Anda di halaman 1dari 31

Referat

GAMBARAN RADIOLOGI PADA BRONKITIS KRONIK

Oleh:
Adilla Oktariza Zarwin 2040312118
Raisa Mutia Yasril 2140312146
M. Imamhamda Muttaqien 2140312066

Pembimbing:
dr. Lila Indrati, Sp.Rad

BAGIAN RADIOLOGI
RSUP DR. M DJAMIL PADANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT karena berkat rahmat dan
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan Referat yang berjudul “Gambaran
Radiologi Pada Bronkitis Kronik”. Referat ini penulis susun untuk memenuhi salah
satu syarat dalam mengikuti kepaniteraan klinik di Bagian Radiologi.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada dr. Lila Indrati, Sp.Rad selaku
preseptor yang telah memberikan arahan dan petunjuk, dan semua pihak yang telah
membantu dalam penulisan Referat ini. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa Referat
ini masih banyak kekurangan. Untuk itu kritik dan saran sangat penulis harapkan.
Akhir kata, semoga Referat ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Padang, 19 November 2021

Penulis

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS ii


DAFTAR ISI

HALAMAN DEPAN…………………………………………………………………i
KATA PENGANTAR………………………………………………………………..ii
DAFTAR ISI………………………………………………………………………...iii
BAB 1 PENDAHULUAN ......................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................................. 1
1.2 Batasan Masalah ...............................................................................................2
1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................................... 2
1.4 Metode Penulisan .............................................................................................. 2
BAB 2 PEMBAHASAN ............................................................................................. 3
2.1 Bronkus ............................................................................................................. 3
2.2 Bronkitis Kronik ................................................................................................ 5
2.2.1 Definisi........................................................................................................ 5
2.2.2 Epidemiologi............................................................................................... 5
2.2.3 Etiologi dan Faktor Risiko .......................................................................... 6
2.2.4 Diagnosis ................................................................................................... 7
2.3 Gambaran Radiologi Bronkitis Kronik............................................................8
2.3.1 Gambaran Bronkitis Kronik pada X-Ray...................................................8
2.3.2 Gambaran Bronkitis Kronik pada CT Scan...............................................10
2.3.3 Gambaran Bronkitis Kronik pada MRI.................................................... 12
2.3.4 Gambaran Bronkitis Kronik pada Bronkografi.........................................17
2.4 Diagnosis Banding Bronkitis Kronik ...............................................................18
2.5 Tatalaksana Bronkitis Kronik...........................................................................21
2.5.1 Terapi Farmakologi................................................................................... 22
2.5.2 Terapi Farmakologi Alternatif................................................................... 24
2.5.3 Terapi Lain.................................................................................................24
BAB III PENUTUP .................................................................................................. 25
3.1 Kesimpulan…………………………………………………………………..25
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 26

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS iii


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1.1 Latar Belakang


Perubahan transisi demografi, social dan ekonomi terutama di Negara
berkembang seperti Indonesia telah memberikan dampak signifikan pada transisi
perkembangan penyakit tidak menular, salah satunya adalah penyakit saluran
pernapasan yaitu bronkitis. Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi,
banyaknya perusahaan industry, serta asap kendaraan bermotor yang menyebabkan
polusi udara menjadi slah satu faktor pencetus. Selain itu merokok juga merupakan
faktor risiko utama untuk bronkitis. Terdapat hubungan antara paparan polusi udara
jangka pendek dan kejadian gejala pernapasan akut pada pasien rawat inap, dan
juga ditemukan hubungan antara paparan polusi udara jangka panjang dengan
bronkitis.1,2
Bronkitis adalah peradangan pada saluran bronkial, yang menyebabkan
pembengkakan yang berlebihan dan produksi lendir. Batuk, peningkatan
pengeluaran dahak dan sesak napas adalah gejala utama bronkitis. Bronkitis dapat
bersifat akut atau kronis. Bronkitis akut disebabkan oleh infeksi yang sama yang
menyebabkan flu biasa atau influenza dan berlangsung sekitar beberapa minggu.
Sedangkan bronnktis kronik berkembang dari kondisi peradangan akut pada
bronkus yang tidak mendapatkan pengobatan yang baik.3,4,5

Penyakit bronkitis kronik merupakan suatu kelainan yang ditandai dengan


produksi sputum berlebihan setiap hari selama tiga bulan dalam setahun atau dalam
dua tahun berturut-turut. Ditandai oleh produksi sputum yang berlebihan dalam
saluran pernapasan, hal ini terjadi karena proliferasi dan hyperplasia kelenjar
mukosa pada saluran napas besar, yang meluas secara abnormal ke saluran yang
lebih kecil. Terjadinya kelainan ini dipengaruhi oleh faktor eksogen dan faktor
endogen.5

Penyebab utama dari bronkhitis kronis adalah merokok, dan hampir semua
pasien dengan bronkhitis kronis memiliki riwayat merokok. Debu, dan udara juga
berkontribusi terhadap terjadinya bronkhitis kronis. Infeksi virus berperan dalam
7% sampai 64% kejadian eksaserbasi akut bronkhitis kronis. Virus yang paling

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS 1


sering dijumpai pada eksaserbasi akut bronkhitis kronis adalah virus influenza atau
parainfluenza, coronavirus, dan Rhinovirusermasuk faktor eksogen ialah: inhalasi
bahan iritatif, polusi udara, pajanan bahan toksik, asap rokok. Termasuk faktor
endogen ialah asma, fibrosis kistik, gangguan mekanisme pertahanan saluran napas,
aspirasi berulang.6

Penegakkan diagnosis penyakit bronkitis biasanya dari hasil anamnesis,


pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang. Gejala yang sering ditemukan
adalah batuk lebih dari 2 minggu disertai lendir atau dahak, kemudian dahak dalam
jumlah sedikit, tetapi makin lama makin banyak. Jika terjadi infeksi maka dahak
tersebut berwarna keputihan dan encer, namun jika sudah terinfeksi akan menjadi
kuning, kehijauan, dan kental. Pada pemeriksaan fisik akan terdengar bunyi ronkhi
pada dada dan pada pemeriksaan penunjang biasnya dengan foto rontgen akan
ditemukan adanya bercak pada saluran napas, khususnya pada bronkitis kronis.
Oleh karena itu, pada makalah ini akan dipaparkan gambaran radiologi yang dapat
ditemukan paada penyakit bronkitis kronis.7

1.2 Batasan Masalah


Referat ini akan membahas tentang definisi, etiologi, epidemiologi, faktor
resiko, patofisiologi, manifestasi klinis, diagnosis, tatalaksana hingga prognosis,
serta gambaran radiologi dari penyakit bronkitis kronis.

1.3.1 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk menambah pengetahuan dan
pemahaman mengenai gambaran radiologi dari bronkitis kronis serta untuk
memenuhi tugas keilmiahan di Kepanitraan Klinik Radiologi.

1.3.2 Metode Penulisan

Metode penulisan referat ini berupa tinjauan kepustakaan yang merujuk


kepada berbagai literatur.

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS 2


BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bronkus
2.1.1 Anatomi Bronkus

Bronkus merupakan saluran nafas yang terbentuk dari belahan dua trakea
pada ketinggian sekitar vertebra torakalis ke-5, mempunyai struktur serupa dengan
trakea dan dilapisi oleh jenis sel yang sama.7 Bronkus berjalan ke arah bawah dan
samping menuju paru dan bercabang menjadi 2, yaitu bronkus kanan dan bronkus
kiri. Bronkus kanan memiliki diameter lumen lebih lebar, ukuran lebih pendek dan
posisi lebih vertikal. Letak sedikit lebih tinggi dari arteri pulmonalis serta
mengeluarkan sebuah cabang utama yang melintas di bawah arteri, yang disebut
bronkus kanan lobus bawah. Sedangkan bronkus kiri memiliki ukuran lebih
panjang, diameter lumennya lebih sempit dibandingkan bronkus kanan dan
melintas dibawah arteri pulmonalis sebelum dibelah menjadi beberapa cabang yang
berjalan ke lobus atas dan bawah.8

Cabang utama bronkus kanan dan kiri bercabang lagi menjadi bronkus
lobaris, kemudian menjadi lobus segmentalis. Bronkus lobaris ini bercabang terus
menjadi bronkus yang lebih kecil, dengan ujung cabangnya yang disebut
bronkiolus. Setiap bronkiolus memasuki lobulus paru, dan bercabang-cabang
menjadi 5-7 bronkiolus terminalis.8
Bronkiolus terminalis adalah saluran udara terkecil yang tidak mengandung
alveoli (kantong udara). Bronkiolus terminalis memiliki garis tengah kurang lebih
1 mm. Bronkiolus tidak diperkuat oleh cincin tulang rawan. Tetapi dikelilingi oleh
otot polos sehingga ukurannya dapat berubah. Seluruh saluran udara ke bawah
sampai tingkat bronkiolus terminalis disebut saluran penghantar udara karena
fungsi utamanya adalah sebagai penghantar udara ke tempat pertukaran gas paru-
paru.9

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS 3


Gambar 2.1 Percabangan Bronkus3
2.1.2 Histologi Bronkus

Bronkus memiliki struktur susunan mukosa yang mirip dengan trakea,


kecuali susunan tulang rawan dan otot polosnya. Lapisan mukosa terdiri dari sel-
sel epitel silindris berlapis semu bersilia dengan lamina propria yang tipis (dengan
banyak serabut elastin). Sedangkan tulang rawan bronkus berbentuk lebih tidak
teratur disbanding tulang rawan trakea. Pada bagian bronkus yang lebih besar,
cincin tulang rawan mengelilingi seluruh lumen. Dengan mengecilnya garis tengah
bronkus, cincin tulang rwan digantikan oleh lempeng-lempeng atau pulau-pulau
tulang rawan hialin. Dibawah epitel, dalam lamina propria bronkus tampak adanya
lapisan otot polos (SM) yang terdiri dari anyaman berkas otot polos yang tersusun
menyilang.8

Histologi bronkiolus meliputi lapisan mukosa, submukosa dan adventitia.


Lapisan mukosa bronkiolussama seperti pada lapisan mukosa bronkus, namun
bedanya dengan sedikit sel goblet. Pada bronkiolus terminalis, epitelnya kubus
bersilia dan mempunyai sel-sel Clara. Sel Clara tidak memiliki silia, tetapi memiliki
granul sekretori didalam apeksnya dan diketahui menyekresi protein yang
melindungi lapisan bronkiolus terhadap polutan oksidatif dan inflamasi.8

Pada lamina propria terdapat jaringan ikat yaitu serabut elastin dan otot
polos. Pada bronkiolus tidak ada tulang rawan dan kelenjar. Lapisan adventitia juga

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS 4


terdiri dari jaringan ikat elastin. Lapisan otot pada bronkiolus lebih berkembang
dibandingkan pada bronkus. Pada orang asma diduga resistensi jalan udara karena
kontraksi otot bronkiolus.8 Bronkiolus respiratorius dilapisi oleh epitel kubus
bersilia, dan pada tepinya terdapat lubang-lubang yang berhubungan dengan
alveoli. Pada bagian distal dari brionkiolus respiratorius, lapisan epitel kubus tidak
ada silianya. Terdapat otot polos dan jaringan ikat elastin.8

Gambar 2.2 Sediaan dinding bronkus8

2.2 Bronkitis Kronik

2.2.1 Definisi Bronkitis Kronik

Bronkitis kronik adalah kelainan saluran napas yang ditandai oleh batuk
kronik berdahak minimal 3 bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya dua tahun
berturut - turut, tidak disebabkan penyakit lainnya. Bronkitis kronik termasuk
golongan penyakit paru obstruktif kronik.10 Bronkitis kronis adalah suatu kondisi
peningkatan pembengkakan dan lendir (dahak atau sputum) produksi dalam saluran
pernapasan.10

2.2.2 Epidemiologi Bronkitis Kronik

Di Indonesia tidak ada data yang akurat tentang kekerapan PPOK.


Bronkitis kronik, emfisema, dan asma menduduki peringkat ke-5 sebagai penyebab
kesakitan terbanyak dari 10 penyebab kesakitan utama berdasarkan Survai
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1986. Sedangkan pada SKRT Depkes RI 1992
menunjukkan angka kematian karena bronchitis kronik termasuk asma dan
emfisema menduduki peringkat ke-6 dari 10 penyebab tersering kematian di

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS 5


Indonesia.10
Menurut Pusat Statistik Kesehatan Nasional 2009 melaporkan 67,8 %
pasien dengan bronkitis kronik adalah perempuan. Studi lain pada pasien Afrika
Selatan juga melaporkan bahwa perempuan mendominasi populasi bronkitis
kronik.11 Sebuah studi 10 tahun menunjukkan 21.130 pasien di Denmark dengan
prevalensi kumulatif lendir kronis sekresi adalah 10,7% pada wanita, sedangkan
pria sekitar 8,7%. Alasan prevalensi bronkitis kronik lebih tinggi pada wanita
dibandingkan pria sebenarnya tidak jelas, tetapi kemungkinan dipengaruhi oleh
hormon. Sebagai contoh studi dari EUROSCOP menunjukkan wanita lebih banyak
mengalami dispneu dan batuk dengan sedikit dahak dibandingkan pria. Namun,
banyak studi lain juga yang menunjukkan bahwa pria lebih banyak mengalami
PPOK dibandingkan wanita.11

2.2.3 Etiologi dan Faktor Risiko Bronkitis Kronik

Faktor etiologi utama adalah merokok dan polusi udara yang lazim di
daerah industri. Polusi udara yang terus menerus juga merupakan predisposisi
infeksi rekuren karena polusi memperlambat aktivitas silia dan fagositsis, sehingga
timbunan mukus menigkat sedangkan mekanisme pertahanannya sendiri
melemah.12
Faktor risiko utama untuk bronkitis kronik adalah merokok. Seperti
disebutkan sebelumnya, kumulatif 30 tahun kejadian bronkitis kronik pada perokok
saat ini adalah 42%. Namun, perlu dicatat bahwa bronkitis kronik telah dijelaskan
dalam 4 sampai 22% dari non perokok menunjukkan bahwa faktor risiko lain
mungkin ada. faktor risiko potensial lainnya termasuk eksposur inhalasi pada bahan
bakar biomassa, debu, dan asap kimia. Potensi faktor risiko lain untuk bronkitis
kronik adalah adanya gastroesophageal reflux, kemungkinan terjadi aspirasi paru
Terhadap refluks isi lambung sehingga menginduksi cedera asam sehinggi terjadi
infeksi atau stimulasi dimediasi bronkokonstriksi refleks sekunder iritasi mukosa
esofagus.11

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS 6


Sedangkan menurut PDPI 2003 beberapa faktor risiko penyakit PPOK
adalah sebagai berikut:10

1. Kebiasaan merokok merupakan satu - satunya penyebab kausal yang


terpenting, jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya.
2. Riwayat terpajan polusi udara di lingkungan dan tempat kerja
3. Hiperaktivitas bronkus
4. Riwayat infeksi saluran nafas bawah berulang
5. Defisiensi antitripsin alfa-1, umumnya jarang terdapat di Indonesia

2.2.4 Diagnosis Bronkitis Kronik


Gejala dan tanda bronkitis kronik bervariasi dari ringan hingga berat.
Pada pemeriksaan fisik juga bisa tidak ditemukan kelainan sampai ditemukan
kelainan yang jelas dan inflasi paru. Untuk menegakkan diagnosis secara rinci
diuraikan sebagai berikut:

Anamnesis
Pada saat anamnesis, sangat penting untuk ditanyakan apakah pasien memiliki
faktor resiko bronkitis kronik yaitu aktif merokok, atau terpapar asap lainnya.
Jumlah dan durasi lamanya merokok ini berkontribusi dalam keparahan penyakit.
Perlu dievaluasi pada pasien yang dicurigai bronkitis kronik berapa jumlah rokok
yang dihisap dengan Indeks Brinkmen.13

- Terdapat faktor predisposisi pada saat bayi/anak: BBLR,


infeksi saluran nafas berulang, lingkungan asap rokok dan
polusi udara.

- Batuk berulang dengan atau tanpa dahak


- Sesak dengan atau tanpa mengi
- Pengukuran gejala sesak bisa dilakukan secara sederhana
dengan kuesioner modified British Medical Research Council
(mMRC) atau dengan COPD Assesment Test (CAT).

- Riwayat keluarga bronkitis kronik

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS 7


- Riwayat perawatan sebelumnya karena penyakit paru. Hal ini
diperlukan guna untuk mengetahui resiko eksaserbasi dan
prognosis.

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik basanya ditemukan keadaan normal dan kadang terdengar suara
wheezing di beberapa tempat atau ronkhi jika produksi sputum meningkat.14

Pemeriksaan Penunjang

a. Faal paru

b. Spirometri : Obstruksi dinilai dari nilai VEP1, yang mana jika


nilai VEP1 <70%.1 Bila spirometri tidak tersedia, bisa dilakukan
APE (Arus Puncak Ekspirasi). Uji bronkodilator : Uji
bronkodilator dilakukan saat bronkitis kronik, dengan
menggunakan spirometri atau jika tidak ada dengan peak flow
meter.

c. Laboratorium darah
d. Radiologi
- Pada foto toraks PA dan lateral bronkitis kronik terlihat
gambaran: Normal atau corakan bronkovaskuler bertambah
pada 21% kasus.

- CT-scan13

- MRI

2.3 Gambaran Radiologi Bronkitis Kronik


2.3.1 Gambaran Bronkitis Kronik Pada Pemeriksaan X-Ray1.
Bronkitis kronik biasanya tidak terdapat kelainan pada pemeriksaan foto
polos atau ditemukannya penebalan dinding bronchial, serta peningkatan corakan
bronkovaskuler yang memberikan gambaran “dirty lung”.15

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS 8


Gambar 2.3 Foto Rontgen Brokitis Kronik15
Bronkitis kronik yang timbul bersamaan dengan emfisema sebagai bagian
dari penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) pada gambaran rontgen memberikan
beberapa gambaran, yakni pendataran diafragma dan peningkatan ruang
retrosternal space, serta peningkatan corakan bronkovaskuler.15

Gambar 2.4 Foto Rontgen Bronkitis Kronik dengan Emfisema15


Temuan patologis yang paling konsisten pada bronkitis kronis adalah
hipertrofi kelenjar lendir dan sekresi bronkus. Bronkitik kronis hampir selalu
mengenai perokok, dan biasanya laki-laki. Peran radiologi pada bronkitis kronis
adalah untuk mendeteksi dan menilai komplikasi dari kondisi dan juga untuk
mendeteksi penyakit lain yang biasanya sering menyertai. Emfisema paru adalah

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS 9


komplikasi umum yang dapat dinilai secara radiografis, seperti halnya
perkembangan cor pulmonale. Sekitar 50% pasien dengan bronkitis kronis
memiliki rontgen dada normal. Pada pasien dengan kelainan rontgen dada, biasanya
disebabkan oleh emfisema, infeksi atau mungkin bronkiektasis. Gambaran yang
menunjukkan bronkitis kronis disebut “dirty lung. Jika pola ini sangat jelas, dengan
bayangan linear halus dan opasitas nodular kabur, maka gambarannnya bisa
menyerupai fibrosis interstisial, karsinomatosis limfaitis atau bronkiektasis.
Tramline tipis atau bayangan tubular juga dapat dilihat, menunjukkan
bronkiektasis, tetapi sifat yang tepat dari bayangan ini tidak pasti. Opasitas ini
biasanya berhubungan dengan hilus, dan mungkin akan lebih jelas jika
menggunakan pemeriksaan CT, namun tentu saja tidak menjadi pilihan utama
dalam diagnostik bronkitis kronis.26

Gambar 2.5 Bronkitis kronis pada pria berusia 62 tahun. Gambaran opak pada
kedua paru, menyerupai “dirty lung”26

2.3.2 Gambaran Bronkitis Kronik Pada Pemeriksaan CT Scan


Pada kondisi bronkitis kronik, terjadi penebalan dinding bronkus dan
pelebaran pembuluh darah. Inflamasi yang berulang dapat menyebabkan
jaringan scar dengan bronkovaskuler irregular dan fibrosis. Kadang, pada CT-
Scan gambaran Centralobular emfisema (CLE) didapati berdampingan dengan
bronchitis kronik, yaitu gambaran hiperdensitas pada sentrilobular yang
menandakan peradangan atau penebalan dinding bronkiolar disertai adanya
gambaran mucus pada pohon trakeobronkial. Pada saat fase ekspirasi, dapat
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS 10
ditemukan atenuasi mozaik, yang disebabkan oleh udara yang terperangkap, dan
ditandai juga dengan area dengan atenuasi tinggi dan rendah yang saling
bercampur.15

Gambar 2.6 CT Scan Bronkitis Kronis15

Gambar 2.7 CT-Scan Bronkitis Kronik16

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS 11


2.3.3 Gambaran Bronkitis Kronik pada Pemeriksaan MRI
MRI menjadi semakin berguna untuk pencitraan struktur dan fungsi paru-
paru, dalam hal pencitraan saluran napas, penilaian ventilasi, dan evaluasi perfusi
paru. MRI memiliki kelebihan dibanding CT karena tidak menggunakan radiasi
pengion. Meskipun CT memiliki visualisasi yang lebih baik bila terjadi perubahan-
perubahan struktur pada parenkim paru, MRI memiliki keunggulan berupa
pencitraan terhadap fungsi paru. MRI dapat memvisualisasikan ventilasi dan
perfusi paru yang diambil pada beberapa interval waktu, sehingga dapat
menunjukkan dinamika pernapasan dan pencitraan terkait fungsi diafragma.17
Morfologi paru dan fungsinya juga dapat dinilai menggunakan MRI
dengan oxygen-enhanced atau dengan enhance gas mulia. Gas mulia
terhiperpolarisasi atau oksigen molekular dapat digunakan sebagai agen kontras
MRI inhalasi dan dapat menunjukkan perfusi dan ventilasi regional. Serupa dengan
administrasi dari media kontras darah, sinyal pada paru saat MRI dinamis dapat
diproses dengan kalkulasi aliran masuk berdasarkan waktu untuk mendapatkan
parameter kuantitatid seperti aliran darah paru, volume darah dan waktu transit rata-
rata.17,18
Pemetaan kuantitatif pada perfusi paru yang didapatkan dengan MRI dapat
dibandingkan dengan skintigrafi paru.19 MRI dengan penambahan kontras secara
dinamis juga mulai digunakan untuk mengevaluasi dan monitor tingkat keparahan
penyakit bronkitis kronik.20

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS 12


Gambar 2.8 Perbandingan T1 dan karakteristik perfusi. Pemetaan T1 normal pada
udara ruangan (kiri), pemetaan T1 setelah 100% O2 (tengah), dan paru-paru DCE
perfusi (kanan) (skor zona = 0 masing-masing) dari orang sehat berusia 29 tahun
(A). Pasien 59 tahun dengan GOLD stadium II menunjukkan kelainan T1 minor di
room air (skor = 1), T1 normal setelah pemberian 100% O2 (skor = 0) dan kelainan
perfusi minor (skor = 1) dari zona paru tengah dan bawah (area antara panah putih),
mencerminkan area paru-paru dengan ventilasi utuh dan gangguan perfusi simultan
(B). Abnormalitas T1 berat pada udara ruangan, T1 100% setelah pemberian O2
dan kelainan perfusi (skor = 2 masing-masing) mempengaruhi seluruh paru pasien
berusia 75 tahun dengan GOLD stadium II (C).21
MRI dapat menyediakan penilaian pada mikrostruktur alveolus dan
defek regional pada ventilasi bahkan pada mantan perokok di tahap yang sangat
awal terjadinya penyakit ketika subjek tersebut datang tanpa keterbatasan aliran

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS 13


udara ataupun meski tanpa bukti pada CT adanya gangguan aliran udara ataupun
emfisema, seperti yang tertera pada gambar di bawah ini.22

Gambar 2.9 Gambaran CT dan MRI pada bekas perokok (74 tahun tanpa bukti
pada CT atau spirometri yang mendukung bronkitis kronik dan kapasitas difusi
yang rendah dari karbon monoksida pada paru. a) Ventilasi He, b) CT dengan
rekonstruksi free-airway, c) He ADC, dan d) struktur aliran udara dan pewarnaan
LACs berdasarkan lobus. sLAC: low-attenuation (<-950 HU) clusters; ADC:
Apparent diffusion coefficient22

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS 14


Gambar 2.10 Perbandingan gambaran MRI dan CT paru pada bukan perokok,
pasien PPOK ringan-sedang dan PPOK berat. Individu yang bukan merokok
(wnaita 64 tahun) dengan dua orang mantan perokok. PPOK ringan-sedang: laki-
laki 76 tahun, 72 pack-years. PPOK berat: wanita 69 tahun, 106 pack-years).22

Gambar 2.11 Gambaran MRI coronal dan CT scan berdasarkan tingkat


keparahan PPOK.21

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS 15


Ventilasi ditunjukkan dengan warna biru. Warna kuning menunjukkan
area relatif pada paru dengan atenuasi CT kurang dari -950 HU pada CT
inspirasi. Mantan perokok tanpa PPOK merupakan seorang laki-laki berusia 56
tahun dengan riwayat merokok 41 pack-year dan fungsi paru normal. Subjek
dengan GOLD I merupakan seorang laki-laki usia 87 tahun dengan riwayat
merokok 18 pack-year dengan fungsi paru abnormal ringan. Subjek dengan
GOLD II merupakan seorang wanita usia 77 tahun dengan riwayat merokok 112
pack-year dan aliran udara abnormal, hiperinflasi dan kapasitas difusi abnormal.
GOLD III/IV merupakan seorang wanita usia 76 tahun dengan riwayat merokok
30 pack-year dengan abnormalitas aliran udara berat, hiperinflasi dan
abnormalitas yang berat pada kapasitas difusi.21

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS 16


Gambar 2.12 Pemetaan ventilasi dan ADC MRI serta densitas CT dengan
representasi dari mantan perokok, PPOK ringan (GOLD I) dan PPOK berat
(GOLD III) pada baseline dan saat follow-up.23 Mantan perokok: Wanita usia
72/75 (BL/FU) tahun; bronkitis kronik ringan: pria 76/78 tahun; PPOK berat:
wanita 67/69 tahun.21

2.3.4 Bronkografi

Bronkografi adalah pemeriksaan x-ray dengan kontras dari traktus


respiratorius bawah, yaitu laring, trakhea, dan bronkus sehingga struktur dari
traktus respiratorius bawah dapat dinilai. Pemeriksaan ini menggunakan kontras
yang dimasukkan dengan menggunakan kateter. Adapun beberapa penyakit yang
dapat dideteksi menggunakan bronkografi seperti bronkiektasis, hemoptisis,
fistula tracheoesofagus, tumor, dan bronkitis kronik.24

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS 17


Bronkitis kronik akan memberikan gambaran pada bronkografi berupa
dilatasi bronkus yang berlebih saat inspirasi, sedangkan saat ekspirasi bronkus
terlihat normal, sedangkan pada keadaan normal, gambaran bronkus saat
inspirasi akan terlihat dilatasi dan saat ekspirasi akan memberikan gambaran
konstriksi. Selain itu, pada bronkografi juga didapatkan divertikulosis pada
bronkus utama ataupun lobaris dengan gambaran kantung multipel di permukaan
inferior bronkus, terutama di lobus atas atau di lingula. Namun, bronkografi
hingga saat ini sudah banyak ditinggalkan karena tindakan yang invasive dan
memiliki efek samping yang tinggi.25

Gambar 2.13 Bronkografi pada Bronkitis Kronik24

2.4 Diagnosis Banding Bronkitis Kronik


1. Asma

Peran radiologi pada asma terbatas. Kebanyakan penderita asma


menunjukkan X-ray dada normal selama remisi. Selama serangan asma, rontgen
dada dapat menunjukkan tanda-tanda hiperinflasi, dengan depresi diafragma dan
perluasan udara retrosternal. Emfisema mediastinal dapat terjadi sekunder dan
kadang-kadang dapat menyebabkan pneumotoraks. Pentingnya radiologi pada
asma adalah untuk mengecualikan komplikasi seperti infeksi paru, atelektasis atau
pneumotoraks. CT scan resolusi tinggi (HRCT) pasien asma mungkin
menunjukkan satu atau lebih hal berikut yakni penebalan dinding bronkial.
bronkiektasis tubular, dan adanya area penurunan atenuasi parenkim paru-paru.26

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS 18


Gambar 2.14 Asma pada wanita berusia 64 tahun. (A) Selama serangan asma paru-
paru mengalami hiperinflasi, diafragma menjadi depresi dan datar (B) Selama
remisi radiografi dada normal.26

2. Emfisema dengan Bronkitis Kronik

Banyak pasien dengan penyakit saluran udara obstruktif kronik memiliki


emfisema dan bronkitis kronis sekaligus. Rontgen dada dapat menunjukkan
kombinasi hiperinflasi, hipertensi arteri paru dan peningkatan tanda
bronkovaskular.26

Gambar 2.15 Emfisema dengan Bronkitis Kronik26

3. Bronkiektasis

Bronkiektasis dapat terjadi pada sebagian lapangan paru atau juga


menyeluruh. Bronkus yang melebar dapat menghasilkan bayangan tramline atau
cincin yang menyerupai bayangan 'gloved finger'. Akumulasi nanah atau sekresi
pada bronkus dapat menghasilkan kadar cairan yang meningkat. Bronkografi

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS 19


merupakan metode definitif mendiagnosis bronkiektasis namun sekarang telah
sepenuhnya digantikan oleh HRCT.26

Gambar 2.16 Bronkiektasis. Gambaran ring shadow, tampak air-fluid level pada
bagian bawah paru26

4. TB Paru

Sebagian besar kasus tuberkulosis paru primer adalah subklinis, meskipun


mungkin ada demam, gejala pernapasan atau eritema nodosum. Pembesaran
kelenjar getah bening dapat menekan saluran udara yang berdekatan dan
menyebabkan collapse paru dan hiperinflasi. Node caseating juga dapat
mengganggu saluran udara, menyebabkan bronkopneumonia, hingga infeksi
milier.. Lesi biasanya dimulai di bagian subapikal dari lobus atas atau di segmen
apikal dari lobus bawah sebagai daerah kecil peradangan eksudatif. Biasanya ada
rongga besar dengan beberapa rongga satelit yang lebih kecil, bisa terjadi bilateral
tetapi lebih sering di satu sisi.26

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS 20


Gambar 2.17 Pneumonia tuberkulosis. Terdapat air bronchogram dan konsolidasi
lobus atas kiri26

Gambar 2.18 Terdapat konsolidasi di perihilar dan penebalan hilus kiri26

2.5 Tatalaksana Bronkitis Kronik

Prinsip penatalaksanaan bronkitis kronik diantaranya adalah sebagai berikut :26

1. Berhenti Merokok

2. Terapi farmakologis dapat mengurangi gejala, mengurangi frekuensi dan


beratnya eksaserbasi dan memperbaiki status kesehatan dan toleransi aktivitas.

3. Regimen terapi farmakologis sesuai dengan pasien spesifik, tergantung beratnya


gejala, risiko eksaserbasi, availabilitas obat dan respon pasien.

4. Vaksinasi Influenza dan Pneumococcal

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS 21


5. Semua pasien dengan napas pendek ketika berjalan harus diberikan rehabilitasi
yang akan memperbaiki gejala, kualitas hidup, kualitas fisik dan emosional pasien
dalam kehidupannya sehari-hari.

2.5.1 Terapi Farmakologi

1. Bronkodilator

Bronkodilator adalah pengobatan yang berguna untuk meningkatkan


FEV1 atau mengubah variable spirometri dengan cara mempengaruhi tonus otot
polos pada jalan napas.24 Prinsip kerja dari β2 agonis adalah relaksasi otot polos
jalan napas dengan menstimulasi reseptor β2 adrenergik dengan meningkatkan
C-AMP dan menghasilkan antagonisme fungsional terhadap bronkokontriksi.
Efek bronkodilator dari short acting β2 agonist biasanya dalam waktu 4-6 jam.
Penggunaan β2 agonis secara reguler akan memperbaiki FEV1 dan gejala
(Evidence B). Penggunaan dosis tinggi short acting β2 agonist pro renata pada
pasien yang telah diterapi dengan long acting broncodilator tidak didukung bukti
dan tidak direkomendasikan.2

Long acting β2 agonist inhalasi memiliki waktu kerja 12 jam atau lebih.
Formoterol dan salmeterol memperbaiki FEV1 dan volume paru, sesak napas,
health related quality of life dan frekuensi eksaserbasi secara signifikan
(Evidence A), tapi tidak mempunyai efek dalam penurunan mortalitas dan fungsi
paru. Salmeterol mengurangi kemungkinan perawatan di rumah sakit (Evidence
B). Indacaterol merupakan Long acting β2 agonist baru dengan waktu kerja 24
jam dan bekerja secara signifikan memperbaiki FEV1, sesak dan kualitas hidup
pasien (Evidence A). Efek samping adanya stimulasi reseptor β2 adrenergik
dapat menimbulkan sinus takikardia saat istirahat dan mempunyai potensi untuk
mencetuskan aritmia. Tremor somatic merupakan masalah pada pasien lansia
yang diobati obat golongan ini.27

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS 22


2. Antikolinergik
Obat yang termasuk pada golongan ini adalah ipratropium, oxitropium dan
tiopropium bromide. Efek utamanya adalah memblokade efek asetilkolin pada
reseptor muskarinik. Efek bronkodilator dari short acing anticholinergic inhalasi
lebih lama dibanding short acting β2 agonist. Tiopropium memiliki waktu kerja
lebih dari 24 jam. Aksi kerjanya dapat mengurangi eksaserbasi dan hospitalisasi,
memperbaiki gejala dan status kesehatan, serta memperbaiki efektivitas rehabilitasi
pulmonal. Efek samping yang bisa timbul akibat penggunaan antikolinergik adalah
mulut kering. Meskipun bisa menimbulkan gejala pada prostat tapi tidak ada data
yang dapat membuktikan hubungan kausatif antara gejala prostat dan penggunaan
obat tersebut.27

a. Methylxantine
Contoh obat yang tergolong methylxanthine adalah teofilin. Obat ini dilaporkan
berperan dalam perubahan otot-otot inspirasi. Namun obat ini tidak
24
direkomendasikan jika obat lain tersedia.

b. Kortikosteroid

Kortikosteroid inhalasi yang diberikan secara regular dapat memperbaiki gejala,

fungsi paru, kualitas hidup serta mengurangi frekuensi eksaserbasi pada pasien
dengan FEV1<60% prediksi.27

c. Phosphodiesterasi-4-inhibitor

Mekanisme dari obat ini adalah untuk mengurangi inflamasi dengan menghambat
pemecahan intraselular C-AMP. Tetapi, penggunaan obat ini memiliki efek samping
seperti mual, menurunnya nafsu makan, sakit perut, diare, gangguan tidur dan sakit
kepala.27

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS 23


2.5.2 Terapi Farmakologi Alternatif

1.Vaksin: vaksin pneumococcus direkomendasikan untuk pada pasien bronkitis kronik


usia > 65 tahun

2. Alpha-1 Augmentation therapy: Terapi ini ditujukan bagi pasien usia muda dengan
defisiensi alpha-1 antitripsin herediter berat. Terapi ini sangat mahal, dan tidak
tersedia di hampir semua negara dan tidak direkomendasikan untuk pasien bronkitis
kronik yang tidak ada hubungannya dengan defisiensi alpha-1 antitripsin.

3. Antibiotik: Penggunaannya untuk mengobati infeksi bakterial yang mencetuskan


eksaserbasi

4. Mukolitik dan antioksidan: Ambroksol, erdostein, carbocysteine, ionated glycerol


dan N-acetylcystein dapat mengurangi gejala eksaserbasi.

5. Immunoregulator (immunostimulator, immunomodulator)

2.5.3 Terapi Lain

1. Terapi Oksigen

2. Ventilatory support

3. Tatalaksana pembedahan (Lung Volume Reduction Surgery (LVRS), Bronchoscopic


Lung Volume Reduction (BLVR), transplantasi paru, bullektomi).

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS 24


BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1. Bronkitis kronik adalah kelainan saluran napas yang ditandai oleh batuk
kronik berdahak minimal 3 bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya dua
tahun berturut - turut, tidak disebabkan penyakit lainnya.
2. Biasanya tidak terdapat kelainan pada pemeriksaan foto polos atau dapat
ditemukannya penebalan dinding bronkial dan peningkatan corakan
bronkovaskuler.
3. Pada CT Scan, gambaran sentralobular emfisema didapati berdampingan
dengan bronkitis kronik yaitu peradangan atau penebalan dinding bronkiolar
disertai adanya gambaran mukus.
4. Selain itu, MRI dapat menyediakan penilaian pada mikrostruktur alveolus dan
defek regional pada ventilasi bahkan pada tahap yang sangat awal terjadinya
penyakit.

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS 25


DAFTAR PUSTAKA

1. Windrasmara, 2012. Hubungan Antara Derajat Merokok dengan Prevalensi PPOK


dan Bronkitis Kronik di BBKPM Surakarta.
2. Garcia MG, Caballero, Jaramilo, Duque, 2018. Chronic bronchitis: High
prevalence in never smokers and underdiagnosis— A population-based study in
Colombia Chronic RespiratoryDiseaseJournal. https://doi.org/10.1177/14799723187
3. Cohen J., Powderly W., Opal S. Infectious Diseases. 3rd ed. Mosby (Elsevier);

Philadelphia, PA, USA: 2010. Bronchitis, Bronchiectasis, and Cystic Fibrosis; pp.
276–283. Chapter 33
4. Karunanayake et al, 2017. Bronchitis and Its Associated Risk Factors in First
Nations Children. Children Journal. Volume 12 Nomor 4 Desember 2017. doi:
10.3390/children4120103. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5742748/
5. Woodfork K. Bronchitis. The Comprehensive Pharmacology Reference. xPharm.
2007;1-13. doi:10.1016/B978-008055232-3.63026-0
6. Selviana dkk, 2015. Hubungan Antara Lingkungan Fisik Rumah Dan Status
Merokok Dengan Kejadian Bronkitis Akut Pada Balita di Wilayah Kerja
7. Campbell NA. Biology. California:The Benjamin Commings Publishing
Company;1993.
8. Moore, Keith L, Arthur F. Dalley. Clinically Oriented Anatomy. Ed 4. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins;1999.
9. Lange K. Role Of Microvillar Cell Surfaces In The Regulation Of Glucose Uptake
And Organtization Of Energy Metabolism. Am J Physic Cell Physiol. 2002;1(96):282-
3.
10. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
Pedoman & Penatalaksanaan Di Indonesia. 2016.
11. Kim V, Criner GJ. Chronic Bronchitis And Chronic Obstructive Pulmonary
Disease. Am J Res Crit Care Med. 2013;187:228-37.
12. Price SA, Wilson LM, editors. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Edisi 6. Jakarta:Penerbit Buku Kedokteran EGC;2006.
13. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). Pocket guide to
COPD diagnosis, management and prevention. A guide for health care professionals.
2020.

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS 26


14. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). Pedoman dan penatalaksanaan
Penyakit Paru Obstruktif Kronik di Indonesia. Jakarta; 2011.
15. Daniel JB, Rishi A. Congenital lobar overinflation. Radiopaedia. [Internet] 2021.
Diakses dari: https://radiopaedia.org/articles/congenital-lobar-overinflation.
16. Sze TFC. The role of Computed Tomography in Vhronic Obstructive Pulmonary
Disease. J Allergy Clin Immunol Prac. 5th 2017;3(4):594- 596p
17. Edwards R. Imaging of Small Airways and Emphysema. Clinics in chest medicine.
Philadelphia:Elsevier. 2015; p 335-347
18. Fink C, Puderbach M, Bock M, et al. Regional lung perfusion: assessment with
partially parallel three dimensional MR imaging. Radiology 2004;231:175-84.
19. Ohno Y, Hatabu H, Murase K, et al. Quantitative assessment of regional pulmonary
perfusion in the entire lung using three-dimensional ultrafast dynamic
contrastenhanced magnetic resonance imaging: Preliminary experience in 40 subjects.
J Magn Reson Imaging 2004;20:353-65.
20. Molinari F, Fink C, Risse F, et al. Assessment of differential pulmonary blood flow
using perfusion magnetic resonance imaging: comparison with radionuclide perfusion
scintigraphy. Invest Radiol 2006;41:624-30.
21. Jobst BJ, Triphan SM, Sedlaczek O, et al. Functional lung MRI in chronic
obstructive pulmonary disease: comparison of T1 mapping, oxygen-enhanced T1
mapping and dynamic contrast enhanced perfusion. PLoS One.
2015;10(3):e0121520.doi:10.1371/journal.pone.0121520
22. Jonathan LM, Dante PIC, Andrew RW, Rachel LE, Andrea LB, David GM, et al.
Pulmonary Imaging Phenotypes of Chronic Obstructive Pulmonary Disease Using
Multiparametric Response Maps. Radiology 2020; 00:1–10.
23. Kirby M, Owrangi A, Svenningsen S, et al. On the role of abnormal DLCO in ex-
smokers without airflow limitation: symptoms, exercise capacity and hyperpolarised
helium-3 MRI. Thorax 2013; 68: 752–759.
24. Ono R. [Bronchography]. Rinsho Hoshasen. 1983 Oct;28(11 Suppl):1355-65.
Japanese. PMID: 6672318.
25. Ogilvie AG. Bronchography in chronic bronchitis. Thorax. 1975 Dec;30(6):631-5.
doi: 10.1136/thx.30.6.631. PMID: 1221550; PMCID: PMC470338.
26. Sutton D. Textbook Of Radiology And Imaging Volume 1. Ed 7. London:
Churchill Livingstone;2003.

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS 27


27. Aryo YS. Hendarsyah S. Penyakit Paru Obstruktif Kronis. Ina J Chest Crit and
Emerg Med. 2014; 1(2)83-88.

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS 28

Anda mungkin juga menyukai