Anda di halaman 1dari 23

Case Report Session

MENINGITIS TUBERKULOSIS

Oleh:
Intan Rahma Fitri
2040312046

Preseptor:
dr. Iskandar Syarif, Sp.A(K)

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
2021

1
DAFTAR ISI

BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................................ 3


1.1 Latar Belakang .................................................................................................. 3
1.2 Batasan Masalah ............................................................................................... 4
1.3 Tujuan Penulisan .............................................................................................. 4
1.4 Metode Penelitian .............................................................................................. 4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................................... 5
2.1 Defenisi ............................................................................................................... 5
2.2 Epidemiologi ...................................................................................................... 5
2.3 Etiologi ............................................................................................................... 6
2.4 Patofisiologi........................................................................................................ 6
2.5 Manifestasi Klinis.............................................................................................. 7
2.6 Diagnosis ............................................................................................................ 8
2.7 Tatalaksana...................................................................................................... 10
2.8 Komplikasi ....................................................................................................... 11
2.9 Prognosis .......................................................................................................... 12
BAB 3 LAPORAN KASUS ........................................................................................... 13
BAB 4 DISKUSI KASUS............................................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 22

2
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Meningitis tuberkulosis adalah peradangan pada meningens atau selaput
otak yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis (TB).1 Penyakit ini
merupakan salah satu bentuk komplikasi yang sering muncul pada penyakit
tuberkulosis paru. Infeksi primer muncul di paru-paru dan dapat menyebar secara
limfogen dan hematogen ke berbagai daerah tubuh di luar paru, seperti perikardium,
usus, kulit, tulang, sendi, dan selaput otak.1
Mycobacterium tuberkulosis merupakan bakteri berbentuk batang
pleomorfik gram positif, berukuran 0,4 – 3 μ, mempunyai sifat tahan asam, dapat
hidup selama berminggu-minggu dalam keadaan kering.1 Bakteri ini masuk
kedalam tubuh inang melalui droplet inhalasi. Infeksi local di paru menjadi luas dan
menyebar secara hematogen ke ekstraparu termasuk sistem saraf pusat (SSP).
Orang yang terinfeksi meningitis tuberkulosis, bakteri basil tersebut berdiam di
meningen atau parenkim otak sebagai hasil dari pembentukan focus subpial atau
subependimal kecil dari lesi kaseosa metastatic yang dikenal sebagai fokus Rich.
Fokus Rich semakin membesar sehingga ruptur atau pecah dan masuk ke dalam
ruang subarakhnoid dan menyebabkan meningitis. Lokasi perluasan tuberkel
menentukan tipe dari infeksi SSP.2
Meningitis tuberkulosis merupakan bentuk tuberkulosis ekstrapulmonal
kelima yang paling sering ditemui sekaligus yang paling berbahaya, kejadian
terbanyak ditemukan pada anak-anak. Bila tidak diobati dengan tepat akan
menyebabkan gejala sisa neurologis yang permanen, bahkan dapat menyebabkan
kematian.1
Diagnosis meningitis tuberkulosis sering menjadi terlambat atau tidak tepat
dikarenakan manifestasi klinis dari pasien meningitis tuberkulosis pun bervariasi
mulai dari sindrom meningitis akut yang cepat sampai dengan demensia progresif
yang lambat. Diagnosis meningitis tuberculosis sulit dan sering hanya ditentukan
berdasarkan gejala klinis, pencitraan (neuroimaging) dan karakteristik perubahan
dari cairan serebrospinalis tanpa konfirmasi mikrobiologis definitive.2

3
Faktor resiko utama untuk meningitis adalah respons imunologi terhadap
patogen spesifik yang lemah terkait dengan usia muda. Resiko terbesar pada bayi
usia 1–12 bulan, 95 % terjadi antara 1-5 tahun. Meningitis tuberkulosis menyerang
0,3% anak yang menderita tuberkulosis yang tidak diobati. Angka kematian pada
meningitis tuberkulosis berkisar antara 10-20%. Sebagian besar memberikan gejala
sisa, hanya 18% pasien yang akan kembali normal secara neurologis dan
intelektual.3,4 Prinsip penanganan meningitis TB mirip dengan penanganan TB lain
dengan syarat obat harus dapat mencapai sawar darah otak dengan konsentrasi yang
cukup untuk mengeliminasi basil intraselular maupun ekstraselular.1

1.2 Batasan Masalah


Batasan masalah Case Report Session ini adalah mengenai meningitis
tuberkulosis pada anak.

1.3 Tujuan Penulisan


Menambah pengetahuan mengenai Meningitis tuberculosis pada anak .

1.4 Metode Penelitian

Metode penulisan case report session ini dari berbagai kepustakaan, laporan
kasus dari pasien, serta pembahasan antara teori yang ada dengan kasus yang
didapatkan.

4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Defenisi
Meningitis tuberkulosis adalah radang selaput otak akibat komplikasi
tuberkulosis primer. Biasanya proses inflamasi tidak terbatas hanya di meningen, tapi
juga mengenai parenkim otak (meningoensefalitis), ventrikel (ventrikulitis) bahkan
bisa menyebar ke medula spinalis.3

2.2 Epidemiologi
Penyakit tuberkulosis merupakan penyebab ketujuh dari kematian dan
kecacatan pada seluruh dunia. Pada tahun 1997, meningitis tuberkulosis adalah
bentuk kelima tersering dari tuberkulosis. WHO memperkirakan sepertiga dari
penduduk dunia telah terinfeksi tuberkulosis. Pada tahun 2005 kasus baru
tuberkulosis di seluruh dunia diperkirakan mencapai 8,8 juta dengan 7,7 juta kasus
berasal dari Asia dan Afrika. 1,6 juta meninggal akibat tuberkulosis termasuk
195.000 pasien dengan HIV.4
Meningitis tuberkulosis sering terjadi pada anak-anak terutama yang berusia
di bawah 5 tahun. Tidak ada perbedaan insidens antara laki-laki dan perempuan.
Tingkat mortalitas mencapai 10-20 % sementara morbiditas berupa gejala sisa
neurologik permanen mencapai 82%. 5
Meningitis tuberkulosis merupakan meningitis yang paling banyak
menyebabkan kematian atau kecacatan dibanding dengan meningitis bakterialis
akut, perjalanan penyakit meningitis tuberkulosis lebih lama dan perubahan atau
kelainan dalam cairan serebrospinal (CSS) tidak begitu hebat.5

5
2.3 Etiologi
Mycobacterium tuberculosis adalah basil gram positif, hidup secara obligat
aerob, tidak berspora, dan tidak bergerak. Panjangnya 2-4 um. Memiliki dinding sel
kaya lipid yang dapat melindungi bakteri dari serangan antibodi dan komplemen.
Tumbuh sangat pelan, butuh sekitar 3-6 minggu untuk mengisolasi bakteri dari
spesimen klinis di agar Lowenstein Jensen. Uji sensitivitas obat membutuhkan 4
minggu tambahan. Ciri khas bakteri ini adalah tahan asam yaitu kemampuan
membentuk kompleks mikolat berwarna kemerahan bila diwarnai dengan pewarna
arilmetan dan mempertahankan warnanya walau dicuci dengan etanol.6

2.4 Patofisiologi

Banyak gejala, tanda dan sekuele dari meningitis TB (TBM) merupakan


hasil reaksi inflamasi akibat infeksi. TBM berkembang dalam 2 tahap. Bakteri
Mycobacterium tuberculosis memasuki host melalui droplet inhalasi dan infeksi
terlokalisasi pada paru. Infeksi lokal meningkat di paru dan menyebar ke kelenjar
getah bening regional sehingga menghasilkan kompleks primer. Selama tahap ini,
bakteremia dapat membentuk basil tuberkel ke organ lain.4
Pada orang yang mengalami TBM, basil di meninges atau parenkim otak
akan membentuk fokus subpial atau subependymal dari metastasis lesi caseous
yang disebut “rich foci”, setelah studi patologis asli Rich. Tahap kedua dalam
perkembangan TBM adalah peningkatan ukuran foci sampai pecah ke ruang
subarachnoid. Lokasi tuberkel yang meluas menentukan jenis keterlibatan SSP.
Tuberkel yang pecah ke dalam ruang subaraknoid menyebabkan meningitis, jika
mengenai bagian yang lebih dalam di otak atau parenkim sumsum tulang belakang
menyebabkan tuberkuloma atau abses.4
Eksudat gelatin yang tebal menginfiltrasi pembuluh darah kortikal atau
meningeal sehingga menghasilkan peradangan, obstruksi, atau infark. Meningitis
basal merupakan penyebab disfungsi saraf kranial (CN) III, VI, dan VII yang pada
akhirnya menyebabkan hidrosefalus obstruktif akibat obstruksi basilar. Patologi
neurologis berikutnya dihasilkan oleh 3 proses umum: pembentukan adhesi,
vaskulitis obliteratif, dan ensefalitis atau mielitis.4

6
2.5 Manifestasi Klinis
Faktor risiko yang harus dicurigai MTB pada anak adalah adanya riwayat
infeksi TB paru dan infeksi HIV. Sekitar 60% anak dengan MTB menunjukkan
bukti radiologi terinfeksi TB paru. Insiden tertinggi MTB pada anak terjadi pada
usia 2-4 tahun.7 Pada fase prodromal dapat dijumpai gejala berupa demam ringan
(sub-febris), malaise, sakit kepala, pusing, muntah muntah dan/atau delirium,
penurunan kesadaran, perubahan kepribadian yang menetap selama beberapa
minggu. Kemudian pasien dapat menunjukkan gejala sakit kepala yang memberat,
penurunan kesadaran dan kejang. Kejang merupakan gejala klinis yang sering
terjadi pada anak anak sampai mencapai 50% kasus. Gejala klinis yang klasik
seperti kaku kuduk dan demam dapat saja tidak muncul. Pemeriksaan neurologis
menunjukkan kaku kuduk dan/atau tanda Kernig positif, Brudzinki I dan II positif.
Jika tidak diberikan terapi OAT maka dapat terjadi koma dan kematian.8
Presentasi klinis yang klasik dari penyakit meningitis sub-akut sulit
dibedakan dari penyebab meningoencephalitis lainnya. Saat gejala neurologis
penyakit yang telah lanjut muncul (seperti koma, kejang, peningkatan tekanan
intrakranial serta hemiparesis), diagnosis terlihat jelas namun prognosisnya buruk.
Gangguan motorik dapat muncul setelah infark basal ganglia dan muncul sebagai
tremor, korea, ballismus atau myoclonus. Pada beberapa anak dapat datang dengan
ensefalopati tuberkulosis dengan disseminated tuberculosis namun tanpa bukti
meningitis secara klinis ataupun pada cairan serebrospinal. Pada MTB dengan
keterlibatan spinal, menunjukkan gejala paraplegi dan muncul pada <10% kasus.
Tuberkulosis vertebral (Pott’s disease) menyumbang sebanyak seperempat pasien
dengan MTB spinal dan dapat berhubungan dengan abses paravertebral atau gibbus.
MTB diklasifikasikan ke dalam tiga tingkat keparahan berdasar British
Medical Research Council TBM :9
✓ Tingkat 1 MTB didefinisikan dengan Glasgow coma score (GCS) 15
dengan tanpa defisit neurologi fokal.
✓ Tingkat 2 MTB dengan GCS 15 dan defisit neurologi fokal, atau GCS 11-
14.
✓ Tingkat 3 MTB dengan GCS ≤10

7
2.6 Diagnosis
a. Anamnesis

Riwayat demam yang lama/kronis dan dapat juga berlangsung akut, Kejang,
deskripsi kejang (jenis, lama, frekuensi, interval) kesadaran setelah kejang.
Penurunan kesadaran-Penurunan berat badan (BB), anoreksia, muntah, sering
batuk dan pilek. Riwayat kontak dengan pasien tuberkulosis dewasa dan riwayat
imunisasi BCG.10

b. Pemeriksaan Fisik
Manifestasi klinis dibagi menjadi 3 stadium :10

1. Stadium I

Pasien tampak apatis ,iritabel, nyeri kepala, demam, malaise, anoreksia, mual dan
muntah. Belum tampak manifestasi kelainan neurologi.
2. Stadium II

Pasien tampak mengantuk, disorientasi, ditemukan tanda rangsang meningeal,


kejang, defisit neurologis fokal, paresis nervus kranial, dan gerakan involunter
(tremor, koreoatetosis, hemibalismus).
3. Stadium III

Stadium II disertai dengan kesadaran semakin menurun sampai koma, ditemukan


tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial, pupil terfiksasi, pernapasan ireguler
disertai peningkatan suhu tubuh, dan ekstremitas spastis.

c. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan meliputi darah perifer lengkap, laju endap darah dan gula
darah. Leukosit, darah tepi sering meningkat (10.000 – 20.000 sel/mm3).
Sering ditemukan hiponatremia dan hipokloremia karena sekresi
antidiuretik hormon yang tidak adekuat.

2. Pungsi lumbal:
• Liquor serebrospinal (LCS) jernih, cloudy atau santokrom.

8
• Jumlah sel meningkat antara 10–250 sel/mm3 dan jarang melebihi 500
sel/mm3, hitung jenis predominan sel limfosit walaupun pada stadium awal
dapat dominan polimorfonuklear.
• Protein meningkat di atas 100 mg/dl sedangkan glukosa menurun di bawah
35 mg/dl, rasio glukosa LCS dan darah dibawah normal.
• Pemeriksaan BTA (basil tahan asam) dan kultur M. Tbc tetap dilakukan,
jika hasil pemeriksaan LCS yang pertama meragukan, pungsi lumbal
ulangan dapat memperkuat diagnosis dengan interval dua minggu.

3. Pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR), enzyme-linked


immunosorbentassay (ELISA) dan latex particle agglutination dapat
mendeteksi kuman Mycobacterium di cairan serebrospinal (bila
memungkinkan).
4. Pemeriksaan pencitraan (computed tomography (CT Scan)/magnetic
resonance imaging/(MRI) kepala dengan kontras) dapat menunjukkan lesi
parenkim pada daerah basal otak, infark, tuberkuloma, maupun
hidrosefalus. Pemeriksaan ini dilakukan jika ada indikasi, terutama jika
dicurigai terdapat komplikasi hidrosefalus.
5. Foto rontgen dada dapat menunjukkan gambaran penyakit tuberkulosis.
6. Uji tuberkulin dapat mendukung diagnosis.
7. Elektroensefalografi (EEG) dikerjakan jika memungkinkan dapat
11
menunjukkan perlambatan gelombang irama dasar.

Gambar 1. Perbedaan gambaran analisis CSS antara meningitis


tuberkulosis (MTB) dan infeksi lain.

9
2.7 Tatalaksana

a. Medikamentosa

Pengobatan medikamentosa diberikan sesuai rekomendasi American


Academy of Pediatrics 1994, yakni dengan pemberian 4 macam obat selama 2
bulan, dilanjutkan dengan pemberian INH dan Rifampisin selama 10 bulan.
Dosis obat antituberkulosis adalah sebagai berikut :10

1. Isoniazid (INH) 10-20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 300 mg/hari.

2. Rifampisin 10-20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 600 mg/hari.

3. Pirazinamid 15-30 mg/kgBB.hari, dosis maksimal 2000 mg/hari.

4. Etambutol 15-20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 1000 mg/hari atau


streptomisin IM 20 – 30 mg/kg/hari dengan maksimal 1 gram/hari.

Kortikosteroid diberikan untuk menurunkan inflamasi dan edema


serebral. Prednison diberikan dengan dosis 1–2 mg/kg/hari selama 6–8 minggu.
Adanya peningkatan tekanan intrakranial yang tinggi dapat diberikan deksametason
6 mg/m2 setiap 4–6 jam atau dosis 0,3–0,5 mg/kg/hari.

b. Bedah
Hidrosefalus terjadi pada 2/3 kasus dengan lama sakit > 3 minggu dan dapat
diterapi dengan asetazolamid 30-50 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis. Perlu
dilakukan pemantauan terhadap asidosis metabolik pada pemberian asetazolamid.
Beberapa ahli hanya merekomendasikan. tindakan VP-shunt jika terdapat
hidrosefalus obstruktif dengan gejala ventrikulomegali disertai peningkatan
tekanan intraventrikel atau edema periventrikuler.10

c. Suportif

Jika keadaan umum pasien sudah stabil, dapat dilakukan konsultasi ke


Departemen Rehabilitasi Medik untuk mobilisasi bertahap, mengurangi spastisitas,
serta mencegah kontraktur.10

10
d. Pemantauan pasca rawat
Pemantauan darah tepi dan fungsi hati setiap 3-6 bulan untuk mendeteksi
adanya komplikasi obat tuberkulostatik.Gejala sisa yang sering ditemukan adalah
gangguan penglihatan, gangguan pendengaran, palsi serebral, epilepsi, retardasi
mental, maupun gangguan perilaku. Pasca rawat pasien memerlukan pemantauan
tumbuh-kembang, jika terdapat gejala sisa dilakukan konsultasi ke departemen
terkait (Rehabilitasi Medik, telinga hidung tenggorokan (THT), Mata dll) sesuai
indikasi.10

2.8 Komplikasi
Komplikasi yang paling menonjol dari meningitis tuberkulosis adalah gejala
sisa neurologis (sekuele). Sekuele terbanyak adalah paresis spastik, kejang,
paraplegia, dan gangguan sensori ekstremitas. Sekuele minor dapat berupa kelainan
saraf otak, nistagmus, ataksia, gangguan ringan pada koordinasi, dan spastisitas.
Komplikasi pada mata dapat berupa atrofi optik dan kebutaan. Gangguan
pendengaran dan keseimbangan disebabkan oleh obat streptomisin atau oleh
penyakitnya sendiri.11

Gangguan intelektual terjadi pada kira-kira 2/3 pasien yang hidup. Pada
pasien ini biasanya mempunyai kelainan EEG yang berhubungan dengan kelainan
neurologis menetap seperti kejang dan mental subnormal. Kalsifikasi intrakranial
terjadi pada kira-kira 1/3 pasien yang sembuh. Seperlima pasien yang sembuh
mempunyai kelainan kelenjar pituitari dan hipotalamus, dan akan terjadi prekoks
seksual, hiperprolaktinemia, dan defisiensi ADH, hormon pertumbuhan,
kortikotropin dan gonadotropin.11

2.9 Prognosis
Prognosis pasien berbanding lurus dengan tahapan klinis saat pasien
didiagnosis dan diterapi. Semakin lanjut tahapan klinisnya, semakin buruk
prognosisnya. Apabila tidak diobati sama sekali, pasien meningitis tuberkulosis
dapat meninggal dunia. Prognosis juga tergantung pada umur pasien. Pasien yang
berumur kurang dari 3 tahun mempunyai prognosis yang lebih buruk daripada
pasien yang lebih tua usianya.11

11
BAB 3
LAPORAN KASUS

IDENTITAS
Nama : A.A.T
Umur : 17 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Karanganyar, Sawah Lunto
Agama : Islam
Nomor MR : 01.10.71.20

ANAMNESIS (Alloanamnesis dari ibu kandung)


Keluhan Utama:
Kejang 1 hari sebelum masuk rumah sakit
Riwayat Penyakit Sekarang:
- Pasien mengalami kejang 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien
mengalami kejang secara tiba-tiba, kejang sebanyak 3 kali. Kejang pertama
terjadi sekitar 1-2 menit, anak mengalami kelonjotan seluruh tubuh, mata
mendelik ke kiri, mulut mencong ke kiri dan kejang berhenti sendiri tanpa
obat. Kejang kedua terjadi selama 1-2 menit, anak mengalami kelonjotan
seluruh tubuh, mata mendelik ke kiri dan kejang juga berhenti sendiri tanpa
obat, namun anak mengalami penurunan kesadaran. Jarak antara kejang
pertama dengan kedua sekitar 20 menit. Setelah kejang kedua anak dibawa
ke rumah sakit daerah dan sekitar 1, 5 jam setelah sampai di rumah sakit
anak kembali mengalami kejang selama 1-2 menit, anak mengalami
kelonjotan seluruh tubuh dan mata mendelik ke atas. Kejang ini merupakan
episode kejang pertama

- Tidak ada demam, mual muntah dan mencret.

- Tampak kuning sejak 1 bulan yang lalu sebelum masuk rumah sakit, kuning
tampak jelas di sekitar mata

- Anak telah dikenal menderita meningitis TB sejak bulan maret 2021 . anak

12
telah mendapatkan terapi dan rawatan sebelumnya di rumah sakit swasta
padang dan telah mendapat OAT 2 bulan dan melakukan prosedur vp-
shunt atas indikasi hidrosefalus.

- Pasien memiliki riwayat penurunan berat badan 10 kg dalam 2 bulan


terakhir, sebelumnya anak makan biasa

- Pasien sering mengalamai nyeri kepala hilang timbul sejak 2 tahun yang
lalu

- BAK berwarna kemerahan sejak minum OAT

- BAB warna dan konsistensi biasa

- Riwayat kontak dengan penderita batuk lama disangkal


- Riwayat trauma sebelumya disangkal
- Riwayat batuk lama tidak ada

Riwayat Penyakit Dahulu:


- Anak telah dikenal menderita meningitis TB dan hidrosefalus, anak diberikan
OAT dan telah melakukan pemasangan vp shunt pada bulan maret 2021

Riwayat Penyakit Keluarga:


- Tidak ada keluarga yang menderita penyakit yang sama

Riwayat Persalinan :
Anak pertama, lahir spontan ditolong oleh bidan dengan usia kehamilan 37-
38 minggu dengan berat 3.200 gram dan Panjang badan 50 cm. Saat lahir anak
menangis kuat.

Kesan: aterm, berat badan lahir cukup

Riwayat Nutrisi:
- Bayi : ASI : umur 0- 18 bulan
Buah biscuit : 6 bulan
Nasi tim : 6 bulan
Susu formula : tidak minum susu formula
- Anak : makanan utama : 2x sehari, menghabiskan 1 porsi
13
Daging : 0-1 x / minggu
Ikan : 1-2x/minggu
Telur : 6-7x/ minggu
Sayur : 2-3x/minggu
Buah : 1-2x/minggu

Riwayat Imunisasi:
• BCG : 1 bulan
• DPT : 2, 3, 4 bulan
• Polio : 2, 3, 4 bulan
• HiB : 2,3,4, bulan
• Hepatitis B : 0 hari, 2,3, 4 bulan
• Campak : 9 bulan
Kesan : Riwayat imunisasi dasar lengkap.

Riwayat Higiene dan Sanitasi Lingkungan:


✓ Rumah permanen
✓ Jamban di dalam rumah
✓ Pekarangan cukup luas
✓ Sumber air minum dari sumur
✓ Sampah dibakar atau dibuang ke tempat pembuangan sampah
Kesan : Higiene dan sanitasi lingkungan cukup baik.
Riwayat Tumbuh Kembang:
Tertawa : 1 bulan
Miring : 2,5 bulan
Tengkurap : 4 bulan
Duduk : 6 bulan
Berdiri : 9 bulan
Berjalan : 12 bulan
Berbicara : 13 bulan
Membaca : 6 Tahun
Kesan: Riwayat perkembangan dalam batas normal

14
Riwayat Keluarga
Ayah Ibu
Nama BD DS
Umur 46 36
Pendidikan SMA SMP
Pekerjaan Swasta Ibu Rumah Tangga
Penghasilan Rp.3.000.000/bulan Tidak ada
Perkawinan 1 1
Penyakit yang pernah Tidak ada Tidak ada
diderita

Saudara Kandung
1. B.J.P (laki-laki) / 12 tahun / sehat
2. C.A.S (perempuan)/6 bulan/ sehat

PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan Umum
Keadaan umum : Tampak sakit Anemis : Tidak ada
berat Ikterus : Tidak ada
Kesadaran : E4M6V1 Tinggi badan : 155 cm
Tekanan darah : 115/80 mmHg Berat Badan : 35 kg
Nadi : 90 x/menit BB/U : 63,6%
Napas : 22 x/menit TB/U : 95%
Suhu : 37,5oC BB/TB : 77,78%
Sianosis : Tidak Ada Kesan : Gizi kurang
Edema : Tidak Ada

Pemeriksaan Khusus:
Kulit : teraba hangat
KGB : tidak teraba pembesaran KGB
Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik,
Pupil isokor diameter 4 mm/4mm, refleks cahaya +/+ normal
Telinga : tidak ditemukan kelainan
Hidung : tidak ditemukan kelainan

15
Mulut : Mukosa mulut dan bibir basah

Tenggorok : tonsil T1-T1 tidak hiperemis, faring tidak hiperemis


Thorax
Paru:

Inspeksi : dinding dada kiri dan kanan simetris, retraksi tidak ada
Palpasi : fremitus simetris kanan = kiri
Perkusi : sonor
Auskultasi : suara nafas vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-
Jantung:
Inspeksi : iktus tidak terlihat
Palpasi : iktus teraba 1 jari medial LMCS RIC V
Perkusi : batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : bunyi jantung I-II regular, murmur tidak ada, gallop tidak ada
Abdomen:
Inspeksi : distensi tidak ada
Palpasi : Supel, hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : Timpani
Auskultasi : bising usus (+) normal
Punggung : tidak ditemukan kelainan
Genitalia : status pubertas A2M2P2
Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2 dtk

Pemeriksaan ransangan meningeal Pemeriksaan refleks patologis


Kaku kuduk (+) Gordon (-/-)
Brunzinski I (-) Chaddock(-/-)
Brunzinski II (-) Oppenheim (-/-)
Kerniq (+) Shofner (-/-)
Babinski (-/-)

Pemeriksaan refleks fisiologis


refleks biseps (+/+) refleks patella (+/+)
refleks triceps (+/+) refleks tendon archilles (+/+)

Pemeriksaan Penunjang
16
Pemeriksaan laboratorium
Darah rutin (8 juni 2021) Hitung jenis
Hemoglobin : 11,5 g/dl Basofil 0
Leukosit : 11,63 x 103/mm3 Eosinofil 2
Trombosit : 382 x 103/mm3 Neutrofil batang 1
Eritrosit : 4,42 x 106/ul Neutrofil segmen 80
Retikulosit : 0,81 Limfosit 10
Hematokrit : 33 g/dl Monosit 7
MCV : 75 fL
MCH : 26 pg
MCHC : 35 %

Kimia klinik ( 9 Juni 2021) Elektrolit (8 Juni 2021)


Total Protein : 5,7 g/dl Natrium : 142 mmol/L
Albumin : 4,0 g/dl Kalium : 3,2 mmol/L
Globulin : 92 g/dl
Bilirubin total : 5,7 mg/dL Klorida : 110 mmol/L
Bilirubin Direk : 4,0 mg/dL
Bilirubin Indirek : 92 mg/dL
SGOT : 69 U/L
SGPT : 77 U/L
Ureum darah : 13 mg/dL
Kreatinin darah : 0,4 mg/dL

Imunologi

Anti HAV IgM :0,0


Anti Hbc IgM : 0,0
HBsAg : Non reaktif
Anti HCV Rapid : Non reaktif

Kesan: Leukositosis dengan neutrofilia shift to the right


Bilirubin total,bilirubin direk dan bilirubin indirek meningkat
SGOT dan SGPT meningkat
17
Kalsium total menurun
Kalium menurun
Anti HAV IgM negative
Anti HBc IgM negative
HBsAg (rapid Test) non reaktif
Anti HCV Rapid : Non reaktif

Rotgen Thorax

Diagnosis Kerja

Meningitis TB

Hidrosefalus post VP shunting

Gizi Kurang

Tatalaksana

Terapi Nutrisi

MC 6 X 250CC
18
Terapi Medikamentosa

1. Oksigen nasal kanul 2L/menit

2. IVFD kaen IB 900 cc/hari + KCL 20 mEq/kolf

3. Dexametaxon loading 17,5 mg IV

4. Mannitol 0,5 gr/kg/8 jam

5. Fenobarbital 2 x 70 mg IV

6. INH 1 x 300mg

7. Rifampisin 1 x 450 mg

Rencana

1. BTA sputum

2. Lanjutkan Terapi

19
BAB 4
DISKUSI KASUS

Pasien perempuan usia 17 tahun dengan diagnosis meningitis TB. Diagnosa


ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
laboratorium. Pasien merupakan rujukan dari salah satu rumah sakit swasta Padang
dengan diagnosis meningitis TB dan telah dilakukan perawatan dan telah
mendapatkan terapi.

Pada anamnesa didapatkan keluhan utama pasien adalah kejang 1 hari


sebelum masuk rumah sakit. Kejang terjadi karena pelepasan muatan listrik yang
dipicu oleh paroxysmal depolarization shift (PDS) yang akan mempengaruhu sel
neuron lain untuk melepaskan muatan listrik sehingga terjadi hipereksitabilitas
neuron otak. Kejang merupakan salah satu manifestasi akibat infeksi SSP seperti
meningitis. Saat anamnesis orang tua menyangkal adanya riwayat kontak dengan
dengan penderita batuk lama ataupun yang menderita TB, namun pada pasien
mengalami penurunan berat badan, sehingga ini merupakan salah satu klinis dari
infeksi tuberculosis.

Dari pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran pasien somnolen dengan GCS


11 (E4M6V1). Pada pasien didapatkan status gizi kurang, hal ini merupakan factor
risiko infeksi pada pasien. Pada pemeriksaan neurologis ditemukan reflek fisiologis
menurun, reflek patologis negatif, dan tanda rangsangan meningeal berupa kaku
kuduk (+), bruzinski I (-), Bruznski II (-), kerniq (+). Kaku kuduk merupakan tanda
peradangan pada selaput otak (meningen) yang disebabkan oleh bahan – bahan
toksis bakteri. Peradangan selaput otak akan menimbulkan rangsangan pada saraf
sensoris, akibatnya terjadi refleks kontraksi otot – otot tertentu. Dari anamnesis dan
pemeriksaan fisik pada pasien ini mengarahkan diagnosis meningitis tuberkulosis.
Pada pasien mengalami kejang dan penurunan berat badan yang merupakan salah
satu gejala infeksi TB, dan pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda rangsangan
meningeal positif.

Pasien sebelumnya sudah diagnosis meningitis TB di salah satu rumah sakit


swasta di Padang. Untuk menegakkan diagnosa pasti dari meningitis tuberkulosis ini
kita harus melakukan lumbal punksi, temuan pada meningitis tuberkulosis

20
diantaranya yaitu warna jernih, jumlah sel MN lebih banyak dari PMN, protein
menignkat dan glukosa menurun. Lumbal pungsi merupakan gold standar dalam
menegakkan diagnosa meningitis, namun saat di anamnesis orang tua pasien tidak
mengetahui tekait pemeriksaan lumbal pungsi. Kemudian juga dapat dilakukan
pemeriksaan rontgen thorax untuk melihat kemungkinan adanya temuan yang
mengarah ke TB. Meningitis tuberkulosis diklasifikasikan menjadi tiga derajat oleh
British Medical Research Council. Meningitis tuberkulosis derajat 1 ditandai
dengan GCS 15 tanpa kelainan neurologis fokal, derajat 2 ditandai dengan GCS 15
dengan defisit neurologis fokal, atau GCS 11-14, dan derajat 3 ditandai dengan GCS
≤10. Dari hasil pemeriksaan GCS (11) makan pasien ini diklasifikasikan menjadi
meningitis tuberklosis derajat 3.
Pasien juga mengalami ikterik 1 bulan sebelum masuk rumah sakit dan setelah 1
bulan minum OAT. Pada pasien di duga mengalami drug induce hepatitis (DIH).
Drug induce hepatitis merupkan salah satu komplikasi dari OAT. OAT
dimetabolisme utama oleh hepar sehingga berpotensial hepatotoksik. DIH akan
meningkatkan total bilirubin 3 kali dari range normal. Pada pasien juga mengalami
gizi buruk dengan BMI 14,6 kg/m2, menurut penelitian BMI kurang dari 20kg/m2
atau kurang merupakan salah satu prediktor dari DIH TB.
Terapi pasien yang diberikan pada pasien diantaranya, Oksigen nasal kanul
2L/menit, IVFD kaen IB 900 cc/hari + KCL 20 mEq/kolf, Dexametaxon loading
17,5 mg IV , Mannitol 0,5 gr/kg/8 jam, Sibitol 2 x 70 mg IV. Anak sebelumnya
sudah mendapatkan terapi TB sesuai dengan tatalaksana pada meningitis
tuberculosis, yakni dengan pemberian 4 macam obat selama 2 bulan, dilanjutkan
dengan pemberian INH dan Rifampisin selama 10 bulan. Dosis obat
antituberkulosis adalah sebagai berikut; Isoniazid (INH) 10-20 mg/kgBB/hari, dosis
maksimal 300 mg/hari, Rifampisin 10-20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 600
mg/hari, Pirazinamid 15-30 mg/kgBB.hari, dosis maksimal 2000 mg/hari,
Etambutol 15-20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 1000 mg/hari atau streptomisin IM
-20 – 30 mg/kg/hari dengan maksimal 1 gram/hari. Dan sudah diminum selama 2
bulan. Pasien juga diberikan kortikosteroid dengan bertujuan untuk menurunkan
proses inflamasi dan edem pada serebri.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Etlik Ö, Evirgen Ö, Bay A, Yılmaz N, Temizöz O, Irmak H, et al. Radiologic and Clinical
Findings in Tuberculous Meningitis. Eur J Gen Med. 2004;1:19–24.

2. Sulistyowati T, Kusumaningrum D, Koendhori EB, Mertaniasih NM. Tuberculous


Meningitis: The Microbiological Laboratory Diagnosis and Its Drug Sensitivity Patterns.
J Respirasi. 2019;3:35.Ropper AH, Brown RH. Adam and Victor’s principles of neurology. 8th
ed. New York: McGraw-Hill; 2005
3. Ropper AH, Brown RH. Adam and Victor’s principles of neurology. 8th ed. New York:
McGraw-Hill; 2005
4. Ramachandrand TS. Medscape: Tuberculous Meningitis. 2017. Diakses pada 27 Januari
2018 dari https://emedicine.medscape.com/article/1166190

5. Kumar R, Singh SN, Kohli N. A diagnostic rule for tuberculous meningitis. Arch Dis
Child. 1999;81:221–4.

6. Prasad K, Singh MB, Ryan H. Corticosteroids for managing tuberculous meningitis


(review). Cochrane Database of Systematic Reviews, 2016.
7. Van Toorn R, Solomons R. Update on the diagnosis and management of
tuberculous meningitis in children. Semin Pediatr Neurol. 2014;21(1):12-18.
8. Marx GE, Chan ED. Tuberculous Meningitis: Diagnosis and Treatment Overview.
Tuberculosis Research Treatment. 2011;2011:1-9.

9. Byrd T, Zinser P. Tuberculosis Meningitis. Current Treatment Option in Neurologi.


2001. 3:427-432

10. IDAI, Pedoman Pelayanan Medis, Pujiadi, A. H. et al., eds., Ikatan Dokter Anak
Indonesia.2009.
11. Taslim S. Soetomengoolo, ismail sofyan. Buku Ajar Neurologi Anak. Jakarta:
IDAI;1999. 363–371 p.

22
23

Anda mungkin juga menyukai