Anda di halaman 1dari 42

LAPORAN KASUS

ST-Elevation Myocardial Infarction (STEMI)

Oleh :
dr. Muhammad Yamin

Dokter Pendamping:
dr. Armon Bey

Dokter Penanggung Jawab Pelayanan:


dr. Rahmat SW Siregar, M.Ked (PD), Sp.PD

PROGRAM DOKTER INTERSHIP


KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
RUMAH SAKIT PERTAMINA PANGKALAN BRANDAN
KABUPATEN LANGKAT
2019
i

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan
kasus ini dengan judul “STEMI”.
Penulisan laporan kasus ini adalah sebagai salah satu syarat untuk
menyelesaikan Program Dokter Internship Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia di Rumah Sakit Pertamina Pangkalan Brandan Kabupaten Langkat
Suamatera Utara.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada dokter
pendamping yakni dr. Armon Bey dan dokter penanggung jawab pelayanan pasien
dr. Rahmat SW Siregar, M.Ked (PD), SP.PD yang telah meluangkan waktunya
dan memberikan banyak masukan dalam penyusunan laporan kasus ini sehingga
penulis dapat menyelesaikan laporan kasus tepat pada waktunya.
Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini masih belum
sempurna, baik dari segi materi maupun tata cara penulisannya. Oleh karena itu,
dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca sebagai koreksi dalam penulisan laporan kasus selanjutnya. Akhir kata,
semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat dan penulis mengucapkan terima
kasih.

Pangkalan Brandan, Januari 2019

Penulis
ii

DAFTAR ISI

SAMPUL
KATA PENGANTAR.......................................................................................................i
DAFTAR ISI....................................................................................................................ii
BAB 1 PENDAHULUAN................................................................................................1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................4
BAB 3 STATUS ORANG SAKIT ................................................................................27
BAB 4 FOLLOWUP......................................................................................................31
BAB 5 DISKUSI KASUS..............................................................................................33
BAB 6 KESIMPULAN..................................................................................................40
DAFTAR PUSTAKA
1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakan suatu masalah kardiovaskular
yang utama karena menyebabkan angka perawatan rumah sakit dan angka
kematian yang tinggi.1 Sindrom Koroner Akut (SKA) adalah suatu istilah atau
terminologi yang digunakan untuk menggambarkan keadaan gangguan aliran
darah koroner parsial hingga total ke miokard secara akut.2
SKA dapat dibedakan menjadi 3 jenis yaitu angina pektoris tidak
stabil/APTS (unstable angina/UA), infark miokard gelombang non-Q atau infark
miokard tanpa elevasi segmen ST (Non-ST elevation myocardial infarction/
NSTEMI), dan infark miokard gelombang Q atau infark miokard dengan elevasi
segmen ST ( ST elevation myocardial infarction/STEMI). 3 Infark miokard adalah
nekrosis miokard yang berkembang cepat oleh karena ketidakseimbangan antara
suplai dan kebutuhan oksigen otot-otot jantung.4 Gejala yang timbul bervariasi,
tergantung pada derajat penyempitan yang dipengaruhi oleh komponen
vasospasme arteri dan oleh ukuran trombus.2
Frekuensi SKA terus meningkat: lebih dari 1.4 juta orang dirawat di
Rumah sakit di US setiap tahunnya karena SKA. Sekitar 38% pasien yang
menderita SKA akan mengalami kematian 2. Satu juta orang di Amerika Serikat
diperkirakan menderita infark miokard akut tiap tahunnya dan 300.000 orang
meninggal karena infark miokard akut sebelum sampai ke rumah sakit. 5 Menurut
laporan WHO, pada tahun 2004, penyakit infark miokard akut merupakan
penyebab kematian utama di dunia.6 Terhitung sebanyak 7.200.000 (12,2%)
kematian terjadi akibat penyakit ini di seluruh dunia. Penyakit ini adalah
penyebab utama kematian pada orang dewasa di mana-mana.7
Infark miokard akut adalah penyebab kematian nomor dua pada negara
berpenghasilan rendah, dengan angka mortalitas 2.470.000 (9,4%).6 Di Indonesia
pada tahun 2002, penyakit infark miokard akut merupakan penyebab kematian
pertama, dengan angka mortalitas 220.000 (14%).8 Direktorat Jendral Yanmedik
2

Indonesia meneliti, bahwa pada tahun 2007, jumlah pasien penyakit jantung yang
menjalani rawat inap dan rawat jalan di rumah sakit di Indonesia adalah 239.548
jiwa. Kasus terbanyak adalah panyakit jantung iskemik, yaitu sekitar 110,183
kasus. Case Fatality Rate (CFR) tertinggi terjadi pada infark miokard akut
(13,49%) dan kemudian diikuti oleh gagal jantung (13,42%) dan penyakit jantung
lainnya (13,37%).9
Menurut data RISKESDAS tahun 2013, di Indonesia prevalensi penyakit
jantung koroner (PJK) berdasarkan diagnosis dokter atau gejala sebesar 1,5%.
Angka kejadiannya juga meningkat seiring dengan bertambahnya umur, tertinggi
pada kelompok umur 65-74 tahun yaitu 3,6%.10
Diagnosis STEMI ditegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris akut
disertai elevasi segmen ST yang persisten di dua sadapan yang bersebelahan.
Inisiasi tatalaksana revaskularisasi tidak memerlukan menunggu hasil peningkatan
marka jantung. 11
STEMI merupakan indikator kejadian oklusi total pembuluh darah arteri
koroner. Terapi yang rutin diberikan pada STEMI adalah be ta blocker, ACE
inhibitor, ARB, statin, nitrogliserin, oksigen, dan morfin. 11 Pada STEMI dengan
onset <12 jam, perlu dilakukan tindakan revaskularisasi sesegera mungkin untuk
mengembalikan aliran darah dan reperfusi miokard secepatnya, secara
medikamentosa menggunakan agen fibrinolitik atau secara mekanis, intervensi
koroner perkutan primer.1,12 Pada pasien STEMI yang datang terlambat (>12 jam)
dapat dilakukan terapi reperfusi bila pasien masih mengeluh nyeri dada yang khas
infark (ongoing chest pain).1

1.2. Tujuan
Tujuan penulisan laporan kasus ini adalah:
1. Untuk memahami tinjauan ilmu teoritis penyakit infark miokard
elevasi segmen ST (STEMI).
2. Untuk mengintegrasikan ilmu kedokteran yang telah didapat terhadap kasus
infark miokard elevasi segmen ST (STEMI) serta melakukan penatalaksanaan
yang tepat, cepat, dan akurat sehingga mendapatkan prognosis yang baik.
3

1.3. Manfaat Penulisan


Beberapa manfaat yang didapat dari penulisan laporan kasus ini adalah:
1. Untuk lebih memahami dan memperdalam secara teoritis tentang infark
miokard elevasi segmen ST (STEMI).
2. Sebagai bahan informasi dan pengetahuan bagi pembaca mengenai infark
miokard elevasi segmen ST (STEMI)

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

Sindroma Koroner Akut (SKA) merupakan suatu masalah kardiovaskular


yang utama karena menyebabkan angka perawatan rumah sakit dan angka
4

kematian yang tinggi. 2 Spektrum SKA meliputi Unstable angina pectoris, hingga
infark miokardium akut, kondisi nekrosis yang ireversibel dari miokard. Lebih
dari 90% SKA disebabkan oleh rupturnya plak aterosklerosis yang diikuti agregasi
platelet dan pembentukan thrombus intrakoroner. Keberadaan thrombus
intrakoroner ini mengganggu aliran darah dan menyebabkan ketidakseimbangan
antara pasokan dan kebutuhan oksigen miokardium.
Oklusi parsial oleh thrombus menimbulkan spectrum sindrom berupa
Unstable angina dan non-ST elevation myocardial infarction (NSTEMI), yang
dapat dibedakan melalui ada tidaknya jaringan yang nekrosis. Sedangkan oklusi
total oleh thrombus bermanifestasi sebagai ST- elevation myocardial infarction
(STEMI).9
2.1 Etiologi

Tipe I : Ruptur aterosklerosis, ulserasi, fissure,erosi, diseksi  intraluminal
thrombus

Tipe II : selain plaque coronary artery spasm, coronary endothelial
dysfunction, tachyarrythmia, bradyarrythmia, anemia, respiratory failure,
hypotension, severe hypertension.12

Tabel 2.1 Penyebab SKA9

Penyebab SKA
Ruptur plak aterosklerosis yang diikuti thrombus
Sindroma vaskulitis
Emboli Koroner ( seperti dari endokarditis, katup buatan)
Kelainan congenital arteri koroner
Trauma atau aneurisma koroner
Spasme arteri koroner parah ( primer atau akibat penggunaan kokain)
5

Peningkatan viskositas darah ( polisitemia vera, trombositosis)


Diseksi spontan arteri koroner
Peningkatan kebutuhan oksigen (seperti stenosis aorta berat)

2.2 Patofisiologi/ Patogenesis


2.2.1. Normal Hemostasis
Ketika pembuluh darah normal terluka, permukaan endotel terganggu
dan thrombogenic connective tissue terpapar ke lumen pembuluh darah.
Hemostasis primer adalah mekanisme pertahanan pertama untuk
melawan perdarahan. Proses ini dimulai beberapa detik setelah pembuluh darah
terluka dan diperantarai oleh platelet yang bersirkulasi. Platelet yang bersirkulasi
melekat ke kolagen di subendotel dan beragregasi membentuk platelet plug.
Selama pembentukan hemostatic plug primer, pemaparan subendothelial tissue
factor memicu terjadinya kaskade koagulasi, yang merupakan awal peristiwa
hemostasis sekunder. Protein-protein koagulasi plasma yang terlibat dalam
hemostasis sekunder diaktivasi pada lokasi luka dan membentuk fibrin clot
dengan bantuan thrombin. Hasilnya, clot semakin menstabilkan dan menguatkan
platelet plug.
Mekanisme hemostasis normal dapat meminimalisir kehilangan darah
yang disebabkan oleh luka pada pembuluh darah, namun ada perbedaan pada
kondisi fisiologis dengan kondisi patologis dalam proses pembentukan thrombus
intrakoroner yang dipicu oleh rupturnya plak aterosklerosis.9
2.2.2.Mekanisme Antitrombotik Endogen
Pembuluh darah normal, termasuk arteri koroner, memiliki kemampuan
untuk mencegah terjadinya thrombosis dan oklusi spontan.
Berbagai inhibitor alami dapat mencegah terjadinya proses koagulasi dan
mempertahankan agar darah tetap cair. Inhibitor yang paling penting ialah
antithrombin, protein C dan S, dan tissue factor pathway inhibitor (TFPI)
Antithrombin adalah protein plasma yang mengikat thrombin dan faktor
pembekuan lain secara ireversibel, menginaktivasi, dan membersihkannya dari
sirkulasi. Efektivitas antithrombin dapat meningkat 1000 kali lipat jika berikatan
dengan heparin sulfat, molekul yang mirip heparin yang normalnya terdapat di
lumen endotel.
Protein C/ Protein S/ Trombomodulin membentuk sistem antikoagulan
alami yang menginaktivasi“akselerasi” faktor-faktor koagulasi (contoh, fakktor Va
6

dan factor VIIIa). Protein C disintesis di liver dan bersirkulasi dalam bentuk
inaktif. Thrombomodulin adalah reseptor pengikat thrombin yang normalnya
terdapat pada sel endotel. Trombin yang berikatan dengan trombomodulin tidak
dapat mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin (reaksi akhir pembentukan clot).
Selain itu, kompleks thrombin-trombomodulin mengaktivasi protein C. Protein C
yang teraktivasi dapat mendegradasi factor Va dan VIIa,sehingga menginaktivasi
proses koagulasi. Adanya protein S di sirkulasi memicu inhibisi protein C.TFPI
adalah plasma serine protease inhibitor yang teraktivasi jika berkoagulasi dengan
factor Xa. Kombinasi factor Xa-TFPI berikatan dan menginaktivasi kompleks
tissue factor dengan factor VIIa yang normalnya memicu extrinsic coagulation
pathway.9
2.2.3.Lisis fibrin clot
Tissue plasminogen activator (tPA) adalah protein yang disekresi oleh
sel endotel sebagai respon dari pembentukan clot. tPA memecah protein
plasminogen untuk membentuk plasmin aktif, yang selanjutnya mendegradasi
fibrin clot. Saat tPa berikatan dengan fibrin yang membentuk clot, kemampuannya
untuk mengubah plasminogen menjadi plasmin meningkat.9
2.2.4. Inhibisi Platelet endogen dan vasodilatasi
Prostacyclin disintesis dan disekresikan oleh sel endotel. Prostacyclin
meningkatkan jumlah cAMP dan menghambat agregasi dan aktivasi platelet.
Prostacyclin juga menghambat koagulasi secara tidak langsung melalui
kemampuan vasodilatasinya. Vasodilatasi mampu mencegah thrombosis dengan
cara menambah aliran darah ( yang meminimalisasi kontak faktor-faktor
prokoagulan) dan dengan mengurangi shear stress ( pemicu agregasi platelet).
Nitric Oxide (NO) bekerja local untuk menghambat aktivasi platelet
dan juga berperan sebagai vasodilator kuat.9
2.2.5 Patogenesis Trombosis Koroner
Dalam kondisi normal, pembentukan thrombus intravascular secara
spontan dapat dicegah. Namun, abnormalitas dapat terjadi akibat adanya lesi
aterosklerotik, dan menghasilkan thrombosis koroner dan oklusi vena.
Aterosklerosis menyebabkan pembentukan thrombus melalui (1) Ruptur plak,
yang menyebabkan terpaparnya aliran darah di sirkulasi ke thrombogenic
7

substances, dan (2) disfungsi endotel dengan hilangnya fungsi protektif dari
antitrombotik dan vasodilatasi.
Ruptur plak aterosklerosis merupakan pemicu utama terbentuknya
thrombus intrakoroner. Penyebab rupturnya plak yaitu (1) Faktor kimia yang
mengganggu stabilitas aterosklerosis (2) stress fisik yang mengenai lesi. Plak
aterosklerosis terdiri atas komponen lemak (lipid-laden core) yang diselubungi
oleh fibrous external cap. Zat –zat yang dilepaskan dari sel-sel inflamasi pada
plak dapat mengganggu integritas plak. Sebagai contoh, T lymphocyte memicu
interferon, yang berperan menghambat sintesi kolagen dari sel otot polos sehingga
melemahkan plak. Selain itu, sel-sel aterosklerosis membentuk enzim yang dapat
mendegradasi matrix interstisial, yang mengganggu stabilitas plak. Plak yang
lemah atau tipis rentan untuk rupture, terutama pada “shoulder”nya (batas antara
plak dengan dinding arteri normal yang rawan terpapar stress) baik karena tekanan
fisik, seperti tekanan darah intraluminar dan torsi dari miokardium yang
berdenyut.
SKA terkadang terjadi akibat stimulasi tertentu, misalnya aktivitas fisik
berat atau faktor emosional. Aktivasi sistem saraf simpatis pada situasi ini
menyebabkan peningkatan tekanan darah, heart rate, dan memicu kontraksi
ventrikel kuat, sehingga plak dapat ruptur. SKA sering terjadi pada dini hari,
karena stress psikologis (seperti tekanan darah sistolik. Viskositas darah, dan level
epinefrin) berada pada puncaknya pada saat itu, dan memicu rupturnya plak.
Stelah plak rupture, pembentukan thrombus terjadu. Pemaparan tissue
factor dari atheromatous core memicu aktifnya kaskade koagulasi, sedangkan
terpaparnya kolagen subendotel mengaktivasi platelet. Platelet yang teraktivasi
melepaskan granul-granul, berupa fasilitator agregasi platelet ( seperti adenosine
diphospate [ADP] dan fibrinogen), activator kaskade koagulasi (seperti faktor Va),
dan vasokonstriktor (sperti tromboksan dan serotonin). Pembentukan thrombus
intrakoroner, perdarahan intraplak, dan vasokonstriksi menyebabkan
penyempitnya lumen pembuluh darah, dan mengakibatkan terbentuknya aliran
turbulensi yang berperan menghasilkan shear stress dan aktivasi platelet
selanjutnya.
8

Disfungsi endotel berperan juga dalam penyakit aterosklerosis koroner,


dan meningkatkan kemungkinan pembentukan thrombus. Pada keadaan disfungsi
endotel, terjadi penurunan jumlah vasodilator (seperti NO dan prostasiklin) dan
proses penghambatan agregasi platelet terganggu, sehingga mekanisme
pertahanan terhadap thrombosis juga terganggu.
Selama pembentukan thrombus, vasokonstriksi terjadi karena dipicu oleh
produk dari platelet ( tromboksan dan serotonin) dan thrombin yang diproduksi
oleh clot. Dalam keadaan normal, produk-produk platelet menstimulasi
vasodilatasi (NO dan prostasiklin), namun penurunan sekresi vasodilator saat
terjadi aterosklerosis menyebabkan vasokonstriksi tidak terkendali. Trombin yang
diproduksi oleh clot juga merupakan vasokonstriktor. Vasokonstriksi
menyebabkan torsi stress yang dapat menyebabkan rupture plak atau dapat
menyebabkan stenosis transien akibat peningkatan tonus arteri. Pneurunan aliran
darah koroner akibat vasokonstriksi juga mengurangi pembersihan protein
koagulasi, yang selanjutnya memicu trombogenesis.9
2.3.Manifestasi Klinis SKA
Gambar 2.1 Spektrum Penyakit SKA
9

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan


elektrokardiogram (EKG), dan pemeriksaan marka jantung, Sindrom Koroner
Akut dibagi menjadi:
1. Infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI: ST segment elevation
myocardial infarction)
2. Infark miokard dengan non elevasi segmen ST (NSTEMI: non ST segment
elevation myocardial infarction)
3. Angina Pektoris tidak stabil (UAP: unstable angina pectoris)
Infark miokard dengan elevasi segmen ST akut (STEMI) merupakan
indikator kejadian oklusi total pembuluh darah arteri koroner. Keadaan ini
memerlukan tindakan revaskularisasi untuk mengembalikan aliran darah dan
reperfusi miokard secepatnya; secara medikamentosa menggunakan agen
fibrinolitik atau secara mekanis, intervensi koroner perkutan primer. Diagnosis
STEMI ditegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris akut disertai elevasi
segmen
ST yang persisten di dua sadapan yang bersebelahan. Inisiasi tatalaksana
revaskularisasi tidak memerlukan menunggu hasil peningkatan marka jantung.
Diagnosis NSTEMI dan angina pektoris tidak stabil ditegakkan jika
terdapatkeluhan angina pektoris akut tanpa elevasi segmen ST yang persisten di
dua sadapan yang bersebelahan. Rekaman EKG saat presentasi dapat berupa
depresi segmen ST, inversi gelombang T, gelombang T yang datar, gelombang
T pseudo-normalization, atau bahkan tanpa perubahan Sedangkan
Angina Pektoris tidak stabil dan NSTEMI dibedakan berdasarkan kejadian infark
miokard yang ditandai dengan peningkatan marka jantung.
Marka jantung yang lazim digunakan adalah Troponin I/T atau CK-MB.
Bila hasil pemeriksaan biokimia marka jantung terjadi peningkatan
bermakna,maka diagnosis menjadi Infark Miokard Akut Segmen ST Non Elevasi
(NonST-Elevation Myocardial Infarction, NSTEMI). Pada Angina Pektoris tidak
stabil marka jantung tidak meningkat secara bermakna. Pada sindroma koroner
akut, nilai ambang untuk peningkatan CK-MB yang abnormal adalah beberapa
unit melebihi nilai normal atas (upper limits of normal, ULN).
Jika pemeriksaan EKG awal tidak menunjukkan kelainan (normal) atau
menunjukkan kelainan yang nondiagnostik sementara angina masih berlangsung,
maka pemeriksaan diulang 10-20 menit kemudian. Jika ulangan EKG tetap
menunjukkan gambaran nondiagnostik sementara keluhan angina sangat sugestif
10

SKA, maka pasien dipantau selama 12-24 jam. EKG diulang tiap 6 jam dan setiap
terjadi angina berulang.9
2.4 Diagnosis
Dengan mengintegrasikan informasi yang diperoleh dari anamnesis,
pemeriksaan fisik, elektrokardiogram, tes marka jantung, dan foto polos dada,
diagnosis awal pasien dengan keluhan nyeri dada dapat dikelompokkan sebagai
berikut: non kardiak, Angina Stabil, Kemungkinan SKA, dan Definitif SKA.2

2.4.1 Anamnesis.
Keluhan pasien dengan iskemia miokard dapat berupa nyeri dada yang
tipikal (angina tipikal) atau atipikal (angina ekuivalen). Keluhan angina tipikal
berupa rasa tertekan/berat daerah retrosternal, menjalar ke lengan kiri, leher,
rahang, area interskapular, bahu, atau epigastrium. Keluhan ini dapat berlangsung
intermiten/beberapa menit atau persisten (>20 menit).Keluhan angina tipikal
sering disertai keluhan penyerta seperti diaphoresis, mual/muntah, nyeri
abdominal, sesak napas, dan sinkop.
Presentasi angina atipikal yang sering dijumpai antara lain nyeri di
daerah penjalaran angina tipikal, rasa gangguan pencernaan (indigestion), sesak
napas yang tidak dapat diterangkan, atau rasa lemah mendadak yang sulit
diuraikan. Keluhan atipikal ini lebih sering dijumpai pada pasien usia muda (25-
40 tahun) atau usia lanjut (>75 tahun), wanita, penderita diabetes, gagal ginjal
menahun, atau demensia. Walaupun keluhan angina atipikal dapat muncul saat
istirahat, keluhan ini patut dicurigai sebagai angina ekuivalen jika berhubungan
dengan aktivitas, terutama pada pasien dengan riwayat penyakit jantung koroner
(PJK). Hilangnya keluhan angina setelah terapi nitrat sublingual tidak prediktif
terhadap diagnosis SKA.
Diagnosis SKA menjadi lebih kuat jika keluhan tersebut ditemukan pada
pasien dengan karakteristik sebagai berikut :
1. Pria
2. Diketahui mempunyai penyakit aterosklerosis non koroner (penyakit
arteri perifer / karotis)
3. Diketahui mempunyai PJK atas dasar pernah mengalami infark
miokard,bedah pintas koroner, atau IKP
11

4. Mempunyai faktor risiko: umur, hipertensi, merokok, dislipidemia,diabetes


mellitus, riwayat PJK dini dalam keluarga, yang diklasifikasi atas risiko tinggi,
risiko sedang, risiko rendah menurut NCEP (National Cholesterol Education
Program).2
2.4.2 Pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengidentifikasi faktor pencetus
iskemia, komplikasi iskemia, penyakit penyerta dan menyingkirkan diagnosis
banding. Regurgitasi katup mitral akut, suara jantung tiga (S3), ronkhi basah halus
dan hipotensi hendaknya selalu diperiksa untuk mengidentifikasi komplikasi
iskemia. Ditemukannya tanda-tanda regurgitasi katup mitral akut, hipotensi,
diaphoresis, ronkhi basah halus atau edema paru meningkatkan kecurigaan
terhadap SKA. Pericardial friction rub karena perikarditis, kekuatan nadi tidak
seimbang dan regurgitasi katup aorta akibat diseksi aorta, pneumotoraks, nyeri
pleuritik disertai suara napas yang tidak seimbang perlu dipertimbangkan dalam
memikirkan diagnosis banding SKA.2
2.4.3 Pemeriksaan elektrokardiogram.
Semua pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan lain yang
mengarah kepada iskemia harus menjalani pemeriksaan EKG 12 sadapan sesegera
mungkin sesampainya di ruang gawat darurat. Sebagai tambahan, sadapan V3R
dan V4R, serta V7-V9 sebaiknya direkam pada semua pasien dengan perubahan
EKG yang mengarah kepada iskemia dinding inferior. Sementara itu, sadapan V7-
V9 juga harus direkam pada semua pasien angina yang mempunyai EKG awal
nondiagnostik. Sedapat mungkin, rekaman EKG dibuat dalam 10 menit sejak
kedatangan pasien di ruang gawat darurat. Pemeriksaan EKG sebaiknya diulang
setiap keluhan angina timbul kembali.2
Gambaran EKG yang dijumpai pada pasien dengan keluhan angina
cukup bervariasi, yaitu: normal, nondiagnostik, LBBB (Left Bundle Branch Block)
baru/ persangkaan baru, elevasi segmen ST yang persisten (≥20 menit) maupun
tidak persisten, atau depresi segmen ST dengan atau tanpa inversi gelombang T.
Penilaian ST elevasi dilakukan pada J point dan ditemukan pada 2
sadapan yang bersebelahan. Nilai ambang elevasi segmen ST untuk diagnosis
STEMI untuk pria dan perempuan pada sebagian besar sadapan adalah 0,1 mV.
Pada sadapan V1-V3 nilai ambang untuk diagnostik beragam, bergantung pada
12

usia dan jenis kelamin. Nilai ambang elevasi segmen ST di sadapan V1-3 pada
pria usia ≥40 tahun adalah ≥0,2 mV, pada pria usia <40 tahun adalah ≥0,25 mV.
Sedangkan pada perempuan nilai ambang elevasi segmen ST di lead V1-
3,tanpa memandang usia, adalah ≥0,15 mV. Bagi pria dan wanita, nilai ambang
elevasi segmen ST di sadapan V3R dan V4R adalah ≥0,05 mV, kecuali pria usia
<30 tahun nilai ambang ≥0,1 mV dianggap lebih tepat. Nilai ambang di sadapan
V7-V9 adalah ≥0,5 mV. Depresi segmen ST yang resiprokal, sadapan yang
berhadapan dengan permukaan tubuh segmen ST elevasi, dapat dijumpai pada
pasien STEMI kecuali jika STEMI terjadi di mid-anterior (elevasi di V3-V6).
Pasien SKA dengan elevasi segmen ST dikelompokkan bersama dengan LBBB
(komplet) baru/persangkaan baru mengingat pasien tersebut adalah kandidat terapi
reperfusi. Oleh karena itu pasien dengan EKG yang diagnostik untuk STEMI
dapat segera mendapat terapi reperfusi sebelum hasil pemeriksaan marka jantung
tersedia.2
Tabel 2.2 Lokasi infark berdasarkan sadapan EKG9
Sadapan dengan Deviasi Segmen ST Lokasi Iskemia atau Infark
V1-V4 Anterior
V5-V6, I, aVL Lateral
II, III, aVF Inferior
V7-V9 Posterior
V3R, V4R Ventrikel kanan
Persangkaan adanya infark miokard menjadi kuat jika gambaran EKG
pasien dengan LBBB baru/persangkaan baru juga disertai dengan elevasi segmen
ST ≥1 mm pada sadapan dengan kompleks QRS positif dan depresi segmen ST ≥1
mm di V1-V3. Perubahan segmen ST seperti ini disebut sebagai perubahan
konkordan yang mempunyai spesifisitas tinggi dan sensitivitas rendah untuk
diagnosis iskemik akut. Perubahan segmen ST yang diskordan pada sadapan
dengan kompleks QRS negatif mempunyai sensitivitas dan spesifisitas sangat
rendah. Adanya keluhan angina akut dan pemeriksaan EKG tidak ditemukan
elevasi segmen ST yang persisten, diagnosisnya adalah infark miokard dengan
non elevasi segmen ST (NSTEMI) atau Angina Pektoris tidak stabil (APTS/
UAP).
Depresi segmen ST yang diagnostik untuk iskemia adalah sebesar ≥0,05
mV di sadapan V1-V3 dan ≥0,1 mV di sadapan lainnya. Bersamaan dengan
13

depresi segmen ST, dapat dijumpai juga elevasi segmen ST yang tidak persisten
(<20menit), dan dapat terdeteksi di >2 sadapan berdekatan. Inversi gelombang T
yang simetris ≥0,2 mV mempunyai spesifitas tinggi untuk untuk iskemia
akut.Semua perubahan EKG yang tidak sesuai dengan kriteria EKG yang
diagnostic ikategorikan sebagai perubahan EKG yang nondiagnostik.9
2.4.4 Pemeriksaan marka jantung.
Kreatinin kinase-MB (CK-MB) atau troponin I/T merupakan marka
nekrosis miosit jantung dan menjadi marka untuk diagnosis infark miokard.
Troponin I/T sebagai marka nekrosis jantung mempunyai sensitivitas dan
spesifisitas lebih tinggi dari CK-MB. Peningkatan marka jantung hanya
menunjukkan adanya nekrosis miosit, namun tidak dapat dipakai untuk
menentukan penyebab nekrosis miosit tersebut (penyebab koroner/nonkoroner).
Troponin I/T juga dapat meningkat oleh sebab kelainan kardiak nonkoroner
seperti takiaritmia, trauma kardiak, gagal jantung, hipertrofi ventrikel kiri,
miokarditis/perikarditis. Keadaan nonkardiak yang dapat meningkatkan kadar
troponin I/T adalah sepsis, luka bakar, gagal napas,
penyakit neurologik akut, emboli paru, hipertensi pulmoner, kemoterapi,
dan insufisiensi ginjal. Pada dasarnya troponin T dan troponin I memberikan
informasi yang seimbang terhadap terjadinya nekrosis miosit, kecuali pada
keadaan disfungsi ginjal. Pada keadaan ini, troponin I mempunyai spesifisitas
yang lebih tinggi dari troponin T.
Dalam keadaan nekrosis miokard, pemeriksaan CK-MB atau troponin I/T
menunjukkan kadar yang normal dalam 4-6 jam setelah awitan SKA, pemeriksaan
hendaknya diulang 8-12 jam setelah awitan angina. Jika awitan SKA tidak dapat
ditentukan dengan jelas, maka pemeriksaan hendaknya diulang 6-12 jam setelah
pemeriksaan pertama. Kadar CK-MB yang meningkat dapat dijumpai pada
seseorang dengan kerusakan otot skeletal (menyebabkan spesifisitas lebih rendah)
dengan waktu paruh yang singkat(48 jam). Mengingat waktu paruh yang singkat,
CK-MB lebih terpilih untuk mendiagnosis ekstensi infark (infark berulang)
maupun infark periprosedural.
Pemeriksaan marka jantung sebaiknya dilakukan di laboratorium sentral.
Pemeriksaan di ruang darurat atau ruang rawat intensif jantung (point of care
testing) pada umumnya berupa tes kualitatif atau semikuantitatif, lebih cepat (15-
14

20 menit) tetapi kurang sensitif. Point of care testing sebagai alat diagnostik rutin
SKA hanya dianjurkan jika waktu pemeriksaan di laboratorium sentral
memerlukan waktu >1 jam. Jika marka jantung secara point of care testing
menunjukkan hasil negatif maka pemeriksaan harus diulang di laboratorium
sentral.9

Gambar 2.2 Marka Jantung

Nekrosis miosit dapat terdeteksi secara biokimia ketika makromolekul


intraseluler keluar dari miosit ke sirkulasi perifer. Mioglobin dan creatine kinase
MB isoenzyme (CK-MB), keduanya merupakan marker non spesifik dan
dilepaskan dalam waktu 2 jam. CK-MB2, subform (isoform) dari CK-MB 5MHZ
memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih tinggi. Troponin (cTnT dan cTnI)
adalah bagian dari calcium-sensitive apparatus yang meregulasi interaksi antara
aktin dan myosin pada miosit kardiak. Troponin spesifik untuk injury miokarium
tetapi mungkin belum terdeteksi pada 6-12 jam. Marker klasik lainnya
( AST,LDH) sebaiknya tidak digunakan untuk diagnosis kerusakan miokardium.
15

Marker paling sensitive untuk infark miokardium pada 6 jam pertama


untuk mengeksklusi infark adalah CK-MB2 (91%) diikuti myoglobin (78%).
Setelah 10 jam, cTnI memiliki sensitifitas 96% dan spesifisitas 93%.13
2.4.5 Pemeriksaan laboratorium.
Data laboratorium, di samping marka jantung, yang harus dikumpulkan
di ruang gawat darurat adalah tes darah rutin, gula darah sewaktu, status elektrolit,
koagulasi darah, tes fungsi ginjal, dan panel lipid. Pemeriksaan laboratorium tidak
boleh menunda terapi SKA.9
2.4.6 Pemeriksaan foto polos dada.
Mengingat bahwa pasien tidak diperkenankan meninggalkan ruang
gawat darurat untuk tujuan pemeriksaan, maka foto polos dada harus dilakukan di
ruang gawat darurat dengan alat portabel. Tujuan pemeriksaan adalah untuk
membuat diagnosis banding,identifikasi komplikasi dan penyakit penyerta.2
2.5 Penatalaksanaan
2.5.1 Tindakan Umum dan Langkah Awal
Berdasarkan langkah diagnostik tersebut di atas, dokter perlu segera
menetapkan diagnosis kerja yang akan menjadi dasar strategi penanganan
selanjutnya. Yang dimaksud dengan terapi awal adalah terapi yang diberikan pada
pasien dengan diagnosis kerja Kemungkinan SKA atau SKA atas dasar keluhan
angina di ruang gawat darurat, sebelum ada hasil pemeriksaan EKG an/atau marka
jantung. Terapi awal yang dimaksud adalah Morfin, Oksigen, Nitrat, Aspirin
(disingkat MONA), yang tidak harus diberikan semua atau bersamaan.
1. Tirah baring
2. Suplemen oksigen harus diberikan segera bagi mereka dengan saturasi O2
arteri <95% atau yang mengalami distres respirasi
3. Suplemen oksigen dapat diberikan pada semua pasien SKA dalam 6 jam
pertama, tanpa mempertimbangkan saturasi O2 arteri
4. Aspirin 160-320 mg diberikan segera pada semua pasien yang tidak
diketahui intoleransinya terhadap aspirin (Kelas I-A). Aspirin tidak bersalut
lebih terpilih mengingat absorpsi sublingual (di bawah lidah) yang lebih cepat
5. Penghambat reseptor ADP (adenosine diphosphate)
a. Dosis awal ticagrelor yang dianjurkan adalah 180 mg dilanjutkann
dengan dosis pemeliharaan 2 x 90 mg/hari kecuali pada pasien STEMI
yang direncanakan untuk reperfusi menggunakan agen fibrinolitik atau
16

b. Dosis awal clopidogrel adalah 300 mg dilanjutkan dengan dosis


pemeliharaan 75 mg/hari (pada pasien yang direncanakan untuk
terapireperfusi menggunakan agen fibrinolitik, penghambat reseptor ADP
yang dianjurkan adalah clopidogrel)
6. Nitrogliserin (NTG) spray/tablet sublingual bagi pasien dengan nyeri dada
yang masih berlangsung saat tiba di ruang gawat darurat jika nyeri dada tidak
hilang dengan satu kali pemberian, dapat diulang setiap lima menit sampai
maksimal tiga kali. Nitrogliserin intravena diberikan pada pasien yang tidak
responsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual dalam keadaan tidak
tersedia NTG, isosorbid dinitrat (ISDN) dapat dipakai sebagai pengganti
7. Morfin sulfat 1-5 mg intravena, dapat diulang setiap 10-30 menit, bagi
pasien yang tidak responsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual.

Gambar 2.3 Skema Persangkaan SKA

2.5.2 Tatalaksana Gawat Darurat STEMI


17

Penatalaksanaan STEMI dimulai sejak kontak medis pertama, baik untuk


diagnosis dan pengobatan. Yang dimaksud dengan kontak medis pertama adalah
saat pasien pertama diperiksa oleh paramedis, dokter atau pekerja kesehatan lain
sebelum tiba di rumah sakit, atau saat pasien tiba di unit gawat darurat, sehingga
seringkali terjadi dalam situasi rawat jalan.
Diagnosis kerja infark miokard harus telah dibuat berdasarkan riwayat
nyeri dada yang berlangsung selama 20 menit atau lebih yang tidak membaik
dengan pemberian nitrogliserin. Adanya riwayat PJK dan penjalaran nyeri ke
leher, rahang bawah atau lengan kanan memperkuat dugaan ini. Pengawasan EKG
perlu dilakukan pada setiap pasien dengan dugaan STEMI. Diagnosis STEMI
perlu dibuat sesegera mungkin melalui perekaman dan interpretasi EKG 12
sadapan, selambat-lambatnya 10 menit dari saat pasien tiba untuk mendukung
penatalaksanaan yang berhasil. Gambaran EKG yang atipikal pada pasien dengan
tanda dan gejala iskemia miokard yang sedang berlangsung menunjukkan
perlunya tindakan segera. Sebisa mungkin, penanganan pasien STEMI sebelum di
rumah sakit dibuat berdasarkan jaringan layanan regional yang dirancang untuk
memberikan terapi reperfusi secepatnya secara efektif, dan bila fasilitas memadai
sebanyak mungkin pasien dilakukan IKP. Pusat-pusat kesehatan yang
mampumemberikan pelayanan IKP primer harus dapat memberikan pelayanan
setiap saat (24 jam selama 7 hari) serta dapat memulai IKP primer sesegera
mungkin di bawah 90 menit sejak panggilan inisial.
Semua rumah sakit dan Sistem Emergensi Medis yang terlibat dalam
penanganan pasien STEMI harus mencatat dan mengawasi segala penundaan yang
terjadi dan berusaha untuk mencapai dan mempertahankan target kualitas berikut
ini:
1. Waktu dari kontak medis pertama hingga perekaman EKG pertama ≤10
menit
2. Waktu dari kontak medis pertama hingga pemberian terapi reperfusi:
• Untuk fibrinolisis ≤30 menit
• Untuk IKP primer ≤90 menit (≤60 menit apabila pasien datang dengan awitan
kurang dari 120 menit atau langsung dibawa ke rumah sakit yang mampu
melakukan IKP).2
2.5.3 Terapi Reperfusi
18

Terapi reperfusi segera, baik dengan IKP atau farmakologis,


diindikasikan untuk semua pasien dengan gejala yang timbul dalam 12 jam
dengan elevasi segmen ST yang menetap atau Left Bundle Branch Block (LBBB)
yang (terduga) baru.
Terapi reperfusi (sebisa mungkin berupa IKP primer) diindikasikan
apabila terdapat bukti klinis maupun EKG adanya iskemia yang sedang
berlangsung, bahkan bila gejala telah ada lebih dari 12 jam yang lalu atau jika
nyeri dan perubahan EKG tampak tersendat. Dalam menentukan terapi reperfusi,
tahap pertama adalah menentukan ada tidaknya rumah sakit sekitar yang memiliki
fasilitas IKP. Bila tidak ada, langsung pilih terapi fibrinolitik. BIla ada, pastikan
waktu tempuh dari tempat kejadian (baik rumah sakit atau klinik) ke rumah sakit
tersebut apakah kurang atau
lebih dari (2 jam). Jika membutuhkan waktu lebih dari 2 jam, reperfusi
pilihan adalah fibrinolitik. Setelah fibrinolitik selesai diberikan, jika
memungkinkan pasien dapat dikirim ke pusat dengan fasilitas IKP.

2.5.3.1 Intervensi Koroner Perkutan Primer


IKP primer adalah terapi reperfusi yang lebih disarankan dibandingkan
dengan fibrinolisis apabila dilakukan oleh tim yang berpengalaman dalam 120
menit dari waktu kontak medis pertama. IKP primer diindikasikan untuk pasien
dengan gagal jantung akut yang berat atau syok kardiogenik, kecuali bila
diperkirakan bahwa pemberian IKP akan tertunda lama dan bila pasien datang
dengan awitan gejala yang telah lama.
Stenting lebih disarankan dibandingkan angioplasti balon untuk IKP
primer. Tidak disarankan untuk melakukan IKP secara rutin pada arteri yang telah
tersumbat total lebih dari 24 jam setelah awitan gejala pada pasien stabil tanpa
gejala iskemia, baik yang telah maupun belum diberikan fibrinolisis.
Bila pasien tidak memiliki indikasi kontra terhadap terapi antiplatelet
dual (dual antiplatelet therapy-DAPT) dan kemungkinan dapat patuh terhadap
pengobatan, drug-eluting stents (DES) lebih disarankan daripada bare metal
stents (BMS)
2.5.3.1.1 Farmakoterapi periprosedural
Pasien yang akan menjalani IKP primer sebaiknya mendapatkan terapi
antiplatelet ganda (DAPT) berupa aspirin dan penghambat reseptor ADP sesegera
19

mungkin sebelum angiografi , disertai dengan antikoagulan intravena Aspirin


dapat dikonsumsi secara oral (160-320 mg). Pilihan penghambat reseptor ADP
yang dapat digunakan antara lain:
1. Ticagrelor (dosis loading 180 mg, diikuti dosis pemeliharaan 90 mg dua kali
sehari).
2. Atau clopidogrel (disarankan dengan dosis lebih tinggi yaitu dosis loading
600 mg diikuti 150 mg per hari), bila ticagrelor tidak tersedia atau
diindikasikontrakan .
Antikoagulan intravena harus digunakan dalam IKP primer. Pilihannya antara
lain:
1. Heparin yang tidak terfraksi (dengan atau tanpa penghambat reseptor GP
Iib/IIIa rutin) harus digunakan pada pasien yang tidak mendapatkan
bivarlirudin atau enoksaparin.
2. Enoksaparin (dengan atau tanpa penghambat reseptor GP IIb/IIIa) dapat
lebih dipilih dibandingkan heparin yang tidak terfraksi.
3. Fondaparinuks tidak disarankan untuk IKP primer .
4. Tidak disarankan menggunakan fibrinolisis pada pasien yang
direncanakan untuk IKP primer .

2.5.3.2 Terapi Fibrinolitik


Fibrinolisis merupakan strategi reperfusi yang penting, terutama pada
tempat-tempat yang tidak dapat melakukan IKP pada pasien STEMI dalam waktu
yang disarankan. Terapi fibrinolitik direkomendasikan diberikan dalam 12 jam
sejak awitan gejala pada pasien-pasien tanpa indikasi kontra apabila IKP primer
tidak bisa dilakukan oleh tim yang berpengalaman dalam 120 menit sejak kontak
medis pertama. Pada pasien-pasien yang datang segera (<2 jam sejak awitan
gejala) dengan infark yang besar dan risiko perdarahan rendah,fibrinolisis perlu
dipertimbangkan bila waktu antara kontak medis pertama dengan inflasi balon
lebih dari 90 menit . Fibrinolisis harus dimulai pada ruang gawat darurat.
Agen yang spesifik terhadap fibrin (tenekteplase, alteplase, reteplase)
lebih disarankan dibandingkan agen-agen yang tidak spesifik terhadap fibrin

Regimen fibrinolitik untuk infark miokard akut


20

Dosis awal Koterapi Indikasi kontra antitrombin spesifik. Streptokinase


(Sk) 1,5 juta U dalam 100 mL Heparin i.v. Sebelum Sk Dextrose 5% atau larutan
selama 24-48 atau salin 0,9% dalam waktu 30- jam anistreplase 60 menit.
Alteplase (tPA) Bolus 15 mg intravena Heparin i.v. 0,75 mg/kg selama 30
menit, selama 24-48 kemudian 0,5 mg/kg selama jam 60 menit. Dosis total tidak
lebih dari 100 mg kebutuhan untuk mendukung prosedur, dengan pertimbangan
GP IIb/IIIA telah diberikan.
• Bila telah diberikan enoksaparin, dosis subkutan terakhir diberikan dalam 8
jam, tak perlu dosis tambahan, bila dosis subkutan terakhir antara 8-12 jam,
maka ditambahkan enoxapain intravena 0,3 mg/kg
• Bila telah diberikan fondaparinuks, diberikan antikoagulan tambahan dengan
aktivitas anti IIa dengan pertimbangan telah diberikan GP IIb/ IIIa
Karena adanya risiko trombosis kateter, fondaparinuks tidak dianjurkan
digunakan sebagai antikoagulan tunggal pendukung IKP, sebaiknya
ditambahkan antikoagulan lain dengan aktivitas anti IIa

2.5.3.3 Rekomendasi terapi reperfusi


Rekomendasi Kelas Level
Terapi reperfusi diindikasikan untuk semua pasien dengan durasi gejala
<12 jam dengan elevasi segmen ST persisten atau LBBB baru/tersangka
baru.Terapi reperfusi (sebaiknya IKP primer) diindikasikan bila terdapat bukti
iskemia yang sedang terjadi, bahkan jika gejala mungkin telah timbul >12 jam
yang lalu atau bila nyeri dan perubahan EKG terlihat terhambat Terapi reperfusi
dengan IKP primer dapat dipertimbangkan untuk pasien-pasien stabil yang datang
dalam 12-24 jam sejak awitan gejala Tidak disarankan melakukan IKP rutin pada
arteri yang telah tersumbat sepenuhnya lebih dari 24 jam setelah awitan gejala
pada pasien stabil tanpa gejala iskemia (tanpa memandang telah diberikan
fibrinolisis atau tidak) (streptokinase) . Aspirin oral atau intravena harus diberikan
. Clopidogrel diindikasikan diberikan sebagai tambahan untuk aspirin.
Antikoagulan direkomendasikan pada pasien-pasien STEMI yang diobati
dengan fibrinolitik hingga revaskularisasi (bila dilakukan) atau selama dirawat di
rumah sakit hingga 5 hari. Antikoagulan yang digunakan dapat berupa:
1. Enoksaparin secara subkutan (lebih disarankan dibandingkan heparin tidak
terfraksi.
2. Heparin tidak terfraksi diberikan secara bolus intravena sesuai berat
21

badan dan infus selama 3 hari.


3. Pada pasien-pasien yang diberikan streptokinase, Fondaparinuks intravena
secara bolus dilanjutkan dengan dosis subkutan 24 jam kemudian.
Pemindahan pasien ke pusat pelayanan medis yang mampu melakukan
IKP setelah fibrinolisis diindikasikan pada semua pasien. IKP
“rescue”diindikasikan segera setelah fibrinolisis gagal, yaitu resolusi segmen ST
kurang dari 50% setelah 60 menit disertai tidak hilangnya nyeri dada.
IKP emergency diindikasikan untuk kasus dengan iskemia rekuren atau
bukti adanya reoklusi setelah fibrinolisis yang berhasil. Hal ini ditunjukkan oleh
gambaran elevasi segmen ST kembali.
Angiografi emergensi dengan tujuan untuk melakukan revaskularisasi
diindikasikan untuk gagal jantung/pasien syok setelah dilakukannya fibrinolisis
inisial . Jika memungkinkan, angiografi dengan tujuan untuk melakukan
revaskularisasi (pada arteri yang mengalami infark) diindikasikan setelah
fibrinolisis yang berhasil . Waktu optimal angiografi untuk pasien stabil setelah
lisis yang berhasil adalah 3-24 jam.

2.5.3.4 Langkah-langkah pemberian fibrinolisis pada pasien STEMI


Langkah 1: Nilai waktu dan risiko
• Waktu sejak awitan gejala (kurang dari 12 jam atau lebih dari 12 jam dengan
tanda dan gejala iskemik)
• Risiko fibrinolisis dan indikasi kontra fibrinolisis • Waktu yang dibutuhkan
untuk pemindahan ke pusat kesehatan yang mampu melakukan IKP (<120
menit)
Langkah 2: Tentukan pilihan yang lebih baik antara fibrinolisis atau strategi
invasif untuk kasus tersebut Bila pasien <3 jam sejak serangan dan IKP dapat
dilakukan tanpa penundaan, tidak ada preferensi untuk satu strategi tertentu.
Keadaan di mana fibrinolisis lebih baik:
• Pasien datang kurang dari 3 jam setelah awitan gejala dan terdapat halangan
untuk strategi invasif
• Strategi invasif tidak dapat dilakukan
* Cath-lab sedang/tidak dapat dipakai
* Kesulitan mendapatkan akses vaskular
* Tidak dapat mencapai laboratorium/pusat kesehatan yang mampu melakukan
IKP dalam waktu <120 menit
• Halangan untuk strategi invasif
* Transportasi bermasalah
22

* Waktu antara Door-to-balloon dan Door-to-needle lebih dari 60 menit


* Waktu antar kontak medis dengan balonisasi atau door-to-balloon
lebih dari 90 menit
Keadaan di mana strategi invasif lebih baik:
• Tersedianya cath-lab dengan dukungan pembedahan
* Waktu antar kontak medis dengan balonisasi atau door-to-balloon kurang
dari 90 menit
* Waktu antara Door-to-balloon dan Door-to-needle kurang dari 1 jam
• Risiko tinggi STEMI
* Syok kardiogenik
* Kelas Killip ≥ 3
• Indikasi kontra untuk fibrinolisis, termasuk peningkatan risiko perdarahan
dan perdarahan intrakranial
• Pasien datang lebih dari 3 jam setelah awitan gejala
• Diagnosis STEMI masih ragu-ragu

2.5.3.5 Koterapi antikogulan


1. Pasien yang mendapat terapi reperfusi fibrinolisis, sebaiknya diberikan
terapi antikoagulan selama minimum 48 jam dan lebih baik selama rawat inap,
hingga maksimum 8 hari (dianjurkan regimen non UFH bila lama terapi lebih
dari 48 jam karena risiko heparin-induced thrombocytopenia dengan terapi
UFH berkepanjangan
2. Pasien STEMI yang tidak mendapat terapi reperfusi, dapat diberikan terapi
antikoagulan (regimen non-UFH) selama rawat inap, hingga maksimum 8 hari
pemberian
3. Strategi lain yang digunakan adalah meliputi LMWH atau fondaparinuks
dengan regimen dosis sama dengan pasien yang mendapat terapi fibrinolisis.
4. Pasien yang menjalani IKP Primer setelah mendapatkan antikoagulan
berikut ini merupakan rekomendasi dosis:
• Bila telah diberikan UFH, berikan bolus UFH tambahan sesuai.2
2.6 Diagnosa Banding
Emboli Paru, Diseksi Aorta, Perikarditis
2.7 Prognosis
Thrombolysis in Myocardial Infarction (TIMI) score for ST Elevation Acute
Myocardial Infarction
1. DM, Riwayat hipertensi atau riwayat angina ( 1 poin)
2. Tekanan darah sistolik <100mmHg (3 poin)
3. Heart Rate > 100 kali/ menit (2 poin)
23

4. Killip kelas II-IV (2 poin)


5. Berat badan < 150 lb atau < 67 kg ( 1 poin)
6. ST Elevasi anterior atau left bundle branch block ( 1 poin)
7. Waktu sebelum diterapi > 4 jam (1 poin)
8. Usia : 75 tahun keatas (3 poin)
65-74 tahun (2 poin)
<65 tahun (0 poin).14
TIMI risk score memprediksi mortalitas dalam 30 hari setelah
Miokardium Infark
Tabel 2.3 TIMI Score STEMI
TIMI score Mortalitas dalam 30 Hari (%)
0 0.8
1 1.6
2 2.2
3 4.4
4 7.3
5 12
6 16
7 23
8 27
9-14 36

BAB 3
STATUS ORANG SAKIT

No. RM : D19010164 Tanggal : 06/01/2019 Hari : Minggu


Nama Pasien : Ny. N Tgl lahir/Umur: 05/01/1938/ Jenis Kelamin :
24

81 thn Perempuan
Pekerjaan : Ibu rumah tangga Alamat: Pangkalan Brandan Agama : Islam

Telepon : - HP :

ANAMNESA
 Autoanamnesa Alloanamnesa
RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Keluhan Utama : Nyeri ulu hati
Anamnesa :
- Nyeri ulu hati dialami oleh pasien sejak 1 hari SMRS saat pasien sedang
istirahat, keluhan tersebut disertai dengan rasa menyesak pada perut bagian
atas, os juga mengeluhkan kepala hoyong dan badan tiba-tiba terasa lemas,
mual (+), muntah (-), keringat dingin (+), keluhan tersebut tidak dipengaruhi
perubahan posisi dan tidak hilang dengan istirahat.
- Os juga mengeluhkan dada terasa berdebar, nyeri dada tidak dijumpai, keluhan
dada seperti tertimpa beban berat tidak dijumpai, sesak napas (-).
- Riwayat keluhan yang sama (-), sesak nafas (-),PND (-), OP (-), DOE (-).
- Riwayat hipertensi disangkal, riwayat hiperkolesterolemia tidak jelas.
- RPO : -

Faktor Risiko PJK : usia > 45 thn


Riwayat Penyakit Terdahulu : tidak jelas
Riwayat Pemakaian Obat :-

PEMERIKSAAN FISIK
Status Presens :
KU : Sedang Kesadaran : CM TD : 100/60 mmHg
HR : 63 x/m RR : 22 x/m Suhu : 36,5 ºC
Sianosis : (-) Ortopnu : (-) Dispnu : (-)
Ikterus : (-) Edema : (-) Pucat : (-)
Skala nyeri : 5

Pemeriksaan Fisik :
25

Kepala : Konjungtiva palpebra anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)


Leher : JVP : R-2 cmH2O
Dinding toraks: Batas Jantung :
 Inspeksi : Simetris fusiformis Atas : ICR II sinistra
 Palpasi : Stem fremitus kanan = kiri Bawah : Diafragma
 Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru Kanan : Linea Parasternalis
dekstra
Kiri : 1 cm medial Linea
Midklavikula Sinistra
 Auskultasi
Jantung : S1 (+)N S2 (+) N S3 (-) S4 (-) , Reguler
Suara tambahan :- Grade :-
Punctum maximum :- Radiasi : -
Paru : Suara Pernafasan : Vesikuler di kedua lapangan paru
Suara Tambahan : Ronki basah basal (-/-)
Wheezing : (-/-)
Abdomen : Soepel, timpani Asites (-)
Palpasi Hepar/Lien :Normal, tidak teraba
Ekstremitas : Superior : Sianosis (-) Clubbing (-)
Inferior : Edema pretibial (-) Pulsasi arteri (+/+)
Akral : Hangat

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Interpretasi Rekaman EKG :
Irama : Sinus rhytm Kompleks QRS: Normal
Rate : 63 x/menit Durasi QRS : 0,1s
Gelombang P : Normal Q patologis : -
Durasi P : 0,08s Segmen ST : Elevasi pada lead
Interval PR : 0,16 V1 – V6
Axis QRS : Normoaxis Gelombang T : Normal

KesanEKG : SR + STEMI Anteroseptal


26

Hasil Laboratorium (06-01-2019) :


HEMATOLOGI
Darah Lengkap
Hb : 11,7 g/dL (13-18)
Eritrosit : 3,34 juta/μL (4,50-6,50)
Leukosit : 9,01 x 103 /μL (4000-11000)
Hematokrit : 36,2 % (39-54)
Trombosit : 183.000/μL (150 000-450 000)
Morfologi eritrosit : Normokrom normositer
Hitung jenis leukosit (diftel) :
 Neutrofil : 59,8 (50-70)
 Limfosit : 24,7 (20-40)
 Monosit : 12,7 (2-8)
 Eosinofil : 2,1 (1-3)
 Basofil : 0,7 (0-1)

KGD sewaktu : 101 mg/dl (<200).

Diagnosa Kerja : STEMI Anteroseptal onset 1 hari + Dispepsia

Diferensial Diagnosa: Perikarditis, Ulkus Peptikum

Pengobatan:
Bed rest
O2 2 - 4 L/i via n.c
IVFD NaCl 0,9% 10 gtt/i (mikro)
Inj. Ranitidin 50 mg/12 jam iv
Inj. Ketorolac 30 mg/12 jam iv
ISDN 5 mg
Aspirin 1x 320 mg
27

Clopidogrel 1 x 300 mg
Sucralfat syr 3xCI

Rencana lanjutan :
- EKG serial
- Rujuk ke Sp.JP
BAB 4
FOLLOW UP

Tabel 4.1. Follow Up Pasien 06/01/2019


TGL S O A P
06/01/2 Nyeri Sens: CM MCI e.c PJK Bed rest
019 ulu hati TD :100/70 mmHg O2 2 - 4 L/i via n.c
(+), HR : 72 x/i IVFD NaCl 0,9% 10
Pukul
mual RR : 20 x/i gtt/i (mikro)
08.30
(+), Kepala : Mata anemis (-/-), Inj. Ranitidin 50 mg/12
pusing ikterik (-/-) jam iv
Leher: TVJ R-2 cmH2O
(+), Inj. Ketorolac 30
Thorax :
badan mg/12 jam iv
 Cor : S1 S2 reguler, murmur (-),
lemas ISDN 5 mg
gallop (-)
(+)  Pulmo: SP: vesikuler, ST: Aptor 1x 320 mg
ronkhi basah basal (-/-) Clopidogrel 1 x 300
Abdomen: Soepel, BU(+)N mg
Ekstremitas: Akral hangat, edema Sucralfat syr 3xCI
pretibial (-/-) Rawat ICU

Tabel 4.2. Follow Up Pasien Tanggal 07/01/2019


TGL S O A P
07/01/2 Nyeri Sens: CM STEMI Bed rest
019 ulu hati TD :130/80 mmHg anteroseptal + O2 2 - 4 L/i via n.c
(+), HR : 72 x/i Dispepsia IVFD NaCl 0,9% 10
Pukul
Pusing, RR : 20 x/i gtt/i (mikro)
08.30
Nyeri Kepala : Mata anemis (-/-), Inj. Ranitidin 50 mg/12
dada ikterik (-/-) jam iv
Leher: TVJ R-2 cmH2O
(+) Inj. Ketorolac 30
Thorax :
mg/12 jam iv
 Cor : S1 S2 reguler, murmur (-),
ISDN 2 x 5 mg
gallop (-)
EKG: STEMI V1-V6 Aptor 1 x 100 mg
Clopidogrel 1 x 75 mg
Xarelto 1 x 1 tab
Sucralfat syr 3xCI

R/ Rujuk ke ICCU
(kardiologi)
Pasang Urin kateter

BAB 5
DISKUSI
TEORI KASUS
Faktor Resiko SKA16
Yang tidak dapat dimodifikasi : Pada kasus, didapatkan pasien
 Usia memiliki faktor resiko PJK
Resiko meningkat dengan bertambahnya yaitu :
usia, >45 tahun pada pria dan >55 tahun  Usia >45 tahun
pada wanita
 Jenis kelamin
Laki-laki > perempuan walaupun setelah
menopause, tingkat kematian perempuan
akibat penyakit jantung meningkat namun
tidak sebanyak tingkat kematian pada laki-
laki
 Riwat Keluarga
Anak dengan orangtua dan saudara
kandung memiliki riwayat penyakit jantung
lebih beresiko untuk terkena penyakit
jantung

Yang dapat dimodifikasi :


 Merokok
Peran rokok dalam PJK antaraYang dapat
dim lain menimbulkan aterosklerosis,
peningkatan trombogenesis dan
vasokonstriksi, peningkatan tekanan darah,
pemicu aritmia jantung, meningkatkan
kebutuhan oksigen jantung, dan penurunan
kapasitas pengangkutan oksigen.
 Alkohol
 Hipertensi
Hipertensi dapat menyebabkan peningkatan
afterload secara tidak langsung dan akan
meningkatkan beban kerja jantung. Kondisi
seperti ini akan memicu hipertrofi ventrikel
kiri yang pada akhirnya akan meningkatkan
kebutuhan oksigen jantung
 Hiperkolesterolemia
Kolesterol berperan penting untuk
terjadinya PJK. Akumulasi kolesterol dalam
pembuluh darah akan membentuk plak dan
akan mengalami aterosklerosis
 Stress
Manifestasi klinis :1
Pada kasus :
 Nyeri dada tipikal
- Nyeri ulu hati
Nyeri dada persisten dirasakan >20 menit di
- keluhan tersebut disertai
daerah retrosternal. Nyeri seperti tertimpa
dengan rasa menyesak pada
beban berat, ditekan, rasa terbakar, ditusuk
perut bagian atas
dan nyeri menjalar ke bahu, lengan, leher, - kepala hoyong dan badan
sampai ke epigastrium. Nyeri dicetuskan tiba-tiba terasa lemas,
- mual (+), muntah (-),
oleh aktifitas fisik dan stress emosional
keringat dingin (+),
 Gejala penyerta
- keluhan tersebut tidak
Diaphoresis (keringat dingin), mual dipengaruhi perubahan
muntah, sulit bernafas, cemas, dan lemas posisi dan tidak hilang
dengan istirahat.
15
Diagnosa :

Anamnesis Pada kasus :

Keluhan nyeri dada tipikal, riwayat nyeri Berdasarkan anamnesis
sebelumnya, faktor resiko PJK, serta dijumpai adanya nyeri
riwayat keluarga dengan PJK. Perlu juga atipikal disertai dengan gejala
ditanyakan apa yang dilakukan oleh pasien penyerta berupa keringat
sebelum terjadi serangan dingin, mual, dan badan

Pemeriksaan fisik lemas, keluhan tidak
Sebagian besar pasien akan cemas dan tidak berubungan dengan posisi,
bisa istirahat. Seringkali disertai keringat dan tidak membaik dengan
dingin. Selain itu dari pemeriksaan fisik istirahat. Pasien mempunyai
dapat mengidentifikasi komplikasi iskemia faktor risiko yaitu : usia 81
(regurgitasi katup mitral akut, S3, ronki tahun

basah atau edema paru) dan juga dapat Berdasarkan EKG ditemukan
menyingkirkan diagnosa banding kelainan berupa: Elevasi pada

EKG segment ST di lead V1 – V6.
Diagnosis STEMI ditegakkan dengan
berdasarkan EKG yaitu adanya ST elevasi
 2mm, minimal pada 2 sadapan
prekondrial yang berdampingan atau 
1mm pada 2 sadapan ekstremitas. Pada
sadapan V1-V3 nilai ambang untuk
diagnostik beragam bergantung dari usia
dan jenis kelamin. Nilai ambang segmen ST
elevasi di V1-V3 pada pria usia ≥ 40 tahun
adalah ≥ 0.2mv sedangkan pada pria usia <
40 tahun adalah ≥ 0.25Mv. Pemeriksaan
EKG 12 sadapan harus dilakukan pada
semua pasien dengan nyeri dada atau
keluhan yang dicurigai STEMI dalam
waktu 10 menit sejak kedatangan pasien di
ruang gawat darurat.1
Gambaran EKG : normal, nondiagnostik,
LBBB, elevasi ST segmen yang persisten
( 20 menit) maupun tidak persisten, atau
depresi segmen ST dengan atau tanpa
inversi gelombang T.
Dari gelombang EKG pula kita dapat
menentukan lokasi infark.

Peningkatan marka jantung1
Marka jantung yang biasanya digunakan
untuk diagnosis infark miokard adalah CK-
MB dan Troponin-T. Peningkatan marka
jantung dua kali diatas nilai batas normal
menunjukkan adanya nekrosis miokard.
CK-MB meningkat setelah 3 jam bila ada
infark miokard dan mencapai puncak dalam
10-24 jam dan kembali normal dalam 2
hari.
Troponin-T meningkat setelah 2 jam dan
mencapai puncak dalam 10-24 jam dan
masih dapat terdeteksi sampai 2 minggu
bergantung luas nekrosis.
Penatalaksanaan17 Bed rest

Tirah Baring O2 2 - 4 L/i via n.c

O2 IVFD NaCl 0,9% 10 gtt/i
Oksigen harus segera diberikan dalam 6 (mikro)
jam pertama tanpa mempertimbangkan Inj. Ranitidin 50 mg/12 jam iv
saturasi oksigen atau dengan saturasi Inj. Ketorolac 30 mg/12 jam iv
oksigen <95% ISDN 2 x 5 mg

 Terapi reperfusi Aptor 1 x 100 mg

Terapi reperfusi dilakukan dengan terapi Clopidogrel 1 x 75 mg


Xarelto 1 x 1 tab
tombolitik maupun dengan PCI. Dalam Sucralfat syr 3xCI
menentukan terapi reperfusi, tahap pertama
adalah menentukan ada tidaknya rumah
sakit sekitar yang memiliki fasilitas PCI.
Bila membutuhkan waktu lebih dari 2 jam,
reperfusi pilihan adalah fibrinolitik. Dan
fibrinolitik setelah selesai diberikan, pasien
dapat dikirim ke pusat fasilitas PCI. Tidak
disarankan melakukan PCI rutin pada arteri
yang telah tersumbat sepenuhnya lebih dari
24 jam setelah awitan pada pasien stabil
tanpa gejala iskemia. Pemberian
trombolitik harus dilakukan sesegera
mungkin karena semakin cepat diberikan
semakin banyak miokardium yang
terselamatkan. Terapi fibrinolitik
direkomendasikan diberikan dalam 12 jam
pertama sejak awitan gejala pada pasien.
 Nitrat
Nitrat adalah venodilator yang
mengakibatkan berkurangnya preload dan
volume akhir diastolik sehingga
menurunkan kebutuhan oksigen miokard.
NTG spray/tablet sublingual diberikan pada
pasien dengan nyeri dada yang masih
berlangsung, jika dengan satu kali
pemberian nyeri dada tidak hilang maka
dapat diulangi setiap 5 menit sampai
maksimal 3 kali. Jika tidak tersedia NTG,
dapat diganti dengan ISDN.
 Morfin
Morfin sulfat 1-5 mg intravena dapat
diulang setiap 10-30 menit bagi pasien yang
tidak responsive dengan terapi tiga dosis
NTG sublingual.
 Aspirin
Aspirin merupakan tatalaksana dasar pada
pasien yang dicurigai STEMI dan efektif
pada spektrum sindroma koroner akut.
Aspirin berfungsi untuk menginhibisi
siklooksigenase trombosit yang dilanjutkan
dengan reduksi kadar tromboksan A2.
Aspirin diberikan dengan dosis 160-320 mg
dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 75-
160 mg.
 Clopidrogel
Clopidrogel adalah anti platelet yang
menghambat platelet P2Y12 ADP receptor
sehingga mencegah terjadinya aktivasi dan
agregasi platelet. Clopidrogel dapat
digunakan pada orang yang alergi aspirin,
namun studi menunjukkan penggunaan
kombinasi aspirin dan clopidrogel lebih
efektif dalam menurunkan mortalitas dan
komplikasi akibat sindroma koroner.
Clopidrogel diberikan dengan dosis 300 mg
dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 75
mg/hari
 Antikoagulan
Pemberian antikoagulan disarankan untuk
semua pasien yang mendapatkan terapi
antiplatelet. Anti koagulan disarankan
untuk pasien STEMI yang diberikan agen
fibrinolitik hingga revaskularisasi (bila
dilakukan) atau selama pasien dirawat di
rumah sakit hingga hari ke 8. Pilihan
terapi ; enoxaparin iv diikuti s.c., heparin
tidak terfraksi, berikan fondaparinux bolus
iv pada pasien yang diberikan
streptokinase. Fondaparinuks secara
keseluruhan memiliki progil keamanan
berbanding resiko yang paling baik. Dosis
yang diberikan adalah 2,5mg setiap hari
secara subkutan.
 Terapi regulasi lipid/Statin
Statin harus diberikan pada semua
penderita jika tidak terdapat kontraindikasi
tanpa melihat nilai awal LDL,dll. Statin
dapat membantu menstabilkan plak
aterosklerosis karena menurunkan inflamasi
vascular dan memperbaiki disfungsi sel
endotel. Terapi statin dimulai sebelum
pasien keluar rumah sakit dengan sasaran
terapi kadar LDL <100 mg/dl.
Prognosis :
Terdapat beberapa sistem dalam menentukan Pada kasus, didapatkan
prognosis paska infark miokardium. Prognosis KILLIP 1 mortalitas < 6%
berdasarkan pada : TIMI 5/14 mortalitas 30 hari
 Killip 12 %
 TIMI risk score

BAB 6
KESIMPULAN

6.1. Kesimpulan
Os, perempuan berusia 81 th, mengalami STEMI Anteroseptal onset 1 hari Killip I TIMI
Risk 5/14 dan diberi pengobatan
Bed rest
O2 2 - 4 L/i via n.c
IVFD NaCl 0,9% 10 gtt/i (mikro)
Inj. Ranitidin 50 mg/12 jam iv
Inj. Ketorolac 30 mg/12 jam iv
ISDN 2 x 5 mg
Aptor 1 x 100 mg
Clopidogrel 1 x 75 mg
Xarelto 1 x 1 tab
Sucralfat syr 3xCI

DAFTAR PUSTAKA

1. Delima, Mihardja, L, dan Siswoyo, H. 2009. Prevalensi dan Faktor Determinan Penyakit
Jantung di Indonesia. Penelitian kesehatan 37(3): 142-159.
2. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia, 2015. Pedoman Tatalaksana
Sindrom Koroner Akut. Edisi ke-3
3. Grundy SM, Pasternak R, Greenland P, Smith S, Fuster V. Assessment of cardiovascular
risk by use of multiple-risk-factor assessment equations. 1999. Circulation; 100: 1481-92.
Dalam: Torry, S.R.V., Panda, A.L., dan Ongkowijaya, J. 2013. Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Unsrat.
4. The Top Ten Causes of Death. Available
from:http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs310_2008.pdf. [Accessed 8 April 2016]
5. Rilantono, L.L, 2013. Penyakit Kardiovaskular (PKV). Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia
6. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta:
Kementrian Kesehatan RI.
7. Liwang F and Wijaya I.P., 2014. Penyakit Jantung Koroner. Dalam : Kapita Selekta
Kedokteran. Edisi ke-4. Jakarta : Media Aesculapius.
8. Dharma, S. 2015. Cara Mudah Membaca EKG. Jakarta : EGC
9. Young J.L and Libby P., 2007. Aterosklerosis. Dalam : Lilly L.S. Pathophysiology of Heart
Disease. USA : Lippicott Williams & Wilkins.
10. Nielsen K., Faergeman O., Larsen M.L., and Foldspang A., 2006. "Danish singles have a
two fold risk of acute coronary syndrome. Dalam: Nurulita A, Bahrun U., Arif M., 2011.
Perbandingan Kadar Apolipoprotein B dan Fraksi Lipid Sebagai Faktor Resiko Sindroma
Koroner Akut. JST Kesehatan 2011.
11. Fuster,at al. Hurst, The Heart. 13th, 2011, McGraw Hill Publisher.
12. ESC Guidelines for the management of acute myocardial infarction in patients presenting
with ST-segment elevation. Eur Heart J 2012; 33 :2501–2502.
13. Provan, Drew dan Krentz, Andrew, 2002. Cardiac enzyme Dalam : Oxford Handbook of
Clinical and Laboratory Investigation 2. NewYork : Oxford University Press Inc.
14. Morrow DA, Antman EM, Charlesworth A, et al. TIMI risk score for ST Elevation
myocardial infarction :A. Convenient, Bedside, clinical score for risk assessment at
presentation : An intravenous nPA for treatment of infracting myocardium early II trial
substudy. Circulation. 2000 Oct 24 ; 102 (17) : 2031-7.
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai