Anda di halaman 1dari 42

Case Report Session

KOLESTASIS EKSTRAHEPATIK

Oleh :

Widia Febrina
1940312148

Preseptor :
dr. Iskandar Syarif Sp.A(K)

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya sehingga Case Report Session yang berjudul “ Kolestasis Ekstrahepatik “ ini
dapat diselesaikan. Makalah ini dibentuk untuk menambah wawasan dan pengetahuan
mengenai Kolestasis Ekstrahepatik, serta menjadi salah satu syarat dalam mengikuti
kepaniteraan klinik senior di bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Andalas.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan makalah ini, khususnya kepada dr. Iskandar Syarif Sp.A(K) sebagai preseptor
dan residen pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu, memberikan saran,
perbaikan dan bimbingan. Penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi semua
pembaca terutama dalam meningkatkan pemahaman tentang Kolestasis Ekstrahepatik.

Padang, 26 Mei 2021

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hiperbilirubinemia merupakan salah satu fenomena klinis yang paling sering menjadi

penyebab bayi cukup bulan dirawat kembali dalam minggu pertama, yaitu berjumlah sekitar

85% bayi cukup bulan. Hiperbilirubinemia menyebabkan bayi berwarna kuning yang timbul

akibat akumulasi pigmen bilirubin. Kuning akan tampak pada sklera dan kulit. Pada masa

transisi setelah lahir, hepar belum dapat berfungsi secara optimal, sehingga proses

glukoronidasi bilirubin tidak terjadi secara maksimal dan menyebabkan penumpukan

bilirubin tak terkonjugasi dalam darah. Hal ini umumnya normal, namun dapat juga

mengancam jiwa.1 Secara umum, kadar bilirubin tak terkonjugasi pada minggu pertama > 2

mg/dL. Pada bayi cukup bulan yang mendapat ASI, kadar bilirubin puncak berjumlah 7 – 14

mg/dL dan penurunan terjadi lebih lambat dari bayi cukup bulan yang mendapat susu formula

yaitu kadar puncak 6 – 8 mg/dL pada hari ke-3 kehidupan dan menurut cepat dalam 2 – 3

hari, dan menurun lambat 1 mg/dL selama 1 hingga 2 minggu.1

Ikterus secara klinis akan tampak pada bayi baru lahir jika kadar bilirubin darah

berjumlah 5 – 7 mg/dL. Namun, ikterus tidak timbul segera setelah lahir karena kemampuan

plasenta untuk membersihkan bilirubin dari sirkulasi janin, sehingga ikterus dalam keadaan

normal baru tampak saat bayi berusia 3 hari.2

Prolonged Neonatal Jaundice didefinisikan sebagai ikterus yang bertahan hingga

lebih dari 14 hari pada bayi cukup bulan. Secara etiologi, penting untuk dibedakan apakah

ikterus terkait dengan hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi (indirek) atau bilirubin

terkonjugasi (direk). Hiperbilirubinemia terkonjugasi atau disebut juga ikterik kolestasis tidak

pernah merupakan kejadian fisiologis.3 Ikterik kolestasis terjadi pada 1 diantara 2500 bayi

lahir hidup dan harus dicurigai pada semua bayi ikterik dengan keadaan feses yang pucat dan
urin yang berwarna gelap. Untuk menegakkan diagnosis dini kolestasis, bayi yang tetap

kuning setelah berumur 2 hingga 3 minggu harus segera dilakukan pemeriksaan kadar

bilirubin.3

1.2 Batasan Masalah

Case Report Session (CRS) ini membahas mengenai definisi, etiologi,

epidemiologi,patogenesis, gejala klinis, pemeriksaan, diagnosis, diagnosis banding, tata

laksana,komplikasi dan prognosis kolestasis ekstrahepatik.

1.3 Tujuan Penelitian

CRS ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman mengenai

kolestasis ekstrahepatik.

1.4 Metode Penulisan

Metode penulisan dari CRS ini berupa hasil pemeriksaan pasien, rekam medis pasien,

tinjauan kepustakaan yang mengacu pada berbagai literatur termasuk buku teks dan artikel

ilmiah.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Ikterus adalah deskolorasi kuning pada kulit, membran mukosa dan sklera akibat

peningkatan kadar bilirubin dalam darah. Pada neonatus, kuning tampak jika kadar bilirubin

> 5 mg/dL2. Ikterus non fisiologis adalah ikterus yang disertai keadaan seperti berikut1,

 Ikterus terjadi sebelum umur 24 jam

 Setiap peningkatan kadar bilirubin serum yang memerlukan fototerapi

 Peningkatan kadar bilirubin total serum > 0,5 mg/dL/jam

 Adanya tanda tanda penyakit yang mendasari pada setiap bayi (muntah, letargis,

malas menetek, penurunan berat badan yang cepat, takipnea atau suhu yang tidak

stabil)

 Ikterus bertahan setelah 8 hari pada bayi yang cukup bulan atau setelah 14 hari pada

bayi kurang bulan.

Salah satu penyebab ikterus non fisiologis adalah kolestasis neonatal. Kolestasis

neonatal didefinisikan sebagai hambatan aliran empedu dan bahan bahan yang harus

dieksresikan oleh hati sehingga menyebabkan peningkatan kadar bilirubin konjugasi serum

yang memanjang lebih dari 14 hari pertama kehidupan. Kolestasis neonatal dapat dibagi

menjadi kolestasis ekstrahepatik dan kolestasis intrahepatik.4,5

2.2 Epidemiologi

Ikterik kolestasis terjadi pada 1 dari 2500 bayi lahir hidup. Pada banyak keadaan yang

menyebabkan terjadinya kolestasis neonatal, penyebab tersering adalah atresia biliaris (25%-

35%), kelainan genetik (25%), kelainan metabolik (20%) dan Defisiensi


A1AT (10%). 6
Rasio terjadinya atresia bilier pada anak perempuan : anak laki – laki

adalah 2 : 1, dan rasio ini berbanding terbalik pada hepatitis neonatal. 5

2.3 Etiologi

Kolestasis pada bayi baru lahir dapat disebabkan oleh infeksi, penyakit genetik,

penyakit metabolik atau abnormalitas yang belum bisa didefinisikan sehingga

menyebabkan peningkatan obstruksi mekanis pada aliran empedu atau kerusakan

fungsional dari fungsi eksresi hepar dan eksresi empedu. Lesi mekanik meliputi striktur

atau obstruksi dari duktus bilaris komunis. Atresia biliaris adalah salah satu contoh

abnormalitas obstruktif. Kerusakan fungsional dari sekresi empedu dapat terjadi akibat

dari defek kongenital atau kerusakan sel hati atau kerusakan aparatus sektretoris bilier.4

Gambar 1. Pendekatan Etiologi Kolestasis4

Tabel 1. Etiologi Kolestasis berdasarkan angka kejadian7


Dua penyebab terbanyak kolestasis adalah atresia bilier dan infeksi yang disebabkan

oleh virus.7

2.3.1 Atresia Bilier

Atresia Bilier adalah obliterasi dari duktus hepatikum atau duktus biliaris komunis

pada sebuah titik dari porta hepatikum hingga duodenum dengan kerusakan duktus bilier

hepatikum yang masih berlangsung. Etiologi dari atresia bilier belum diketahui, namun

diduga karena alterasi dari remodelling lempeng duktus pada trimester pertama janin,

dapat berkaitan dengan infeksi virus, mekanisme imunologis atau alterasi dari sistem

vaskular.7

Pasien dengan atresia bilier biasanya datang dengan keluhan kuning pada minggu

kedua hingga keenam disertai buang air besar yang pucat.7

2.3.2 Infeksi Virus


Infeksi virus yang paling umum menyebabkan terjadinya kolestasis neonatal adalah

infeksi cytomegalovirus (CMV) yang dapat ditularkan dari ibu sebelum, saat dan sesudah

kehamilan. Transmisi virus dapat muncul saat infeksi primer pada kehamilan ataupun

berkaitan dengan reaktivasi saat kehamilan. Berbeda dengan orang dewasa, duktus biliaris

janin atau bayi baru lahir rentan terinfeksi oleh cytomegalovirus.7

2.4 Patofisiologi

2.4.1 Metabolisme Bilirubin

Bilirubin adalah produk akhir katabolisme protoporfirin besi atau heme, yang

sebanyak 75% berasal dari hemoglobin dan 25% dari heme di hepar (enzim sitokrom,

katalase dan heme bebas), mioglobin otot, serta eritropoiesis yang tidak efektif di

sumsum tulang.

2.4.1.1 Transportasi Bilirubin

Bilirubin terbentuk dari degradasi zat yang mengandung heme. Pembentukan bilirubin

dimulai dari memutuskan cincin tetrapirol protoheme (Protoporfirin IX) sehingga

terbentuk tetrapirol rantai lurus (biliverdin). Enzim yang terlibat adalah mikrosomal

heme-oksigenase, yang terdiri dari dua bentuk utama. Bentuk pertama terdapat di

hepar dan lien. Bentuk kedua terdapat di otak dan testis. 2

Heme-oksigenase menyebabkan reduksi besi profirin (Fe3+ menjadi Fe2+) dan

hidroksilasi karbon α-methine (yang dioksidasi dari cincin tetrapirol) menghasilkan

karbon monoksida yang berfungsi sebagai neurotransmiter. Besi yang dilepas tadi bisa

kembali digunakan oleh tubuh. Hasil akhir tetrapirol rantai lurus adalah biliverdin

Ixα.2
Pada bayi matur yang sehat, rata rata menghasilkan bilirubin sebanyak 6 – 8 mg/kgbb/

hari. Lebih banyak dibandingkan orang dewasa yang menghasilkan 4 – 6

mg/kgbb/hari. Hal ini disebabkan oleh jumlah eritrosit bayi yang lebih banyak, serta

umur eritrosit yang lebih pendek yaitu 90 hari, dibanding 120 hari untuk umur

eritrosit orang dewasa. 2

2.4.1.2 Pengambilan bilirubin oleh sel hati

Bilirubin tidak larut dalam air sehingga untuk transportasi bilirubin harus mengalami

biotransformasi. Transpor bilirubin menggunakan albumin, dimana produksi albumin

pada bayi yaitu 3 – 3,5 gr/dL. 1 molekul albumin akan mengikat 1 bilirubin. Pada bayi,

afinitas albumin lebih berkurang dibandingkan pada orang dewasa sehingga bilirubin

yang bebas akan masuk ke otak dan dapat merusak saraf.2

Bilirubin yang terikat albumin dengan mudah mengalir dari plasma ke dalam space of

Disse diantara endotelium dan hepatosit. Celah-celah pada endotelium memungkinkan

kontak langsung dengan membran plasma hepatosit. Pertama, bilirubin dipisahkan

dari albumin yang mengikatnya dan memasuki hepatosit melalui membran reseptor

karier sehingga lebih mudah memasuki hepatosit. Di dalam hepatosit, bilirubin terikat

glutation S-Transferase (GST) yang dikenal sebagai ligandin atau protein Y. GST

merupakan kelompok protein yang mempunyai fungsi baik sebagai enzim, maupun

sebagai intracellular binding protein, misalnya untuk bilirubin.2

2.4.1.3 Konjugasi

Di dalam hepatosit, bilirubin berkonjugasi dengan asam glukuronat. Proses

ini terjadi di dalam retikulum endoplasma (mikrosom). Sebagai donor asam

glukuronat adalah uridine diphosphate glucuronic acid (UDP-GA). Hasil

konjugasinya dalah ester dengan atau tanpa rantai samping asam propionat pada
cincin B dan C pirol bilirubin. Enzim yang bertanggung jawab untuk esterifikasi ini

ialah bilirubin uridine diphosphate glucuronasyltransferase (BUGT).2

2.4.1.4 Sekresi Bilirubin Terkonjugasi

Bilirubin dieksresikan melalui membran kanalikuli ke dalam empedu. Ikterik dapat

terjadi karena2

 Pembentukan bilirubin yang meningkat

 Defek pengambilan bilirubin oleh hati

 Defek konjugasi bilirubin

 Penurunan eksresi bilirubin

 Campuran misalnya pembentukan bilirubin yang meningkat, disertai

penurunan eksresi bilirubin.

2.4.1.5 Sirkulasi Enterohepatik

Jika bilirubin terkonjugasi memasuki lumen usus, ada beberapa kemungkinan

terjadinya metabolisme lebih lanjut. Pada orang dewasa, flora normal akan

menghidrogenasi karbon ikatan rangkap dalam bilirubin untuk menghasilkan

urobilinogen. Oksidasi atom karbon tengah menghasilkan urobilin. Karena adanya

sejumlah besar ikatan tak jenuh di dalam bilirubin, maka ada banyak bentuk reduksi-

oksidasi dari ikatan-ikatan ini. Keluarga besar reduksi oksidasi ini dikenal sebagai

urobilinoid, diekskresikan ke dalam feses. Bakteri yang paling penting dalam

memproduksi urobilinoid ialah Clostridium ramosum yang bekerja sama dengan

Escherichia coli. Konversi bilirubin terkonjugasi menjadi urobilinoid penting untuk

menghalangi absorpsi bilirubin di intestinal yang dikenal dengan sirkulasi

enterohepatik. Pada neonatus hanya terdapat sedikit flora intestinal, sehingga lebih

banyak mengabsorpsi bilirubin dari intestinum.2


Gambar 2. Metabolisme Bilirubin1

Pada sebagian besar anak dengan penyakit kolestasis didapatkan gejala klinis ikterik,

buang air besar berwarna pucat, urin berwarna pekat dan hepatomegali. Pada atresia bilier,

bayi mungkin tidak mengalami ikterik dari lahir namun perlahan menjadi ikterik dalam

minggu pertama kehidupan. Menurut Japanese Billiary Atresia Registry, 40% bayi telah

mengeluarkan mekonium saat lahir dan buang air besar berwarna kuning tampak

setelahnya, pada 60% kasus. Meskipun pada bayi dengan obstruksi bilier komplit, feses

akholik terlihat lebih pucat disebabkan karena sekresi enterik dan sekresi mukosa dari

pigmen bilirubin.8
Selama patologi berlanjut, fibrosis bilier akan berkembang menjadi sirosis dan bayi

akan mengalami splenomegali dan asites sekunder akibat hipertensi portal. Peningkatan

tekanan intrabdominal berkontribusi pada buruknya intake usus. Pengurangan eksresi

empedu menyebabkan kurangnya absorbsi nutrisi dan vitamin larut lemak yaitu Vitamin A,

Vitamin D, Vitamin E dan Vitamin K. Kekurangan vitamin A dapat berakibat kepada

rabun senja. Defisiensi vitamin D akan mengakibatkan osteopenia atau riketsia. Vitamin E

yang berkurang akan berlanjut pada hiporefleksia, ataksia serebri dan neuropati perifer.

Berkurangnya vitamin K berujung pada koagulopati.8 Koagulopati juga dapat disebabkan

karena gagal hati yang mengindikasikan kelainan metabolik hepar yang berat atau telah

terjadinya sirosis dan penyakit hepar stadium akhir.6

2.5 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis yang sering ditemukan pada bayi dengan kolestasis adalah iktrerik

yang bertahan lebih dari normal, sklera ikterik, feses akholik, urin kuning pekat dan

hepatomegali. Beberapa bayi dapat mengalami koagulopati akibat kekurangan vitamin K

dan memiliki gejala klinis perdarahan atau lebam atau memar. 6

Pasien dengan kolestasis berat dapat menderita pruritus atau menunjukkan gejala

ensefalopati hepatikum. Namun hal ini sulit dibedakan karena gejalanya kurang spesifik

yaitu gangguan tidur dan susah makan yang overlapping dengan gejala sepsis yang

merupakan salah satu penyebab umum kolestasis.9

2.6 Diagnosis

2.6.1 Anamnesis

Pada bayi yang datang dengan keluhan ikterik yang memanjang melebihi normal

perlu ditanyakan riwayat prenatal dan kehidupan bayi meliputi skrining neonatal dan

riwayat obat – obatan meliputi pemberian suplementasi vitamin K. Detil pemberian


makan juga harus ditanyakan, sekaligus menanyakan kapan pertama kali bayi buang

air besar karena keterlambatan pasase mekonium dapat terjadi pada pasien dengan

fibrosis kistik.10

Tabel 2. Parameter Anamnesis Kolestasis Bayi10

2.6.2 Pemeriksaan Fisik

Tabel 3. Temuan pada Pemeriksaan Fisik Bayi Kolestasis10

2.6.3 Pemeriksaan Penunjang

Tabel 4. Anjuran Pemeriksaan Penunjang pada Bayi Kolestasis11


Pada pemeriksaan laboratorium, perlu dibedakan apakah bayi mengalami kolestasis

atau tidak, sebab pada bayi dengan gejala klinis kuning setelah 14 hari dapat juga

disebabkan oleh breastmilk jaundice. Pemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaan

kadar bilirubin total dan bilirubin direk. Bayi dikatakan kolestasis apabila kadar bilirubin

direk lebih dari 20% kadar bilirubin total dan kadar bilirubin indirek lebih dari 1 gr/dL.12

Pemeriksaan feses bayi dalam 3 periode penting untuk melihat warna feses. Dokter

dapat meminta orangtua bayi untuk mengumpulkan feses bayi selama sehari dalam 3

periode masing – masing 8 jam. Feses yang berasal dari 3 waktu yang berbeda disebut

tinja 3 porsi. Pada pasien dengan atresia bilier hasil pengumpulan tinja 3 porsi pada

umumnya seluruhnya akan berwarna putih pucat (dempul).12

Kadar bilirubin direk serum pada saat bayi datang pada umumnya berkisar 3 – 12

mg/dL, aminotransferase abnormal dan kadar ALT (SGOT) dan AST (SGPT) berkisar

antara 80 – 200 IU/L. Gamma-glutamyl transpeptidase (GGT) seringkali meningkat,


berkisar 100-300 IU/L. Secara umum, nilai batas GGT > 250 U/L mempunyai sensitivitas

83,3% dan spesifisitas 70,6% untuk diagnosis atresia bilier. Apabila mempertimbangkan

usia, pada usia <4 minggu, nilai batas 150 U/L memiliki sensitivitas 91,7% dan spesifisitas

88% untuk atresia bilier. Kadar kolesterol umumnya meningkat pada atresia bilier tetapi

trigliserida normal. Kadar albumin dan waktu protrombin pada umumnya masih normal

pada awal penyakit, tetapi abnormal pada keadaan lanjut. 12

Pemeriksaan ultrasonografi hati pada saat puasa (lebih baik bayi dipuasakan 12 jam

jika dicurigai atresia bilier, tetapi bayi perlu mendapatkan cairan intravena) pada atresia

bilier akan menunjukkan gambaran kandung empedu yang kecil atau tidak terlihat. Pada

saat diberi minum, pada ultrasonografi tidak tampak kontraksi kandung empedu (ukuran

kandung empedu sama dengan saat puasa), Selain itu hilus hati tampak gambaran

hiperekoik (tanda triangular cord) atau tampak kista di hilus hati.12

2.7 Diagnosis Banding

Diagnosis banding dari kolestasis ekstrahepatik adalah,

1. Kolestasis Intrahepatal/ Sindrom Hepatitis Neonatal

Sindrom klinik yang timbul akibat hambatan sekresi dan/atau aliran empedu yang

terjadi di dalam hati. Pada bayi biasanya terjadi pada 3 bulan pertama kehidupan.13

Onset timbulnya ikterik dapat membedakan kolestasis ekstrahepatik dan

intrahepatik. Pada kolestasis intrahepatik, onset ikterik timbul sebelum berumur

15 hari. Namun, akurasi metode ini masih rendah. Feses berwarna seperti dempul

yang persisten memiliki sensitifitas yang tinggi ke arah kolestasis ekstrahepatik

karena atresia bilier.14

Pada pemeriksaan ultrasonografi, kolestasis ekstrahepatik karena atresia bilier

akan memberikan gambaran adanya dilataso duktus intrahepatikum yang

disebabkan oleh obstruksi distal, sedangkan pada kolestasis intrahepatik


didapatkan gambaran duktus komunis dan atau kandung empedu yang normal.

Biopsi hati merupakan modalitas paling akurat untuk membedakan kedua penyakit

ini. 14

2. Sindrom Allagile

Sindrom Allagile merupakan kelainan dengan kolestasis intahepatik dan

terjadi 1 dari 30.000 kelahiran hidup. Kriteria diagnosis sindrom Allagile meliputi

ductopenia pada biopsi hepar, wajah Allagile (dahi lebar, dagu kecil), kelainan

jantung, kelainan ginjal, butterfly vertebrae, posterior embrotoxon,

hiperbilirubinemia dan feses dempul.10

2.8 Tatalaksana

Portoenterostomi Hepatikum atau disebut juga Prosedur Kasai merupakan pilihan

operasi pertama untuk pasien kolestasis ekstrahepatik et causa atresia bilier. Pada prosedur

kasai, duktus bilier ekstrahepatik dipotong dan dibuang, identifikasi dan pemeliharaan

duktulus bilier mikroskopis pada porta hepatikum akan memberikan drainase bilier

hepatikum. Faktor terpenting yang mempengaruhi prognosis dari prosedur Kasai adalah

umur pasien. Drainase empedu inisial dicapai 80% pada bayi berumur kurang dari 8

minggu saat dioperasi, namun hanya tercapai 20% jika operasi ditunda hingga umur bayi

lebih dari 12 minggu.11


Gambar 3. Operasi Kasai-I (A), Kasai-II (B), Suruga (C), Sawaguchi (D).
L= Liver, S = Stomatch, W = Abdominal wall, J= Jejunum.11

Tatalaksana Medis pada kolestasis intrahepatik adalah

 Terapi Non Farmokologi

Kolestasis dapat berujung pada gangguan pencernaan dan penyerapan lemak

diakibatkan oleh pengurangan sekresi garam empedu. Trigliserida rantai

menengah (MCT) diserap lebih baik pada bayi kolestasis dibandingkan

dengan trigliserida rantai panjang (LCT) karena MCT lebih larut air dan

penyerapannya tidak memerlukan garam empedu. Pada bayi yang menyusu,

harus diberikan suplemen MCT. Suplementasi vitamin larut lemak yaitu

vitamin A,D,E,K harus diberikan karena kerusakan penyerapan vitamin ini


pada kolestasis. Kadar vitamin D dan E dalam plasma harus diawasi untuk

memastikan dosis yang tepat. Dosis vitamin yaitu A sebanyak 5000 – 25000

U/hari, Vitamin D3 (Calcitriol) 0,05 – 0,2 ug/kgbb/hari, dosis vitamin E

sebanyak 25 – 50 IU/kgbb/hari serta vitamin K sebesar 2,5 – 5 mg/2-

7x/minggu.13 Bayi bisa saja memerlukan suplemen kalsium, fosfat dan zink.11

Pemberian makanan melalui nasogastric tube atau nasoenterostomy secara

kontinu bisa bermanfaat pada bayi dengan kolestasis untuk suplementasi

intake kalori.11 Kebutuhan kalori umumnya dapat mencapai 125% kebutuhan

bayi normal sesuai dengan berat badan ideal. Kebutuhan protein : 2 – 3

gr/kgbb/hari. 13

Jika terdapat asites dan gagal hati, diet rendah garam (1 hingga 2

mEq/kgbb/hari) harus segera dimulai. Jika diperlukan, pemberian diuretik

seperti furosemid harus segera dilakukan.11

 Terapi Farmakologi

1. Asam Ursodeoxycholic

Ursodeoxycholic acid (UDCA) adalah asam empedu hidrofilik yang


terdapat dalam jumlah sedikit di tubuh manusia. Pada obstruksi bilier
kronik, asam empedu yang bersifat hepatotoksik dan merusak, akan
terakumulasi dalam hepar dan sirkulasi sistemik. Mekanisme dari UDCA
adalah sebagai pengganti asam empedu toksik di sistem enterohepatik dan
sirkulasi sistemik. UDCA juga memiliki efek sitoprotektif terhadap hepar
melalui mekanisme penghambat kerusakan hepatosit yang diinduksi oleh
asam empedu. Pemberian UDCA pada anak paska prosedur Kasai akan
berdampak pada peningkatan aliran empedu sekaligus meningkatkan
fungsi hati sehingga memfasilitasi perkembangan bayi.11
Dosis : 10 – 20 mg/kgbb/hari terbagi dalam dua dosis.13
2. Fenobarbital
Dapat mengurangi kuning. Mekanisme kerjanya adalah meningkatkan
aliran empedu dengan cara menginduksi enzim UDP-glukuronil
transferase, sitokrom P-450 dan Na+K+ATP-ase. Namun, jarang dipakai
pada bayi karena efek sedasi dan menganggu metabolisme vitamin D.
Dosis : 3 – 10 mg/kgbb/hari dibagi dalam dua dosis.
3. Kolestiramin
Kolestiramin dapat mengikat asam empedu di lumen usus sehingga dapat
menghalangi sirkulasi enterohepatik asam empedu serta meningkatkan
eksresinya. Selain itu, kolestiramin dapat menurunkan umpan balik negatif
ke hati, memacu konversi kolesterol menjadi bile acid like cholic acid
yang berperan sebagai koleretik. Kolestiramin biasanya digunakan pada
manajemen jangka panjang kolestasis intrahepatal dan
hiperkolesterolemia.13
Dosis : 0,25 – 0,5 gram/ kgbb/ hari. Efek samping : Konstipasi, steatorrhea
dan asidosis metabolik hiperkloremik.13

2.9 Komplikasi

Hepatoit adalah sel utama yang bertanggung jawab untuk sintesis dan transportasi

asam empedu. Hepatosit menjadi rusak bila terjadi retensi asam empedu. Asam empedu

bila tertahan dalam hepatosit mengakibatkan terjadinya perubahan komposisi dan fungsi

membran, gangguan organel subseluler dan perubahan luas pada jalur pensinyalan sel dan

ekspresi gen. Retensi asam empedu yang lama di dalam hati mengakibatkan aktivasi sel

Kuffer dan sel stelata yang meningkatkan ekspresi sitokin dan perkembangan fibrosis.

Hepatosit mengalami respon adaptif dalam menghadapi kolestasis, misalnya dengan

mengurangi impor dan sintesis sinusoidal serta meningkatkan aktivitas kanalikuli pada

hati.15

2.10 Prognosis

5-year survival rates paska prosedur Kasai adalah 30% hingga 60%, dengan adanya

bukti penyakit hepar yang masih berlangsung dalam proporsi yang besar. Pembentukan

kembali aliran empedu bukan berarti sembuh. Keuntungan prosedur Kasai adalah
pengurangan oklusi duktus bilier ekstrahepatikum yang merupakan hasil dari komponen

ekstrahepatik akibat proses inflamasi dasar.

Proses sklerosis inflamasi intrahepatik masih berlanjut dalam kecepatan yang

bervariasi paska operasi. Lebih dari setengah pasien dengan operasi yang sukses memiliki

fungsi hati yang kurang sempurna. Banyak pasien akan tetap memiliki kolestasis dan

menderita sirosis bilier sekunder, hipertensi portal dan keterlambatan pertumbuhan dan

perkembangan. Tatalaksana dengan Ursodeoxycholic acid (UDCA) setelah operasi Kasai

dapat meningkatkan prognosis dan meningkatkan kemungkinan anak menjalani

transplantasi hepar. Rasio Jaundice-free long-term bervariasi dari 25% hingga 37%.11
BAB III

LAPORAN KASUS

Identitas Pasien

 Nama : ANT

 Umur : 8 Bulan 9 hari

 Tanggal lahir : 22 Juli 2020

 Jenis kelamin : Perempuan

 No MR : 01.08.57.88

 Nama ayah / ibu : Tn. N / Ny. YR

 Alamat : Jalan Marasi, Aia Pacah, Padang

 Tanggal masuk : 16 April 2021

Anamnesis

Keluhan Utama

Bertambah kuning sejak ± 2 bulan sebelum masuk rumah sakit

Riwayat Penyakit Sekarang

 Semakin kuning sejak 2 bulan

 Anak kuning sejak lahir, bertambah kuning sejak 2 bulan ini

 Demam hilang timbul sejak 1 minggu, tidak tinggi, tidak menggigil, tidak berkeringat,

tidak ada kejang

 Perut semakin membesar sejak 2 bulan ini

 Tidak ada batuk dan pilek

 BAK berwarna teh sejak 2 bulan ini dengan frekuensi biasa

 BAB terkadang berwarna coklat, terkadang berwarna dempul sejak 2 bulan ini
Riwayat Penyakit Dahulu

 Anak kuning sejak lahir dan merintih saat lahir serta memakai alat bantu nafas CPAP,

dirawat selama 14 hari di NICU.

Riwayat Penyakit Keluarga

 Tidak ada keluarga yang mengeluhkan hal serupa

Riwayat Persalinan

 Lama hamil : 32 minggu

 Cara Lahir : SC dengan indikasi Impending Eklampsia

 Ditolong ole : dr. SpOG

 Berat lahir : 1600 gr

 Panjang Lahir : 43 cm

 Saat lahir : bayi merintih

 Kesan : Riwayat persalinan SC, kurang bulan, dan bayi merintih saat lahir

Riwayat Makanan dan Minuman

 Bayi

o Asi : 0 bulan

o Susu Formula : 15 hari

o Buah biskuit : 7 bulan

o Bubur susu : 6 bulan

o Nasi Tim : 7 bulan

 Kesan : Bayi tidak ASI ekslusif


Riwayat Imunisasi

Imunisasi Dasar (Umur) Booster (Umur)

BCG - -

DPT 1 -

2 - ---

3 -

Polio 1 -

2 - ---

3 -

Hepatitis B 1 -

2 - ---

3 -

Haemofilus influenza B
-
1
- ---
2

-
3

Campak - -

Kesan : Imunisasi dasar menurut usia tidak lengkap (belum ada imunisasi sejak lahir)
Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan

Riwayat Umur Riwayat Gangguan Umur

Pertumbuhan dan Perkembangan Mental

Perkembangan

Ketawa 3 bulan Isap jempol -

Miring - Gigit kuku -

Tengkurap 8 bulan Sering mimpi -

Duduk - Mengompol -

Merangkak - Aktif sekali -

Berdiri - Apatik -

Lari - Membangkang -

Gigi pertama - Ketakutan -

Bicara - Pergaulan jelek -

Membaca - Kesukaran belajar -

Prestasi di sekolah -

Kesan : tumbuh kembang terlambat


Riwayat Keluarga

Ayah Ibu

Nama Tn N Ny. YR

Umur 30 tahun 29 tahun

Pendidikan SMA SMA

Pekerjaan Wiraswasta Ibu rumah tangga

Penghasilan Rp. 4.000.000 -

Perkawinan Pertama Pertama

Penyakit yang pernah Tidak ada Tidak ada

Diderita

Saudara kandung tidak ada

Riwayat Perumahan dan Lingkungan

 Rumah tempat tinggal : Rumah Permanen, ventilasi cukup

 Sumber air minum : Air Galon

 Buang air besar : Jamban di dalam rumah, pembuangan ke septic tank

 Sampah : Di bakar di belakang rumah

Kesan : higiene dan sanitasi lingkungan baik


Pemeriksaan Fisik

Umum

Keadaan umum : Sakit sedang

Kesadaran : Sadar

Tekanan darah : 100/70 mmHg

Frekuensi nadi : 90 x/menit

Frekuensi napas : 42 x/menit

Suhu : 37,1°C

Edema : Tidak ada

Ikterus : Ada

Anemia Ada

Sianosis : tidak ada

Berat badan : 7400 gram

Panjang badan : 64 cm

BB/U : -2 SD s/d + 2 SD

PB/U : -3 SD s/d - 2 SD

BB/TB : -2 SD s/d + 2 SD

Status gizi : Status gizi baik


Khusus

 Kulit : Tampak ikterik, teraba hangat, Perdarahan kulit tidak ada

 Kelenjar getah bening : Tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening

 Kepala : bulat, simetris, Lingkar kepala 42 cm

 Rambut : Hitam, tidak mudah dicabut

 Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (+/+),

 Telinga : tidak ada kelainan

 Hidung : Nafas cuping hidung tidak ada, sekret tidak ada

 Tenggorok : Faring tidak hiperemis, tonsil T1-T1 tidak hiperemis

 Gigi dan mulut: mukosa mulut dan bibir basah

 Toraks

o Paru

 Inspeksi : normochest, retraksi (-)

 Palpasi : fremitus kanan=kiri

 Perkusi : sonor

 Auskultasi : suara napas bronkovesikuler, ronki(-/-), Wheezing (-/-)

o Jantung

 Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat

 Palpasi : Iktus kordis teraba di LMCS RIC V

 Perkusi : tidak dilakukan

 Auskultasi : irama reguler, bising tidak ada

 Abdomen

 Inspeksi : distensi (-)

 Palpasi : lingkar perut 48 cm, hepar dan lien sukar dinilai, hernia umbilikalis

 Perkusi: Shifting dullness (+)


 Auskultasi : Bising usus (+) normal

 Punggung : tidak ada kelainan

 Genitalia : A1M1P1

 Anggota gerak : Akral hangat, CRT <2 detik

Pemeriksaan Laboratorium

Hematologi (16/4/2021)

 Hb : 6,0 g/dL (N 10,6-16,4)

 Leukosit : 19,14 x 103 / mm3 (N 6,0-18,0)

 Trombosit : 101 x 103 /mm3 (N 150-450)

 Hematokrit : 21% (N 35,0-51,0)

 Eritrosit : 3,04 x 106 /ul (N 3,40-5,00)

 Retikulosit : 5,94 % (N 0,8-2,8)

 Hitung Jenis : 0 / 0 / 2 / 29 / 61 / 8 (N 0-2/1-4/0,0-5,0/20,0-40,0/42- 72/2-11)

 MCV : 70 fL ,MCH 20 pg, MCHC : 28%

Gambaran darah tepi

 Eritrosit : Mikrositik hipokrom, polikrom fragmentosit (+), eritrosit

berinti 2/100 leukosit

 Leukosit : Jumlah meningkat, distribusi normal

 Trombosit : Jumlah kurang, morfologi normal

 Kesan : Anemia mikrositik hipokrom, retikulosis, leukositosis

Hemostastasis (22/1/2021)

 APTT : 42,7 detik (N 22,4-29,8)

 APTT Kontrol : 27,7 detik


 PT : 22,2 detik (N 9,1-12,3)

 INR : 2,21 detik (N < 1,2)

 PT Kontrol : 11,3 detik

Kesan : PT san APTT melebihi nilai rujukan, INR meningkat

Kimia Klinik (16/4/2021)

 Total protein : 5,0 g/dL (N 6,6-8,7)

 Albumin : 2,7 g/dL (N 3,8-5,0)

 Globulin : 2,3 g/dL (N 1,3-2,7)

 Bilirubin total : 21,8 mg/dL (N 0,3-1,0)

 Bilirubin direk : 15 mg/dL (N <0,20)

 Bilirubin indirek : 6,8 mg/dL (N <0,60)

 SGOT : 956 u/l (N <32)

 SGPT : 27 u/l (N <31)

 Kalsium : 9,3 mg/dL (N 8,1-10,4)

 Ureum darah : 19 mg/dL (N 10-50)

 Kreatinin darah : 0,2 mg/dL (N 0,6-1,2)

 Gula darah sewaktu : 128 mg/dL (N 50-200)

Kesan : Total protein dan alnumin menurun, hperbilirubinemia

, alkali posfatase meningkat, SGOT dan SGPT meningkat, kalsium total menurun, natrium

menurun
Urinalisa

Urin lengkap

Makroskopis

 Warna : kuning

 Kekeruhan : positif

 BJ : 1.015

 pH : 5.0

Mikroskopis

 Leukosit : 5-6/LPB

 Eritrosit : 3-4/LPB

 Silinder : Negatif

 Kristal : Negatif

 Epitel : Positif

Kimia

 Protein : Positif (+)

 Glukosa : Negatif

 Bilirubin : Positif (+2)

 Urobilinogen : Positif

Daftar Masalah

 Kolestasis

 Anemia

 Asites

 Hipokalsemi
Diagnosis kerja dan diagnosis banding

 Kolestasis ekstrehepatal ec suspek atresia bilier DD/ kolestasis intrahepatal

 Anemia Mikrositik normokrom ec suspek anemia hemolitik DD/ anemia defisiensi

besi

 Hernia inguinalis dan hernia umbilikal

Penatalaksanaan

 Transfusi PRC 50 cc, 75cc

 Transfusi FFP 3x75 cc

 Injeksi Vit K 1 x 5 mg IV

 Urdafalk 3x50 mg

 Vit A 1 x 5000 IU

 Vit D 1 x 800 IU

 Vit E 1 x 200 IU

 Vit K 1 x 2,5 mg IV

Rencana Pemeriksaan

 Periksa SI, TIBC, Feritin

 Feses 3 porsi

 Feses rutin

 USG Abdomen 2 fase

 Penelusuran TORCH

 Periksa FT4, TSH


Hasil pemeriksaan

 Score Tohoku
 Serum TORCH ibu pasien
 Hasil biopsi hepar
Follow Up

Hari ke -38, 24 Mei 2021

Subjektif Anak masih nampak kuning, demam tidak ada, sesak tidak ada, batuk

tidak ada, kejang tidak ada BAB kuning kecoklatan, BAK kuning,

intake masuk toleransi baik

Objektif KU Kesadaran TD HR RR T

Sakit Sadar 100/60 108x/menit 60x/menit 36,4

sedang

Kulit : Ikterik seluruh tubuh

Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera ikterik

Thorax : Retraksi (-) epigastrium

SN bronkovesikuler, Rhonki -/-, wheezing -/-

Irama jantung teratur, bising jantung tidak ada

Abdomen : Distensi (-) Asites, Hepar dan Lien sukar dinilai

Bising usus (+) Normal

Ekstremitas : CRT < 2 detik, akral hangat

Assesment Kolestasis Ekstrahepatal ec suspek atresia bilier dd/ kolestasis

intrahepatal Anemia hemolituk dd/ ADB

Hernia inguinalis dan hernia umbilikalis

Planning Cek TTV

Periksa lingkar perut dan lingkar lengan serta timbang BB


Hari ke -39, 25 Mei 2021

Subjektif Anak masih nampak kuning, muntah 1 kali dengan volume lebih dari

50 cc, mual ada, demam tidak ada, sesak tidak ada, batuk tidak ada,

kejang tidak ada BAB kuning kecoklatan, BAK kuning, intake masuk

toleransi baik

Objektif KU Kesadaran TD HR RR T

Sakit Sadar 100/70 88x/menit 65x/menit 36,9

sedang

Kulit : Ikterik seluruh tubuh

Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera ikterik

Thorax : Retraksi (-) epigastrium

SN bronkovesikuler, Rhonki -/-, wheezing -/-

Irama jantung teratur, bising jantung tidak ada

Abdomen : Distensi (-) Asites, Hepar dan Lien sukar dinilai

Bising usus (+) Normal

Ekstremitas : CRT < 2 detik, akral hangat

Assesment Kolestasis Ekstrahepatal ec suspek atresia bilier dd/ kolestasis

intrahepatal Anemia hemolituk dd/ ADB

Hernia inguinalis dan hernia umbilikalis

Planning Cek TTV

Periksa lingkar perut dan lingkar lengan serta timbang BB


Hari ke -41, 27 Mei 2021

Subjektif Anak masih nampak kuning, muntah 1 kali dengan volume 100 cc,

mual ada, demam ada, sesak tidak ada, batuk tidak ada, kejang tidak

ada BAB kuning kecoklatan, BAK kuning, intake masuk toleransi

baik

Objektif KU Kesadaran TD HR RR T

Sakit Sadar 100/60 108x/menit 56x/menit 37,4

sedang

Kulit : Ikterik seluruh tubuh

Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera ikterik

Thorax : Retraksi (-) epigastrium

SN bronkovesikuler, Rhonki -/-, wheezing -/-

Irama jantung teratur, bising jantung tidak ada

Abdomen : Distensi (-) Asites, Hepar dan Lien sukar dinilai

Bising usus (+) Normal

Ekstremitas : CRT < 2 detik, akral hangat

Assesment Kolestasis Ekstrahepatal ec suspek atresia bilier dd/ kolestasis

intrahepatal Anemia hemolituk dd/ ADB

Hernia inguinalis dan hernia umbilikalis

Planning Cek TTV

Periksa lingkar perut dan lingkar lengan serta timbang BB


BAB IV

DISKUSI

Seorang bayi perempuan, ATN, berusia 8 bulan 9 hari dibawa oleh keluarga ke RSUP dr.

M. Djamil dengan keluhan utama tampak semakin kuning sejak 2 bulan sebelum masuk

rumah sakit. Anak kuning sejak lahir, bertambah kuning sejak 2 bulan ini. Demam hilang

timbul sejak 1 minggu, tidak tinggi, tidak menggigil, tidak berkeringat, tidak ada kejanng

Perut semakin membesar sejak 2 bulan ini. Tidak ada batuk dan pilek. BAK berwarna teh

sejak 2 bulan ini dengan frekuensi biasa. BAB terkadang berwarna coklat, terkadang

berwarna dempul sejak 2 bulan ini.

Kuning pada neonatus, normal timbul saat usia 3 hari dan bertahan setelah 8 hari pada

bayi cukup bulan.1 Pada pasien, kuning sudah terlihat sejak lahir sehingga termasuk kedalam

ikterus non fisiologis. Pada bayi yang memiliki ikterus non fisiologis harus dibedakan

menurut peningkatan bilirubin, apakah terjadi peningkatan bilirubin tidak terkonjugasi

(bilirubin indirek) dan bilirubin terkonjugasi (bilirubin direk).3 Peningkatan bilirubin direk,

disertai dengan BAB pucat seperti dempul dan BAK berwarna kuning pekat, merupakan

manifestasi klinis dari kolestasis. Penyebab tersering kolestasis adalah5

 Kolestasis ekstrahepatik : atresia bilier, kista duktus koledokus, paucity kandung

empedu, neonatal sclerosing cholangitis, inspissated bile syndrome, batu kandung

empedu, kistik fibrosis dan Caroli disease

 Kolestasis intrahepatik : infeksi virus, gangguan metabolik, kelainan endokrin, bahan

toksik dan kelainan sistemik.

Pada pasien terdapat demam, dan ada ditemukan tanda – tanda infeksi sistemik seperti

leukositosis, selain itu hasil dari pemeriksaan serum pada ibu didapatkan Citomegallo Virus

IgG reaktif. Sehingga selain dicurigai kolestasis ekstrahepatal, pasien juga dicurigai

kolestasis intrahepatal. Penyebab tersering kolestasis ekstrahepatal adalah atresia bilier5.


Sedangkan pasien yang mengalami kolestasis intrahepatal sering disebabkan karena adanya

infeksi. Pada umumnya bayi dengan atresia bilier lahir cukup bulan, berat badan normal

(dimana pada bayi dengan kolestasis intrahepatik lebih sering lahir dengan berat lahir

rendah), bertumbuh baik dan tampak sehat pada beberapa bulan pertama kehidupan. Pada

keadaan lanjut dapat ditemukan asites dimana ditemukan pada pasien, sehingga diagnosis

kerja pada pasien ini adalah kolestasis ekstrahepatal et causa suspek atresia bilier dengan

diagnosis banding kolestasis ekstrahepatal et causa suspek stenosis bilier.

Pada pasien diberikan Transfusi PRC 50 cc, 75cc, Transfusi FFP 3x75 cc, Injeksi Vit

K 1 x 5 mg IV, Urdafalk 3x50 mg , Vit A 1 x 5000 IU , Vit D 1 x 800 IU , Vit E 1 x 200 IU ,

Vit K 1 x 2,5 mg IV, kalk 3x 100 mg. Ursodeoxycholic acid (UDCA) adalah asam empedu

hidrofilik yang terdapat dalam jumlah sedikit di tubuh manusia. Pada obstruksi bilier kronik,

asam empedu yang bersifat hepatotoksik dan merusak, akan terakumulasi dalam hepar dan

sirkulasi sistemik. Mekanisme dari UDCA adalah sebagai pengganti asam empedu toksik di

sistem enterohepatik dan sirkulasi sistemik. UDCA juga memiliki efek sitoprotektif terhadap

hepar melalui mekanisme penghambat kerusakan hepatosit yang diinduksi oleh asam

empedu. Pemberian UDCA pada anak paska prosedur Kasai akan berdampak pada

peningkatan aliran empedu sekaligus meningkatkan fungsi hati sehingga memfasilitasi

perkembangan bayi.11 Suplementasi vitamin larut lemak yaitu vitamin A,D,E,K harus

diberikan karena kerusakan penyerapan vitamin ini pada kolestasis.13

Pemeriksaan lanjutan pada ibu pasien adalah pemeriksaan infeksi TORCH. Pada

pemeriksaan TORCH didapatkan hasil Anti Toxoplasma IgG Non Reaaktif, Anti Toxoplasma

IgM Non Reaktif, Anti CMV IgG Reaktif , Anti CMV IgM Non Reaktif. Sehingga

memberikan kesan pernah terpapar atau terinfeksi CMV.


Pada tanggal 18 Mei 2021 dilakukan operasi Herniorraphy HIL (D) Laparascopic +

Laparascopic diagnostik. Hasil pemeriksaan patologi anatomi jaringan hepar, dengan hasil

makroskopik didapatkan 2 potongan jaringan coklat kehijauan kenyal padat ukuran 0,9 x 0,8

x 0,3 cm. Secara mikroskopik terdiri atas sel-sel hepatosist yang sebagian dengan sitoplasma

udem dan bergranul. Ditemukan adanya bile pigment pada sitoplasma dan diantara sel

hepatosit. Tampak pula serbukan sel limfosit, sel plasma. Dari hasil pemeriksaan biopsi hepar

didapatkan kesan kolestasis intrahepatik


Daftar Pustaka

1. Sukadi A. 2008. Hiperbilirubinemia dalam Buku Ajar Neonatologi Edisi Pertama.

Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia. Halaman 147 – 169.

2. Martiza I. 2009. Ikterus dalam Buku Ajar Gastroentero-hepatologi Jilid 1. Jakarta :

Ikatan Dokter Anak Indonesia.

3. Giannattasio A, Ranucci G, Raimondi F. 2015. Prolonged neonatal jaundice. Italian

Journal of Periatrics 41 (Suppl 2): A36

4. Hasan HHAK, Balistreri WF. 2016. Neonatal Cholestasis in Nelson Textbook of

Pediatrics 20th Edition. Canada : Elsevier. Pg 1928 – 1936.

5. Mawardi M, Warouw SM, Salendu PM. 2011. Kolestasis Ekstrahepatik Et Causa

Atresia Bilier pada Seorang Bayi. Jurnal Biomedik 3(2) : 123 – 128.

6. Feldman AG, Sokol RJ. 2013. Neonatal Cholestasis. American Academy of

Pediatrics. Pg 63 – 73.

7. Fischler B, Lamireau T. 2014. Cholestasis in the newborn and infant. Clinics and

Research in Hepatology and Gastroenterology 38 : 263 – 267.

8. Karrer MF. Bensard DD. 2000. Neonatal Cholestasis. Seminars in Pediatric Surgery

9(4) : 166 – 169.

9. Karpen JS. 2002. Update on the Etiologies and Management of Neonatal Cholestasis.

Clinics in Perinatology 29(1) : 159 – 180.

10. Fawaz R et al. 2017. Guideline for the Evaluation of Cholestatic Jaundice in Infants :

Joint Recommendations of the North American Society for Pediatric

Gastroenterology, Hepatology and Nutrition and the Europian Society for Pediatric

Gastroenterology, Hepatology and Nutrition. Journal of Pediatric Gastroenterology

and Nutrition 64(1) : 154 – 168.


11. Shah HA. Spivak W. 1994. Neonatal Cholestasis New Approaches to Diagnostic

Evaluation and Therapy. Pediatric Clinics of North America 41(5) : 943 – 956.

12. Oswari H. 2012. Deteksi Dini Atresia bilier dalam Update Management of Infectious

Disease and Gastrointestinal Disorders. Jakarta : Departemen Ilmu Kesehatan Anak

FKUI- RSCM. Halaman 70-85.

13. Bisanto J. 2009. Kolestasis Intrahepatik pada Bayi dan Anak dalam Buku Ajar

Gastroentero-hepatologi Jilid 1. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia.

14. Lai MW et al. 1994. Differential Diagnosis of Extrahepatic Billiary Atresia from

Neonatal Hepatitis : A Prospective Study. Journal of Pediatric Gastroenterology and

Nutrition 18: 121 – 127.

15. Y Tawhida et al. 2014. Study on Short Term Outcome of intrahepatic Infantile

Cholestasis. IOSR Journal of Dental and Medical Sciences. 13(12) : 09-15.

16. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2015. Manajemen Terpadu Balita Sakit.

17. Schrock KS. Hayes BL. George CM. 2012. Community-Acquired Pneumonia in

Children. American Family Physician. 86(7) : 662 – 667.Fakultas Kedokteran

Universitas Andalas 58

18. WHO. Revised WHO classification and treatment of childhood pneumonia at health

facilities

Anda mungkin juga menyukai