Anda di halaman 1dari 36

Laporan Kasus

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK


(PPOK)

PENDAMPING :
dr. Azizah
dr. Lovita Tri Marni

PENYAJI:
dr. Dwi Ariska

RSUD DR R.M PRATOMO


BAGANSIAPAPI
2018
i

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
rahmat-Nya yang telah memberi kami kesempatan untuk sama-sama belajar
mencapai hidup yang lebih baik lagi dan juga dengan hidayah-Nya sehingga kami
dapat menyelesaikan laporan kasus ini dengan judul “Penyakit Paru Obstruktif
Kronik”.

Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini masih jauh dari
kesempurnaan, baik isi maupun susunan bahasanya, untuk itu penulis
mengharapkan saran dan kritik dari pembaca sebagai koreksi dalam penulisan
laporan kasus selanjutnya. Semoga makalah laporan kasus ini bermanfaat, akhir
kata penulis mengucapkan terima kasih.

BAA, 01 Mei 2018

Penulis
ii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................... i


DAFTAR ISI ................................................................................................... ii

BAB 1 PENDAHULUAN .............................................................................. 1


1.1.Latar Belakang ............................................................................... 1
1.2.Rumusan Masalah .......................................................................... 1
1.3.Tujuan Penilitian ............................................................................ 2
1.4.Manfaat Penilitian .......................................................................... 2

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 3


2.1.Penyakit Paru Obstruktif Kronik ................................................... 3
2.1.1. Definisi .............................................................................. 3
2.1.2. Epidemiologi ..................................................................... 3
2.1.3. Etiologi .............................................................................. 4
2.1.4. Patogenesis ........................................................................ 6
2.1.5. Patofisiologi....................................................................... 8
2.1.6. Manifestasi Klinis.............................................................. 9
2.1.7. Diagnosis ........................................................................... 10
2.1.8. Derajat PPOK .................................................................... 12
2.1.9. Diagnosis Banding ............................................................ 14
2.1.10. Penatalaksanaan................................................................. 15
2.1.11. Komplikasi ........................................................................ 20

BAB 3 LAPORAN KASUS ........................................................................... 22

BAB 4 KESIMPULAN .................................................................................. 32

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 33


1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah suatu penyakit paru kronik
yang ditandai oleh adanya hambatan aliran udara di saluran nafas yang tidak
sepenuhnya reversible. Penyakit tersebut biasanya progresif dan berhubungan
dengan respons inflamasi abnormal paru terhadap partikel berbahaya atau gas
beracun.1
Diperkirakan 65 juta penduduk dunia menderita PPOK sedang sampai berat.
Pada tahun 2005 lebih dari 3 juta orang meninggal karena PPOK, menyumbang
5% dari seluruh penyebab kematian. Data mengenai morbiditas dan mortalitas
PPOK tersebut didapatkan sebagian besar dari negara dengan penghasilan tinggi.
Pada tahun 2002, PPOK merupakan penyebab kematian ke-5, diperkirakan akan
meningkat menjadi ke-3 pada tahun 2030 dengan total peningkatan kematian
30% dalam 10 tahun.2,3
PPOK akan berdampak negatif dengan kualitas hidup penderita, termasuk
pasien yang berumur > 40 tahun akan menyebabkan disabilitas penderitanya.
Padahal mereka masih dalam kelom-pok usia produktif namun tidak dapat bekerja
maksimal karena sesak napas yang kronik. Komorbiditas PPOK akan
menghasilkan penyakit kardiovaskuler, kanker bronchial, infeksi paru-paru,
trombo embolik disorder, keberadaan asma, hiper-tensi, osteoporosis, sakit sendi,
depresi dan axiety.4
Penatalaksanaan PPOK secara umum bertujuan untuk mencegah
progresivitas dari penyakit, mengurangi gejala, meningkatkan toleransi terhadap
aktivitas, meningkatkan status kesehatan, mencegah dan menangani komplikasi,
mencegah dan menangani eksaserbasi, dan menurunkan angka kematian.1,2

1.2. Rumusan Masalah


Bagaimana temuan klinis, klasifikasi, serta penatalaksanaan penyakit paru
obstruktif kronik (PPOK) di RSUD Dr.R.M Pratomo.
2

1.3 Tujuan Penulisan


Tujuan penulisan laporan kasus ini adalah:
1. Untuk memahami tinjauan ilmu teoritis penyakit penyakit paru
obstruktif kronik (PPOK).
2. Untuk mengintegrasikan ilmu kedokteran yang telah didapat terhadap
kasus penyakit paru obstruktif kronik (PPOK).
3. Untuk mengetahui gambaran klinis, perjalanan penyakit,
penatalaksanaan, dan tindakan rehabilitasi pada pasien yang menderita
penyakit penyakit paru obstruktif kronik (PPOK).

1.4 Manfaat Penulisan


Beberapa manfaat yang didapatdari penulisan laporan kasus ini adalah:
1. Untuk lebih memahami dan memperdalam secara teoritis tentang ilmu
penyakit dalam khususnya mengenai penyakit penyakit paru obstruktif
kronik (PPOK).
2. Sebagai bahan informasi dan pengetahuan bagi pembaca mengenai
penyakit penyakit paru obstruktif kronik (PPOK).
3

BAB 2
TINJUAN PUSTAKA

2.1. Penyakit Paru Obstruktif Kronik


2.1.1. Definisi
Penyakit paru obstuktif kronis (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang
ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progressif
nonreversibel atau reversibel parsial. PPOK ditandai dengan adanya emfisema dan
bronkitis kronis.2 Sedangkan menurut Global Initiative for Chronic Obstructive
Lung Disease (GOLD, 2013), PPOK adalah penyakit paru yang dapat dicegah dan
diobati, ditandai dengan limitasi aliran udara yang persisten dan progresif, akibat
respons inflamasi kronik pada jalan napas dan parenkim paru yang disebabkan
gas atau partikel beracun. Eksaserbasi dan komorbid berkontribusi pada beratnya
penyakit ini.1

2.1.2. Epidemiologi
Di Amerika kasus kunjungan pasien PPOK di instalasi gawat darurat
mencapai angka 1,5 juta, 726.000 memerlukan perawatan di rumah sakit dan
119.000 meninggal selama tahun 2000. Sebagai penyebab kematian, PPOK
menduduki peringkat ke empat setelah penyakit jantung, kanker dan peyakit
serebrovaskular. Diperkirakan 16,2 juta orang Amerika menderita bronkitis kronik
dan emfisema atau keduanya, yang bertanggung jawab dalam menyebabkan
112.584 kematian pada tahun 1998.5

World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa menjelang tahun


2020 prevalensi PPOK akan meningkat. Akibat sebagai penyebab penyakit
tersering peringkatnya akan meningkat dari keduabelas menjadi ke lima dan
sebagai penyebab kematian akan meningkat dari ke enam menjadi ke 3.
Berdasarkan survei kesehatan rumah tangga Departemen Kesehatan RI tahun
1992, PPOK bersama asma bronkial menduduki peringkat ke enam.6
4

2.1.3. Etiologi
Banyak hal yang dapat menjadi penyebab penyakit paru obstruktif kronis,
diantaranya yaitu:
1. Merokok
Penelitian menyebutkan bahwa kebiasaan merokok merupakan penyebab
terbanyak terjadinya PPOK. Kejadian PPOK karena merokok mencapai 90%
kasus. Merokok sigaret mempengaruhi makrofag untuk melepaskan faktor
kemotaktik dan elastase, yang akan menyebabkan kerusakan jaringan. Secara
signifikan, PPOK berkembang pada 15% perokok sigaret, walaupun jumlah ini
pasti bukan nilai sebenarnya. Usia memulai merokok, jumlah bungkus
pertahun, dan status merokok saat ini memprediksi mortalitas.6
Orang yang merokok mengalami penurunan FEV1: secara fisiologis
normal, penurunan FEV1diperkirakan sekitar 20-30 ml/tahun, tetapi pada
pasien PPOK biasanya menurun 60 ml/tahun atau lebih besar. Sebuah studi
menyimpulkan bahwa gangguan fungsi paru dan perubahan struktural paru
sudah muncul pada perokok sebelum tanda klinis obstruksi muncul.6

2. Faktor Lingkungan
PPOK juga dapat terjadi pada individu yang tidak pernah merokok.
Walaupun peran polusi udara sebagai etiologi PPOK tidak jelas, efeknya lebih
kecil bila dibandingkan dengan merokok. Pada negara berkembang,
penggunaan bahan bakar biomass serta memasak dan memanaskan dalam
ruangan kemungkinan juga menjadi penyumbang terbesar dalam prevalensi
PPOK.6

3. Hiperesponsif jalan napas


Pasien PPOK juga memiliki kecenderungan adanya hiperesponsif jalan
napas, seperti pada asma. Tetapi PPOK dan asma benar-benar berbeda. Asma
dilihat sebagai fenomena alergi, sedangkan PPOK merupakan hasil dari
kerusakan dan radang karena rokok. Studi longitudinal yang membandingkan
kepekaan saluran napas pada awal studi yang kemudian mengalami penurunan
5

fungsi paru telah menunjukkan bahwa peningkatan kepekaan saluran napas


secara jelas merupakan prediktor penurunan fungsi paru di waktu mendatang. 7
Tetapi studi ini masih belum jelas.

4. Defisiensi Alfa-1 antitripsin (AAT)


Alfa-1-antitripsin merupakan salah satu fraksi protein serum yang dapat
dipisahkan melalui elektroforesis dan dapat menetralisir elastase netrofil di
interstisium paru sehingga melindungi paru dari penghancuran elastolisis.6 Pada
keadaan defisiensi, maka mekanisme perlindungan terhadap elastolisis ini
berkurang, sehingga bisa menyebabkan emfisema.Penelitian Erikson tahun
1963 menyatakan bahwa defisiensi AAT diwariskan secara autosomal-
kodominan dan keadaan ini menyebabkan emfisema. Defisensi AAT
disebabkan karena mutasi pada gen AAT.6

5. Sindroma Imunodefisiensi
Infeksi Human immunodeficiency virus (HIV) merupakan faktor resiko
untuk PPOK, bahkan setelah mengontrol variabel pengganggu seperti merokok,
obat IV, ras dan usia. Pada pasien defisiensi autoimun dan infeksi
Pneumocystis carinii terjadi kerusakan paru yang kortikal dan apikal.6

6. Gangguan Jaringan Ikat


Cutis laxa adalah gangguan elastin yang digambarkan terutama dengan
penuaan prematur. Penyakit ini biasanya kongenital dengan bermacam bentuk
penurunan (mis. dominan, resesif). Emfisema prekoks dihubungkan dengan
cutis laxa sejak dari periode neonatus atau bayi. Patogenesis penyakit ini
karena defek sintesis elastin atau tropoelastin. Sindrom Marfan yaitu penyakit
autosomal dominan kolagen tipe I, ditemukan sekitar 10% pasiennya
mengalami abnormalitas paru, termasuk emfisema. 6,8
6

2.1.4. Patogenesis
PPOK dapat terjadi karena berbagai mekanisme patogenesis. Patogenesis
terjadinya PPOK diantaranya adalah:
1. Hipotesis Proteinase-antiproteinase
Hipotesis proteinase-antiproteinase didasarkan pada asumsi bahwa
kerusakan jaringan dan emfisema terjadi karena ketidakseimbangan proteinase
dan inhibitornya. Telah dinyatakan bahwa ada peningkatan kuantitas enzim
pendegradasi elastik dibandingkan inhibitornya pada emfisema. Konsep ini
diusulkan untuk emfisema yang digambarkan dengan defisienasi AAT.8 Pasien
dengan defisiensi AAT mengalami mutasi pada gen AAT. Mutasi Z adalah
mutasi paling umum dan mutasi ini menggangu sekresi protein dari hepatosit.
Hasilnya ditandai dengan penuruan level penghambat serin protease di
sirkulasi. Dilaporkan bahwa PiZ-α1 AT cenderung mengalami polimerisasi
yang dapat menghambat sekresi hepatik, menggangu inhibisi elastase netrofil
dan menyebabkan inflamasi. 9Matrix metalloproteinases (MMP) memiliki
kemampuan untuk membelah protein struktural seperti kolagen dan elastin,
sehingga berperan dalam patogenesis PPOK. Peningkatan banyak Matrix
Metalloprotein dilaporkan pada emfisema karena rokok dan 3 MMP (MMP-2, -
9, dan 12) mendegradasi elastin Protease lain yang berperan penting dalam
patogenesis PPOK adalah cathapsins S, L (dalam makrofag), dan G, serta
proteinase-3 (dalamnetrofil) 9

2. Mekanisme Imunologis
PPOK berhubungan dengan respon inflamasi paru yang abnormal
terhadap partikel atau gas berbahaya, terutama rokok. 1.Pasien dengan PPOK
dilaporkan mengalami peningkatan netrofil di sputum, jaringan paru dan
bronchoalveolar lavage (BAL) dan neutrofil berperan penting dalam
patogensis PPOK. Level serum immunoglobulin free light chains (IgLC)
meningkat pada PPOK karena rokok. IgLC mengikat netrofil dan cross-linking
IgLC pada netrofil menghasilkan peningkatan produksi IL8yang merupakan
atraktan selektif untuk netrofil. Sel B juga meningkat pada pasien PPOK dan
7

sel ini memproduksi IgCL, selain memproduksi IgG dan IgA. Level serum IgE
juga meningkat dan berhubungan dengan merokok. 9

3. Keseimbangan Oksidan-antioksidan
Stress oksidatif dapat menggangu vasodilatasi dan pertumbuhan sel
endotel.9 Ketika oksidan melebihi antioksidan paru; modifikasi protein, lemak,
karbohidrat, dan DNA terjadi dan menghasilkan kerusakan jaringan. Oksidan
tersebut dapat memodifikasi elastin, sehingga lebih rentan terhadap
pembelahan proteolitik. Merokok dapat menginaktivasi histone deacetylase
(HDAC2) dan menyebabkan transkripsi kemokin/sitokin netrofil (TNF-α dan
IL-8) dan MMP sehingga terjadi degradasi matriks yang mendukung
terbentuknya emfisema. 9

4. Inflamasi Sistemik
PPOK juga memiliki manifestasi ekstrapulmomal. Dinyatakan bahwa
inflamasi pulmonal persisten dapat menyebabkan pelepasan kemokin dan
sitokin proinflamasi ke sirkulasi. Mediator ini dapat menstimulasi liver,
jaringan adiposa dan sumsum tulang untuk melepaskan sejumlah leukosit,
CRP, interleukin (IL)-6, IL-8, fibrinogen dan TNF-α ke sirkulasi dan
menyebabkan inflamasi sistemik .10 Inflamasi sistemik dapat memulai atau
memperburuk penyakit komorbid, seperti penyakit jantung iskemik,
osteoporosis, anemia normositik, kanker paru, depresi, dan lain-lain.9

5. Apoptosis
Studi terbaru menyatakan bahwa apoptosis terlibat dalam perkembangan
PPOK dan telah ditunjukkan adanya peningkatan apoptosis epitel alveolar dan
sel endotel di paru pasien PPOK.Karena tidak diimbangi dengan peningkatan
proliferasi protein struktural, maka hal ini akan berakhir dengan kerusakan
jaringan paru dan emfisema.9
8

6. Perbaikan yang Tidak Efektif


Ada perbaikan yang tidak efektif pada emfisema dan keterbatasan
kemampuan paru dewasa untuk memperbaiki alveolus yang rusak. 9

2.1.5. Patofisiologi
Gejala-gejala yang ditimbulkan oleh PPOK merupakan konsekuensi dari
mekanisme patofisiologi PPOK, diantaranya adalah:
1. Pembatasan Aliran udara dan Udara yang Terjebak
Inflamasi luas, fibrosis dan eksudat lumen pada saluran pernapasan kecil
berhubungan dengan penurunan FEV1 dan rasio FEV1/FVC, dan mungkin
dengan percepatan penurunan FEV1 (karakteristik PPOK), obstruksi saluran
napas ini akan menjebak udara saat ekspirasi dan menyebabkan hiperinflasi.
Emfisema juga berperan dalam menjebak udara selama ekspirasi. Hiperinflasi
mengurangi kapasitas inspirasi demikian juga kapasitas residual fungsional
meningkat, khususnya selama aktivitas, menghasilkan peningkatan dispnea dan
keterbatasan kapasitas saat aktivitas. Hiperinflasi berkembang pada tahap awal
penyakit dan menjadi mekanisme utama dispnea saat aktivitas. 1

2. Abnormalitas Pertukaran Gas


Abnormalitas pertukaran gas menyebabkan hipoksemia dan hiperkapnia.
Distribusi abnormal rasio ventilasi-perfusi adalah mekanisme pertukaran gas
11
abnormal pada PPOK. Umumnya transfer oksigen dan karbon dioksida
memburuk selama perjalanan penyakit. Hal ini menyebabkan retensi karbon
dioksida saat dikombinasikan dengan penurunan ventilasi selama kerja
pernapasan tinggi karena obstruksi berat dan hiperinflasi bersamaan dengan
gangguan dari otot ventilasi. 1

3. Hipersekresi Mukus
Hipersekresi mukus adalah abnormalitas fisiologis pertama pada PPOK.
awalnya adalah stimulasi sekresi dari kelenjar mukus yang membesar.
9

Lamakelaman hipersekresi mukus terjadi karena metaplasia epitel skuamosa.


Hipersekresi mukus ini menghasilkan batuk produktif yang kronis. Pasien
dengan hipersekresi mukus adalah bila terjadi peningkatan jumlah sel goblet
dan pembesaran kelenjar submukosa. 11

4. Hipertensi Pulmonal
Terjadi pada kasus PPOK yang sudah lama, biasanya setelah terjadi
abnormalitas pertukaran gas. Faktor yang berkontribusi menyebabkan
hipertensi pulmonal pada PPOK termasuk vasokonstriksi, disfungsi endotel,
dan remodelling arteri pulmonal. Kombinasi ini mungkin suatu saat
11
menyebabkan pembesaran ventrikel jantung kanan. Ada respon inflamasi
pada pembuluh darah yang sama dengan yang terjadi pada saluran napas.
Emfisema dan hilangnya capillary bed juga berkontribusi terjadinya
peningkatan tekanan di sirkulasi pulmonal. 1

5. Gambaran Sistemik
Keterbatasan aliran udara dan khususnya hiperinflasi mempengaruhi
fungsi jantung dan pertukaran gas (Barr et al., 2010). Mediator inflamasi ke
sirkulasi mungkin berkontribusi pada penurunan massa otot skeletal dan
kaheksia, dan mungkin memulai atau memperburuk penyakit komorbid seperti
penyakit jantung iskemik, gagal jantung, osteoporosis, anemia normositik,
diabetes, sindroma metabolik, dan depresi (GOLD, 2013). Efek sistemik ini
berkontribusi pada pembatasan kapasitas aktivitas pada pasien dan
memperburuk prognosis, tidak bergantung pada fungsi paru mereka.2

2.1.6. Manifestasi Klinis


Gejala dari PPOK adalah seperti susah bernafas, batuk kronis dan
terbentuknya sputum kronis, episode yang buruk atau eksaserbasi sering muncul.
Salah satu gejala yang paling umum dari PPOK adalah sesak napas (dyspnea).
Orang dengan PPOK umumnya menggambarkan ini sebagai:. "Saya merasa
kehabisan napas," atau "Saya tidak bisa mendapatkan cukup udara ".10
10

Orang dengan PPOK biasanya pertama sadar mengalami dyspnea pada saat
melakukan olahraga berat ketika tuntutan pada paru-paru yang terbesar. Selama
bertahun-tahun, dyspnea cenderung untuk bertambah parah secara bertahap
sehingga dapat terjadi pada aktivitas yang lebih ringan, aktivitas sehari-hari
seperti pekerjaan rumah tangga. Pada tahap lanjutan dari PPOK, dyspnea dapat
menjadi begitu burukyang terjadi selama istirahat dan selalu muncul.10
Orang dengan PPOK kadang-kadang mengalami gagal pernafasan. Ketika
ini terjadi, sianosis, perubahan warna kebiruan pada bibir yang disebabkan oleh
kekurangan oksigen dalam darah, bisa terjadi. Kelebihan karbon dioksida dalam
darah dapat menyebabkan sakit kepala, mengantuk atau kedutan (asterixis). Salah
satu komplikasi dari PPOK parah adalah cor pulmonale, kejang pada jantung
karena pekerjaan tambahan yang diperlukan oleh jantung untuk memompa darah
melalui paru-paru yang terkena dampak.4 Gejala cor pulmonale adalah edema
perifer, dilihat sebagai pembengkakan pada pergelangan kaki, dan dyspnea.10

2.1.7. Diagnosis PPOK


A. Anamnesis
a. Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala
pernafasan
b. Sesak : Dengan atau tanpa bunyi mengi, Progresif (sesak bertambah berat
seiring berjalannya waktu), Bertambah berat dengan aktifitas, Persisten
(menetap sepanjang hari), Pasien mengeluh berupa,”perlu usaha untuk
bernafas” , Berat, sukar bernafas, terengah-engah.
c. Batuk kronik : batuk hilang timbul selama 3 bulan yang tidak hilang
dengan pengobatan yang diberikan.
d. Berdahak kronik : kadang pasien menyatakan hanya berdahak terus-
menerus tanpa disertai batuk.
e. Riwayat terpajan faktor risiko : asap rokok , debu, bahan kimia ditempat
kerja, asap dapur.
f. Riwayat penyakit emfisema pada keluarga.1
11

B. Pemeriksaan fisik
a. Inspeksi
1) Pursed- lips breathing (mulut setengah terkatup / mencucu)
2) Barrel chest (diameter antero-posterior dan transversal sebanding)
3) Penggunaan otot bantu napas
4) Hipertropi otot bantu napas
5) Pelebaran sela iga
6) Penampilan pink puffer (gambaran yang khas pada emfisema, pasien
kurus, kulit kemerahan dan pernafasan pursed-lips breathing) atau
Blue bloater (gambaran khas pada bronkitis kronik, pasien gemuk
sianosis)
b. Palpasi
Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar
c. Perkusi
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma
rendah, hepar terdorong ke bawah.
d. Auskultasi
1) Suara napas vesikuler normal, atau melemah
2) Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernafas biasa atau pada
ekspirasi paksa.
3) Ekspirasi memanjang
4)
Bunyi jantung terdengar jauh.1

C. Pemeriksaan penunjang
a. Spirometri (VEP1 ,VEP1 prediksi , KVP, VEP1/KVP)
Obstruksi : % VEP1 (VEP1/ VEP1 prediksi) <80%,VEP1 % (VEP1
/KVP)<75%

Gambar 2.4
Spirometri
PPOK7
12

b. Radiologi (Foto toraks PA dan lateral)


Pada emfisema terlihat (hiperinflasi, hiperlusen, ruang retrossternal
melebar, diafragma mendatar, jantung pendulum).1

Pada bronkitis kronik (adanya penambahan bronkovaskular dan pelebaran


dari arteri pulmonalis, ukuran jantung juga mengalami pembesaran).7

c. Laboratorium darah rutin (peningkatan leukosit, hemoglobin, trombosit,


dan hematokrit >55%)
d. Analisis gas darah (Po2 <60 mmHg dan Pco2 >60 mmHg) menilai gagal
napas.
e. Bakteriologi (untuk mengetahui pola kuman dan untuk pemilihan
antibiotik)
f. Elektrokardiografi (EKG) : untuk mengetahui komplikasi pada jantung,
ditandai oleh P pulmonal dan hipertrofi ventrikel kanan.
g. CT-scan untuk memperlihatkan pembessaran ruang udara dan
terperangkapnya udara.

2.1.8. Derajat PPOK


Berdasarkan kesepakatan para pakar (PDPI/ Perkumpulan Dokter Paru
Indonesia) maka PPOK dikelompokkan ke dalam : 8
a. PPOK ringan adalah pasien dengan atau tanpa batuk. Dengan atau tanpa
produksi sputum dan dengan sesak napas derajat nol sampai satu. Sedangkan
pemeriksaan Spirometrinya me-nunjukkan VEP1 ≥ 80% prediksi (normal) dan
VEP1/KVP < 70 %

b. PPOK sedang adalah pasien dengan gejala klinis dengan atau batuk. Dengan
atau produksi sputum dan sesak napas dengan derajad dua. Sedangkan
pemeriksaan Spirometrinya menunjukkan VEP1 ≥ 70% dan VEP1/KVP < 80%
prediksi
c. PPOK berat adalah pasien dengan gejala klinis sesak napas derajad tiga atau
empat dengan gagal napas kronik. Eksaserbasi lebih sering terjadi. Disertai
komplikasi kor pulmonum atau gagal jantung kanan. Adapun hasil spirometri
13

menunjukkan VEP1/KVP < 70 %, VEP1< 30 % prediksi atau VEP1> 30 % dengan


gagal napas kronik. Hal ini ditunjukkan dengan hasil pe-meriksaan analisa gas
darah dengan kriteria hipoksemia dengan normokapnia atau hipokse-mia dengan
hiperkapnia.

Derajat PPOK Berdasarkan Kriteria GOLD


Kriteria GOLD (Global Initiative for Chronic Obstructive Lung
Disease) adalah suatu kriteria yang dipakai secara internasional yang
merupakan kolaborasi antara National Institutes of Health (NIH) danWorld
Health Organization (WHO) dalam menentukan derajat keparahan pada pasien
PPOK.
Kriteria GOLD untuk PPOK mengklasifikasikan penderita PPOK
berdasarkan derajat pembatasan aliran udara (obstruksi). Selain untuk
mengklasifikasikan, kriteria GOLD ini juga berguna untuk mendiagnosis
obstruksi. Derajat keparahan PPOK dinilai berdasarkan nilai dari hasil
pemeriksaan spirometri.1
Nilai spirometri yang digunakan dalam penentuan kriteria GOLD adalah:
1. FVC (Forced Vital Capacity)atau Kapasitas Vital Paksa adalah total volume
udara yang dapat pasien keluarkan secara paksa dalam sekali bernapas.
2. FEV1 (Forced Expiratory Volume in One Second)atau Volume Ekspirasi
Paksa detik 1 adalah volume udara yang dapat dikeluarkan pasien dalam detik
pertama saat ekspirasi paksa.
3. FEV1 /FVC adalah rasio FEV1 terhadap FVC yang dinyatakan dalam fraksi 1
Kriteria spirometri yang diperlukan dalam kriteria GOLD untuk diagnosis
derajat keparahan PPOK adalah FEV1 /FVC setelah pemberian bronkodilator1
14

Tabel 2.1 Kriteria GOLD untuk Derajat Keparahan PPOK 1

Derajat Karakteristik

I : PPOK Ringan FEV1/FVC < 0,70


FEV1 ≥ 80% prediksi
II: PPOK Sedang FEV1/FVC < 0,70
50% ≤ FEV1 ≤ 80% prediksi
III: PPOK Berat FEV1/FVC < 0,70
30% ≤ FEV1 ≤ 50% prediksi
IV: PPOK Sangat Berat FEV1/FVC < 0,70
FEV1< 30% prediksi atau
FEV1< 50% prediksi ditambah
Gagal nafas kronik

Mild COPD atau PPOK ringan, pada tahap ini pasien mungkin belum menyadari
bahwa fungsi parunya tidak normal.
Moderate COPD atau PPOK sedang, gejala biasanya berkembang pada tahap ini,
dengan napas yang memendek saat melakukan aktivitas.
Severe COPD atau PPOK berat, pemendekan nafas semakin buruk pada tahap
ini dan sering membatasi aktivitas harian pasien. Eksaserbasi biasanya mulai
dapat terlihat pada tahap ini.
Very severe COPD atau PPOK sangat berat, pada tahap ini kualitas hidup
sudah sangat terganggu dan eksaserbasi pada pasien bisa mengancam jiwa.1

2.1.9. Diagnosis Banding PPOK

Diagnosis banding PPOK adalah 1 :

a. Asma
b. Gagal jantung kongestif
c. Bronkiektasis
d. Tuberkulosis
15

2.1.10. Penatalaksanaan
1.Penatalaksanaan PPOK secara umum adalah :
a. Edukasi

Edukasi PPOK diberikan sejak ditentukan diagnosis dan berlanjut


secara berulang pada setiap kunjungan, baik bagi pasien sendiri maupun
bagi keluarganya. Bahan dan cara pemberian edukasi harus disesuaikan
dengan derajat berat penyakit, tingkat pendidikan, lingkungan sosial,
kultural dan kondisi ekonomi pasien.1

b. Obat-obatan
Adapun obat-obat yang dipakai adalah:
1) Bronkodilator

Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis


bronkodilator dan disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit.
Pemilihan bentuk obat diutamakan inhalasi, nebulizer tidak dianjurkan
pada penggunaan jangka panjang. Pada derajat berat diutamakan
pemberian obat lepas lambat atau obat berefek panjang.

Macam-macam bronkodilator :
a) Golongan antikolinergik
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping
sebagai bronkodilator juga mengurangi mukus. Jenis obat nya
meliputi (Ipratropium bromida 20µg, Tiotropium bromida 80µg)
b) Golongan agonis β-2
Bentuk inhaler digunakan mengatasi sesak, peningkatan
jumlah penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi.
Sebagai obat pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet
yang berefek panjang. Bentuk nebulizer dapat digunakan untuk
mengatasi eksaserbasi akut, tidak dianjurkan untuk penggunaan
jangka panjang. Bentuk injeksi subkutan atau drip untuk mengatasi
eksaserbasi berat. Jenis obatnya (Fenoterol 100 µgr/semprot,
16

Salbutamol 100 µgr/semprot, Terbutalin 0,5 µgr, Prokaterol 10


µgr)
c) Kombinasi antikolinergik dan agonis β-2

Kombinasi antar kedua golongan ini akan memperkuat efek


bronkodilatasi, karena keduanya mempunyai tempat kerja yang
berbeda. Disamping itu penggunaan obat kombinasi lebih
sederhana dan mudah digunakan. Jenis obat dan kemasannya
(iptratropium bromida 20 µgr+salbutamol 100µgr/semprot).

2) Golongan xantin

Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan


jangka panjang, terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet
biasa atau puyer untuk mengatasi sesak (pelega napas), bentuk
suntikan bolus atau drip untuk mengatasi eksaserbasi akut.

3) Antiinflamasi

Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau


injeksi intravena, berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih
golongan metilprednisolon atau prednison.

4) Antibiotika

Hanya diberikan bila terdapat eksaserbasi. Dan infeksi pada


umumnya disebabkan oleh Streptococcus peumonia, Haemophilus
influenza dan Mycoplasma. Untuk pencegahannya berikan spektrum
luas.

5) Antioksidan

Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualitas hidup,


digunakan N-asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan
eksaserbasi yang sering, tidak dianjurkan sebagai pemberian rutin.
17

6) Mukolitik

Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan


mempercepat perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik
dengan sputum yang kental (misalnya ambroksol, erdostein).
Mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi tidak
dianjurkan sebagai pemberian rutin.

7) Antitusif
Diberikan dengan hati-hati.

8) Phosphodiesterase-4 inhibitor
Diberikan kepada pasien dengan derajat III atau derajat IV dan
memiliki riwayat eksaserbasi dan bronkitis kronik. Phosphodiesterase
-4 inhibitor, roflumilast dapat mengurangi eksaserbasi, diberikan
secara oral dengan glukokortikosteroid. Roflumilast juga dapat
mengurangi eksaserbasi jika dikombinasikan dengan LABA.

c. Rehabilitasi PPOK

Pada pasien PPOK tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan


toleransi terhadap latihan dan memperbaiki kualitas hidup. Pasien yang
dimasukkan ke dalam program rehabilitasi adalah mereka yang telah
mendapatkan pengobatan optimal yang disertai :

1) Simptom pernafasan berat


2) Beberapa kali masuk ruang gawat darurat
3) Kualitas hidup yang menurun

Program rehabilitasi terdiri dari 3 komponen : latihan fisik, psikososial, dan


latihan pernapasan.

d. Terapi oksigen
18

Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan kronik menyebabkan


kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan oksigenasi
seluler dan mencegah kerusakan sel baik otot maupun organ-organ lainnya.

Indikasi terapi oksigen :

1) PaO2 <60 mmHg atau Sat O2 <90%


2) PaO2 diantara 55-59 mmHg atau Sat O2 >89% disertai kor pulmonal,
perubahan P pulmonal, Ht >55 % .

Oksigen dapat dilaksanakan di rumah maupun di rumah sakit. Terapi


oksigen di rumah diberikan kepada pasien PPOK stabil derajat berat dengan
gagal napas kronik. Sedangkan di rumah sakit oksigen diberikan pada PPOK
eksaserbasi akut di unit gawat darurat, ruang rawat, ataupun ICU.

e. Ventilasi mekanis

Ventilasi mekanis pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan gagal


napas akut, gagal napas akut pada gagal napas kronik, atau pada pasien PPOK
derajat berat dengan gagal napas kronik. Ventilasi mekanis dapat digunakan di
rumah sakit, di ruang ICU, atau di rumah.

Ventilasi mekanis dapat dilakukan dengan cara :

1) Ventilasi mekanis tanpa intubasi


Ventilasi mekanis tanpa intubasi digunakan pada PPOK dengan gagal
napas kronik dan dapat digunakan selama di rumah.
2) Ventilasi mekanis dengan intubasi
Pasien PPOK dipertimbangkan untuk menggunakan ventilasi mekanis
di rumah sakit bila ditemukan keadaan sebagai berikut : (Gagal napas
yang pertama kali, Perburukan yang belum lama terjadi dengan
penyebab yang jelas dan dapat diperbaiki misalnya pneumonia,
aktivitas sebelumnya tidak terbatas).2
19

Penatalaksanaan PPOK Eksaserbasi Akut2


Eksaserbasi akut pada PPOK berarti timbulnya perburukan dibandingkan
dengan kondisi sebelumnya. Eksaserbasi dapat disebabkan infeksi atau faktor
lainnya seperti polusi udara, kelelahan, atau timbulnya komplikasi. Penyebab
paling umum dari suatu eksaserbasi adalah infeksi trakeobronkial dan polusi
udara. Prinsip penatalaksanaan PPOK pada eksaserbasi akut adalah mengatasi
segera eksaserbasi yang terjadi dan mencegah terjadinya gagal napas.
a. Gejala eksaserbasi (Sesak bertambah, Produksi sputum meningkat,
Perubahan warna sputum menjadi purulen)
b. Eksaserbasi akut dibagi menjadi tiga :
1) Tipe I (eksaserbasi berat), memiliki 3 gejala diatas
2) Tipe II (eksaserbasi sedang), memiliki 2 gejala diatas
3) Tipe III(eksaserbasi ringan), memiliki gejala di atas ditambah infeksi
saluran napas atas, peningkatan batuk.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada eksaserbasi adalah : Diagnosis


beratnya eksaserbasi (derajat sesak, frekuensi napas, pernapasan paradoksal,
kesadaran, tanda vital, analisis gas darah).

c. Terapi oksigen adekuat

Ini bertujuan untuk memperbaiki hipoksemia dan mencegah keadaan yang


mengancam jiwa. Sebaiknya pertahankan PaO2 >60 mmHg atau Sat O2 >90%,
evaluasi ketat hiperkapnia. Gunakan sungkup dengan kadar yang sudah
ditentukan (venturi masks) 24%, 28%, atau 32%.

d. Pemberian obat-obatan yang optimal


1) Bronkodilator (inhalasi bronkodilatornterutama β2-agonis dengan atau
tanpa antikolinergik)
2) Kortikosteroid (tergantung berat derajat eksaserbasi. Pada eksaserbasi
sedang diberikan prednison 30 mg/hari selama 1-2 minggu
3) Antibiotik (β-lactam/β-lactam inhibitor, fluroquinolon), (pengobatan
parenteral: sefalosporin generasi 2 dan 3, flueroquinolon)
20

4) Nutrisi adekuat mencegah kelaparan yang disebabkan hipoksemia


berkepanjangan, dan menghindari kelelahan otot bantu napas.1

2.1.11. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah: 2
1. Gagal napas
- Gagal napas kronik
- Gagal napas akut pada gagal napas kronik
2. Infeksi berulang
3. Kor pulmonal

Gagal napas kronik :


Hasil analisis gas darah Po2 < 60 mmHg dan Pco2 > 60 mmHg, dan pH normal,
penatalaksanaan :
- Jaga keseimbangan Po2 dan PCo2
- Bronkodilator adekuat
- Terapi oksigen yang adekuat terutama waktu latihan atau waktu tidur
- Antioksidan
- Latihan pernapasan dengan pursed lips breathing

Gagal napas akut pada gagal napas kronik, ditandai oleh :


- Sesak napas dengan atau tanpa sianosis
- Sputum bertambah dan purulen
- Demam
- Kesadaran menurun

Infeksi berulang
Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuk
koloni kuman, hal inimemudahkan terjadi infeksi berulang. Pada kondisi kronik
ini imuniti menjadi lebih rendah, ditandaidengan menurunnya kadar limposit
darah.
21

Kor pulmonal :
Ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit > 50 %, dapat disertai gagal
jantung kanan
22

BAB 3
LAPORAN KASUS
No. RM : 06.60.20
Nama Lengkap : Johan Syah
Tanggal Lahir : 1 Februari 1962 Umur : 56 Thn Jenis Kelamin : Laki - laki

Alamat : Jl. Kayangan No. Telepon : -

Pekerjaan : Wiraswasta Status: Menikah


Pendidikan : Tamat SMP Jenis Suku : Jawa Agama : Islam

ANAMNESIS
√ Autoanamnese Alloanamnese
RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Keluhan Utama : Sesak Napas
Deskripsi : Hal ini sudah dialami os sejak 3 bulan ini dan memberat sejak
3 hari ini, sesak muncul secara tiba – tiba, tidak berhubungan
dengan cuaca, suhu, waktu, dan perubahan posisi. Terbangun
tengah malam karena sesak (-), sesak ketika beraktifitas (+)
namun hal ini hanya sesekali dialami os, bengkak pada
ekstremitas (-), nyeri dada (-). Os juga mengeluhkan batuk
yang sudah dialami 1 bulan ini dan tidak berkurang jika
diberikan obat batuk yang dibeli di warung. Batuk bersifat
hilang timbul disertai dengan dahak yang bening (+).
Penurunan berat badan (-), keringat malam (-). Riwayat
merokok (+) sejak usia 25 tahun dan baru berhenti 3 bulan
yang lalu, os menghabiskan rokok sebanyak 1 bungkus dalam
sehari. Demam (-). Hipertensi (-). BAB 1-2 kali sehari dan
dalam batas normal, BAK dalam batas normal
RPT : -
RPO : Obat batuk dari warung
23

ANAMNESIS UMUM (Review of System)


Berilah Tanda Bila Abnormal dan Berikan Deskripsi
Umum : Abdomen :
Keadaan umum compos mentis Normal
Kulit wajah: Alat kelamin laki - laki:
Dalam batas normal Tidak dilakukan pemeriksaan

Kepala dan leher: Ginjal dan saluran kencing :


Tidak ada keluhan Tidak ada Keluhan
Mata: Hematologi:
Conjungtiva Palpebra inferior anemis Hb 11,9 g%
(-/-) ikterus (-/-) Plt 364 103/mm3
Hb: 13 g/dL
Hct: 37 %
RBC: 3,92. 106 / ul
WBC: 13. 103 /ul
PLT: 330. 103 /ul
GDS: 155 mg/dL
Telinga: Endokrin/metabolik:
Tidak ada keluhan Tidak ada keluhan
Hidung: Muskuloskeletal :
Tidak ada keluhan Tidak ada keluhan
Mulut dan Tenggorokan: Sistem saraf:
Tidak ada keluhan Tidak ada keluhan
Pernapasan : Emosi :
SP : Ekspirasi memanjang , Terkontrol
ST : Ronki basah minimal, wheezing
Jantung : Vaskuler :
Tidak ada keluhan Tidak ada keluhan
24

DISKRIPSI UMUM


Kesan Sakit Ringan √ Sedang Berat

TANDA VITAL
Deskripsi:
Kesadaran Compos mentis
Sadar, respon baik
Nadi Frekuensi 92 x/i Reguler, t/v: cukup
Tekanan darah 120/70 mmHg
Temperatur Aksila: 37,4°C Rektal : tdp
Pernafasan Frekuensi: 28 x/menit, kesan sesak

KULIT WAJAH : Dalam batas normal


KEPALA DAN LEHER :Simetris, TVJ R-2 cmH2O, trakea medial,
pembesaran KGB(+).
TELINGA : Dalam batas normal
HIDUNG : Dalam batas normal
RONGGA MULUT
DAN TENGGORAKAN : Dalam batas normal
MATA : Conjunctiva palp. inf. pucat (-/-), sclera ikterik (-/-
), odema palpebra (-)/(-)
RC (+)/(+), Pupil isokor, ki=ka, ø 3mm

THORAX

Depan Belakang
Inspeksi Bentuk barrel chest Bentuk barrel chest
Palpasi SF Ki = Ka, kesan normal SF Ki = Ka
Perkusi Hipersonor pada kedua paru Hipersonor pada kedua paru
25

Auskultasi SP: Ekspirasi memanjang SP: Ekspirasi memanjang


ST: Ronkhi basah pada lap. ST: Ronkhi basah pada lap.
Paru kiri bawah minimal, Paru kiri bawah minimal,
wheezing (+) wheezing (+)

JANTUNG
Batas Jantung Relatif: Atas : ICR III
Kanan : LSD
Kiri : 1 cm lateral LMCS, ICR IV - V
Jantung : HR : 92x/i,reguler, desah (-), gallop (-)

ABDOMEN
Inspeksi : Simetris
Palpasi : Soepel
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Peristaltik (+) N

PINGGANG
Tapping pain (-) ballotement (-)

INGUINAL
Pembesaran KGB (-)

EKSTREMITAS:
Superior: Tidak ada kelainan
Inferior : Tidak ada kelainan

ALAT KELAMIN:
Tidak dilakukan pemeriksaan
26

NEUROLOGI:
Refleks Fisiologis (+) Normal
Reflek Patologis (-)

BICARA
Dapat berkomunikasi baik

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Foto Thoraks

Keterangan Foto:
- Bayangan luscent,
- Dinding toraks membesar (ICS melebar, barrel chest, costa
mendatar, diafragma mendatar),
- Jantung kelihatan kecil (tear drop appearance),
27

RESUME DATA DASAR


(Diisi dengan Temuan Positif)
Nama Pasien : Ribut No. RM : 066020
1. KELUHAN UTAMA : Sesak Napas

2. ANAMNESIS : (Riwayat Penyakit Sekarang, Riwayat Penyakit Dahulu,


Riwayat Pengobatan, Riwayat Penyakit Keluarga, Dll.)

Hal ini sudah dialami os 3 bulan ini dan muncul secara tiba – tiba, sesak tidak berhubungan dengan
cuaca, suhu, waktu, dan perubahan posisi. PND (-), DOE (-), pitting oedem (-). Batuk 1 bulan.
Mukus (+). Penurunan BB (-), keringat malam (-), Riwayat merokok (+) sejak usia 25 tahun.

dah dialami
28

RENCANA AWAL

No. RM 06 60 20

Nama Penderita : Johan Syah

Rencana yang akan dilakukan masing-masing masalah (meliputi rencana untuk diagnosis,
penatalaksanaan dan edukasi)
Rencana Rencana Rencana Rencana
No Masalah
Diagnosa Terapi Monitoring Edukasi
1. PPOK - Foto thorax  Tirah baring -Perbaiki Menjelaskan
- Darah rutin  Diet MB TKTP kondisi kepada pasien dan
 O2 1-2 L umum keluarga pasien

 IVFD RL 20gtt/i mengenai penyakit

 Inj. yg diderita pasien

Dexamethasone 1 mulai dari definisi,

amp / 8 jam etiologi,

 Combivent penatalaksanaan

Nebule / 8 jam dan prognosisnya


nya.
 Salbutamole 3x2
mg
 Ambroxol 3x1
29

Tanggal S O A P
Terapi Rencana
20/04/18 - Sesak Sens : Compos PPOK  Tirah baring
Mentis
napas
TD : 120/70  Diet MB
- Batuk mmHg TKTP
Pols : 92 x/i
RR : 28 x/i  O2 1-2 L
T : 37,40C  IVFD RL
20gtt/i
 Inj.
Dexamethas
one 1 amp / 8
jam
 Combivent
Nebule / 8
jam
 Salbutamole
3x2 mg
 Ambroxol
3x1
30

Tanggal S O A P
Terapi Rencana
21/04/18 - Sesak Sens: Compos PPOK  Tirah baring
mentis
napas
TD:120/80  Diet MB
- Batuk mmHg TKTP
HR : 90 x/i
RR : 28 x/i  O2 1-2 L
Temp : 37,2oC  IVFD RL
20gtt/i
 Inj.
Dexamethas
one 1 amp / 8
jam
 Combivent
Nebule / 8
jam
 Salbutamole
3x2 mg
 Ambroxol
3x1
31

Tanggal S O A P
Terapi Rencana
22/08/14 - Sesak Sens:Compos PPOK  Tirah baring
napas mentis  Diet MB TKTP
- Batuk TD:110/70  O2 1-2 L
mmHg  IVFD RL 20gtt/i
HR : 96 x/i  Inj.
RR : 28 x/i Dexamethasone 1
Temp : 37,1oC amp / 8 jam
 Combivent
Nebule / 8 jam
 Salbutamole 3x2
mg
 Ambroxol 3x1
32

BAB 4
KESIMPULAN

Pasien atas nama Johan Syah, 56 dengan keluhan sesak sejak 3 bulan dan
memberat sejak 3 hari ini didiagnosa penyakit paru obstruktif kronik (PPOK),
melalui hasil anamnesa, pemeriksaan fisik dan foto thoraks.
33

DAFTAR PUSTAKA

1. GOLD, 2013. Global Strategy for the Diagnosis, Management, and


Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary Disease Updated 2013.
Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease, 10-17
2. PDPI, 2003. Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) Pedoman Diagnosis
dan Penatalaksanaan di Indonesia. Persatuan Dokter Paru Indonesia, 1-32
3. World Health Organization. 2012. Chronic obstructive pulmonary disease
fact sheet. WHO Media Center [Online]. [Cited 2014 Aug 8]. Available
from: URL: http://www.who.int/mediacentre
4. Agusti AGN, Noguera A, Sauleda J, Sala E, Pons J, Busquet X, 2003.
Systemic Effect of COPD, Eur Respir J; 21; p.347-360
5. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Penyakit paru obstruktif kronik
(PPOK) diagnosis dan penatalaksanaan. Edisi ke-1. Jakarta: 2011
6. Mosenifar, Zab., 2013. Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Available
from http://emedicine.medscape.com/article/297664-overview. [Accessed
10 April 2013].
7. Reilly, J.J., Silverman, E.K., Shapiro, S.D., 2010. Chronic Obstructive
Pulmonary Disease. In: Loscalzo, J., ed. Harrison Pulmonary and Critical
Care 17th edition. New York, USA: Mc-Graw Hill, 178-189
8. Vijayan, V.K., 2013. Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Indian J Med
Res, 137: 251-269
9. Shapiro, S.D., Ingenito, E.P., 2005. The Pathogenesis of Chronic
Obstructive Pulmonary Disease: Advances in the Past 100 Years. Am J
Respir Cell Mol Biol, 32: 367-372.
10. Tkac, J., Man, S.F., Sin, D.D., 2007. Systemic Consequences of COPD.
Ther Adv Respir Dis, 1: 47-59
11. ATS-ERS, 2004. Standards of Diagnosis and Management of Patients of
COPD. American Thoracic Society and European Respiratory Society, 14-
43

Anda mungkin juga menyukai