Anda di halaman 1dari 27

TUGAS MAKALAH

EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR


"PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK)"

Disusun Oleh :

ALDIANSYAH PUTRA
KELAS B
NPM 16 710 054

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS DAYANU IKHSANUDDIN
BAUBAU
2018

1
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah kepada penulis, sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah ilmiah dengan judul PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF
KRONIK (PPOK).

Makalah ilmiah ini telah penulis susun dengan maksimal dan mendapatkan
bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah
ini. Untuk itu penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak
yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena
itu dengan tangan terbuka penulis menerima segala saran dan kritik dari
pembaca agar penulis dapat memperbaiki makalah ilmiah ini.

Akhir kata penulis berharap semoga makalah ilmiah ini dapat memberikan
manfaat kepada pembaca.

Baubau, 7 Desember 2018

PENULIS

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ............................................................................................ i

Daftar Isi ....................................................................................................... ii

Bab I Pendahuluan ....................................................................................... 1

A. Latar Belakang .................................................................................. 1


B. Rumusan Masalah............................................................................. 2
C. Tujuan Penulisan ............................................................................... 2

Bab II Pembahasan ...................................................................................... 3

Bab III Penutup ............................................................................................ 17

A. Kesimpulan ........................................................................................ 17
B. Saran ................................................................................................. 18

Daftar Pustaka ............................................................................................. 19

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hari Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) sedunia atau
dikenal sebagai Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) yang jatuh pada
tanggal 15 November dalam teknologi kesehatan, hari ini mengumumkan
gerakan edukasi global untuk meningkatkan kesadaran terhadap penyakit paru
obstruktif kronik (PPOK). PPOK menempati peringkat ke-empat sebagai
penyebab kematian utama di dunia dan diperkirakan menjadi yang ke-tiga di
tahun 2020. Yang membuat keadaan semakin rumit adalah kurangnya
kesadaran dan stigma sosial terkait penyakit tersebut hanya separuh dari
sekitar 210 juta orang yang diperkirakan menderita PPOK telah resmi
didiagnosis.
Riset Kesehatan Dasar Indonesia (Riskesdas) 2013 mengungkapkan
bahwa jumlah pasien PPOK naik 3.7%. Sebuah studi biomassa sebagai
kolaborasi antara Indonesia dan Vietnam yang dilakukan pada tahun 2013
menemukan bahwa prevalensi PPOK pada pasien bebas rokok sama
tingginya. Studi tersebut melibatkan orang-orang di atas 40 tahun yang tinggal
di Banten dan DKI Jakarta sehingga menemukan prevalensi pasien PPOK
sampai 6,3%.
Ada dua studi dalam mengetahui jumlah penderita PPOK Studi pertama
merupakan studi kohort yang dilakukan di daerah Bogor, Jawa Barat kepada
penduduk dengan usia 40 tahun ke atas. Studi dilakukan pada tahun 2011
dengan melakukan pemeriksaan spirometri, foto toraks dan kuesioner
respirasi. Hasil studi menyebut prevalensi pengidap PPOK mencapai 7,8
persen. Studi kedua merupakan studi biomass kerjasama Indonesia dengan
Vietnam. Studi yang dilaksanakan pada tahun 2013 ini dilakukan pada
penduduk berusia di atas 40 tahun yang tidak merokok di Provinsi Banten,
Jawa Barat dan DKI Jakarta. Hasilnya, ditemukan prevalensi pengidap PPOK
mencapai 6,3 persen. Jika ditotal, angka prevalensi pengidap PPOK
diperkirakan mencapai 14,1 persen.
Ini membuktikan bahwa pengidap PPOK di Indonesia cukup tinggi,
prevalensinya sekitar 14 persen. Masalahnya banyak masyarakat yang tidak

4
tahu kalau mereka mengidap PPOK. PPOK merupakan penyakit yang
menyerang saluran pernapasan. Penyakit ini membuat saluran napas
menyempit sehingga pengidapnya seringkali sulit bernapas atau mudah
merasa ngos-ngosan.
PPOK merupakan salah satu penyakit yang paling umum namun kurang
terdiagnosis. Padahal penyakit ini melemahkan, bahkan mematikan dan
penanganannya mahal. Masyarakat tidak bisa menemukan solusi untuk
masalah yang tidak mereka sadari atau menerapkan solusi yang mereka pikir
tidak ada.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) ?
2. Bagaimana epidemiologi dari Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) ?
3. Bagaimana etiologi dari Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
4. Bagaimana riwayat alamiah Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) ?
5. Apa saja faktor risiko dari Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) ?
6. Bagaimana diagnosis dan prognosis Penyakit Paru Obstruktif Kronik
(PPOK) ?
7. Sebutkan jenis-jenis Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) ?
8. Apa saja upaya preventif dan kuratif pada Penyakit Paru Obstruktif
Kronik (PPOK) ?

C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui :
1. Pengertian Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
2. Epidemiologi Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
3. Etiologi Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
4. Riwayat alamiah Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
5. Faktor risiko Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
6. Diagnosis dan prognosis Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
7. Jenis-jenis Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
8. Upaya preventif dan kuratif Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)


Penyakit Paru Obstruktif Kronik (COPD) merupakan suatu istilah yang
sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru-paru yang berlangsung
lama dan ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai
gambaran patofisiologi utamanya. Ketiga penyakit yang membentuk satu
kesatuan yang dikenal dengan COPD adalah Bronchitis kronis, emfisema paru-
paru dan asthma bronchiale. Tetapi dalam suatu Negara, yang termasuk
didalam COPD adalah emfisema paru- paru dan Bronchitis Kronis. Nama lain
dari copd adalah "Chronic obstructive airway disease " dan "ChronicObstructive
Lung Diseases (COLD)".
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik
yang progresif, artinya penyakit ini berlangsung seumur hidup dan semakin
memburuk secara lambat dari tahun ke tahun. Dalam perjalanan penyakit ini
terdapat fase-fase eksaserbasi akut. Berbagai faktor berperan pada perjalanan
penyakit ini, antara lain faktor resiko yaitu faktor yang menimbulkan atau
memperburuk penyakit seperti kebiasaan merokok, polusi udara, polusi
lingkungan, infeksi, genetik dan perubahan cuaca.
Derajat obtruksi saluran nafas yang terjadi, dan identifikasi komponen
yang memugkinkan adanya reversibilitas. Tahap perjalanan penyakit dan
penyakit lain diluar paru seperti sinusitis dan faringitis kronik. Yang pada
akhirnya faktor-faktor tersebut membuat perburukan makin lebih cepat terjadi.
Untuk melakukan penatalaksanaan PPOK perlu diperhatikan faktor-faktor
tersebut, sehingga pengobatan PPOK menjadi lebih baik.
Penyakit paru obstruksi kronik adalah klasifikasi luas dari gangguan
yang mencakup bronkitis kronik, bronkiektasis, emfisema dan asma, yang
merupakan kondisi ireversibel yang berkaitan dengan dispnea saat aktivitas
dan penurunan aliran masuk dan keluar udara paru-paru. Penyakit paru
obstruksi kronik adalah kelainan paru yang ditandai dengan gangguan fungsi
paru berupa memanjangnya periode ekspirasi yang disebabkan oleh adanya
penyempitan saluran napas dan tidak banyak mengalami perubahan dalam
masa observasi beberapa waktu.

6
B. Epidemiologi Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
1. Orang
Secara global, sejak 2010, COPD memengaruhi sekitar 329 juta
orang (4,8% dari populasi dunia) dan lebih banyak terjadi pada laki-laki
daripada perempuan. Perbandingan ini adalah yang dilakukan di antara
64 juta yang terpengaruh COPD pada 2004. Kenaikan jumlah di negara-
negara berkembang yang terjadi antara 1970 dan 2000-an diyakini
terkait dengan semakin tingginya perilaku merokok di wilayah ini,
populasi yang meningkat dan populasi yang menua yang disebabkan
karena berkurangnya kematian karena akibat lain seperti penyakit-
penyakit menular. Angka prevalensi COPD ini meningkat di beberapa
negara maju, dan di beberapa negara maju lainnya stabil dan menurun.
Jumlah global diperkirakan akan terus meningkat karena faktor risiko
masih sama dan populasi semakin menua.

2. Waktu
Antara 1990 dan 2010 angka kematian yang disebabkan oleh
COPD sedikit menurun dari 3,1 juta menjadi 2,9 juta. Secara umum
COPD menjadi penyebab ke empat kematian tertinggi. Di beberapa
negara, mortalitas menurun pada laki-laki, namun meningkat pada
perempuan. Kemungkinan terbesarnya adalah karena angka merokok
pada perempuan dan laki-laki semakin mirip. COPD lebih banyak terjadi
pada orang tua ini berdampak pada 34-200 dari 1000 orang yang
berusia lebih dari 65 tahun, bergantung pada populasi yang dilihat.

3. Tempat
Di Inggris, kira-kira 0,84 juta orang (dari 50 juta) terdiagnosis
mengalami COPD yang berarti sekitar satu dari 59 orang terdiagnosis
COPD semasa hidupnya. Di wilayah dengan kondisi sosioekonomi yang
paling rendah di Inggris, satu dari 32 orang terdiagnosis COPD,
dibandingkan dengan satu di antara 98 di wilayah yang paling kaya. Di
Amerika Serikat, sekitar 6,3% dari populasi dewasa, dari sekitar 15 juta
orang, telah terdiagnosis terkena COPD. 25 juta orang mungkin terkena

7
COPD jika kasus yang tidak terdiagnosis diperhitungkan. Pada 2011,
terdapat sekitar 730.000 rawat inap pasien COPD di Amerika Serikat.

C. Etiologi Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)


Etiologi penyakit ini belum diketahui. Penyakit ini dikaitkan dengan
faktor-faktor risiko yang terdapat pada penderita antara lain Merokok sigaret
yang berlangsung lama, Polusi udara, Infeksi peru berulang, UmurJenis
kelamin, Ras, Defisiensi alfa-1 antitripsin, Defisiensi anti oksidan, Pengaruh
dari masing-masing faktor risiko terhadap terjadinya PPOK adalah saling
memperkuat dan faktor merokok dianggap yang paling dominan.

D. Riwayat Alamiah Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)


Penyebab utama PPOK adalah asap tembakau, dengan terpapar
karena pekerjaan dan polusi dari api dalam ruang sebagai penyebab signifikan
di beberapa negara. Biasanya, paparan terjadi selama beberapa dekade
sebelum gejalanya berkembang. Komposisi genetik dalam diri seseorang juga
mempengaruhi risiko.
1. Rokok, Faktor risiko terbesar dari PPOK secara global adalah merokok
tembakau. Dari semua perokok, 20% diantaranya akan menderita
PPOK dan setengah dari para perokok seumur hidup akan menderita
PPOK. Di Amerika Serikat dan Inggris, 80-95% dari mereka yang
menderita PPOK adalah perokok atau pernah menjadi perokok.
Kemungkinan terkena PPOK akan meningkat seiring dengan paparan
rokok total. Kemudian, wanita lebih rentan terhadap efek buruk dari
rokok dibandingkan pria. Bagi para non-perokok, merokok pasif adalah
penyebab dari 20% kasus PPOK. Jenis-jenis rokok lainnya, seperti
ganja, cerutu, dan merokok dengan pipa, juga memiliki risiko. Wanita
yang merokok selama kehamilan akan meningkatkan risiko terkena
PPOK bagi anak mereka.
2. Polusi Udara, Api untuk memasak yang berventilasi buruk, kebanyakan
berbahan bakar batu bara atau bahan bakar biomasseperti kayu dan
kotoran hewan, menghasilkan polusi udara dalam ruang dan
merupakan salah satu penyebab utama dari PPOK di negara-negara
berkembang. Api ini merupakan metode memasak dan memanaskan

8
untuk lebih dari 3 juta orang dan wanita menderita dampak kesehatan
yang lebih besar karena paparan yang lebih besar. Bahan ini digunakan
sebagai sumber energi utama di 80% rumah-rumah di India, Cina,
dan Afrika sub-Sahara. Mereka yang hidup di kota besar memiliki tingkat
PPOK lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang hidup di
pedesaan.[30]Meskipun polusi udara di perkotaan merupakan faktor
yang berperan dalam eksaserbasi, perannya secara menyeluruh
sebagai penyebab PPOK masih belum jelas. Wilayah dengan kualitas
udara luar ruang yang rendah, termasuk dari gas buang, secara umum
memiliki tingkat PPOK yang lebih tinggi. Namun efek menyeluruh dalam
kaitannya dengan merokok dianggap kecil.
3. Terpapar karena pekerjaan, Paparan intensif dan dalam waktu lama
terhadap debu, bahan kimia, dan asap di tempat kerja dapat
meningkatkan risiko PPOK baik untuk perokok maupun non-perokok.
Terpapar karena pekerjaan dianggap sebagai penyebab dari 10-20%
kasus PPOK. Di Amerika Serikat, hal ini dianggap terkait dengan lebih
dari 30% kasus di antara mereka yang tidak pernah merokok, dan
mungkin mewakili risiko lebih besar di negara-negara yang tidak
memiliki peraturan yang cukup. Beberapa industri dan sumber telah
terimplikasi, termasuk[29] tingkat debu yang tinggi di tambang batu
bara, tambang emas, dan industri tekstil katun, pekerjaan yang
melibatkankadmium dan isosianat, serta asap dari pengelasan. Untuk
profesi tertentu, risikonya diramalkan setara dengan merokok setengah
hingga dua bungkus rokok sehari. Terpapar debu silika dapat pula
menyebabkan PPOK, dengan risiko yang tak ada hubungannya
dengansilikosis. Efek negatif dari terpapar debu dan terpapar asap
rokok sepertinya berdampak aditif atau lebih dari aditif.
4. Genetis, Genetis juga berperan dalam perkembangan PPOK. PPOK
lebih sering terjadi di antara sanak keluarga yang menderita PPOK dan
perokok dibandingkan di antara penderita PPOK yang perokok yang
tidak memiliki hubungan keluarga. Saat ini, satu-satunya faktor risiko
yang dapat diwarisi adalah kekurangan alfa 1-antitripsin (AAT).
Risikonya cukup tinggi khususnya jika seseorang mengalami
kekuranganalfa 1-antitripsin dan juga merokok. Hal ini menjadi

9
penyebab 1-5% kasus dan kondisi ini terdapat pada sekitar 3-4 dari
10.000 orang. Faktor-fektor genetis lain masih dalam penyelidikan yang
kemungkinan akan banyak ditemukan.
5. Lain-lain, Beberapa faktor lainnya tidak cukup erat terkait dengan PPOK.
Risikonya lebih besar di kalangan mereka yang miskin, meskipun tidak
jelas apakah hal ini disebabkan karena kemiskinan itu sendiri atau
faktor-faktor lain yang terkait dengan kemiskinan, seperti polusi udara
dan malagizi. Terdapat bukti tentatif bahwa mereka yang menderita
asma dan hiperaktivitas saluran udara memiliki risiko PPOK yang lebih
tinggi. Faktor-faktor kelahiran seperti berat lahir rendah juga memainkan
peran sebagaimana sejumlah penyakit menular termasuk HIV/AIDS
dan tuberkulosis. Infeksi pernapasan seperti pneumonia sepertinya
tidak meningkatkan risiko PPOK, paling tidak pada orang dewasa.
6. Eksaserbasi, Eksaserbasi akut (gejala yang tiba-tiba memburuk)
biasanya dipicu oleh infeksi atau polutan lingkungan, atau terkadang
karena faktor-faktor lain seperti penggunaan obat-obatan yang kurang
tepat.[38] Infeksi merupakan sebab dari 50-75% kasus, dengan bakteri
dalam 25%, virus dalam 25%, dan keduanya dalam 25%
kasus.[40] Polutan lingkungan terdiri dari baik kualitas udara dalam
ruang atau luar ruang. Terpapar asap rokok sendiri atau asap perokok
lain juga meningkatkan risiko. Suhu dingin juga berperan, dengan
eksaserbasi yang lebih sering terjadi pada musim dingin. Mereka yang
menderita penyakit parah yang telah ada sebelumnya mengalami
eksaserbasi lebih sering: yang berpenyakit ringan 1,8 per tahun,
menengah 2 hingga 3 per tahun, dan parah 3,4 per tahun. Mereka yang
sering mengalami eksaserbasi akan mengalami kerusakan fungsi paru
dengan lebih cepat. Emboli pulmonari (penggumpalan darah di paru-
paru) akan memperburuk gejala bagi mereka yang telah menderita
PPOK.

Gejala paling umum dari PPOK adalah produksi sputum, sesak


napas dan batuk yang produktif. Gejala-gejala ini muncul dalam jangka waktu
yang lama dan biasanya bertambah parah seiring waktu. Tidak jelas apakah
terdapat jenis-jenis PPOK yang berbeda. Meski sebelumnya dibagi menjadi

10
emfisema dan bronkitis kronis, emfisema hanya merupakan gambaran dari
perubahan kondisi paru dan bukan penyakit itu sendiri, dan bronkitis kronis
hanya merupakan gambaran gejala yang mungkin timbul atau tidak timbul pada
penderita PPOK.
1. Batuk, Batuk kronis biasanya merupakan gejala pertama yang muncul.
Saat batuk berlangsung selama lebih dari tiga bulan setahun dalam lebih
dari dua tahun, dikombinasikan dengan produksi sputum dan tidak ada
penjelasan lain, maka itu bisa didefinisikan sebagai bronkitis kronis.
Kondisi ini dapat terjadi sebelum PPOK berkembang penuh. Jumlah
sputum yang dihasilkan dapat berubah dalam beberapa jam atau hari.
Dalam beberapa kasus, batuk mungkin tidak muncul atau hanya terjadi
sesekali dan bisa saja tidak produktif. Beberapa penderita PPOK
mengira gejala-gejala ini sebagai "batuk perokok". Sputum dapat ditelan
atau dibuang, biasanya tergantung faktor sosial dan budaya. Batuk-
batuk hebat dapat menyebabkan retak tulang iga atau kehilangan
kesadaran secara singkat. Mereka yang menderita PPOK sering
mengalami "batuk pilek biasa" yang berlangsung lama.
2. Sesak Napas, Sesak napas sering kali merupakan gejala yang
dirasakan paling mengganggu. Hal ini sering kali digambarkan sebagai:
"Saya membutuhkan usaha untuk bernapas," atau "Saya tidak dapat
menghirup cukup udara". Istilah berbeda mungkin digunakan di budaya
yang berbeda. Umumnya, sesak napas bertambah buruk dalam
tekanan, yang berlangsung lama, dan bertambah parah seiring
waktu.[9] Pada tahap lanjutan, hal ini berlangsung saat beristirahat dan
mungkin berlangsung terus menerus. Hal ini merupakan sumber dari
kegelisahan dan kualitas hidup yang rendah yang dialami penderita
PPOK. Banyak penderita PPOK lanjutan mengalami bernapas melalui
bibir yang tertutup rapat dan tindakan ini dapat meredakan sesak napas
bagi sebagian orang.
3. Gejala lainnya, Penderita PPOK mungkin memerlukan waktu lebih lama
untuk menghembuskan napas daripada untuk menarik napas. Sesak di
dada mungkin dapat terjadi namun bukan hal yang umum dan dapat
disebabkan masalah lain. Mereka yang saluran udaranya terhalang
mungkin mengalami napas mengi atau suara udara masuk yang

11
berkurang saat dada diperiksa dengan menggunakan stetoskop. Dada
barela dalah tanda khusus dari PPOK, tapi bukan hal yang umum. Posisi
tripod dapat terjadi saat penyakit bertambah parah. PPOK lanjutan akan
menjadi tekanan tinggi pada arteri paru, yang menekan ventrikel kanan
jantung. Situasi ini disebut sebagai kor pulmonale, dan akan menjadi
gejala pembengkakan kaki dan pembengkakan vena leher. PPOK
merupakan penyebab lebih umum dari kor pulmonale dibandingkan
dengan penyakit paru lainnya. Kor pulmonale semakin jarang terjadi
sejak penggunaan suplemen oksigen. PPOK sering terjadi bersamaan
dengan beberapa kondisi lain, sebagian karena faktor risiko yang
sama.[3] Kondisi ini termasuk penyakit jantung iskhemik, tekanan darah
tinggi, diabetes mellitus, penyusutan otot, osteoporosis, kanker
paru, gangguan keresahan dan depresi. Bagi mereka yang menderita
penyakit ini secara kronis, perasaan selalu letih adalah hal yang umum.
Kuku jari bengkak bukan semata-mata gejala PPOK dan harus segera
diselidiki akan kemungkinan kanker paru.
4. Eksaserbasi, eksaserbasi akut dari PPOK didefinisikan sebagai sesak
napas bertambah parah, produksi sputum semakin banyak, dan
perubahan warna sputum dari bening menjadi hijau atau kuning, atau
batuk semakin parah yang dialami penderita PPOK. Hal ini dapat disertai
dengan tanda-tanda bertambah besarnya usaha untuk bernapas
seperti napas cepat, detak jantung cepat, berkeringat, penggunaan otot
leher secara aktif, kulit membiru, serta kebingungan atau prilaku agresif
pada eksaserbasi parah. Gemerisik juga mungkin terdengar dari paru-
paru saat pemeriksaan dengan stetoskop.

E. Faktor Risiko Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)


Faktor risiko PPOK adalah hal-hal yang berhubungan dan atau yang
menyebabkan terjadinya PPOK pada seseorang atau kelompok tertentu.
Faktor risiko tersebut meliputi faktor pejamu, faktor perilaku merokok, dan
faktor lingkungan. Faktor pejamu meliputi genetik, hiperesponsif jalan napas
dan pertumbuhan paru. Faktor genetik yang utama adalah kurangnya alfa 1
antitripsin, yaitu suatu serin protease inhibitor. Hiperesponsif jalan napas

12
juga dapat terjadi akibat pajanan asap rokok atau polusi. Pertumbuhan paru
dikaitan dengan masa kehamilan, berat lahir dan pajanan semasa anak-anak.
Penurunan fungsi paru akibat gangguan pertumbuhan paru diduga berkaitan
dengan risiko mendapatkan PPOK.
Merokok merupakan faktor risiko terpenting terjadinya PPOK.
Prevalensi tertinggi terjadinya gangguan respirasi dan penurunan faal paru
adalah pada perokok. Prevalensi tertinggi terjadinya gangguan respirasi dan
penurunan faal paru adalah pada perokok. Usia mulai merokok, jumlah
bungkus per tahun dan perokok aktif berhubungan dengan angka kematian.
Tidak semua perokok akan menderita PPOK, hal ini mungkin berhubungan
juga dengan faktor genetik. Perokok pasif dan merokok selama hamil juga
merupakan faktor risiko PPOK. Pada perokok pasif didapati penurunan VEP1
tahunan yang cukup bermakna pada orang muda yang bukan perokok.
Hubungan antara rokok dengan PPOK menunjukkan hubungan dose
response, artinya lebih banyak batang rokok yang dihisap setiap hari dan lebih
lama kebiasaan merokok tersebut maka risiko penyakit yang ditimbulkan akan
lebih besar. Hubungan dose response tersebut dapat dilihat pada Indeks
Brigman, yaitu jumlah konsumsi batang rokok per hari dikalikan jumlah hari
lamanya merokok (tahun), misalnya bronkitis 10 bungkus tahun artinya jika
seseorang merokok sehari sebungkus, maka seseorang akan menderita
bronkitis kronik minimal setelah 10 tahun merokok.
Polusi udara terdiri dari polusi di dalam ruangan (indoor) seperti asap
rokok, asap kompor, asap kayu bakar, dan lain-lain, polusi di luar ruangan
(outdoor), seperti gas buang industri, gas buang kendaraan bermotor, debu
jalanan, dan lain-lain, serta polusi di tempat kerja, seperti bahan kimia, debu/zat
iritasi, gas beracun, dan lain-lain. Pajanan yang terus menerus oleh polusi
udara merupakan faktor risiko lain PPOK. Peran polusi luar ruangan (outdoor
polution) masih belum jelas tapi lebih kecil dibandingka n asap rokok. Polusi
dalam ruangan (indoor polution) yang disebabkan oleh bahan bakar biomassa
yang digunakan untuk keperluan rumah tangga merupakan faktor risiko
lainnya. Status sosial ekonomi merupakan faktor risiko untuk terjadinya PPOK,
kemungkinan berkaitan dengan polusi, ventilasi yang tidak adekuat pada
tempat tinggal, gizi buruk atau faktor lain yang berkaitan dengan sosial
ekonomi.

13
F. Diagnosis dan Prognosis Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
1. Diagnosis
Diagnosis PPOK harus dipertimbangkan pada siapa pun yang
berusia lebih dari 35 hingga 40 tahun yang mengalami sesak napas,
batuk kronis, produksi sputum, atau batuk pilek musim dingin yang
sering, serta memiliki sejarah terpapar faktor-faktor risiko dari penyekit
tersebut. Spirometri kemudian dapat digunakan untuk mengonfirmasi
diagnosis.
a) Spirometri
Spirometri mengukur jumlah obstruksi aliran udara yang
terjadi dan umum digunakan setelah penggunaan bronkodilator,
pengobatan yang membuka saluran udara. Dua komponen
utama diukur untuk membuat diagnosis volume pernapasan
paksa dalam dua detik, yaitu volume terbesar udara yang
dihembuskan ke luar dalam detik pertama hembusan napas,
dan kapasital vital paksa, yaitu volume udara terbesar yang dapat
dihembuskan dalam satu hembusan napas besar. Bukti dengan
menggunakan spirometri untuk mereka yang tidak memiliki gejala
sebagai upaya diagnosa kondisi secara dini tidak memiliki efek
yang jelas dan karena itu tidak direkomendasikan pada saat ini.
Aliran ekspiratori puncak (kecepatan maksimum ekspirasi), yang
biasa digunakan untuk asma, tidak cukup untuk mendiagnosis
PPOK.
Ada sejumlah metode untuk menentukan seberapa COPD
mempengaruhi individu tertentu. Kuesioner (mMRC) yang sudah
dimodifikasi Badan Riset Medis Inggris atau uji penilaian COPD
(CAT) adalah kuesioner sederhana yang bisa digunakan untuk
menentukan keparahan gejala-gejala penyakit. Angka-angka
pada CAT berkisar antara 0–40 di mana semakin tinggi
angkanya, semarin parah penyakitnya. Spirometri bisa
membantu menentukan keparahan pembatasan aliran udara. Ini
biasanya berdasarkan pada FEV1 yang ditunjukkan sebagai
persentase dari yang diperkirakan "normal" untuk usia, jenis
kelamin, tinggi dan berat orang itu. Baik panduan Amerika

14
maupun Eropa yang direkomendasikan mendasarkan sebagian
pengobatan pada rekomendasi-rekomendasi yang terdapat pada
FEV1. Panduan EMAS menyarankan pembagian orang menjadi
empat kategori berdasarkan pengkajian gejala-gejala penyakit
dan pembatasan aliran udara. Penurunan berat badan dan
kelemahan otot, serta adanya penyakit-penyakit lain, juga harus
ikut dipertimbangkan.

b) Tes-tes lain
Rontgen dada dan hitung darah lengkap bisa berguna
untuk mengesampingkan kondisi-kondisi lain pada saat penyakit
di diagnosa. Tanda-tanda karakteristik pada rontgen adalah paru-
paru membesar, diafragma mengempis, rongga udara
retrosternal meningkat, dan bullae yang bisa membantu
mengesampingkan penyakit paru-paru lain,
seperti pneumonia, edema paru-paru atau pneumotoraks. Hasil
pindai tomografi komputer dari dada bisa menunjukkan distribusi
emfisema di seluruh paru-paru dan bisa juga berguna untuk
mengesampingkan penyakit paru-paru lain. Namun, kecuali
operasi bedah sudah direncanakan, ini jarang mempengaruhi
manajemen. Sebuah analisa darah arteri digunakan untuk
menentukan kebutuhan oksigen; ini direkomendasikan bagi
mereka yang FEV-nya 1 kurang dari 35% yang diprediksikan,
mereka yang saturasi oksigen periferalnya kurang dari 92% dan
mereka yang memiliki gejala gagal jantung kongestif. Di wilayah
dunia di mana kekurangan antitripsin alfa-1 biasa ditemukan,
penderita COPD (terutama mereka yang di bawah usia 45 dan
menderita emfisema yang menyerang bagian bawah paru-paru)
harus dipertimbangkan untuk tes.

c) Diagnosa Diferensial
COPD mungkin perlu dibedakan dari penyebab-penyebab
lain dari sesak nafas seperti gagal jantung kongestif, embolisme
paru-paru, pneumonia atau pneumotoraks. Banyak orang yang

15
menderita COPD secara keliru dikira menderita asma.
Perbedaan antara asma dan COPD dibuat berdasarkan gejala-
gejalanya, riwayat merokok, dan apakah pembatasan aliran
udara bisa dipulihkan dengan bronkodilator di spirometri.
Tuberkulosis bisa juga muncul dengan batuk kronis dan harus
diperhatikan di lokasi-lokasi di mana penyakit ini umum
ditemukan. Kondisi-kondisi yang tidak begitu umum juga bisa
muncul termasuk displasia bronkopulmonari dan bronkiolitis
obliteratif. Bronkitis kronis bisa muncul dengan aliran udara
normal dan dalam situasi ini tidak diklasifikasikan sebagai COPD.

2. Prognosis
COPD biasanya memburuk dengan berjalannya waktu dan bisa
berakhir dengan kematian. Diperkirakan 3% dari semua
kecacatan dikaitkan dengan COPD. Proporsi kecacatan dari COPD
secara global telah menurun dari tahun 1990 hingga 2010 karena
peningkatan kualitas udara dalam ruang terutama di Asia. Namun,
jumlah keseluruhan tahun hidup dengan kecacatan dari COPD
meningkat.
Tingkat memburuknya COPD berbeda-beda bergantung pada
adanya faktor yang memperkirakan hasil buruk termasuk: gangguan
parah di saluran napas, lemahnya kemampuan untuk berolah raga,
napas pendek, berat badan berkurang atau bertambah secara
drastis, gagal jantung kongestif, kebiasaan merokok, dan gejala sakit
mendadak yang sering terjadi. Hasil jangka panjang pada COPD dapat
diperkirakan dengan menggunakan indeks BODE yang memberikan
nilai mulai dari nol hingga sepuluh bergantung pada FEV1, indeks
massa tubuh, jarak yang mampu dicapai dengan berjalan kaki selama
enam menit, dan skala dispnea MRC yang dimodifikasi. Berkurangnya
berat badan secara signifikan merupakan tanda yang buruk. Hasil
spirometri juga merupakan penanda baik untuk perkiraan kemajuan
selanjutnya dari penyakit ini meskipun tidak sebagus indeks BODE.

16
G. Jenis-jenis Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
Penyakit yang termasuk dalam kelompok penyakit paru obstruksi kronik
adalah sebagai berikut :
1. Bronkitis Kronik
Bronkitis merupakan definisi klinis batuk-batuk hampir setiap hari
disertai pengeluaran dahak, sekurang-kuranganya 3 bulan dalam satu
tahun dan terjadi paling sedikit selama 2 tahun berturut-turut.

2. Emfisema Paru
Emfisema paru merupakan suatu definisi anatomik, yaitu suatu
perubahan anatomik paru yang ditandai dengan melebarnya secara
abnormal saluran udara bagian distal bronkus terminalis, yang disertai
kerusakan dinding alveolus. Sesuai dengan definisi tersebut, maka jika
ditemukan kelainan berupa pelebaran ruang udara (alveolus) tanpa
disertai adanya destruksi jaringan maka keadaan ini sebenarnya tidak
termasuk emfisema, melainkan hanya sebagai "overinflation".

3. Asma
Asma merupakan suatu penyakit yang dicirikan oleh
hipersensitivitas cabang-cabang trakeobronkial terhadap pelbagai jenis
rangsangan. Keadaan ini bermanifestasi sebagai penyempitan saluran-
saluran napas secara periodic dan reversible akibat bronkospasme.

4. Bronkiektasis
Bronkiektasis adalah dilatasi bronkus dan bronkiolus kronik yang
mungkin disebabkan oleh berbagai kondisi, termasuk infeksi paru dan
obstruksi bronkus, aspirasi benda asing, muntahan, atau benda-benda
dari saluran pernapasan atas, dan tekanan terhadap tumor, pembuluh
darah yang berdilatasi dan pembesaran nodus limfe.

H. Upaya preventif dan kuratif Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)


1. Upaya Preventif
Kebanyakan kasus COPD berpotensi untuk bisa dicegah melalui
penurunan paparan terhadap asap dan peningkatan kualitas udara.

17
Vaksinasi flu tahunan pada mereka yang menderita COPD menurunkan
keparahan, lamanya rawat inap dan kematian. Vaksin
pneumokokal bisa juga bermanfaat.
a. Berhenti Merokok
Mencegah orang agar tidak mulai merokok adalah aspek
utama dari pencegahan COPD. Kebijakan-kebijakan dari
pemerintah, badan-badan kesehatan umum dan organisasi-
organisasi anti rokok bisa menurunkan tingkat merokok dengan
mencegah orang agar tidak mulai merokok dan menganjurkan
orang untuk berhenti merokok. Larangan merokokdi tempat-
tempat umum dan tempat kerja adalah sarana penting untuk
menurunkan paparan asap sekunder. Walaupun banyak tempat
sudah menerapkan larangan merokok, dianjurkan agar lebih
banyak lagi.
Di kalangan mereka yang merokok, berhenti
merokok adalah satu-satunya cara yang terbukti untuk
memperlambat memburuknya COPD. Bahkan pada tahap lanjut
dari penyakit ini, berhenti merokok bisa menurunkan tingkat
memburuknya fungsi paru-paru dan memperlambat serangan
awal kecacatan dan kematian. Penghentian merokok mulai
dengan keputusan untuk berhenti merokok, kemudian dilanjutkan
dengan upaya untuk berhenti. Sering beberapa upaya diperlukan
sebelum pantang jangka panjang tercapai. Upaya melebihi 5
tahun membawa kesuksesan dalam hampir 40% orang.
Beberapa perokok bisa berhasil berhenti merokok jangka
panjang melalui tekad yang keras. Namun merokok sangat
adiktif dan banyak perokok memerlukan bantuan lebih lanjut.
Kesempatan untuk berhenti meningkat dengan dukungan sosial,
keterlibatan dalam program penghentian merokok dan
penggunaan obat-obatan seperti terapi penggantian
nikotin, bupropion atau vareniklin.

18
b. Kesehatan Kerja
Sejumlah tindakan sudah diambil untuk menurunkan
kemungkinan pekerja di industri-industri yang berisiko - seperti
pertambangan batubara, konstruksi dan batu bata - terserang
COPD. Contoh-contoh dari tindakan pencegahan ini termasuk:
pembuatan kebijakan umum, pendidikan pekerja dan manajemen
risiko, promosi penghentian merokok, pemeriksaan pekerja
apakah ada tanda-tanda awal COPD, dan
penggunaan respirator, dan pengontrolan debu. Pengontrolan
debu yang efektif bisa dicapai dengan memperbaiki ventilasi,
menggunakan semprotan air dan dengan menggunakan teknik-
teknik pertambangan yang meminimalkan timbulnya debu. Bila
seorang pekerja terserang COPD, kerusakan paru-paru
selanjutnya bisa diturunkan dengan menghindari paparan debu
yang berkelanjutan, misalnya dengan mengubah peran kerjanya.

c. Polusi Udara
Kualitas udara di dalam atau di luar ruang bisa
ditingkatkan, yang bisa mencegah COPD atau memperlambat
penyakit yang sudah ada. Ini bisa dicapai dengan upaya
kebijakan umum, perubahan budaya, dan keterlibatan pribadi.
Sejumlah negara maju sudah berhasil meningkatkan kualitas
udara luar melalui peraturan-peraturan. Ini menghasilkan
peningkatan dalam fungsi paru-paru penduduknya. Penderita
COPD bisa mengalami lebih sedikit gejala-gejala penyakit bila
mereka tinggal di dalam ruangan saat kualitas udara luar buruk.
Satu upaya penting adalah menurunkan paparan terhadap
asap dari bahan bakar untuk memasak dan pemanas melalui
ventilasi rumah yang lebih baik serta kompor dan cerobong asap
yang lebih baik. Kompor yang tepat bisa meningkatkan kualitas
udara dalam ruang hingga 85%. Penggunaan sumber energi
alternatif seperti memasak dengan panel surya dan pemanas
listrik efektif, demikian juga penggunaan bahas bakar seperti
minyak tanah dan batubara dibandingkan penggunaan biomassa.

19
2. Upaya Kuratif
Belum ada obat untuk menyembuhkan COPD yang diketahui,
tetapi gejala-gejala bisa diobati dan perkembangannya diperlambat.
Tujuan utama dari manajemen adalah untuk menurunkan faktor-faktor
risiko, mengelola COPD yang stabil, mencegah dan mengobati
eksarsebasi akut, dan menangani penyakit-penyakit terkait. Satu-
satunya cara yang terbukti menurunkan mortalitas adalah penghentian
merokok dan pemberian suplemen oksigen. Berhenti merokok
menurunkan risiko kematian hingga 18%. Rekomendasi lain termasuk:
vaksinasi flu setahun sekali, vaksinasi pneumokokal sekali setiap 5
tahun, dan penurunan paparan terhadap polusi udara lingkungan. Bagi
mereka yang menderita penyakit tahap lanjut, perawatan paliatif bisa
menurunkan gejala-gejala, dengan morfin memperbaiki rasa sesak
nafas. Ventilasi noninvasif bisa digunakan untuk mendukung
pernafasan.
1) Latihan
Rehabilitasi paru-paru adalah sebuah program latihan,
pengelolaan penyakit dan konseling, yang dikoordinasikan agar
bermanfaat bagi individu. Bagi mereka yang baru saja mengalami
eksaserbasi, rehabilitasi paru-paru tampaknya meningkatkan
kualitas hidup dan kemampuan berlatih secara keseluruhan, dan
menurunkan mortalitas. Program ini juga sudah terbukti
meningkatkan kemampuan seseorang untuk mengendalikan
penyakitnya, serta emosinya. Latihan bernafas itu sendiri
tampaknya terbatas peranannya.
Kekurangan atau kelebihan berat badan kurang bisa
mempengaruhi gejala-gejala penyakit, tingkat kecacatan dan
prognosis COPD. Penderita COPD yang kekurangan berat badan
bisa meningkatkan kekuatan otot pernafasannya dengan
menaikkan asupan kalorinya. Bila digabungkan dengan latihan
rutin atau sebuah program rehabilitasi paru-paru, ini bisa
memperbaiki gejala-gejala COPD. Nutrisi suplemen bisa berguna
bagi mereka yang kekurangan gizi.

20
2) Bronkodilator
Bronkodilator hirup adalah pengobatan utama yang
digunakan dan manfaat keseluruhannya kecil. Ada dua jenis
utama, β2 agonis dan antikolinergik; keduanya tersedia dalam
bentuk bekerja jangka panjang dan jangka pendek. Bronkodilator
menurunkan sesak nafas, suara mengi dan keterbatasan latihan,
sehingga menghasilkan peningkatan kualitas hidup. Tidak jelas
apakah pengobatan itu mengubah perkembangan penyakit yang
mendasarinya.
Bagi mereka yang menderita penyakit ringan, obat-obatan
kerja pendek direkomendasikan berdasarkan sesuai keperluan.
Bagi mereka yang menderita penyakit yang lebih parah, obat-
obatan kerja panjang direkomendasikan. Bila bronkodilator kerja
panjang tidak memadai, kortikosteroid hirup biasanya
ditambahkan. Dalam kaitannya dengan obat-obatan kerja
panjang, tidak jelas apakah tiotropium (antikolinergik kerja
panjang) atau beta agonis kerja panjang (LABA) lebih baik, dan
mungkin sebaiknya masing-masing dicoba dan yang bekerja
paling baik diteruskan. Kedua jenis pengobatan tampaknya
menurunkan risiko eksaserbasi akut hingga 15-25%. Walaupun
penggunaan kedua jenis obat bersamaan bisa menawarkan
faedah, faedah ini, bila ada, maknanya diragukan.
Ada beberapa β2 agonis kerja pendek yang tersedia
termasuk salbutamol (Ventolin) dan terbutalin. Obat-obat itu
meringankan gejala-gejala penyakit selama empat hingga enam
jam. β2 Agonis kerja panjang seperti salmeterol dan
formoterol sering digunakan sebagai terapi pemeliharaan.
Beberapa orang merasa bukti faedah terbatas sementara yang
lain memandang faedahnya sudah terbukti. Penggunaan jangka
panjang tampaknya aman dalam COPD dengan efek-efek
samping termasuk gemetar dan palpitasi jantung. Bila digunakan
dengan steroid hirup, pengobatan ini meningkatkan risiko
pneumonia. Walaupun steroid dan LABA bisa bekerja lebih baik

21
bersama, tidak jelas apakah faedah kecil ini manfaatnya melebihi
peningkatan risiko-risikonya.
Ada dua antikoligernik utama yang digunakan dalam
COPD, ipratropium dan tiotropium. Ipratropium adalah obat kerja
pendek sedangkan tiotropium kerja panjang. Tiotropium dikaitkan
dengan penurunan eksaserbasi dan peningkatan kualitas hidup,
dan tiotropium memberikan manfaat itu lebih baik daripada
ipratropium. Ini tampaknya tidak mempengaruhi mortalitas atau
tingkat rawat inap keseluruhan. Antikolinergik bisa menyebabkan
mulut kering dan gejala-gejala penyakit saluran kencing.
Antikoligernik juga dikaitkan dengan peningkatan risiko penyakit
jantung dan stroke. Aklidinium, obat kerja panjang lain yang
muncul di pasar dalam tahun 2012, digunakan sebagai alternatif
untuk tiotropium.

3) Kortikosteroid
Kortikosteroid biasanya digunakan dalam bentuk obat
hirup tetapi juga bisa digunakan sebagai tablet untuk mengobati
dan mencegah eksaserbasi akut. Walaupun kortikosteroid hirup
(ICS) tidak menunjukkan manfaat bagi penderita COPD ringan,
obat itu menurunkan aksersebasi akut bagi mereka yang
menderita COPD sedang atau parah.[89]Bila digunakan dalam
kombinasi dengan LABA, pengobatan itu menurunkan mortalitas
lebih dari ICS atau LABA yang digunakan sendiri.[90] Bila
digunakan sendiri, pengobatan itu tidak berpengaruh pada
mortalitas satu tahun keseluruhan dan dikaitkan dengan
peningkatan level pneumonia. Tidak jelas apakah pengobatan itu
mempengaruhi perkembangan penyakit. Pengobatan kerja
panjang dengan tablet steroid dikaitkan dengan efek samping
yang penting.

4) Pengobatan Lain
Antibiotik kerja panjang, terutama yang berasal dari
kelas makrolid seperti eritromisin, menurunkan frekuensi

22
eksaserbasi dari mereka yang mengalami serangan COPD dua
kali atau lebih dalam setahun. Praktik ini mungkin hemat biaya di
beberapa wilayah dunia. Kekuatirannya termasuk
adanya resistensi antibiotik dan gangguan pendengaran
dengan azitromisin, seperti teofilin biasanya menyebabkan lebih
banyak kerugian daripada keuntungan dan oleh karena itu
biasanya tidak direkomendasikan, tapi bisa digunakan sebagai
pengobatan baris kedua bagi yang tidak bisa dikendalikan
dengan pengobatan lain. Mukolitik bisa berguna bagi beberapa
penderita yang memiliki lendir kental tapi pada umumnya tidak
diperlukan. Obat batuk tidak dianjurkan.

5) Oksigen
Oksigen suplemen direkomendasikan bagi mereka yang
level oksigennya rendah saat beristirahat(tekanan parsial
oksigen kurang dari 50–55 mmHg atau saturasi oksigen kurang
dari 88%). Dalam kelompok orang ini, terapi itu menurunkan
risiko gagal jantung dan kematian bila digunakan 15 jam per hari
dan bisa meningkatkan kemampuan orang untuk berolahraga.
Bagi mereka yang level oksigennya normal atau sedikit rendah,
suplementasi oksigen bisa memperbaiki sesak nafas. Ada risiko
kebakaran dan sedikit manfaat bila mereka yang menjalani terapi
oksigen terus merokok. Dalam situasi ini beberapa
merekomendasikan agar terapi ini tidak digunakan. Selama
eksaserbasi akut, banyak yang memerlukan terapi oksigen;
penggunaan oksigen konsentrasi tinggi tanpa
mempertimbangkan saturasi oksigen seseorang bisa
menyebabkan peningkatan level karbon dioksida dan hasil-
hasilnya diperburuk. Bagi mereka yang risikonya tinggi terhadap
level karbon dioksida yang tinggi, saturasi oksigen sebesar 88–
92% direkomendasikan, sementara bagi mereka yang tidak
berisiko, level yang direkomendasikan adalah 94-98%.

23
6) Bedah
Bagi mereka yang penyakitnya amat parah bedah kadang-
kadang membantu dan bisa termasuk pencangkokan paru-
paru atau bedah penurunan volume paru-paru. Bedah
penurunan volume paru-paru melibatkan penghilangan bagian-
bagian paru-paru yang paling rusak karena emfisema sehingga
membiarkan sisanya, yang masih relatif baik, untuk berekspansi
dan bekerja lebih baik. Pencangkokan paru-paru kadang-kadang
dilakukan untuk COPD yang amat parah, terutama pada individu
yang lebih muda.

7) Eksaserbasi
Eksaserbasi akut biasanya diobati dengan meningkatkan
penggunaan bronkodilator kerja pendek. Ini pada umumnya
memasukkan kombinasi beta agonis hirup kerja pendek dan
antikolinergik. Pengobatan ini bisa diberikan baik melalui inhaler
dengan dosis terukur dengan spaceratau melalui nebulizer,
keduanya tampaknya sama-sama efektif. Nebulisasi mungkin
lebih mudah bagi mereka yang kondisinya lebih tidak sehat.
Kortikosteroid oral meningkatkan kesempatan
penyembuhan dan menurunkan durasi keseluruhan gejala-gejala
penyakit bagi mereka yang menderita eksaserbasi parah,
antibiotic meningkatkan hasil-hasil. Berbagai jenis antibiotik bisa
digunakan termasuk: amoksisilin, doksisiklin atau azitromisin;
tidak jelas apakah salah satu lebih baik dari yang lain. Tidak ada
bukti jelas bagi mereka yang penyakitnya tidak begitu parah.
Ventilasi tekanan positif non-invasif bagi mereka yang
level CO2-nya meningkat secara akut (gagal pernafasan tipe 2)
menurunkan probabilitas kematian dari atau perlunya perawatan
intensif untuk ventilasi mekanis. Sebagai tambahan, teofilin
mungkin berperan bagi mereka yang tidak memberikan respon
terhadap pengobatan lain. Kurang dari 20% eksaserbasi
memerlukan rawat inap di rumah sakit. Bagi mereka yang tidak
mengalami asidosis dari gagal pernafasan, perawatan di

24
rumah ("rumah sakit di rumah") mungkin bisa membantu
menghindari rawat inap.

Gambar 1.1 Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)

Gambar 1.2 Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)

25
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (COPD) merupakan suatu istilah yang
sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru-paru yang
berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap
aliran udara sebagai gambaran patofisiologi utamanya. Ketiga penyakit
yang membentuk satu kesatuan yang dikenal dengan COPD adalah
Bronchitis kronis, emfisema paru-paru dan asthma bronchiale.
2. Etiologi penyakit ini belum diketahui. Penyakit ini dikaitkan dengan
faktor-faktor risiko yang terdapat pada penderita antara lain Merokok
sigaret yang berlangsung lama, Polusi udara, Infeksi peru berulang,
UmurJenis kelamin, Ras, Defisiensi alfa-1 antitripsin, Defisiensi anti
oksidan, Pengaruh dari masing-masing faktor risiko terhadap terjadinya
PPOK adalah saling memperkuat dan faktor merokok dianggap yang
paling dominan.
3. Penyebab utama PPOK adalah asap tembakau, dengan terpapar
karena pekerjaan dan polusi dari api dalam ruang sebagai penyebab
signifikan di beberapa negara.

B. Saran
Jika ada kekurangan dan kekeliruan dari penulisan makalah ini mohon
diberikan masukan, dan diharapkan bagi peneliti berikutnya lebih dilengkapi
lagi penjelasan tentang Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK).

26
DAFTAR PUSTAKA

Blogspot. 2014. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK). Diakses tanggal 7 Desember
2018. (http://kotaterindahdiindonesia.blogspot.co.id/2014/08/1penyakit-
obstruktif-paru.html?m=1).

Blogspot. 2015. Definisi Penyakit Paru Obstruktif Kronik. Diakses tanggal 7 Desember
2018. (http://penyakitparuobtrukrtif.blogspot.co.id/2015/10/definisi.html?m=1).

Prasetyaningrum, Indah. 2012. Penyakit Paru Obstruktif Kronik. Diakses tanggal 7


Desember 2018. (https://www.ibudanbalita.com/forum/diskusi/Paru-
Obstruktif).

Wahyudi, Roni. 2012. Makalah Tentang Penyakit PPOK. Diakses tanggal 7 Desember
2018. (http://rony-bujangjumendang.blogspot.co.id/2012/06/makalah-tentang-
penyakit-ppok.html?m=1).

27

Anda mungkin juga menyukai