Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

DETERMINAN SOSIAL TERHADAP PENYAKIT


TUBERKULOSIS
MATA KULIAH :

DETERMINAN SOSIAL KESEHATAN

DOSEN PENGANJAR

Adisti A. Rumayar, SKM, M. Kes, MPH

dr. Adriansa A. Tucunan, M.Kes

OLEH

KELOMPOK 4

1. Sarah Paendong 16111101177


2. Regina Langkai 16111101257
3. Friskila Bella 16111101243
4. Jounetha Mokalu 16111101247
5. Putra Lupa 16111101172

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS SAM RATULANGI
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
rahmat, karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang
”DETERMINAN SOSIAL TERHADAP PENYAKIT TUBERKULOSIS”
dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya

Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat


kekurangan dan tidak sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik,
saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat ini di masa yang
akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang
membangun.

Semoga makalah ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.


Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang
berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun dari kita semua
demi perbaikan makalah ini di waktu yang akan datang.

Manado, Agustus 2019

Kelompok 6
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................... …i

DAFTAR ISI ............................................................................................... …ii

BAB 1 PENDAHULUAN .......................................................................... …1

1.1.Latar Belakang ............................................................................... …1


1.2.Rumusan Masalah .......................................................................... …2
1.3.Tujuan ............................................................................................ …2

BAB II PEMBAHASAN ........................................................................... …3

2.1 Determinan Sosial Kesehatan ....................................................... …3


2.1.1 Determinan Sosial Menurut Hendrik Blum ......................... …3
2.1.2 Determinan Sosial Menurut Dahlgren dan Whitehead ....... …5
2.2 Tuberkolosis ................................................................................. …7
2.3 Deterinan Sosial Terhadap Penyakit Tuberkolosis ....................... …9
2.3.1 Lingkungan .......................................................................... …9
2.3.2 Perilaku ................................................................................ ...12
2.3.3 Genetik... .............................................................................. 13
2.3.4 Pelayanan Kesehatan ............................................................ ..13

BAB III PENUTUP .................................................................................. ..14

3.1.Kesimpulan .................................................................................... ..14

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... ...16


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh kuman dari
kelompok Mycobacterium yaitu Mycobacterium tuberculosis (Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia, 2014). Tuberkulosis telah menjadi masalah
kesehatan besar dunia. Pada tahun 2015 TB merupakan penyebab 10 besar
kematian diseluruh dunia, menempati ranking diatas HIV/AIDS sebagai penyebab
terbesar kematian akibat penyakit infeksi (WHO, 2016). Tuberkulosis (TB) adalah
penyebab kematian menular melalui udara yang paling umum, menewaskan
sekitar tiga juta orang, terutamadewasa muda di negara-negara termiskin di dunia
setiap tahun

Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh bakteri


TB. Pada tahun 1995 diperkirakan ada 9 juta pasien TB baru dan 3 juta kematian
akibat penyakit TB diseluruh dunia, yang kebanyakan terjadi di negara-negara
berkembang (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2011). Indonesia
menempati urutan kedua setelah India sebagai negara dengan kategori “High
burden“ dengan tingkat insidens mencapai 1 juta penderita TB dari 258 juta
penduduk tahun 2015 (395 dari 100.000 penduduk) (WHO, 2016).

Tuberkulosis ditularkan melalui droplet yang mengandung bakteri TB.


Semakin lama seseorang terpapar dengan droplet TB semakin tinggi kemungkinan
ia akan terinfeksi TB. Kumungkinan terinfeksi TB juga lebih besar pada
kelompok yang memiliki hubungan dekat dengan penderita, biasanya anggota
keluarga yang serumah (Hopewell, 2016).

Kontak dengan penderita TB rata-rata lebih banyak diobservasi pada


kelompok dengan status sosial-ekonomi yang rendah. Beberapa faktor- faktor
sosial ekonomi yaitu pendidikan, pekerjaan dan penghasilan dan kelas sosial,
dimana faktor-faktor ini akan saling mempengaruhi satu sama lain . Tingkat
pendidikan yang dibentuk dari kecil hingga dewasa akan mempengaruhi
pengetahuan dan sumber daya lain yang mengarah terhadap kesehatan. Selain
itu juga pendidikan akan berpengaruh terhadap pekerjaan dan pendapatan
individu di masa depan. Pendapatan seseorang akan mempengaruhi terhadap
kemampuan akses pelayanan kesehatan yang memadai, pemenuhan kebutuhan
gizi, dan kondisi rumah yang sesuai dengan standar. Faktor-faktor risiko TB
juga dipengaruhi oleh status sosial-ekonomi yang rendah adalah polusi udara
dalam rumah, Human Immunodeficiency Virus (HIV), diabetes mellitus (DM),
kebiasaan merokok, dan penyalahgunaan alkohol. Kondisi rumah yang buruk,
ventilasi yang tidak cukup dan terlalu padatnya penghuni merupakan salah satu
faktor utama dalam penularan TB (NHS UK, 2012). Faktor-faktor kondisi
rumah lainnya yang erat hubungannya dengan kejadian TB yaitu polusi udara
(asap hasil bakaran dan rokok) dan ukuran kamar (Amir dan Alsegaf, 1989).
Ventilasi yang tidak memenuhi standar (10% dari luas lantai rumah)
menyebabkan tingginya konsentreasi droplet infeksius di udara. Kepadatan
rumah yang tinggi melebihi standar yang ditentukan (kurang dari 9m2) lebih
rentan tertular TB karena lebih dekatnya kontak dengan penderita TB (Tornee
2004). Asap rokok akan mengurangi gerakan dari silia paru dan aktivitas
makrofag, menyebabkan lebih mudahnya seseorang menderita infeksi
pernafasan. Asap rokok juga menyebabkan batuk yang memfasilitasi
penyebaran TB melalui droplet (Lindsay, 2014)

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas dapat disimpulkan rumusan masalah

yaitu determinan sosial apa yang merupakan faktor resiko penyakit

Tuberkulosis.

1.3 Tujuan

Untuk dapat mengetahui determinan sosial yang merupakan faktor resiko

penyakit Tuberkulosis.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Determinan Sosial Kesehatan

WHO mendefinisikan determinan sosial kesehatan adalah keadaan dimana orang


dilahirkan, tumbuh, hidup dan sistem dimasukkan ke dalam tempat untuk
menangani penyakit. Keadaan ini pada gilirannya dibentuk oleh satu set yang
lebih luas dari kekuatan ekonomi, kebijakan sosial dan politik (WHO, 2008).

2.1.1. Determinan Sosial Menurut Hendrik Blum

Gambar 1. Model Hendrik Blum dalam Determinan Kesehatan

Konsep hidup sehat H. L. Blum sampai saat ini masih relevan untuk
diterapkan. Kondisi sehat secara holistik bukan saja kondisi sehat secara fisik
melainkan juga spiritual dan sosial dalam bermasyarakat. Untuk menciptakan
kondisi sehat seperti ini diperlukan suatu keharmonisan dalam menjaga kesehatan
tubuh. H.L Blum menjelaskan ada empat faktor utama yang mempengaruhiderajat
kesehatan masyarakat. Keempat faktor tersebut merupakan faktor determinan
timbulnya masalah kesehatan. Keempat faktor tersebut terdiri dari faktor perilaku
gaya hidup (life style) faktor lingkungan (sosial, ekonomi, politik, budaya) faktor
pelayanan kesehatan (jenis cakupan dan kualitasnya) dan faktor genetik
(keturunan). Keempat faktor tersebut saling berinteraksi yang mempengaruhi
kesehatan perorangan dan derajat kesehatan masyarakat.

Dalam konsep Blum ada 4 faktor determinan yang dikaji, masing-masing faktor
saling keterkaitan:

1. Perilaku masyarakat

Perilaku merupakan faktor kedua yang mempengaruhi derajat kesehatan


masyarakat karena sehat atau tidak sehatnya lingkungan kesehatan individu,
keluarga dan masyarakat sangat tergantung pada perilaku manusia itu sendiri.
Disamping itu, juga dipengaruhi oleh kebiasaan, adat istiadat, kepercayaan,
pendidikan sosial ekonomi, dan perilaku-perilaku lain yang melekat pada dirinya.
Perilaku masyarakat dalam menjaga kesehatan sangat memegang peranan penting
untuk mewujudkan Indonesia Sehat. Hal ini dikarenakan budaya hidup bersih dan
sehat harus dapat dimunculkan dari dalam diri masyarakat untuk menjaga
kesehatannya.

2. Lingkungan

Lingkungan memiliki pengaruh yang dan peranan terbesar diikuti perilaku,


fasilitas kesehatan dan keturunan. Lingkungan sangat bervariasi, umumnya
digolongkan menjadi tiga kategori, yaitu yang berhubungan dengan aspek fisik
dan sosial. Lingkungan yang berhubungan dengan aspek fisik contohnya
sampah,air, udara, tanah, ilkim, perumahan, dan sebagainya. Sedangkan
lingkungan sosial merupakan hasil interaksi antar manusia seperti kebudayaan,
pendidikan, ekonomi, dan sebagainya. Lingkungan yang memiliki kondisi sanitasi
buruk dapat menjadi sumber berkembangnya penyakit. Hal ini jelas
membahayakan kesehatan masyarakat kita. Terjadinya penumpukan sampah yang
tidak dapat dikelola dengan baik, polusi udara, air dan tanah juga dapat menjadi
penyebab. Upaya menjaga lingkungan menjadi tanggung jawab semua pihak
untuk itulah perlu kesadaran semua pihak.

3. Pelayanan kesehatan
Pelayanan kesehatan merupakan faktor ketiga yang mempengaruhi derajat
kesehatan masyarakat karena keberadaan fasilitas kesehatan sangat menentukan
dalam pelayanan pemulihan kesehatan, pencegahan terhadap penyakit,
pengobatan dan keperawatan serta kelompok dan masyarakat yang memerlukan
pelayanan kesehatan. Ketersediaan fasilitas dipengaruhi oleh lokasi, apakah dapat
dijangkau atau tidak. Yang kedua adalah tenaga kesehatan pemberi pelayanan,
informasi dan motivasi masyarakat untuk mendatangi fasilitas dalam memperoleh
pelayanan serta program pelayanan kesehatan itu sendiri apakah sesuai
dengankebutuhan masyarakat yang memerlukan.

Kondisi pelayanan kesehatan juga menunjang derajat kesehatan


masyarakat. Pelayanan kesehatan yang berkualitas sangatlah dibutuhkan.
Masyarakat membutuhkan posyandu, puskesmas, rumah sakit dan
pelayanankesehatan lainnya untuk membantu dalam mendapatkan pengobatan dan
perawatan kesehatan. Terutama untuk pelayanan kesehatan dasar yang memang
banyak dibutuhkan masyarakat. Kualitas dan kuantitas sumber daya manusia di
bidang kesehatan juga mesti ditingkatkan.

4. Genetik/Keturunan

Dalam hal ini kita harus memperhatikan status gizi balita sebab pada masainilah
perkembangan otak anak yang menjadi asset kita dimasa mendatang. Namun
masih banyak saja anak Indonesia yang status gizinya kurang bahkan buruk.
Padahal potensi alam Indonesia cukup mendukung. Oleh sebab itulah program
penanggulangan kekurangan gizi dan peningkatan status gizi masyarakat masih
tetap diperlukan. Utamanya program posyandu yang biasanya dilaksanakan di
tingkat. Dengan berjalannya program ini maka akan terdeteksi secara dini status
gizi masyarakat dan cepat dapat tertangani.

2.1.2 Determinan Sosial Menurut Dahlgren dan Whitehead (1991)

Sebagian besar model yang sering digunakan dalam determinan sosial kesehatan
adalah model yang dibuat oleh Dahlgren dan Whitehead (1991), yang mana model
ini berusaha untuk menggambarkan cara dimana determinan sosial kesehatan
membangun hubungan satu sama lain atau secara berlapis-lapis seperti gambar
dibawah ini

Gambar 2. Model Dahlgren dan Whitehead (1991) dalam Determinan


Kesehatan

Dalam teori ekonomi-sosial kesehatan, Dahlgreen dan Whitehead (1991)


menjelaskan bahwa kesehatan atau penyakit yang dialami oleh individu
dipengaruhi oleh faktor-faktor yang terletak diberbagai lapisan lingkungan,
sebagian besar determinan kesehatan tersebut sesungguhnya dapat diubah
(modifiable factors). Gambar memeragakan, individu yang kesehatannya ingin
ditingkatkan terletak dipusat, dengan faktor konstitusional (gen), dan sistem
lingkungan mikro pada level sel/molekul.

Lapisan pertama (level mikro, hilir/downstream) determinan kesehatan


meliputi perilaku dan gaya hidup individu, yang meningkatkan ataupun
merugikan kesehatan. Pada level mikro, faktor konstitusional genetik berinteraksi
dengan paparan lingkungan dan memberikan perbedaan apakah individu lebih
rentan atau lebih kuat menghadapi paparan lingkungan yang merugikan. Perilaku
dan karakteristik individu dipengaruhi oleh pola keluarga, pola pertemanan dan
norma-norma di komunitas.

Lapisan kedua (level meso) adalah pengaruh sosial dan komunitas, yang
meliputi norma komunitas, nilai-nilai sosial, lembaga komunitas, modal sosial,
jejaring sosial, dan sebagainya. Faktor sosial pada level komunitas dapat
memberikan dukungan bagi anggota-anggota komunitas pada keadaan yang
menguntungkan bagi kesehatan. Sebaliknya faktor yang ada pada level komunitas
dapat juga memberikan efek negatif bagi individu dan tidak memberikan
dukungan sosial yag diperlukan bagi kesehatan anggota komunitas.

Lapisan ketiga (level ekso) meliputi faktor-faktor struktural: lingkungan


pemukiman atau perumahan papan yang baik, ketersediaan pangan, ketersediaan
energi, kondisi di tempat bekerja, kondisi sekolah, penyediaan air bersih dan
sanitasi lingkungan, akses terhadap pelayanan kesehatan yang bermutu, akses
terhadap pendidikan yang berkualitas, lapangan kerja yang layak.

Lapisan terluar (level makro, hulu/upstream) meliputi kondisi- kondisi dan


kebijakan makro sosial-ekonomi, budaya, dan politik umumnya, serta lingkungan
fisik. Termasuk faktor-faktor makro yang terletak di lapisan luar adalah kebijakan
publik, stabilitas sosial, ekonomi, dan politik, hubungan internasional atau
kemitraan global, investasi pembangunan eknomi, peperangan atau perdamaian,
perubahan iklim dan cuaca, eko- sistem, bencana alam (maupun bencana buatan
manusia/ man made disaster seperti kebakaran hutan).

Berdasarkan model determinan ekonomi-sosial kesehatan Dahlgren dan


Whitehead (1991) dapat disimpulkan bahwa kesehatan individu, kelompok dan
komunitas yang optimal membutuhkan realisasi potensi penuh dari individu, baik
secara fisik, psikologis, sosial, spiritual, dan ekonomi, pemenuhan ekspektasi
peran seorang dalam keluarga, komunitas, tempat bekerja, dan realisasi kebijakan
makro yang dapat memperbaiki kondisi lingkungan makro.

2.2 Tuberkulosis

2.2.1 Definisi

Tuberkulosis adalah penyakit infeksius yang disebabkan oleh bakteri basil


Mycobacterium tuberculosis yang pada umumya menyerang paru-paru (TB
pulmoner/paru) tetapi dapat juga menyerang organ tubuh lainnya (TB
ekstrapulmoner/ekstraparu) (WHO, 2016).
2.2.2 Etiologi

Tuberkulosis disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, bakteri basil


berbentuk batang lurus yang tipis sekitar 0,4 x 3 µm. Mycobacteria tidak dapat
digolongkan menjadi bakteri gram negatif maupun gram positif. Saat diwarnai
dengan pewarnaan gram, alkohol tidak bisa menghilangkan warna dari bakteri ini,
dengan maupun tanpa pemberian iodin. Mycobacteria digolongkan sebagai
bakteri tahan asam, dimana etil alkohol 95% yang mengandung 3% HCl akan
menghilangkan warna dari semua bakteri lain kecuali mycobacteria (Jawetz,
2013).

2.2.3 Epidemiologi

Tuberkulosis telah menjadi masalah kesehatan besar dunia, pada tahun 2015 TB
merupakan penyebab 10 besar kematian diseluruh dunia, menempati ranking
diatas HIV/AIDS sebagai penyebab terbesar kematian akibat penyakit infeksi
(WHO, 2016).

Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh bakteri


TB. Pada tahun 1995 diperkirakan ada 9 juta pasien TB baru dan 3 juta kematian
akibat penyakit TB diseluruh dunia, yang kebanyakan terjadi di negara-negara
berkembang (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2011). Pada tahun 2015
diperkirakan terdapat 10,4 kasus baru TB diseluruh dunia, yang sekitar 5,9 juta
laki-laki (56%), 3,5 juta perempuan dan anak-anak (34%). Enam negara yang
memiliki 60% kasus baru yaitu: India, Indonesia, China, Nigeria, Pakistan, dan
Afrika selatan. Secara global penurunan insidens TB tetap pada 1,5% dari 2014
sampai 2015.

Indonesia menempati urutan kedua setelah India dengan tingkat insidens


mencapai 1 juta penderita TB dari 258 juta penduduk tahun 2015 dengan kategori
“high burden” (WHO, 2015).

2.2.4 Patogenesis

2.2.4.1 Tuberkulosis primer


Penularan TB paru terjadi karena kuman dibatukan atau dibersinkan keluar
menjadi droplet nuclei dalam udara di sekitar kita. Partikel infeksi ini dapat
menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam, tergantung pada ada atau tidaknya
sinar ultraviolet, ventilasi yang buruk, dan kelembaban. Dalam suasana lembab,
dan gelap kuman dapat tahan berhari-hari sampai berbulan-bulan. Untuk
pengobatan, WHO mengeluarkan pedoman bahwa orang dengan TB yang resistan
terhadap rifampisin, dengan atau tanpa resisuntuk obat lain, harus diobati dengan
TB-MDRrejimen pengobatan. Meskipun ada kemajuan baru-baru ini, TB
termasukdalam bentuk yang resistan terhadap obat, terus menyajikan
sejumlahtantangan bagi dokter dan program TB nasional. Dengan10,4 juta infeksi
pada 2015 TB adalah salah satu dari 10 terataspenyebab kematian di seluruh dunia
menewaskan 1,8 juta orang, peringkatdi atas HIV / AIDS sebagai penyebab utama
kematian akibat infeksi penyakit serius dan salah satu masalah kesehatan global
utama.

2.2.4.2 Tuberkulosis pasca-primer

Kuman yang dormant pada TB primer akan muncul bertahun-tahun kemudian


sebagai infeksi endogen menjadi TB dewasa /postprimer/sekunder. Mayoritas
reinfeksi mencapai 90%. Tuberkulosis sekunder terjadi akibat penurunan imunitas
misalanya akibat malnutrisi, alkohol, penyakit maligna, diabetes, AIDS, dan gagal
ginjal. Tuberkulosis sekunder ini dimulai dengan sarang dini yang berlokasi di
regio atas paru. Invasinya adalah ke dalam parenkim paru dan tidak ke nodulus
hiler paru.

2.3 Determinan Sosial terhadap Penyakit Tuberkulosis

Tuberkulosis (TB) paru adalah penyakit menular langsung yang menyerang paru–
paru. Determinan sosial adalah faktor yang penting dalam kejadian TB,
dikarenakan secara langsung maupun melalui faktor risiko dapat mempengaruhi
kesehatan seseorang (Hardiyo, Dyah 2017).
2.3.1 Lingkungan

2.3.1.1 Kepadatan Penduduk

Kepadatan rumah adalah perbandingan antara luas lantai rumah dengan jumlah
penghuni didalamnya yang dinyatakan dengan m2. Kebutuhan orang akan ruang
dari hasil kajian yaitu 9 m2 dengan perhitungan rata rata langit langit adalah 2,8 m
(Kementerian Pemukiman Prasarana dan Wilayah Republik Indonesia, 2002).
Menurut Notoadmojo dalam Praditya (2011) bahwa luas rumah yang tidak
sebanding dengan jumlah penghuninya akan menyebabkan perjubelan
(overcrowded). Hal ini tidak sehat karena disamping menyebabkan kurangnya
konsumsi oksigen, juga bila salah satu anggota keluarga terkena penyakit infeksi,
terutama tuberkulosis akan mudah menular kepada anggota keluarga yang lain.

2.3.1.2 Luas Ventilasi Rumah

Udara merupakan kebutuhan pokok manusia untuk bernafas sepanjang hidupnya.


Udara yang beganti dan mengalir secara kontinyu akan memberikan kenyamanan
dan kesehatan bila dapat mengalir melalui lubang-lubang maupun partisi sebagai
ventilasi (Kementerian Pemukiman Prasarana dan Wilayah Republik Indonesia,
2002). Luas ventilasi yang memenuhi standar adalah 10 % dari luas lantai rumah.
Ventilasi yang tidak memenuhi syarat akan menyebabkan suburnya pertumbuhan
mikroorganisme, yang mengakibatkan gangguan kesehatan manusia (Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia, 2011)

Kelompok dengan ukuran ventilasi rumah yang kurang dari standar yang
ditetapkan, berisiko 16,3 kali lebih besar menderita TB dibandingkan dengan
rumah yang luas ventilasinya sesuai standar yang ditetapkan. Ventilasi yang buruk
akan mengurangi level oksigen, meningkatkan level karbondioksida, suhu
ruangan, dan kepadatan bakteri TB di udara yang seharusnya terbawa keluar dan
mati dengan sinar ultraviolet (Wanti, 2015).
2.3.1.3 Pendidikan

Pendidikan sering digunakan sebagai ukuran generik dari posisi sosial ekonomi,
interpretasi spesifik yang menjelaskan hubungannya dengan dampak kesehatan
sebagai berikut :

a). Pendidikan menentukan posisi sosial ekonomi dan juga merupakan penentu
yang kuat dari pekerjaan di masa depan dan pendapatan.

b). Pengetahuan dan keterampilan dicapai melalui pendidikan dapat


mempengaruhi fungsi kognitif seseorang, membuat mereka lebih mudah
menerima makna pendidikan kesehatan, atau memungkinkan mereka untuk
berkomunikasi dengan dan mengakses pelayanan kesehatan yang sesuai.

Tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan


akan TB dari pencegahan maupun pengobatannya. Ketidaktahuan akan TB akan
menghalangi sikap dan tindakan terhadap pemberantasan TB sebagai orang sakit
sehingga akhirnya menjadi sumber penularan di sekitarnya (Rohayu et al, 2016).

Kurangnya pendidikan akan berpengaruh ke faktor-faktor risiko dari TB


HIV yang sangat tinggi di negara-negara dengan tingkat pendidikan formal yang
rendah. Kurangnya pengetahuan akan efek rokok terhadap kesehatan
menyebabkan tingginya prevalensi merokok pada kelompok dengan pendidikan
formal rendah. Kelompok yang putus sekolah 6,31 kali lebih tinggi dalam
penyalahgunaan alkohol dibandingkan yang tidak putus sekolah(Michael et al
2006).

2.3.1.4 Pekerjaan

Di Inggris pada tahun 2013, 70% kasus TB berasal dari 40% kasus terbanyak
daerah yang secara ekonomi kurang dan 44% dari kasus TB tidak memiliki
pekerjaan. Beberapa mekanisme yang lebih umum yang dapat menjelaskan
hubungan antara pekerjaan dan kesehatan adalah sebagai berikut:

a). Pekerjaan sangat terkait dengan pendapatan.


b). Pekerjaan mencerminkan status sosial dan mungkin terkait dengan dampak
kesehatan karena memiliki hak tertentu seperti akses yang lebih mudah untuk
perawatan kesehatan yang lebih baik, akses ke pendidikan dan fasilitas perumahan
yang lebih sehat (Solar&Irwin 2010).

Distribusi TB di negara maju dan berkembang sangat tidak merata dan


menunjukkankemiskinan sebagai faktor penyebab. Bank Dunia mendefinisikan
kemiskinan absolut sebagai hidup dengan satu dolar Amerika Serikat atau kurang
perorang per hari. Bank Dunia juga mengakui bahwa kemiskinan mencakup
kerentanan terhadap guncangan, dan kurangnya peluangdan kemampuan. Orang-
orang yang dilanda kemiskinan tidak memiliki ketahanan pangan, stabilitas
pendapatan, dan akses ke air, sanitasi dan kesehatanpeduli.

2.3.1.5 Penghasilan

Penghasilan adalah indikator posisi sosial ekonomi yang paling penting dalam
mengukur komponen sumber daya material. Penjelasan hubungan penghasilan
dan status kesehatan yaitu:

a). Perbedaan penghasilan menyebabkan perbedaan hirarki sosial yang


menyebabkan stress kronis yang mengarah ke status kesehatan yang lebih buruk
bagi golongan berstatus rendah.

b). Perbedaan penghasilan menyebabkan terkikisnya ikatan sosial, yang berakibat


kurangnya kepercayaan dan partisipasi masyarakat, kejahatan yang lebih besar
dan kondisi tidak sehat lainnya.

c). Sedikitnya penghasilan berarti sumber daya ekonomi yang lebih sedikit pada
yang miskin, sehingga kurangnya kemampuan untuk menghindari risiko,
menyembuhkan, dan /atau mencegah penyakit.

d). Penghasilan yang kurang menyebabkan kurangnya investasi dalam kondisi


sosial dan lingkungan (perumahan yang aman, sekolah yang bagus) yang
diperlukan untuk meningkatkan kondisi kesehatan.
Kelompok dengan status sosio-ekonomi rendah memiliki rata-rata: kontak
lebih sering dengan penderita TB aktif; hidup dalam lingungan yang terlalu padat,
memiliki kondisi rumah dan kerja yang buruk dari; lebih rawan pangan dan dan
terbatasnya akses ke perawatan kesehatan yang berkualitas.. Malnutrisi dan polusi
udara dalam ruangan adalah penanda langsung dari kemiskinan. Rawannya
pangan menyebabkan lebih tingginya DM yang merupakan faktor risiko dari
TB(Lonnroth, 2009).

2.3.2 Perilaku

2.3.2.1 Merokok

Pencemaran udara dalam rumah dapat berupa debu dan bahan kimia yaitu
Sulfurdioksida (SO2), Nitrogen dioksida (NO2), Karbon monoksida (CO),
Karbondioksida (CO2), Timbal (Plumbum = Pb), Asbes, Formaldehid
(HCHO),Volatile Organic Compounds/VOCs (senyawa organik yang mudah
menguap), Asap rokok (Environmental Tobacco Smoke/ETS). Asap rokok
berdampak terhadap paru-paru dapat menyebabkan kanker, gejala sesak nafas,
memicu asma, batuk dan lendir berlebihan. Rokok juga merupakan faktor risiko
pencemaran SO2, NO2, CO, dan CO2 yang dapat menyebabkan iritasi, sesak
nafas, lemas, bronchopneumonia, edema paru, sianosis, dan sakit kepala
(Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2011).

Penelitian Haris, dkk (2013), menyebutkan pasien TB paru yang


mengkonsumsi rokok ≥ 10 batang perhari memiliki risiko dua kali mengalami
gagal konversi BTA positif (Haris, 2013). Sedangkan usia mulai merokok
dengan lamanya riwayat merokok memiliki keterkaitan, semakin awal usia
merokok maka akan semakin sulit untuk berhenti merokok. Rokok juga memiliki
doseresponse effect yang artinya semakin muda usia merokok, maka akan
semakin besar pengaruhnya (Bustan, 2007). Lama merokok, jumlah batang
rokok perhari dapat memperparah infeksi TB paru sehingga menyebabkan gagal
konversi pada fase intensif (Nayasista, 2010).
2.3.2.2 Budaya/adat istiadat

Budaya masyarakat antara lain malu bila diketahui menderita penyakit TB paru
sehingga berpotensi untuk menularkan penyakitnya. Banyak masyarakat yang
masih memiliki budaya meludah di sembarang tempat sehingga bila menderita TB
paru rentan menularkan pada orang sekitarnya. Budaya masyarakat ini sebagai
bentuk akumulasi dari kepercayaan individu, norma keluarga dan masyarakat
yang tercermin dalam stigma, mitos pada masyarakat. Diperlukan suatu
pengembangan karakter individu, keluarga dan masyarakat dalam membentuk
perilaku upaya pencegahan penyakit TB paru.

2.3.3 Genetik

Depkes RI (2009) menyebutkan fakor yang dapat mempengaruhi seseorang


menjadi penderita Tuberkulosis adalah immunitas yang rendah umumnya
disebabkan keadaan gizi kurang dan perilaku hidup tidak sehat. Penyakit TB
termasuk dalam prioritas pengendalian penyakit karena memiliki dampak luas
terhadap kualitas hidup, ekonomi dan penyebab kematian nomor 3 pada anak
maupun dewasa.

2.3.4 Pelayanan Kesehatan

Menurut Senewe (2002) menyatakan bahwa faktor pelayanan kesehatan


mempengaruhi terhadap kepatuhan berobat penderita TB paru. Faktor pelayanan
kesehatan ini meliputi penyuluhan kesehatan, kunjungan rumah, ketersediaan obat
TB (OAT), mutu obat TB (OAT), ketersediaan sarana transportasi dan jarak.
Tindakan atau peran petugas di rumah sakit selama memberikan pelayanan
kesehatan ke pada penderita tuberkulosis paru sangatlah penting dalam
memberikan informasi tentang pentingnya meminum obat secara teratur dan
tuntas, menjelaskan mengenai aturan minum obat yang benar dan gejala efek
samping yang mungkin dialami pasien, kesediaan petugas mendengarkan keluhan
pasien dan memberikan solusinya, dan peran petugas dalam memberikan
penyuluhan kesehatan kepada keluarga pasien.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Determinan sosial adalah faktor yang penting dalam kejadian TB, dikarenakan
secara langsung maupun melalui faktor risiko dapat mempengaruhi kesehatan
seseorang. Adapun factor-faktor resiko penyebab terkena Tuberculosis:

1. Lingkungan
Kepadatan penduduk,
Luas Ventilasi Rumah.
Pendidikan.
Pekerjaan.
Penghasilan.
2. Perilaku merokok.
3. Budaya atau Istiadat.
4. Genetic. Faktor yang dapat mempengaruhi seseorang menjadi penderita
Tuberkulosis adalah immunitas yang rendah umumnya disebabkan
keadaan gizi kurang dan perilaku hidup tidak sehat
5. Pelayanan Kesehatan. Tindakan atau peran petugas di rumah sakit selama
memberikan pelayanan kesehatan ke pada penderita tuberkulosis paru
sangatlah penting dalam memberikan informasi tentang pentingnya
meminum obat secara teratur dan tuntas, menjelaskan mengenai aturan
minum obat yang benar dan gejala efek samping yang mungkin dialami
pasien, kesediaan petugas mendengarkan keluhan pasien dan memberikan
solusinya, dan peran petugas dalam memberikan penyuluhan kesehatan
kepada keluarga pasien.
DAFTAR PUSTAKA

Alsegaf, Amir., 1989. Pengantar Penyakit Paru, Surabaya.

Amin, Zulkifli. & Bahar, Asril., (2014). Tuberkulosis. dalam Buku ajar Ilmu
penyakit dalam. jakarta: internal publishing, pp. 863–866.

Bhunu CP, Mushayabasa S, Smith RJ. Assessing the effects of poverty in


tuberculosis transmission dynamics. Applied Mathematical Modelling 36
(2012) 4173-4185

Craig MG, el. 2017. Tuberculosis stigma a social determinant of health: a


systematic mapping review of research in low incidence countries.
Internasional Journal of Infectious Diseases 56 (2017) 90-100

Handriyo RG; Dyah Wulan SRW. 2017. Determinan Sosial Sebagai Faktor
Risiko Kejadian Tuberkulosis Paru Di Puskesmas Panjang. Jurnal
Kedokteran Volume 7 Nomor 1 November 2017

Hapsari A, dkk. 2013. Analisis Kaitan Riwayat Merokok Terhadap Pasien


Tuberkulosis Paru (TB Paru) Di Puskesmas Srondol. Jurnal Ilmiah
Mahasiswa Vol. 3 No 2

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, (2014) Pedoman Nasional


Pengendalian Tubekulosis, Jakarta

Kementerian Permukiman dan Prasarana Wilayah Republik Indonesia, (2002).


Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor:
403/KPTS/M/2002.

Pameswari P, dkk. 2016. Tingkat Kepatuhan Penggunaan Obat pada Pasien


Tuberkulosis di Rumah Sakit Mayjen H. A. Thalib Kabupaten Kerinci. Jurnal
Sains Farmasi & Klinis Vol. 02 No. 02

Pratiwi NL, dkk. 2015. Faktor Determinan Budaya Kesehatan Dalam Penularan
Penyakit Tb Paru. Jurnal Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 15 No. 1
Riza L, Sukendra D. 2017. Hubungan Perilaku Merokok dengan Kejadian Gagal
Konversi Pasien Tuberkulosis Paru di Balai Kesehatan Paru Masyarakat
(BKPM) Wilayah Semarang. Jurnal Kesehatan Masyarakat. Journal 2 (1)
(2017) 89 – 96

Saifullah, Mulyadi, Asniar. 2018. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan


Perilaku Perawatan Kesehatan Tuberkulosis Paru. Jurnal Ilmu Keperawatan
(2018) 6:1

Setiawan Guling, dkk. 2019. Hubungan Gaya Hidup Dengan Kejadian TB Paru
Pada Remaja: Kajian Literatur Sistematis. Jurnal Keperawatan
Komprehensif Vol 5 No 1 Januari 2019.

Tiberi S. el . New drugs and perspectives for new anti-tuberculosis regimens.


Journal Pulmonology, 2018; 24(2): 86-98

Anda mungkin juga menyukai