Anda di halaman 1dari 46

Laporan Kasus

ASMA BRONKHIAL

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior
Pada Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh
Rumah Sakit Umum Cut Meutia
Aceh Utara

Oleh :
Mutiara Pratiwi, S.Ked (150611013)
Dwi Novlita Rozi, S.Ked (150611008)

Preseptor :
dr. Hendra Wahyuni, MS, M.Sc
dr. Cut Khairunnisa, M.Kes

Pembimbing:
Dr. Lies Sulyani

BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
RUMAH SAKIT UMUM CUT MEUTIA
ACEH UTARA
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas rahmat, hidayah,

dan kesempatan-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini dengan judul

"Asma Bronkhial". Penyusunan tugas ini merupakan salah satu pemenuhan syarat

untuk menyelesaikan tugas kepaniteraan klinik senior di SMF Ilmu Kesehatan

Masyarakat Rumah Sakit Umum Daerah Cut Meutia.

Seiring rasa syukur atas terselesaikannya laporan kasus ini, penulis

mengucapan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada:

1. Pembimbing, dr. Hendra Wahyuni, MS, M.Sc, dr.Cut Khairunnisa, M.Kes

dan dr Lies Sulyani atas arahan dan bimbingannya dalam penyusunan

laporan ini.

2. Teman- teman kepaniteraan klinik senior di Bagian Ilmu Kesehatan

Masyarakat Rumah Sakit umum daerah Cut Meutia, yang telah membantu

dalam bentuk motivasi dan dukungan semangat.

Penulisan laporan kasus ini masih jauh dari kata sempurna, oleh sebab itu,

penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dalam

penyempurnaan tugas ini. Semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi kita

semua. Aamiin.

Aceh Utara, Agustus 2021

Penulis

i
ii
BAB I
PENDAHULUAN

Asma merupakan penyakit heterogen, biasanya ditandai dengan

inflamasi kronis pada saluran pernapasan. Hal ini didefinisikan oleh gejala

pernapasan seperti mengi, sesak napas, sesak di dada, batuk yang yang

intesitasnya semakin sering dari waktu ke waktu, dan keterbatasan aliran

udara ekspirasi.1 Angka kejadian asma bervariasi di berbagai negara, tetapi

terlihat kecenderungan bahwa penderita penyakit ini meningkat jumlahnya,

meskipun belakangan ini obat–obatan asma banyak dikembangkan. National

Health Interview Survey di Amerika Serikat memperkirakan bahwa setidaknya

7,5 juta orang penduduk negeri itu mengidap brokitis kronik, lebih dari 2 juta

menderita emfisema dan setidaknya 6,5 juta orang menderita salah satu bentuk

asma. Laporan kesehatan organisasi dunia (WHO) dalam World Health

Report 2000 menyebutkan, lima penyakit paru utama merupakan 17,4 % dari

seluruh kematian di dunia, masing- masing terdiri dari infeksi paru 7,2%,

PPOK 4,8%, Tuberkulosis 3,0 %, kanker paru/trakea/ bronkus 2,1 % dan

Asma 0,3 %.2

Berdasarkan data World Helath Organization (WHO), hingga saat ini

jumlah pasien asma di dunia diperkirakan mencapai 300 juta orang dan

diperkirakan angka ini akan terus meningkat hingga 400 juta penderita pada

1
2

tahun 2025. Di dunia, penyakit asma termasuk 5 besar penyebab kematian,

yaitu mencapai 17,4%. Sedangkan di Indonesia, penyakit ini masuk dalam

sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian.3

WHO tahun 2020 mengemukakan bahwa saat ini sekitar 235 juta

jumlah pasien asma. Lebih dari 80% kematian akibat asma terjadi di negara

berpenghasilan rendah dan menengah ke bawah. Hasil laporan Riset

Kesehatan Dasar (RISKESDAS) oleh Badan dan Pengembangan Kesehatan

Kementrian RI pada tahun 2018 menunjukkan prevalensi asma di Indonesia

mencapai nilai 2,4%.4 Terdapat kenaikan prevalensi 0,5% jika dibandingkan

dengan hasil laporan RISKESDAS pada tahun 2007. Sedangkan prevalensi

asma di Provinsi Aceh menurut hasil laporan RISKESDAS 2018 mencapai

nilai 2,27%, di Kabupaten Aceh Utara 2,9% serta di Kota Lhokseumawe

2,09%.5 Asma merupakan suatu penyakit peradangan kronis pada saluran

pernapasan yang sering terjadi pada masyarakat di berbagai negara di seluruh

dunia. Dalam beberapa tahun terakhir, penyakit ini telah menunjukkan

peningkatan prevalensi yang cukup signifikan.6

Pada penyakit ini, akan dijumpai peningkatan kepekaan saluran napas

yang memicu terjadinya periode mengi yang berulang, sesak napas dan batuk

yang seringkali terjadi pada waktu malam hari. Gejala-gejala ini berhubungan

dengan luasnya inflamasi, hal ini bisa menyebabkan obstruksi saluran napas

dengan derajat yang bervariasi dan bersifat reversibel, baik secara spontan
3

maupun dengan pengobatan. Hal tersebut bisa diperberat jika ditemukan

adanya infeksi pada saluran napas yang bisa menyebabkan terjadinya

eksaserbasi asma, baik pada anak-anak maupun dewasa. Terlambatnya

penanganan terhadap penderita asma dapat menimbulkan dampak yang cukup

fatal, bahkan bisa berujung pada kematian.1


BAB 2

STATUS PASIEN

2.1 Identitas Pasien

Nama : Ny. M

Tgl lahir : 10-03-1978

Usia : 43 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Anak ke : 3 dari 3 bersaudara

Alamat : Jambo timu

Agama : Islam

Tanggal Kunjungan : 02 Agustus 2021

2.2 Anamnesis

A. Keluhan Utama

Sesak nafas sejak 1 hari sebelum masuk IGD puskesmas.

B. Keluhan Tambahan

Batuk berdahak dan perut kembung.

C. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke IGD puskesmas Syamtalira Bayu dengan keluhan sesak

nafas sejak 1 hari sebelum masuk IGD puskesmas, dan memberat dalam 2 jam

sebelum masuk IGD puskesmas. Nafas disertai suara mengi. Sesak nafas

diakui timbul saat pasien menghirup udara dingin saat malam menjelang dini

4
5

hari, dan saat menghirup debu dirumah. Apabila terpajan debu, dan udara

dingin biasanya pasien langsung bersin berulang kali, keluar sekret cair dari

hidung, hidung gatal dan mata berair kemudian dilanjutkan dengan

munculnya sesak napas. Serangan sesak napas terakhir kali sebelum ini 2

minggu yang lalu akibat terpajan debu, namun segera membaik setelah minum

obat salbutamol. Pasien juga mengeluhkan terasa nyeri dan berat pada dada

saat serangan sesak nafas datang serta mata merah berair. Pasien juga

mengeluhkan adanya batuk berdahak dan perut terasa kembung. Tidak ada

riwayat demam pada pasien.

D. Riwayat Penyakit Dahulu

 Riwayat DM (-)

 Riwayat hipertensi (-)

 Riwayat asma (+) sejak tahun 2011

 Riwayat alergi terhadap debu, udara dingin (+)

E. Riwayat Penyakit Keluarga

Orang tua dan saudara kandung pasien tidak memiliki gejala yang sama

dengan paien, tetapi anak ketiga pasien juga menderita asma seperti pasien.

F. Riwayat Pemakaian Obat

Pasien mengaku memakai obat semprot (inhalasi) saat serangan sesak napas

sejak tahun 2011 sampai dengan tahun 2020, lalu pasien tidak pernah kontrol

ulang kembali dan hanya meminum salbutamol tablet jika sesak nafas.
6

2.3 Profil keluarga

Pasien Ny. M, 43 tahun, merupakan orangtua dari 5 orang anak. Pasien

tinggal bersama suami dan kelima anaknya.

Kedudukan Jenis
No Nama Umur Pendidikan Pekerjaan
dalam keluarga Kelamin

1. Tn. A Kepala Keluarga L 49 th SMP Petani

2. Ny. M Istri P 44 th SD IRT

4. An. M Anak ke-1 L 22 th SMA -

5. An. M Anak ke-2 L 19 th SMA -

6. An. S Anak ke-3 P 18 th SMA -

7. An. S Anak ke-4 P 16 th SMP -

8. An. M Anak ke-5 L 9 th SD -

Tabel Anggota Keluarga yang Tinggal Serumah

2.4 Penilaian Status Sosial dan Kesejahteraan Hidup

Status kepemilikan rumah : milik sendiri

Daerah perumahan : dekat


Karakteristik Rumah dan Lingkungan Kesimpulan
2
Rumah tidak bertingkat dengan luas : 7 x 6 m Keluarga pasien tinggal di
Jumlah penghuni dalam satu rumah : 7 orang
Luas halaman rumah : 7 x 8 m2 rumah dengan kepemilikian
Atap rumah dari: seng dan ada plafon di bagian
milik sendiri yang dihuni
ruang tamu saja.
7

Lantai rumah dari : Semen


Dinding rumah dari : tembok semen
Jumlah kamar : 4
Jumlah kamar mandi :1
Jendela dan ventilasi : kurang
Jamban keluarga : tidak ada
Penerangan listrik : 2 ampere
Sumber air bersih : sumur air keluarga
Tempat pembuangan sampah : ada, terletak di

belakang rumah

oleh 7 orang. Pasien tinggal

di gampong di Desa Jambo

Timu. Rumah yang dihuni

pasien tidak memenuhi

kriteria rumah sehat karena

tidak sesuai dengan beberapa

kriteria rumah sehat Seperti


Tabel Lingkungan Tempat Tinggal

2.5 Penilaian Perilaku Kesehatan Keluarga

- Jenis tempat berobat : Puskesmas

- Asuransi / Jaminan Kesehatan : BPJS

Sarana Pelayanan Kesehatan (Puskesmas)

Faktor Keterangan Kesimpulan


Cara mencapai Keluarga Letak Puskesmas tidak jauh dari tempat
pusat pelayanan menggunakan tinggal pasien (2,5km).
kesehatan sepeda motor Untuk biaya pengobatan diakui oleh
untuk menuju keluarga pasien yaitu setiap kali datang
8

ke puskesmas. berobat tidak dipungut biaya dan


Tarif pelayanan Keluarga tidak
pelayanan. Puskesmas pun dirasakan
kesehatan mengeluarkan
keluarga cukup memuaskan.
uang untuk
biaya
pelayanan
kesehatan yang
dilakukan di
puskesmas
Kualitas Menurut
pelayanan keluarga
kesehatan kualitas
pelayanan
kesehatan yang
didapat cukup
memuaskan.

Tabel Pelayanan Kesehatan

Status Sosial dan Kesejahteraan Keluarga

Pekerjaan pasien adalah Ibu Rumah Tangga. Keseharian pasien

mengandalkan pendapatan suami dan bantuan dari pemerintah untuk kehidupan

pasien sehari-hari baik makan, dan keperluan lainnya.

Pola Konsumsi Makanan Keluarga


9

Kebiasaan makan : Keluarga pasien memiliki kebiasaan makan antara 3 kali

dalam sehari dengan bahan-bahan baku dibeli langsung dari pasar. Pasien

mengatakan terkadang membeli makan yang sudah siap saji. Pasien juga mengatakan

bahwa makanan yang dimakan beragam, terdapat sayur dan buah (hanya sesekali).

Pasien mengaku sering mengkomsumsi roti, biskuit, dan makanan ringan lainnya

karena pasien sering merasa lapar.

Pola Higienitas dan Sanitasi Lingkungan

Pasien mengaku dalam kesehariannya mandi memakai sabun. Pasien mencuci

pakaian dan peralatan makan di tempat pencucian.. Pasien mengaku sering terpapar

asam rokok didalam rumah. Pasien juga mengaku jarang membersihkan debu-debu

yang ada didalam rumah. Didalam rumah pasien, terlihat pakaian tidak ditempatkan

secara rapi, melainkan bercampur dan digantung seadanya.

2.7 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan dilakukan pada tanggal 29 Juli 2021

 Status Present :

Keadaan umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran` : Compos mentis

GCS : E4V5M6

 Vital sign:

Tensi : 130/90 mmHg

Nadi : 93 kali/menit, irama teratur


10

Pernapasan : 19 kali/menit

Suhu : 36,5oC

TB : 155 cm

BB : 75 kg

 Status Generalis :

o Kepala

Bentuk : Normal

Kepala : Kesan normal, bentuk dan ukuran normal, deformitas (-)

Mata :Bentuk: normal. Konjungtiva palpebra inferior tidak pucat

(+/+), sclera ikterik (-/-), reflex cahaya langsung (+/+), reflex

Cahaya tidak langsung (+/+)., Alis: normal, Bola mata: tidak

didapatkan adanya kelainan

Telinga : Simetris, sekret (-/-)

Hidung : Normal, Sekret (-/-), hiperemis (-/-)

Mulut : Simetris, mukosa bibir basah, pembengkakan tidak ada

Lidah : Bentuk normal, tidak pucat, tidak kotor, warna kemerahan

Faring : tidak hiperemis, tidak edema, membran/pseudomembran (-)

Tonsil : Warna kemerahan, tidak ada pembesaran (T1/T1)

o Leher

Inspeksi : Simetris, tidak terlihat benjolan

Palpasi : Pembesaran KGB (-), massa (-)


11

o Thorax

 Paru

Inspeksi : Pergerakan dada simetris kanan dan kiri, retraksi (-), bentuk

dada normal, Pernafasan : frekuensi 20x/menit, teratur

Palpasi : Fremitus raba simetris

Perkusi : Sonor pada paru kiri dan kanan

Aukultasi : Vesikuler (+/+), Ronkhi (-/-), Wheezing (+/+)

 Jantung

Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat

Palpasi :Ictus cordis teraba

Perkusi : Batas Atas : ICS II linea parasternal dekstra

Batas kanan : ICS IV linea parasternal dekstra

Batas kiri : ICS V linea midklavikula sinistra

Auskultasi : BJ I > BJ II , bunyi jantung tambahan (-), bising jantung (-)

 Abdomen
Inspeksi : Simetris, perut datar

Palpasi :Defans muscular (-), nyeri tekan (-)

Hepar : Tidak teraba

Lien : Tidak teraba

Ginjal : Ballotement (-)

Perkusi : Timpani, Shifting dullness (-)


12

Auskultasi : Peristaltik usus normal

o Ekstremitas

Superior : edema (-), sianosis (-), petekhi (-)

Inferior : edema (-), sianosis (-), petekhi (-)

2.8 Anjuran Pemeriksaan Penunjang

Foto thoraks dan pemeriksaan laboratorium (darah rutin)

2.9 Diagnosis Banding dan Diagnosis Kerja

Diagnosis banding : Asma bronchial + dyspepsia

Rhinitis alergika + dyspepsia

Sinusitis + dispepsia

Diagnosis Kerja : Asma bronkial Eksaserbasi Akut Persisten Ringan +

dispepsia

2.10 Penatalaksanaan

2.10.1 Upaya promotif

Penyuluhan kesehatan berupa:

1. Edukasi pasien dan keluarga pasien tentang penyakit yang diderita oleh

pasien (faktor pencetus kekambuhan asma pada pasien)

2. Edukasi pasien dan keluarga pasien tentang kriteria rumah sehat

2.10.2 Upaya preventif

1. Menghindari faktor pencetus kekambuhan penyakit pasien (debu rumah

dan udara dingin)


13

2. Menjaga kebersihan lingkungan dan keluarga untuk mencegah penyakit

infeksi lain

3. Melakukan kunjungan ulang setiap bulan untuk periksa secara teratur di

Puskesmas.

2.10.3 Upaya kuratif

Terapi yang didapat di puskesmas:

 IVFD RL 20 gtt/i

 O2 4 l/i

 Nebule Ventolin 1 amp/12 jam

 Amoxicillin tab 3x1

 Hustab tab 3x1

 CTM tab 3x1

 Antasida Syr 3x2 C

2.10.4 Upaya rehabilitatif

1. Kontrol ulang ke pusat pelayanan kesehatan terdekat dalam hal ini Pukesmas

Syamtalira Bayu

2. Monitoring yang dilakukan meliputi:

a. Memperhatikan adanya relaps atau kekambuhan

b. Interaksi obat dan efek samping

3. menghindari faktor pencetus kekambuhan seperti udara dingin dan debu

2.8.2 Upaya psikososial


14

Bekerja sama dengan dinas terkait untuk mengatasi masalah pekerjaan bagi

pasien dan suami pasien

2.11 Prognosis

Quo ad Vitam : dubia ad bonam

Quo ad sanationam : dubia ad bonam

Quo ad functionam : dubia ad bonam

2.12 Anjuran

1. Hindari faktor pemicu kekambuhan penyakit pasien.

2. Menggunakan pengobatan pencegah penyakit asma.

3. Bawa obat ke mana pun pasien pergi.

4. Pakai pelembap udara (humidifer).

5. Berolahraga dengan tepat dan tidak berlebihan.

6. Pakai masker mulut jika sedang berada dalam kondisi terpapar debu.

7. Atur pola makan secara teratur.

8. Memperbaiki hygine dimulai dari diri sendiri, keluarga, dan lingkungan

sekitar.

2.13 Faktor Risiko Lingkungan Fisik dari Penyakit

Pasien tinggal di sebuah rumah dengan anggota keluarga7 orang. Paien

bekerja sebagai ibu rumah tangga dan suami pasien bekerja sebagai petani. Rumah

pasien tidak memenuhi kriteria rumah sehat. Ventilasi rumah pasien <10% luas
15

rumah. Dirumah pasien juga banyak baju bergantungan yang merupakan salah satu

faktor menjadi sarang nyamuk dan menumpuknya debu. Pada langit-langit rumah

pasien juga banyak terdapat debu. Tempat pembuangan sampah pasien juga berada di

belakang rumah dan sampah dibakar setiap hari sehingga pasien sering terpapar asap

pembakaran sampah. Suami dan anak pasien juga seing merokok didalam rumah

sehingga pasien juga sering terpapar asap rokok.

2.14 Faktor Risiko Psikososial dan Ekonomi dari Penyakit

Rendahnya tingkat pengetahuan pasien dan keluarga tentang segala hal yang

berkaitan dengan Asma. Sehingga pencegahan-pencegahan serta hal-hal yang harus

dijalani oleh pasien jarang sekali dapat terealisasikan. Hal-hal yang harus dihindari

juga sering sekali pasien dan keluarga abaikan.

Rendahnya pendapatan keluarga (hanya 1 orang yang menjadi sumber nafkah

keluarga) juga menjadi faktor resiko terhadap pasien. Pasien mengaku sering

memakan makanan apa adanya dan pola makan yang tidak teratur karena kebutuhan

keluarga yang tinggi dan tidak cukup untuk memenuhi diet yang dianjurkan oleh

dokter terhadap pasien. Pasien juga jarang mengkomsumsi buah sebagai sumber

vitamin dikarenakan pendapatan yang minim.


BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA

A. Asma Bronkial

1. Definisi

Asma bronkial adalah kelainan inflamasi kronis saluran nafas dimana

berbagai sel memainkan perannya, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Pada

individu yang rentan, inflamasi ini menyebabkan episode berulang bising mengi,

sesak nafas, dada terasa tegang serta batuk khususnya di waktu malam atau dini hari.

Gejala ini berhubungan dengan penyempitan saluran nafas yang sangat luas dan

bervariasi, dan sebagian sedikit reversible baik secara spontan maupun dengan

pengobatan. Proses inflamasi dapat meningkat dengan dipacu beberapa faktor

pencetus antara lain udara dingin, infeksi, makanan, bau bahan kimia, bulu binatang,

dan lain-lain.1

Asma didefinisikan sebagai penyakit heterogen, biasanya ditandai dengan

inflamasi kronis pada saluran pernapasan. Hal ini didefinisikan oleh gejala

pernapasan seperti mengi, sesak napas, sesak di dada, batuk yang yang intesditasnya

semakin sering dari waktu ke waktu, dan keterbatasan aliran udara ekspirasi.1

2. Epidemiologi

Prevalensi asma di seluruh dunia mencapai 300 juta, dan diprediksi akan

meningkat hingga 400 juta pada tahun 2025. Prevalensi ini bervariasi di

masingmasing negara dan peningkatan prevalensi terutama dijumpai pada negara

16
17

maju. Di Amerika, prevalens asma 7,3% pada tahun 2001 dan meningkat menjadi

8,2% pada tahun 2009.1 Di dunia, penyakit asma termasuk 5 besar penyebab

kematian, yaitu mencapai 17,4%. Sedangkan di Indonesia, penyakit ini masuk dalam

sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian.3 

WHO tahun 2020 mengemukakan bahwa saat ini sekitar 235 juta jumlah

pasien asma. Lebih dari 80% kematian akibat asma terjadi di negara berpenghasilan

rendah dan menengah ke bawah. Hasil laporan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS)

oleh Badan dan Pengembangan Kesehatan Kementrian RI pada tahun 2018

menunjukkan prevalensi asma di Indonesia mencapai nilai 2,4%.4 Sedangkan

prevalensi asma di Provinsi Aceh menurut hasil laporan RISKESDAS 2018

mencapai nilai 2,27%, di Kabupaten Aceh Utara 2,9% serta di Kota Lhokseumawe

2,09%, pada data tersebut juga dilaporkan lebih sering terjadi pada perempuan

dibanding laki-laki.5
18
19
20

3. Patofisiologi

A. Obstruksi Saluran Respiratorik

Inflamasi saluran respiratorik yang ditemukan pada pasien asma diyakini

merupakan hal yang mendasari gangguan fungsi: obstruksi saluran respiratorik yang

menyebabkan keterbatasan aliran udara yang dapat kembali secara spontan atau

setelah pengobatan. Perubahan fungsional yang dihubungkan dengan gejala khas pada

asma, yakni berupa batuk, sesak, wheezing dan disertai hiperaktivitas saluran

respiratorik terhadap berbagai rangsangan. Batuk sangat mungkin disebabkan oleh

stimulasi saraf sensoris pada saluran respiratorik oleh mediator inflamasi. Obstruksi

saluran napas ini bersifat difus dan bervariasi derajatnya, dapat membaik spontan atau

dengan pengobatan. Penyempitan saluran napas ini menyebabkan gejala batuk, rasa

berat di dada, mengi dan hiperesponsivitas bronkus terhadap berbagai stimuli.

Penyebabnya multifaktor, yang utama adalah kontraksi otot polos bronkus yang

diprovokasi oleh mediator yang dilepaskan sel inflamasi.1,7

Adapun beberapa mekanisme yang bisa menyebabkan terjadinya inflamasi

pada saluran napas, diantaranya yaitu :

1. Mekanisme limfosit T - IgE

Setelah APC (Antigen Presenting Cells) mempresentasikan alergen / antigen

kepada sel limfosit T dengan bantuan Major Histocompatibility (MHC) kls II,

limfosit T akan membawa ciri antigen spesifik, teraktivasi kemudian berdiferensiasi

dan berproliferasi. Limfosit T spesifik (Th2) dan produknya akan mempengaruhi dan
21

mengontrol limfosit B dalam memproduksi imunoglobulin. Interaksi alergen pada

limfosit B dengan limfosit T spesifik-alergen akan menyebabkan limfosit B

memproduksi IgE spesifik alergen. Pajanan ulang oleh alergen yang sama akan

meningkatkan produksi IgE spesifik. Imunoglobulin E spesifik akan berikatan dengan

sel-sel yang mempunyai reseptor IgE seperti sel mast, basofil, eosinofil, makrofag

dan platelet. Bila alergen berikatan dengan sel tersebut maka sel akan teraktivasi dan

berdegranulasi mengeluarkan mediator yang berperan pada reaksi inflamasi.1

2. Mekanisme limfosit T – non IgE

Setelah limfosit T teraktivasi akan mengeluarkan sitokin IL-3, IL-4, IL-5, IL-

9, IL-13 dan granulocyte monocyte colony stimulating factor (GMCSF). Sitokin

bersama sel inflamasi yang lain akan saling berinteraksi sehingga terjadi proses

inflamasi yang kompleks, degranulasi eosinofil, mengeluarkan berbagai protein

toksik yang merusak epitel saluran napas dan merupakan salah satu penyebab

hiperesponsivitas saluran napas (airway hyperresponsiveness/AHR).1

3. Mekanisme imunologi inflamasi saluran napas

Sistem imun dibagi menjadi dua yaitu imunitas humoral dan selular. Imunitas

humoral ditandai oleh produksi dan sekresi antibodi spesifik oleh sel limfosit B

sedangkan selular diperankan oleh sel limfosit T. Sel limfosit T mengontrol fungsi

limfosit B dan meningkatkan proses inflamasi melalui aktivitas sitotoksik cluster

differentiation 8 (CD8) dan mensekresi berbagai sitokin. Sel limfosit T helper (CD4)

dibedakan menjadi Th1 dan Th2. Sel Th1 mensekresi interleukin-2 (IL-2), IL-3,
22

granulocyte monocyte colony stimulating factor (GMCSF), interferon-γ (IFN-γ) dan

tumor necrosis factor-α (TNF-α) sedangkan Th2 mensekresi IL-3, IL4, IL-5, IL-9,

IL-13, IL-16 dan GMCSF. Respons imun dimulai dengan aktivasi sel T oleh antigen

melalui sel dendrit yang merupakan sel pengenal antigen primer (primary antigen

presenting cells/APC).1,8

B. Hiperreaktivitas Saluran Respiratorik

Penyempitan saluran respiratorik secara berlebihan merupakan patofisiologi

yang secara klinik paling relevan pada penyakit asma. Mekanisme yang bertanggung

jawab terhadap reaktivitas yang berlebihan atau hiperreaktivitas ini belum diketahui

tetapi mungkin berhubungan dengan perubahan otot polos saluran napas (hiperplasi

dan hipertrofi) yang terjadi secara sekunder yang menyebabkan perubahan

kontraktilitas. Selain itu, inflamasi dinding saluran napas terutama peribronkial dapat

memperberat penyempitan saluran napas selama kontraksi berlangsung.1 Hipertrofi

dan hiperplasia otot polos saluran respiratorik, sel goblet kelenjar submukosa timbul

pada bronkus pasien asma terutama pada yang kronik dan berat. Secara keseluruhan,

saluran respiratorik pada asma memperlihatkan perubahan struktur saluran

respiratorik yang bervariasi yang dapat menyebabkan penebalan dinding saluran

respiratorik.

Selama ini, asma diyakini merupakan obstruksi saluran respiratorik yang

bersifat reversibel. Pada sebagian besar pasien, reversibilitas yang menyeluruh dapat

diamati pada pengukuran dengan spirometri setelah diterapi dengan inhalasi


23

kortikosteroid.1,2 Hiperreaktivitas bronkus secara klinis sering diperiksa dengan

memberikan stimulus aerosol histamin atau metakolin yang dosisnya dinaikkan

secara progresif kemudian dilakukan pengukuran perubahan fungsi paru (PFR atau

FEV 1). Provokasi/stimulus lain seperti latihan fisik, hiperventilasi, udara kering dan

aerosol garam hipertonik, adenosis tidak mempunyai efek langsung terhadap otot

polos (tidak seperti histamin dan metakolin), akan tetapi dapat merangsang pelepasan

mediator dari sel mast, ujung serabut saraf, atau sel-sel lain pada saluran respiratorik.

Dikatakan hiperaktif bila dengan cara histamin didapatkan penurunan FEV 1 20%

pada konsentrasi histamin kurang dari 8 mg%.1

4. Faktor Resiko

Adapun beberapa faktor yang bisa menimbulkan terjadinya penyakit asma

diantaranya yaitu:8

Faktor Pejamu

A. (Host)

 Predisposisi genetik

 Hiperesponsif saluran napas

 Atopi

 Jenis kelamin

 Ras

B. Faktor Lingkungan

Faktor yang mempengaruhi kerentanan terbentuk asma pada individu yang


24

terpajan dengan faktor predisposisi.

 Alergen dalam rumah

-Tungau debu rumah

- Alergen pada hewan

- Alergen kecoa

- jamur

 Alergen luar

-Tepung sari

- Jamur

 Pajanan pekerjaan

 Asap rokok

- Perokok pasif

- Perokok aktif

 Polusi udara

- Polutan luar rumah (outdoor pollutants)

- Polutan dalam rumah (indoor pollutants)

 Infeksi saluran napas

- Higiene

 Infeksi parasit

 Status sosial ekonomi

 Diet dan obat – obatan


25

 Obesitas

5. Etiologi

Asma bronkial merupakan gangguan kompleks yang melibatkan faktor

otonom, imunologis, infeksi, endokrin, dan psikologis dalam berbagai tingkat pada

berbagai individu. Pengendalian diameter jalan napas dapat dipandang sebagai suatu

keseimbangan gaya neural dan humoral. Aktivitas bronkokonstriktor neural

diperantarai oleh bagian kolinergik sistem saraf otonom. Faktor humoral membantu

bronkodilatasi termasuk katekolamin endogen yang bekerja pada reseptor adrenergik-

ß yang mengakibatkan terjadinya relaksasi otot polos bronkus. Asma dapat

disebabkan oleh kelainan fungsi reseptor adenilat siklase adrenergik-ß, dengan

penurunan reseptor adrenergik-ß pada leukosit penderita asma.8 Selain hal-hal

tersebut, terdapat beberapa faktor lain yang juga turut berperan sebagai etiologi

penyakit ini, diantaranya yaitu:8

a. Faktor-faktor imunologis

Penderita yang dikategorikan dalam penderita asma ekstrinsik atau alergik,

eksaserbasi terjadi setelah adanya paparan dari faktor lingkungan seperti debu rumah,

serbuksari bunga, dan ketombe. Hal ini seringkali akan meningkatkan kadar

imunoglobulin E ( IgE ) total maupun IgE spesifik pada penderita terhadap antigen-

antigen tersebut. Asma yang tergolong kategori ini, sering dijumpai pada anak-anak

dengan kisaran usia 2 tahun pertama dan pada orang dewasa (asma yang timbul
26

lambat) yang disebut juga asma intrinsik.

b. Faktor endokrin

Asma bronkial dapat menjadi lebih buruk pada pasien dengan keadaan hamil

dan menstruasi, terutama pada premenstruasi atau pada wanita yang menopause.

Sedangkan pada anak dengan masa pubertas, keadaan asma cenderung akan lebih

baik. Hanya sedikit yang diketahui tentang peranan faktor endokrin pada etiologi dan

patogenesis asma bronkial.

c. Faktor Psikologis

Faktor emosi dapat memicu timbulnya gejala-gejala asma.

d. Faktor lain

Faktor lain yang juga dapat menjadi pencetus (trigger) terjadinya asma ialah

infeksi saluran napas, faktor fisik (aktivitas fisik yang berlebih), perubahan cuaca,

obat-obatan, dan paparan bahan-bahan di lingkungan kerja.


27

6. Klasifikasi

7. Diagnosis

Anamnesis

Umumnya diagnosa asma tidak sulit, terutama bila ditemukan gejala klasik

asma yaitu batuk, sesak napas, dan mengi yang timbul secara tiba-tiba dan dapat

hilang secara spontan/pengobatan. Adanya riwayat asma/riwayat alergi dan faktor

pencetus.

Pemeriksaan Fisik

Dalam keadaan serangan, tekanan darah biasanya meningkat, frekuensi

pernapasan dan denyut nadi meningkat. Mengi (wheezing) sering terdengar tanpa

stetoskop. Bunyi pernapasan mungkin melemah dengan ekspirasi memanjang.


28

Pemeriksaan Penunjang

Diperlukan uji laboratorium darah dan sputum serta uji fungsi fisiologi paru

guna menunjang diagnosis asma bronkial. Eosinofilia di dalam darah dan sputum

akan mengalami peningkatan. Di dalam darah, eosinofilia akan lebih dari dari 250-

400 sel/mm3. Sedangkan pada sputum juga akan dijumpai adanya eosinofilia, akan

tetapi hal ini tidaklah khas pada penderita asma karena beberapa penyakit anak selain

asma mungkin menyebabkan eosinofilia di dalam sputum. Protein serum dan kadar

imunoglobulin biasanya normal pada penderita asma bronkial, kecuali kadar IgE

mungkin bertambah. Uji fisiologi paru bermanfaat dalam mengevaluasi anak yang

diduga menderita asma bronkial. Pada penderita asma, uji ini bermanfaat untuk

menilai tingkat penyumbatan jalan napas dan gangguan pertukaran gas. Penentuan

gas dan pH darah arterial merupakan hal yang penting dalam mengevaluasi penderita

asma selama masa eksaserbasi yang memerlukan perawatan di rumah sakit.8

Penentuan saturasi oksigen dengan oksimetri secara teratur akan membantu

dalam menentukan keparahan eksaserbasi akut. PCO2 biasanya rendah selama

stadium awal asma akut. Ketika penyumbatan memburuk, maka PCO2 akan

meningkat. Pada foto toraks akan tampak corakan paru yang meningkat. Hiperinflasi

terdapat pada serangan akut dan kronik. Atelektasis kadang-kadang dapat ditemukan.

Pada pasien ini hasil foto toraks didapatkan hasil gambaran infiltrat (-) dan adanya

gambaran bronkitis kronis.8


29

8. Diagnosis Banding

Beberapa dianosis banding terhadap penyakit asma bronkial ini diantaranya

yaitu:8

a. Rhinitis Alergi

b. Sinusitis

c. Bronkhiolitis

d. Benda asing pada saluran napas

Pada rhinitis alergika, ditemukan adanya penyumbatan hidung secara bilateral

akibat edema basahnya membran mukosa. Selain itu, pada rhenitis alergika

ditemukan bersin-bersin, hidung yang berair, mata yang terasa gatal dan

mengeluarkan air mata yang berlebihan. Sinusitis mempunyai gejala berupa adanya

batuk malam hari, tetapi hal itu jarang karena lebih sering batuk pada siang hari.

Selain itu, juga ditemukan nyeri kepala, nyeri wajah dan bisa ditemukan nanah dalah

meatus media.8

Pada bronkhiolitis, ditemukan adanya demam, batuk serta wheezing atau

mengi sedangkan pada auskulasi akan ditemukan suara ronkhi. Hal ini mirip dengan

asma bronkial, tetapi pada asma wheezing akan timbul secara periodik atau episode.

Selain itu, asma dicetuskan oleh adanya alergen baik dari lingkungan maupun yang

nonspesifik sedangkan pada bronkholitis tidak demikian. Benda asing pada saluran

napas juga dapat menyebabkan sesak pada penderita. Tetapi diagnosis ini dapat
30

disingkirkan karena pada aloanamnesa dan pemeriksaan fisik akan ditemukan riwayat

dari pasien dengan sengaja atau tidak memasukkan benda asing ke saluran nafasnya.8

9. Komplikasi

Penyakit asma bila tidak mendapatkan terapi atau penangan secara benar, bisa

menimbulkan komplikasi-komplikasi yang cukup mengkhawatirkan. Beberapa

komplikasi yang bisa terjadi diantaranya yaitu:8

a. Pneumotoraks spontan

Walaupun ini jarang sekali dijumpai, akan tetapi kadang dapat ditemukan

sebagai sebuah fenomena yang cukup menarik.

b. Pneumomediastinum

Penyakit ini kadang ditemukan pada penderita dengan usia yang cukup muda.

Penyakit ini timbul sebagai suatu proses yang berlangsung secara alamiah, seperti

yang dilaporkan oleh Jamadar yang telah melakukan penelitian terhadap hewan

coba.Pneumomediastinum ini pada umumnya akan sembuh dengan sendirinya (self-

limited disease)

c. Empisema

Penyakit ini sering ditemukan terjadi di subdural dan paling sering terjadi

pada anak-anak. Pergerakan udara terjadi dengan mengarah ke posterior, yakni dari

pneumomediastinum menuju foramina intervertebralis.


31

d. Pneumoperikardium

Penyakit ini jarang ditemukan sebagai komplikasi asma. Akan tetapi bila

terjadi, maka akan lebih sering terjadi pada anak-anak. Hal ini disebabkan selaput

pericardial pada anak-anak cenderung lebih rapuh dibndingkan dengan orang dewasa.

Seperti halnya dengan pneumomediastinum, pneumoperikardium biasanya ditemui

dengan sifat yang benigna.

e. Perdarahan pada subarakhnoid

Kasus ini bisa ditemui pada pasien status asmatikus dengan perawatan yang

menggunakan ventilator. Pasien dengan keadaan seperti ini rentan terhadap timbulnya

peningkatan tekanan parsial karbondioksida, sehingga dapat menyebabkan

vasodilatasi di pembuluh darah serebral dan meningkatnya tekanan intrakranial.

Keadaan ini dapat diperparah dengan adanya batuk-batuk pada pasien sehingga

terjadi peningkatan tekanan intrathoraks. Terapi ventilasi diyakini menjadi pencetus

terjadinya edema serebral dan terbatasnya aliran darah vena pada serebral.

10. Penatalaksanaan

A. Tatalaksana di pelayanan primer (Puskesmas)

Jika pasien menunjukkan tanda- tanda eksaserbasi akut atau mengancam jiwa,

segera pengobatan dengan SABA, Oksigen dan kortikosteroid sistemik. Rujuk ke

fasilitas yang lebih memadai jika dibutuhkan monitoring yang ketat dan spesialisasi

paru. Eksaserbasi ringan dapat diobati di Puskesmas, tapi tergantung ketersediaan alat
32

ataupun obat-obatan.1 Mengobati serangan eksaserbasi di Puskesmas diberikan terapi

berulang short acting bronkodilator inhalasi, kostikosteroid sistemik, dan pemberian

aliran oksigen. Tujuannya adalah agar cepat meringankan obstruksi aliran udara dan

hipoksemia, mengatasi patofisiologi inflamasi yang mendasari dan mencegah

kambuh.1 Dosis kortikosteroid prednisolone pada orang dewasa adalah 1

mg/kgbb/hari dengan dosis maksimal 50 mg/hari dan 1-2 mg/kgbb/hari pada anak-

anak 4-6 tahun dengan dosis maksismal 40 mg/hari. Pemberian selama 5-7 hari.1

Pasien di follow up 2-7 hari kemudian.memberikan penjelasan pada pasien agar

mengendalikan faktor risiko agar tidak terjadi eksaserbasi berulang.1

B. Tatalaksana di klinik atau Unit Gawat Darurat

Pasien asma yang datang dalam keadaan serangan di Unit Gawat Darurat,

langsung dinilai derajat serangannya sesuai dengan fasilitas yang tersedia. Dalam

panduan GINA ditekankan bahwa pemeriksaan uji fungsi paru (spirometer atau fleak

flowmeter) merupakan bagian integral penilaian tatalaksana serangan asma, bukan

hanya evaluasi klinis. Namun, di Indonesia penggunaan alat tersebut belum

memasyarakat.1 Tatalaksana awal terhadap pasien adalah pemberian ß-agonis dengan

penambahan garam fisiologis secara nebulisasi. Nebulisasi serupa dapat diulang dua

kali dengan selang waktu 20 menit. Pada pemberian ketiga, nebulisasi ditambahkan

obat antikolinergik. Tatalaksana awal ini sekaligus dapat berfungsi sebagai penapis

yaitu untuk penentuan derajat serangan, karena penilaian derajat secara klinis dapat

dilakukan dengan cepat dan jelas. 1


33

Jika menurut penilaian awal pasien datang jelas dalam serangan yang berat,

langsung berikan nebulisasi ß-agonis dikombinasikan dengan antikolinergik. Pasien

dengan serangan berat yang disertai dehidrasi dan asidosis metabolic, mungkin akan

mengalami takifilasis atau refrakter yaitu respons yang kurang baik terhadap

nebulisasi ß-agonis. Pasien seperti ini cukup sekali dinebulisasi kemudian secepatnya

dirawat untuk mendapat obat intravena selain dibatasi masalah dehidrasi dan

asidosisnya.1

1. Serangan Asma Ringan

Apabila keadaan pasien dengan sekali pemberian nebulisasi telah

menunjukkan respons yang baik (complete response), berarti serangannya tergolong

ringan. Pasien diobservasi selama 1 jam, jika tetap baik, maka pasien dapat

dipulangkan. Pasien dibekali dengan obat ß-agonis (obat hirup atau oral) yang

diberikan tiap 4-6 jam. Jika pencetus serangannya adalah infeksi virus, dapat

ditambahkan steroid oral, namun hanya diberikan untuk jangka waktu yang pendek

(3-5 hari).1

2. Serangan Asma Sedang

Jika dengan pemberian nebulisasi dua kali, pasien hanya menunjukkan

respons parsial (incomplete response), kemungkinan derajat serangannya sedang.

Pada serangan asma sedang, diberikan steroid sistemik (oral) metilprednisolon

dengan dosis 0,5-1 mg/kg/BB/hari selama 3-5 hari. Steroid lain yang dapat diberikan

selain metilprednisolon adalah prednison. 1


34

3. Serangan Asma Berat

Bila dengan nebulisasi tiga kali berturut-turut pasien tidak menunjukkan

respons (poor response), yaitu gejala dan tanda serangan masih ada maka pasien

harus dirawat di ruang rawat inap. Bila sejak awal dinilai sebagai serangan berat,

maka nebulisasi pertama kali langsung ß-agonis dengan penambahan antikolinergik.

Oksigen 2-4 liter/menit diberikan sejak awal, termasuk saat nebulisasi. Pasang jalur

parenteral dan lakukan foto thoraks. 1

Jika pasien menunjukkan gejala dan tanda ancaman henti napas, pasien harus

langsung dirawat di ruang rawat intensif. Untuk pasien dengan serangan berat dan

ancaman henti napas, langsung dibuat foto Rontgen thoraks guna komplikasi

pneumotoraks dan/atau pneumomediastinum.1,8

C. Tatalaksana di Ruang Rawat Sehari

Pemberian oksigen tetap diteruskan dengan diberikan nebulisasi ß-

agonis+antikolinergik tiap 2 jam. Kemudian berikan steroid sistemik oral berupa

metilprednisolon atau prednisone. Pemberian steroid ini dilanjutkan sampai 3-5 hari.

Jika dalam 12 jam klinis tetap baik, maka pasien dipulangkan dan dibekali obat

seperti pasien serangan ringan yang dipulangkan dari klinik/ UGD. Bila dalam 12 jam

responnya tetap tidak baik, maka pasien dialih rawat ke ruang rawat inap dengan

tatalaksana serangan asma berat. 1


35

D. Tatalaksana di Ruang Rawat Inap

Pada penatalaksaan di ruang inap, ada beberapa hal yang dilakukan, yaitu:

1. Pemberian oksigen diteruskan

2. Jika ada dehidrasi dan asidosis, maka diatasi dengan pemberian cairan

intravena dan dikoreksi asidosisnya.

3. Steroid intravena diberikan secara bolus, tiap 6-8 jam. Dosis steroid

intravena 0,5-1 mg/kg/BB/hari.

4. Nebulisasi ß-agonis+antikolinergik dengan oksigen dilanjutkan tiap 1-

2 jam, jika dalam 4-6 kali pemberian mulai terjadi perbaikan klinis,

jarak pemberian dapat diperlebar menjadi tiap 4-6 jam.

5. Aminofilin diberikan secara intravena dengan dosis : Bila pasien

belum mendapat aminofilin sebelumnya, diberi aminofilin dosis awal

(inisial) sebesar 6-8 mg/kgBB dilarutkan dalam dekstrose atau garam

fisiologis sebanyak 20 ml, diberikan dalam 20-30 menit. Jika pasien

telah mendapat amonofilin (kurang dari 8 jam), dosis diberikan

separuhnya. Sebaiknya kadar aminofilin diukur dan dipertahankan 10-

20 mcg/ml. Selanjutnya aminofilin dosis rumatan diberikan sebesar

0,5-1 mg/kgBB/jam.

6. Bila telah terjadi perbaikan klinis, nebulisasi diteruskan tiap 6 jam

hingga 24 jam dan steroid serta aminofilin diganti pemberial peroral

7. Jika dalam 24 jam pasien tetap stabil, pasien dapat dipulangkan


36

dengan dibekali obat ß-agonis (hirup atau oral) yang diberikan tiap 4-6

jam selama 24-48 jam. Steroid oral dilanjutkan hingga pasien kontrol

ke klinik rawat jalan dalam 24-48 jam untuk reevaluasi tatalaksana.

E. Kriteria Rawat di Ruang Rawat Intensif

Kriteria pasien yang memerlukan perawatan di ICU adalah:8

a. Tidak ada respons sama sekali terhadap tatalaksana awal di UGD

dan/atau perburukan asma yang cepat.

b. Adanya kebingungan, disorientasi, dan tanda lain ancaman henti napas

atau hilangnya kesadaran.

c. Tidak ada perbaikan dengan tatalaksana di ruang rawat inap.

d. Ancaman henti napas: hipoksemia tetap terjadi walaupun sudah

diberikan oksigen (Kadar PaO2 45 mmHg, walaupun tentu saja gagal

napas dapat terjadi dalam kadar PaCO2 yang lebih tinggi atau lebih

rendah).

11. Prognosis

Beberapa studi menemukan bahwa banyak bayi dengan wheezing tidak

berlanjut menjadi asma pada masa anak-anak dan remajanya. Proporsi kelompok

tersebut berkisar antara 45% hingga 85%, tergantung besarnya sampel studi, tipe

studi, dan lamanya pementauan. Adanya asma pada orang tua dan dermatitis atopik

pada anak dengan wheezing merupakan salah satu indikator penting untuk terjadinya
37

asma dikemudian hari. Apabila terdapat kedua hal tersebut, maka kemungkinan

menjadi asma lebih besar atau terdapat salah satu di atas disertai dengan 2 dari 3

keadaan berikut yaitu eosinofia, rinitis alergika, dan wheezing yang menetap pada

keadaan bukan flu.7,8


BAB 4
PEMBAHASAN

Diagnosis asma pada pasien ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan

fisik. Pasien datang ke IGD puskesmas Syamtalira Bayu dengan keluhan sesak nafas

sejak 1 hari sebelum masuk IGD puskesmas, dan memberat dalam 2 jam sebelum

masuk IGD puskesmas. Nafas disertai suara mengi. Inflamasi saluran respiratorik

yang ditemukan pada pasien asma diyakini merupakan hal yang mendasari gangguan

fungsi: obstruksi saluran respiratorik yang menyebabkan keterbatasan aliran udara

yang dapat kembali secara spontan atau setelah pengobatan. Perubahan fungsional

yang dihubungkan dengan gejala khas pada asma, yakni berupa batuk, sesak,

wheezing dan disertai hiperaktivitas saluran respiratorik terhadap berbagai

rangsangan. Batuk sangat mungkin disebabkan oleh stimulasi saraf sensoris pada

saluran respiratorik oleh mediator inflamasi.

Sesak nafas diakui timbul saat pasien menghirup udara dingin saat malam

menjelang dini hari, dan saat menghirup debu dirumah. Apabila terpajan debu, dan

udara dingin biasanya pasien langsung bersin berulang kali, keluar sekret cair dari

hidung, hidung gatal dan mata berair kemudian dilanjutkan dengan munculnya sesak

napas. Hal tersebut disebabkan karena pasien terpapar faktor pemicu terjadinya

penyakit asma. Adapun beberapa faktor yang bisa menimbulkan terjadinya penyakit

asma diantaranya yaitu: atopi, allergen dalam rumah (debu), dan asap rokok.

38
39

Tatalaksana pasien di puskesmas diberikan IVFD RL 20 gtt/I, O2 4 l/I, Nebul

Ventolin 1 amp/12 jam, Amoxicillin tab 3x1, Hustab tab 3x1, CTM tab 3x1,

Antasida Syr 3x2 C. O2 4l/i diberikan karena sesak yang dialami pasien. Nebul

ventolin untuk mengatasi sesak yang dirasakan pasien mengandung zat aktif

salbutamol yaitu obat sistem saluran nafas yang ter masuk agonis adrenoreseptor

beta-2 selektif kerja pendek, obat ini bekerja dengan cara merangsang secara selektif

reseptor beta-2 adrenergik terutama pada otot bronkus sehingga menyebabkan

terjadinya bronkodilatasi karena otot bronkus mengalami relaksasi. Amoxicillin

diberikan karena batuk yang dialami pasien yang dicurigai disebabkan karena bakteri.

amoxicillin akan menghambat pertumbuhan bakteri yang menyebabkan infeksi di

organ paru-paru, saluran kemih, kulit, serta di bagian telinga, hidung, dan

tenggorokan. Hustab diberikan untuk gejala batuk yang dialami pasien.

Hustab adalah obat yang mengandung kombinasi bromhexin, diphenhydramine, dan

paracetamol. Bromhexine berfungsi mengencerkan dahak di saluran pernapasan. Obat

ini bekerja dengan cara menghambat kerja sel yang memprodusi dahak atau mukus,

sehingga menghasilkan dahak yang tidak kental dan mudah untuk dikeluarkan.

Diphenhydramine adalah obat untuk meredakan gejala akibat reaksi alergi, rhinitis

alergi, dan common cold. Diphenhydramine bekerja dengan cara menghalangi efek

histamin dalam tubuh yang menyebabkan munculnya reaksi alergi. Dengan begitu,

gejala alergi, seperti bersin-bersin, ruam, gatal pada kulit, mata merah dan berair,

hidung meler, karena rhinitis alergi atau common cold, akan mereda. Paracetamol
40

bekerja dengan cara mengurangi produksi zat penyebab peradangan, yaitu

prostaglandin. Dengan penurunan kadar prostaglandin di dalam tubuh, tanda

peradangan seperti demam dan nyeri akan berkurang. Chlorpheniramine atau CTM

adalah obat untuk meredakan gejala alergi yang bisa dipicu oleh makanan, obat-

obatan, gigitan serangga, paparan debu, paparan bulu binatang, atau paparan serbuk

sari. Obat ini juga digunakan untuk meringankan gejala batuk pilek (common cold).

Chlorpheniramine bekerja dengan cara menghambat kerja histamin, yaitu senyawa

yang bisa menyebabkan munculnya gejala alergi saat seseorang terpapar zat atau

bahan pemicu alergi (alergen). Antasida (antacid) adalah obat untuk meredakan

gejala akibat sakit maag atau penyakit asam lambung. Antasida bekerja dengan cara

menetralisir asam lambung. 

Fish Bone

Faktor Pengetahuan yang


lingkungan kurang
Rendah pengetahuan
Paparan debu rumah tentang pengelolaan
dan ventilasi yang tidak asma yang baik dan benar
sesuai dengan luas
rumah
Asma
Kebiasaan membakar
sampah yang menyebabkan Berobat hanya saat
polusi udara dan kebiasaan
merokok didalam rumah merasa sakit

PHBS
Kontrol kesehatan
tidak teratur
41

MATRIKS URUTAN PRIORITAS MASALAH

NO Masalah U S G Total
1 Faktor Lingkungan 5 5 5 15

(paparan debu rumah dan ventilasi yang tidak

sesuai)
2 PHBS yang kurang baik 5 5 4 14
3 Pengetahuan yang kurang 5 4 4 14
4 Kontrol kesehatan tidak teratur 4 4 3 11
Keterangan : berdasarkan skala likert 1-5 (5=sangat besar, 4=besar, 3=sedang,

2=kecil, 1=sangat kecil)

MATRIKS CARA PEMECAHAN MASALAH

No Masalah Pemecahan masalah

.
1. Faktor Lingkungan Membersihkan debu rumah secara berkala dan

(paparan debu rumah dan memenuhi salah satu kriteria rumah sehat yaitu

ventilasi yang tidak sesuai) ventilasi >10% luas rumah


2. PHBS yang kurang baik Melakukan PHBS yang baik dengan tidak

(asap rokok dalam rumah merokok didalam rumah dan tidak membakar

dan asap pembakaran sampah sembarangan karena dapat

sampah) menyebabkan polusi udara tidak hanya

terhadapa pasien dan keluarganya, tapi juga

bagi penduduk sekitar.


3. Pengetahuan yang kurang Memberikan informasi kepada pasien dan

keluarga pasien tentang penyakit asma yang


42

diderita pasien dan upaya preventif untuk

mencegak kekambuhan penyakit pasien


4. Kontrol kesehatan tidak Edukasi kepada pasien tentang pentingnya

teratur kontrol kesehatan secara berkala.

Upayapreventif

4. Menghindari faktor pencetus kekambuhan penyakit pasien (debu rumah

dan udara dingin)

5. Menjaga kebersihan lingkungan dan keluarga untuk mencegah penyakit

infeksi lain

6. Melakukan kunjungan ulang setiap bulan untuk periksa secara teratur di

Puskesmas.

UpayaKuratif

1. Pengobatan pada pasien asma.


BAB 5
KESIMPULAN

Asma adalah keadaan saluran napas yang mengalami penyempitan karena

hiperaktivitas terhadap rangsangan tertentu, yang menyebabkan peradangan;

penyempitan ini bersifat reversible. Fungsi pernafasan dapat dibagi menjadi dua yaitu

pertukaran gas dan keseimbangan asam basa.

Asma merupakan penyakit inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan

beberapa selPelepasan mediatorMengaktivasi sel target saluran napas

Bronkokonstriksi, kebocoran mikrovaskular, edema, hipersekresimukus dan

stimulasi refleks saraf. Faktor Resiko Asma : faktor genetik, lingkungan, dan faktor

lain. Gambaran Klinis Asma: asma klasik, asma alergik, dan asma karena pekerjaan.

Klasifikasi asma berdasarkan etiologi, derajat berat asma, kontrol asma dan gejala.

Diagnosis asma berdasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang.

Diagnosis banding: bronkitis kronik, emfisema paru, gagal jantung kiri akut, emboli

paru, dan penyakit lainnya. Komplikasi asma: pneumothoraks, pneumodiastinum,

atelektasis, dan lainnya. Pengobatan asma menggunakan protokol pengobatan

menurut GINA

43

Anda mungkin juga menyukai