Anda di halaman 1dari 22

Case Report Session

KEJANG DEMAM

Oleh:

Astri Dwi Andini 2040312069

Preseptor:

dr. Eka Agustia Rini, Sp.A(K)

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR M DJAMIL PADANG
2021
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada anak berumur 6
bulan sampai 5 tahun yang mengalami kenaikan suhu tubuh (suhu di atas 380C,
dengan metode pengukuran suhu apa pun) yang tidak disebabkan oleh proses in-
trakranial. Kejang demam diklasifikasikan menjadi kejang demam sederhana dan
kejang demam kompleks.1
Insiden bangkitan kejang demam tertinggi terjadi pada usia 18 bulan. Ke-
jang demam dikelompokkan menjadi dua, yaitu kejang demam sederhana dan
kejang demam kompleks. Pada kejang demam sederhana kejang bersifat umum,
singkat, dan hanya sekali dalam 24 jam Kejang demam kompleks adalah kejang
fokal, kejang yang lama yaitu lebih dari 15 menit, atau berulang dalam 24 jam.1,2
Faktor-faktor yang berperan dalam etiologi kejang demam yaitu faktor
demam, usia, riwayat keluarga, riwayat prenatal (usia saat ibu hamil), riwayat
perinatal (asfiksia, usia kehamilan dan bayi berat lahir rendah). 3
Pada anamnesis, frekuensi dan lamanya kejang sangat penting untuk
diagnosis serta tatalaksana kejang,ditanyakan kapan kejang terjadi, apakah kejang
itu baru pertama kali terjadi atau sudah pernah sebelumnya, bila sudah pernah
berapa kali dan waktu anak berumur berapa. Sifat kejang perlu ditanyakan, apakah
kejang bersifat klonik, tonik, umum atau fokal. Ditanya pula lama serangan,
kesadaran pada waktu kejang dan pasca kejang. Gejala lain yang menyertai diteliti,
termasuk demam, muntah, lumpuh, penurunan kesadaran atau kemunduran
kepandaian. Pada neonatus perlu diteliti riwayat kehamilan ibu serta kelahiran bayi
Prognosis kejang demam baik, kejang demam bersifat benigna. Angka
kematian hanya 0,64% - 0,75%. Sebagian besar penderita kejang demam sembuh
sempurna, sebagian berkembang menjadi epilepsi sebanyak 2-7%. 4
1.2 Batasan Masalah
Makalah ini membahas tentang definisi, etiologi, patogenesis, diagnosis dan

penatalaksanaan kejang demam.

1.3 Tujuan Penulisan


Untuk mengetahui definisi, etiologi, patogenesis, diagnosis dan

penatalaksanaan kejang demam.

1.4 Metode Penulisan


Makalah ini ditulis dengan menggunakan metode tinjauan pustaka yang

merujuk dari berbagai literatur.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada anak berumur 6
bulan sampai 5 tahun yang mengalami kenaikan suhu tubuh (suhu diatas 38C,
dengan metode pengukuran suhu apa pun) yang tidak disebabkan oleh proses
intrakranial, gangguan elektrolit atau metabolik lainnya. 1

2.2 Epidemiologi
Kejang demam merupakan gangguan neurologis tersering pada anak yang
terjadi pada 2-5% anak berumur 6 bulan – 5 tahun. Puncak insiden kejadian kejang
demam adalah usia 12 dan 18 bulan. Kejang demam terjadi pada seluruh ras di
seluruh dunia, namun lebih sering ditemukan pada populasi asia (5-10% anak anak
di India dan 6-9% anak anak di Jepang). 1,2

2.3 Etiologi, Patogenesis, dan Faktor Risiko


Kejang merupakan manifestasi klinik akibat terjadinya pelepasan muatan
listrik yang berlebihan di sel neuron otak karena gangguan fungsi pada neuron
tersebut baik berupa fisiologi, biokimiawi, maupun anatomi.2,4
Penyebab kejang demam bersifat multifaktorial. Kejang demam disebabkan
oleh kerentanan sistem saraf pusat (SSP) akibat efek demam, kecenderungan
genetik yang mendasari dan faktor lingkungan. Kejang demam adalah respon
tergantung usia dari otak yang belum matang terhadap demam. Selama proses
pematangan, ada peningkatan rangsangan saraf yang menjadi predisposisi anak
untuk kejang demam, dengan demikian, kejang demam terjadi terutama pada anak-
anak sebelum usia 3 tahun ketika ambang kejang rendah.2,4
Studi menunjukkan bahwa faktor genetik memainkan peran penting. Sekitar
sepertiga anak dengan kejang demam memiliki riwayat keluarga yang mengalami
kejang demam. Risiko kejang demam pada anak adalah sekitar 20% dengan saudara
kandung yang terkena dan sekitar 33% dengan orang tua yang terkena. Tingkat
kesesuaian adalah masing masing sekitar 35-69% dan 14-20% pada kembar
monozigot dan kembar dizygotic. Gen yang mungkin meningkatkan risiko kejang
demam telah dipetakan ke lokus kromosom berikut: 1q31, 2q23-34, 3p24.2-2,
3q26.2-26.33, 5q14-15, 5q34, 6q22-24, 8q13 -21, 18p11.2, 19p13.3, 19q, dan
21q22. 2,4
Secara umum, semakin tinggi suhu anak saat demam, semakin besar
kemungkinan terjadinya kejang demam. Patofisiologi kejang demam secara pasti
belum diketahui, diperkirakan bahwa pada keadaan demam terjadi peningkatan
reaksi kimia tubuh. Dengan demikian reaksi-reaksi oksidasi terjadi lebih cepat dan
akibatnya oksigen akan lebih cepat habis, terjadilah keadaan hipoksia. Transport
aktif yang memerlukan ATP terganggu, sehingga Na intrasel dan K ekstrasel
meningkat yang akan menyebabkan potensial membran cenderung turun atau
kepekaan sel saraf meningkat. 2,4
Pada saat kejang demam akan timbul kenaikan konsumsi energi di otak,
jantung, otot, dan terjadi gangguan pusat pengatur suhu. Demam akan
menyebabkan kejang bertambah lama, sehingga kerusakan otak makin bertambah.
Pada kejang yang lama akan terjadi perubahan sistemik berupa hipotensi arterial,
hiperpireksia sekunder akibat aktifitas motorik dan hiperglikemia. Semua hal ini
akan mengakibatkan iskemi neuron karena kegagalan metabolisme di otak. 2,4
Demam dapat menimbulkan kejang melalui mekanisme sebagai berikut:4
a. Demam dapat menurunkan nilai ambang kejang pada sel-sel yang
belum matang/immatur.
b. Timbul dehidrasi sehingga terjadi gangguan elektrolit yang
menyebabkan gangguan permiabilitas membran sel.
c. Metabolisme basal meningkat, sehingga terjadi timbunan asam laktat
dan CO2 yang akan merusak neuron.
d. Demam meningkatkan Cerebral Blood Flow (CBF) serta
meningkatkan kebutuhan oksigen dan glukosa, sehingga
menyebabkan gangguan pengaliran ion-ion keluar masuk sel.
Anak-anak dengan kejang demam memiliki ambang kejang yang lebih
rendah. Infeksi virus adalah penyebab demam pada sekitar 80% kasus kejang
demam. Roseola infantum (exanthem subitum), influenza A, dan human
coronavirus HKU1 menimbulkan risiko tertinggi untuk kejang demam. Infeksi
saluran pernapasan atas, faringitis, otitis media, dan gastroenteritis Shigella adalah
penyebab penting lain dari kejang demam. Risiko kejang demam untuk sementara
meningkat selama beberapa hari setelah pemberian vaksin tertentu, terutama
kombinasi vaksin difteri-tetanus toksoid-pertusis sel utuh yang tidak lagi digunakan
di Amerika Utara. Vaksin lain yang diimplikasikan sebagai penyebab demam pasca
vaksinasi kejang termasuk gabungan difteri – toksoid tetanus–pertusis aseluler -
virus polio yang tidak aktif – Haemophilus vaksin influenzae tipe b (DTaP – IPV –
Hib) dan vaksin campak – gondok– rubella – varicella, vaksin pneumokokus
terkonjugasi, dan beberapa formulasi vaksin influenza yang tidak aktif (misalnya
Fluvax). Umumnya, risiko absolut kejang demam pasca vaksinasi dengan vaksin
ini kecil.2,4,5
Anak-anak yang lahir prematur rentan terhadap kejang demam dan
pengobatan pasca kelahiran dengan kortikosteroid semakin meningkatkan
risikonya. Paparan nikotin dan/atau alkohol sebelum lahir dikaitkan dengan sedikit
peningkatan risiko kejang demam.2,4
Stres selama prenatal atau perinatal dapat memiliki efek pemrograman pada
otak yang sedang berkembang yang meningkatkan rangsangan saraf sehingga
menurunkan ambang kejang. Pemaparan perumahan terhadap kebisingan lalu lintas
dan polusi udara adalah faktor risiko lainnya. 2,4
Zat besi sangat penting untuk fungsi neurotransmiter tertentu, seperti
monoamine oksidase dan aldehida oksidase. Anemia defisiensi zat besi dapat
menjadi predisposisi kejang demam. Defisiensi zinc terlibat sebagai faktor risiko
kejang demam. Beberapa studi pendahuluan telah menunjukkan bahwa kekurangan
vitamin B12, asam folat, selenium, kalsium, dan magnesium meningkatkan risiko
kejang demam. Faktor risiko lain termasuk riwayat kejang demam di masa lalu,
kejang demam pada kerabat tingkat pertama, retardasi pertumbuhan intrauterine
dan keterlambatan perkembangan saraf.2,4
2.4 Klasifikasi
Kejang demam diklasifikasikan menjadi :
1. Kejang demam sederhana
Kejang demam sederhana adalah kejang demam yang berlangsung
singkat (kurang dari 15 menit), bentuk kejang umum (tonik dan atau klonik),
serta tidak berulang dalam waktu 24 jam. 1
Kejang demam sederhana merupakan 80% diantara seluruh kejang
demam dan Sebagian besar kejang demam sederhana berlangsung kurang
dari 5 menit dan berhenti sendiri. 1

2. Kejang demam kompleks


Kejang demam kompleks merupakan kejang demam dengan salah satu ciri
berikut :1
a. Kejang lama (>15 menit)
Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau
kejang berulang lebih dari 2 kali dan di antara bangkitan kejang anak
tidak sadar. Kejang lama terjadi pada 8% kejang demam.
b. Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang
parsial
c. Berulang atau lebih dari 1 kali dalam waktu 24 jam
Kejang berulang adalah kejang 2 kali atau lebih dalam 1 hari, dan di
antara 2 bangkitan kejang anak sadar. Kejang berulang terjadi pada 16%
anak yang mengalami kejang demam

2.5 Pemeriksaan Penunjang


a. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang
demam, tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi
penyebab demam. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan atas
indikasi misalnya darah perifer, elektrolit, dan gula darah
b. Pungsi Lumbal
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau
menyingkirkan kemungkinan meningitis. Berdasarkan bukti-bukti terbaru, saat
ini pemeriksaan pungsi lumbal tidak dilakukan secara rutin pada anak berusia
<12 bulan yang mengalami kejang demam sederhana dengan keadaan umum
baik.

Indikasi pungsi lumbal :


1. Terdapat tanda dan gejala rangsang meningeal
2. Terdapat kecurigaan adanya infeksi SSP berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan klinis
3. Dipertimbangkan pada anak dengan kejang disertai demam yang
sebelumnya telah mendapat antibiotik dan pemberian antibiotik
tersebut dapat mengaburkan tanda dan gejala meningitis

c. Elektroensefalografi (EEG)
EEG hanya dilakukan pada kejang fokal untuk menentukan adanya fokus
kejang di otak yang membutuhkan evaluasi lebih lanjut.

d. Pencitraan
Pemeriksaan neuroimaging (CT scan atau MRI kepala) tidak rutin dilakukan
pada anak dengan kejang demam sederhana. Pemeriksaan tersebut dilakukan
bila terdapat indikasi, seperti kelainan neurologis fokal yang menetap,
misalnya hemiparesis atau paresis nervus kranialis.

2.6 Tatalaksana
Pada umumnya kejang berlangsung singkat (rerata 4 menit) dan pada waktu
pasien datang, kejang sudah berhenti. Apabila saat pasien datang dalam keadaan
kejang, obat yang paling cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam
intravena. Dosis diazepam intravena adalah 0,2-0,5 mg/kg perlahan-lahan dengan
kecepatan 2 mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal 10 mg.
Secara umum, penatalaksanaan kejang akut mengikuti algoritma kejang pada
umumnya.
Pada umumnya kejang berlangsung singkat (rerata 4 menit) dan pada waktu
pasien datang, kejang sudah berhenti. Apabila saat pasien datang dalam keadaan
kejang, obat yang paling cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam
intravena. Dosis diazepam intravena adalah 0,2-0,5 mg/kg perlahan-lahan dengan
kecepatan 2 mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal 10 mg.
Secara umum, penatalaksanaan kejang akut mengikuti algoritma kejang pada
umumnya.
Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat diulang
lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit. Bila setelah
2 kali pemberian diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan ke rumah sakit. Di
rumah sakit dapat diberikan diazepam intravena. Jika kejang masih berlanjut, lihat
algoritme tatalaksana status epileptikus.
Bila kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari
indikasi terapi antikonvulsan profilaksis.
Gambar 2.1 Algoritma tatalaksana kejang akut dan status epileptikus6
Tatalaksana farmakologi kejang demam:
1. Antipiretik
Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi risiko
terjadinya kejang demam (level of evidence 1, derajat rekomendasi A).
Meskipun demikian, dokter neurologi anak di Indonesia sepakat bahwa
antipiretik tetap dapat diberikan. Dosis parasetamol yang digunakan adalah 10-
15 mg/kg/kali diberikan tiap 4-6 jam. Dosis ibuprofen 5-10 mg/kg/kali, 3-4 kali
sehari.
2. Antikonvulsan intermiten
Antikonvulsan intermiten adalah obat antikonvulsan yang diberikan hanya
pada saat demam. Profilaksis intermiten diberikan pada kejang demam dengan
salah satu faktor risiko di bawah ini:
• Kelainan neurologis berat, misalnya palsi serebral
• Berulang 4 kali atau lebih dalam setahun
• Usia <6 bulan
• Bila kejang terjadi pada suhu tubuh kurang dari 39 derajat Celsius
• Apabila pada episode kejang demam sebelumnya, suhu tubuh meningkat
dengan cepat
- Diazepam oral 0.3mg/kg/kali per oral atau
- Diazepam rektal 0.5 mg/kg/kali (5 mg untuk BB<12kg dan 10mg untuk
BB>12 kg)
Diazepam diberikan sebanyak 3 kali sehari, dengan dosis maksimum
diazepam 7,5 mg/kali. Diazepam intermiten diberikan selama 48 jam pertama
demam. Perlu diinformasikan pada orangtua bahwa dosis tersebut cukup tinggi
dan dapat menyebabkan ataksia, iritabilitas, serta sedasi.

3. Antikonvulsan rumat
Pengobatan rumat hanya diberikan terhadap kasus selektif sesuai indikasi dan
dalam jangka pendek. Indikasi pengobatan rumat :
1. Kejang fokal
2. Kejang lama >15 menit
3. Terdapat kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang,
misalnya palsi serebral, hidrosefalus, hemiparesisis

Obat antikonvulsan rumat :


- Fenobarbital 3-4 mg/kg/hari dalam 1-2 dosis, atau
- Asam valproate 15-40 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis
Pengobatan diberikan selama 1 tahun, penghentian pengobatan rumat untuk
kejang demam tidak membutuhkan tapering off, namun dilakukan pada saat
anak tidak sedang demam.

2.7 Prognosis
Prognosis kejang demam secara umum sangat baik. Kejadian kecacatan
sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan. Perkembangan mental
dan neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang sebelumnya normal.
Kelainan neurologis dapat terjadi pada kasus kejang lama atau kejang berulang,
baik umum maupun fokal.
Faktor risiko berulangnya kejang demam
1. Riwayat kejang demam atau epilepsi dalam keluarga
2. Usia kurang dari 12 bulan
3. Suhu tubuh kurang dari 39 derajat Celsius saat kejang
4. Interval waktu yang singkat antara awitan demam dengan terjadinya
kejang.
5. Apabila kejang demam pertama merupakan kejang demam kompleks

Bila seluruh faktor tersebut di atas ada, kemungkinan berulangnya kejang


demam adalah 80%, sedangkan bila tidak terdapat faktor tersebut kemungkinan
berulangnya kejang demam hanya 10-15%. Kemungkinan berulangnya kejang
demam paling besar pada tahun pertama.
Faktor risiko menjadi epilepsi di kemudian hari adalah:
1. Terdapat kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum
kejang demam pertama
2. Kejang demam kompleks
3. Riwayat epilepsi pada orangtua atau saudara kandung
4. Kejang demam sederhana yang berulang 4 episode atau lebih dalam satu
tahun.

Masing-masing faktor risiko meningkatkan kemungkinan kejadian epilepsi


sampai 4-6%, kombinasi dari faktor risiko tersebut akan meningkatkan
kemungkinan epilepsi menjadi 10-49%. Kemungkinan menjadi epilepsi tidak dapat
dicegah dengan pemberian obat rumatan pada kejang demam.
Kematian langsung karena kejang demam tidak pernah dilaporkan. Angka
kematian pada kelompok anak yang mengalami kejang demam sederhana dengan
perkembangan normal dilaporkan sama dengan populasi umum.
BAB III
LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN
Nama : HNM
Umur/tanggal lahir : 7 bulan / 29 Oktober 2020
Jenis kelamin : Perempuan
No. RM : 01.10.47.78
Alamat : Ranah Ampek Hulu Tapan, Pesisir Selatan

ANAMNESIS (Alloanamnesis, diberikan oleh ibu pasien)


Keluhan Utama :
Kejang 30 menit sebelum masuk rumah sakit
Riwayat Penyakit Sekarang :
• 2 hari sebelum masuk rumah sakit, pasien terjatuh dari ayunan setinggi 50
cm. Pasien ditemukan dengan posisi tertelungkup oleh ibunya. Tidak ada
ditemukan luka atau lebam di kepala pasien, tidak ada riwayat muntah
menyemprot setelah jatuh, anak sadar setelah jatuh, tidak ada kejang.
• 1 hari sebelum masuk rumah sakit, pasien demam dengan suhu 39C, demam
terus menerus, tidak menggigil, tidak berekeringat.
• 30 menit sebelum masuk rumah sakit, pasien kejang selama 20 menit. Mata
pasien mendelik ke kanan atas dan dilanjutkan seluruh badan pasien kaku
dengan kedua tangan fleksi. Tidak ada gerakan menyentak saat kejang. Ini
merupakan episode kejang pertama
• Setelah 2 hari rawatan di Rumah Sakit, pasien mengalami BAB encer
dengan frekuensi 3-5x sehari, bewarna kuning, tidak berlendir atau berdarah
dengan volume 60ml. Pasien masih tetap BAB encer hingga 14 hari
rawatan, tidak ada tanda dehidrasi, volume diare berkurang, namun
konsistensi BAB masih cair dan ampas BAB masih sedikit
• Tidak ada batuk, pilek, sesak napas pada pasien
• Pasien tidak ada riwayat kontak dengan orang batuk lama
• Pasien tidak ada riwayat keluar cairan dari telinga
Riwayat Penyakit Dahulu :
Tidak ada riwayat kejang dengan ataupun tanpa demam sebelumnya.
Tidak ada riwayat kelainan neurologis

Riwayat Penyakit Keluarga :


Tidak ada anggota keluarga yang mempunyai keluhan yang sama
Tidak ada riwayat kejang atau epilepsi pada keluarga

Riwayat Persalinan
• Lama hamil : 40 minggu
• Cara lahir : spontan
• Ditolong oleh : bidan
• Berat lahir : 3200 gr
• Panjang lahir : 51 cm
• Saat lahir : langsung menangis
Kesan : Bayi berat badan lahir cukup, aterm, sesuai masa kehamilan

Riwayat Makanan dan Minuman:


ASI : lahir – sekarang
Susu formula : 6 bulan
Bubur susu : 6 bulan

Riwayat Imunisasi
Imunisasi Dasar/umur Booster/umur
BCG 0 bulan -
DPT
1 2 bulan -
2 3 bulan -
3 4 bulan -
Polio
0 0 bulan -
1 2 bulan -
2 3 bulan -
3 4 bulan -
Hepatitis B
1 1 hari -
2 2 bulan -
3 3 bulan -
4 4 bulan -
HiB
1 2 bulan -
2 3 bulan -
3 4 bulan -
Campak - -
Kesan : Imunisasi dasar belum lengkap

Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan


- Ketawa : 1 bulan
- Miring : 2 bulan
- Mengangkat kepala : 3 bulan
- Tengkurap kepala tegak : 4 bulan
- Duduk : 6 bulan
Perkembangan mental:
Isap jempol (-), gigit kuku (-), sering mimpi (-), mengompol (-), aktif sekali
(-), apati (-), membangkang (-), ketakutan (-).
Kesan : Pertumbuhan fisik dan perkembangan mental dalam batas normal.
Riwayat Keluarga
Ayah Ibu
Umur 34 tahun 28 tahun
Pendidikan SMK S1
Pekerjaan Pedagang Guru Honorer
Penghasilan Rp. 3.000.000,- Rp. 2.000.000
Perkawinan Pertama Pertama
Penyakit yang pernah di derita Tidak Ada Tidak Ada
Saudara Kandung Umur Keadaan sekarang
1. Perempuan 3 tahun Sehat
2. Perempuan 7 bulan Pasien

Riwayat Lingkungan dan Perumahan :


- Tinggal di rumah permanen
- Sumber air PDAM
- Buang air besar di WC dalam rumah
- Pekarangan cukup luas
- Sampah dibuang ke TPS.
Kesan : higiene dan sanitasi baik.

PEMERIKSAAN FISIK
Vital Sign
Keadaan umum : tampak sakit ringan
Kesadaran : composmentis
Tekanan darah : 88/38 mmHg
Frekuensi nadi : 100x/i
Frekuensi napas : 30x/i
Suhu : 36.8C
Status Gizi
Berat badan : 7550gr
Panjang badan : 69cm
BB/U : antara 0SD s/d -2 SD
PB/U : antara 0SD s/d 2 SD
BB/PB : antara 0 SD s/d -1 SD
Lingkar kepala : 41 cm
LILA : 14 cm
Status Gizi : Gizi baik
Status Generalisata
Kulit : teraba hangat
Kepala : bulat, simetris (normocephal), LK 41 cm, UUB datar
Kelenjar getah bening: Tidak teraba pembesaran KGB
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), tidak cekung
Telinga : tidak ada discharge, tidak ada deformitas
Hidung : Nafas cuping hidung tidak ada
Gigi & Mulut : Gigi belum tumbuh, mukosa bibir dan mulut basah
Tenggorok : Tonsil T1T1, tidak hiperemis, faring tidak hiperemis
Thorax
Pulmo
Inspeksi : Normochest, simetris, tidak ada retraksi dinding
dada
Palpasi : Fremitus kanan =kiri
Perkusi : Sonor
Auskultasi : suara napas bronkovesikuler, Rhonki (-/-) wheezing (-/-)
Cor
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis teraba 1 jari medial LMCS RIC V
Perkusi : Batas jantung atas RIC II, batas jantung kanan LSD, batas
jantung kiri 1 jari medial LMCS RIC V
Auskultasi : Irama teratur, bising tidak ada
Abdomen
Inspeksi : Distensi tidak ada
Palpasi :Supel, hepar dan lien tidak teraba, turgor kulit normal
Perkusi : timpani
Auskultasi : Bunyi usus (+) normal

Urogenital : Status pubertas A1M1G1


Ekstremitas : Akral hangat, CRT <2 detik
Status Neurologis
Tanda rangsang meningeal :
- Kaku kuduk (-)
- Brudzinki I (-)
- Brudzinki II (-)
- Kernig (-)
Refleks fisiologis (+)
Refleks patologis (-)

DIAGNOSA KERJA
Kejang demam kompleks
Diare kronik tanpa dehidrasi

RENCANA PEMERIKSAAN PENUNJANG


- Pemeriksaan laboratorium (pemeriksaan darah lengkap, elektrolit, ureum
darah, tes fungsi hati, kalsium, ferritin, protein C reaktif
- Pemeriksaan feses (feses rutin, pH tinja, kultur tinja)
- CT Scan
- Lumbal pungsi
- EEG

TATALAKSANA
ASI on demand
Bubur susu 3x sehari
Luminal 2x15mg po
Paracetamol 4x80mg (bila demam)
Oralit 100ml (setiap BAB)
Zinc 1 tab/hari
BAB IV
DISKUSI

Telah dirawat pasien seorang anak perempuan, usia 7 bulan, di bagian Anak
RSUP Dr. M. Djamil Padang, dengan keluhan utama pasien kejang 30 menit
sebelum masuk rumah sakit. Menurut hasil alloanamesa dengan ibu pasien, 2 hari
sebelum masuk rumah sakit, pasien terjatuh dari ayunan setinggi 50 cm dengan
posisi ditemukan tertelungkup, tidak ada ditemukan luka atau lebam di kepala
pasien, tidak ada riwayat muntah menyemprot setelah jatuh, anak sadar setelah
jatuh, tidak ada kejang. 1 hari sebelum masuk rumah sakit, pasien demam dengan
suhu 39C, demam terus menerus, tidak menggigil, tidak berekeringat. 30 menit
sebelum masuk rumah sakit, pasien kejang selama 20 menit. Mata pasien mendelik
ke kanan atas dan dilanjutkan seluruh badan pasien kaku dengan kedua tangan
fleksi. Tidak ada gerakan menyentak saat kejang. Ini merupakan episode kejang
pertama. 2 hari setelah rawatan di RS, pasien mengalami BAB encer, dengan
frekuensi 3-5x sehari, bewarna kuning, tidak berlendir atau berdarah dengan
volume 60ml. Pasien masih tetap BAB encer hingga 14 hari rawatan, tidak ada
tanda dehidrasi, volume diare berkurang, namun konsistensi BAB masih cair dan
ampas BAB masih sedikit.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit ringan,
kesadaran komposmentis, tekanan darah 88/38 mmHg, nadi 100x/menit, napas
30x/menit, suhu 36.8C. Pada pemeriksan fisik kulit teraba hangat, mata tidak
cekung, telinga tidak ada discharge, bising usus normal, turgor kulit normal. Hasil
pemeriksaan neurologis, tidak ditemukan tanda rangsang meningeal dan refleks
patologis.
Berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik pasien kejang yang dialami
oleh pasien pasca demam merupakan kejang demam kompleks dan diare kronik
tanpa dehidrasi karena tidak ditemukan tanda infeksi dan dehidrasi saat ini pada
pasien. Pemeriksaan CT scan kepala direncanakan untuk menyingkirkan diagnosis
perdarahan intrakranial pada pasien setelah terjatuh dari ayunan. Pemeriksaan darah
yaitu darah lengkap, elektrolit, ureum darah, tes fungsi hati, vitamin asam folat,
kalsium, ferritin, laju endap darah, dan protein C reaktif. Pemeriksaan tinja spesifik
antara lain meliputi tes enzim pankreas jika curiga ada pankreas, pH tinja<5
menandakan adanya intoleransi laktosa. Kultur tinja diperlukan untuk
menyingkirkan kemungkinan infeksi protozoa seperti giardiasis, dan amebiasis.7
Tatalaksana yang diberikan pada pasien adalah Luminal 2x15mg po,
Paracetamol 4x80mg (bila demam). Luminal diberikan sebagai antikonvulsan
rumat golongan fenobarbital karena pada pasien terdapat riwayat kejang lama >15
menit. Parasetamol hanya diberikan bila pasien demam sebagai antipiretik dengan
dosis 10-15mg/kg/hari setiap 4-6 jam.1 Tatalaksana untuk diare kronik tanpa
dehidrasi pada pasien mengikuti rencana terapi A, yakni pemberian ASI OD dengan
frekuensi yang lebih sering dan lama setiap kali pemberian, memberikan cairan
tambahan berupa oralit 100ml setiap kali buang air besar, memberikan tablet zinc
selama 10 hari, serta lanjutkan pemberian makan berupa bubur susu 3 kali sehari.7,8
DAFTAR PUSTAKA

1. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Rekomendasi Penatalaksanaan Kejang


Demam. Unit Kerja Koord Neurol IDAI. 2016;1.
2. Leung AKC, Hon KL, Leung TNH. Febrile seizures: An overview. Drugs
Context. 2018;7:1–12.
3. Fuadi F, Bahtera T, Wijayahadi N. Faktor Risiko Bangkitan Kejang
Demam pada Anak. Sari Pediatr. 2016;12(3):142.
4. D.K. S, K.P. S, M. B. Febrile Seizures: Risks, Evaluation, and Prognosis.
Am Fam Physician [Internet]. 2019;99(7):445–50. Tersedia pada:
http://www.embase.com/search/results?subaction=viewrecord&from=expor
t&id=L627113500
5. Duffy J, Hambidge SJ, Jackson LA, Kharbanda EO, Klein NP, Naleway A,
et al. Febrile Seizure Risk after Vaccination in Children One to Five
Months of Age. Pediatr Neurol. 2019;23:72–8.
6. Ismael S, Pusponegoro HD, Widodo DP, Mangunatmadja I, Handryastuti
S. Rekomendasi Penatalaksanaan Status Epileptikus. IDAI. 2016;1.
7. IDAI. Buku ajar gastroenterologi-hepatologi. Soenarto Y, editor. Jakarta:
UKK Gastroenterelogi Hepatologi IDAI; 2009.
8. Kemenkes RI. Manajemen terpadu balita sakit (MTBS). Jakarta:
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia; 2015. 3, 20 hal.

Anda mungkin juga menyukai