulit Tuberkulin

Reaksi Tuberkulin Kondisi dimana dianggap


signifikan

indurasi 5–9 mm Infeksi HIV, kontak dengan


individu dengan TB aktif; anak
dengan suspek penyakit TB,
dalam kondisi imunosupresi.
(menggunakan kortikosteroid,
kemoterapi,dan sebagainya)

Indurasi ≥ 10 mm Pada kondisi lainnya

* Catatan: Pemberian uji Tuberkulin secara intradermal berdasar


pedoman dan indurasi dibaca dalam mm pada 48-72 jam.
Pemeriksaan ini hanya untuk pasien yang berisiko terjangkit infeksi
TB atau individu dengan infeksi TB progresif. Pemeriksaan rutin
pada individu risiko rendah tidak diindikasikan. Anak usia muda
dengan suspek penyakit TB, pengobatan dapat dimulai meskipun
reaksi tuberkulin dengan indurasi 0-4 mm.

e) Foto Thorax

Foto thorak dibutuhkan pada pasien yang tidak dapat

mengeluarkan sputum atau yang memiliki hasil Xpert negatif dan

HIV positif, dan diduga terdapat TB ekstrapulmoner (seperti efusi

pleura dan TB perikardial). Saat foto thorak tidak spesifik untuk TB,

Temuan pada foto thorax harus diinterpretasi sesuai dengan riwayat


dan temuan klinis pasien. Adanya infiltrat, pembesaran kelenjar getah

bening atau kavitas sangat mendukung adanya TB. Indikasi

penggunaan foto thorak lainnya mencakup:

- Membantu diagnosis saat adanya dugaan komplikasi penyakit TB

seperti pneumothorak, efusi pleura, atau pasien dengan

hemoptisis berulang dan berat.

- Untuk membantu diagnosis penyakit paru yang terjadi secara

bersamaan seperti kanker paru, bronkiektasis.

f) Pencitraan CT Scan dan MRI

Pencitraan memegang peranan penting dalam diagnosis MTB

terutama pada fase awal penyakit dan pada kasus tertentu. Gambaran

CT scan yang mendukung MTB diantaranya, tampak adanya eksudat

hiperdens pada CT scan tanpa kontras, enhancement pada basal

meningeal, infark bilateral basal ganglia merupakan tanda khas MTB

dan merupakan tanda keterlibatan batang otak serta hidrosefalus.

MRI lebih superior dari CT untuk diagnosis MTB dengan

adanya basal enhancement dan granuloma, tuberkel milier pada

leptomeningeal yang terjadi pada 80% anak dengan MTB,

identifikasi opthochiasmic arachnoiditis, serta mendeteksi infark

lebih baik.

g) Pemeriksaan Histologi
Pemeriksaan histopatologi dapat dilakukan pada spesimen

jaringan, namun pemeriksaan ini tidak dipertimbangkan untuk

konfirmasi bakteri. Perkembangbiakan tuberkel basili pada area

tubuh manapun menyebabkan tipe inflamasi spesifik dengan

konfirmasi karakteristik granuloma yang dapat ditemukan dalam

pemeriksaan histopatologi.

h) Metode Molekuler

Gene Expert

Gene Xpert adalah tes baru untuk tuberkulosis. Hal ini dapat

mengetahui apakah seseorang terinfeksi TB, dan juga jika bakteri TB

dari orang yang memiliki ketahanan terhadap salah satu obat TB

umum, rifampisin. Bertentangan dengan tes yang ada saat ini, ia

bekerja pada tingkat molekuler untuk mengidentifikasi

Mycobacterium tuberculosis. Ini berarti bahwa ia tidak menggunakan

mikroskop tapi semacam tes kimia untuk mencari bakteri TB. Tes ini

juga disebut Xpert MTB / RIF (Mycobacterium tuberculosis dan

rifampisin). Gene Xpert adalah mesin yang dapat mendeteksi

Mycobacterium tuberculosis dalam sampel dahak. Seseorang yang

diduga menderita TB perlu memberikan contoh dahak, dalam tabung

kecil. Dari tabung, sampel dimasukkan ke dalam mesin, dan

kemudian reaksi biokimia yang mulai untuk melihat apakah sampel

mengandung bakteri TB. Mesin mencari Deoxyribonucleic acid


(DNA) spesifik untuk bakteri TB. Jika ada bakteri TB dalam sampel,

mesin akan mendeteksi DNA mereka dan secara otomatis kalikan.

Teknik ini disebut PCR (polymerase chain reaction), dan mungkin

mesin untuk juga melihat struktur gen. Hal ini penting untuk

mendeteksi jika bakteri TB telah mengembangkan resistensi terhadap

obat. DNA dari bakteri TB adalah, dengan cara, seperti string

panjang warna yang berbeda. Jika salah satu atau lebih dari

perubahan warna jika ada mutasi pada DNA , maka bakteri bisa

menjadi resisten terhadap obat TB tertentu. Gene Xpert dapat

menguji resistensi terhadap salah satu obat TB yang paling umum,

rifampisin. Ini berarti bahwa hal itu dapat memberitahu kita dua hal

yaitu, apakah seseorang memiliki TB, dan apakah penderita TB

tersebut telah dapat diobati dengan rifampisin. Tes ini sangat cepat

dan hanya membutuhkan waktu sekitar dua jam dan lebih cepat

daripada tes TB lainnya.12

i) Pungsi Lumbal

Diagnosis pasti meningitis TB dapat dibuat hanya setelah

dilakukan pungsi lumbal pada pasien dengan gejala dan tanda

penyakitdi sistem saraf pusat (defisit neurologis), basil tahan asam

positif dan atau M. tuberculosis terdeteksi menggunakan metode

molekular dan atau setelah dilakukan kultur cairan serebrospinal

(CSF). Namun segala metode untuk memastikan sebuah diagnosis


meningitis TB ini memiliki resiko memperlambat terapi inisiasi.

Kultur memerlukan 2 sampai 3 minggu untuk mendapatkan hasil.

Deteksi mikroskopik untuk basil tahan asam dan isolasi kultur

memiliki sensitivitas rendah. Metode molekular yang paling baru

juga memiliki sensitivitas dan spesifitas yang rendah namun dapat

digunakan untuk mengetahui konsentrasi bakteri yang berada di CSF

sehingga dapat menjadi pertimbangan untuk mengevaluasi respon

terapi.2,

Pada meningitis TB, sering ditemukan glukosa pada cairan

serebrospinalis di bawah 5 mg/dl dengan warna yang jernih, hitung

jenis sel darah putih menunjukkan peningkatan limfosit sebesar 50%

atau lebih pada 50 sampai 500 per µL sel darah putih di dalam cairan

serebrospinalis. Kandungan protein diatas 1 g/L dan glukosa kurang

dari 2.2 mmol/L. Namun pada beberapa kasus bisa ditemukan hasil

penemuan laboratorium yang berbeda. Untuk meyakinkan diagnosis

meningitis TB, tes cairan serebrospinalis lain baru-baru ini telah

dikembangkan. Salah satunya adalah evaluasi adenosine deaminase

activity (ADA), pengukuran interferon-gamma (IFN-ɣ) yang

dikeluarkan oleh limfosit, deteksi antigen dan antibodi bakteri M.

tuberculosisdan immunocytochemical stainingof mycobacterial

antigens (ISMA) pada sitoplasma makrofag CSF.2,8


Tes aktivitas ADA merupakan rapid test yang menampilkan

proliferasi dan diferensiasi limfosit sebagai hasil dari aktivasi

imunitas yang diperantarai sel (cell-mediated immunity) terhadap

infeksi bakteri M.tuberculosis. Aktivitas ADA tidak dapat

membedakan meningitis TB dengan meningitis bakterial lainnya,

tapi aktivitas dari ADA dapat menjadi informasi tambahan yang

berguna untuk menyingkirkan diagnosis meningitis yang diakibatkan

selain bakteri. Nilai ADA dari 1 sampai 4 U/L (sensitivitas >93%

dan spesifitas <80%) dapat membantu eksklusi diagnosis meningitis

TB. Nilai >8 U/L (sensitivitas 59%dan spesifitas >96%)dapat

membantu menegakkan diagnosis meningitis TB(p<0.001). Namun,

nilai diantara 4 dan 8 U/L insufisien untuk mengonfirmasi atau

mengeksklusi diagnosis meningitis TB(p=0.07). Hasil positif palsu

juga bisa ditemukan pada pasien dengan infeksi HIV.2,11

Pengukuran IFN-ɣ yang dikeluarkan oleh limfosit yang

terstimulasi oleh antigen bakteri M. Tuberculosis telah diakui lebih

akurat dibandingkan dengan skin-testing untuk mendiagnosis infeksi

TB laten dan sangat berguna untuk mendiagnosis TB

ekstrapulmoner. Namun, sensitivitas dan spesifitas tes bervariasi

menurut asal atau sumber infeksi primernya. Telah dilaporkan

kegagalan tes pengukuran IFN-ɣ ini diakibatkan oleh kematian

limfosit yang cepat ketika distimulasi dengan antigen M.


tuberculosis ex vivo sehingga hasil tes dapat ditemukan negatif

meskipun sesungguhnya telah terdapat infeksi TB.2,11

Penggunaan tes ISMA pada sitoplasma makrofag CSF

berdasarkan asumsi bahwa pada stase inisial infeksi terjadi

fagositosis basil TB oleh makrofag dan pada stase selanjutnya basil

TB tersebut berkembangdan bertambah di dalam makrofag. Hasil tes

yang positif mengindikasikan bahwa terdapat isolat bakteri TB di

dalam CSF. Pada studi terbaru di dapatkan sensitivitas 73.5% dan

spesifitas 90.7% dengan nilai prediksi positif dan negatif sebesar

52.9% dan 96% berturut-turut.2,11

KRITERIAN KLINIS DAN RADIOLOGIS UNTUK DIAGNOSIS MTB

Kriteria klinis dan radiologis berupa sistem skoring dapat mengoptimalkan

diagnosis meningitis TB.

1. Thwaites score

Sistem penilaian diagnosis Thwaites cukup efektif untuk membedakan

MTB dengan bakterial meningitis (BM) yang telah menerima terapi awal

namun kurang efektif untuk MTB dan BM yang telah menerima terapi

parsial.16

Sistem penilaian diagnostik Thwaites mencakup 5 parameter

independen: usia, jumlah sel darah putih perifer, riwayat penyakit, total sel

darah putih di cairan serebrospinal, dan rasio neutrofil di cairan

serebrospinal. Index Diagnostik (ID) total dijumlahkan dari setiap pasien


berdasar batas nilai yang telah ditentukan. Pasien dengan nilai ID < 4

didiagnosis dengan TBM dan BM untuk pasien dengan nilai >4.16

Tabel 3. Kriteria penilaian diagnosis Thwaites16

Parameter Indeks diagnosis


(ID)

Usia
> 36 2
< 36 0
Jumlah sel darah putih darah (103/ml)
> 15.000 4
< 15.000 0
Riwayat penyakit (hari)
>6 5
<6 0
Jumlah sel darah putih total di cairan serebrospinal
(103/ml)
> 900 3
< 900 0
Rasio neutrofil cairan serebrospinal (%)
> 75 4
< 75 0

2. Skor Marais untuk diagnosis MTB

Diagnosis probable dan possible MTB memerlukan tanda, gejala dari

meningitis dihubungkan dengan klinis, analisis CSS, pemeriksaan pencitraan


yang mendukung infeksi tuberculosis. Bukti infeksi TB di luar SSP berperan

dalam diagnosis probable atau possible. Marais dkk., membuat skor

penilaian berdasarkan temuan yang paling sering atau umum ditemukan

pada MTB pada anak diberikan sejumlah nilai atau skor sesuai derngan

frekuensi kejadiannya.17

Menurut Marais dkk., Definisi “Probable MTB” adalah jika total skor

antara 10-12 dan “Possible MTB” adalah jika total skorlebih dari 6. Untuk

selengkapnya kriteria Marais yang dimodifikasi dapat dilihat pada tabel 2

dibawah ini. Kriteria Marais dikelompokkan menjadi kriteria klinis (nilai

katagori maksimal=6); kriteria CSS (nilai katagori maksimal=4); kriteria

imaging serebri (nilai katagori maksimal=6) dan kriteria bukti TB di tempat

lain (nilai katagori maksimal=4).17

Tabel 4. Komponen standar definisi kasus MTB menurut Marais, dkk.


(dimodifikasi).17
H. PENATALAKSANAAN

Paduan obat anti tuberkulosis (OAT) untuk anak menurut Program

Nasional Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia adalah sebagai berikut :


Su

mber : Petunjuk Teknis Manajemen Tb Anak. Kementerian Kesehatan Republik Indonesi. 2013

Sumber : Petunjuk Teknis Manajemen Tb Anak. Kementerian Kesehatan Republik Indonesi.2013

Meningitis Tuberkulosis diterapi 12 bulan dan juga mengikuti konsep

pengobatan tuberkulosis secara umum, yaitu :


1. Fase intensif : fase ini berlangsung selama 2 bulan, menggunakan 4 atau 5

obat antituberkulosis (OAT), yaitu isoniazid (INH), Rifampisin (RIF),

Pirazinamid (PZA), etambutol (E), dan streptomisin (STM). Streptomisin

diberikan jika terdapat resistensi OAT.

2. Fase lanjutan : fase ini berlangsung selama 10 bulan berikutnya,

menggunakan 2 obat OAT, yakni INH dan RIF. Pada kasus TB tertentu

seperti meningitis TB, diberikan kortikosteroid (prednison) dengan dosis 1-2

mg/kg BB/hari, dibagi dalam 3 dosis. Dosis maksimal prednison adalah

60mg/hari. Lama pemberian kortikosteroid adalah 2-4 minggu dengan dosis

penuh dilanjutkan tappering off dalam jangka waktu yang sama. Tujuan

pemberian steroid ini untuk mengurangi proses inflamasi dan mencegah

terjadi perlekatan jaringan.5

Kortikosteroid dapat digunakan untuk pengelolaan beberapa bentuk

komplikasi dari TB, misalnya tuberkulosis meningitis. Kortikosteroid telah

terbukti meningkatkan kelangsungan hidup dan mengurangi morbiditas dalam

terapi meningitis TB sehingga direkomendasikan pada semua kasus meningitis

tuberkulosis. Prednison merupakan jenis kortikosteroid yang paling sering

digunakan, dosis yang digunakan 2 mg / kg sehari, dan dinaikkan menjadi 4

mg / kg sehari pada kasus anak-anak dengan prognosis yang kurang baik,

dengan dosis maksimal 60 mg / hari selama 4 minggu. Selanjutnya dosis

dikurangi secara bertahap “tappering off” selama 1-2 minggu sebelum berhenti.
Kombinasi dosis tetap OAT KDT (FDC=Fixed Dose Combination)

Untuk mempermudah pemberian OAT sehingga meningkatkan keteraturan

minum obat, paduan OAT disediakan dalam bentuk paket KDT/ FDC. Satu

paket dibuat untuk satu pasien untuk satu masa pengobatan. Paket KDT untuk

anak berisi obat fase intensif, yaitu rifampisin (R) 75mg, INH (H) 50 mg, dan

pirazinamid (Z) 150 mg, serta obat fase lanjutan, yaitu R 75 mg dan H 50 mg

dalam satu paket.

I. PROGNOSIS

Prognosis dari Meningitis tuberculosa sangat tergantung pada status

neurologis, pengobatan harus dimulai segera setelah diagnosis dicurigai.

Keterlambatan dalam pengobatan dapat memperburuk hasil. Berbagai penelitian

kasus menunjukkan tingkat kematian dari 7%-65% di negara-negara maju, dan

sampai 69% didaerah tertinggal.15

Prognosis pasien berbanding lurus dengan tahapan klinis saat pasien

didiagnosis dan terapi. Bila meningitis tidak diobati, prognosisnya jelek.

Penderita dapat meninggal dalam waktu 6-8 minggu. Prognosisnya ditentukan


oleh kapan pengobatan dimulai dan pada stadium berapa, umur penderita juga

mempengaruhi prognosisnya.15

DAFTAR PUSTAKA

1. Philip N, William T, Jhon DV. 2015. Diagnosis Of Tuberculous Meningitis:


Challenges And Promises. Malaysia J Pathol, Vol 3, No. 1: Malaysia: hal. 1-9.
2. Cissy B, Kartasasmita. 2009. Epidemiologi Tuberkulosis: Sari Pediatric, Vol 1, No.
2 : Bandung.
3. World Health Organization. 2009. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak Di
Rumah Sakit, Jakarta: Depertamen Kesehatan Republik Indonesia & World Health
Organization.
4. Arif, M. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2 Edisi III, Jakarta: Medica Aesculapius
FKUI.
5. Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 2013.
Petunjuk Teknis Manajemen TB Anak. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI.
6. Harsono. 2008. Buku Ajar Neurologi Klinis. Yogyakarta: Perhimpunan Dokter
Spesialis Saraf Indonesia dan Gadjah Mada University Press.
7. Asuhan Keperawatan Pada Klien Ny A. Dengan Gangguan Sistem Persarafan:
Meningitis Tuberkulosis di Ruang 19A Perawatan Penyakit Saraf Wanita Perjan
Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung.
http://www.scribd.com/doc/56867229/Askep-Menser diakses tanggal 21 Desember
2016.
8. Principi N, Esposito S. 2012. Diagnosis And Therapy Of Tuberculous Meningitis
In Children. Tuberculosis Vol 92. Italy: Elsevier: hal 377-383.

9. Tuon FF, Higashino HR, Lopes MI, Litvoc MN, Atomiya AN, Antonangelo L, et al.
2010. Adenosine deaminase andtuberculous meningitisea systematic review with meta-
analysis.Scand J Infect Dis Vol 42

10. Corral I, Quereda C, Navas E, Martín-Dávila P, Pérez-Elías MJ, Casado JL, et al. 2004.
Adenosine Deaminase Activity In Cerebrospinal Fluid Of HIV-Infected Patients:
Limited Value For Diagnosis Of Tuberculous Meningitis. Eur J Clin Microbiol Infect
Dis Vol. 23.

11. Liao CH, Chou CH, Lai CC, Huang YT, Tan CK, Hsu HL, et al. 2009. Diagnostic
Perfor-Mance Of An Enzyme-Linked Immunospot Assay For Interferon-Gamma In
Extrapulmonary Tuberculosis Varies Between Different Sites Of Disease. J Infect Vol
59.

12. Simmons CP, Thwaites GE, Quyen NT, Chau TT, Mai PP, Dung NT, et al. 2005. The
Clinical Benefit Of Adjunctive Dexamethasone In Tuberculous Meningitis Is Not
Associated With Measurable Attenuation Of Peripheral Or Local Immune Responses. J
Immunol Vol. 175.
13. Sumi MG, Mathai A, Reuben S, Sarada C, Radhakrishnan VV. 2009.
Immunocytochemical Method For Early Laboratory Diagnosis Of Tuberculous
Meningitis. Clin Diagn Lab Immunol Vol 9.

14. Shao Y, Xia P, Zhu T, Zhou J, Yuan Y, Zhang H, et al. 2011. Sensitivity And
Specificity Of Immunocytochemical Staining Of Mycobacterial Antigens In The
Cytoplasm Of Cerebrospinalfluid Macrophages For Diagnosing Tuberculous
Meningitis. J Clin Microbiol Vol 49.

15. Nastiti N, Rahajoe, dkk. 2010. Buku Ajar Respirologi Anak. Jakarta: Ikatan Dokter
Anak Indonesia.

16. Thwaites GE. The diagnosis and management of tuberculous meningitis. Pract
Neurol [Internet]. 2002;2(5):250–61. Available from:
http://171.66.125.86/content/2/5/250.short

17. Handryastuti, S., & Latifah, D. (2023). Perbandingan Berbagai Sistem Skoring
untuk Diagnosis Meningitis Tuberkulosis pada Anak. Sari Pediatri, 24(6), 425-32.

Anda mungkin juga menyukai